• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Formulation of Functional Cookies Based on Channa striata Flour with Fortification of Fe and Zn Microcapsule

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Formulation of Functional Cookies Based on Channa striata Flour with Fortification of Fe and Zn Microcapsule"

Copied!
164
0
0

Teks penuh

(1)

TOMMY MARCELINO GANTOHE

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(2)

Under guidance of SRI ANNA MARLIYATI.

The objectiveof this research was to learn the formulation of functional cookies based on Channa striata flour with fortification of Fe and Zn microcapsule.

In the first step four formulation of cookies with fish flour, 0% (F1), 10% (F2), 15% (F3) dan 20% (F4) was made based on Dewi (2011) with some modification. The result of these formulations were tested by 30 respondent, using hedonic test. The acceptability of respondent to addition of fish flour in cookies were not significantly different on taste, aroma, color, and overall of the cookies (p >0,05) but significantly different on texture of the cookies (p<0,05). Based on some consideration F2 was chosen to be fortificant carrier.

The microcapsulation was done with spray dryer by using Fe Sulphate and Zinc Sulphate as base product. The microcapsule wasmeasured by AAS to determine the Fe and Zn content. The rendement of the process was 100 % for Fe and 85% for Zn. This microcapsule was fortified into the cookies on four levels, 0% RDA of Fe and Zn (F1), 25% RDA of Fe and Zn (F2), 50% RDA of Fe and Zn (F3), and100% RDA of Fe and Zn (F4).

The fortified cookies were tested by 30 respondent on organoleptic test. The acceptablility of respondent to the addition of fish flour in cookies were not significantly different on taste, aroma, color, texture and overall of the cookies (p>0,05).

Bioavaillability test showed that F3 with 50% RDA of Fe and Zn had the highest minerals bioavaillabilty, 41,80% (Zn) and 76,32% (Fe). F3 was Choosen as the best formula. The nutrient content of F3 were 2,73% of water, 2,08% of ashes, 13,34% of proteins,24,53% of fats, 57,32% of carbohydrates, 503 Kcal of energy, 11,17% of Fe and 8,83% of Zn,and also the digestibility of proteins on F3 was 78,45%.

(3)

Tepung Ikan Gabus (Channa striata) dengan Fortifikasi Mikrokapsul Fe dan Zn. Dibimbing oleh SRI ANNA MARLIYATI.

Data Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa persentase anak dengan konsumsi energi dan protein kurang dari 70% AKG adalah 33,4%, dari jumlah tersebut 24,8% berada pada kelompok umur 4-6 tahun. Berdasarkan data Riskesdas 2007 diperkirakan 7% anak balita Indonesia (sekitar 300 000 jiwa) meninggal setiap tahun dan 170.000 balita (60%) di antaranya akibat gizi buruk (Kementrian Kesehatan RI 2007).

Selain KEP data Riskesdas tahun 2010 menginformasikan bahwa kekurangan zat gizi mikro di Indonesia yang serius dan masih kurang mendapat perhatian, adalah kurang vitamin A, Gangguan Akibat Kurang Iodium (GAKI) dan kurang zat besi yang disebut Anemia Defisisensi Besi. Defisiensi zat gizi besi memerlukan perhatian khusus sebab pola kejadiannya tidak langsung terlihat namun pergerakannya cepat. Hasil riset menunjukkan bahwa pada 1.000 anak sekolah di 11 provinsi di Indonesia terdapat prevalensi anemia sebanya 20–25% (Rossana 2009). Defisiensi besi pada bayi dan anak mempunyai dampak negatif seperti terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan, penurunan kinerja sistem imun tubuh sehingga mudah terinfeksi penyakit, bahkan jika terjadi dalam waktu yang lama dapat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas otak (Rossana 2009).

Pendekatan yang bisa dilakukan dalam mengatasi dan mencegah masalah ini yaitu pembuatan suatu produk pangan yang memiliki kandungan protein tinggi dan dilengkapi dengan mineral. Mannar (2002) menyatakan bahwa fortifikasi pangan merupakan upaya yang paling berhasil dalam menanggulangi masalah defisiensi mikronutrien seperti Fe dan Zn di negara berkembang.

Berdasarkan sejumlah ketentuan dalam fortifikasi pangan seperti dari segi ketersediaan bahan baku dan preferensi kelompok target dan kandungan gizi (Muchtadi et al 1995 ), maka dipilih produk cookies dengan bahan dasar tepung ikan gabus (Channa striata). Jenis ikan ini memiliki kandungan protein yang tinggi terutama albumin, selain itu ikan gabus banyak dijumpai di Indonesia

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mempelajari formulasi

(4)

organoleptik pertama, mikrokapsulasi mineral, fortifikasi mikrokapsul pada

cookies, uji organoleptik kedua, uji bioavailabilitas mineral, dan analisis sifat kimia, fisik, serta daya cerna protein cookies terbaik.

Pembuatan cookies pada penelitian ini menggunakan formula Dewi (2011) dengan modifikasi. Modifikasi formula Dewi (2011) meliputi perubahan proporsi mentega dan margarin terhadap total lemak (83,5% mentega :16,5% margarin, proporsi kuning telur dan putih telur, pengurangan coklat bubuk, penambahan keju dan pemberian maltodekstrin.

Hasil sidik ragam menujukkan tidak ada perbedaan nyata persentase penerimaan panelis terhadap warna, rasa, aroma, dan keseluruhan (p>0,05), namun berbeda nyata pada tekstur (p<0,05). Berdasarkan penerimaan, dan pertimbangan mutu gizi maka F2 (tepung ikan 15 %) dipilih sebagai produk pangan pembawa fortifikan.

Enkapsulasi mineral Fe dan Zn dilakukan dengan menggunakan metode

spray drying dengan tiga tahapan utama, yaitu persiapan emulsi, homogenisasi dispersi, dan atomisasi. Komposisi penyalut untuk mikrokapsul adalah gum arab dan maltodekstrin, dengan rasio 70 : 30 untuk Fe dan 80 : 20 untuk Zn. Bahan inti yang digunakan adalah 99,09 gram bubuk fero sulfat dan 88.09 gram bubuk Zn sulfat Suhu pengeringan masuk 170 °C dengan suhu pengering keluar 85°C. Konsentrasi mineral dalam mikrokapsul Fe yang dihasilkan adalah 1,96% dengan rendemen 84%. Konsentrasi Zn dalam mikrokapsul Zn adalah 2,98% dengan rendemen 100 %.

Pembuatan cookies dilakukan dengan menggunakan formula F2. Fortifikasi dilakukan melalui pencampuran kering antara mikrokapsul dengan tepung terigu. Jumlah mikrokapsul Fe dan Zn yang ditambahkan untuk setiap

serving size pada keempat taraf berturut-turut adalah 0 g, 0,10g, 0,20, dan 0,41 dan 0 g, 0,08g, 0,16 g, dan 0,33 g.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa persentase penerimaan panelis untuk semua karakter organoleptik baik pada uji hedonik maupun uji mutu hedonik tidak berbeda nyata (p>0,05).

Berdasarkan hasil uji bioavailabilitas diketahui F3 (taraf fortifikasi 50% AKG) memiliki nilai bioavailabilitas Fe tertinggi, yaitu sebesar 76,32 % dan nilai bioavailabilitas Zn 41,80 %. Oleh sebab itu formula F3 dipilih menjadi formula terbaik, yang akan diuji sifat kimia, kadar mineral, sifat fisik dan nilai daya cerna proteinnya.

Kandungan gizi cookies tepung ikan dengan fortifikasi mikrokapsul Fe dan Zn, adalah air sebesar 2, 73 g/100 g, abu 2,08 g/100 g, protein 13,34 g/100 g, lemak 24,53 g/100 g, karbohidrat 57,32 g/100 g, energi sebesar 503 Kal/100 g. Analisis kadar mineral menunjukan kadar mineral cookies adalah 11,7 mg/100 g Fe dan 8,83 mg/100 g Zn. Nilai daya cerna protein untuk cookies tepung ikan gabus adalah 78,45 %.

Berdasarkan kandungan gizinya cookies tepung ikan gabus dengan fortifikasi mikrokapsul Fe dan Zn telah memenuhi semua standar SNI 01-2973-1992 tentang cookies, kecuali kualifikasi karbohidrat. Cookies fungsional tepung ikan gabus dengan fortifikasi mikrokapsul Fe dan Zn dapat diklaim bahwa

(5)

Fe dan Zn

TOMMY MARCELINO GANTOHE

Skripsi

Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada

Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(6)

(Channa striata) dengan fortifikasi mikrokapsul Fe dan Zn Nama : Tommy Marcelino Gantohe

NIM : I14080006

Menyetujui: Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M Si NIP. 19620331 199811 1 001

Mengetahui: Ketua

Departemen Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001

(7)

karunia-Nya yang melimpah sehingga Penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dengan judul “Formulasi cookies Fungsional Berbasis Tepung Ikan Gabus (Channa striata) dengan Fortifikasi Mikrokapsul Fe dan Zn”. Selama proses penyusunan tugas akhir ini sangat banyak dukungan dari berbagai pihak, oleh sebab itu patutlah Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M.Si sebagai dosen pembimbing skripsi yang senantiasa membimbing Penulis dan memberikan nasihat-nasihat yang sangat berguna bagi Penulis baik dalam penyusunan skripsi maupun kehidupan.

2. Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M.Si selaku dosen pemandu seminar dan dosen penguji. Bimbingan, arahan dan nasihat beliau sangat membantu Penulis dalam pelaksanaan penelitian maupun penyempurnaan skripsi.

3. Rekan penelitian yang selalu kompak menemani, membimbing, mendukung dan memberikan saya penghiburan, yaitu Ibu (Mami Dewi Kartikasari). 4. Mami (kuku), Papi, Mama Aking, I Ale, Mami Tri dan seluruh keluarga yang

selalu mendukung Penulis baik secara materil maupun moril, terutama doa kalian.

5. Kong Go wa Tjong (Ignatius Sugawanto Gosal) yang selalu menginspirasi, mendukung, menyemangati Penulis. Meskipun kini Kong telah tiada tapi semangat dari kong selalu hidup.

6. Seseorang yang selalu ada disamping dan mendukung Penulis.

7. Seluruh staf Departemen Gizi Masyarakat, Pak Mashudi, Bu Nina Herlina, Bu Titi Riani, Bu Khusnul, Teh Santi, dan semua orang yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

(8)

10. Teman-teman tim asisten mata kuliah AZG Makro, AZG Mikro, dan Dietetik Penyakit Infeksi dan Defisiensi zat gizi.

11. Teman-teman sepermainan, Feni, Icha, Yance, Echa, dll.

Penulis sadar bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu segala masukan, dan evaluasi sangat Penulis harapkan guna kesempurnaan Penulisan skripsi. Semoga Penulisan skripsi ini bermanfaat bagi kehidupan bangsa dan tanah air.

Bogor, Desember 2012

(9)

yang dilahirkan pada 4 Maret 1991 di Yogyakarta. Penulis mengenyam pendidikan sekolah dasar di SD Katholik ST Yoseph Luwuk, menamatkan pendidikan sekolah menengah pertama di SLTP Negeri 1 Luwuk, dan menamatkan sekolah menengah atas di SMA Negeri 1 Palu. Juli 2008 merupakan babak baru dalam kehidupan Penulis, saat itu Penulis memulai menimba ilmu di Institut Pertanian Bogor dengan mayor Ilmu Gizi pada departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Berkat kasih Allah, Penulis meraih sejumlah prestasi kecil diantaranya menjuarai lomba bidang studi matematika tingkat provinsi, top 10 Olimpiade Biologi SLTP, menjuari

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... ... i

DAFTAR TABEL ... ... iii

DAFTAR GAMBAR ... ... iv

DAFTAR LAMPIRAN .. ... v

PENDAHULUAN... ... 1

Latar Belakang ... ... 1

Tujuan ... ... 3

Manfaat ... ... 3

TINJAUAN PUSTAKA.... ... 4

Ikan Gabus (Channa striatus) ... 4

Tepung Ikan ... ... 5

Cookies ... ... 6

Fortifikasi Seng dan Besi ... 7

Kebutuhan dan Peran Protein, Fe dan Zn pada Anak ... 9

Mikroenkapsulasi ... ... 11

METODE ... ... 13

Waktu dan Tempat . ... 13

Alat dan Bahan... ... 13

Prosedur ... ... 14

Rancangan Percobaan ... 19

Pengolahan dan Analisis Data……… ... 20

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21

Cookies Fungsional Berbasis Tepung Ikan Gabus ... 21

Formulasi Cookies ... 21

Hasil Uji Organoleptik Cookies ... 25

Mikrokapsulasi Fe (besi) dan Zn (seng) dengan Spray Drying ... 29

Cookies Fungsional dengan Fortifikasi Mikrokapsul Fe dan Zn……… ... 32

Hasil Uji Organoleptik Cookies ... 33

Bioavailabilitas Mineral Fe dan Zn pada Cookies ... 36

Sifat Fisik Cookies Formula Terpilih ... 38

Sifat Kimia Cookies Formula Terpilih ... 38

(11)

Biaya Pembuatan Cookies……… ... 45

KESIMPULAN DAN SARAN ... 48

Kesimpulan ... ... 48

Saran ... ... 49

DAFTAR PUSTAKA .... ... 50

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Standar Nasional Indonesia tepung ikan ... 6

Tabel 2 Syarat mutu Cookies ... 6

Tabel 3 Biovailabilitas berbagai senyawa Fe ... 8

Tabel 4 Angka Kecukupan Zat Gizi rata-rata yang dianjurkan untuk bayi dan anak balita ... 10

Tabel 5 Formula Dewi (2011) ... 15

Tabel 6 Formula cookies tepung ikan gabus ... 15

Tabel 7 Estimasi kandungan protein cookies ikan gabus... 22

Tabel 8 Formula cookies hasil modifikasi ... 23

Tabel 9 Nilai modus tingkat kesukaan panelis ... 26

Tabel 10 Persentase penerimaan panelis terhadap produk cookies tepung ikan gabus ... 27

Tabel 11 Jumlah mikrokapsul mineral per serving size cookies pada setiap taraf ... 32

Tabel 12 Jumlah mikrokapsul mineral yang ditambahkan untuk satu resep cookies untuk setiap taraf perlakuan... 33

Tabel 13 Nilai modus tingkat kesukaan panelis ... 34

Tabel 14 Persentase penerimaan panelis terhadap karakteristik organoleptik cookies pada berbagai taraf fortifikasi ... 34

Tabel 15 Nilai modus penliaian panelis ... 35

Tabel 16 Bioavailabilitas mineral Fe dan Zn pada berbagai taraf fortifikasi ... 36

Tabel 17 Hasil analisis sifat kimia cookies formula terpilih ... 38

Tabel 18 Kontribusi kandungan zat gizi cookies tepung ikan gabus dengan fortifikasi mikrokapsul Fe dan Zn terhadap AKG balita ... 44

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Diagram alir rangkaian penelitian ... 14

Gambar 2 Diagram alir pembuatan cookies tepung modifikasi Dewi (2011) ... 16

Gambar 3 Diagram alir pembuatan mikrokapsul ... 17

Gambar 4 Cookies tepung ikan gabus ... 28

Gambar 5 Mikrokapsul mineral ... 31

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Lembar uji organoleptik1 ... 55

Lampiran 2 Lembar uji organoleptik 2 ... 56

Lampiran 3 Analisis sifat fisik serta kimia ... 59

Lampiran 4 Analisis daya cerna protein metode Hsu ... 62

Lampiran 5 Estimasi kandungan zat gizi setiap formula cookies tepung ikan gabus ... 63

Lampiran 6 Hasil sidik ragam uji hedonik organoleptik 1 ... 67

Lampiran 7 Hasil uji lanjut Duncan ... 68

Lampiran 8 Perhitungan kebutuhan garam mineral dan penyalut ... 68

Lampiran 9 Penentuan rendemen mineral ... 68

Lampiran 10 Perhitungan Jumlah mikrokapsul ... 69

Lampiran 11 Sebaran penilaian panelis ... 69

Lampiran 12 Hasil sidik ragam persentase penerimaan panelis terhadap cookies dengan fortifikasi mikrokapsul mineral ... 70

Lampiran 13 Sebaran penilaian panelis pada uji mutu hedonik ... 71

Lampiran 14a Hasil uji bioavailabilitas mineral cookies tepung ikan gabus dengan fortifikasi mikrokapsul mineral ... 71

Lampiran 14b Hasil sidik ragam i bioavailabilitas mineral cookies tepung ikan gabus dengan fortifikasi mikrokapsul mineral ... 72

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masalah gizi yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu terakhir ini kian kompleks, meliputi masalah gizi lebih yang kian meningkat maupun masalah gizi kurang yang masih sangat sering terjadi. Pada aras masalah gizi kurang kekurangan zat gizi yang terjadi tidak hanya pada zat gizi makro seperti kekurangan energi protein (KEP), namun ada masalah kurang gizi lain yang tersembunyi yaitu kekurangan zat gizi mikro.

Masalah gizi makro yang masih sering dijumpai adalah KEP, sejumlah hasil penelitian menunjukkan angka penderita KEP yang masih sangat besar terutama pada kelompok anak. Data Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa persentase anak dengan konsumsi energi dan protein kurang dari 70% AKG

adalah 33,4%, dari jumlah tersebut 24,8% berada pada kelompok umur 4-6 tahun. Sebagian besar kasus konsumsi energi protein yang berada di bawah

kebutuhan minimal terjadi di daerah pedesaan dan cenderung lebih besar pada kelompok anak laki-laki (Riskesdas 2010). Berdasarkan data Riskesdas 2007 diperkirakan 7% anak balita Indonesia (sekitar 300 000 jiwa) meninggal setiap tahun dan 170.000 anak (60%) di antaranya akibat gizi buruk (Kementerian Kesehatan RI 2007).

Selain KEP yang menuntut upaya pencegahan maupun penanggulangan, data Riskesdas tahun 2010 menginformasikan bahwa kekurangan zat gizi mikro di Indonesia yang serius dan masih kurang mendapat perhatian, adalah kurang vitamin A, Gangguan Akibat Kurang Iodium (GAKI) dan kurang zat besi yang disebut Anemia Defisisensi Besi (AGB). Defisiensi zat gizi besi memerlukan perhatian khusus sebab pola kejadiannya tidak langsung terlihat namun pergerakannya cepat. Hasil riset menunjukkan bahwa pada 1.000 anak sekolah di 11 provinsi di Indonesia terdapat prevalensi anemia sebanyak 20–25% (Rossana 2009).

Terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan terjadinya kekurangan zat gizi mikro, antara lain minimnya pengetahuan gizi, akses pangan, maupun masalah kekurangan zat gizi makro seperti dalam kasus kekurangan energi protein. Hal ini terkait dengan fungsi protein sebagai pengangkut.

(16)

sistem imun tubuh sehingga mudah terinfeksi penyakit, bahkan jika terjadi dalam waktu yang lama dapat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas otak (Rossana 2009). Hal ini didukung oleh sejumlah data penelitian, Murray (2009) menyatakan bahwa kekurangan Fe dapat berdampak pada penurunan kapasitas kerja, keterlambatan kognitif dan penurunan kinerja sistem imun. Demikian halnya dengan mineral Zn di dalam tubuh yang berperan aktif dalam kerja sistem imun. Kekurangan Zn dapat mengakibatkan kekurangan tembaga, hambatan perkembangan alat seks, anemia dan menurunnya kinerja sistem imun (WNPG 2004). Hasil review literatur menunjukan bahwa sebagian besar balita KEP mengalami defisiensi Fe dan Zn hal ini menunjukan kaitan erat ketiga masalah gizi tersebut.

Telah diketahui bersama besaran masalah gizi di Indonesia, dimana masalah gizi makro berupa KEP dapat memperbesar peluang terjadinya masalah gizi mikro seperti defisiensi mineral penting seperti Fe dan Zn, terutama terkait dengan salah satu fungsi protein sebagai alat pengangkut di dalam tubuh (Mahan dan Stump 2004), oleh karena itu perlu diupayakan suatu penanggulangan masalah KEP dan defisiensi mineral Fe dan Zn pada kelompok rentan yaitu anak.

Pendekatan yang bisa dilakukan dalam mengatasi dan mencegah masalah ini yaitu pembuatan suatu produk pangan yang memiliki kandungan protein tinggi dan dilengkapi fortifikasi mineral. Mannar (2002) menyatakan bahwa fortifikasi pangan merupakan upaya yang paling berhasil dalam

menanggulangi masalah defisiensi mikronutrien seperti Fe dan Zn di negara

berkembang. Kelebihan metode fortifikasi pangan, antara lain populasi sasarannya luas, tidak diperlukan sarana program khusus dalam pemberian, serta tingkat penerimaan dan tingkat kesinambungannya tinggi (Rossana 2009) (Arisman 2004).

(17)

tepung ikan gabus ini sebagai pangan pembawa fortifikan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan masalah KEP dan defisiensi Fe dan Zn.

Tujuan

Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mempelajari formulasi

cookies fungsional berbasis tepung ikan gabus (Channa striata) dengan fortifikasi mikrokapsul mineral Fe dan Zn.

Tujuan Khusus

1) Mempelajari formulasi cookies dengan menggunakan bahan baku tepung ikan.

2) Mengkaji persentase penerimaan panelis terhadap cookies berbasis tepung ikan gabus.

3) Mempelajari pembuatan mikrokapsul mineral Fe dan Zn.

4) Mempelajari pembuatan cookies dengan fortifikasi mikrokapsul Fe dan Zn 5) Mempelajari pengaruh fortifikasi mikrokapsul Fe dan Zn terhadap

penerimaan cookies

6) Mengetahui bioavailabilitas mineral Fe dan Zn pada produk cookies tepung ikan gabus dengan fortifikasi.

7) Menganalisis sifat fisik ( rendemen dan kerenyahan), sifat kimia ( kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat), kadar mineral Fe dan Zn, dan daya cerna protein.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi alternatif solusi dalam penanggulangan masalah gizi kurang atau gizi buruk pada balita. Selain itu dapat memberikan informasi kepada masyarakat dan industri pangan bahwa

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Ikan gabus (Channa stirata)

Ikan gabus (Channa stirata) adalah sejenis ikan buas yang hidup di air tawar. Ikan ini dikenal dengan banyak nama di berbagai daerah, seperti aruan, haruan, kocolan, dan sebagainya. Dalam bahasa Inggris disebut dengan berbagai nama common snakehead, snakehead murrel, chevron snakehead, striped snakehead dan juga aruan. Channa striata, merupakan jenis ikan perairan umum dengan habitat utama di muara-muara sungai, danau bahkan ikan ini dapat hidup dalam kondisi air kotor dan kekeringan karena memiliki alat pernapasan yang disebut labyrinth. Ikan gabus tersebar diseluruh Indonesia, terutama di perairan Kalimantan Selatan. Data tahun 2005 menunjukkan bahwa jumlah ikan gabus (Channa striata) yang tertangkap dari perairan Kalimantan Selatan setiap tahunnya semakin meningkat dari tahun 2000 sebanyak 40.432,2 ton menjadi 50.192,2 ton pada 2001 dan tahun 2002 sebanyak 50.167,5 ton (BPS Kalimantan Selatan 2005).

Menurut Khairuman & Amin (2003), ikan gabus terdiri dari berbagai jenis spesies yakni: (1) ikan gabus (Ophiocephalus striatus) dengan ciri utamanya punggung yang berwarna coklat dan dapat mencapai ukuran panjang tubuh maksimal 90 cm; (2) ikan kehung (Ophiocephalus melanoptus) cirri-ciri spesies ini adalah warna tubuh agak coklat kehitaman, bobot tubuhnya dapat mencapai 750 gram dan ukuran panjang tubuh maksimum adalah 65 cm; (3) ikan kerandang (Ophiocephalus pleurophtalmus) ciri spesies ini adalah warna tubuhnya agak kuning dan coklat kehitaman dengan perut warnanya agak putih. Bobot tubuh maksimal 0,5 kg panjang tubuh maksimal 40 cm; (4) Ikan unggui

(Ophicephalus bankanensis) dikenal di Palembang dan memiliki punggung berwarna coklat sementara perutnya warnanya lebih terang. Bobot maksimumnya adalah 1 kg per ekor dengan panjang 24 cm; (5) Spesies yang

terakhir adalah ikan toman (Ophicepalus micropeltes) banyak terdapat di Sumatera Utara, di Palembang dan di pulau Jawa ikan ini disebut dengan ikan

buhung atau tobang. Saat muda ikan ini berwarna merah namun jika sudah dewasa berganti warna hijau kebiruan dan bercampur ungu serta ikan jenis ini dapat mencapai 3 kg per ekor dengan panjang sekitar 64 cm.

Secara umum kondisi fisiologis ikan dari lima species ikan dari Ikan

(19)

gonad pada ikan gabus mencapai tingkat III-IV, ikan bujuk dan serandang mencapai tingkat IV. Jumlah telur ikan gabus antara 728-1.735 butir/g dengan berat antara 149-421,3 g. Habitat ikan gabus di Kabupaten Muba berupa hutan rawa, sedangkan di Kabupaten Muara Enim berupa tanaman air (graminea) dengan sedikit tumbuhan tingkat tinggi. Ikan serandang mempunyai habitat pada perairan air gambut yang berwarna hitam (Litbang 2010).

Tepung Ikan

Tepung ikan merupakan produk hasil olahan daging ikan yang berbentuk padat yang dihasilkan melalui proses pengeluaran sebagian besar kadar air dan seluruh atau sebagian dari kadar lemak daging ikan tersebut (Hutuely 2001). Tujuan pengurangan kadar air adalah untuk menghambat proses pembusukan sebab penurunan kadar air berkorelasi dengan aktivitas mikroba.

Prinsip dasar yang digunakan dalam pengolahan tepung ikan adalah pemasakan, pemisahan air dan lemak, pengeringan dan penggilingan (Trisnohardjokusumo 2001). Pada tahap pemasakan akan terjadi koagulasi protein yang menyebabkan air dan minyak mudah dikeluarkan dari bahan, apabila dalam proses perebusan terjadi ketidaksempurnaan seperti kurang matang ataupun terlalu matang maka proses pengeluaran air dan minyak akan menjadi lebih sulit. Setelah mengalami pemasakan ikan akan di press untuk mengeluarkan air dan minyak yang terkandung di dalamnya, pada tahap ini akan terjadi penurunan kadar air sekitar 50% dan penurunan kadar minyak sekitar 4–5%, apabila proses pengepresan tidak maksimal maka akan terjadi ketengikan dalam kurun waktu yang lebih cepat demikian juga dengan aktivitas mikroba yang akan menjadi lebih cepat. Pengeringan merupakan proses lanjutan untuk mengurangi kadar air padatan yang diperoleh pasca pengepresan, pada skala industri digunakan suhu mencapai 5000 C namun pemanasan pada suhu lebih dari 1000 C sudah dapat menguapkan air yang terkandung dalam padatan tersebut, pengeringan dilakukan hingga kadar air mencapai kisaran 6%-9%. Tahap akhir dari pembuatan tepung ikan adalah penggilingan merupakan proses penghalusan padatan yang diperoleh dari rangkaian proses sebelumnya, pada tahap inilah padatan akan berubah bentuk menjadi tepung (Trisnoharjono 2001).

(20)

bahan baku tepung tersebut. Namun adanya proses pengolahan menyebabkan adanya perubahan komposisi senyawa kimia (Hutuely 2001). Standar mutu tepung ikan telah ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional Indonesia, yang dapat dilihat dalam Tabel 1.

Tabel 1 Standar Nasional Indonesia tepung ikan

Parameter Mutu 1 Mutu 2 Mutu 3

Air 10 12 12

Protein kasar (%) min 65 55 45 serat kasar (%) min 1,5 2,5 3

Abu (%) maks 20 25 30

Lemak (%)maks 8 10 12

Ca (%) 2,5-5,0 2,5-6,0 2,5-.0

P (%) 1,6-3,2

NaCl (%) maks 2 3 5

Salmonella ( per 25 g sampel ) negatif negatif negatif Nilai minimum organoleptik 7 6 6

Sumber : Standar Nasional Indonesia (1992)

Cookies

Cookies merupakan kue kering yang manis dan memiliki ukuran yang kecil. Cookies dapat diklasifikasikan berdasarkan konsistensi adonannya, yaitu

press cookies dan bar cookies. SNI 01-2973-1992 menyatakan bahwa cookies

merupakan salah satu jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi, relatif renyah jika dipatahkan, dan penampang potongannya bertekstur padat (BSN 1992).

Berdasarkan ketetapan Badan Standarisasi Nasional (1992) SNI 01-2973-1992 cookies harus memenuhi syarat mutu. Syarat mutu cookies dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Syarat mutu cookies

Komponen Syarat Mutu Kadar air Maksimum 5% Kadar protein Minimum 9% Kadar lemak Minimum 9,5% Kadar karbohidrat Minimum 70% Kadar abu Maksimum 1,5% Logam berbahaya Negatif

Serat kasar Maksimum 0,5% Kalori per 100 g Minimum 400 Jenis tepung Terigu

Bau dan rasa Normal, tidak tengik Warna Normal

(21)

Komposisi utama dalam pembuatan cookies adalah gula, lemak telur dan tepung. Secara umum bahan penyusun cookies dapat dikelompokkan menjadi bahan pengikat yaitu tepung, air, susu, dan telur serta produk cokelat dan bahan pelembut meliputi gula, shortening, baking powder dan kuning telur (Annova 1989).

Terdapat beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam pembuatan

cookies seperti pada tahap pencampuran adonan, jumlah adonan, lama pengadonan, dan kecepatan pengadukan (Annova 1989). Sebelum pemasukan tepung sebaiknya dibentuk adonan berkonsistensi krim yaitu campuran lemak telur dan gula. Lama pemanggangan ideal adalah pada suhu 180-2500 C selama 16-20 menit (Manley 2001).

Fortifikasi Seng dan Besi

Fortifikasi pangan adalah penambahan zat gizi tertentu ke dalam bahan makanan tertentu, yang bertujuan untuk meningkatkan mutu gizi makanan (Rosanna 2009). Fortifikasi pangan merupakan metode yang umum digunakan sebagai upaya dalam menanggulangi masalah gizi, terutama zat gizi mikro. Amerika merupakan negara pertama yang melakukan fortifikasi, yaitu pada tahun 1920 dengan dikeluarkannya peraturan tentang fortifikasi garam dengan zat iodium (Rosanna 2009). Kelebihan metode fortifikasi pangan dalam mengatasi masalah gizi adalah populasi sasarannya luas, tidak diperlukan sarana program khusus dalam pemberian, serta tingkat penerimaan dan tingkat kesinambungannya tinggi (Rosanna 2009). Fortifikasi zat besi sendiri telah berhasil menurunkan prevalensi anemia defisiensi besi secara drastis di Swedia dan Eropa dengan menggunakan tepung sebagai bahan pangan pembawa. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan fortifikasi antara lain pemilihan pangan pembawa, bentuk fortifikan, penetapan dosis, stabilitas dan interaksi dalam pangan, bioavailabilitas fortifikan, absorpsi fortifikan dalam tubuh, pertimbangan toksisitas, biaya fortifikasi dan daya terima pangan yang difortifikasi serta monitoring dan evaluasi program fortifikasi tersebut (Muchtadi

et al 1995).

(22)

bersifat stabil terkait warna, rasa dan penampilannya setelah difortifikasi. Selain itu, harus dapat menahan dosis dari zat gizi yang ditambahkan setelah pangan mengalami proses lanjut ataupun saat dimasak tidak menimbulkan resiko keracunan bagi orang yang mengkonsumsinya (Fitriani 2001). Selain syarat-syarat tersebut Muchtadi et al (1995) menyatakan berdasarkan AMA/FNB (American Medical Association/Food and Nutrition Board ) syarat yang harus dipenuhi oleh zat gizi yang akan difortifikasikan adalah dapat dimanfaatkan tubuh secara maksimal oleh tubuh, penambahannya tidak mengganggu keseimbangan zat gizi esensial lainnya, harganya relatif murah , dan tidak terpengaruh inhibitor yang mungkin terdapat dalam bahan pangan pembawa. Variabel lain yang perlu diperhatikan adalah pangan pembawa hendaknya harus dapat dikonsumsi secara merata oleh kelompok sasaran (Mutchadi et al 1995).

Dalam melakukan fortifikasi Fe dan Zn terdapat sejumlah bentuk kimia dari mineral ini yang dapat digunakan sebagai fortifikan, seperti fero sulfat, fero fumarat, fero sakarat , seng sulfoksida, seng fumarat, seng sulfat, dan seng glukonat. Pemilihan bentuk senyawa dari mineral tersebut didasarkan pada beberapa pertimbangan, seperti bioavailabilitas, harga, keamananan, kelarutan, dan pengaruhnya terhadap organoleptik (Muchtadi et al 1995). Selain itu perlu dipertimbangkan interaksinya dengan zat gizi dan fortifikan lainnya . bioavailabilitas berbagai senyawa Fe dapat dilihat dalam Tabel 3

Tabel 3 Bioavailabilitas berbagai senyawa Fe

No Klasifikasi Senyawa besi Ketersediaan

tikus Manusia

1 Larut air Fero Sulfat 100 100

2 Larut air Fero Glukonat 97 89

3 Larut air Feri Amonium Sitrat 107 NA

4 Larut air Feri Amonium Sulfat 99 NA

5 Sedikit larut air Fero Suksinat 119 92

6 Sedikit larut air Fero Fumarat 95 100

7 Sedikit larut air Fero Sakarat 92 75

8 Tidak Larut air Feri Ortofosfat 6 - 46 31

9 Tidak larut air Fero Pirofosfat 45 39

10 Tidak larut air Besi Elemental 76 13 – 90

Sumber Mutchadi et al 1995

(23)

berdasarkan kriteria harga dan pengaruhnya terhadap penampakan maka Fero Sulfat merupakan bentuk senyawa kimia yang paling sesuai digunakan sebagai fortifikan terutama untuk produk olahan tepung seperti cookies, mie dan pasta. Senyawa Zn yang digunakan adalah Zn sulfat hal ini sesuai dengan pernyataan Herman et al 2002 yang menyatakan bahwa berdasarkan kelarutan dalam adonan dan penyerapannya Zn dalam bentuk senyawa Zn sulfat lebih baik digunakan sebagai fortifikan jika dibandingkan dengan bentuk senyawa Zn oksida, hal ini terkait juga dengan interaksinya dengan bentuk senyawa Fe yang digunakan. López de Romaña, Lönnerdal, dan Kenneth H Brown (2003) yang menyatakan bahwa Zn sulfat dapat digunakan dalam fortifikasi terhadap produk yang mengandung terigu dan aman untuk dikonsumsi oleh orang sehat. Fortifikasi Fe dan Zn akan dilakukan terhadap cookies dengan didahului dengan mikrokapsulasii untuk meminimalisir dampak fortifikan terhadap mutu organoleptik pangan pembawa fortifikan.

Kebutuhan dan peranan protein, Fe dan Zn pada anak

Protein merupakan salah satu dari beberapa zat gizi makro yang dibutuhkan oleh manusia terutama anak untuk dapat bertahan hidup, hal ini terkait dengan sejumlah fungsi protein di dalam tubuh, protein merupakan komponen struktural dan fungsional dalam tubuh. Almatsier 2006 menyatakan bahwa semua enzim, zat pembawa, hormon, dan matriks ekstraselular tersusun atas protein, selain itu protein juga berperan dalam sistem pertahanan tubuh (immunoglobulin dan fibrinogen). Terkait dengan fungsinya sebagai komponen struktural dan fungsional maka pada periode anak kebutuhan protein hendaknya terpenuhi dengan baik, sebab pada tahap anak akan terjadi pertumbuhan fase cepat (Arisman 2004). Kekurangan zat gizi menyebabkan keterlambatan pertumbuhan yang dapat bersifat permanen hingga kematian (Manan 2004). Apabila terjadi kekurangan asupan protein dan hal ini berkepanjangan maka akan timbul masalah gizi berupa KEP yang akan bermanifestasi terhadap munculnya penyakit infeksi (Arisman 2004).

(24)

detoksifikasi toksik di hati (Murray 2009). Defisiensi dari mineral ini dapat bermanifestasi pada anemia gizi besi. Seperti halnya Fe, Zn juga memiliki peranan yang vital di dalam tubuh. Beberapa aktivitas vital tubuh seperti respon imun, fungsi neurologi, sintesis DNA dan RNA, pembentukan jaringan mata, intergritas fungsi lambung dan pembentukan sel darah putih dan reproduksi memerlukan Zn di dalam prosesnya. Defisiensi mineral ini dapat menyebabkan kekurangan mineral Pb, hambatan perumbuhan, hambatan perkembangan, hambatan, kematangan seks, kurangnya nafsu makan, rendahnya daya tahan tubuh, dan gangguan sistem syaraf (WNPG 2004)

Formulasi suatu bahan pangan hendaknya memperhatikan kebutuhan zat gizi pada kelompok target, hal ini untuk mencegah terjadinya masalah gizi. Di Indonesia sendiri dalam standarisasi penentuan kebutuhan zat gizi mengacu pada WNPG, dalam hal ini digunakan WNPG 2004. Angka kecukupan zat gizi untuk kelompok anak dapat dilihat dalam Tabel 4.

Tabel 4 Angka kecukupan zat gizi rata-rata yang dianjurkan untuk bayi dan anak balita (per orang per hari)

Balita (per orang per hari)

0 – 6 bulan 7–11 bulan 1–3 tahun 4–6 tahun

Berat Badan (kg) 6.0 8.5 12 18

Tinggi badan (cm) 60 71 90 18

Enegi (kkal) 550 650 1000 1550

Protein (g) 10 16 25 39

Vitamin A (RE,µg) 375 400 400 450

Tiamin (mg) 0.2 0.4 0.5 0.8

Riboflavin (mg) 0.3 0.4 0.5 0.6

Piridoksin (mg) 0.1 0.3 0.5 0.6

Niacin (mg) 2 4 6 8

Vitamin B12 (mg) 0.4 0.5 0.9 1.2

Asam Folat (mg) 65 80 150 200

Vitamin C (mg) 40 50 40 45

Kalsium (mg) 200 400 500 500

Fosfor (mg) 100 225 400 400

Besi (mg) 0.3 10 7 9

Seng (mg) 5.5 7.5 8.2 9.7

Iodium (µg) 90 120 90 120

(25)

Wuehler et al (2008) menyatakan dosis suplementasi Zn pada anak usia pra sekolah sebesar 3 mg/hari memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan kadar Zn plasma dan menurunkan angka diare dan penyakit infeksi pada kelompok usia ini. Angka toksisitas Zn dikhawatirkan adalah pada tingkat suplementasi 23 mg/hari (Wuehler et al 2008).

Mikrokapsulasi

Mikrokapsulasi adalah suatu proses penyalutan bahan-bahan inti yang berbentuk cair atau padat dengan menggunakan suatu bahan penyalut khusus yang membuat partikel-partikel inti mempunyai sifat fisika dan kimia seperti yang dikehendaki. Bahan penyalut yang berfungsi sebagai dinding pembungkus bahan inti tersebut dirancang untuk melindungi bahan-bahan terbungkus dari faktor-faktor yang dapat menurunkan kualitas bahan tersebut (Rossana 2009).

Zat aktif yang terkurung di dalam mikrokapsul disebut inti atau core, dimana inti ini dapat berwujud padat atau cair dengan sifat permukaan hidrofilik atau hidrofobik, sedangkan dinding penyalut mikrokapsul disebut skin atau

shell, atau film pelindung. Zlotkin et al (2001) menyatakan bahwa proses mikrokapsulasi bahan-bahan inti tersebut dibungkus oleh dinding polimer tipis. Proses mikrokapsulasi umumnya bertujuan untuk menghasilkan partikel-partikel padatan yang telah dilapisi oleh bahan penyalut tertentu.

Terminologi mikrokapsulasi kadang-kadang dipakai untuk menggantikan istilah enkapsulasi yang berarti proses atau mekanisme perlindungan atau penyelaputan. Kedua terminologi tersebut menunjukkan mekanisme penyelaputan material inti (core) dengan suatu dinding. Dikatakan sebagai mikrokapsulasi karena bentuknya yang kecil, yang berukuran kurang dari atau sama dengan 100 mikron Pada umumnya mikrokapsul mempunyai ukuran antara 5 sampai 200 mikrometer (Desai KGh dan Park 2005).

Industri makanan menerapkan teknik enkapsulasi ini dengan berbagai alasan yaitu untuk menjaga kestabilan dari bahan inti. Mikrokapsul merupakan “food processor” yang berarti mikrokapsul digunakan untuk melindungi komponen-komponen yang sensitif (mudah menguap), melindungi flavor dan aromanya, dan mengubah bahan berbentuk cairan menjadi padatan dengan tujuan mempermudahpenanganannya (Fitriani 2001).

Proses enkapsulasi yang telah dikembangkan saat ini sangat banyak, antara lain metode spray drying, penyelaputan dengan suspensi udara, extrusion

(26)

Pada pembuatan mikrokapsulasi biasanya digunakan anticaking agent

yang bertujuan untuk mencegah penggumpalan pada padatan (produk) yang dihasilkan oleh proses. Anticaking agent adalah padatan berbentuk bubuk atau kristal yang ditambahkan ke dalam produk pangan bubuk yang bersifat higroskopis menghambat kecenderungan untuk menggumpal. Anticaking agent

ini umumnya merupakan bahan kimia yang bersifat inert dan sebagian besar tidak larut dalam air, tetapi mempunyai kemampuan yang tinggi untuk menyerap uap air. Konsentrasi efektif dari anticaking agent umumnya maksimum sebesar 2%. Penambahan dilakukan dengan pencampuran ke dalam produk yang sudah berbentuk bubuk (Yudha 2008).

Anticaking yang efektif adalah yang mampu melekat pada produk bubuk dan mempengaruhi sifat permukaannya. Pola pelekatan dari anticaking

(27)

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2012 hingga Mei 2012 bertempat di Laboratorium Analisis makanan, Laboratorium pengolahan pangan, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium proses Balai Besar Industri Agro (BBIA) Bogor . Analisis fisik dilakukan di Laboratorium pengolahan pangan, analisis kimia akan dilakukan di Laboratorium Analisis makanan, Departemen Gizi Masyarakat. Uji organoleptik dilakukan di Laboratorium Organoleptik, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan bahan

Bahan yang digunakan dalam membuat mikrokapsul Fe dan Zn adalah senyawa besi berupa fero sulfat dan senyawa seng berupa seng sulfat yang dapat diperoleh di toko bahan kimia di sekitar kota Bogor, penyalut yang digunakan merupakan campuran gum arab dan maltodekstrin yang dapat diperoleh di toko bahan kimia. Pembuatan cookies fungsional menggunakan bahan-bahan dasar pembuatan cookies yang dapat diperoleh di pasar tradisional sedangkan bahan baku pembuatan berupa tepung ikan diperoleh melalui proses penepungan ikan gabus segar yang dilakukan di Laboratorium Universitas Lambung Mangkurat di Banjarbaru Kalimantan Selatan. Bahan-bahan yang digunakan dalam rangkaian proses analisis kimia antara lain asam sulfat, asam klorida, dan asam nitrat yang dapat diperoleh di laboratorium analisis pangan, Departemen Gizi Masyarakat.

(28)

Prosedur

Penelitian ini terdiri atas beberapa tahapan, yaitu : (1) formulasi cookies

dengan subtitusi tepung ikan, (2) uji organoleptik 1, (3) mikrokapsulasi Fe dan Zn, (3) pembuatan cookies dengan subtitusi tepung ikan dan fortifikasi dengan Fe dan Zn, (4) uji organoleptik 2, (5) uji bioavailabilitas mineral Fe dan Zn (6) analisis sifat fisik dan kimia cookies terpilih. Secara umum rangkaian penelitian ini berlangsung seperti yang disajikan dalam Gambar 1.

Formulasi cookies

Organoleptik 1

Formula terpilih

Pembuatan mikrokapsul, Metode spray dryer

Fortifikasi mikrokapsul Fe dan Zn pada formula terpilih

0 % AKG 25 % AKG 50 % AKG 100 % AKG

Pembuatan cookies

Organoleptik 2

Uji bioavailabilitas mineral Fe dan Zn

Formula terpilih 2

Analisis sifat fisik, sifat kimia

(29)

Formulasi cookies

Formulasi cookies dalam penelitian ini menggunakan formula Dewi (2011) sebagai formula dasar. Formula dasar ini selanjutnya dimodifikasi dengan resep

cookies yang disubtitusi terigunya dengan tepung ikan. Modifikasi yang dilakukan meliputi penambahan gula halus, keju, cokelat bubuk, maizena, mentega dan margarin. Formula Dewi (2011) dapat dlihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Formula Dewi (2011)

BAHAN JUMLAH (g)

F0* F1* F2* F3*

Pati Garut 125 125 125 125 Tepung

Torbangun

0 12,5 18,75 25

Susu skim 30 30 30 30 Gula halus 40 40 40 40

Mentega 30 30 30 30

Margarine 30 30 30 30

Telur 18 18 18 18

Berat Total 273 285,5 291,75 298

Taraf subtitusi tepung ikan 0 %, 10 %, 15 % dan 20 % dari total adonan. Formula yang digunakan adalah Modifikasi Formula Dewi (2012). Formula yang digunakan dalam pembuatan cookies ini dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Formula cookies tepung ikan gabus

BAHAN JUMLAH (g)

F0* F1* F2* F3*

Terigu 250 183,65 150,48 117,3 Tepung ikan 0 66,35 99,53 132,7 Susu skim 25 25 25 25 Gula halus 112,5 112,5 112,5 112,5 Maizena 25 25 25 25 Cokelat

bubuk

25 25 25 25

Keju 25 25 25 25

Mentega 100 100 100 100 Margarine 50 50 50 50

Telur 50 50 50 50

Maltodekstrin 1 1 1 1

Berat Total 663,5 663,5 663,5 663,5

(30)

Pembuatan cookies dilakukan dengan mengacu pada Dewi (2011) dengan dimodifikasi. Proses ini diawali dengan pengocokan telur, margarine dan mentega menggunakan mixer hingga tercampur rata, ditambahkan gula halus kemudian di kocok kembali hingga adonan memucat. Setelah itu, ditambahkan keju dan cokelat bubuk kemudian dikocok lagi. Bahan-bahan berupa tepung seperti tepung ikan, tepung terigu, maizena, dan tepung susu skim dicampurkan hingga rata di tempat yang terpisah. Selanjutnya, campuran tersebut dimasukkan ke dalam adonan cream dan dicampur hingga kalis kemudian ditambahkan maltodekstrin. Adonan dimasukan ke dalam cookies presser dan di cetak dengan panjang kurang lebih 5 cm. Selanjutnya, adonan dipanggang pada suhu 150°C selama 45 menit hingga mencapai warna coklat. Tahapan pembuatan cookies ini dapat dilihat pada Gambar 2 .

Gambar 2 Diagram alir pembuatan cookies tepung ikan modifikasi Dewi (2011). Telur, margarine dan mentega dikocok

menggunakan mixer hingga homogen,

Ditambahkan gula halus kemudian di kocok

Ditambahkan keju dan cokelat bubuk kemudian dikocok

Diaduk hingga kalis tanpa menggunakan mixer

dan diberi sedikit maltodekstrin

Dicetak dengan cetakan cookies press

Dipanggang di oven, T=150°C, t=45’

Cookies Fungsional

Bahan kering (Terigu, Tepung ikan, maizena, susu skim) dicampur

(31)

Selanjutnya dilakukan uji organoleptik awal terhadap produk cookies yang dihasilkan. Uji hedonik dilakukan oleh 30 orang panelis semi terlatih. Skala penilaian untuk uji hedonik adalah skala 1 untuk menyatakan sangat tidak suka, skala 2 menyatakan tidak suka, skala 3 menyatakan biasa, skala 4 menyatakan suka, dan skala 5 menyatakan sangat suka. Lembar uji organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 1. Uji organoleptik ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan formula cookies yang paling disukai, sehingga formula tersebut akan digunakan sebagai pembawa fortifikan mikrokapsul mineral.

Mikrokapsulasi Fe dan Zn dengan spray drying

Mikrokapsulasi mineral dilakukan dengan metode spray drying

(Purnamasari 2009) yang telah dimodifikasi. Modifikasi yang dilakukan adalah pencampuran mineral dengan penyalut dilakukan pada tahap awal. Komposisi penyalut untuk mikrokapsul mineral ini adalah gum arab dan maltodekstrin dengan perbandingan gum arab : maltodekstrin adalah 70 : 30 untuk Fe dan 80: 20 untuk Zn (Kustiyah et al 2010). Mineral yang digunakan sebagai inti mikrokapsul ini adalah fero sulfat (FeSo4) dan seng sulfat (ZnSo4). Konsentrasi mineral terhadap total penyalut adalah 7,5 % (Kustiyah et al 2010). Mikrokapsulasi Fe dan Zn dilakukan menggunakan metode kapsulasi yang sama.

Mikrokapsulasi dengan teknik spray drying memiliki tiga tahapan utama, yaitu persiapan emulsi, homogenisasi dispersi, dan atomisasi (Desai dan Park 2005). Proses pembuatan mikrokapsul dengan metode spray drying dapat dilihat secara lebih rinci pada Gambar 3.

Pencampuran bahan penyalut dengan mineral

Dilarutkan dalam akuades hingga konsentrasi padatan 10 %

Dihomogenisasi T = 5 – 10 menit

Pengeringan (spray drying)

Mikrokapsul mineral

(32)

Pembuatan cookies fungsional berbahan tepung ikan gabus dengan fortifikasi mikrokapsul Fe dan Zn

Pada tahap ini dibuat cookies fungsional dengan bahan dasar tepung ikan gabus dengan fortifikasi mikrokapsul Fe dan Zn pada beberapa taraf fortifikasi, yaitu 0%, 25%, 50%, dan 100% AKG balita 4-5 tahun. Cookies akan dibuat dengan menggunakan formula yang terpilih pada uji organoleptik awal dengan prosedur pembuatan yang sama.

Uji penerimaan formula cookies fortifikasi dilakukan dengan melakukan uji hedonik dan uji mutu hedonik. Uji organoleptik ini dilakukan dengan menggunakan panelis semi terlatih sebanyak 30 orang. Skala penilaian 1 – 5. Tingkat penerimaan panelis terhadap cookies ditentukan berdasarkan jumlah panelis yang memilih skala 3, 4 dan 5 pada form organoleptik (Lampiran 2). Uji bioavailabilitas mineral Fe dan Zn pada cookies

Uji bioavailabilitas Fe dan Zn dilakukan untuk melihat persentase mineral dalam cookies yang dapat diserap oleh tubuh. Uji ini dilakukan pada cookies

yang mengandung tepung ikan dan mikrokapsul mineral. Uji bioavaibilitas dilakukan secara in vitro. Metode yang digunakan adalah metode kantong dialysis (Roig et al 1998, dalam Rimbawan 2008). Nilai bioavailabilitas mineral

cookies menjadi salah satu pertimbangan penentuan formula terpilih. Analisis sifat fisik dan sifat kimia cookies terpilih

Sifat fisik yang dianalisis adalah rendemen, dan tekstur. Prosedur analisis secara jelas disajikan dalam Lampiran 3.

Analisis sifat kimia cookies meliputi proximat, kadar mineral dan daya cerna protein. Analisis proximat yang dilakukan terhadap cookies meliputi analisis kadar air dengan metode oven vakum (AOAC 1984), analisis kadar protein dengan metode Kjedahl, analisis kadar lemak dengan metode soxhlet, dan analisis kadar abu dengan menggunakan metode pengabuan kering. Adapun kadar karbohidrat ditentukan dengan metode by difference.

Analisis kadar mineral yang dilakukan terhadap cookies tersebut adalah analisis kadar Fe dan Zn dengan menggunakan metode AAS (Sudjana et al

1986, dalam Sulaeman et al 1995).

(33)

penentuan daya cerna yang didasarkan pada perubahan pH suspensi setelah penambahan enzim. Larutan multienzim yang digunakan terdiri dari campuran 1.6 mg tripsin, 3.1 mg kimotripsin, dan 1.3 mg peptidase per ml akuades. Daya cerna protein ditentukan dengan menggunakan perhitungan seperti berikut:

Y = 210.464 – 18.103x (6.1) Keterangan : Y = daya cerna protein

x = pH pada menit ke-10 Rancangan Percobaan

Secara garis besar penelitian ini terdiri atas dua tahapan yaitu formulasi

cookies dan fortifikasi mikrokapsul mineral pada cookies. Unit percobaan yang diamati adalah cookies. Pada tahap awal unit percobaan ini menerima perlakuan berupa perbedaan taraf subtitusi tepung ikan gabus terhadap tepung terigu, yaitu 0 %, 10%, 15%, dan 20% dari total adonan. Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua kali ulangan. Model matematis adalah sebagai berikut:

Yij = µ + σi+ εij Keterangan:

Yij = Hasil pengamatan perlakuan ke-i pada ulangan ke-j µ = Nilai tengah umum

σi = Pengaruh perlakuan tingkat subtitusi tepung ikan terhadap tepung terigu εij = Galat percobaan dalam kombinasi perlakuan ke-i pada ulangan ke-j i = Perlakuan yang diberikan, yaitu taraf subtitusi tepung ikan

j = Ulangan dari masing-masing perlakuan

Tahap selanjutnya adalah melakukan fortifikasi Fe dan Zn terhadap

cookies. Perlakuan ini terdiri atas empat taraf yaitu penambahan mikrokapsul Fe dan Zn hingga mencapai 25 % AKG, 50 % AKG, dan 100 % AKG balita. Pada tahap ini digunakan rancangan percobaan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua kali ulangan, dengan model matermatis rancangan percobaan adalah sebagai berikut:

Yij = µ + σi+ εij Keterangan:

Yij = Hasil pengamatan perlakuan ke-i pada ulangan ke-j µ = Nilai tengah umum

(34)

εij = Galat percobaan dalam kombinasi perlakuan ke-i pada ulangan ke-j i = Perlakuan yang diberikan, yaitu taraf fortifikasi mikrokapsul Fe dan Zn. j = Ulangan dari masing-masing perlakuan

Pengolahan dan Analisis Data

(35)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Cookies Fungsional Berbasis Tepung Ikan Gabus

Cookies dalam penelitian ini ditujukan untuk balita dengan usia 4-5 tahun. Data Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa persentase anak dengan konsumsi energi dan protein kurang dari 70% AKG adalah 33,4%, sekitar 24,8% diantaranya pada kelompok umur 4-6 tahun yang mengkonsumsi protein di bawah kebutuhan minimal dari total anak Indonesia. Oleh karena itu cookies

yang dihasilkan dalam penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai alternatif makanan tambahan untuk mengatasi kekurangan gizi.

Formulasi Cookies

Bahan yang digunakan dalam pembuatan cookies adalah terigu, susu skim, gula, maizena, cokelat bubuk, keju, mentega, margarin, dan telur. Komposisi utama dalam pembuatan cookies adalah gula, lemak, telur dan tepung. Secara umum bahan penyusun cookies dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu bahan pengikat dan bahan pelembut. Bahan pengikat meliputi tepung, air, susu dan telur serta produk cokelat, sedangkan bahan pelembut meliputi gula,

shortening, baking powder dan kuning telur (Annova 1989).

Formulasi cookies tepung ikan gabus didasarkan pada kecukupan energi dan protein kelompok sasaran, yaitu balita berusia 4–5 tahun, adapun angka kecukupan tersebut adalah 1550 kkal energi dan 39 gram protein. Cookies

tepung ikan gabus merupakan makanan tambahan yang diharapkan dapat membantu memenuhi kecukupan energi dan protein. Almatsier (2008) menyatakan bahwa kecukupan energi dan protein yang diperoleh dari makanan tambahan/selingan adalah pada kisaran 20–25% dari total kebutuhan energi. Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (2004) terkait Acuan Label Gizi (ALG) menyatakan bahwa suatu bahan pangan dapat diklaim kaya akan suatu zat gizi apabila pangan tersebut mengandung paling sedikit 20% acuan label gizi dalam setiap ukuran saji. Acuan label gizi protein untuk makanan balita 4-5 tahun adalah sesuai dengan AKG protein balita 4–5 tahun, yaitu 39 gram (WNPG 2004). Cookies tepung ikan gabus dicanangkan sebagai cookies kaya protein dan dapat menjadi pangan potensial sumber protein untuk balita, oleh karena itu

(36)

Formulasi cookies dilakukan pada beberapa taraf perlakuan, yaitu 0%, 10%, 15% , dan 20% tepung ikan terhadap total berat adonan. Penambahan sejumlah tepung ikan berdasarkan persentasenya terhadap total adonan. Satu resep cookies fungsional memiliki berat total adonan 663, 5 gram, oleh sebab itu jumlah tepung ikan yang ditambahkan untuk setiap taraf adalah 0 gram untuk F0, 66,35 gram untuk F1, 99,53 gram untuk F2, dan 132,70 gram untuk F3. Jumlah tepung ikan ini akan mengsubtitusi penggunaan terigu, sehingga jumlah tepung terigu aktual yang digunakan ditentukan berdasarkan selisih dari jumlah total tepung terigu yang dibutuhkan untuk satu resep dengan jumlah tepung ikan yang ditambahkan. Pemilihan taraf perlakuan penambahan tepung ikan didasarkan atas pertimbangan estimasi nilai gizi dan perkiraan penerimaan panelis.

Sumber protein dalam formulasi cookies ini adalah tepung ikan gabus. Penambahan tepung ikan gabus diharapkan dapat meningkatkan kandungan protein dari cookies yang dihasilkan. Estimasi kandungan protein cookies tepung ikan gabus dapat dilihat pada Tabel 7. Estimasi kandungan zat gizi secara keseluruhan cookies tepung ikan gabus dapat dilihat pada Lampiran 5.

Tabel 7 Estimasi kandungan protein

cookies ikan gabus

Zat gizi Formula

F0 F1 F2 F3

Protein (g/ss) 4,24 8,22 10,2 12,2

Ket : F0 = 0% tepung ikan, F1 = 10% tepung ikan, F2 = 15 % tepung ikan, dan F3 = 20 % tepung ikan *g/ss = gram/ serving size (50 g).

Perhitungan estimasi kandungan protein cookies pada setiap formula dilakukan dengan menggunakan data kandungan zat gizi dalam Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) untuk bahan berupa terigu, susu skim, gula, maizena, cokelat bubuk, keju, mentega, margarin, dan telur (Depkes 1981). Kandungan zat gizi tepung ikan didasarkan atas hasil analisis sifat kimia (protein, lemak, abu dan air) dan penentuan kadar karbohidrat dilakukan by difference. Berdasarkan hasil analisis sifat kimia tepung ikan gabus diketahui bahwa kandungan zat gizi dalam 100 gram tepung ikan (bk) antara lain abu 5,96 g, protein 76,9 g, lemak 0,55 g, karbohidrat 3,53 g, Fe 4,43 mg, Zn 3,09 mg, dan air 13,61 g (bb).

(37)

penelitian, hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan harapan. Cookies yang dihasilkan dari formula ini memiliki tekstur yang keras, rasa pahit dan aroma amis yang tajam. Karakter cookies yang dihasilkan dari formula ini menyebabkan

cookies menjadi tidak menarik. Oleh karena itu dilakukan modifikasi formula lebih lanjut untuk menghasilkan cookies yang memiliki karakteristik yang baik sehingga sesuai dengan kriteria sebagai pangan pembawa zat gizi fortifikasi (fortifikan). Berdasarkan proses trial and error yang dilakukan maka diperoleh formula

cookies hasil modifikasi yang memberikan hasil paling maksimal. Formula

cookies hasil modifikasidapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Formula cookies hasil modifikasi

Bahan

Jumlah

F0 F1 F2 F3

Terigu (g) 250 183,65 150,48 117,3 Tepung ikan (g) 0 66,35 99,53 132,70

Susu Skim (g) 25 25 25 25

Gula halus(g) 112,5 112,5 112,5 112,5

Maizena (g) 25 25 25 25

Cokelat bubuk (g) 12,5 12,5 12,5 12,5 Keju (g) 37,5 37,5 37,5 37,5 Mentega (g) 125 125 125 125

Margarin (g) 25 25 25 25

Telur (g) 50 50 50 50

Maltodekstrin (g) 1 1 1 1

Total 663,5 663,5 663,5 663,5

Ket : F0 = 0% tepung ikan, F1 = 10% tepung ikan, F2 = 15% tepung ikan, dan F3 = 20 % tepung ikan

(38)

biskuit. Pada formula awal proporsi mentega adalah, 66,5% dan margarin 33,5% dari total lemak. Total lemak yang ditambahkan ke dalam adalah 150 gram. Proporsi mentega terhadap margarin pada formula hasil modifikasi, adalah 83,5% dan margarin 16,5%. Penambahan mentega juga memberikan aroma yang kuat pada cookies (Mervina 2009) sehingga penambahan mentega ini juga dapat mengurangi aroma amis yang terdapat pada cookies berbasis tepung ikan gabus.

Modifikasi lain yang dilakukan adalah perubahan proporsi kuning telur dan putih telur dalam total telur yang ditambahkan. Pada tahap awal perbandingan kuning telur terhadap putih telur adalah 50:50, setelah dimodifikasi menjadi 75:25. Hal ini disebabkan karena kuning telur berperan sebagai emulsifier dan merupakan salah satu sumber lemak dalam adonan cookies.

Penambahan proporsi kuning telur dalam total telur yang ditambahkan bertujuan untuk meningkatkan kerenyahan tekstur cookies yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Annova (1989) bahwa kuning telur merupakan bahan

cookies yang berperan melembutkan dan merenyahkan cookies. Mervina (2009) menyatakan bahwa penambahan kuning telur ditujukan untuk melembutkan biskuit tepung ikan.

Pengurangan jumlah cokelat bubuk yang digunakan merupakan salah satu modifikasi formula awal yang bertujuan untuk mengurangi rasa pahit yang terdapat pada cookies. Selain itu, pengurangan penggunaan cokelat bubuk dapat membantu mengurangi tekstur keras yang terdapat pada cookies yang dihasilkan. Annova (1989) menyatakan bahwa cokelat merupakan bahan cookies

yang berperan sebagai penguat adonan, sehingga penambahan cokelat yang berlebihan dapat menyebabkan tekstur cookies yang keras. Penggunaan keju pada formula hasil modifikasi lebih banyak dari pada formula awal, hal ini bertujuan untuk meningkatkan cita rasa dari cookies yang dihasilkan dan dapat memperbaiki penerimaan cookies tepung ikan gabus. Formula cookies hasil modifikasi mengalami penambahan maltodekstrin sebanyak ¼ sendok teh (1 gram). Penambahan ini bertujuan untuk meningkatkan kerenyahan dan mengurangi aroma amis pada cookies.

Proses pembuatan cookies secara umum terbagi atas tiga tahapan, yaitu

(39)

Bahan-bahan berupa tepung seperti tepung ikan, tepung terigu, maizena, dan tepung susu skim dicampurkan hingga rata di tempat yang terpisah. Selanjutnya, campuran tersebut dimasukkan ke dalam adonan dan diadon hingga kalis kemudian ditambahkan ¼ sendok teh maltodekstrin. Hal yang perlu diperhatikan pada proses pencampuran (mixing) adalah durasi. Proses mixing yang terlalu lama akan menyebabkan cookies yang dihasilkan bertekstur keras. Manley (2001) menyatakan bahwa pengocokan bahan yang terlalu lama dapat menyebabkan pembentukan matriks gluten sehingga cookies yang dihasilkan akan memiliki tekstur yang keras. Terdapat beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam pembuatan cookies, antara lain tahap pencampuran adonan, jumlah adonan, lama pengadonan, dan kecepatan pengadukan (Annova 1989). Sebelum pemasukkan bahan-bahan berupa tepung sebaiknya dibentuk adonan berkonsistensi krim dari campuran lemak, telur, dan gula.

Tahap kedua dalam pembuatan cookies adalah pencetakan. Adonan dimasukkan ke dalam cookies presser dan di cetak dengan panjang kurang lebih 5 cm. Manly (1998) menyatakan bahwa prinsip dasar dari pencetakan adalah pemberian tekanan pada adonan sehingga adonan memiliki bentuk yang sesuai dengan cetakannya.

Tahap akhir dari proses pembuatan cookies adalah pemanggangan adonan yang telah dibentuk dengan menggunakan cetakan. Pemanggangan dilakukan dengan menggunakan oven konvensional. Adonan dipanggang pada suhu 150°C selama 45 menit hingga mencapai warna cokelat dan kering. Manley (2001) menyatakan bahwa proses pemanggangan menyebabkan perubahan pada adonan cookies meliputi tekstur, warna permukaan, ukuran, dan penurunan kadar air. Salah satu perubahan yang terjadi selama proses pemangganagan adalah mengembangnya adonan. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengembangan adonan antara lain ukuran partikel tepung, ukuran partikel gula, pengadukan, dan penggunaan pelumas pada loyang. Penggunaan pelumas yang berlebihan menyebabkan suhu tidak optimum untuk pengembangan adonan, selain itu jumlah pelumas yang berlebih dapat menyebabkan cookies

tergoreng.

Hasil Uji Organoleptik Cookies

(40)

Formula yang diuji penerimaannya adalah F0 (tanpa tepung ikan), F1 (10% tepung ikan), F2 (15% tepung ikan), F3 (20% tepung ikan). Berdasarkan hasil uji hedonik maka diketahui modus nilai tingkat kesukaan panelis untuk setiap formula cookies. Nilai modus kesukaan panelis dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Nilai modus dan persentase panelis

Karakteristik

Modus

F0 F1 F2 F3

Warna 1 4 (73,34%) 4 (53,34%) 4 (56,67%) 4 (60%) 2 4(73,34%) 4(50%) 4(60%) 4(50%) x 4(73,34%) 4(51,67%) 4(58,34%) 4(55%) Aroma 1 4(56,67%) 2(53,34%) 2 43,34%) 2(36,67%)

2 4(46,67%) 3(40%) 3(40%) 3(46,67%) x 4(51,67%) 2(36,67%) 2(41,67%) 3(41,67%) Rasa 1 4(56,67%) 2(66,67%) 2(50%) 2(46,67%) 2 4(36,67%) 2(30%) 3(46,67%) 3(46,67%) x 4(46,67%) 2(48,34%) 2(40%) 2(36,67%) Tekstur 1 4(43,34% 3(36,67%) 3(40%) 3(40%))

2 4(43,34%) 4(30%) 3(36,67%) 3(33,34%) x 4(43,34%) 4(35%) 3(38,33%) 3(36,67%) Keseluruhan 1 4(70%) 2(46,66%) 2(43,33%) 2(46%)

2 4(30%) 3(43,33%) 3(43,33%) 3(40%) x 4(55%) 3(38,34%) 3(40%) 2(38,33%)

Ket : F0 = 0% tepung ikan, F1 = 10% tepung ikan, F2 = 15% tepung ikan, dan F3 = 20% tepung ikan. Angka di dalam kurung menyatakan persentase panelis.

Berdasarkan karakteristik warna, modus penilaian panelis pada kedua ulangan berada pada nilai 4 (suka) untuk semua formula. Modus penilaian panelis untuk aroma cookies F0 berada pada nilai 4 (suka) untuk kedua ulangan. Modus penilaian panelis terhadap F1, F2, dan F3 adalah 2 (tidak suka) untuk ulangan pertama dan 3 (biasa) untuk ulangan kedua. Secara keseluruhan modus penilaian terhadap aroma adalah 4 untuk F0, 2 untuk F2, 2 untuk F3, dan 3 untuk F4.

Berdasarkan karakteristik rasa, F0 memiiki modus penilaian panelis 4 (suka) untuk kedua ulangan. F1, F2, dan F3 adalah 2 (tidak suka) untuk ulangan pertama dan 3 (biasa) untuk ulangan kedua. Secara keseluruhan modus penilaian panelis terhadap rasa cookies adalah 4 untuk F0, 2 untuk F1, 2 untuk F2, dan 2 untuk F3.

(41)

Berdasarkan keseluruhan cookies modus penilaian panelis untuk formula 0 adalah 4 untuk kedua ulangan, sedangkan untuk formula 1, 2, dan 3 adalah 2 (tidak suka) dan nilai 3 (biasa) untuk ulangan kedua. Secara keseluruhan untuk karakter cookies secara menyeluruh penilaian panelis 4 untuk F0, 3 untuk F1, 3 untuk F2, dan 2 untuk F3.

Persentase penerimaan panelis merupakan perbandingan jumlah panelis yang memilih skala 3 (biasa), 4 (suka), dan 5 (sangat suka) terhadap total panelis. Persentase penerimaan panelis terhadap cookies tepung ikan gabus dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Persentase penerimaan panelis terhadap produk cookies tepung ikan gabus

Atribut uji

Formula

F0 F1 F2 F3

Persentase (%)

Warna 100ª 95ª 93,33ª 96,67ª Aroma 98,33ª 60ª 58,33ª 63,33ª Tekstur 90ª 70b 73,33c 65 d Rasa 96,67ª 45ª 58,33ª 56,67ª Keseluruhan 100ª 68,33ª 63,33ª 56,67ª

Ket : F0 = 0% tepung ikan, F1 = 10% tepung ikan, F2 = 15% tepung ikan, dan F3 = 20% tepung ikan. Angka dengan superscript sama dalam satu lajur menunjukkan tidak

ada perbedaan nyata.

Terdapat sejumlah atribut uji yang dinilai oleh panelis dalam uji hedonik. Atribut yang dinilai, meliputi warna, aroma, rasa, tekstur dan keseluruhan. Warna menentukan kesan pertama terhadap produk cookies, sehingga warna mempengaruhi penerimaan panelis terhadap produk. Bahan yang digunakan dalam pembuatan mempengaruhi warna cookies (Mervina 2009). Warna cookies

tepung ikan gabus adalah cokelat tua, dengan tingkat kecokelatan dipengaruhi oleh penambahan tepung ikan gabus. Semakin tinggi tingkat subtitusi semakit gelap warna cookies yang dihasilkan. Secara umum persentase penerimaan panelis terhadap warna cookies relatif sama, yaitu pada kisaran 93,3% - 100%. Warna cookies yang paling rendah persentase penerimaannya adalah F2 (15%) dengan persentase penerimaan 93,33%, sedangkan cookies dengan subtitusi tepung ikan yang paling tinggi persentase penerimaannya adalah F3 (20%) dengan persentase penerimaan 96,67%.

(42)

yang ditambahkan tepung ikan memiliki persentase penerimaan panelis yang relatif sama, yaitu ± 60%. Berdasarkan atribut aroma, F3 (20%) adalah cookies

dengan penerimaan paling tinggi, yaitu 63,33%.

Tekstur merupakan salah satu atribut penilaian yang mempengaruhi penerimaan panelis terhadap produk cookies (Mervina 2009). Penambahan tepung ikan memberikan pengaruh terhadap tekstur cookies yang dihasilkan, hal ini mempengaruhi persentase penerimaan panelis terhadap tekstur cookies. Formula dengan subtitusi tepung ikan dengan persentase penerimaan tertinggi 73,33% adalah F2 (15%). Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan tepung ikan sebesar 15% memberikan tekstur yang paling baik berdasarkan penilaian panelis.

Rasa merupakan atribut penilaian yang didasarkan atas respon indera pengecap. Formula dengan subtitusi tepung ikan yang paling tinggi penerimaannya sebesar 58,33% adalah F2.

Berdasarkan sidik ragam diketahui bahwa penambahan tepung ikan memberikan pengaruh nyata pada persentase penerimaan panelis terhadap tekstur cookies (p<0,05) antar formula (F0, F1, F2, dan F3) tidak memberikan pengaruh nyata pada persentase penerimaan panelis terhadap aroma, rasa, warna dan keseluruhan cookies (p>0,05) antar formula (F0, F1, F2, dan F3) (Lampiran 6). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa persentase penerimaan panelis terhadap tekstur cookies berbeda untuk semua formula (Lampiran 7).

Secara keseluruhan penerimaan panelis terhadap cookies terbesar adalah pada cookies dengan formula F1. Berdasarkan penjabaran hasil uji penerimaan panelis dan pertimbangan nilai gizi produk cookies maka cookies

dengan formula F2 dipilih sebagai formula terpilih. Formula terpilih ini yang selanjutnya akan di jadikan pangan pembawa fortifikan. Penampilan cookies

terpilih (F2) dapat dilihat pada Gambar 4.

(43)

Mikrokapsulasi Fe (besi) dan Zn (seng) dengan Spray Drying

Mikrokapsulasi adalah suatu proses penyalutan bahan-bahan inti yang berbentuk cair atau padat dengan menggunakan suatu bahan penyalut khusus yang membuat partikel-partikel inti mempunyai sifat fisika dan kimia seperti yang dikehendaki. Bahan penyalut yang berfungsi sebagai dinding pembungkus bahan inti tersebut dirancang untuk melindungi bahan-bahan terbungkus dari faktor-faktor yang dapat menurunkan kualitas bahan tersebut (Rossana 2009).

Zat aktif yang terkurung di dalam mikrokapsul disebut inti atau core, dimana inti ini dapat berwujud padat atau cair dengan sifat permukaan hidrofilik atau hidrofobik. Dinding penyalut mikrokapsul disebut skin atau shell, atau film pelindung. Zlotkin et al (2001) menyatakan bahwa proses mikrokapsulasi bahan-bahan inti tersebut dibungkus oleh dinding polimer tipis. Proses mikrokapsulasi umumnya bertujuan untuk menghasilkan partikel-partikel padatan yang telah dilapisi oleh bahan penyalut tertentu.

Berbagai faktor melatarbelakangi penerapaan enkapsulasi dalam industri makanan, salah satunya adalah untuk menjaga kestabilan dari bahan inti. Mikrokapsul merupakan “food processor” yang berarti mikrokapsul digunakan

untuk melindungi komponen-komponen yang sensitif (mudah menguap), melindungi flavor dan aromanya, dan mengubah bahan berbentuk cairan menjadi padatan dengan tujuan mempermudahpenanganannya (Madene et al 2006).

Komposisi penyalut untuk mikrokapsul mineral ini adalah gum arab dan maltodekstrin dengan perbandingan gum arab : maltodekstrin adalah 70 : 30 untuk Fe dan 80 : 20 untuk Zn. Perbedaan rasio gum arab terhadap maltodekstrin dilakukan dengan tujuan untuk mencegah interaksi negatif Fe dan Zn di dalam usus (Kustiyah et al 2010). Mineral yang digunakan sebagai inti mikrokapsul ini adalah fero sulfat dan zink sulfat. Proses mikrokapsulasi dilakukan dengan metode yang sama untuk kedua mineral.

Fero sulfat merupakan senyawa besi yang larut serta telah dievaluasi pemakaiannya sebagai fortifikan. Senyawa ini merupakan senyawa fortifikan yang digunakan pada fortifikasi terigu (Purnamasari 2009). Zimmermann et al

Gambar

Gambar 1  Diagram alir rangkaian penelitian ...............................................
Tabel 1 Standar Nasional Indonesia tepung ikan
Tabel 3 Bioavailabilitas berbagai senyawa Fe
Tabel 4  Angka kecukupan zat gizi rata-rata yang dianjurkan untuk bayi dan anak
+7

Referensi

Dokumen terkait

Orang bertipe seperti ini (fasik dan munafik) hanya patuh saat ada tujuan/kepentingan lain yang biasanya lebih bersifat pragmatis dan materialistis bukan berdasarkan

Secara garis besar kegiatan program RAP (the Resourcefull Adsolescents Programme) yang diberikan kepada 8 siswa dengan tujuan untuk mengidentifikasi dan

Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respon manusia (status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari individu atau kelompok dimana perawat

memerlukan pihak orang lain untuk membuatkannya, dalam hal seperti itu dapat dilakukan melalui jual beli istishna’ yaitu akad jual beli dalam bentuk pemesanan, pembuatan

Tahun 1989, Jaron Lanier memeperkenalkan virtual reality dan menciptakan bisnis komersial pertama kali didunia maya, Tahun 1992 mengembangkan Augmented Reality untuk melakukan

Sejarah menyaksikan sebuah perkembangan dari teknologi media penyimpanan data yaitu perubahan dari floopy disk disk (1.44 Mb) to blue ray disc (25,000 Mb).

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan kepada siswa madrasah Aliyah negeri 2 pontianak mengenai pengembangan bakat khusus terungkap bahwa siswa sudah