• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rantai Pasok Bawang Merah Di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Rantai Pasok Bawang Merah Di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

RANTAI PASOK BAWANG MERAH

DI KABUPATEN BREBES, JAWA TENGAH

TIMBUL RASOKI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Rantai Pasok Bawang Merah di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

TIMBUL RASOKI. Rantai Pasok Bawang Merah di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Dibimbing oleh ANNA FARIYANTI dan AMZUL RIFIN.

Bawang merah merupakan komoditas sayuran unggulan nasional yang selalu menjadi perhatian para pemangku kepentingan terkait keragaan produksi dan konsumsinya. Di sisi lain, kesenjangan produksi dan konsumsi masih sering terjadi dari sisi kuantitas maupun dari sisi waktu, sehingga menyebabkan impor bawang merah terus terjadi. Musim tanam bawang merah umumnya dilakukan pada musim kemarau, sehingga pada musim hujan produksi menjadi fluktuatif yang berdampak terjadinya fluktuasi harga yang sangat cepat. Permasalahan lainnya pada bawang merah juga dihadapkan pada kendala ketersediaan benih bermutu saat dibutuhkan petani dengan harga terjangkau. Pasokan benih melalui produksi benih bersertifikat masih sangat rendah dibandingkan dengan non sertifikat. Diskontinuitas produksi dan fluktuasi harga mengindikasikan masih adanya permasalahan rantai pasok bawang merah baik untuk konsumsi maupun benih. Kabupaten Brebes, sebagai sentra utama bawang merah Indonesia perlu mendapat perhatian prioritas dalam penyusunan strategi perbaikan rantai pasok bawang merah nasional.

Penelitian ini bertujuan menganalisis rantai pasok bawang merah untuk konsumsi dan benih menggunakan pendekatan kerangka Food Supply Chain Network (FSCN) dan menganalisis kinerja rantai pasok bawang merah konsumsi dan benih di Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April – Desember 2015 menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner secara langsung dengan responden sebanyak 30 orang petani bawang merah yang dipilih secara purposive sampling serta pedagang bawang merah sebanyak 18 orang dengan metode snowball sampling. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Analisis deskriptif kualitatif digunakan untuk menguraikan gambaran rantai pasok bawang merah untuk konsumsi dan benih dengan pendekatan FSCN dan metode kuantitatif digunakan untuk menganalisis kinerja rantai pasok bawang merah yang diukur dengan margin pemasaran dan

farmer’s share.

(6)

penelitian yang dilakukan berupa perbaikan rantai pasok pada bawang merah konsumsi yakni pembentukan dan penguatan peran kelompok dalam menjalin kerjasama dan keterbukaan informasi dalam jaringan rantai pasok. Sedangkan pada rantai pasok bawang merah untuk benih, pembinaan dan pengembangan jumlah petani dan penangkar benih bersertifikat di Kabupaten Brebes perlu diupayakan untuk mencapai sasaran pengembangan rantai pasok bawang merah di Kabupaten Brebes yakni peningkatan produktivitas bawang merah secara umum. Diperlukan kebijakan perbaikan manajemen rantai pasokan bawang merah yang berorientasi pada penyediaan benih bermutu/bersertifikat dengan harga yang terjangkau, sehingga diharapkan produktivitas bawang merah melalui penggunaan benih bermutu oleh petani dalam negeri meningkat serta pemenuhan pasokan bawang merah dalam negeri segera tercapai dengan harga yang lebih stabil baik ditingkat produsen maupun konsumen.

(7)

TIMBUL RASOKI. The Supply Chain of Shallot in Brebes, Central Java. Supervised by ANNA FARIYANTI and AMZUL RIFIN.

Shallot, as one of the main staple foods in Indonesia, always obtain big concern from all stakeholders, both the production and consumption performance. Unfortunately, the gaps between supply and demand in quantity and time still occur that cause social-economic problems and impose government to import in fulfilling the demand. In addition, as a seasonal commodity, the price fluctuation is very high. Another constraint in the development od shallot is availability high-quality seeds at an affordable price. The supply of certified seeds is not able to meet farmers' need. These situations indicate there are problems in the supply chain, both for consumption and seed. Brebes, as the main production centre of shallot Indonesia, should receive priority attention in supply chain improvement strategies.

This study aims to analyse the performance of the shallot for consumption and seeds supply chain in Brebes, Central Java by using Food Supply Chain Network (FSCN) framework approach. This research was conducted in April – December 2015. The primary data was obtained through interviews using a questionnaire directly to 30 farmers that selected by purposive sampling and 18 traders with a snowball sampling method. The qualitative descriptive analysis was applied to reveal broad understanding about shallots supply chain shallots, both consumption and seed. While, quantitative methods were used to analyse the performance of the supply chain by measuring the marketing margin and farmer's share.

The results showed that supply chain for consumption had had clear goals and structured relationships between actors. However, it was not manageable because the business process was not integrated into a long term. For shallot seeds, the collaboration between stakeholders was well established regarding disclosure of information, cooperation and integration. In addition, business processes were running in structured and measurable with good management. For the chain performance, marketing margin of consumption shallot was higher than seed. While, the farmers‟ share of shallot for consumption is smaller than seed. It could be concluded that the supply chain of shallot for seed more efficient than the consumption.

This research recommends the improvement of the consumption shallot supply chain through the strengthening of the role of the farmers group in cooperation and disclosure of information in the supply chain network. While for seed shallot, it needs extension and development of farmers and breeders to encourage them to produce certified seeds, that substantial to enhance productivity. The government needs to make a policy to improve the supply chain management, particularly for high-quality seeds.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agribisnis

RANTAI PASOK BAWANG MERAH

DI KABUPATEN BREBES, JAWA TENGAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(10)

(11)
(12)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhana Wa Ta‟ala atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis yang berjudul “Rantai Pasok Bawang Merah di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah” berhasil diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agribisnis, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik atas dukungan dan bantuan dari banyak pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu, khususnya kepada:

1. Ibu Dr Ir Anna Fariyanti, MSi, selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr Amzul Rifin, SP., MA, selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala bimbingan, motivasi, arahan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis mulai dari penyusunan proposal hingga penyelesaian tesis ini.

2. Ibu Dr Ir Ratna Winandi, MS selaku Dosen Evaluator pada pelaksanaan Kolokium, Bapak Dr Ir Suharno, MADev selaku penguji luar komisi dan Bapak Dr Ir Burhanuddin, MM selaku penguji wakil program studi pada ujian tesis yang telah memberikan banyak masukan dan arahan dalam perbaikan tesis ini.

3. Ibu Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS, selaku Ketua Program Studi dan Bapak Dr Ir Suharno, MADev selaku Sekretaris Program Studi, seluruh dosen dan staf Program Studi Magister Sains Agribisnis atas dorongan semangat, bantuan dan kemudahan selama penulis menjalani pendidikan.

4. Bapak Joko Canggah Wirayuda, Bapak Hadi Sutomo, Bapak Dulladi, dan seluruh responden yang membantu penulis memperoleh data selama penelitian. 5. Rekan-rekan Magister Sains Agribisnis Angkatan IV IPB khususnya keluarga besar sahabat-sahabat “Rumah Agribisnis” atas segala kerjasama, bantuan, motivasi serta masukan selama mengikuti pendidikan.

6. Ungkapan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada kedua orangtua Ayahanda H. Kohar Hasibuan dan Ibunda Hj. Saelan Harahap atas Do‟a, kasih sayang, motivasi dan pengorbanan yang diberikan kepada penulis. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Mertua Bapak Drs. Endar Muda Nasution dan Ibu Erlina Siregar, SPd., Saudara/i tercinta kakak Nur Hasanah Hasibuan, SP., abang Abdul Muis Hasibuan, MSi., kakak Aprilaila Sayekti, MSi., kakak Rosmala Dewi Hasibuan, SPi., abang Irsan Sihombing, SPd., serta abang Dodi Afrizal Hasibuan, SH.

7. Terima kasih khusus penulis sampaikan kepada istriku tercinta Erika Linda Yani Nasution, MSi., yang telah memberikan dukungan penuh, kasih sayang dan pengorbanannya selama penulis mengikuti pendidikan.

Semoga tesis ini dapat memberikan manfaat.

Bogor, Nopember 2016

(13)

DAFTAR TABEL v

DAFTAR GAMBAR v

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 6

Manfaat Penelitian 6

Ruang Lingkup Penelitian 6

2 TINJAUAN PUSTAKA 7

Kajian Rantai Pasok Komoditi Pertanian 7

Kinerja Rantai Pasok Komoditi Pertanian 8

3 KERANGKA PEMIKIRAN 10

Kerangka Pemikiran Teoritis 10

Kerangka Pemikiran Operasional 23

4 METODE PENELITIAN 26

Lokasi dan Waktu Penelitian 26

Jenis dan Sumber Data 26

Metode Penentuan Responden 26

Metode Pengolahan dan Analisis Data 27

5 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 29

Gambaran Umum Kabupaten Brebes 29

Karakteristik Responden Bawang Merah di Kabupaten Brebes 30 6 RANTAI PASOK BAWANG MERAH DI KABUPATEN BREBES 33

Sasaran Rantai Pasok 34

Struktur Rantai Pasok 36

Manajemen Rantai Pasok 42

Sumber Daya Rantai Pasok 45

Proses Bisnis Rantai Pasok 48

7 KINERJA RANTAI PASOK BAWANG MERAH DI KABUPATEN

BREBES 57

Analisis Margin Pemasaran 57

Analisis Farmer’s Share 66

8 SIMPULAN DAN SARAN 67

Simpulan 67

Saran 68

DAFTAR PUSTAKA 69

(14)

1 Luas panen, produksi dan produktivitas bawang merah di Indonesia

tahun 2010 – 2014 2

2 Ekspor dan impor bawang merah konsumsi di Indonesia

tahun 2010 – 2014 2

3 Karakteristik responden petani bawang merah di Kabupaten Brebes 31 4 Karakteristik responden pedagang bawang merah di Kabupaten Brebes 32 5 Fungsi-fungsi pemasaran pada lembaga-lembaga bawang

merah untuk konsumsi di Kabupaten Brebes 58

6 Margin pemasaran bawang merah untuk konsumsi di Kabupaten Brebes 62 7 Fungsi-fungsi pemasaran pada lembaga-lembaga bawang merah untuk

benih di Kabupaten Brebes 63

8 Margin pemasaran bawang merah untuk benih di Kabupaten Brebes 65 9 Total margin masing-masing jenis pada tiap saluran pemasaran

bawang merah di Kabupaten Brebes 65

10 Farmer’s share pada saluran pemasaran bawang merah konsumsi

dan benih di Kabupaten Brebes 66

DAFTAR GAMBAR

1 Perkembangan harga bawang merah di tingkat produsen dan

konsumen di Indonesia tahun 2005-2014 3

2 Perkembangan harga bulanan bawang merah konsumsi di tingkat

petani dan konsumen di Kabupaten Brebes tahun 2014 4

3 Tiga tingkat kompleksitas rantai pasok 11

4 Diagram skematik rantai pasok dari perspektif pengolah dalam FSCN 14 5 Kerangka analisis rantai pasok berdasarkan FSCN 15

6 Diagram margin pemasaran 22

7 Kerangka pemikiran operasional 25

(15)

Latar Belakang

Sektor pertanian memegang peranan yang sangat strategis dalam pembangunan perekonomian Indonesia. Hal ini dikarenakan sebagian besar masyarakat Indonesia bergantung pada sektor pertanian. Sektor ini terdiri dari beberapa sub sektor, yaitu sub sektor hortikultura, tanaman pangan, perkebunan, perikanan, kehutanan dan peternakan. Salah satu sub sektor yang cukup penting adalah hortikultura. Sub sektor ini meliputi sayuran, buah-buahan, tanaman hias, dan biofarmaka atau obat-obatan. Sub sektor hortikultura merupakan bahan pemasok bahan pangan yang kaya akan vitamin dan mineral yang diperlukan oleh tubuh.

Sub sektor hortikultura telah memberikan sumbangan yang cukup penting bagi sektor pertanian maupun perekonomian nasional, dilihat dari kontribusinya terhadap pembentukan produk domestik bruto, jumlah rumah tangga yang mengandalkan sumber pendapatan dari sub sektor hortikultura, peningkatan pendapatan masyarakat, perdagangan internasional dan sumber pangan masyarakat. Di samping tanaman pangan, komoditas hortikultura merupakan komoditas yang penting karena perannya sebagai penghasil kebutuhan pangan pokok masyarakat. Pasar produk-produk hortikultura di Indonesia sangat besar dan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sejalan dengan peningkatan laju pertumbuhan penduduk Indonesia (Ditjen Hortikultura 2014).

Salah satu bagian dari komoditas hortikultura tersebut adalah kelompok tanaman sayuran. Dari sisi ekonomi, sayuran merupakan tanaman hortikultura yang penting karena mampu memberikan sumbangan kepada produk domestik bruto hortikultura terbesar kedua setelah buah-buahan (Ditjen Hortikultura 2014). Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran yang cukup strategis mengingat fungsinya yang hampir digunakan dalam seluruh menu makanan di Indonesia. Sebagai sayuran unggulan nasional, keragaan produksi dan konsumsinya selalu menjadi perhatian para pemangku kepentingan. Pada tahun 2014, konsumsi bawang merah per kapita mencapai 2.48 kilogram per tahun, mengalami peningkatan sebesar 20 persen dibandingkan tahun 2013 yang hanya sebesar 2.06 kilogram (BPS 2015). Di sisi lain, permintaan bawang merah juga terus meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Kondisi tersebut perlu diimbangi dengan upaya untuk meningkatkan produksi bawang merah dalam memenuhi kebutuhan nasional.

(16)

Tabel 1 Luas panen, produksi, dan produktivitas bawang merah di Indonesia tahun 2010–2014

Tahun

Luas Panen Produksi Produktivitas

(Ha) Pertum-

Peningkatan permintaan ditandai dengan meningkatnya konsumsi per kapita penduduk Indonesia dari tahun ke tahun. Peningkatan ini juga mengindikasikan bahwa bawang merah memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan dan memiliki pasar yang menjanjikan sebagai motivasi bagi petani sebagai produsen untuk meningkatkan produksi bawang merah. Meskipun demikian, hal ini belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh petani bawang merah di Indonesia.

Kesenjangan produksi dan konsumsi tidak hanya terjadi dari sisi kuantitas, namun juga dari sisi waktu, sehingga menyebabkan impor bawang merah terus terjadi. Sampai saat ini Indonesia masih tergantung dan membuka kran impor bawang merah untuk memenuhi kebutuhan bawang merah secara nasional. Selain melakukan impor bawang merah, Indonesia juga melakukan ekspor bawang merah yang volumenya jauh lebih sedikit dibandingkan volume impor. Perkembangan ekspor dan impor bawang merah Indonesia pada tahun 2010 hingga 2014 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Ekspor dan impor bawang merah konsumsi di Indonesia tahun 2010– beberapa negara seperti Thailand, Vietnam, India, Filipina, Malaysia, dan Tiongkok. Masuknya bawang merah impor ke Indonesia khususnya di daerah sentra produksi menyebabkan terjadinya permasalahan harga di tingkat produsen. Harga bawang merah impor yang lebih murah mendorong harga bawang merah di tingkat petani juga mengalami penurunan, sehingga potensi pendapatan menjadi berkurang.

(17)

sebesar 42 persen kebutuhan bawang merah nasional yang tersebar di beberapa kabupaten dengan Kabupaten Brebes merupakan sentra produksi utama. Luas panen dan produksi bawang merah di Kabupaten Brebes tiap tahun menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2014 produksi bawang merah di Kabupaten Brebes mengalami peningkatan 23.29 persen dari tahun 2013. Hal senada juga terlihat pada peningkatan luas panen yang mencapai sebesar 24.26 persen pada tahun yang sama (BPS Kabupaten Brebes 2015).

Bawang merah merupakan tanaman yang bersifat musiman dan mudah busuk (perishable) sehingga ketersediaannya di pasaran sangat bervariasi yang menyebabkan terjadinya fluktuasi harga (Ariningsih dan Tentamia 2004; Sukesi et al. 2014). Salah satu sebab dari masalah ini adalah adanya ketergantungan produksi terhadap musim. Pada musim panen jumlah produksi melimpah, sedangkan pada musim paceklik terjadi sebaliknya. Jumlah produksi yang melimpah akan menyebabkan turunnya harga di pasaran karena tingkat penawaran yang lebih besar dari permintaan. Keadaan akan berubah sebaliknya jika jumlah produksi lebih rendah dari yang dibutuhkan sehingga mengakibatkan harga naik.

Fluktuasi harga pada komoditi bawang merah tidak hanya terjadi di tingkat konsumen, akan tetapi juga ditingkat petani sebagai produsen. Namun, kesenjangan harga di tingkat produsen dan konsumen cenderung besar dan tidak seimbang. Gambar 1 menjelaskan bagaimana perkembangan harga di tingkat produsen yang cenderung stabil dan di tingkat konsumen lebih fluktuatif.

Gambar 1 Perkembangan harga bawang merah di tingkat produsen dan konsumen di Indonesia tahun 2005–2014

Sumber: Pusdatin (2015)

Permasalahan diskontinuitas produksi dan fluktuasi harga mengindikasikan masih adanya persoalan rantai pasok bawang merah di Indonesia. Upaya efisiensi rantai pasok diperlukan untuk memaksimalkan nilai yang diterima petani dan kepuasan pelaku rantai pasok. Kabupaten Brebes sebagai sentra utama bawang merah Indonesia perlu mendapat perhatian prioritas dalam penyusunan strategi perbaikan rantai pasok bawang merah nasional.

0

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

(18)

Perumusan Masalah

Kabupaten Brebes memegang predikat sebagai penghasil utama bawang nasional, namun masih dihadapkan dalam masalah yang cukup menarik terutama dalam hal pemasarannya. Kesenjangan harga bawang merah dapat terjadi pada bawang merah untuk konsumsi, juga pada bawang merah untuk benih. Akan tetapi, fluktuasi harga pada benih cenderung dipengaruhi oleh musim tanam, lain halnya harga untuk konsumsi yang bisa terjadi setiap hari. Perkembangan harga bawang merah untuk konsumsi per kilogram di tingkat petani dan konsumen di Kabupaten Brebes pada tahun 2014 dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Perkembangan harga bulanan bawang merah konsumsi di tingkat petani dan konsumen di Kabupaten Brebes tahun 2014

Sumber : Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kab. Brebes (2015)

Dinas Pertanian Tan. Pangan dan Hortikultura Kab. Brebes (2015) Tingginya fluktuasi harga bawang merah menyebabkan tingginya risiko harga diterima petani. Menurut Irawan (2007) fluktuasi harga yang terjadi sering kali lebih merugikan petani daripada pedagang karena petani umumnya tidak dapat mengatur waktu penjualannya untuk mendapatkan harga jual yang lebih menguntungkan. Di samping itu, fluktuasi harga yang tinggi juga memberi peluang kepada pedagang untuk memanipulasi informasi harga di tingkat petani sehingga transmisi harga dari pasar konsumen kepada petani cenderung bersifat asimetris. Jika terjadi kenaikan harga di tingkat konsumen maka kenaikan harga tersebut tidak diteruskan kepada petani secara cepat dan sempurna, namun yang terjadi adalah kondisi sebaliknya jika terjadi penurunan harga (Simatupang 1999).

(19)

Masalah lain pada komoditas bawang merahadalah masih terkendala ketersediaan benih bermutu saat dibutuhkan petani (Putrasemedja dan Permadi 2001). Hasil penelitian Basuki (2010) menunjukkan bahwa komposisi petani yang memperoleh benih dari hasil panen bawang konsumsi periode sebelumnya yang sudah diseleksi secara mandiri mencapai 94 persen. Di sisi lain, kebutuhan benih bawang merah nasional setiap tahunnya cukup tinggi. Pasokan benih pada tahun 2014 yang dapat dipenuhi melalui produksi benih bersertifikat hanya sebesar 26.6 persen, sedangkan sisanya dipenuhi dari impor benih sebesar 1.4 persen dan benih dari sektor non formal jaringan arus benih antar lapang (Jabal) sebesar 72 persen (Ditjen Hortikultura 2015). Rendahnya pemenuhan benih bermutu disebabkan harga benih bermutu/bersertifikat lebih mahal dibandingkan benih belum bersertifikat sehingga penggunaan benih dari hasil panen sendiri dapat menghemat biaya produksi (Basuki 2009).

Fenomena yang terjadi pada bawang merah baik untuk konsumsi maupun untuk benih di atas menggambarkan bahwa sistem rantai pasok yang terjadi dalam pemasaran bawang merah belum efisien. Kabupaten Brebes sebagai sentra utama produsen bawang merah untuk konsumsi maupun benih terbesar di Indonesia masih dihadapkan pada permasalahan yang sama. Pada saat musim tanam bawang merah (in season) pada bulan April–Juni petani dihadapkan pada harga benih yang tinggi. Naiknya harga benih dikarenakan pada musim tanam sebelumnya (off season) pada bulan Desember–Februari hasil panen petani cenderung menurun karena tingginya serangan penyakit dan jamur. Petani di Kabupaten Brebes yang mayoritas menggunakan benih Jabal harus mengeluarkan biaya lebih karena ketersediaan benih menurun sehingga harga benih cenderung naik. Menurut pengalaman petani, musim tanam pada bulan Juli–Agustus merupakan waktu tanam terbaik karena kondisi cuaca yang lebih kering namun pasokan air tetap tersedia. Senada dengan hasil penelitian Purba dan Astuti (2014) yang menyatakan bahwa penanaman bawang merah pada bulan Juli – September merupakan waktu terbaik yang dapat memberikan hasil optimal.

Pengaruh musim tidak hanya menyebabkan produksi yang fluktuatif, akan tetapi juga berdampak terjadinya fluktuasi harga (Irawan 2007; Asmara dan Ardhiani 2010; Susanawati et al. 2015). Hasil panen pada off season yang cenderung menurun karena kerusakan pada daun dan busuk umbi bawang merah menyebabkan kualitasdan harga jual di tingkat petani menurun. Selain itu, pedagang pengumpul yang datang mengunjungi lahan petani untuk melakukan tawar menawar lebih sedikit sehingga nilai tawar petani semakin rendah. Permasalahan yang terjadi pada bawang merah untuk konsumsi maupun benih di Kabupaten Brebes menunjukkan bahwa masih perlunya penguatan sistem rantai pasok dalam pemasaran bawang merah.

(20)

untuk memperbaiki permasalahan. Selain itu pengukuran kinerja diperlukan untuk mengetahui sejauh mana optimalisasi kegiatan pemasaran yang dilakukan anggota rantai pasok dan apabila struktur rantai pasok telah terkoordinasi dengan baik diharapkan dapat memberikan keuntungan yang tinggi bagi petani, tingkat harga dan stabilitas harga. Efisiensi pemasaran bagian dari indikator pengukuran kinerja rantai pasok dalam menentukan sistem pemasaran yang lebih efisien.

Berdasarkan uraian permasalahan tersebut maka pertanyaan yang mendasari penelitian ini adalah:

1. Bagaimana rantai pasok bawang merah untuk konsumsi dan benih di Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah dengan menggunakan kerangka Food Supply Chain Network (FSCN)?

2. Bagaimana kinerja rantai pasok bawang merah untuk konsumsi dan benih di Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan dari penelitian ini meliputi:

1. Menganalisis rantai pasok bawang merah untuk konsumsi dan benih di Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah.

2. Menganalisis kinerja rantai pasok bawang merah untuk konsumsi dan benih di Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah dapat memberikan rekomendasi kebijakan dalam perbaikan rantai pasok bawang merah untuk konsumsi dan benih di Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian ini juga diharapkan mampu menjadi masukan dalam pengembangan rantai pasok bawang merah di Kabupaten brebes yakni peningkatan produktivitas bawang merah secara umum. Selain itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan bagi peneliti yang melakukan penelitian mengenai rantai pasok.

Ruang Lingkup Penelitian

(21)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Kajian Rantai Pasok Komoditi Pertanian

Menurut Chopra and Meindl (2007), rantai pasok memiliki sifat yang dinamis namun melibatkan tiga aliran yang konstan, yaitu aliran informasi, produk dan uang. Tujuan utama dari setiap rantai pasok adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumen dan menghasilkan keuntungan. Van der Vost (2000) mendefinisikan rantai pasok sebagai sebuah rangkaian dari aktivitas-aktivitas (fisik dan pengambilan keputusan) yang terhubung oleh saluran barang dan informasi serta terkait dengan aliran-aliran uang dan hak milik yang berseberangan dengan batasan organisasi. Oleh karena itu manajemen terhadap rantai pasok penting untuk menciptakan integrasi dari perencanaan, koordinasi, dan pengawasan dari semua proses bisnis dan aktivitas di dalam rantai pasok untuk menyampaikan nilai yang diharapkan konsumen dengan biaya sekecil mungkin terhadap rantai pasok secara keseluruhan yang pada saat bersamaan memenuhi berbagai persyaratan dari pelaku lain dalam rantai pasok (Van der Vost 2000). Pengelolaan dan integrasi antar anggota rantai pasok menjadi salah satu cara yang efektif untuk meningkatkan keunggulan kompetitif dan kinerja suatu rantai pasok dalam menghadapi lingkungan bisnis dengan tingkat persaingan yang semakin tinggi (Salazar 2012).

Setiap anggota rantai pasok merupakan bagian dari satu bisnis secara keseluruhan, sehingga penting adanya praktik bisnis yang baik dan komitmen antar anggota rantai pasok. Hasil penelitian Sridharan dan Simatupang (2009), Mathuramaytha (2011), serta Ahmad dan Ullah (2013) mengenai kolaborasi rantai pasok menyatakan bahwa aliran dan keterbukaan informasi yang baik antar anggota rantai pasok menjadi kunci suksesnya kolaborasi rantai pasok, karena dapat membantu meningkatkan hubungan antar anggota rantai pasok melalui integrasi sistem informasi dan sistem pengambilan keputusan, sehingga mengarah pada peningkatan kinerja dan penghapusan inefisiensi dalam rantai pasok.

Integrasi dan kolaborasi dalam suatu rantai pasok dapat memberikan keuntungan bagi setiap anggota yang tergabung di dalamnya. Sridharan dan Simatupang (2009) dan Mathuramaytha (2011) mengungkapkan bahwa kolaborasi rantai pasok akan memberikan keuntungan lebih bagi anggotanya, meningkatkan penerimaan dan pangsa pasar, serta mempercepat proses pengambilan keputusan dalam menghantarkan produk yang tepat ke lokasi yang tepat pada waktu dan kondisi yang tepat dengan biaya yang rendah. Adanya kolaborasi dalam rantai pasok juga dapat menekan kelebihan persediaan dan memberikan respons yang cepat atas permintaan konsumen akhir (Rigatto et al. 2004; Sridharan dan Simatupang 2009).

(22)

penelitian Demir (2013) mengenai rantai pasok berjaring pada produk organik di Turki juga menyebutkan bahwa dengan adanya integrasi dalam rantai pasok memberikan keuntungan berupa peningkatan kepercayaan pelanggan atas kontinuitas produk.

Pelaksanaan aktivitas kolaborasi dalam rantai pasok memiliki beberapa hambatan yang meliputi ketakutan akan terjadinya kegagalan, kompetisi yang ketat di antara rantai pasok, krisis kepercayaan, kompleksitas kegiatan operasional, ketidakmampuan mengakses teknologi, dan kurangnya standar proses komunikasi dalam rantai pasok (Kohli dan Jensen 2010; Ronchi 2011). Hambatan dalam pelaksanaan aktivitas rantai pasok tersebut apabila tidak diantisipasi dapat mengakibatkan struktur rantai pasok kurang terintegrasi dengan baik dan menimbulkan inefisiensi dalam proses penyaluran produk atau jasa.

Manajemen rantai pasok produk pertanian mewakili manajemen keseluruhan proses produksi dari kegiatan pengolahan distribusi, pemasaran, hingga produk yang diinginkan sampai ke tangan konsumen (Marimin dan Maghfiroh 2010). Manajemen rantai pasok pertanian memiliki cara penanganan yang berbeda (kompleks, probalistik, dan dinamis) dibanding dengan manajemen rantai pasok non pertanian. Perbedaan terdapat pada karakteristik produk pertanian yang perishable (mudah rusak) dan ukuran produk yang bervariasi (tidak seragam), proses produksi yang tergantung pada musim dan iklim, serta perubahan perilaku konsumen terhadap keamanan pangan. Begitu pula sifat dan karakteristik produk pertanian yang secara luas adalah mudah rusak, volume besar, dan mengambil ruang besar (perishable, voluminous, dan bulky).

Van der Vorst (2000) dan Van der Spiegel (2004) menyimpulkan beberapa karakteristik rantai pasok pertanian secara khusus yaitu: umur simpan produk yang singkat; produk yang mudah rusak dan busuk; waktu produksi yang panjang; produksi tergantung musim; panen raya dan paceklik; penanganan terhadap penyimpanan; kualitas dan kuantitas produksi dipengaruhi oleh musim, cuaca, hama dan penyakit tanaman; dan permintaan konsumen terhadap keamanan pangan. Sistem pengukuran rantai pasok dalam perkembangannya perlu mengutamakan untuk mempertimbangkan rantai pasok sesuai dengan karakteristik yang spesifik. Karakteristik rantai pasok pangan berbeda dengan rantai pasok pada umumnya. Oleh karena itu, rantai pasok pangan memiliki sistem pengukuran rantai pasok yang disesuaikan dengan karakteristiknya. Pelaku dan aktivitas rantai pasok bawang merah sangat kompleks dan memiliki beberapa rantai pasok yang terdiri dari beragam pelaku yang terlibat (petani, penangkar benih, pedagang pengumpul, pedagang grosir, pedagang pengecer, dan konsumen akhir).

Kinerja Rantai Pasok Komoditi Pertanian

(23)

(biaya transportasi dan pengemasan), total mark up, dan jumlah pemborosan (biaya kerugian akibat barang usang dan biaya akibat kehilangan dalam transportasi).

Indikator berhasilnya suatu pengelolaan rantai pasok khususnya pada komoditi pertanian dikemukakan oleh Roekel et al. (2002) yaitu (1) meningkatnya margin dan pengetahuan pasar bagi produsen, (2) penurunan hilangnya produk selama penyimpanan dan transportasi, (3) kualitas produk meningkat, (4) meningkatnya produk pangan yang terjamin aman, (5) penjualan meningkat signifikan, (6) peningkatan nilai tambah produk yang dapat menghasilkan penerimaan. Dalam konteks manajemen rantai pasok pengukuran tidak hanya melibatkan proses internal pelaku bisnis, tetapi terhadap seluruh pihak yang terlibat dalam rantai pasoknya (Pujawan 2005).

Menurut Lokollo (2012) terdapat enam hal pokok yang harus diperhatikan dalam manajemen rantai pasok (memerhatikan aliran barang/komoditi, aliran jasa/servis, maupun aliran informasi). Keenam hal tersebut yaitu (1) aktivitas yang dilakukan apakah menghasilkan nilai tambah atau tidak, (2) bagaimana atau dimana peranan servis atau jasa di setiap titik simpul atau mata rantai, (3) apa dan siapa yang menentukan harga, (4) hubungan kesepadanan diantara tiap pelaku, (5) bagaimana sampai nilai tambah di tiap simpul itu (how value is created), dan (6) siapa saja pemeran utama atau penentu (key decison-makers).

Relasi dengan konsumen akhir adalah sebuah keharusan dalam meraih kesuksesan dalam rantai pasokan. Rantai pasokan harus dekat dengan konsumen akhir mereka untuk membentuk hubungan kerjasama dalam perencanaan. Sementara perusahaan bersaing melalui penyesuaian produk, kualitas yang tinggi, pengurangan biaya, dan kecepatan mencapai pasar diberikan penekanan tambahan terhadap rantai pasokan.

Van der Vost (2006) telah mendiskusikan sebuah kerangka untuk menggambarkan rantai pasok, pelaku yang terlibat, proses, produk, sumber daya dan manajemen, hubungan, dan ciri khas untuk memahami rantai pasok yang kompleks yang disebut kerangka Food Supply Chain Network (FSCN). Awal pembahasan dalam kerangka FSCN yaitu sasaran rantai (chain objectives) dengan mengidentifikasi karakteristik spesifik dari rantai pasok, pengintegrasian kualitas dan pengoptimalan rantai. Selanjutnya dimulai dengan membahas struktur rantai untuk menjawab pertanyaan siapa anggota dalam FSCN dan perannya dan apa saja aturannya. Demikian pula proses bisnis rantai untuk menjawab pertanyaan yaitu siapa pelaku yang terlibat dalam proses FSCN dan bagaimana tingkat integrasi proses. Sedangkan manajemen rantai menekankan manajemen diantara setiap proses, kontrak yang terjalin dan sejauh mana dukungan pemerintah. Sumber daya rantai yaitu sumber daya yang digunakan dalam setiap proses. Penjelasan Kerangka FSCN secara deskriptif tidak cukup untuk menjelaskan kondisi rantai pasok. Oleh karena itu pengukuran kinerja rantai pasok penting untuk melihat sejauh mana efisiensi dan efektifitas rantai pasok.

(24)

(2015) menganalisis rantai pasok kubis di Kabupaten Simalungun juga menggunakan analisis efisiensi pemasaran. Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis rantai pasok bawang merah untuk konsumsi dan benih di Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah ini menggunakan kerangka FSCN dan pengukuran kinerja rantai pasok menggunakan pendekatan efisiensi operasional pemasaran yang berdasarkan analisis margin pemasaran dan farmer’s share. Penelitian ini melihat bagaimana rantai pasok bawang merah dilihat dari dua sisi pokok utama yang saling terkait yakni tidak hanya pada bawang merah konsumsi, akan tetapi menganalisis bagaimana rantai pasok bawang merah untuk benih di Kabupaten Brebes.

Penelitian Sumaiyah et al. (2013) tentang analisis integrasi pasar bawang merah di Kabupaten Pamekasan melihat bagaimana efisiensi pemasaran pada komoditi bawang merah juga diukur dari margin pemasaran dan farmer’s share. Analisis yang sama juga digunakan Karyawan et al. (2014) mengenai analisis penampilan pasar bawang merah di Kabupaten Lombok Barat, dan Ngodu et al. (2015) tentang margin pemasaran bawang merah di Desa Pangian Kecamatan Passi Timur. Melalui indikator margin pemasaran, Dhewi (2013) yang melakukan penelitian tentang analsisis efisiensi pemasaran bawang merah di Kabupaten Probolinggo mengungkapkan margin pemasaran yang tinggi menunjukkan belum efisiennya pemasaran yang terjadi dan semakin pendek saluran pemasaran maka nilai farmer’s share akan semakin besar.

Nurasa dan Darwis (2007) yang melihat analisis usahatani dan keragaan margin pemasaran bawang merah di Kabupaten Brebes menyimpulkan bahwa tujuan utama pemasaran lebih dominan ke pedagang pengumpul dengan margin terbesar terdapat pada pedagang pasar induk dengan farmer’s share terbesar terhadap pedagang pengumpul yang mencapai 80 persen. Selanjutnya Mayrowani dan Darwis (2009) mengemukakan bahwa margin pasar cenderung lebih mengelompok pada pedagang besar dan supplier. Hal ini menunjukkan bahwa tingginya harga tidak dinikmati petani, tetapi pada saat harga turun harga tersebut ditransmisikan dengan baik ke tingkat petani. Artinya petani tetap menerima harga yang rendah dan berfluktuasi.

3 KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

Konsep Rantai Pasok

(25)

kegiatan yang terlibat dalam mengalirkan produk beserta pelayanan tambahan dari pemasok utama hingga ke konsumen akhir.

Mentzer et al. (2001) menjabarkan tingkat kompleksitas rantai pasok yang terdiri dari tiga tingkat meliputi rantai pasok langsung (direct supply chain), rantai pasok yang diperpanjang (extended supply chain), dan rantai pasok utama (ultimate supply chain) (Gambar 3). Rantai pasok langsung terdiri dari pemasok, perusahaan, dan konsumen yang terlibat dalam aliran hulu dan hilir dari suatu produk, pelayanan, keuangan, dan informasi. Rantai pasok yang diperpanjang memiliki anggota rantai pasok yang lebih banyak, meliputi pemasok utama yang menjadi sumber penyedia produk bagi pemasok, pemasok, perusahaan, konsumen antara, dan konsumen akhir yang juga terlibat dalam aliran hulu dan hilir dari suatu produk, pelayanan, keuangan, dan informasi di sepanjang rantai pasok.

Gambar 3 Tiga tingkat kompleksitas rantai pasok

Sumber: Mentzer et al. (2001)

Rantai pasok utama mencakup seluruh organisasi yang terlibat dalam seluruh aliran hulu dan hilir dari suatu produk, pelayanan, keuangan, dan informasi mulai dari pemasok utama hingga konsumen akhir. Pada Gambar 3 juga diilustrasikan kompleksitas yang dapat dicapai oleh rantai pasok utama. Sebagai gambaran, penyedia keuangan pihak ketiga dapat menyediakan fasilitas pembiayaan. Penyedia logistik pihak ketiga dapat melakukan kegiatan logistik antara dua perusahaan. Sedangkan perusahaan riset pasar dapat memberikan informasi mengenai konsumen akhir.

Anatan dan Ellitan (2008) menjelaskan bahwa perubahan lingkungan bisnis yang berkembang secara cepat karena adanya tuntutan konsumen yang semakin kritis akan produk dan jasa yang berkualitas dengan harga yang rendah serta dapat diperoleh dengan mudah dan cepat, menjadi salah satu latar belakang munculnya perubahan paradigma persaingan bisnis dari single alone competition menjadi

Supplier Organization Customer

DIRECT SUPPLY CHAIN

Ultimate

Supplier Supplier Organization Customers

Ultimate Customers Financial

Provider Research firm Market

Third party Logistics supplier

ULTIMATE SUPPLY CHAIN

Supplier‟s

Supplier Supplier Organization Customers

Customer‟s Customers

(26)

networked competition. Perubahan paradigma tersebut juga menimbulkan perkembangan bentuk rantai pasok dari yang semula berbentuk linier (linear supply chain) menjadi berjaring (networked supply chain). Melalui integrasi rantai pasok pada suatu rantai pasok berjaring, perusahaan dapat menciptakan hubungan dengan pasar, jaringan distribusi, dan proses pabrikan untuk memberikan pelayanan terbaik bagi konsumen dengan biaya yang lebih rendah.

Jonsson (2008) menyatakan bahwa manajemen rantai pasok meliputi perencanaan dan pengelolaan semua kegiatan yang terlibat dalam sumber dan pengadaan, konversi, dan semua kegiatan manajemen logistik. Hal ini juga mencakup koordinasi dan kolaborasi dengan masing-masing saluran seperti pemasok, perantara, penyedia layanan pihak ketiga, dan pelanggan. Masalah penawaran dan permintaan terjadi di seluruh rantai dan rantai pasok menghubungkan semua komponen dengan tujuan untuk memenuhi permintaan konsumen (Summer 2009). Lambert (2008) juga menyatakan bahwa manajemen rantai pasok adalah integrasi dari proses bisnis utama dari pengguna akhir melalui pemasok yang menyediakan produk, layanan, dan informasi yang meningkatkan nilai tambah bagi pelanggan dan stakeholder lainnya. Menurut Pujawan (2005), rantai pasok adalah jaringan perusahaan yang secara bersama-sama bekerja untuk menciptakan dan menghantarkan suatu produk sampai ke tangan pelanggan. Perusahaan-perusahaan tersebut biasanya terdiri dari rangkaian supplier (pemasok), pabrik, distributor, toko atau ritel serta perusahaan-perusahaan pendukung seperti perusahaan jasa logistik.

Menurut Chopra dan Meindl (2007), terdapat dua cara pandang yang berbeda untuk melihat proses yang terjadi dalam rantai pasok, yaitu cycle view dan push or pull view. Pada cycle view dijelaskan bahwa proses dalam rantai pasok merupakan rangkaian dari beberapa siklus, dimana masing-masing siklus terjadi di antara dua tahap atau anggota rantai pasok yang berhadapan. Sedangkan pada push or pull view dijelaskan bahwa proses dalam rantai pasok dibagi menjadi dua kategori tergantung kepada tindakan anggota rantai pasok yang tergabung di dalamnya, apakah tindakan tersebut untuk menanggapi atau mengantisipasi pesanan (permintaan) konsumen. Proses pull (tarik) adalah proses yang diawali dari respon terhadap permintaan konsumen, sementara proses push (dorong) adalah proses yang diawali dan dilakukan dalam rangka mengantisipasi permintaan konsumen.

Cycle view pada suatu rantai pasok terdiri dari empat siklus proses yang terdiri dari siklus procurement, siklus manufacturing, siklus replenishment, dan siklus customer order. Cycle view pada rantai pasok sangat bermanfaat dalam pertimbangan keputusan operasional, karena dapat menentukan peran masing-masing anggota rantai pasok. Cycle view juga bermanfaat dalam pembentukan sistem informasi yang mendukung operasi rantai pasok.

(27)

lingkungan yang tidak pasti karena permintaan konsumen tidak diketahui, sedangkan proses pull beroperasi di lingkungan yang permintaan konsumennya diketahui dengan pasti. Proses dalam push or pull view tersebut seringkali terkendala oleh keputusan persediaan dan kapasitas yang dibuat pada fase push.Push or pull view pada rantai pasok sangat bermanfaat dalam pertimbangan keputusan strategis yang berkaitan dengan desain rantai pasok. Terutama dalam kaitannya dengan tujuan untuk mengidentifikasi pendekatan batasan push or pull yang dapat mencocokkan penawaran dan permintaan secara efektif (Chopra dan Meindl 2007).

Jonsson (2008) menyatakan bahwa aktifitas dalam rantai pasok dilakukan untuk memuaskan kebutuhan konsumen melalui penyaluran berbagai variasi produk. Agar tujuan itu tercapai, terdapat empat tipe utilitas berbeda yang harus dipenuhi dalam suatu rantai pasok. Pertama adalah utilitas bentuk yang merepresentasikan nilai tambah yang dihasilkan melalui nilai perubahan wujud mulai dari bahan input hingga menjadi produk akhir. Kedua adalah utilitas tempat yang merepresentasikan nilai tambah yang dihasilkan dengan menjadikan produk dapat diperoleh pada tempat yang tepat. Ketiga adalah utilitas waktu yang merepresentasikan nilai tambah yang dihasilkan dengan menjadikan produk dapat diperoleh di waktu yang tepat. Utilitas terakhir adalah utilitas kepemilikan yang merepresentasikan nilai tambah yang dihasilkan ketika kepemilikan suatu produk berpindah ke konsumen.

Food Supply Chain Network (FSCN)

Van der Vost (2000) menjelaskan bahwa rantai pasok pangan merupakan sebuah rangkaian dari aktivitas fisik dan pengambilan keputusan yang terhubung oleh saluran barang dan informasi serta terkait dengan aliran-aliran uang dan hak milik yang berseberangan dengan batasan organisasi. Manajemen rantai pasok penting untuk menciptakan integrasi dari perencanaan, koordinasi dan pengawasan dari semua proses bisnis dan aktivitas di dalam rantai pasok untuk menyampaikan nilai yang diharapkan konsumen dengan biaya sekecil mungkin terhadap rantai pasok secara keseluruhan yang pada saat bersamaan memenuhi berbagai persyaratan dari pelaku lain dalam rantai pasok. Analisis rantai pasok yang dievaluasi dalam konteks dari jaringan yang kompleks dari rantai pangan, dinamakan Food Supply Chain Network (FSCN). Singkatnya, pelaku rantai kemungkinan terlibat pada rantai pasok yang berbeda pada FSCN yang berbeda, berpartisipasi pada proses bisnis yang beranekaragam yang dapat berubah setiap waktu dan hubungan vertikal dan horizontal yang dinamis. FSCN terdiri dari empat unsur untuk menggambarkan, menganalisis, dan mengembangkan FSCN secara spesifik (Van der Vorst 2006).

(28)

dalam menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu organisasi (Chopra dan Meindl 2007).

Sistem pengukuran rantai pasok dalam perkembangannya perlu untuk mempertimbangkan rantai pasok sesuai dengan karakteristik yang spesifik. Karakteristik rantai pasok pangan berbeda dengan rantai pasok pada umumnya. Oleh karena itu rantai pasok pangan memiliki sistem pengukuran rantai pasok yang disesuaikan dengan karakeristiknya. Pelaku dan aktivitas agribisnis bawang merah sangat kompleks dimana memiliki beberapa rantai pasok yang terdiri dari beragam pelaku yang terlibat (petani, pedagang penangkar benih, pedagang pengumpul, pedagang grosir, pengecer, dan konsumen) pada saat bersamaan dan waktu yang berbeda. Hal ini sesuai dengan diagram skema rantai pasok Van der Vorst (2006) pada Gambar 4.

Gambar 4 Diagram skematik rantai pasok dari perspektif pengolah dalam FSCN Sumber: Van der Vorst (2006)

Setiap pelaku berada pada lapisan jaringan yang memiliki paling sedikit satu rantai pasok. Dari setiap rantai pasok biasanya memiliki pemasok dan konsumen pada saat yang bersamaan dan waktu yang berbeda. Pelaku lainnya pada jaringan mempengaruhi kinerja dari rantai pasok. Setiap pelaku bisa saja melakukan aturan yang berbeda pada rantai yang berbeda dan bekerjasama dengan rantai berbeda yang kemungkinan menjadi pesaingnya pada rantai lain. Oleh karena itu analisis rantai pasok yang dievaluasi dalam konteks jaringan yang kompleks pada rantai pasok pangan, dinamakan Food Supply Chain Network (FSCN).

(29)

Gambar 5 Kerangka analisis rantai pasok berdasarkan FSCN Sumber: Van der Vorst (2006)

1. Struktur jaringan/rantai

Menetapkan batas dari jaringan rantai pasok dan menggambarkan pelaku yang utama dalam jaringan, menetapkan aturan yang berlaku dan susunan kelembagaan yang terdapat pada jaringan. Intinya menetapkan pelaku utama dalam keberhasilan usaha dan rantai pasok sesuai dengan kendali manajerial dan sumber daya.

2. Manajemen rantai

Melambangkan koordinasi dan manajemen struktur dalam pelaksanaan proses oleh pelaku di dalam jaringan. Dengan adanya manajemen rantai pasok dapat diketahui pihak mana yang bertidak sebagai pengatur dan pelaku utama dalam rantai pasok. Beberapa hal yang perlu dilihat juga adalah pemilihan mitra, kesepakatan kontrak dan sistem transaksi, dukungan pemerintah dan kolaborasi rantai pasok

3. Sumber daya rantai

Sumber daya rantai digunakan untuk menghasilkan produk dan mengirim hingga sampai kepada pelanggan. Sebagai contoh sumber daya yaitu sumber daya fisik, teknologi/mesin, sumber daya manusia, dan permodalan.

4. Proses bisnis dalam rantai

Serangkaian aktivitas bisnis yang terukur dan terstruktur dibangun untuk memproduksi output tertentu (tipe fisik produk, jasa dan informasi) untuk pasar/konsumen tertentu.

Van der Vorst (2006) juga menambahkan bahwa penggunaan FSCN dapat mengidentifikasi lebih dari satu rantai pasok dan lebih dari satu proses bisnis, baik yang paralel maupun berurutan dalam waktu. Akibatnya, organisasi mungkin memainkan peran yang berbeda dalam pengaturan rantai yang berbeda dan karena itu bekerjasama dengan mitra rantai yang berbeda pula, yang mungkin menjadi pesaing mereka dalam pengaturan rantai pasok lainnya. Pelaku rantai mungkin terlibat dalam rantai pasok berbeda dalam FSCN yang berbeda dan berpartisipasi dalam berbagai proses bisnis yang berubah dari waktu ke waktu, dimana diperlukan adanya perubahan kemitraan horizontal dan vertikal yang dinamis.

(30)

Manajemen Rantai Pasok

Menurut Lambert dan Cooper (2000) manajemen rantai pasok merupakan salah satu paradigma baru dalam pengelolaan bisnis modern yang menyatakan bahwa suatu bisnis tidak lagi bersaing secara perorangan, tetapi antar rantai pasok. Manajemen rantai pasok membuka kesempatan untuk aktifitas sinergi atau integrasi dalam suatu perusahaan atau antar perusahaan. Tujuan dari setiap rantai pasok adalah memaksimalkan nilai rantai pasok yang dihasilkan. Adapun nilai rantai pasok yang dihasilkan adalah selisih antara nilai produk akhir untuk pelanggan dan biaya rantai pasok yang timbul untuk memenuhi permintaan pelanggan. Bagi kebanyakan rantai pasok komersial, nilai akan sangat berkorelasi dengan profitabilitas atau surplus rantai pasok (Chopra dan Meindl 2007). Selain itu, menurut Anatan dan Ellitan (2008) aplikasi manajemen rantai pasok pada dasarnya memiliki tiga tujuan utama yaitu penurunan biaya (cost reduction), penurunan modal (capital reduction), dan perbaikan layanan (service improvement). Manajemen rantai pasok yang baik juga dapat meningkatkan pelayanan bagi pelanggan sebagai hasil dari pengembangan aliran informasi, pengiriman yang lebih cepat, dan pengembalian produk yang lebih mudah (Levens 2010; Stadtler et al. 2015).

Lambert (2008) mengungkapkan bahwa berdasarkan hasil identifikasi oleh The Global Supply Chain Forum, proses bisnis rantai pasok terdiri dari delapan proses kunci yang terdiri dari manajemen hubungan pelanggan, manajemen pelayanan pelanggan, manajemen permintaan, pemenuhan pesanan, manajemen aliran manufaktur, manajemen hubungan pemasok, komersialisasi dan pengembangan produk, dan manajemen pengembalian. Chopra dan Meindl (2007) menjelaskan bahwa manajemen rantai pasok yang efektif harus meliputi pengelolaan aliran aset dan produk, aliran informasi, dan aliran dana di sepanjang rantai pasok untuk memaksimalkan keuntungan total. Dalam mengelola ketiga aliran tersebut, diperlukan adanya proses pengambilan keputusan yang tepat agar dapat meningkatkan surplus rantai pasok. Fase pengambilan keputusan dalam manajemen rantai pasok terdiri dari tiga fase, yang meliputi strategi atau desain rantai pasok, perencanaan rantai pasok, dan operasi rantai pasok.

Manajemen rantai pasok dalam pelaksanaannya juga memiliki beberapa filosofi. Mentzer et al. (2001) menyatakan bahwa filosofi manajemen rantai pasok memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Sebuah pendekatan sistem untuk memandang rantai pasok secara keseluruhan dan untuk mengelola aliran total persediaan barang mulai dari pemasok hingga ke pelanggan utama.

2. Sebuah orientasi strategis terhadap upaya kerjasama untuk melakukan sinkronisasi kemampuan operasional dan strategis antar perusahaan menjadi satu kesatuan yang utuh.

3. Fokus kepada pelanggan untuk menciptakan sumber nilai pelanggan yang unik yang mengarah pada kepuasan pelanggan.

Saluran Pemasaran

(31)

jaringan semua pihak yang terlibat dalam menggerakkan produk atau jasa dari produsen ke konsumen atau pelanggan bisnis. Selain itu Bovee dan Thill (1992) menyatakan bahwa saluran pemasaran adalah sebuah sistem yang dirancang untuk memindahkan barang dan jasa dari produsen ke konsumen, yang terdiri dari orang-orang dan organisasi yang didukung oleh berbagai fasilitas, peralatan, dan sumber daya informasi.

Saluran pemasaran mencakup semua pihak yang terlibat dalam proses penyaluran produk. Lembaga-lembaga yang terlibat baik perorangan maupun organisasi dalam proses penyaluran barang dan jasa dari produsen hingga ke konsumen disebut lembaga pemasaran atau perantara (Bovee dan Thill 1992). Peran lembaga pemasaran adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas keseluruhan dari suatu saluran pemasaran. Menurut Kotler dan Armstrong (2008), saluran pemasaran terdiri dari saluran pemasaran langsung (direct marketing channel) dan saluran pemasaran tidak langsung (indirect marketing channel). Saluran pemasaran langsung tidak mempunyai tingkat perantara, sehingga perusahaan menjual langsung kepada konsumen. Sedangkan saluran pemasaran tidak langsung terdiri dari satu atau beberapa perantara seperti pedagang grosir dan pedagang pengecer.

Keunggulan dari saluran pemasaran langsung adalah pelaku pemasaran dapat lebih cepat menanggapi perubahan sikap pelanggan dan lebih mudah untuk menyesuaikan bauran pemasaran (McCarthy dan Perreault 1991). Namun di sisi lain saluran pemasaran langsung dapat dikatakan tidak ekonomis bagi banyak produk, sehingga saluran pemasaran tidak langsung menjadi pilihan dengan pertimbangan pentingnya fungsi-fungsi yang dilakukan oleh anggota dalam saluran pemasaran seperti transportasi, penyimpanan, dan pengembalian produk.

Kotler dan Armstrong (2008) menjelaskan bahwa dalam menyediakan produk dan jasa bagi konsumen, anggota saluran menambah nilai dengan menjembatani kesenjangan waktu, tempat, dan kepemilikan utama yang memisahkan barang dan jasa dari mereka yang akan menggunakannya.Pelaku pemasaran perlu mempertimbangkan strategi saluran pemasaran yang mendeskripsikan tipe saluran pemasaran dan jumlah lembaga pemasaran yang akan terlibat, cara pengorganisasian saluran pemasaran, dan intensitas distribusi yang dilakukan (Levens 2010). Strategi tipe saluran pemasaran ditentukan dengan mempertimbangkan pemilihan saluran pemasaran langsung atau tidak langsung.

Cara pengorganisasian saluran pemasaran terdiri dari tiga macam metode yang meliputi metode konvensional, metode vertical marketing system (VMS), dan metode horizontal. Pada metode konvensional, setiap anggota saluran bekerja secara mandiri dan mengatur dirinya sendiri berdasarkan kekuatan pasar. Metode VMS terjadi ketika sebuah perusahaan memiliki pengaruh terhadap anggota saluran lainnya, baik melalui akuisisi maupun dengan mengembangkan kemampuan distribusinya yang bertujuan agar saluran menjadi lebih efisien. Metode horizontal terjadi ketika dua atau lebih anggota saluran pada tingkat yang sama membentuk sebuah aliansi.

(32)

selektif, dimana konsumen mau menggunakan waktu sedikit lebih lama untuk membeli produk tersebut. Sedangkan strategi distribusi eksklusif diterapkan pada banyak produk mewah dimana pengecer dan pedagang besar diberi hak eksklusif untuk menjual produk tersebut. Strategi ini digunakan untuk mempertahankan persepsi keeksklusifan dan gengsi pada produk yang dijual (Levens 2010).

Salah satu faktor yang mendukung kesuksesan pemasaran adalah distribusi oleh saluran pemasaran. Distribusi adalah proses penyampaian barang dan jasa pada konsumen. Sedangkan saluran pemasaran merupakan suatu jaringan dari semua pihak yang terlibat dalam mengalirnya produk atau jasa dari produsen kepada konsumen atau konsumen bisnis (Levens 2010). Tanpa adanya kegiatan distribusi, produk tidak akan tersedia bagi konsumen sehingga proses maksimisasi keuntungan juga tidak akan tercapai. Kotler dan Keller (2009) mendefenisikan saluran pemasaran adalah beberapa organisasi yang saling bergantung dan terlibat dalam proses mengupayakan agar produk dan jasa yang tersedia untuk digunakan dan dikonsumsi.

Saluran pemasaran konsumen didefinisikan sebagai masing-masing lapisan perantara pemasaran yang melakukan sejumlah pekerjaan dalam membawa produk dan kepemilikannya lebih dekat kepada pembeli akhir (Kotler dan Armstrong 2008). Dari sudut pandang produsen, semakin besar jumlah tingkat berarti semakin sedikit kendali dan semakin besar kompleksitas saluran. Dalam pemasaran terdapat beberapa aliran didalamnya, antara lain : aliran fisik produk, aliran kepemilikan, aliran pembayaran, aliran informasi, dan aliran promosi. Aliran-aliran tersebut dapat membuat saluran yang terdiri dari satu atau lebih menjadi kompleks. Keberhasilan anggota saluran individual bergantung pada keberhasilan saluran keseluruhan, semua saluran harus bekerjasama dengan baik, mereka harus memahami dan menerima perannya, mengkoordinasikan kegiatan, dan bekerjasama untuk meraih tujuan saluran secara keseluruhan.

Kohls dan Uhl (2002) menyatakan bahwa untuk menganalisis suatu sistem pemasaran dapat dilakukan melalui tiga pendekatan yaitu:

1. Pendekatan fungsi (Functional Approach), menganalisis sistem pemasaran dengan menitikberatkan pada hal yang dilakukan dalam mengantarkan produk dari produsen hingga ke konsumen. Pendekatan ini dilakukan untuk mengetahui beragam fungsi pemasaran yang diterapkan dalam suatu sistem pemasaran dalam upaya menciptakan efisiensi pemasaran serta mencapai suatu tujuan yaitu meningkatkan kepuasan konsumen. Fungsi-fungsi pemasaran meliputi fungsi pertukaran yang meliputi fungsi pembelian, penjualan dan fungsi pengumpulan; fungsi fisik yang terdiri dari fungsi penyimpanan, pengangkutan dan pengolahan; dan fungsi fasilitas yang merupakan fungsi yang memperlancar pelakasanaan fungsi pertukaran dan fungsi fisik, fungsi fasilitas terdiri dari fungsi standarisasi, fungsi pembiayaan, fungsi penanggungan risiko dan fungsi intelijen pemasaran.

(33)

terdiri dari pedagang perantara (merchant middlemen), agen perantara (agent middlemen), spekulator (speculative middlemen), pengolah dan pabrikan (processors and manufactures) dan organisasi (facilitative organization). 3. Pendekatan Perilaku (Behavioural-system Approach), pendekatan yang

menganalisis aktivitas-aktivitas yang ada dalam proses pemasaran. Seperti yang telah dijelaskan pada pendekatan kelembagaan bahwa dalam suatu sistem pemasaran terdapat berbagai lembaga pemasaran yang terlibat. Para lembaga pemasaran dapat dipandang sebagai suatu sistem perilaku yang digunakan dalam membuat suatu keputusan khusunya yang terkait dengan kegiatan pemasaran dari suatu produk. Pendekatan ini terdiri dari input-output system, power system, communications system, dan the behavioral system for adapting to internal-external change.

Fungsi-fungsi Pemasaran

Pemasaran merupakan suatu kegiatan yang mencakup proses pertukaran serta serangkaian kegiatan yang terkait pada proses pemindahan produk baik berupa barang ataupun jasa dari sektor produsen ke konsumen. Beragam kegiatan produktif yang terdapat di dalam sistem pemasaran disebut dengan fungsi pemasaran. Pelaksanaan fungsi-fungsi pemasaran akan menetukan efisiensi dari pelaksanaan suatu sitem pemasaran.

Tujuan dari pelaksanaan fungsi pemasaran adalah untuk meningkatkan kepuasan konsumen. Kemampuan suatu produk untuk memuasakan keinginan konsumen dapat diukur dengan utilitas yang mampu diberikan oleh produk tersebut. Utilitas merupakan nilai guna suatu produk yang meliputi nilai guna bentuk, nilai guna tempat, nilai guna waktu dan nilai guna kepemilikan. Secara umum Kohls dan Uhl (2002) membagi fungsi pemasaran ke dalam tiga golongan sebagai berikut:

1. Fungsi pertukaran (exchange function) yang meliputi aktivitas menyangkut pertukaran kepemilikan secara hukum atas produk diantara pembeli dan penjual. Fungsi ini terbagi menjadi:

a. Penjualan (selling), merupakan pengalihan produk kepada pihak pembeli dengan tingkat harga tertentu sebagai akibat dari pemberian nilai tambah dari produk tersebut.

b. Pembelian (buying) terhadap produk-produk pertanian dilatarbelakangi oleh beragam tujuan diantaranya pembelian untuk konsumsi, pembelian untuk bahan baku seperti pembelian yang dilakukan oleh pabrik yang mengolah bahan mentah menjadi barang setengah jadi ataupun barang jadi yang siap pakai.

2. Fungsi fisik (phisycal function) merupakan aktivitas penanganan, pergerakan dan perubahan fisik dari produk dan turunannya, fungsi ini meliputi:

(34)

efektifitas dalam informasi dan komunikasi serta pemanfaatan teknologi yang ada sehingga efisiensi dalam proses pengangkutan dapat tercapai. b. Penyimpanan (storage), berarti menahan barang-barang selama jangka

waktu tertentu sejak produk dihasilkan atau diterima hingga sampai ke proses penjualan. Kegiatan penyimpanan menciptakan nilai guna waktu pada produk. Proses penyimpanan pada produk pertanian dilakukan mengingat produk-produk pertanian memiliki karakteristik khusus yang bersifat musiman.

c. Pengolahan (processing), merupakan suatu upaya mengubah bahan mentah menjadi barang setengah jadi maupun barang jadi yang siap pakai. Fungsi ini menciptakan nilai guna bentuk pada suatu produk. Kegiatan pengolahan erat kaitannya dengan kegiatan penyimpanan khususnya pada produk yang sifatnya musiman.

3. Fungsi fasilitas (facilitating function) merupakan fungsi pendukung dari fungsi pertukaran dan fungsi fisik. Fungsi ini meliputi kegiatan standarisasi dan grading produk, informasi pasar, fungsi pembiayaan serta fungsi penangulangan risiko.

a. Standarisasi (standardization) dan grading

Standarisasi merupakan penetapan suatu ukuran atau ketentuan umum yang diterima oleh umum sebagai sesuatu yang mempunyai nilai tetap serta membuat diferensiasi dari nilai produk yang diterima oleh konsumen. Grading adalah klasifikasi dari setiap atau sejumlah produk berdasarkan standar kualitas tertentu dan pemilahan dari produk-produk yang kategorinya tidak seragam menjadi seragam.

b. Informasi pasar (market intelligence)

Informasi mengenai pasar erat kaitannya dengan keputusan yang akan diambil oleh pelaku pemasaran. Misalnya terkait dengan perubahan harga di pasar, bagaimana pendistribusian serta penanganan produk di mata konsumen.

c. Penanggulangan risiko (risk bearing)

Kegiatan pemasaran suatu produk khususnya produk pertanian, kemungkinan dalam menghadapi risiko pada kegiatan bisnisnya cukup besar. Risiko-risiko tersebut diantaranya risiko kerusakan produk karena produk-produk pertanian bersifat bulky, voluminous dan perishable; risiko fluktuasi harga khususnya bagi komoditi yang bersifat musiman. Pengalihan risiko dapat dilakukan melalui kontrak pembelian dan penjualan serta melalui mekanisme hedging pada future market.

d. Pembiayaan (financing)

Fungsi yang menyangkut kegiatan penyediaan dana untuk membiayai proses produksi dan pemasaran sebuah produk ketika produsen harus menunggu untuk menerima pendapatan dari penjualan hasil panennnya. Efisiensi Pemasaran

(35)

yang menurun menunjukkan kinerja yang buruk. Sebuah sistem pemasaran pangan dapat dikatakan efisien apabila kegiatan pemasaran yang dilakukan dapat mengoptimalkan input tanpa mengurangi kepuasan konsumen. Pendekatan yang dapat digunakan dalam efisiensi pemasaran adalah efisiensi operasional.

Efisiensi operasional berhubungan dengan aktifitas pemasaran yang dapat meningkatkan atau memaksimumkan rasio output-input pemasaran. Efisiensi operasional merupakan ukuran frekuensi produktivitas dari input-input pemasaran atau biaya total pemasaran dengan keuntungan dari lembaga-lembaga pemasaran. Dalam pelaksanaannya, kedua pembilang dan penyebut dari rasio efisiensi pemasaran seringkali berubah pada waktu yang bersamaan. Banyak perubahan dari biaya pemasaran mempengaruhi kepuasan konsumen, dan berupaya untuk meningkatkan manfaat (utilities) pemasaran yang secara normal mempengaruhi biaya pemasaran. Pelaksanaan pemasaran yang baru akan mengurangi biaya tapi juga akan mengurangi kepuasan konsumen dan barangkali akan turut menaikkan atau menurunkan rasio efisiensi. Tingginya rasio biaya pemasaran memungkinkan untuk peningkatan efisiensi pemasaran jika hasilnya memiliki proporsi untuk peningkatan manfaat pemasaran. Sehingga penggunaan sumberdaya dalam pemasaran adalah biaya dan manfaat adalah benefit dari efisiensi pemasaran.

Analisis yang digunakan dalam kajian ini adalah analisis margin pemasaran dan farmer’s share. Konsep margin pemasaran merupakan perbedaan antara harga di tingkat petani produsen dengan harga di tingkat konsumen akhir atau ditingkat retail. Margin merupakan pendekatan keseluruhan dari sistem pemasaran produk pertanian, mulai dari tingkat petani sebagai produsen primer sampai produk tersebut sampai ke tangan konsumen akhir. Secara luas margin diartikan sebagai cerminan dari aktifitas aktifitas bisnis atau fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan dalam sistem pemasaran tersebut. Farmer’s share merupakan persentase harga yang diterima oleh petani dari harga yang dibayar oleh konsumen sebagai imbalan atas jasa usahatani yang dilakukan dalam menghasilkan produk (Kohls dan Uhl 2002).

Margin Pemasaran

Margin pemasaran adalah harga dari semua aktifitas penambahan utilitas dan fungsi yang dilakukan oleh perusahaan pemasaran produk pangan. Harga ini termasuk biaya yang dikeluarkan dalam melakukan fungsi pemasaran dan juga keuntungan yang diperoleh perusahaan pemasaran produk pangan (Kohls dan Uhl 2002). Pengertian margin ini adalah pendekatan keseluruhan dari sistem pemasaran produk pertanian, mulai dari tingkat petani sampai produk tersebut tiba di tangan konsumen akhir, dan sering dikatakan Margin Pemasaran Total (MT). Pengertian margin juga sering dipergunakan untuk margin di tingkat lembaga pemasaran (Mi) yang merupakan selisih harga jual di tingkat lembaga ke-i dengan harga belinya. Dengan demikian MT = jumlah dari Mi (i = 1,2,...,n adalah perusahaan atau lembaga-lembaga yang terlibat).

(36)

dilakukan pada sistem pemasaran produk agribisnis yang setara (equivalent) atau satuan volume di setiap tingkat lembaga pemasaran harus sama.

Margin pemasaran merupakan perbedaan harga antara level yang berbeda dalam sistem pemasaran. Dahl dan Hammond (1977) merepresentasikan marjin pemasaran yaitu perbedaan harga di tingkat lembaga pemasaran (Pr) dengan harga di tingkat produsen (Pf) dan tidak berkaitan dengan kuantitas yang dipasarkan. Margin pemasaran dari perspektif makro atau sistem pemasaran menggambarkan kondisi pasar di tingkat lembaga-lembaga yang berbeda, minimal terdapat dua tingkat pasar yaitu pasar di tingkat petani dan pasar di tingkat konsumen akhir. Dengan asumsi struktur pasar di setiap tingkat adalah pasar persaingan sempurna, kurva permintaan dan penawaran di setiap tingkat pasar memiliki kemiringan dan jumlah transaksi yang sama (Gambar 6).

Gambar 6 Diagram margin pemasaran Sumber: Dahl dan Hammond (1977)

Keterangan :

Mp : Margin Pemasaran

Df : Permintaan di tingkat petani

Dr : Permintaan di tingkat konsumen akhir Sf : Penawaran di tingkat petani

Sr : Penawaran di tingkat konsumen akhir Pf : Harga di tingkat petani

Pr : Harga di tingkat konsumen akhir

Qrf : Jumlah produksi tingkat petani dan konsumen akhir

Nilai marjin pemasaran (value of marketing margin) merupakan perbedaan harga pada dua tingkat sistem pemasaran dikalikan dengan jumlah produk yang dipasarkan. Penentuan nilai marjin dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yakni melalui return to factor dan return to institution. Dimana return to factor merupakan pengembalian terhadap faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses pemasaran seperti upah, bunga, dan keuntungan. Sedangkan return to institution merupakan pengembalian terhadap jasa atau aktivitas yang dilakukan setiap lembaga dalam proses pemasaran (Dahl dan Hammond 1977).

Mp

Q Qrf

Sf Sr

Df Pr

Pf P

(37)

Waite dan Trelogan (1951) di dalam Sudiyono (2002) mengungkapkan bahwa margin pemasaran merupakan biaya dari jasa-jasa pemasaran yang dibutuhkan sebagai akibat permintaan dan penawaran jasa-jasa pemasaran. Melalui defenisi ini, dijabarkan bahwa komponen margin pemasaran terdiri dari: 1) biaya-biaya yang diperlukan lembaga pemsaran untuk melakukan fungsi-fungsi pemasaran yang disebut dengan biaya pemasaran atau biaya fungsional (functional cost); dan 2) keuntungan (profit) lembaga pemasaran yang terlibat dalam aktivitas pemasaran.

Farmer’s Share

Farmer’s share adalah persentase harga yang diterima oleh petani dari harga yang dibayar oleh konsumen sebagai imbalan atas jasa usahatani yang dilakukan dalam menghasilkan produk (Kohls dan Uhl 2002). Secara umum besaran farmer’s share bervariasi antar komoditas tergantung biaya relatif pemasaran yang dikeluarkan sehubungan dengan nilai tambah waktu, bentuk, dan tempat. Kohls dan Uhl (2002) menyatakan bahwa apabila aktifitas nilai tambah utilitas pada suatu komoditas banyak dilakukan oleh petani maka nilai farmer’s share yang diperoleh lebih tinggi. Namun apabila aktifitas nilai tambah utilitas komoditas tersebut banyak dilakukan oleh lembaga-lembaga pemasaran lain, pada umumnya akan menghasilkan nilai farmer’s share yang lebih rendah.Nilai farmer’s share yang tinggi belum tentu menunjukkan bahwa sistem pemasaran komoditas dapat dikatakan efisien.

Efisiensi pemasaran harus memperhitungkan fungsi-fungsi pemasaran yang ada, biaya-biaya dan atribut produk. Meskipun nilai farmer’s share rendah, margin pemasaran tinggi, dan saluran pemasaran panjang, namun terdapat peningkatan kepuasan konsumen maka sistem pemasaran tersebut efisien (Kohls dan Uhl (2002). Selain itu nilai farmer’s share memiliki hubungan yang negatif dengan nilai margin pemasaran, semakin tinggi nilai margin pemasaran maka nilai

farmer’s share semakin rendah, begitu pula sebaliknya.

Kerangka Pemikiran Operasional

Bawang merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang cukup strategis mengingat fungsinya sebagai bahan pangan pokok di Indonesia. Bawang merah sebagai sayuran unggulan nasional selalu menjadi perhatian para pemangku kepentingan terkait keragaan produksi dan konsumsinya. Di sisi lain, permintaan bawang merah juga terus meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Kondisi tersebut perlu diimbangi dengan upaya untuk meningkatkan produksi bawang merah dalam memenuhi kebutuhan nasional. Namun demikian, kesenjangan produksi dan konsumsi masih sering terjadi. Kesenjangan antara produksi dan konsumsi tidak hanya terjadi dari sisi kuantitas, namun juga dari sisi waktu, sehingga menyebabkan impor bawang merah terus terjadi.

Gambar

Tabel 1  Luas panen, produksi, dan produktivitas bawang merah di Indonesia tahun 2010–2014
Gambar 1  Perkembangan harga bawang merah di tingkat produsen dan konsumen
Gambar 2 Perkembangan harga bulanan bawang merah konsumsi di tingkat petani
Gambar 3  Tiga tingkat kompleksitas rantai pasok
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sidoarjo (Studi Tentang Pelaksanaan Pembangunan Infrastruktur pada Lokasi Akibat Semburan Lumpur Lapindo Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo), Ketua Komisi Pembimbing

disseminated, openly demonstrated or put up, the principle shall, being guilty libel, be punished with a maximum imprisonment or one year and four months or a maximum fine of

meregistrasi lebih dari 5 mata kuliah per semester 0,91 kali daripada mahasiswa yang meregistrasi kurang dari 5 mata kuliah per semester, (c) resiko putus kuliah bagi mahasiswa

Dari 5 faktor yang mempengaruhi pilihan praktik akuntansi manajemen, setiap manajemen kemungkinan memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai faktor yang

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Medan (2020) bahwa virus corona telah mewabah di beberapa kecamatan yang ada di Kota Medan, salah satunya adalah Kecamatan Medan

Tawadhu’ menurut Al-Ghozali adalah mengeluarkan kedudukanmu atau kita dan menganggap orang lain lebih utama dari pada kita (Ihya Ulumudin, jilid III, terj. Tawadhu’ yaitu

Jumlah penduduk yang tinggi tersebut menjadikan sektor perdagangan masuk kedalam leading cluster di Kecamatan Samarinda Ulu, sedangkan yang termasuk dalam potential cluster

Uji Statistik t untuk menunjukan seberapa jauh pengaruh satu variabel independen secara individual dalam menerangkan variabel dependen (Ghozali,2016:97). Jika