i
YURISDIKSI MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL
(INTERNATIONAL CRIMINAL COURT) TERHADAP NEGARA BUKAN
PESERTA STATUTA ROMA
(Danel Aditia Situngkir, BP. 1121211040, PK Hukum Internasional, Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas, 144 Halaman, 2013)
ABSTRAK
Perang dan konflik bersenjatadimasa lalu telah menyebabkan banyak korban. Hal ini menimbulkan wacana untuk menuntut orang yang bertanggungjawab atas kejahatan yang paling serius dan pelanggaran hukum kemanusiaan kehadapan pengadilan. Nuremberg Tribunal, Tokyo Tribunal, International Criminal Tribunal For The Former Yugoslavia dan International Tribunal for Rwanda merupakan pengadilan internasional yang dibentuk untuk menuntut pelaku kejahatan serius dan pelanggaran hukum kemanusiaan internasional, seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan agresi. Pada tahun 1998 diadakan konferensi diplomatik di Roma yang menghasilkan Statuta Roma tentang pembentukan Mahkamah Pidana Internasional. Mahkamah Pidana Internasional memiliki yurisdiksi terhadap individu yang melakukan kejahatan-kejahatan genosida, kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan-kejahatan perang dan agresi. Mahkamah Pidana Internasional memiliki sifat komplementaris yang berarti pemberlakuan yurisdiksi Mahakamah tidak menggantikan yurisdiksi pidana nasional negara, Mahkamah baru menerapkan yurisdiksi apabila Negara menunjukkan ketidakinginan dan ketidakmampuan untuk menyelidiki dan menuntut orang yang bertanggungjawab atas kejahatan. Dalam ayat 4 preamble Statuta Roma, disebutkan kejahatan paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional secara keseluruhan tidak boleh dibiarkan tdengan tidak dihukum dan bahwa penuntutan secara efektif terhadap mereka mereka harus dipastikan. Sesuai prinsip pacta sunt servanda, Mahkamah dapat melaksanakan yurisdiksi hanya bagi negara pihak. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kasus (case approach). Rumusan masalah yang diangkat pada penelitian ini adalah bagaimana keterikatan Negara bukan peserta Statuta Roma terhadap yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dan Pemberlakuan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional untuk situasi di Darfur-Sudan dan Libya. Suatu perjanjian dapat mengikat suatu Negara bukan Peserta, apabila perjanjian tersebut berasal dari hukum kebiasaan internasional. Kejahatan yang diatur dalam Statuta Roma adalah kejahatan internasional yang merupakan bagian dari jus cogens (perempetory norms), dimana klasifikasi jus cogens tersebut dapat dilihat dari Statuta Roma merupakan perjanjian yang bersifat universal (law making treaty) dan kejahatan yang diatur dalam Statuta Roma merupakan kebiasaan internasional. Maka dengan demikian Negara bukan peserta dapat terikat terhadap yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Untuk situasi di Darfur-Sudan dan Libya, penerapan yurisdiksi Mahkamah sesuai dengan pasal 13 ayat b Statuta Roma, dimana situasi tersebut diajukan oleh Dewan Keamanan PBB dalam bertindak berdasarkan Bab VII Piagam PBB, dan dianggap mengancam perdamaian dan keamanan internasional. Setelah melakukan penyelidikan Mahkamah terhadap kedua situasi di Negara bukan Peserta tersebut, Mahkamah menilai Negara tidak memiiliki keinginan dan kemampuan untuk menyelidiki dan mengadili para pelaku dengan yurisdiksi pidana nasionalnya. Maka dari itu Mahkamah dapat menerapkan yurisdiksinya terhadap situasi di kedua Negara tersebut. Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional merupakan bagian penting dari perlindungan hak asasi manusia. Namun perlindungan terhadap kedaulatan Negara juga aspek penting dalam hubungan internasional. Maka dari itu negara-negara disarankan untuk menyelesaikan permasalahan domestik dan internasional secara damai serta melengkapi hukum nasional dengan pengaturan tentang kejahatan-kejahatan paling serius.
ii
THE INTERNATIONAL CRIMINAL COURT JURISDICTION OVER
THE NON STATE PARTY OF ROME STATUTE
(Danel Aditia Situngkir, 1121211040, International Law, Magister Degree of Law
Andalas University, 144 Pages, 2013)
ABSTRACT
War and armed conflicts in the past have caused many victims .It raises the discourse to prosecute those responsibles for the most serious crimes and violations of humanitarian law before the court. Nuremberg Tribunal, Tokyo Tribunal, International Criminal Tribunal For The Former Yugoslavia and International Tribunal for Rwanda are international tribunal established to prosecute perpetrators of serious crimes and violations of international humanitarian law, such as genocide, crimes against humanity, war crimes and aggressions. In 1998, a diplomatic conference held in Rome which produced the Rome Statute which were establishment International Criminal Court. The International Criminal Court has jurisdiction over individuals who commit crimes of genocide, crimes against humanity, war crimes and aggressions. The Court has complementary principle, it means jurisdiction of the courtdoes not replace national criminal jurisdiction, the Court has exercise jurisdiction if the state is unwillingness and inability to investigate and prosecute those responsibles for the crime. In preamble of the Rome Statute, it is mentioned that the most serious crimes of concern to the international community as a whole should not be allowed to go unpunished and that their effective prosecutions must be ensured. Accordance the principle pactasuntservanda , the Court may exercise jurisdiction only of the state party.The approach that is used in this study is case approach. The formulation of the issues raised in this study is how the non state party of Rome Statute binding to International Criminal Court's jurisdiction and the International Criminal Court exercise jurisdiction for situation in Darfur-Sudan and Libya.Treaty can binding non state party, if the treaty raised from customary international law. Crimes in Rome Statute is an international crimes, which is part of jus cogens (perempetory norms), where the classification of jus cogens can be seen from theuniversal treaty (law making treaty) and crimes under customary international. That’s waynon state party can bindingto International Criminal Court jurisdiction. For the situation in Darfur-Sudan and Libya, the pursuant article 13 paragraph b of the Rome Statute, the exercisejurisdiction of the Court caused the situation referral by the UN Security Council acting under Chapter VII of the UN Charter, which of the situation is deemed to breach international peace and security. After the investigation both of the situation in non state party, the Court considered that the State is unwilling and inability to investigate and prosecute the perpetrators with national criminal jurisdiction .Thus the Court can exercise jurisdiction toward the situation in the two states.Establishment International Criminal Court is an important part of the protection of human rights. However, the protection of the sovereignty of the State is also an important aspect of the international relations. Thus thestate are advised to solve the domestic and international issues peacefully and complement national laws governing with regulation the most serious crimes.