• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bhinneka Tunggal Ika-Sari Monik Agustin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bhinneka Tunggal Ika-Sari Monik Agustin"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BHINNEKA

TUNGGAL IKA

atau

BHINNEKA

TUNGGAL IKA

(Sebuah Tinjauan Paradigma Klasik Ilmu Sosial dalam Keberagaman dan

Persatuan di Indonesia)

Oleh:

Sari Monik Agustin1 Universitas Al Azhar Indonesia

Kompleks Mesjid Al Azhar, Jl Sisingamangaraja Kebayoran Baru Jakarta Selatan

monik@uai.ac.id

A B S T R A K

Berbeda-beda tetapi tetap satu. Itulah arti Bhinneka Tunggal Ika yang selama ini selalu didengungkan di Indonesia. Dalam perjalanannya, Bhinneka Tunggal Ika memperlihatkan wajah yang serupa namun tak sama, tak sama namun serupa. Membingungkan. Namun bila dicermati dalam sejarahnya di beberapa periode pemerintahan dan kepemimpinan, Bhinneka Tunggal Ika muncul dengan nuansa yang menarik untuk disimak.

Bahasa adalah sebuah hal yang sangat penting untuk dicermati. Mengapa penting? Karena dalam Ilmu Komunikasi, bahasa sangat berhubungan dengan dasar logika terciptanya sebuah makna yang beragam. Demikian menarik pula, mencermati logika Bhinneka Tunggal Ika dalam keberagaman maknanya.

Tulisan yang disajikan ini merupakan tinjauan singkat bagaimana penampilan Bhinneka Tunggal Ika muncul dan dimaknai secara berbeda dalam melihat keberagaman dan persatuan, khususnya dalam beberapa peristiwa pada masa orde baru dan pasca orde baru. Walaupun tulisan ini masih disajikan secara umum dan popular, namun pada hakikatnya tulisan ini bertujuan menampilkan perspektif interpretif dalam usaha memahami Bhinneka Tunggal Ika dalam paradigma positivis, interpretif dan kritis.

Diharapkan dengan adanya tulisan ini, sebuah pandangan baru, terutama paradigma Asli Indonesia dalam memahami Bhinneka Tunggal Ika, muncul dan berkembang sesuai dengan ke-Indonesia-an bangsa.

Kata kunci: bhinneka tunggal ika, keberagaman, persatuan, paradigma

1

(2)

PENDAHULUAN

Dalam kerangka berpikir Ilmu Komunikasi, pada dasarnya tulisan ini adalah tinjauan mengenai pesan yang ada dalam Bhinneka Tunggal Ika. Untuk memudahkan tinjauan tersebut, maka penulis melakukan interpretasi pesan yang terkandung dalam Bhinneka Tunggal Ika

dengan menggunakan paradigma positivis, interpretif dan kritis. Tinjauan ini kemudian dihubungkan dengan bagaimana Bhinneka Tunggal Ika dimaknai oleh perjalanan bangsa ini dalam prosesnya menjadi Indonesia.

Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan bangsa yang tercantum dan menjadi bagian dari lambang negara Indonesia, yaitu Garuda Pancasila. Sebagai semboyan bangsa, artinya Bhinneka

Tunggal Ika adalah pembentuk karakter dan jati diri bangsa. Bhinneka Tunggal Ika sebagai pembentuk karakter dan jati diri bangsa ini tak lepas dari campur tangan para pendiri bangsa yang mengerti betul bahwa Indonesia yang pluralistik memiliki kebutuhan akan sebuah unsur pengikat dan jati diri bersama.

Bhinneka Tunggal Ika pada dasarnya merupakan gambaran dari kesatuan geopolitik dan geobudaya di Indonesia, yang artinya terdapat keberagaman dalam agama, ide, ideologis, suku bangsa dan bahasa. Keragaman tersebut terjadi karena dari segi geografis, Indonesia adalah negara kepulauan, terdiri dari 17.200 pulau, terdiri lebih dari 300 etnis mayoritas dan minoritas

yang kemudian berdampak pada keanekaragaman bahasa dari etnis-etnis yang tersebar dalam untaian pulau-pulau (Rahman, 2010: 8).

Kalimat Bhinneka Tunggal Ika sendiri diambil dari penggalan Sumpah Palapa yang dikumandangkan oleh Patih Gajah Mada dalam usaha penaklukan nusantara di masa keemasam Kerajaan Majapahit. Sumpah Palapa kemudian menjadi dasar bagi terciptanya Sumpah Pemuda

pada 28 oktober 1928. Ketika Sumpah Pemuda diikrarkan, saat itulah Indonesia sebenarnya telah melebur menjadi sebuah bangsa Indonesia dan melepaskan diri dari segala bentuk ide kepulauan, ide kesukuan dan sebagainya (Setyani, 2009: 4-5). Inilah dasar Proklamasi Kemerdekaan 1945 hingga saat ini. Peristiwa Sumpah Pemuda adalah bukti bahwa bangsa Indonesia memiliki kesadaran hidup dalam keberagaman, yang oleh karenanya dibutuhkan sebuah semboyan

(3)

Bhinneka Tunggal Ika sering diartikan sebagai berbeda-beda tetapi tetap satu . Dalam perjalanan kemerdekaan Indonesia, frasa ini sering muncul dalam nuansa makna yang berbeda-beda. Keberagaman dan persatuan muncul sebagai atribut yang melekat dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika. Nuansa perbedaan makna itulah yang ingin diangkat dalam tulisan ini. Menurut penulis, nuansa perbedaan makna tersebut didasari oleh adanya perbedaan cara pandang

atau yang populer disebut sebagai paradigma. Dalam paradigma yang berbeda, maka Bhinneka Tunggal Ika akan terlihat berbeda, terutama bila dilihat dari bagian mana dari semboyan tersebut ditekankan penerjemahannya dalam kehidupan bernegara dan berbangsa di Indonesia.

Terdapat ketegangan antara kesatuan (unity) dan keragaman (diversity) sebagai isu utama dalam masyarakat plural yang dalam konteks Indonesia, adalah isu pemaknaan Bhinneka

Tunggal Ika itu sendiri. Menurut Bagir dan Dwipayana, semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah awal upaya memecahkan masalah ketegangan yang terjadi tersebut. Bhinneka Tunggal Ika bukanlah sebuah akhir ataupun semboyan yang harus ditafsirkan terus-menerus (Bagir, Dwipayana, Rahayu, Sutarno, & Wajidi, 2011: 45).

Tulisan ini tidak hendak membicarakan ketegangan dan penafsiran atas Bhinneka Tunggal Ika tersebut, melainkan berusaha memahami adanya perbedaan pemaknaan sehingga diharapkan paradigma yang tepat sesuai konteks dapat didiskusikan lebih lanjut untuk Indonesia dewasa ini.

TINJAUAN PUSTAKA

Tulisan ini mengandung beberapa konsep penting, terutama konsep-konsep yang berhubungan dengan keberagaman dan persatuan, seperti yang dimaksud dalam Bhinneka Tunggal Ika dan bagian ini juga akan menjabarkan tinjauan paradigma klasik dalam ilmu sosial dalam memahami

Bhinneka Tunggal Ika.

Keberagaman.

Keberagaman merujuk pada pluralisme. Konsep pluralisme sering digunakan sebagai konsep yang mendeskripsikan adanya keragaman budaya. Sebagian antropolog menggunakan

(4)

hasil reformasi dengan tatanan kehidupan orde baru yang bercorak masyarakat majemuk (plural society) . Plural Society adalah istilah yang digunakan Furnival untuk menggambarkan segregasi masyarakat Indonesia pada masa kolonialisme Belanda (Bagir, Dwipayana, Rahayu, Sutarno, Wajidi, 2011: 28-29).

Seperti telah disinggung di atas, konsep lain yang berhubungan dengan pluralisme adalah

masyarakat majemuk dan multikulturalisme. Masyarakat majemuk terbentuk dari dipersatukannya masyarakat-masyarakat suku bangsa oleh sistem nasional, yang biasanya dilakukan secara paksa (by force) menjadi sebuah bangsa dalam wadah negara. Sebelum Perang Dunia kedua, masyarakat-masyarakat negara jajahan adalah contoh dari masyarakat majemuk. Sedangkan setelah Perang Dunia kedua contoh-contoh dari masyarakat majemuk antara lain,

Indonesia, Malaysia, Afrika Selatan, dan Suriname. Ciri-ciri yang menyolok dan kritikal dari masyarakat majemuk adalah hubungan antara sistem nasional atau pemerintah nasional dengan masyarakat suku bangsa, dan hubungan di antara masyarakat suku bangsa yang dipersatukan oleh sistem nasional (Suparlan, 2004).

Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang menekankan pengakuan dan penghargaan pada kesederajatan perbedaan kebudayaan. Tercakup dalam pengertian kebudayaan adalah para pendukung kebudayaan, baik secara individual maupun secara kelompok, dan terutama ditujukan terhadap golongan sosial askriptif yaitu sukubangsa (dan ras), gender, dan umur. Ideologi

multikulturalisme ini secara bergandengan tangan saling mendukung dengan proses-proses demokratisasi, yang pada dasarnya adalah kesederajatan pelaku secara individual (HAM) dalam berhadapan dengan kekuasaan dan komuniti atau masyarakat setempat (Suparlan, 2002).

Upaya penyebarluasan dan pemantapan serta penerapan ideologi multikulturalisme dalam masyarakat Indonesia yang majemuk harus sejalan dengan upaya penyebaran dan pemantapan

ideologi demokrasi dan kebangsaan atau kewarganegaraan dalam porsi yang seimbang. Diharapkan setiap orang Indoensia nantinya, akan mempunyai kesadaran tanggung jawab sebagai orang warga negara Indonesia, sebagai warga sukubangsa dan kebudayaannya, tergolong sebagai gender tertentu, dan tergolong sebagai umur tertentu, yang tidak akan berlaku sewenang-wenang terhadap orang atau kelompok yang tergolong lain dari dirinya sendiri dan akan mampu

(5)

Persatuan.

Persatuan dalam tulisan ini merujuk pada konsep integrasi nasional. Integrasi adalah suatu pola hubungan yang mengakui adanya perbedaan ras dalam masyarakat, tetapi tidak memberikan makna penting pada perbedaan ras tersebut. Hak dan kewajiban yang terkait dengan

ras seseorang hanya terbatas pada bidang tertentu saja dan tidak ada sangkut pautnya dengan bidang pekerjaan atau status yang diraih dengan usaha (Sunarto, 2004). Integrasi nasional adalah penyatuan bagian-bagian yang berbeda menjadi sebuah kesatuan yang lebih utuh atau memadukan masyarakat-masyarakat kecil yang banyak jumlahnya menjadi suatu bangsa (Herdiawanto & Hamdayama, 2010). Sebutan kesatuan bangsa atau kesatuan wilayah

mempunyai dua makna yaitu (kompasiana, 2010):

1. Menunjukkan sikap kebersamaan dari bangsa itu sendiri.

2. Menyatakan wujud yang hanya satu dan utuh, yaitu satu bangsa yang utuh atau satu wilayah yang utuh.

Dalam hubungannya dengan Bhinneka Tunggal Ika, maka konsep integrasi nasional sangat berkaitan erat dengan konsep identitas nasional. Identitas nasional adalah manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam aspek kehidupan suatu nation (bangsa) dengan ciri-ciri yang khas, yang dari ciri khas tersebut, suatu bangsa menjadi berbeda dengan

bangsa lain (Wibisono dalam Herdiawanto & Hamdayama, 2010).

Dilihat dari konteks Indonesia, identitas nasional merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam berbagai aspek kehidupan dari ratusan suku yang dihimpun dalam satu kesatuan Indonesia menjadi kebudayaan nasional dengan acuan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai dasar dan arah pengembangannya (Herdiawanto &

Hamdayama, 2010).

Paradigma Klasik Ilmu Sosial.

Tulisan ini membahas paradigma klasik ilmu sosial, yaitu paradigm positivis, interpretif dan kritis. Ketiga paradigma tersebut memiliki karakternya masing-masing. Bagian ini adalah

(6)

Paradigma Positivis.

Paradigma positivis merupakan paradigma yang awalnya berakar dari ilmu alam. Paradigma ini pertama kali dikenalkan oleh Auguste Comte. Salah satu sumbangan Comte dalam memandang masyarakat bahwa sejarah peradaban manusia akan melalui tahapan, yang disebutnya sebagai Hukum Tiga Jenjang, yaitu jenjang teologi, jenjang metafisika dan jenjang

positivis. Hukum ini berlaku di seluruh masyarakat, sehingga tahapan yang telah dilalui oleh sebuah masyarakat dapat menjadi pembelajaran bagi masyarakat lain yang belum melalui tahapan tersebut.

Paradigma ini melihat masyarakat diibaratkan memiliki hukum-hukum pasti yang berlaku universal di seluruh aspek-aspek kehidupan. Dalam hubungannya dengan tulisan ini, paradigma

positivis mengharuskan adanya penyeragaman nilai-nilai dalam setiap masyarakat. Harus ada sebuah standar normatif yang disepakati berlaku umum dan dipatuhi oleh seluruh masyarakat. Standar normatif dalam setiap masyarakat akan memiliki fungsi sebagai penyatu atau perekat dan menjadi pedoman hidup bagi masyarakat tersebut.

Secara ontologis, paradigm positivis berbicara mengenai hakikat realitas atau kenyataan. Paradigma ini percaya bahwa realitas yang ada di luar sudah diatur oleh hukum dan kaidah-kaidah tertentu secara universal. Sementara itu, secara metodologis, paradigma ini berbicara mengenai cara yang akan digunakan dalam memperoleh pengetahuan. Cara yang dipakai dalam

pardigma ini adalah cara hipotesis dan metode deduktif (Neuman, 2007).

Paradigma Interpretif.

Paradigma ini juga dikenal dengan nama paradigma konstruktif. Dalam Paradigma konstruktif, kebenaran tentang suatu realitas bersifat relatif. Artinya kebenaran realitas sosial

tergantung pada individu pelaku sosial. Dalam paradigma ini, kebenaran atau realitas dunia sosial, merupakan hasil interaksi dari sesama pelaku sosial. Dalam paradigma ini, cara yang dipakai untuk mengetahui kebenaran realitas sosial adalah cara dialektis (Neuman, 2007).

Pada dasarnya paradigma ini merupakan antitesis dari positivisme. Secara ontologis aliran ini menyatakan bahwa realitas itu ada dalam bentuk macam-macam konstruksi mental,

(7)

semua orang seperti pandangan positivisme. Secara metodologis, aliran ini menerapkan metode

hermeneuticsdandialecticsdalam proses pencapaian kebenaran (Salim, 2001).

Paradigma Kritis.

Dalam paradigma ini, realitas sosial dipandang sebagai sesuatu yang semu karena

merupakan hasil dari proses sejarah, sosial maupun politik. Paradigma ini memiliki beberapa kemiripan dengan paradigma interpretif, namun paradigma ini juga merupakan campuran dari objektivitas atau materialis ditambah dengan pandangan paradigma konstruktif mengenai realitas sosial (Neuman, 2007).

Kata kunci paradigma ini adalah tindakan, sehingga penelitian berbasis paradigma ini

sangat berhubungan dengan isu-isu moral dan politik di tingkat praksis. Pendekatan ini menekankan pada pengupasan realitas sosial yang berlapis-lapis. Dengan kata lain membongkar apa yang ada dibalik sebuah realitas sosial dengan mengupasnya satu-persatu. Realitas sosial yang terlihat di permukaan kadangkala hanyalah berupa kepalsuan sebagai akibat adanya

tekanan atau arahan seperti kekuasaan dan otoritas dalam masyarakat (Neuman, 2007).

PEMBAHASAN

Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, yang disemangati oleh Sumpah Pemuda tahun 1928, sebetulnya merupakan terbentuknya sebuah bangsa dalam sebuah negara yaitu Indonesia tanpa ada unsur paksaan. Namun begitu, pembentukan bangsa yang ada itu, bukanlah tanpa halangan. Pada awal kemerdekaan Indonesia, tantangan pertama adalah membuat berbagai perangkat guna melegitimasi pembentukan negara baru, seperti pembuatan perangkat hukum

(undang-undang dasar), perangkat pemerintahan (penyusunan alur tata negara), dan juga penentuan simbol-simbol kebangsaan. Proses pembuatan berbagai perangkat yang ada tersebut dijalankan oleh suatu badan yang dikenal dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melalui sidang-sidangnya. Pada akhirnya dihasilkanlah UUD 1945 sebagai

(8)

Bhinneka Tunggal Ika sendiri merupakan sebuah kalimat yang diambil dari kitab Sutasoma karya Mpu Tantular yang ditulis pada abad ke 14, yang juga dipakai oleh Gajah Mada dalam Sumpah Palapa. Penggunaan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara dikukuhkan melalui PP no. 66 tahun 1951 tentang Lambang Negara. Sebenarnya Bhinneka Tunggal Ika merupakan penggalan dari kitab sutasoma yang menggambarkan kerukunan beragama pada masa

Majapahit. Namun pengertian Keragaman dalam Bhinneka Tunggal Ika pada akhirnya tidak hanya dimaknai keragaman agama namun juga keragaman suku dan etnis yang ada di Indonesia.

Pembahasan dalam tulisan ini berupaya meninjau pesan dalam Bhinneka Tunggal melalui paradigma interpretif. Pemahaman yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pemahaman dalam melihat bagaimana cara pandang bangsa dan negara Indonesia mengenai aplikasi Bhinneka

Tunggal Ika dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Tinjauan Paradigma Positivis dalam memandang Bhinneka Tunggal Ika.

Seperti telah dijelaskan, paradigma positivis menekankan masyarakat memiliki nilai

universal sebagai pengikat dan dengan demikian ada penyeragaman nilai dalam masyarakat. Dengan pemahaman tersebut, dapat dikatakan terdapat beberapa situasi dan kondisi dalam beberapa periode dimana Indonesia menerapkan cara pandang demikian dalam memaknai Bhinneka Tunggal Ika. Kondisi ini sangat amat terlihat pada masa Orde Baru, dimana berbagai

macam aspek kehidupan sangat terpusat pada satu titik, yaitu rezim Orde Baru itu sendiri. Pemusatan ini berujung pada pengontrolan secara ketat terhadap masyarakat. Pengontrolan terjadi tidak hanya pada bidang politik atau ekonomi semata, namun pengontrolan juga terjadi pada norma dan nilai yang berkembang pada masyarakat. Dengan fokus utama dari rezim orde baru yang menekankan kestabilan politik, Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara juga

tentu saja dikontrol maknanya oleh rezim Orde Baru. Konsep Bhinneka Tunggal Ika yang memiliki dua sisi yaitu persatuan dan keragaman oleh rezim orde baru maknanya lebih ditekankan pada persatuan. Bahkan bukan hanya makna persatuan yang dijalankan dan ditekankan oleh rezim orde baru, melainkan Tunggal Ika itu dimaknai menjadi satu dan seragam.

Persatuan yang ditandai dengan stabilitas sosial sangat kental dalam periode Orde Baru.

(9)

agar dapat dikontrol dan terjadi pemerataan nilai-nilai yang menunjang tujuan tersebut. Sosialisasi nilai misalnya terjadi di semua lini masyarakat, baik di tingkat dasar seperti sekolah-sekolah dan di tingkat yang lebih tinggi seperti di kantor-kantor.

Penyeragaman nilai-nilai yang disepakati ini menjadi standar normatif dan difungsikan sebagai perekat atau penyatu masyarakat. Bhinneka Tunggal Ika, yang menekankan pentingnya

Tunggal Ika terjadi pada periode ini. Oleh karenanya, masa itu diwarnai dengan kebijakan-kebijakan yang mengarah pada persatuan dan berlaku untuk seluruh masyarakat. Masyarakat dilihat harus mengalami kemajuan yang sama dengan negara-negara yang dianggap maju, dan diasumsikan dengan mengikuti cara yang sama dengan pemikiran negara maju, maka Indonesia akan mencapai kesuksesan yang serupa. Lokalitas tidak dipentingkan dalam periode ini. Oleh

karena itu, kebijakan-kebijakan seperti Repelita yang mengacu pada Tahapan Pertumbuhan Ekonomi Rostow misalnya sangat amat modernis. Pemikiran ini sejalan dengan pemikiran positivis Comte yang melihat bahwa setiap masyarakat akan melalui jenjang yang sama.

Berdasarkan pemikiran inilah, proses Tunggal Ika, penyatuan seluruh masyarakat melalui

penyeragaman nilai menjadi penting. Bhinneka Tunggal Ika dimaknai sebagai keberagaman yang harus disatukan menjadi sebuah identitas nasional. Dengan ciri-ciri termanifes dalam nilai-nilai yang diseragamkan, kesatuan bangsa yang utuh akan tercapai. Penyeragaman nilai-nilai bahwa kita adalah satu, atau kita adalah sama (satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa) akan menjadi

identitas nasional bangsa. Demi tujuan itu, segala cara harus digunakan termasuk cara represif sehingga setiap anggota masyarakat yang menunjukkan perbedaan dianggap bertentangan dan harus ditertibkan.

Kesatuan wilayah juga menjadi ciri khas dalam periode ini. Kebijakan transmigrasi adalah salah satunya. Dengan dilakukan transmigrasi memindahkan pendudukan dari pulau padat

penduduk ke pulau jarang penduduk, seperti dari Jawa ke Sumatera, Kalimantan atau Sulawesi adalah sebuah cara agar terjadi kesatuan dan perasaan memiliki yang tinggi terhadap Indonesia sebagai sebuah kesatuan negara.

Negara berdaulat, bersatu dan melebur merupakan ciri-ciri pesan yang mengutamakan Tunggal Ika. Kemajemukan bangsa ada namun tidak dimaknai penting karena persatuan dan

(10)

Tinjauan Paradigma Interpretif dalam memandang Bhinneka Tunggal Ika.

Paradigma ini dapat dikatakan sebagai anti tesis dari paradigma positivis. Oleh karenanya, maka terdapat pemaknaan berbeda dalam menginterpretasi pesan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Bila paradigma positivis menekankan Tunggal Ika dalam Bhinneka Tunggal Ika, maka

paradigma interpretif lebih memaknai pentingnya Bhinneka dalam semboyan tersebut. Dapat dikatakan dalam paradigma ini, multikulturalisme atau kemajemukan masyarakat atau keberagaman atau pluralisme menjadi penting walaupun tetap disatukan dalam sebuah sistem nasional. Paradigma ini menekankan adanya pengakuan dan penghargaan pada kesederajatan perbedaan budaya. Perbedaan budaya adalah sebuah realitas sosial yang nyata dan dialami secara

berbeda oleh setiap masyarakat yang berbeda. Dengan keragaman suku bangsa dan ras dan agama di Indonesia, maka dalam paradigma interpretif, budaya tidak dapat digeneralisasikan.

Selain budaya tidak dapat digeneralisir, dalam kerangka berpikir paradigma ini penyeragaman nilai menjadi tidak masuk akal. Identitas nasional dalam kerangka berpikir ini

hanya akan tercapai bila bangsa Indonesia justru mengedepankan perbedaan budaya tersebut. Menurut Wisnumurti (2010), multikulturalisme mengedepankan prinsip keterbukaan, kesetaraan, keadilan dan penghormatan atas perbedaan, sangat sejalan dengan nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika, oleh karena itu, menjadi sangat penting untuk dijadikan dasar dalam memperkuat solidaritas

sosial dan kebangsaan sebagai konstruksi dalam memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Paradigma yang demikian sangat kental terasa ketika Indonesia memasuki masa reformasi. Dalam masa ini, keragaman menjadi satu isu yang penting setelah selama tiga dasawarsa masa orde baru isu keragaman seperti terpinggirkan, dikalahkan oleh isu persatuan, kesatuan, keseragaman. Keragaman dalam masa reformasi ini terlihat dalam berbagai bidang.

Dalam bidang politik misalnya keragaman sangat kental terlihat dengan diberlakukannya otonomi daerah sebagai tata kelola negara. Dalam bidang budaya keragaman diperlihatkan terutama melalui diakuinya tahun baru suatu etnis sebagai hari libur nasional. Dalam bidang pendidikan, keragaman dalam masa reformasi ditandai dengan tumbuh suburnya sekolah-sekolah yang berwawasan komunitas dan lokalitas masing-masing tempat. Walaupun masih banyaknya

(11)

Tinjauan Paradigma Kritis dalam memandang Bhinneka Tunggal Ika

Paradigma kritis memandang suatu realitas sosial sebagai realitas yang semu. Dalam paradigma ini, suatu realitas sosial dianggap memiliki berbagai lapisan yang jika dikupas semakin dalam maka akan terbongkar lapisan-lapisannya. Seperti yang telah disebutkan dalam

bagian sebelumnya, paradigma positivis menekankan universalisme dan keseragaman, sehingga bila digunakan untuk menelaah Bhinneka Tunggal Ika maka penekanan Bhinneka Tunggal Ika adalah pada Tunggal Ika atau satu dan seragam. Dan seperti juga telah disebutkan sebelumnya, jika menggunakan paradigma interpretif, maka pembahasan mengenai Bhinneka Tunggal Ika akan menitikberatkan pada Bhinneka-nya atau keragamannya. Namun apabila Bhinneka

Tunggal Ika dikaji dengan menggunakan paradigma kritis, realitas yang berupa terjadi penekanan pada Bhinneka atau realitas berupa penekanan pada Tunggal Ika hanyalah realitas yang semu. Kedua realitas yang ada tersebut hanyalah lapisan paling luar dari apa yang terlihat dan dirasakan.

Penggunaan paradigma kritis yang menganggap untuk memahami suatu realitas yang diperlukan adalah membongkar realitas semu yang ada; sehingga dalam menelaah Bhinneka Tunggal Ika akan membongkar realitas-realitas yang ada. Dengan menggunakan pendekatan kritis ini, kondisi dimana penerapan Bhinneka Tunggal Ika lebih menekankan kesatuan dan

keseragaman dianggap sebagai satu lapisan terluar dari kenyataan atau realitas sosial yang sesungguhnya terjadi. Dengan paradigma kritis ini, kondisi yang ada tersebut harus dibongkar dengan mengajukan asumsi-asumsi yang mempertanyakan kondisi yang ada tersebut. Misalnya saja jika kita melihat pada masa orde baru yang menekankan kesatuan dan penyeragaman, maka harus dipertanyakan mengapa hal demikian terjadi, siapa yang mendapatkan keuntungan dengan

kondisi yang demikian itu, apakah mungkin kodisi demikian diciptakan negara untuk memobilisasi rakyat demi pembangunan, dan lain sebagainya.

Apabila Bhinneka Tunggal Ika dalam satu masa dalam sejarah Indonesia ini dianggap menekankan ke-bhinneka-annya, maka dengan paradigma kritis perlu pula dijelaskan mengapa itu terjadi dan untuk kepentingan pihak atau kelompok mana kondisi demikan itu terjadi.

(12)

karena negara memang melihat bahwa pada masa reformasi masyarakat sudah lelah dengan penyeragaman sehingga apabila negara pada masa reformasi tetap memberlakukan penyeragaman, maka tentangan akan banyak terjadi terhadap negara. Sebaliknya jika negara lebih mengedepankan keragaman, maka masyarakat akan memihak pada negara, dan dengan demikian negara akan memperoleh legitimasi dari rakyat.

Dari penjelasan yang ada dapat terlihat bahwa paradigma kritis menekankan pada pembongkaran realitas semu yang ada dengan bertujuan menyadari atau mengetahui realitas sosial yang sesungguhnya.

Penutup

Pembahasan Bhinneka Tunggal Ika dengan menggunakan tiga paradigma klasik yang ada yaitu paradigma positivis, paradigma interpretif, dan paradigma kritis memperlihatkan bahwa semboyan negara kita bersifat multi-interpretasi. Terlepas dari masih banyaknya konflik yang ada di negara ini, konsep Bhinneka Tunggal Ika memang bisa diinterpretasikan dari berbagai

paradigma.

Dengan menggunakan paradigma positivis, konsep Bhinneka Tunggal Ika akan lebih menekankan pada kesatuan, keseragaman dan universalisme nilai-nilai yang ada. Dengan menggunakan paradigma interpretif, maka Bhinneka Tunggal Ika akan lebih menekankan

perbedaan dan keragaman. Dengan menggunakan paradigma kritis, maka Bhinneka Tunggal Ika akan membongkar kondis-kondisi ataupun realitas sosial yang ada dengan mempertanyakannya lebih lanjut.

Tulisan ini tidak membahas mengenai kondisi mana yang ideal ataupun paradigma mana yang lebih baik digunakan dalam menjelaskan Bhinneka Tunggal Ika. Pada akhirnya penulis

(13)

PUSTAKA

Buku.

Bagir, Zainal Abidin, AA GN Ari Dwipayana, Mustaghfiroh Rahayu, Trisno Sutanto, Farid Wajidi. 2011. Pluralisme Kewargaan: Arah Baru Politik Keragaman di Indonesia. Bandung: Mizan Media Utama

Herdiawanto, Heri dan Jumanta Hamdayama. 2010. Cerdas, Kritis dan Aktif Berwarganegara. Jakarta: Penerbit Erlangga

Neuman, Lawrence W. 2007.Basic of Social Research: Qualitative and Qualitative Approaches

(2nded.). Boston: Pearson Education Inc.

Rahman, H. Darmawan M, dkk. 2010. Makna Bhinneka Tunggal Ika sebagai Perekat Kembali Budaya Ke-Indonesia-an. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Salim, Agus, penyunting. 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara

Wacana Yogya

Sunarto, Kamanto. 2004.Pengantar Sosiologi. Jakarta: LPFEUI

Makalah.

Setyani, Turita Indah. 2009. Bhinneka Tunggal Ika sebagai Pembentuk Jati Diri Bangsa. Dipresentasikan dalam Konferensi Nasional dan Pembentukan Organisasi Profesi Pengajar, Bahasa, Sastra, Budaya, dan Seni Daerah se-Indonesia, Yogyakarta, 8-9 Agustus 2009.

Website.

Suparlan, Parsudi. 2002. Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural, dipresentasikan dalam Simposium Internasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ke-3: Membangun Kembali Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika : Menuju Masyarakat

Multikultural , Universitas Udayana, Denpasar, Bali, 16 19 Juli 2002 dalam

http://www.fisip.ui.ac.id/antropologi/httpdocs/jurnal/2002/69/10brt3psu69.pdf diakses 24 Oktober 2011 00: 14

(14)

Interseksi Hak-hak Minoritas dalam Landscape Multikultural, Mungkinkah di Indonesia? Wisma PKBI, 10 Agustus 2004, 14.00-17.00 bbwi. Jakarta: The Interseksi Foundation dalam

http://www.interseksi.org/publications/essays/articles/masyarakat_majemuk.html

diakses 24 Oktober 2011, 00:15

____________. 2010. Persatuan dan Kesatuan Bangsa dalam

sosbud.kompasiana.com/2010/06/14/persatuan-dan-kesatuan-bangsa-pengantar/ diakses 24 Oktober 2011, 00: 17

Wisnumurti, Anak Agung Gede Oka. Kesadaran Multicultural dalam Memperkokoh Persatuan dan Kesatuan Bangsa dalam

http://www.yayasankorpribali.org/artikel-dan-berita/58-kesadaran-multicultural-dalam-memperkokoh-persatuan-dan-kesatuan-bangsa.html

Referensi

Dokumen terkait

arsitektural berupa fasilitas kesehatan yang pada proses rancangnya menggunakan pendekatan healing architecture serta konsep therapeutic spaces yang berkorelasi

Halaman nota baru digunakan oleh penjual untuk melihat daftar nota penjualan yang baru terjadi dan penjual juga dapat mengubah status nota menjadi sudah dibayar apabila

Sensor SEN1069 yang terhubung dengan arduino mengambil data pengamatan pada air kemudian arduino melakukan komputasi data hasil pengamatan yang dilakukan oleh

Menurut Azhar Maksum, Guru Besar Ilmu Akuntansi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara (2005), manfaat dari penerapan Good Corporate Governance adalah:.. 1)

Dampak terhadap kondisi kebersihan lingkungan, yaitu volume sampah di Pantai Bangsring terbesar terjadi pada tahun 2016 dengan jumlah sebesar 459.630 liter/tahun

Rerata yang tinggi untuk variabel ini menunjukkan bahwa guru pada pondok pesantern Al Aziziah menyadari bahwa bekerja sebagai guru pada pondok pesantren merupakan bagian

Purse seine merupakan salah satu alat tangkap yang produktif untuk menangkap ikan pelagis kecil di Kecamatan Sasak Ranah Pasisie, Kabupaten Pasaman Barat.Tujuan