• Tidak ada hasil yang ditemukan

TITIK TEMU KONSEP KEDAULATAN DALAM RUMUS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TITIK TEMU KONSEP KEDAULATAN DALAM RUMUS"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

I. Sejarah Hak Asasi Manusia Dalam Tinjauan Legal Normatif

Membicarakan HAM dalam bingkai metarule, artinya membicarakan HAM dalam perspektif hitam diatas putih ataumembicarakan HAM dalam lingkup kepastian hokum.Semua orang pasti sepakat bahwa piagam PBB merupakan pondasi awal mengenai itu. Secara eksplisit, penegasan itu terdapat dalam pasal 1 ayat 3 piagam PBB meski piagam ini lebih banyak membahas tentang kerjasama antar Bangsa-Bangsa untuk mendorong dan menciptakan perdamaian internasional. Namun, aspek HAM dan kebebasan memperoleh legitimasi tersendiri.

Pada tahun 1948, lahirlah instrumen baru mengenai kemanusiaan yaitu Deklarasi HAM (Human Right Declaration) yang menegasikan pentingnya jaminan mengenai perlindungan kebebasan. Disusul lagi lahirnya dua instrument HAM pada tahun 1966, yaitu Konvensi Internasional Mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik serta Konvensi Mengenai Hak-Hak Ekonomi,Sosial dan Budaya. Banyak Negara telah meratifikasi kedua konvensi ini.Diantara 185 negara anggota PBB, ada 140 negara telah meratifikasinya.Dua konvensi ini menjadi sumber hukum positif hingga 1999. Secara umum, konvensi-konvensi ini melindungi tiap-tiap orang dari tindak kesewenang-wenangan Negara.

Tanggal 25 Juni 1993, di kota Wina, Austria. Umat manusia kembali yang mewakili berbagai Negara, kembali member penegasan sikap dan prinsip mengenai HAM.Dalam konferensi internasional HAM tersebut, wakil-wakil Negara telah mengadopsi secara konsensus prinsip-prinsip HAM yang tak tersentuh sebelumnya. Hasil konferensi tersebut disebut Deklarasi Wina dan Program Aksi atau Vienna Declaration and Programme of Action (VDPA) yang bertujuan sebagai kompas untuk bertindak secara nyata dan berisi mengenai pedoman apa saja dan bagaimana seharusnya kita bertindak.

Pada 15 Juni 1998, melalui konferensi internasional diplomatik, umat manusia menorehkan babak baru mengenai kemanusiaan dengan disahkannya Statuta Roma sebagai sumber hukum positif tentang kemanusiaan. Bersamaan dengan itu, dibentuk pula Mahkamah Pidana Internasional (International Court of Criminals) yang disetujui oleh 120 negara anggota PBB, 21 negara abstain dan 7 negara menentang, yaitu Amerika Serikat, Cina, Jepang, India, Irak, Qatar dan Israel.

(2)

II. Sejarah Singkat Perang Kongo

Konflik Hema-Lendu sebenarnya merupakan konflik turunan dari perang Kongo kedua. Perang Kongo kedua diawali dengan desakan Pemerintah Kongo di bawah pimpinan Laurent Kabila terhadap negara-negara aliansinya (Rwanda dan Uganda) untuk menarik mundur pasukannya dari kawasan Kongo dalam Perang Kongo Pertama (1996-1997) yang berhasil menjatuhkan Presiden Mobutu Sese Seko. Perang Kongo Kedua pecah pada 1998 dengan adanya invasi Rwanda, Uganda dan Burundi. Di sisi lain, Pemerintahan Presiden Kabila mendapatkan dukungan dari Angola, Namibia,dan Zimbabwe.

Keterlibatan kedua negara itu dalam konflik Kongo bermula dari meningkatnya laju pengungsi Hutu ke wilayah Kongo (penyebab perang Kongo pertama). Pengungsi Hutu yang didominasi Milisi Interahamwe, yaitu ekstremis Hutu, pelaku genosida terhadap Tutsi di Rwanda, dan mantan tentara pemerintah Hutu-Rwanda, Forces Armées Rwandaises (FAR), mendapat perlindungan dari Pemerintahan Mobutu (Presiden Kongo sebelum digulingkan Kabila) di kawasan Kongo. Mobutu bahkan membiarkan Hutu-Rwanda untuk menggunakan tempat pengungsian di Kivu sebagai tempat membangun basis kekuatan gerakan pemberontakan, tempat melakukan latihan militer dan mengorganisir kembali pembantaian terhadap penduduk dan warga negara beretnis Tutsi di Kongo.

Tindakan Mobutu ini menyinggung para pemimpin Tutsi di sejumlah Negara tetangga Kongo, terutama Rwanda dan Uganda. Para pemimpin Tutsi khawatir jika Hutu kembali menaklukkan Rwanda dan melakukan genosida kepada Tutsi. Hal ini membuat Rwanda dan Uganda memiliki alasan yang kuat untuk menginvasi Kongo yang dianggap mengancam keamanan negaranya. Karena itu, Rwanda dan Uganda mulai memasuki Kongo. Tindakan Militer Tutsi-Rwanda dan Tutsi-Uganda mendapat reaksi oleh para pengungsi Hutu-Rwanda yang bekerjasama dengan Hutu-Kongo mulai melakukan pembersihan etnis Tutsi-Kongo di Kivu, terutama di Masisi (Kivu Utara) dan Banyamulenge (Kivu Selatan). Sebaliknya, ketika Rwanda dan Uganda menginvasi Kongo, keduanya berbalik melakukan pembersihan etnis terhadap Hutu, baik Hutu-Rwanda maupun Hutu-Kongo. Bahkan penduduk yang tinggal di desa-desa yang dicurigai sebagai tempat persembunyian Interahamwe dan eks-FAR juga turut dibantai. Dalam perkembangannya, konflik juga turut melibatkan sejumlah kelompok pribumi lain di Kongo yaitu Hema dan Lendu serta kelompok milisi yang terdiri dari pemuda pribumi Kongo, Mai Mai.

Motif perang Kongo kesatu dan kedua, secara garis besar bisa dilihat sebagai berikut:

Pertama : adanya gelombang pengungsi hutu dari konflik perang saudara di Rwanda dan Uganda ke Kongo. Disisi lain, Presiden Mobutu dituduh Pemerintah Rwanda dan Uganda melatih milisi Hutu-Rwanda dan takut terjadinya tindak balasan terhadap etnis Tutsi yang notabene pengisi slot kepemerintahan dua negara tersebut.

(3)

Kongo-Uganda dan Burundi demi mengamankan eksploitasi coltan di daerah Kongo perbatasan, ini dipengaruhi oleh meningkatnya dan melambungnya harga coltan di pasar dunia.

Keterlibatan Lubanga dalam Konflik Etnis Lendu-Hema dan Kejahatan Yang Didakwakan Kepadanya

Konflik Ituri yaitu konflik antara agrikulturalis Lendu dan peternak Hema di wilayah Ituri sebelah timur laut Republik Demokratik Kongo. Thomas Lubanga Dyilo, kelahiran 29 Desember 1960 ini adalah pemain utama konflik Ituri di timur laut Kongo. Konflik ini terjadi antara petani Lendu dan etnis pengembara Hema. Meskipun ada berbagai tahapan konflik, bentrokan paling hebat terjadi pada periode 1999-2003. Konflik yang lebih kecil terus terjadi hingga 2007.

Lubanga adalah seorang komandan militer dan "menteri pertahanan" dalam pro-Uganda Kongo Rally untuk Gerakan Demokrasi-Pembebasan (RCD-ML). Human Rights Watch menuduh UPC, di bawah komando Lubanga, dari "pembantaian etnis, pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan dan mutilasi, serta perekrutan tentara anak-anak". Antara November 2002 dan Juni 2003, UPC diduga membunuh 800 warga sipil atas dasar etnisitas mereka di wilayah pertambangan emas Mongbwalu. Antara 18 Februari dan 3 Maret 2003, UPC dilaporkan telah menghancurkan 26 desa di satu daerah, menewaskan sedikitnya 350 orang dan memaksa 60.000 mengungsi mereka. organisasi HAM mengklaim bahwa Lubanga merwekrut 3.000 tentara anak antara usia 8 hingga 15 tahun. Lubanga dilaporkan memerintahkan setiap keluarga di daerah kekuasaannya untuk membantu upaya perang dengan menyumbangkan sesuatu: uang , sapi, atau seorang anak untuk bergabung dengan milisinya

Pada bulan Maret 2004, pemerintah Kongo resmi memberi kewenangan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk menyelidiki dan menuntut kejahatan dalam yurisdiksi Pengadilan Kongo yang diduga terjadi dimana-mana sejak berlakunya Statuta Roma.

Pada tanggal 10 Februari 2006, ICC menemukan bahwa ada alasan yang kuat untuk bahwa Lubanga bertanggung tanggung jawab atas tindak pidana berupa kejahatan perang yaitu merekrut anak-anak dibawah usia lima belas tahun dan menggunakan mereka untuk berpartisipasi secara aktif dalam permusuhan.

Pada tanggal 17 Maret 2006, Lubanga menjadi orang pertama yang pernah ditangkap di bawah surat perintah penangkapan ICC, ketika otoritas Kongo menangkapnya dan memindahkannya ke ICC tahanan. Ia diterbangkan ke Den Haag dan ditahan di pusat penahanan ICC sejak 17 Maret 2006.

(4)

Rumusan Masalah

1 Bisa dibenarkan atau tidak sebuah tindakan intervensi kemanusiaan oleh MPI (yaitu mengadili Lubanga) terhadap kedaulatan negara lain (Kongo) atas nama kemanusiaan ?

2 Dimanakah titik temu nilai universalitas HAM dan konsep kedaulatan negara ?

Metode Penulisan

Penulisan dalam makalah berbentuk kliping menggunakan pendekatan naratif-normatif dengan tendensi data-data sekunder dari buku-buku,majalah, koran dan internet. Dalam. Data-data yang terkumpul akan diolah dan dihubungkan dengan peristiwa, yang kemudian dianalisa dan diinterpretasikan atas dasar cara berpikir yang deduktif dalam mendapatkan suatu kesimpulan dimana disesuaikan dengan peraturan yang ada.

Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan disini adalah tentang memahami titik temu (linear) antara konsep kedaulatan negara sebagaimana yang termuat dalam rumusan Statuta Roma dan konsep HAM yang universal sebagaimana terumuskan dalam Statuta Roma.

BAB II PEMBAHASAN A. Hak Asasi Manusia

Membicarakan intervensi suatu komunitas atau negara terhadap kedaulatan dan kemerdekaan negara lain atas nama kemanusiaan dengan alasan dilanggarnya hak asasi manusia di wilayah yuridiksi lain (negara lain), maka tidak terlepas membicarakan Hak Asasi Manusia yang menjadi legitimasi intervensi tersebut.

Lantas, Apakah hak asasi manusia itu ?

Jack Donelly mengatakan HAM adalah hak tiap orang tanpa memandang siapa dia, dan tidak boleh dikaitkan dengan siapa yang berhak dan yang memberi hak.Keberadaan HAM tidak terkait dengan sistem hukum dan sosial dimana kita berada.

Secara sederhana, hak asasi bisa diartikan sebagai hak yang melekat dalam diri manusia semenjak dia lahir.Dalam konsep Hak Asasi Manusia sendiri terdapat dua unsur. Pertama,

(5)

hak-hak orang lain tidak dilanggar atau tidak. Singkatnya, mengenai kewajiban seseorang untuk memenuhi/mematuhi kontrak sosial atau standard of conduct. Kedua, adalah

entitlement, yaitu hak seseorang (manusia) untuk memiliki dan menikmati sesuatu yang

menjadi haknya.

Lantas, siapakah yang berhak untuk membela hak warga negara lain yang terampas hak-hak asasinya ?

Michael Walzer dengan tegas mengatakan, karena hanya manusia yang memiliki HAM, maka kita tidak memiliki pilihan lain, kecuali membela hak-hak yang dimiliki oleh manusia tersebut. Lebih jauh, Walzer mengatakan bahwa ketika suatu negara tak bisa menjamin hak asasi seseorang dan keberadaan nyawa seseorang terancam, maka posisi warga negara tersebut bukan lagi sebagai individu yang memiliki hak negative yang berupa tidak boleh dibunuh, tetapi hak negatif tersebut telah berubah menjadi hak positif, yakni harus dilindungi dari pembunuh.

Hak positif itulah yang memberi legitimasi moral dan hukum untuk segera melakukan intervensi demi kemanusiaan untuk menghentikan pembunuhan massal dan pemusnahan etnik tersebut.

B. Intervensi Kemanusiaan

Terlepas dari motif kepentingan yang melatar belakangi suatu negara melakukan intervensi terhadap kedaulatan negara lain. Dalam politik internasional, intervensi kemanusiaan

(Humanitarian Intervention) masih saja diperdebatkan. Baik oleh pihak yang menilai

tindakan tersebut dari aspek moral ataupun yang melihatnya dari perspektif legalistik.

Agar mendapat pemahan komperhensif mengenai intervensi kemanusiaan, maka kita tidak bisa lepas dari melihat aliran-aliran pemikiran (paradigma) yang berkembang. Aliran-aliran pemikiran itu antara lain:

1.AliranUtilitarian

Aliran pemikiran ini berpendapat bahwa sebuah aksi atau tindakan bisa dibenarkan apabila konsekuensi dar aksi atau tindakan tersebut jauh lebih banyak manfaatnya daripada mudaratnya.

2. Aliran Hukum Alam

Hugo De Grote (Grotius), Bapak hukum internasional, merupakan penganut aliran ini dengan postulat jika seorang tiran berlaku zalim terhadap manusia dan menghancurkan peradaban manusia, maka orang lain dapat memiliki hak untuk melakukan intervensi demi kemanusiaan tadi. Acuan prinsip yang dipakai adalah Societas humana-universal community of humankind ( masyarakat manusia yang universal ).

(6)

Aliran ini mempercayai ada norm-norma tertentu yang berlaku di masyarakat manapun.norma tersebut mengikat secara moral, pengakuan dan persetujuan oleh masyarakat terhadap norma ini adalah dipraktekanya norma-norma ini secara kontinyu. Jika ada peristiwa menghentak rasa kesadaran manusia, maka, secara kultur, setiap orang punya hak dan kewajiban untuk melakukan intervensi kemanusiaan. Keterpanggilan untuk membela nilai-nilai kemanusiaan bukan saja milik orang-orang yang memiliki kekuasaan, tetapi milik siapa saja, sepanjang dia adalah manusia.Posisi ini terbingkai dalam sebuah perspektif global

culture of human solidarity yang berarti, ada nilai-nilai budaya yang berlaku secara global,

yakni kesadaran tentang solidaritas antar manusia.

4.Aliran Libertarian

Aliran ini beranggapan bahwa setiap bentuk kekuatanagresif harus dilarang dan merupakantugas pemerintah untuk mengontrol agar tidak terjadi tindakan agresif terhadap siapapun. Namun, penggunaan kekerasan untuk menghadapi kekuatan agresif juga dibenarkan. Dalam kesempatan yang lain, pihak lain tidak boleh memaksa jika orang yang diserang kebebasanya tidak mau melawan. Bagi aliran ini, mempertahankan dan membela negara adalah keharusan publik (kebijakan publik), namun membela negara lain bukanlah kebijakan. Karena itu, pemerintah atau warga negara lain tak memiliki kewajiban untuk membela warga negara lain selain warga negaranya sendiri.

5. Aliran Legal Posivistik

Aliran ini cenderung memandang intervensi atas tragedi kemanusiaan dari perspektif hukum positif.Pendekatan aliran ini menekankan ada atau tidaknya peraturan formal yang membolehkan dilakukan intervensi kemanusiaan.Sebuah intervensi dianggap adil manakala tidak melanggar aturan hukum yang ada dalam hukum internasioanal.

Patut menjadi acuan adalah pendapat menurut J.L Holzgrefe, seperti tertulis dalam buku berjudul HAM: Politik, Hukum, dan Kemunafikan Internasional, karya Hamid Awaludin, yang diterbitkan Kompas, yang mengatakan: The threat or use of force across state borders by state (or group of states) aimed at preventing or ending widespread and grave violations of the fundamental human rights of individuals other than its own citizens, without the

permission of the state within whose territory force is applied. (Ancaman atau penggunaan

kekerasan yang melintasi batas negara oleh suatu negara (atau kelompok dari suatu negara-negara) yang bertujuan mencegah atau mengakhiri pelanggaran yang meluas dan berat terhadap HAM selain warga negaranya sendiri, tanpa izin dari negara bersangkutan adalah sah).

C. Tinjauan Kedaulatan dan Hak Asasi Manusia dari Aspek Normatif

(7)

Seluruh anggota-anggota dalam hubungan internasional mereka, harus mengekang untuk menggunakan kekerasan melawan kedaulatan dan kemerdekaan negara lain atau dengan cara apapun yang bertentangan dengan tujuan-tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Kemudian, pasal 2 ayat 7 juga menegaskan bahwa tidak ada ketentuan dalam piagam PBB yang membolehkan PBB untuk mengintervensi negara lain. Jelas sudah, secara umum, bahwa ditinjau dari perspektif Legal Posivistik, apapun bentuk dan motif intervensi tak dapat pembenaran dengan catatan bahwa piagam PBB ini dirumuskan dan dirancang kala geo-politik global saat itu sedang gencar-gencarnya gerakan dekolonialisasi. Artinya, semangat yang berkecamuk di benak para perumus Piagam PBB adalah semangat non-intervensi.

Disatu sisi, rumusan-rumusan mengenai tindak kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Statuta Roma, bisa kita lihat dalam ketentuan Pasal 7 Statuta Roma yang mendefinisikan kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan serangan yang meluas dan sistematis yang ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil dengan tujuan:

a. Pembunuhan b. Pemusnahan c. Perbudakan

d. Pengusiran dan pemindahan penduduk secara paksa

e. Perampasan kemerdekaan/perampasan kebebasan fisik lainnya f. Penganiayaan

g. Memperkosa, perbudakan seksual, memaksa seseorang menjadi pelacur, menghamili secara paksa, ataupun mengenai kejahatan seksual lainnya.

h. Penyiksaan terhadap kelompok berdasarkan alasan ras, politik, agama,etnis, kebudayaan gender, ataupun alas an-alasan lain yang diketahui sebagai suatu alasan yang dilarang oleh hokum internasional

i. Penghilangan orang secara paksa j. Kejahatan apartheid

k. Perbuatan lainya yang tak berperikemanusiaan yang dilakukan secara sengaja sehingga mengakibatkan penderitaan, luka parah baik tubuh maupun mental, ataupun kesehatan fisik lainnya.

Sedangkan definisi Kejahatan Perang, dijelaskan secara detail dalam Pasal 8 Statuta Roma, sebagai sebuah perbuatan yang melanggar Konvensi Jenewa, tanggal 12 Agustus 1949, antara lain meliputi:

a. Pembunuhan yang dilakukan dengan sadar

b. Penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk percobaan biologis

c. Secara sadar menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau kesehatan

d. Penghancuran secara eksensif/meluas dan perampasan harta benda yang tidak dibenarkan, berdasarkan keperluan militer dan dilakukan secara tidak sah dan gegabah

e. Melakukan pemaksaan terhadap tawanan perang atau seseorang yang dilindungi lainnya untuk melayani pasukan musuh

(8)

g. Pendeportasian atau pemindahan atau pengurungan yang melanggar hokum h. Penyanderaan

Melihat rumusan isi Statuta Roma diatas, kedepanya, diharapkan tak ada lagi tindak kejahatan terhadap kemanusiaan ataupun kejahatan perang bisa lepas dari jerat hukum (immunity) dengan dalih kedaulatan (Sovereignity).

D. Titik Temu Antara Konsep Kedaulatan Negara Dalam Piagam PBB Dan Universalitas HAM Yang Dirumuskan Dalam Statuta Roma

Meski Mahkamah Pidana Internasional dalam menjalankan efektifitas Statuta Roma menggunakan rezim hukumbersifat internasional. Ada tiga prinsip yang mendasari Statuta Roma. Prinsip pertama, adalah prinsip Komplementatif (complementarity) yang menyatakan bahwa Mahkamah dapat menjalankan yuridiksinya hanya bila system hukum nasional tidak mampu atau tidak bersedia (unable or unwilling) untuk melaksanakan yuridiksinya, prinsip ini sebagaimana tercantum dalam mukadimah rancangan yang dibuat Komisi Hukum Internasional dan sebagaimana rumusan dalam Pasal 1 dan Pasal 17-19. Prinsip kedua, bahwa Statuta Roma dirancang hanya untuk menangani kejahatan-kejahatan paling serius yang membahayakan masyarakat internasional secara keseluruhan. Prinsip berpengaruh dalam pemilihan kejahatan-kejahatan maupun ambang batas penerapanya. Prinsip ketiga adalah bahwa Statute Roma akan, sejauh mungkin, tetap berada dalam batas-batas Hukum Kebiasaan Internasional.

Disini jelas, dalam Statuta Roma juga menegaskan, bahwa Mahkamah Pidana Internasional akan bertindak manakala Negara, tempat pelaku atau perbuatan pelanggaran HAM tidak mampu atau tidak berniat memproses para pelanggar tersebut (koordinatif).

Disamping itu, bahwa konsep kedaulatan suatu negara sebagaimana dirumuskan dalam piagam PBB tetap dihormati oleh Mahkamah Pidana Internasional sebagaiman termaktub dalam perumusan Satuta Roma yang tetap member ruang gerak aplikasi kedaulatan dengan member kewenangan kepada masing-masing Negara untuk memproses mengadili para pelaku kejahatan.

BAB III PENUTUP Kesimpulan

(9)

dibarengi dengan lahirnya Mahkamah Pidana Internasional dan Mahkamah Internasional merupakan pencapaian fundamental masyarakat global terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Nilai-nilai HAM yang tidak lagi sekedar wacana, melainkan menjadikannya sebuah aksi agar tidak ada lagi kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan,kejahatan perang dan genosida.

Sesuai ketentuan rumusan Statuta Roma, rezim hukum Mahkamah Pidana Internasional dan Mahkamah Internasional yang berlaku tanpa mengenal tapal batas menyangkut kejahatan terhadap Hak Asasi Manusia sendiri yang bersifat koordinatif merupakan bukti bahwa konsep kedaulatan suatu negara merdeka tidak dilanggar oleh lahirnya Statuta Roma.

Saran

Membaca uraian diatas, Hak Asasi Manusia dewasa ini telah memperoleh lahan subur dalam masyarakat internasional. Gerakan HAM merupakan gerakan sejagad yang telah berpenetrasi ke seluruh aspek kehidupan.Konsep kedaulatan yang menjadi barang sakral baginegara-negara kuat, juga bagi negara -negara ketiga setelah gerakan dekolonialisasi dan lahirnya negara-negara baru baru dipertengahan abad sembilan belas.

(10)

Daftar Pustaka

1 HAM : Politik, Hukum, dan Kemunafikan Internasional,Hamid Awaludin, Penerbit Kompas, tahun 2012

2 Hukum Internasional : Sejarah dan Perkembangan hingga Paska Perang Dingin, Prof. Dr. Hata, SH., MH, tahun 2012

3 Bung Hatta dan Ekonomi Islam : 4 Piagam PBB,

5 Statuta Roma,

Referensi

Dokumen terkait

Fungsi Public Relations dalam Komunikasi Pemasaran menjadi salah satu bagian yang amat penting. Sebab Public Relations sendiri memiliki fungsi dan peran yang

Disini masyarakat dan panitia menyiapkan tenda dan mencari air untuk mengaliri sawah yang akan dipakai untuk pacuan jawi, kerjasama antar pemilik Jawi dan pemilik jawi

(3) Dalam hal anggota Bawaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri tidak terbukti

Digester biogas berbahan baku eceng gondok terbuat dari drum plastik berukuran 200 liter agar tahan terhadap kondisi asam dan tidak mengalami kobocoran untuk

Penentuan harga yang berorientasi pada harga pokok perusahaan saingan, juga terjadi pada penjualan barang atau jasa secara lelang atau tender Perusahaan selalu memperkirakan

Rekan-rekan, teman-teman dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu per satu, yang telah memberikan semangat, saran, kritik, dukungan, dan

SOHO Group merupakan industri farmasi yang cukup bergengsi di.. Indonesia dalam usahanya sebagai produsen, distributor, dan penyedia

Sukarlan 2 Sapi Sri Makmur Kepuhwetan, Wirikerten 1994 Nur Wahid 3 Sapi Glondong Glondong, Wirokerten 1994 Samijo 4 Sapi Sido Kumpul Kragilan, Tamanan 1994 Prapto Diharjo 5 Sapi