• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anatomical Structure Of Six Wood Species For Traditional Fishing Vessel Manufacturing

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Anatomical Structure Of Six Wood Species For Traditional Fishing Vessel Manufacturing"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

BAHAN BAKU PEMBUATAN KAPAL IKAN TRADISIONAL

SILVANTO REKSO UTOMO

E24080005

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ANATOMICAL STRUCTURE OF SIX WOOD

SPECIES FOR TRADITIONAL FISHING VESSEL

MANUFACTURING

Silvanto Rekso Utomo and Imam Wahyudi

INTRODUCTION:Indonesia is a country with high biodiversity. Approximately there are 4000 tree species in Indonesian natural forest which are potential to produce timber of several qualities. One of wood utilization deal with Indonesia as maritime country is the raw material for fishing vessel manufacturing. Fishing vessels in Indonesia are mainly produced from wood, especially for the hull and mast of the vessel. The manufacturing process is still traditionally. Recently, due to the scarcity of wood species both quantitatively and qualitatively, the manufacturing of fishing vessel in many areas in Indonesia forces many problems. The aim of the research, therefore, to identify wood species which is used traditionally for shipping vessel manufacturing by studying their anatomical structure, macro- and microscopically. After identification, using their specific gravity (SG), strength class as well as durability class as the additional, the proper alternative wood species could be determined.

MATERIALS AND METHOD: A total of six small wood blocks obtained from a shipyard in Kendari District, Kendari City, Southeast Sulawesi Province was utilized as the main sample. Stem diameter, sample position within the stem as well as tree age all are unknown, except for the tree origin. Anatomical structure was observed macro- and microscopically. Schlutze maceration and Sass microtome slides were performed following the procedural standard. All observations were conducted following the IAWA List. Wood characteristics obtained were then compared to those of Indonesian wood species database of FORDA as well as the publishing data by previous authors in order to identify the species. After wood species identified, based on SG, strength class and durability class of the wood, the proper alternative wood species was then determined.

RESULT AND DISCUSSION: From observation in anatomical structure, it was no doubt that there are six wood species used as raw material for shipping vessel manufacturing. They are jati or teak (Tectona grandis), besulo (Santiria laevigata), bakau (Bruguiera parviflora), bitti (Vitex cofassus), besi (Tristaniopsis decorticata) and Matikuli. Unfortunately, the scientific name of matikuli was not known exactly, but its characteristics are similar to the four species namely

Anogeissus acuminata, Ziziphus spp., Eucalyptopsis spp. and Dysoxylum spp.. In order to produced the wood shipping vessel in the future, teak wood could be replaced by Artocarpus spp.,

Albizzia lebbeck and or Shorea laevifolia; besulo wood by Canarium hirsutum, Garuga floribunda,

Penorema canescens and or S. acuminata; bakau wood by Rhizophora stylosa and Rhizophora ghymnorhiza; bitti wood by Xylocarpus moluccensia and or Gannophyllum falcatum; besi wood by

Maranthes corymbosa, Diploknema oligomera and or Xanthostenon confertiflorum; while matikuli wood by S. laevifolia, Instia retusa, Lagerstroemia speciosa and or T. decorticata.

(3)

RINGKASAN

SILVANTO REKSO UTOMO. E24080005. Struktur Anatomi Enam Jenis Kayu Bahan Baku Pembuatan Kapal Ikan Tradisional. Dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS

Indonesia adalah negara dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Ada sekitar 4000 jenis pohon di hutan alam Indonesia yang berpotensi sebagai penghasil kayu. Salah satu kegunaan kayu terkait dengan bentuk negara kita yang tergolong negara maritim adalah sebagai bahan baku pembuatan kapal. Kapal penangkap ikan di Indonesia masih banyak yang menggunakan kayu sebagai bahan baku khususnya untuk bagian lambung dan tiang kapal. Penduduk di Kecamatan Kendari, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara masih menggunakan kayu sebagai bahan baku dalam membuat kapal ikan secara tradisional. Akhir-akhir ini jenis kayu yang biasa digunakan semakin sulit diperoleh. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis kayu yang selama ini digunakan sebagai bahan baku pembuatan kapal ikan tradisional dan kemudian menentukan jenis-jenis kayu pengganti yang memiliki karakteristik yang sama.

Penelitian ini menggunakan potongan kecil kayu yang diperoleh dari salah satu galangan kapal di Kecamatan Kendari, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Jumlah potongan kayu yang diidentifikasi sebanyak enam buah. Pengamatan makroskopis meliputi warna, corak, tekstur dan arah serat kayu, sedangkan pengamatan mikroskopis meliputi susunan, penggabungan, pengelompokan, tipe bidang perforasi dan isi pori; komposisi, ukuran, tipe dan isi jari-jari; tipe sel parenkim; serta morfologi serat. Pengamatan mikroskopis dilakukan terhadap preparat maserasi Schlutze dan preparat mikrotom Sass. Identifikasi jenis dilakukan dengan mencocokkan data yang diperoleh dengan database kayu-kayu Indonesia maupun dengan data sekunder. Penentuan jenis kayu pengganti dilakukan melalui pendekatan nilai BJ, kelas kuat dan kelas awet kayu.

Hasil penelitian menunjukan bahwa jenis kayu yang digunakan untuk membuat kapal ikan tradisional di kota Kendari adalah jati (Tectona grandis), besulo (Santiria laevigata), bakau (Bruguiera parviflora), bitti (Vitex cofassus), besi (Tristaniopsis decorticata) dan matikuli. Nama ilmiah kayu matikuli tidak ditemukan, namun karakter kayu ini mirip dengan karakter kayu Anogeissus acuminata yang tumbuh di India, Ziziphus spp., Eucalyptopsis spp.dan Dysoxylum

spp.. Kayu jati dapat digantikan oleh kayu Artocarpus spp., Albizzia lebbeck dan atau Shorea laevifolia; kayu besulo dengan kayu Canarium hirsutum, Garuga floribunda, Penorema canescens dan atau Shorea acuminata; kayu bakau dengan kayu Rhizophora stylosa dan R. ghymnorhiza; kayu bitti dengan kayu Xylocarpus moluccensia dan atau Gannophyllum falcatum; kayu besi dengan kayu Maranthes corymbosa, Diploknema oligomera dan atau Xanthostenon confertiflorum; sedangkan kayu matikuli dengan kayu S. laevifolia, Instia retusa, Lagerstroemia speciosa dan atau T. decorticata.

(4)

STRUKTUR ANATOMI ENAM JENIS KAYU

BAHAN BAKU PEMBUATAN KAPAL IKAN TRADISIONAL

SILVANTO REKSO UTOMO

E24080005

Skripsi

Sebagai salah sat u syarat memperoleh gelar Sarjana K ehut anan

pada Fakult as Kehut anan I nst it ut Pert anian Bogor

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul : Struktur Anatomi Enam Jenis Kayu Bahan Baku Pembuatan Kapal Ikan Tradisional

Nama :Silvanto Rekso Utomo

NRP : E24080005

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS NIP. 19630106 198703 1 004

Mengetahui,

Ketua Departemen Hasil Hutan

Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc NIP. 19660212 199103 1 002

(6)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Struktur Anatomi Enam Jenis Kayu Bahan Baku Pembuatan Kapal Ikan Tradisional” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2012

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul “Struktur Anatomi Enam Jenis Kayu Bahan Baku Pembuatan Kapal Ikan Tradisional”. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan karya ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, September 2012

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara pada tanggal 19 Juni 1990. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara keluarga pasangan Bapak Trisno dan Ibu Silvia Marlina.

Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SD Negeri Pembina Mandonga, Kecamatan Kendari pada tahun 2002. Penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 1 Kendari hingga tahun 2005, kemudian melanjutkan ke SMA Negeri 1 Kendari dan tamat pada tahun 2008. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selain melaksanakan kegiatan perkuliahan, penulis juga aktif dalam organisasi DKM Ibaadurrahman sebagai anggota pada periode 2010-2012 dan Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan (Himasiltan) sebagai Wakil Ketua Kelompok Minat Teknologi Peningkatan Mutu Kayu pada periode 2010-2011, Ketua Kelompok Minat Teknologi Peningkatan Mutu Kayu pada periode 2011-2012, serta aktif dalam berbagai kepanitiaan kegiatan lainnya. Pengalaman praktek yang diikuti penulis adalah Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) tahun 2010 di Cilacap-Baturraden, Praktek Pengolahan Hutan (PPH) tahun 2011 di Hutan Pendidikan Gunung Walat dan Praktek Kerja Lapang (PKL) tahun 2012 di PT. Tanjungenim Lestari (PT. TEL), Muara Enim, Sumatera Selatan.

(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Terima kasih penulis sampaikan kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS yang telah memberikan bimbingan ilmu,

waktu, bantuan, arahan dan nasehat kepada penulis.

2. Dr. Ir. Achmad, MS sebagai Dosen Penguji yang mewakili Departemen Silvikultur dan Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc sebagai Ketua Sidang. 3. Keluarga tercinta: Ir. Trisno (Ayah), Silvia Marlina S.Pd (Ibu), Suryo Satrio

(Adik), Alm. Kakek, Alm. Nenek, Om Acin, Mas Fadli, Mas Adi dan segenap keluarga penulis atas doa, pengertian dan perhatian yang diberikan kepada penulis.

4. Desi Melianti atas perhatian, keikhlasan, bantuan dan dukungan yang diberikan.

5. Esti Prihatini, S.Si, Bapak Kadiman, Bi Icot, Bi Isay serta seluruh keluarga BTPMK atas bantuannya selama melaksanakan penelitian.

6. Dra. Sri Rulliaty S, M.Sc, Bapak Romi, Bapak Usep serta seluruh pegawai Pustekolah Bogor atas bantuannya selama melaksanakan penelitian.

7. Keluarga THH khususnya THH 45 (Arip, Andri, Fanji, Ari, Nita, Icha, Lucia, Nade dan rekan-rekan yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu) atas semangat, motivasi, dan kebersamaan yang hangat selama ini.

8. Akbar, Edjo, Firman serta sahabat-sahabat saya di Kendari, Bondowoso dan Palembang atas inspirasi dan motivasi yang diberikan kepada penulis.

9. Seluruh pihak yang telah membantu namun tidak dapat disebutkan satu persatu.

Bogor, September 2012

(10)

i DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR GAMBAR ... ii

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR LAMPIRAN ... iv

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Manfaat ... 2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kapal Ikan Tradisional ... 3

2.2 Material Kapal Ikan ... 3

2.3 Sifat Makroskopis Kayu ... 4

2.4 Sifat Mikroskopis Kayu ... 6

BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 10

3.2 Bahan dan Alat ... 10

3.3 Pelaksanaan Penelitian ... 11

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Makroskopis ... 15

4.2 Sifat Mikroskopis ... 17

4.3 Identifikasi Kayu ... 24

4.4 Penentuan Jenis Kayu Alternatif ... 26

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 31

5.1 Kesimpulan ... 31

5.2 Saran ... 31

DAFTAR PUSTAKA ... 32

(11)

ii

Halaman

1. Keenam potongan sampel uji: Sampel A, B, C, D, E dan F... 10

2. Bentuk contoh uji sebelum dilunakkan ... 11

3. Bentuk contoh uji yang siap untuk disayat ... 11

4. Warna dan corak pada enam potongan kayu yang diteliti ... 16

5. Penampang lintang pada enam potongan kayu yang diteliti ... 17

6. Penampang radial pada enam potongan kayu yang diteliti ... 18

7. Penampang tangensial pada enam potongan kayu yang diteliti ... 18

(12)

iii

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Karakteristik makroskopis pada enam potongan kayu yang diteliti ... 15

2. Karakterisitik sel pembuluh pada enam potongan kayu yang diteliti ... 19

3. Karakteristik sel jari-jari pada enam potongan kayu yang diteliti ... 21

4. Karakteristik sel parenkim pada enam potongan kayu yang diteliti ... 22

5. Dimensi serat pada enam potongan kayu yang diteliti ... 23

6. Hasil identifikasi jenis keenam potongan kayu ... 24

7. Berat jenis, kelas kuat dan kelas awet enam jenis kayu yang diteliti ... 26

8. Persyaratan teknis kayu konstruksi kapal ... 27

(13)

iv

Halaman

1. Daftar warna produk cat Propan Glasskote dan Synthetic 2000 ... 36

2. Rata-rata dimensi serat dan pori kayu Tectona grandis ... 37

3. Rata-rata dimensi serat dan pori kayu Santiria laevigata. ... 38

4. Rata-rata dimensi serat dan pori kayu Bruguiera parviflora... 39

5. Rata-rata dimensi serat dan pori kayu Vitex cofassus. ... 40

6. Rata-rata dimensi serat dan pori kayu Tristaniopsis decorticata. ... 41

7. Rata-rata dimensi serat dan pori kayu Matikuli. ... 42

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Menurut Martawijaya et al. (2005a), sekitar 4000 jenis pohon yang tumbuh di hutan alam Indonesia berpotensi sebagai penghasil kayu. Dari jumlah tersebut, baru 259 jenis yang kayunya telah diperdagangkan, sedangkan sisanya dapat dikelompokan menjadi tiga yaitu sebagai penghasil kayu yang kurang dikenal (lesser known species), sebagai penghasil kayu yang telah dipakai tapi belum dikenal (lesser used species) dan sebagai penghasil kayu yang belum dikenal (unknow species).

Sudah diketahui bahwa kayu merupakan salah satu kebutuhan utama bagi manusia sejak lahir hingga meninggal dunia. Kegunaan kayu sangat bervariasi mulai dari sebagai bahan konstruksi bangunan, papan komposit, pulp dan kertas, hingga kayu bakar. Sebagai bahan, kayu memiliki banyak keunggulan dibanding bahan lain dan bersifat dapat diperbaharui (renewable).

Salah satu kegunaan kayu terkait dengan bentuk negara kita yang tergolong negara maritim adalah sebagai bahan baku pembuatan kapal. Menurut Pasaribu dan Imron (1990), kapal penangkap ikan di Indonesia masih banyak yang menggunakan kayu sebagai bahan baku khususnya untuk bagian lambung dan tiang kapal. Kapal-kapal tersebut dibuat secara tradisional dengan menggunakan peralatan yang sederhana dan hanya dengan mengandalkan pengalaman yang diajarkan secara turun-temurun.

(15)

Kendari, Kota Kendari Sulawesi Tenggara tidak menemukan hambatan dalam melakukan aktifitas yang selama ini merupakan mata pencaharian mereka.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengidentifikasi jenis kayu yang selama ini digunakan sebagai bahan baku pembuatan kapal ikan tradisional di Kecamatan Kendari, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara melalui pengamatan struktur anatomi penyusun kayu. 2. Menentukan jenis-jenis kayu pengganti yang dapat digunakan sebagai kayu

alternatif untuk pembuatan kapal ikan sejenis.

1.3 Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu para nelayan khususnya nelayan di Kecamatan Kendari, Kota Kendari Sulawesi Tenggara untuk memperoleh jenis-jenis kayu alternatif yang sesuai sehingga tidak menemukan hambatan dalam proses pembuatan kapal.

(16)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kapal Ikan Tradisional

Menurut Nomura dan Yamazaki (1975) dalam Prasetyo (2008), kapal ikan merupakan kapal yang digunakan dalam kegiatan perikanan, mencakup aktivitas penangkapan ikan atau mengumpulkan sumberdaya ikan, pengelolaan usaha budidaya perairan serta penggunaan dalam beberapa aktivitas lain seperti riset,

training dan inspeksi sumberdaya perairan. Di Indonesia, pada umumnya kapal ikan dibuat secara tradisional, turun-temurun dan dengan memanfaatkan teknologi yang sederhana.

Menurut Iskandar dan Novita (2000), istilah tradisional tersebut lebih mengarah kepada metode atau cara yang digunakan pengrajin dalam membangun konstuksi kapal buatannya, dimana metode yang digunakan merupakan warisan dari para pendahulunya. Kapal yang telah dibuat dan teruji kemampuannya menjadi acuan untuk pembuatan kapal selanjutnya sehingga timbul tradisi pewarisan pengetahuan dan teknologi pembuatan kapal secara turun temurun.

2.2 Material Kapal Ikan

Material kapal ikan merupakan bahan dasar yang harus tersedia sebelum proses pembuatan kapal dimulai. Material tersebut terdiri dari berbagai bahan seperti kayu, baja atau aluminium. Pemilihan material yang tepat akan menjamin kekuatan struktur badan kapal sehingga aman dalam pengoperasiannya dan sesuai harapan (Ornam 2007).

Fyson (1985) menjelaskan bahwa pemilihan material kapal ikan sangat dipengaruhi oleh keahlian dan kemampuan sumberdaya manusia serta teknologi dan peralatan yang tersedia di galangan, kemudahan dalam memperoleh bahan, keuntungan teknis dari tiap material dan biaya pembelian bahan material.

(17)

yang hidup sepanjang masa dengan ketinggian minimal saat dewasa sekitar 7 m. Pohon merupakan tumbuhan penghasil kayu utama.

Pasaribu dan Imron (1990) menyebutkan bahwa Indonesia setidaknya memiliki 40 jenis kayu yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan kapal ikan. Kayu-kayu tersebut bervariasi dalam kelas awet dan kelas kuatnya. Jenis-jenis yang umum digunakan antara lain adalah kayu jati (Tectona grandis), ulin (Eusideroxylon zwageri) dan laban (Vitex pubescens). Menurut Ornam (2007), kayu yang banyak digunakan sebagai bahan baku pembuatan kapal ikan khusus di Kecamatan Kendari, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara adalah merbau (Instia spp.), gofasa (V. cofassus) dan kelompok meranti (Shorea spp.).

Syarat yang harus dipertimbangkan dalam memilih kayu sebagai bahan baku kapal antara lain kuat dan tahan terhadap pembusukan dan serangan mikroorganisme air (Fyson 1985). Menurut Taufiq (2008), beberapa jenis kayu yang sering digunakan sebagai material lunas kapal di beberapa wilayah di Indonesia adalah balau (Shorea lavefolia), giam (Cotylelobium spp.), gofasa (Vitex cofassus), jati (T. grandis), ulin (E. zwageri), bayur (Pterospermum javanicum) dan laban (V. pubescens).

2.3 Sifat Makroskopis Kayu

Menurut Pandit dan Kurniawan (2008), sifat-sifat kayu yang dapat dilihat dengan jelas dengan mata telanjang atau maksimal dengan bantuan loupe

perbesaran 10 sampai 15 kali disebut dengan sifat makroskopis. Beberapa sifat makroskopis kayu yang umum diamati adalah:

a. Warna dan corak kayu

Warna kayu bagian gubal umumnya lebih cerah dibandingkan dengan terasnya. Perbedaan warna kayu tidak hanya terdapat pada jenis kayu yang berbeda tetapi juga pada jenis kayu yang sama bahkan dalam sebatang pohon. Pada umumnya warna yang digunakan untuk identifikasi jenis kayu adalah warna bagian teras (Pandit dan Kurniawan 2008).

(18)

5

mengalami perubahan warna menjadi biru atau hitam. Perubahan warna dapat juga disebabkan oleh pengeringan dalam kilang pengering. Suhu yang tinggi menyebabkan damar atau getah di dalam kayu meleleh sehingga menimbulkan noda pada permukaan kayu. Warna-warna yang demikian tidak dapat digunakan dalam penetapan warna kayu karena bukan merupakan warna asli dari kayu.

Corak kayu merupakan gambaran khas pada kayu. Menurut Mandang dan Pandit (1997), corak dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor yaitu:

1. Adanya lingkaran tumbuh yang jelas akibat perbedaan kerapatan antara bagian kayu awal dan kayu akhir dalam satu riap tumbuh. Contoh pada kayu jati (T. grandis).

2. Adanya perbedaan warna jaringan penyusun kayu, seperti pada kayu bintangur (Calophyllumbicolor).

3. Adanya perbedaan intensitas pewarnaan pada lapisan-lapisan kayu yang dibentuk dalam jangka waktu yang berbeda, seperti pada kayu eboni (Diospyros celebica).

b. Tekstur kayu

Tekstur kayu ditentukan oleh ukuran dari sel-sel dominan penyusun kayu. Menurut Mandang dan Pandit (1997), kayu dikatakan bertekstur halus jika sel-selnya berukuran kecil dan bertekstur kasar jika sel-selnya relatif besar. Menurut Wheeler et al. (2008), apabila diameter pori < 100 µm, maka kayu dikatakan bertekstur halus sedangkan apabila ukurannya > 200 µm, maka kayu dikatakan bertekstur kasar. Dengan diameter pori antara 100-200 µm, maka kayu dikatakan bertekstur sedang.

c. Arah serat kayu

(19)

berombak (wavy grain), serat terpilin (spiral grain) dan serat diagonal (Bowyer et al. 2003; Pandit dan Kurniawan 2008).

2.4 Sifat Mikroskopis Kayu

Menurut Pandit dan Kurniawan (2008), sifat mikroskopis kayu adalah sifat-sifat objektif yang baru dapat terlihat dengan jelas apabila menggunakan mikroskop sebagai alat bantu. Sifat mikroskopis umumnya bersifat struktural, artinya berhubungan langsung dengan struktur dan jaringan penyusun kayu. Sifat mikroskopis yang umumnya diamati adalah:

a. Sel pembuluh (pori)

Sel pembuluh (vessel cell) hanya terdapat pada kelompok kayu daun lebar (hardwood). Menurut Panshin dan de Zeeuw (1980), hardwood berbeda dibandingkan kayu daun jarum (softwood) karena memiliki sel pembuluh yang ketika diamati pada penampang lintang terlihat seperti pori-pori kulit. Sel pembuluh berbentuk seperti pipa atau tabung yang tersusun secara longitudinal atau vertikal dan saling berhubungan (saluran). Menurut Tsoumis (1991), sel pembuluh befungsi sebagai penyalur.

Menurut Bowyer et al. (2003); Pandit dan Kurniawan (2008), struktur yang dapat diamati pada sel pembuluh adalah:

1. Bidang perforasi (perforation plates) yaitu bidang pertemuan antar dua sel pembuluh yang berdekatan. Bidang perforasi ada tiga macam yaitu bidang perforasi tipe sederhana (simple perforation plate), bentuk tangga (scalariform perforation plate) dan bentuk saringan (reticulate perforation plate) atau bentuk jala (foraminate perforation plate).

2. Penyebaran pori

(20)

7

3. Pengelompokan pori

Terdapat tiga susunan pengelompokan pori yaitu:

a. Pengelompokan radial dimana pori-pori berderet ke arah radial atau tersusun menurut arah jari-jari.

b. Pengelompokan miring (oblique arrangement) dimana pori-pori tersusun menurut deretan miring atau membentuk sudut terhadap jari-jari.

c. Pengelompokan bentuk gerombol (pore cluster) dimana pori-pori bergerombol pada zona-zona tertentu, sementara pada zona lainnya kosong.

4. Penyusunan atau penggabungan pori

Pori-pori kayu tersusun atas dua pola yakni soliter dan bergabung. Dikatakan soliter apabila pori-pori terpisah satu dengan lainnya dan dikatakan bergabung bila pori-pori bersinggungan sedemikian rupa membentuk bidang singgung yang datar.

5. Noktah antar pori

Noktah memiliki fungsi sebagai penghubung antara pori yang satu dengan pori yang terletak di sebelahnya. Noktah pada dinding pori pada dasarnya ada tiga tipe yaitu berhadap-hadapan (opposite), berselang-seling (alternate) dan berbentuk tangga (scalariform).

6. Diameter pori

Diameter pori pada panampang lintang berbeda untuk tiap jenis kayu. Diameter pori dapat diukur dengan bantuan mikrometer. Ukuran diameter pori dibagi menjadi tiga kategori yaitu kecil (< 100 µm), sedang (100-200 µ m) dan besar (> 200 µm).

7. Jumlah pori per satuan luas

(21)

8. Isi pori

Isi pori dapat berupa tilosis atau endapan padat berwarna tergantung dari jenis kayu. Tilosis adalah material pengisi rongga pori yang akan memantulkan sinar bila diarahkan ke sumber cahaya. Endapan berwarna pada umumnya merupakan zat padat yang bersifat amorf dan menyerupai tepung.

b. Sel parenkim

Sel parenkim adalah sel yang berbentuk persegi dengan dinding yang relatif tipis. Jaringan parenkim dalam batang berfungsi sebagai penyimpan cadangan makanan. Berdasarkan penyusunannya parenkim dibagi atas tiga macam yaitu:

1. Parenkim aksial yaitu parenkim yang tersusun secara vertikal. Sel inilah yang lebih dikenal sebagai sel parenkim aksial. Berdasarkan distribusinya pada penampang lintang, parenkim aksial terbagi atas dua macam yaitu parenkim apotrakeal dan parenkim paratrakeal. Menurut Bowyer et al.

(2003), parenkim apotrakeal adalah parenkim yang tidak berhubungan atau tidak bersinggungan dengan sel pembuluh, sedangkan parenkim paratrakeal adalah parenkim yang berhubungan dengan sel pembuluh. Parenkim apotrakeal dapat berupa parenkim sebar (diffuse), berderet dalam deretan tangensial pendek (diffuse aggregate) dan berderet dalam deretan tangensial panjang (banded); sedangkan parenkim paratrakeal dapat berupa parenkim jarang (scanty), sepihak (unilaterally), keliling pembuluh (vasicentric), aliform dan aliform bersambungan (confluent).

2. Parenkim jari-jari adalah sel-sel parenkim yang tersusun secara horizontal. Parenkim ini tak lain adalah jari kayu. Menurut Tsoumis (1991), jari-jari kayu ada berbagai macam. Berdasarkan seri (lebarnya di bidang lintang), jari-jari kayu ada yang uniseriate (terdiri dari satu seri atau satu baris), biseriate (dua seri) dan multiseriate (lebih dari dua seri). Berdasarkan ukurannya, ada kayu yang jari-jarinya satu ukuran dan ada yang dua ukuran. Kayu dengan jari-jari dua ukuran berarti terdapat jari-jari

bi- dan multiseriate disamping jari-jari uniseriate. Dengan jari-jari yang

(22)

9

(di bidang tangensial), jari-jari kayu ada yang pendek (jumlah sel-sel penyusunnya 1-10 sel), sedang (10-15 sel) dan tinggi (15->60 sel). Berdasarkan komposisi sel penyusunnya, jari-jari kayu ada yang homoseluler (tersusun oleh satu macam sel atau homogen) dan ada juga yang heteroseluler (lebih dari satu macam sel atau heterogen).

3. Parenkim batas atau parenkim marjinal yang membatasi antar riap tumbuh. Parenkim batas ada yang terminal (dibentuk diakhir periode pertumbuhan) dan ada yang inisial (dibentuk diawal periode pertumbuhan).

c. Sel serat

Serat adalah sel-sel dominan penyusun kayu dan berfungsi sebagai penyedia tenaga mekanis bagi batang. Pada kelompok hardwood, yang dimaksud dengan serat adalah sel-sel serabut, sedangkan pada kelompok

(23)

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai Februari hingga Juli 2012 di Laboratorium Anatomi Tumbuhan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Hutan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah), Bogor dan di Laboratorium Sifat Dasar Kayu, Bagian Teknologi Peningkatan Mutu Kayu, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan adalah enam buah potongan kecil kayu dari salah satu tempat pembuatan (galangan) kapal ikan tradisional di Kota Kendari, Kecamatan Kendari, Sulawesi Tenggara (Gambar 1). Bentuk potongan kecil tersebut tidak beraturan, dengan dimensi berkisar 5-14 cm (panjang), 3-4 cm (tebal) dan 4-5 cm (lebar). Keenamnya secara fisik dan penampakan luar adalah berbeda. Menurut pengrajin, nama lokal keenam potongan kecil kayu tersebut adalah Jati (sampel A), Besulo (sampel B), Bakau (sampel C), Bitti (sampel D), Besi (sampel E) dan Matikuli (sampel F). Semua sampel didatangkan dari daerah sekitar kota Kendari, Kolaka, Muna, Buton dan Sulawesi. Umur, diameter dan posisi kayu dalam batang pohon tidak diketahui. Bahan lainnya terdiri dari alkohol 10%, 30%, 50%, 70%, 90% dan alkohol absolut, safranin, gliserin, aquades, KClO3, HNO3 50%, karboksilen, toluena dan entelan.

Gambar 1 Keenam potongan sampel uji: Sampel A, B, C, D, E dan F B

E A

D F

(24)

11

Peralatan yang digunakan adalah object glass, cover glass, tabung reaksi, gelas ukur, cawan petri, pipet, waterbath, wadah bekas film, kuas, kertas saring, kertas lakmus biru, gergaji, pisau cutter, loupe, mikroskop, kamera digital, kamera mikrofoto dan mikrotom datar.

3.3 Pelaksanaan Penelitian

a. Persiapan sampel uji

Potongan kayu yang tidak beraturan tadi kemudian dibentuk sesuai dengan kebutuhan untuk proses identifikasi baik makro (Gambar 2) maupun mikroskopis (Gambar 3).

Gambar 2 Bentuk contoh uji sebelum dilunakkan (Sumber: Pandit dan Prihatini 2010)

Gambar 3 Bentuk contoh uji yang siap untuk disayat (Sumber: Pandit dan Prihatini 2010)

b. Pengamatan ciri makroskopis

Ciri makroskopis yang diamati meliputi warna, corak, tekstur dan arah serat. Prosedur yang dilakukan untuk setiap ciri makroskopis adalah sebagai berikut:

1. Warna

(25)

2. Corak

Pengamatan corak dilakukan berdasarkan gambaran riap tumbuh atau jelas tidaknya perbedaan antara kayu awal dan kayu akhir di penampang tangensial atau radial.

3. Tekstur kayu

Tekstur kayu diamati secara kuantitatif dengan mengkategorikannya dalam beberapa kelas yaitu halus, sedang dan kasar berdasarkan ukuran pori (Wheeler et al. 2008).

4. Arah serat

Penentuan arah serat dilakukan dengan mengamati arah orientasi longitudinal sel-sel dominan kayu terhadap sumbu batang. Arah serat juga dapat diamati melalui hasil dokumentasi terhadap warna atau corak kayu.

c. Pengamatan ciri mikroskopis dan pengukuran dimensi serat 1. Pembuatan sayatan mikrotom

Contoh uji (Gambar 3) direbus dalam air selama 3 hari lalu dipindahkan dan direndam dalam wadah yang berisi larutan gliserin dan alkohol 96% dengan perbandingan 1:1 hingga lunak selama beberapa hari hingga satu minggu tergantung pada jenis kayu. Contoh uji diangkat lalu ditiriskan dan siap disayat. Sayatan yang dihasilkan kemudian dicuci dengan aquades lalu diwarnai dengan safranin. Selanjutnya sayatan diproses menurut metode Sass (1961) yaitu didehidrasi dalam alkohol bertingkat mulai 30% hingga alkohol absolut dan kemudian direndam dalam karboksilen lalu dalam toluena selama 5 menit untuk membebaskan sayatan dari sisa safranin yang ada. Sayatan kemudian diletakkan di atas object glass, ditetesi entelan dan ditutup dengan cover glass. Selanjutnya diamati dibawah mikroskop dan siap untuk didokumentasi.

Beberapa ciri mikroskopis yang diamati adalah: i. Pori (sel pembuluh)

(26)

13

pori per mm², sedangkan pada penampang radial dan tangensial meliputi tipe bidang peforasi dan tipe noktah antar pembuluh.

ii. Jari-jari

Di penampang lintang, yang diamati adalah lebar (seri) dan frekuensi jari-jari, di penampang radial komposisi jari-jari, sedangkan di penampang tangensial adalah lebar dan tinggi jari-jari.

iii.Parenkim

Pengamatan tipe sel parenkim dilakukan menggunakan mikroskop mikrofoto untuk mempertegas hasil pengamatan makroskopis.

2. Pembuatan preparat maserasi

Contoh uji dipotong-potong menjadi seukuran batang korek api (chip) kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi larutan KClO3 dan HNO3 50%. Tabung reaksi selanjutnya dimasukkan ke dalam

waterbath dan dipanaskan pada suhu 60°C sampai chip berubah menjadi putih kekuningan dan terlihat lunak. Tabung berisi chip didinginkan beberapa menit lalu dipindahkan ke kertas saring. Kemudian chip yang telah menjadi serat dicuci bersih dengan aquades hingga bebas asam, lalu dipindahkan ke dalam wadah bekas film, diberi pewarna (safranin) sekitar 3-5 tetes dan dibiarkan sekitar 3-6 jam. Serat yang telah diwarnai dicuci dengan aquades lalu didehidrasi bertingkat dalam alkohol 10 hingga 50%. Serat yang sudah terpisah lalu diletakkan di atas object glass selanjutnya ditutup dengan cover glass dan siap untuk diamati dan diukur.

Sel yang diamati adalah pembuluh dan serat. Dimensi sel pembuluh yang diukur meliputi panjang dan diameternya, sedangkan dimensi serat meliputi panjang dan diameter serat serta diameter lumen. Jumlah sel pembuluh yang diukur sebanyak 15 sampel, sedangkan jumlah serat sebanyak 30 sampel. Panjang serat, panjang pembuluh dan diameter pembuluh diukur menggunakan perbesaran empat kali, sedangkan diameter serat dan diameter lumen menggunakan perbesaran 10-20 kali.

(27)

d. Analisis data dan identifikasi jenis kayu

Data yang bersifat kualitatif seperti warna, corak, tekstur, arah serat, bentuk pori, penyebaran pori dan tipe parenkim diamati dan dianalisis secara deskriptif; sedangkan data yang bersifat kuantitatif seperti panjang dan diameter serat, diameter lumen dan tebal dinding serta panjang dan diameter pembuluh dihitung nilai rata-rata dan simpangan bakunya menggunakan program Microsoft Excel 2007. Data yang dihasilkan kemudian ditabulasi.

Berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dilakukan didentifikasi jenis dengan mencocokan data yang diperoleh dengan data kayu otentik yang ada di Pustekolah, Bogor (Xylarium Bogoriensis 1915) serta dengan data-data yang termuat dalam buku acuan seperti Atlas Kayu Indonesia Jilid I (Martawijaya et al. 2005a), Atlas Kayu Indonesia Jilid II (Martawijaya et al. 2005b) dan Atlas Kayu Indonesia Jilid III (Abdurrohim et al. 2004),

Identification of the Timbers of Southeast Asia and the Western Pacific (Ogata

(28)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Sifat Makroskopis

Hasil pengamatan makroskopis meliputi warna, corak, tekstur dan arah serat kayu disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Karakterisitik makroskopis pada enam potongan kayu yang diteliti Kode

Sampel Warna Corak Tekstur Arah serat

A Teras coklat tua (2480);

E Coklat tua kemerahan

(3403) Tidak Ada

Hasil pengamatan menunjukan bahwa masing-masing potongan kayu yang diteliti memiliki warna yang bervariasi (Gambar 4). Sampel Aberwarna coklat tua (2480) pada bagian teras dan putih keabuan (1104) pada bagian gubal. Sampel B berwarna coklat muda (1403), sedangkan sampel C coklat kemerahan (3404) pada bagian teras dan coklat kekuningan (2101) pada bagian gubal. Sampel D dan E masing-masing berwarna putih kelabu (1104) dan coklat tua kemerahan (3403). Sampel F berwarna coklat (2409) pada bagian teras dan kuning kelabu (1129) pada bagian gubal.

(29)

menandakan bahwa ketahanannya relatif lebih rendah (Tsoumis 1991). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sampel A, B, C, E dan F memiliki ketahanan yang tinggi.

a b c

d e f

Gambar 4 Warna dan corak kayu: (a) Sampel A; (b) Sampel B; (c) Sampel C; (d) Sampel D; (e) Sampel E; (f) Sampel F

Dari Gambar 4 dapat diketahui bahwa hanya sampel A yang memiliki corak yang khas. Adanya corak akan memperindah penampilan kapal. Corak yang terdapat pada sampel A ditandai dengan garis-garis lingkaran tumbuh yang mirip dengan yang ada pada kayu Jati. Dengan demikian maka besar kemungkinan bahwa potongan sampel A adalah potongan kayu Jati sebagaimana informasi yang diperoleh.

b. Tekstur

(30)

17

c. Arah Serat

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa arah serat pada potongan kayu yang diteliti berkisar antara lurus (sampel B, C dan F), lurus hingga berpadu (sampel A dan D) dan lurus hingga berombak (sampel E).

Menurut Bowyer et al. (2003), arah serat dapat mempengaruhi sifat kayu khususnya sifat mekanis. Kayu dengan arah serat lurus menghasilkan kayu gergajian yang relatif lebih baik dibandingkan dengan kayu berserat miring terutama serat berpadu (interlocked grain) dan terpilin (spiral grain).

4.2 Sifat Mikroskopis

Hasil pengamatan sifat mikroskopis disajikan pada Gambar 5, 6 dan 7, sedangkan Gambar 8 memuat hasil pengamatan terhadap serat kayu pada keenam potongan sampel uji yang diteliti.

(31)

Gambar 6 Penampang radial: (a) Sampel A; (b) Sampel B; (c) Sampel C; (d) Sampel D; (e) Sampel E; (f) Sampel F (Perbesaran 50x)

Gambar 7 Penampang tangensial: (a) Sampel A; (b) Sampel B; (c) Sampel C; (d) Sampel D; (e) Sampel E; (f) Sampel F (Perbesaran 50x)

(32)

19

a. Sel Pembuluh (pori)

Hasil pengamatan terhadap pengelompokan, penyebaran, tipe bidang perforasi, tipe noktah antar pembuluh, diameter dan frekuensi pori disajikan pada Tabel 2. Dari Tabel 2 diketahui bahwa karakteristik sel pembuluh pada masing-masing potongan kayu yang diuji cenderung berbeda sehingga mengindikasikan jenis yang berbeda-beda. Potongan sampel B, C, D dan E memiliki pola penyebaran pori tata baur, sedangkan potongan sampel A tata lingkar. Pola penyebaran pori pada sampel F adalah semi tata lingkar.

Tabel 2 Karakterisitik sel pembuluh pada enam potongan kayu yang diteliti

Kode

Pengelompokan pori pada semua potongan sampel kayu yang diteliti adalah soliter dan bergabung radial 2 hingga 6 sel. Perbedaan diantara keenam potongan sampel terletak pada jumlah sel yang bergabung radial. Sampel A dan D memiliki 2-3 sel yang bergabung radial, sampel C 2-4 sel, sampel B 2-5 sel dan sampel F memiliki 2-6 sel. Pori-pori pada sampel E didominasi oleh pori soliter.

(33)

sampel C dan E. Pernoktahan pada sampel C berupa pernoktahan bentuk tangga (scalariform), sedangkan pada sampel E berhadap-hadapan (opposite).

Diameter pori berkisar antara 41-159 µm. Diameter pori pada sampel A, B dan D relatif lebih besar dibandingkan diameter pori pada sampel C, E dan F. Diameter pori sampel A, B dan D berturut-turut adalah sebesar 73-159 µm, 53-144 µm dan 83-141 µm, sedangkan diameter pori sampel C, E dan F berturut-turut adalah 64-112 µm, 48-110 µm dan 41-116 µm. Semakin besar diameter pori, semakin kasar pula tekstur kayu.

Frekuensi pori pada penampang lintang digolongkan menurut jumlahnya per mm². Berdasarkan klasifikasi Bowyer et al. (2003); Pandit dan Kurniawan (2008), frekuensi pori pada keenam potongan sampel kayu berkisar antara sedikit-sedang (sampel A), sedang-banyak (sampel D) dan banyak (sampel B, C, E dan F).

Tilosis dan endapan padat berwarna putih ditemukan di dalam sel pembuluh pada sampel A, C dan E yang diteliti, sedangkan pada sampel B dan D hanya terdapat tilosis. Sampel F tidak mengandung tilosis maupun endapan berwarna. Kayu yang memiliki tilosis dan endapan padat cenderung sulit untuk dikeringkan dan dimasuki bahan kimia sebagaimana Bowyer et al. (2003).

b. Sel jari-jari

Hasil pengamatan terhadap sel jari-jari kayu yang meliputi lebar atau jumlah baris (seri), komposisi, jumlah lapisan sel tegak, sel bujur sangkar, sel baring, silika, bentuk kristal, lebar dan tinggi disajikan pada Tabel 3. Dari Tabel 3 diketahui bahwa sel jari-jari kayu pada keenam potongan kayu yang diteliti cenderung berbeda. Masing-masing potongan juga mengindikasikan jenis yang berbeda-beda. Pengamatan pada bidang lintang menunjukkan bahwa lebar jari-jari bervariasi. Sampel B, E dan F didominasi oleh jari-jari

(34)

21

Tabel 3 Karakteristik sel jari-jari pada enam potongan kayu yang diteliti Bidang dan sampel A dan E, 1-3 lapis pada sampel F dan 2-4 lapis pada sampel C. Sampel D tidak memiliki sel tegak maupun sel bujur sangkar. Jumlah sel baring pada sampel A 4-7 lapis, pada sampel B 2-13 lapis, pada sampel C 5-10 lapis, sampel D 8-18 lapis, sampel E 3-6 lapis dan pada sampel F 2-6 lapis.

Hasil pengamatan terhadap silika dan kristal di dalam sel jari-jari kayu juga memperlihatkan adanya variasi. Silika hanya ditemukan pada sampel B dan E, sedangkan kristal pada sampel C, D dan F. Bentuk kristal yang ditemukan adalah kristal prismatik (rhomboidal). Sampel A tidak mengandung silika maupun kristal.

(35)

8-28 sel, sampel B 6-17 sel, sampel C 353 sel, sampel D 6-24 sel, sampel E 5-13 sel dan sampel F 6-28 sel. Menurut Tsoumis (1991), jari-jari kayu pada sampel E tergolong pendek-sedang, pada sampel A, B, D dan F termasuk pendek-tinggi, sedangkan pada sampel C tergolong tinggi.

c. Sel parenkim

Hasil pengamatan terhadap sel parenkim pada keenam potongan kayu yang diteliti disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Karakteristik sel parenkim pada enam potongan kayu yang diteliti

Jenis

Berdasarkan Tabel 4, tipe sel parenkim pada masing-masing potongan kayu yang diteliti juga cenderung berbeda. Pada seluruh potongan kayu, tidak ditemukan adanya sel parenkim tipe apotrakeal. Tipe yang mendominasi adalah parenkim paratrakeal, dimana tipe jarang ditemukan pada sampel B, C, D, E dan F; tipe selubung ditemukan pada sampel A dan D; tipe aliform ditemukan pada sampel E dan F, sedangkan tipe konfluen hanya ditemukan pada sampel F. Parenkim marjinal bentuk pita juga hanya ditemukan pada sampel A.

Dengan parenkim marjinal bentuk pita, semakin kuat dugaan bahwa sampel A adalah kayu Jati. Pada kayu Jati ditemukan sel parenkim marjinal bentuk pita memanjang disamping parenkim paratrakeal bentuk selubung sebagaimana Martawijaya et al. (2005a).

d. Dimensi sel serat

(36)

23

Tabel 5 Dimensi serat pada enam enam potongan kayu yang diteliti

Dari Tabel 5 diketahui bahwa dimensi serat (panjang dan diameter serat, serta diameter lumen dan tebal dinding serat) pada keenam potongan kayu bervariasi. Perbedaan ini terkait dengan umur dan jenis pohon, lokasi dan kondisi pertumbuhan serta lokasi dalam batang sebagaimana Mandang dan Pandit (1997) serta Bowyer et al. (2003). Panjang serat berkisar antara 851,88-1268,68 µm, diameter serat antara 21,61-25,59 µm, diameter lumen antara 6,77-16,24 µ m dan tebal dinding serat antara 3,28-8,17 µm.

(37)

Serat memiliki fungsi penting dalam mendukung sifat mekanis suatu jenis kayu. Kayu dengan serat yang lebih tebal memiliki kekuatan yang lebih tinggi (Bowyer et al. 2003).

4.3 Identifikasi Kayu

Tabel 6 memuat rekapitulasi hasil pengamatan makro- dan mikroskopis terhadap enam potongan sampel kayu yang diteliti. Hasil yang diperoleh telah dicocokan dengan data kayu otentik dan data sekunder lainnya.

Tabel 6 Hasil identifikasi jenis keenam potongan kayu

Kode

Sampel Karakteristik Kayu Hasil Pengamatan Jenis Kayu

A

Warna bagian teras coklat tua, gubalnya putih keabuan, lingkaran tumbuh jelas, ada corak yang khas, serat lurus hingga agak berpadu, tekstur sedang, pori tata lingkar, bidang perforasi sederhana, noktah berselang-seling, terdapat tilosis dan endapan putih, jari-jari multiseriate-heteroseluler, tidak ada silika dan kristal, dengan sel parenkim paratrakeal tipe selubung dan pita marjinal

Tectona grandis

B

Kayu coklat muda, lingkaran tumbuh tidak jelas, tidak bercorak, serat lurus, tekstur halus, pori tata baur, bidang perforasi sederhana, noktah selang-seling, ada tilosis, jari-jari uniseriate, heteroseluler, ada silika, dengan sel parenkim paratrakeal tipe jarang

Santiria laevigata

C

Warna bagian teras coklat kemerahan, gubalnya coklat kekuningan, lingkaran tumbuh tidak jelas, tidak bercorak, serat lurus, tekstur halus, pori tata baur, bidang perforasi bentuk tangga, noktah bentuk tangga, ada tilosis dan juga endapan putih, jari-jari multiseriate-heteroseluler, ada kristal, dengan sel parenkim paratrakeal tipe jarang

Bruguiera parviflora

D

Kayu putih kelabu, lingkaran tumbuh tidak jelas, tidak bercorak, serat lurus hingga agak berpadu, tekstur sedang, pori tata baur, bidang perforasi sederhana, noktah berselang-seling, ada tilosis, sel jari-jari biseriate-homoseluler, ada kristal, dengan sel parenkim paratrakeal tipe jarang dan tipe selubung

Vitex cofassus

E

Kayu coklat tua kemerahan, lingkaran tumbuh tidak jelas, tidak bercorak, serat lurus hingga berombak, tekstur halus, pori tata baur, bidang perforasi sederhana, noktah berhadap-hadapan, ada tilosis dan juga endapan putih, jari-jari uniseriate-heteroseluler, ada silika, dengan sel parenkim paratrakeal tipe jarang dan tipe aliform

Tristaniopsis decorticata

F

(38)

25

Dari Tabel 6 diketahui bahwa seluruh potongan sampel kayu yang diteliti dapat diidentifikasi jenisnya, kecuali sampel F. Berdasarkan pengamatan terhadap ciri-ciri makro- dan mikroskopisnya diketahui bahwa sampel A adalah kayu

Tectona grandis (jati), sampel B adalah kayu Santiria laevigata (besulo), sampel C kayu Bruguiera parviflora (bakau), sampel D kayu Vitex cofassus (bitti) dan sampel E adalah kayu Tristaniopsis decorticata (besi).

Karakteristik kayu T. grandis adalah lingkaran tumbuh jelas, warna kayu coklat muda hingga coklat merah tua (teras) dan putih kelabu (gubal), tekstur agak kasar sampai kasar, serat lurus bergelombang sampai agak berpadu, pori tata lingkar, bidang perforasi sederhana, noktah berselang-seling, parenkim paratrakeal selubung serta ada juga yang berbentuk pita marjinal, tidak ditemukan kristal, memiliki endapan padat berwarna putih dan juga tilosis (Mandang & Pandit 1997; Martawijaya et al. 2005a dan Ogata et al. 2008).

Kayu S. laevigata memiliki karakteristik: lingkar tumbuh tidak jelas, warna kayu merah muda pucat (teras) dan coklat muda (gubal), tekstur agak halus, serat lurus, pori tata baur, bidang perforasi sederhana, noktah berselang-seling, parenkim paratrakeal jarang, lebar jari-jari umumnya satu seri tetapi ada juga yang beberapa 2 seri, ada tilosis dan silika (Abdurrohim et al. 2004 dan Ogata et al. 2008). Ciri-ciri kayu B. parviflora antara lain adalah warna coklat muda sampai coklat merah tua (teras) dan kuning coklat sampai coklat muda (gubal), tekstur halus, serat lurus, pori tata baur, bidang perforasi bentuk tangga, noktah bentuk tangga, parenkim paratrakeal jarang, memiliki tilosis dan kristal (Martawijaya et al. 2005b dan Ogata et al. 2008).

(39)

hingga berombak, pori umumnya soliter, jari-jari uniseriate, parenkim jarang, mengandung tilosis, endapan dan silika (Sosef et al., 1998).

Pelacakan melalui komputer (database ciri-ciri kayu otentik Indonesia) maupun pencocokan secara manual (Heyne 1987, Soerianegara & Lemmens 1993, Lemmens et al. 1995, Mandang & Pandit 1997, Sosef et al. 1998, Abdurrohim et al. 2004, Martawijaya et al. 2005a, Martawijaya et al. 2005b dan Ogata et al. 2008), tidak menemukan satu species pun dengan karakternya sama dengan karakter hasil pengamatan terhadap sampel F. Hanya kayu-kayu

Anogeissus acuminata yang berasal dari India (Sosef et al. 1998) serta Ziziphus

spp., Eucalyptopsis spp. dan Dysoxylum spp. (data base ciri-ciri kayu otentik Indonesia) yang paling mendekati. Karakter sampel F yang diamati bercirikan: lingkar tumbuh tidak begitu jelas, tidak bercorak, serat lurus, tekstur halus, pori semi tata lingkar, bidang perforasi sederhana, noktah berselang-seling, jari-jari

uniseriate-heteroseluler, ada kristal, dengan sel parenkim paratrakeal tipe jarang, aliform hingga konfluen.

Berdasarkan informasi dari pengrajin, nama lokal sampel F adalah kayu Matikuli. Kayu ini sekarang sudah semakin sulit diperoleh sehingga fungsinya diganti dengan kayu T. decorticata.

4.4 Penentuan Jenis Kayu Alternatif

Jenis-jenis kayu alternatif dipilih berdasarkan kesamaan nilai berat jenis (BJ), kelas kuat dan kelas keawetan kayu karena penggunaan kayu sebagai konstruksi kapal sangat berkaitan dengan sifat mekanis dan sifat awetnya. Rata-rata nilai BJ kayu, kelas kuat dan kelas awet jenis kayu yang diteliti disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Berat jenis, kelas kuat dan kelas awet enam jenis kayu yang diteliti

Jenis Berat Jenis Kelas Kuat Kelas Awet

Tectona grandis 0,67 II I – II

Santiria laevigata 0,61 III IV

Bruguiera parviflora 0,92 I – II III

Vitex cofassus 0,74 II – III II – III

Tristaniopsis decorticata 1,12 I II

Matikuli - - -

(40)

27

Sadiyo (2011); Bowyer et al. (2003), perbedaan nilai BJ kayu disebabkan adanya perbedaan struktur anatomis kayu yang meliputi macam sel penyusun kayu termasuk penyebarannya, keberadaan saluran interselluler, kandungan bahan kimia dan ketebalan dinding sel.

Dari Tabel 7 diketahui bahwa kelas kuat keenam jenis kayu yang diteliti bervariasi: T. decorticata Kelas Kuat I, B. parviflora Kelas Kuat I-II, T. grandis

Kelas Kuat II, V. cofassus Kelas Kuat II-III, sedangkan S. laevigata Kelas Kuat III. Dari segi kekuatan, kelima jenis tersebut dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan kapal. Menurut standar BKI (1989), persyaratan minimal kelas kuat kayu untuk suatu konstruksi adalah Kelas Kuat III.

Dari Tabel 7 diketahui pula bahwa kelas awet seluruh jenis kayu yang diteliti bervariasi: T. grandis Kelas Awet I-II, T. decorticata Kelas Awet II, V. cofassus Kelas Awet II-III, B. parviflora Kelas Awet III dan S. laevigata Kelas Awet IV. Dari segi keawetan kayu, S. laevigata perlu diawetkan terlebih dahulu karena tergolong kurang awet.

Tabel 8 memuat persyaratan teknis kayu sebagai bahan baku pembuatan kapal untuk masing-masing bagian konstruksi kapal atau penggunaannya.

Tabel 8 Persyaratan teknis kayu konstruksi kapal

Penggunaan Persyaratan Teknis

Lunas Tidak mudah pecah, tahan binatang laut

Gading-gading Kuat, tidak mudah pecah, tahan binatang laut.

Kulit/lambung Kuat, tidak mudah pecah, tahan binatang laut.

Bangunan atas dan dudukan mesin

Ringan, kuat, awet, keras, tidak mudah pecah karena getaran mesin

Pembungkus es dan

baling-baling Lunak, sehingga tidak merusak logam

(41)

Berdasarkan persyaratan teknis sebagaimana Tabel 8, maka jenis-jenis kayu alternatif yang dipilih sekurang-kurangnya harus memiliki BJ, kelas kuat dan kelas awet yang mendekati atau relatif sama dengan kayu-kayu yang selama ini digunakan. Jenis-jenis lokal lebih diutamakan karena selain relatif mudah dalam hal pengadaan sekaligus untuk meningkatkan pemanfaatan kayu secara lebih maksimal. Jenis-jenis kayu yang berpotensi menjadi kayu alternatif disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Jenis kayu yang digunakan, jenis kayu alternatif dan penggunaannya

Keterangan: BJ = Berat Jenis; KK = Kelas Kuat; KA = Kelas Awet

Sumber: Seng (1990), Whitmore et al. (1989) dan Martawijaya et al. (2005b)

Dari Tabel 9 diketahui bahwa untuk tujuan gading-gading kapal, kayu T. grandis dapat diganti dengan kayu Artocarpus spp., Albizzia lebbeck dan atau

Jenis Kayu Jenis Kayu Alternatif Penggunaan

T. grandis 1. Artocarpus spp. (BJ = 0,64; KK = II-III; KA = II-III;

(42)

29

Shorea laevifolia sebagaimana Sosef et al. (1998), Lemmens et al. (1995) dan Dumanauw (1982) dalam Kusumanti (2009). Menurut Sosef et al. (1998), kayu A. lebbeck dapat digunakan sebagai bahan baku untuk konstruksi rumah, jembatan, alat musik dan perahu; kayu Artocarpus spp. untuk konstruksi ringan, vener dan pembuatan perahu (Lemmens et al. 1995), sedangkan kayu S. laevifolia dapat digunakan sebagai gading-gading kapal (Dumanauw 1982 dalam Kusumanti 2009).

Untuk kerangka tiang bagian atas kapal dan ruangan kapten kapal, kayu S. laevigata dapat digantikan oleh kayu Canarium hirsutum, Garuga floribunda,

Peronema canescens dan atau Shorea acuminata. Menurut Dumanauw (1982)

dalam Kusumanti (2009), kayu S. acuminta dan C. hirsutum dapat digunakan sebagai bangunan atas dan dudukan mesin. Menurut Heyne (1987), kayu G. floribunda dapat digunakan untuk bahan kayu konstruksi bangunan dan peti mati, sedangkan menurut Mandang dan Pandit (1997), kayu P. canescens dapat digunakan untuk dinding, rangka pintu dan jendela karena memiliki kesan dekoratif.

Untuk bahan paku kapal, kayu-kayu hutan mangrove terutama Rhizophora stylosa dan R. ghymnorhiza dapat menggantikan kayu B. parviflora. Menurut Martawijaya et al. (2005b), kayu-kayu dari famili Rhizophoraceae biasa digunakan untuk tiang, balok perumahan dan tongkat jemuran daun tembakau.

Untuk kerangka dasar bagian atas dan lantai kapal, kayu V. cofassus dapat digantikan oleh kayu Xylocarpus moluccensia dan atau Gannophyllum falcatum. Menurut Sosef et al. (1998), kayu G. falcatum dapat digunakan sebagai bahan konstruksi rumah, jembatan, jendela dan dek kapal, kayu X. moluccensia memiliki kualitas tinggi untuk furnitur.

Untuk lunas atau bagian bawah kapal, kayu T. decorticata dapat digantikan oleh kayu Maranthes corymbosa, Diploknema oligomera dan atau

(43)

pembuatan kapal karena tahan terhadap serangan binatang laut penggerek kayu (Martawijaya et al. 2005b).

Kayu Matikuli selama ini digunakan sebagai bahan lambung atau kulit kapal. Kayu-kayu S. laevifolia, Lagerstroemia speciosa dan atau Intsia retusa

berpotensi menjadi pengganti kayu Matikuli. Dumanauw (1982) dalam

(44)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka dapat disimpulkan hal- hal sebagai berikut:

1. Hasil idenifikasi pada keenam potongan kayu menunjukan bahwa sampel A adalah kayu Tectona grandis (jati), sampel B kayu Santiria laevigata (besulo), sampel C kayu Bruguiera parviflora (bakau), sampel D kayu Vitex cofassus

(bitti) dan sampel E kayu Tristaniopsis decorticata (besi). Sampel F dengan nama lokal Matikuli, tidak teridentifikasi.

2. Kayu jati dapat digantikan oleh kayu Artocarpus spp., Albizzia lebbeck dan atau Shorea laevifolia, kayu besulo oleh kayu Canarium hirsutum, Garuga floribunda, Penorema canescens dan atau Shorea acuminata; kayu bakau oleh kayu Rhizophora stylosa dan R. ghymnorhiza; kayu biti oleh kayu Xylocarpus moluccensia dan atau Gannophyllum falcatum; kayu besi oleh kayu Maranthes corymbosa, Diploknema oligomera dan atau Xanthostenon confertiflorum; sedangkan kayu Matikuli olehkayu S. laevifolia, Instia retusa, Lagerstroemia speciosa dan atau T. decorticata.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini terdapat beberapa saran sebagai berikut: 1. Perlu dilakukan kajian lebih lanjut untuk mengetahui nama ilmiah jenis kayu

Matikuli melalui identifikasi daun, bunga dan buah.

2. Perlu dilakukan pengujian sifat fisis dan sifat mekanis serta ketahanan kayu terhadap serangan binatang laut penggerek baik terhadap jenis-jenis kayu yang selama ini digunakan maupun terhadap jenis-jenis kayu alternatif yang telah disarankan.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai sistem silvikultur untuk jenis kayu alternatif dan jenis kayu yang digunakan selama ini.

(45)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrohim S, YI Mandang, Sutisna. 2004. Atlas Kayu Indonesia Jilid III. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan. Biro Klasifikasi Indonesia. 1989. Peraturan Konstruksi Kapal Kayu. Jakarta: Biro

Klasifikasi Indonesia.

Bowyer JL, R Shmulsky, JG Haygreen. 2003. Forest Products and Wood Science:

An Introduction. Fourth Edition. Ames, Iowa, USA: Iowa State Press a Blackwell Publishing Company.

Fyson J. 1985. Design of Small Fishing Vessels. Farnham, Surrey, England: Fishing News Books.

Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid I - IV. Jakarta: Badan Litbang Departemen Kehutanan.

Hoadley RB. 1990. Identifying Wood: Accurate Results with Simple Tools. USA: The Taunton Press.

Iskandar BH, Y Novita. 2000. Tingkat Teknologi Pambangunan Kapal Ikan Kayu Tradisional di Indonesia. Dalam Buletin Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan 9(2): 53-67.

Kusumanti I. 2009. Tingkat pemanfaatan material kayu pada pembuatan gading-gading di galangan kapal rakyat UD. Semangat Untung, Desa Tanah Beru, Bulukumba, Sulawesi Selatan [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Lemmens RHMJ., Soerianegara I, Wong W.C. 1995. Plant Resources of South-East Asia No 5(2). Timber trees: Minor commercial timbers. Leiden: Backhuys Publishers.

Mandang YI, IKN Pandit. 1997. Pedoman Identifikasi Jenis Kayu di Lapangan. Bogor: Yayasan PROSEA, Pusat Diklat Pegawai dan SDM Kehutanan. Martawijaya A, I Kartasujana, K Kadir, SA Prawira. 2005. Atlas Kayu Indonesia

Jilid I. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Ketahanannya Terhadap Penggerek di Laut. Prosiding PPI Standarisasi 2008; Bogor, 25 Nov 2008.

Ogata K, T Fujii, H Abe, P Baas. 2008. Identification of the Timbers of Southest Asia and the Western Pacific. Japan: Kaseisha Press.

(46)

33

Pandit IKN, D Kurniawan. 2008. Struktur Kayu: Sifat Kayu sebagai Bahan Baku dan Ciri Diagnostik Kayu Perdagangan Indonesia. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Pandit IKN, E Prihatini. 2010. Penuntun Praktikum Anatomi dan Identifikasi Kayu. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Panshin AJ, C de Zeeuw. 1980. Textbook of Wood Technology: Structure, Identification, Properties and Uses of The Commercial Woods of The United States and Canada. New York: McGraw-Hill Book Company. Pasaribu BP, M Imron. 1990. Disain dan Konstruksi Kapal Penangkap Ikan untuk

Perairan Laut dalam di Perairan Timur Indonesia. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Prasetyo JT. 2008. Dampak pembenaman dalam lumpur terhadap keteguhan lentur statis beberapa jenis kayu untuk lunas kapal di Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Purba RFB. 2004. Kajian tekno-ekonomi kapal gillet material kayu di Karangantu, Kabupaten Serang, Propinsi Banten [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Sadiyo S. 2011. Analisis Sesaran Batas Proporsional dan Maksimum Sambungan Geser Ganda Batang Kayu dengan Paku Majemuk Berpelat Sisi Baja Akibat Beban Uni-Aksial Tekan. Dalam J. Teknik Sipil 18 (2): 127-135. Sass JE. 1961. Botanical Microtechnique. The Iowa State University Press. Seng OD. 1990. Pengumuman Berat Jenis dari Jenis – Jenis Kayu Indonesia dan

Pengertian Beratnya Kayu untuk Keperluan Praktek. Soewarsono PH, penerjemah. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Terjemahan dari: Spesific Gravity of Indonesian Woods and its Significance for Practical Use.

Soerianegara I, RHMJ Lemmens. 1993. Plant Resources of South-East Asia No. 5(1). Timber trees: Major commercial timbers. Wageningen: Pudoc Scientific Publishers.

Sosef MSM, LT Hong, S Prawirohatmodjo. 1998. Plant Resources of South-East Asia No 5(3). Timber trees: Lesser-known timbers. Leiden: Backhuys Publishers.

Taufiq M. 2008. Kekuatan kayu Bayur (Pterospermum spp.) sebagai alternatif material lunas kapal [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

(47)

Wheeler EA, P Baas, PE Gasson. 2008. Identifikasi Kayu: Ciri Mikroskopik untuk Identifikasi Kayu Daun Lebar. Sulistyobudi A, Mandang YI, Damayanti R, Rulliaty S, penerjemah. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Terjemahan dari: IAWA List of Microscopic Features For Hardwood Identification.

(48)
(49)
(50)

37

Lampiran 2. Rata-rata dimensi serat dan pori kayu T. grandis

No.

(51)
(52)

39

Lampiran 4. Rata-rata dimensi serat dan pori kayu B. parviflora

(53)
(54)

41

Lampiran 6. Rata-rata dimensi serat dan pori kayu T. decorticata

(55)
(56)

43

(57)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Menurut Martawijaya et al. (2005a), sekitar 4000 jenis pohon yang tumbuh di hutan alam Indonesia berpotensi sebagai penghasil kayu. Dari jumlah tersebut, baru 259 jenis yang kayunya telah diperdagangkan, sedangkan sisanya dapat dikelompokan menjadi tiga yaitu sebagai penghasil kayu yang kurang dikenal (lesser known species), sebagai penghasil kayu yang telah dipakai tapi belum dikenal (lesser used species) dan sebagai penghasil kayu yang belum dikenal (unknow species).

Sudah diketahui bahwa kayu merupakan salah satu kebutuhan utama bagi manusia sejak lahir hingga meninggal dunia. Kegunaan kayu sangat bervariasi mulai dari sebagai bahan konstruksi bangunan, papan komposit, pulp dan kertas, hingga kayu bakar. Sebagai bahan, kayu memiliki banyak keunggulan dibanding bahan lain dan bersifat dapat diperbaharui (renewable).

Salah satu kegunaan kayu terkait dengan bentuk negara kita yang tergolong negara maritim adalah sebagai bahan baku pembuatan kapal. Menurut Pasaribu dan Imron (1990), kapal penangkap ikan di Indonesia masih banyak yang menggunakan kayu sebagai bahan baku khususnya untuk bagian lambung dan tiang kapal. Kapal-kapal tersebut dibuat secara tradisional dengan menggunakan peralatan yang sederhana dan hanya dengan mengandalkan pengalaman yang diajarkan secara turun-temurun.

(58)

2

Kendari, Kota Kendari Sulawesi Tenggara tidak menemukan hambatan dalam melakukan aktifitas yang selama ini merupakan mata pencaharian mereka.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengidentifikasi jenis kayu yang selama ini digunakan sebagai bahan baku pembuatan kapal ikan tradisional di Kecamatan Kendari, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara melalui pengamatan struktur anatomi penyusun kayu. 2. Menentukan jenis-jenis kayu pengganti yang dapat digunakan sebagai kayu

alternatif untuk pembuatan kapal ikan sejenis.

1.3 Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu para nelayan khususnya nelayan di Kecamatan Kendari, Kota Kendari Sulawesi Tenggara untuk memperoleh jenis-jenis kayu alternatif yang sesuai sehingga tidak menemukan hambatan dalam proses pembuatan kapal.

(59)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kapal Ikan Tradisional

Menurut Nomura dan Yamazaki (1975) dalam Prasetyo (2008), kapal ikan merupakan kapal yang digunakan dalam kegiatan perikanan, mencakup aktivitas penangkapan ikan atau mengumpulkan sumberdaya ikan, pengelolaan usaha budidaya perairan serta penggunaan dalam beberapa aktivitas lain seperti riset,

training dan inspeksi sumberdaya perairan. Di Indonesia, pada umumnya kapal ikan dibuat secara tradisional, turun-temurun dan dengan memanfaatkan teknologi yang sederhana.

Menurut Iskandar dan Novita (2000), istilah tradisional tersebut lebih mengarah kepada metode atau cara yang digunakan pengrajin dalam membangun konstuksi kapal buatannya, dimana metode yang digunakan merupakan warisan dari para pendahulunya. Kapal yang telah dibuat dan teruji kemampuannya menjadi acuan untuk pembuatan kapal selanjutnya sehingga timbul tradisi pewarisan pengetahuan dan teknologi pembuatan kapal secara turun temurun.

2.2 Material Kapal Ikan

Material kapal ikan merupakan bahan dasar yang harus tersedia sebelum proses pembuatan kapal dimulai. Material tersebut terdiri dari berbagai bahan seperti kayu, baja atau aluminium. Pemilihan material yang tepat akan menjamin kekuatan struktur badan kapal sehingga aman dalam pengoperasiannya dan sesuai harapan (Ornam 2007).

Fyson (1985) menjelaskan bahwa pemilihan material kapal ikan sangat dipengaruhi oleh keahlian dan kemampuan sumberdaya manusia serta teknologi dan peralatan yang tersedia di galangan, kemudahan dalam memperoleh bahan, keuntungan teknis dari tiap material dan biaya pembelian bahan material.

Gambar

Gambar 1  Keenam potongan sampel uji: Sampel A, B, C, D, E dan F
Tabel 1  Karakterisitik makroskopis pada enam potongan kayu yang diteliti
Gambar 4  Warna dan corak kayu: (a) Sampel A; (b) Sampel B; (c) Sampel C; (d) Sampel D; (e) Sampel E; (f) Sampel F
Gambar  5  Penampang lintang: (a) Sampel A; (b) Sampel B; (c) Sampel C; (d)
+7

Referensi

Dokumen terkait