• Tidak ada hasil yang ditemukan

Insentif Dalam Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Di Kabupaten Kuningan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Insentif Dalam Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Di Kabupaten Kuningan."

Copied!
168
0
0

Teks penuh

(1)

INSENTIF DALAM PERLINDUNGAN

LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

DI KABUPATEN KUNINGAN

DANANG PRAMUDITA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Insentif dalam Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Kuningan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2015

(4)

RINGKASAN

DANANG PRAMUDITA. Insentif dalam Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Kuningan. Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN dan BABA BARUS.

Permasalahan konversi lahan pertanian terutama lahan sawah di Indonesia sudah menjadi perhatian sejak tahun 1980an. Sebagian besar magnitude proses alih fungsi lahan berlangsung, khususnya pada kawasan perbatasan kota-desa dan perbatasan kawasan budidaya-non budidaya. Dari sudut pandang ekonomi konversi lahan pertanian disebabkan oleh tarikan permintaan lahan untuk kegiatan non pertanian dan dorongan petani pemilik lahan. Konversi lahan pertanian, secara langsung berdampak terhadap kehilangan produksi pertanian, kehilangan lapangan pekerjaan, dan kerugian investasi infrastruktur irigasi terutama untuk tanaman padi. Upaya penyelamatan lahan pertanian pangan dilakukan Pemerintah dengan menerbitkan Undang-Undang No. 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Terbitnya UU No. 41 tahun 2009 merupakan bentuk kewajiban bagi setiap daerah (kabupaten/kota) di Indonesia untuk melindungi ketersediaan pangannya. Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu kabupaten yang telah menetapkan luas usulan LP2B di dalam Peraturan Daerah (Perda) No. 26 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Kuningan yang didukung dengan Perda No. 7 tahun 2015 tentang LP2B yang mengatur mengenai penetapan LP2B, sosialisasi dan pemberiaan insentif.

Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah: (1) mengetahui karakteristik sosial ekonomi di wilayah yang menjadi usulan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Kuningan; (2) menentukan jenis dan mekanisme insentif yang dapat dilaksanakan untuk melindungi lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Kuningan; dan (3) menentukan konsep pembiayaan untuk perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Kuningan. Data dianalisis dengan menggunakan metode statistik deskriptif, sistem dinamik dan SWOT.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat sembilan kriteria sosial ekonomi LP2B di Kabupaten Kuningan, yaitu; tingkat konversi lahan, neraca pangan, ketimpangan pendapatan usahatani dan non usahatani, jumlah rumah tangga pertanian, jumlah tenaga kerja pertanian, status kepemilikan lahan, kelompok tani, kebijakan RTRW dan persepsi petani. Petani mempunyai persepsi positif terhadap program LP2B, sehingga secara umum upaya perlindungan LP2B dapat dilaksanakan di lokasi penelitian. Kecamatan Ciawigebang dan Kecamatan Cilimus yang berdasarkan kriteria fisik lahan luas LP2B lebih besar dari Kecamatan Cibingbin, dari segi sosial ekonomi kurang mendukung.

(5)

meningkatkan tingkat kesejahteraan petani yang ditunjukkan oleh nilai NTP. Pada penerapan skenario moderat, penghapusan subsidi pupuk dan subsidi benih yang diimbangi dengan kenaikan harga gabah serta perbaikan irigasi mampu meningkatkan produksi secara signifikan. Subsidi pupuk dan benih yang dihapus pada skenario moderat dapat dialokasikan untuk perbaikan infrastrukutur pertanian

Dari aspek pembiayaan, kebutuhan dana untuk pelaksanaan insentif LP2B yang paling besar adalah kebutuhan untuk pembangunan irigasi teknis, diikuti oleh penyediaan modal dan subsidi pupuk. Konsep pembiayaan yang bisa dilakukan diantaranya adalah transfer fiskal pusat-daerah, transfer fiskal antar daerah (propinsi ke kabupaten atau antar kabupaten) yang diberikan dalam bentuk hibah, dana masyarakat dan dana dari pihak swasta. Berdasarkan hasil analisis SWOT sumber dana untuk pelaksanaan insentif LP2B di Kabupaten Kuningan masih didominasi sumber dana dari APBN dan APBD I.

Kecamatan Cilimus merupakan prioritas perlindungan utama dalam pelaksanaan LP2B dibandingkan dengan dua kecamatan lainnya. Laju konversi yang tinggi dan kesesuaian kriteria sosial ekonomi yang rendah menjadi informasi pendukung pelaksanaan prioritas insentif LP2B. Kecamatan Ciawigebang merupakan prioritas perlindungan kedua dengan penerapan skenario moderat, sedangkan Kecamatan Cibingbin menjadi prioritas terakhir dengan skenario yang rendah. Selain penerapan insentif, dari hasil penelitian juga perlu dibuat adanya disinsentif terutama di Kecamatan Cilimus. Disinsentif ditujukan kepada pihak di luar petani yaitu pengusaha yang ingin mengkonversi lahan pertanian menjadi hotel dan perumahan. Disinsentif terhadap pelaku usaha dapat diberikan melalui pemberian pajak atau retribusi yang tinggi terhadap lahan yang dikonversi, pengetatan izin dan juga pembatasan pembangunan sarana transportasi dan fasilitas pendukung kegiatan perekonomian sektor non pertanian. Alternatif pembiayaan LP2B dapat dilakukan melalui dana transfer antar wilayah (berdasar pada nilai surplus ekonomi pangan), dana masyarakat serta dana CSR badan usaha.

(6)

SUMMARY

DANANG PRAMUDITA. Incentive on Land Preservation Program in Kuningan Regency. Supervised by ARYA HADI DHARMAWAN and BABA BARUS.

Agricultural land conversion in Indonesia has became a major concern since 1980s. The magnitudes of land conversion mostly happen in the border of rural and urban area and border of farm and non farm area. From an economic perspective agricultural land conversion is caused by the demand for non-agricultural use as well as farmers encouragement to sell the non-agricultural land. Land conversion have a great impact to food production, loss of ecological function, agriculture unemployment, and loss of irrigation infrastructure. Law No. 41 year 2009 about sustainable agricultural land protection (LP2B) is issued by Government in order to preserve agricultural land from conversion. The issuance of LP2B law is a mandatory approach to each region in Indonesia to maintain its food production by protecting agricultural land. Kuningan regency, West Java Province establish a potential area of LP2B in the Spatial Planning (RTRW) regulation (Perda) No. 26 year 2011, regulation No. 7 year 2015 about LP2B. The aims of this research are: (1) to identify socioeconomic characteristics in the area of land preservation program (LP2B) in Kuningan Regency; (2) to determine the incentives for LP2B program; and (3) to analyze LP2B funding policies in Kuningan Regency. Data are analyzed by descriptive statistics, likert scale, system dynamic and SWOT.

Based on the result, there are nine socioeconomic indicator on land preservation program (LP2B) in Kuningan regency, namely; land conversion rate, food balance, disparity between farm and non-farm income, number of agriculture households, agriculture labor, farmers' groups, spatial planning policies and farmers perceptions. Farmers have a positive perception on LP2B program, thus basically LP2B program can be established in study area. Analysis of socio-economic characteristic on land preservation program (LP2B) give an interesting information. Ciawigebang and Cilimus Sub-district with a larger area of LP2B than Cibingbin Sub-distrcit, have a low support of socio economic characteristic. Meanwhile Cibingbin Sub-district have a high support of socio economic characteristic.

Incentive in form of irrigation is the main priority which is choosed by the farmers in Cibingbin and Ciawigebang distcit. Whereas in Cilimus Sub-district farmers choose a fincancial incentive as main priority. The dynamic model simulation of LP2B incentives showed that moderate scenario consist of price policy, tax reduction, irrigation improvement, with fertilizer and seed subsidy reduction gives the best results. The scenario also have an impact to farmers welfare indicated by NTP. Fertilizer and seed subsidy reduction on moderate scenario were offset by the increase in prices as well as the irrigation improvement to increase production. The amount of subsidy reduction at moderate scenario is assumed to be allocated for agriculture infrastructure improvement.

(7)

Funding concept of LP2B can be made by fiscal transfers from central to local government, fiscal transfers between regions (provinces to districts or between districts) in the form of grants, public funds and private sectors. SWOT Analysis indicate that funding source for implementation LP2B incentive in Kuningan district are still dominated by funding from national budget (APBN) and regional budget (APBD I).

Cilimus Sub-district become a high priority in the implementation of LP2B compared to other Sub-districts. High conversion rate and low socioeconomic support is a clear information to determine LP2B incentives priority in study area. Ciawigebang Sub-district is a next priority to protect with application of a moderate scenario, meanwhile Cibingbin Sub-district is the last priority with low scenario of incentives. The result confirmed that application of incentives is not enough to maintain agricultural land, thus government should combine incentives and disincentives strategy particularly in Cilimus Sub-district. Disincentives are addressed to parties outside of farmers who want to convert agricultural land into a hotel and housing. Disincentives can be provided through the high taxes of non agricultural activities, land use permit tightening, and development restrictions on transportation facilities and supporting facilities of non-agricultural sectors. Funds transfer between regions (based on the value of food economiy surplus), CSR funds from private sector and public funds LP2B financing are the alternatives fund for LP2B incentives.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

INSENTIF DALAM PERLINDUNGAN

LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

DI KABUPATEN KUNINGAN

DANANG PRAMUDITA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2014 ialah perlindungan lahan pertanian, dengan judul Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Kuningan.

Penulisan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulisi mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Dr Ir Arya Hadi Dharmawan, MScAgr selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr Ir Baba Barus, MSc selaku anggota komisi pembimbing atas segala motivasi, arahan dan bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal sampai penyelesaian tesis ini

2. Bapak Dr Ir Setia Hadi, MS selaku penguji luar komisi yang telah memberikan masukan dan arahan untuk perbaikan tesis ini.

3. Bapak Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS sebagai ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD), serta seluruh staff pengajar di PWD.

4. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah memberikan kesempatan beasiswa kepada penulis

5. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Iwan dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Kuningan, Bapak Rosyid dan Bapak Sanusi dari Dinas Pertanian, Peternakan dan Perikanan Kabupaten Kuningan, serta pegawai di BP4K Kabupaten Kuningan yang telah membantu selama pengumpulan data.

6. Penulis juga menyampaikan penghargaan kepada petugas BP3K Kecamatan Cibingbin, Ciawigebang dan Cilimus atas saran, masukan dan bimbingan selama penelitian. Aparat desa, ketua Kelompok Tani, petani dan masyarakat di Desa Cibingbin, Desa Citenjo, Desa Geresik, Desa Mekarjaya, Desa Bandorasa Kulon, dan Desa Lingga Mekar yang telah membantu dalam proses pengumpulan data.

7. Teman-teman PWD angkatan 2012 khususnya dan seluruh teman-teman PWD atas doa, dukungan dan bantuan melalui kerjasama yang solid dan kompak hingga selesainya proses pembelajaran di PWD.

8. Dosen-dosen di Departemen ESL atas bimbingan dan arahannya.

9. Sahabat-sahabatku di Jati’s House, Kang Tono, Dhika, Syauqi, Cesar, Kiki, Maul, dan Kang Foni atas doa dan dukungannya

Akhirnya ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, mamah, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2015

(13)

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 6

Tujuan Penelitian 10

Manfaat Penelitian 10

Ruang Lingkup Penelitian 10

2 TINJAUAN PUSTAKA 11

Konversi Lahan Pertanian Pangan dan Ketahanan Pangan 11

Filosofi Perlindungan Lahan Pertanian 12

Implementasi Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 13 Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan 16

Teori Klasik Penggunaan Lahan 17

Teori Kontemporer dalam Penggunaan Lahan 17

Model Dinamika Sistem dalam Penentuan Kebijakan 18

Kerangka Pemikiran 19

Hipotesis Penelitian 22

3 METODE PENELITIAN 22

Lokasi dan Waktu Penelitian 22

Rancangan Penelitian 23

Teknik Pengambilan Sampel 23

Prosedur Analisis Data 24

Definisi Konseptual 29

Identifikasi Indikator Sosial Ekonomi untuk Penentuan LP2B di Kabupaten

Kuningan 31

Mekanisme Insentif untuk Melindungi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

di Kabupaten Kuningan 37

Analisis Konsep Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan

Berkelanjutan di Kabupaten Kuningan 43

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 47

Letak dan Administrasi Wilayah 47

Kondisi Biofisik Wilayah 48

Kependudukan dan Ketenagakerjaan 49

Penggunaan Lahan dan Produksi Padi 51

5 KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PADA WILAYAH

PENGEMBANGAN LP2B DI KABUPATEN KUNINGAN 52

(14)

Jenis Insentif yang diterima Petani 70 Persepsi Petani terhadap Jenis Insentif LP2B 71

Model Insentif Perlindungan LP2B 73

7 SIMULASI DAN ANALISIS MODEL INSENTIF LP2B 77 Simulasi dan Analisis Model Tanpa Intervensi Parameter 78 Simulasi dan Analisis Model dengan Intervensi Parameter 80

8 PEMBIAYAAN INSENTIF LP2B 89

Kebutuhan Dana Untuk Pelaksanaan Insentif LP2B 89 Sumber Dana untuk Pembiayaan Insentif LP2B 91 Kebijakan Pembiayaan Insentif LP2B di Kabupaten Kuningan 97 9 KEBIJAKAN PERLINDUNGAN LP2B DI KABUPATEN KUNINGAN 104

Prioritas Wilayah Perlindungan LP2B 104

Pemberian Disinsentif dalam Perlindungan LP2B 105 Pelaksanaan Program LP2B pada Beberapa Karakterstik Wilayah 106

10 SIMPULAN DAN SARAN 107

Simpulan 107

Saran 107

DAFTAR PUSTAKA 108

LAMPIRAN 113

RIWAYAT HIDUP 152

DAFTAR TABEL

1 Luas penggunaan tanah sawah di Indonesia 1 2 Luas sawah dan produksi padi di Kabupaten Kuningan 7 3 Indikator ketersediaan pangan di beberapa daerah di Jawa Barat 7 4 Luas sawah irigasi teknis di beberapa kabupaten di Jawa Barat

tahun 2001-2011 8

5 Realisasi belanja daerah menurut jenis pengeluaran di Kabupaten Kuningan,

tahun 2007-2011 9

6 Kriteria untuk penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan 14

7 Indikator penentuan lokasi penelitian 23

8 Komposisi Rumah Tangga Petani (RTP) pada kecamatan terpilih 24 9 Responden dari lembaga di lokasi penelitian 24

10 Metode dan prosedur analisis data 26

11 Kriteria penentuan kesesuaian lokasi LP2B berdasarkan aspek

sosial ekonomi 36

12 Proses pemodelan dinamika sistem dalam perlindungan lahan pertanian

pangan berkelanjutan 38

13 Parameter model insentif perlindungan LP2B 39 14 Penilaian bobot faktor strategis internal 45 15 Penilaian bobot faktor strategis eksternal 45

16 Matriks internal factor evaluation 46

(15)

19 Informasi demografi Kabupaten Kuningan tahun 2008-2012 50 20 Jumlah tenaga kerja per sektor di Kabupaten Kuningan tahun 2013 50 21 Luas wilayah menurut penggunaan di Kabupaten Kuningan tahun 2013 51 22 Produksi Padi di Kabupaten Kuningan Tahun 2006-2013 52 23 Luas sawah di lokasi penelitian tahun 2005-2013 53 24 Rata-rata luas lahan sawah dan non sawah petani di lokasi penelitian 55 25 Neraca pangan di lokasi penelitian tahun 2008 - 2013 56 26 Ketimpangan pendapatan pertanian dan non pertanian 57 27 Kelompok tani berdasarkan kelas kemampuan kelompok di lokasi penelitian 59 28 Perkembangan rumah tangga pertanian tanaman pangan di lokasi penelitian 59 29 Luas lahan sawah optimum di lokasi penelitian 60 30 Tenaga kerja pertanian di lokasi penelitian tahun 2012 61 31 Rencana tata ruang wilayah tahun 2011-2030 di lokasi penelitian 63

32 Hasil analisis skor persepsi petani 64

33 Persentase respon petani terhadap konversi lahan 65 34 Hasil analisis logit faktor yang mempengaruhi persepsi petani 66 35 Hasil analisis kesesusian lokasi LP2B berdasarkan aspek sosial ekonomi 69 36 Jenis bantuan yang diberikan di lokasi penelitian tahun 2011 - 2013 70

37 Hasil uji validasi output 77

38 Asumsi yang digunakan pada berbagai skenario insentif LP2B 84

39 Kebutuhan dana insentif LP2B 90

40 Potensi pendanaan insentif LP2B 91

41 Matriks IFE pembiayaan insentif LP2B 100

42 Matriks EFE pembiayaan insentif LP2B 100

43 Matriks SWOT strategi pembiayaan insentif LP2B di Kabupaten Kuningan 103 44 Kebijakan perlindungan LP2B di lokasi penelitian 104

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pemikiran 21

2 Peta lahan pertanian pangan berkelanjutan 22

3 Kerangka analisis data 25

4 Model besar insentif perlindungan LP2B 40

5 Sub model ketersediaan pangan dan insentif perlindungan LP2B 41 6 Sub model pendapatan petani insentif perlindungan LP2B 42 7 Piramida penduduk Kabupaten Kuningan 2012 49 8 Bantuan yang diterima petani di lokasi penelitian 71 9 Jenis Insentif yang diinginkan petani di lokasi penelitian 72 10 Validasi struktur terhadap faktor konversi lahan 75

11 Validasi output model secara visual 76

12 Perilaku subsistem ketersediaan pangan dan kesejahteraan petani di

Kecamatan Cibingbin 76

(16)

17 Skema pendanaan transfer dari APBN 93

18 Skema pendanaan transfer antar daerah 94

19 Skema pendanaan dari masyarakat 96

20 Skema pendanaan dari badan usaha 97

DAFTAR LAMPIRAN

1 Neraca pangan di Kecamatan Cibingbin 114

2 Neraca pangan di Kecamatan Ciawigebang 114

3 Neraca pangan di Kecamatan Cilimus 114

4 Laju konversi lahan di lokasi penelitian 115 5 Hasil penerapan skenario insentif LP2B di Kecamatan Cibingbin 115 6 Hasil penerapan skenario insentif LP2B di Kecamatan Ciawigebang 116 7 Hasil penerapan skenario insentif LP2B di Kecamatan Cilimus 116 8 Pendapatan usahatani, ketimpangan pendapatan dan luas optimum sawah 117

9 Hasil perhitungan skala likert 126

10 Hasil wawancara bobot dan rating key person faktor internal analisis SWOT 130 11 Hasil wawancara bobot dan rating key person faktor eksternal analisis SWOT 131 12 Peta rencana pola ruang Kabupaten Kuningan 2011-2031 133 13 Diagram alir model umum perlindungan LP2B 133 14 Diagram alir sub model insentif alsintan perlindungan LP2B 134 15 Diagram alir sub model insentif sarana produksi dan infrastruktur

perlindungan LP2B 135

16 Persamaan model insentif perlindungan LP2B 136

17 Dokumentasi di lokasi penelitian 141

(17)

Latar Belakang

Permasalahan konversi lahan pertanian terutama lahan sawah di Indonesia sudah menjadi perhatian sejak tahun 1980an. Selama periode ledakan ekonomi 1980-1990, pembangunan pusat-pusat pertumbuhan berlangsung secara masif. Dalam periode tersebut, pembangunan perkotaan di Indonesia ditandai dengan perubahan penggunaan lahan pertanian primer menjadi industri, perumahan, dan penggunaan lain pada daerah kota dan sekitarnya (Firman 2004). Kondisi ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Rustiadi (2001) bahwa sebagian besar magnitude proses alih fungsi lahan berlangsung, khususnya pada kawasan perbatasan kota-desa dan perbatasan kawasan budidaya-non budidaya. Pasca krisis moneter dan seiring dengan berjalannya proses otonomi daerah proses konversi lahan pertanian tidak hanya terjadi di sekitar daerah perkotaan tapi meluas ke wilayah lainnya dengan skala konversi yang lebih luas. Konversi lahan pertanian dipengaruhi oleh banyak faktor yang cenderung kompleks. Menurut Irawan (2005) dari sudut pandang ekonomi konversi lahan pertanian disebabkan oleh tarikan permintaan lahan untuk kegiatan non pertanian dan dorongan petani pemilik lahan. Perilaku permintaan dan penawaran lahan tidak terlepas dari kebijakan pembangunan ekonomi, sosial, dan sarana publik sehingga fenomena konversi lahan tidak terlepas pula dari kebijakan yang ditempuh pemerintah. Tabel 1 Luas penggunaan tanah sawah di Indonesia

No Pulau

Luas Penggunaan Tanah Sawah (Ha) Sebelum

1980 1980 1990 2000 2009

1990-2009 1 Sumatera 1.501.315 1.504.860 2.274.411 2.273.713 2.398.716 124.305 2 Jawa 3.656.108 3.616.795 3.558.184 3.504.016 3.444.579 -113.605

3 Bali 70.776 72.725 100.934 97.989 76.003 -24.931

4 Nusa

Tenggara 351.864 368.259 354.117 351.745 285.852 -68,265

5 Kalimantan 288.056 898.470 1.305.137 1.003.410 937.607 -367.530 6 Sulawesi 726.345 763.560 796.296 832.187 886.501 90.205

7 Maluku 4.727 7.417 19.359 33.307 21.763 2.404

8 Papua 8.288 30.286 73.316 61.158 55.840 -17.476

Indonesia 6.607.477 7.262.372 8.481.754 8.157.526 8.106.860 -374.894 Sumber: BPN 2010

(18)

sawah terbesar berada di Pulau Sumatera dan Pulau Sulawesi. Proses ini terjadi sebagai dampak dari peningkatan aktivitas ekonomi dalam pemanfaatan sumber daya dan akibat diberlakukannya hukum pasar (ekonomi klasik). Hukum pasar memicu adanya pergeseran aktivitas pada lahan dari aktivitas yang menghasilkan keuntungan rendah (land rent) menuju aktivitas-aktivitas dengan land rent yang lebih tinggi (Rustiadi 2001). Posisi pertanian dalam menghasilkan rente lahan cenderung kalah dengan sektor lain seperti industri, perumahan, dan jasa. Land rent pertanian nilainya 1:500 untuk kawasan industri dan 1:622 untuk kawasan perumahan (Nasoetion dan Winoto 1996), kondisi ini menyebabkan aktivitas alih fungsi lahan menjadi tidak terkendali terutama pada wilayah sekitar perkotaan. Lebih lanjut Rustiadi (2001) menyatakan kondisi ini disebabkan distorsi pada nilai lahan yang ditentukan oleh expected value-nya, serta harga pasar yang berlaku tidak menyertakan ekseternalitas positif dari lahan pertanian (environment rent).

Menurut Irawan (2005) peluang konversi lahan pertanian lebih besar pada lahan sawah dibanding lahan kering karena tiga faktor, yaitu; 1) pembangunan kegiatan non pertanian seperti perumahan dan industri lebih mudah dilakukan pada lahan sawah yang lebih datar dibanding lahan kering, 2) pembangunan masa lalu terfokus pada upaya peningkatan produksi padi, maka infrastruktur ekonomi lebih tersedia di daerah persawahan daripada daerah lahan kering, dan 3) daerah persawahan secara umum lebih mendekati daerah konsumen atau daerah perkotaan yang relatif padat penduduk dibanding daerah lahan kering yang sebagian besar terdapat di wilayah perbukitan dan pegunungan. Konversi lahan pertanian, secara langsung berdampak terhadap kehilangan produksi pertanian, kehilangan lapangan pekerjaan, dan kerugian investasi dalam infrastruktur irigasi terutama untuk tanaman padi. Selain dampak langsung, hilangnya lahan pertanian juga menyebabkan hilangnya fungsi ekologis lahan pertanian untuk menstabilkan suhu, mencegah erosi dan banjir, serta menyajikan pemandangan yang menarik (Firman 1999). Konversi lahan pertanian berdampak kumulatif terhadap produksi pangan dibandingkan dengan dampak teknis produksi (serangan hama dan penyakit, kekeringan) yang sifatnya sementara (Irawan 2005). Kehilangan produksi pangan merupakan ancaman serius terhadap ketersediaan pangan yang berdampak terhadap ketahanan pangan di Indonesia. Stabilisasi hasil produksi pangan perlu dilakukan melalui proses terintegrasi dari hulu ke hilir. Lahan sebagai input utama dalam proses produksi pertanian harus menjadi basis dalam pengendalian produksi pangan.

(19)

Berkelanjutan; PP No 12 Tahun 2012 tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; PP No. 25 tahun 2012 tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; serta PP No. 30 Tahun 2012 tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Sebelum muncul UU No. 41 tahun 2009 sebenarnya pemerintah telah secara eksplisit melakukan perlindungan terhadap lahan pertanian melalui UUPA No 50 tahun 1960, UU No 12 tahun 1992 tentang sistem budidaya tanaman, UU No 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, serta peraturan presiden dan peraturan pemerintah lainnya. Fakta di lapangan menunjukkan pengendalian konversi lahan sawah melalui pendekatan yuridis belum maksimal dalam mengatasi permasalahan konversi lahan. Laju konversi lahan sawah masih cukup besar bahkan merambah ke lahan sawah dengan irigasi teknis yang sangat potensial untuk produksi padi sawah (Irawan 2008). Pelaksanaan UU No. 41 tahun 2009 terkendala dengan tumpang tindihnya aturan dari UU yang lain. Dalam UU pemerintah daerah (UU No 23 tahun 2014) daerah mempunyai kewenangan dalam menetapkan fungsi wilayahnya. Pertanian merupakan urusan pilihan bagi pemerintah kabupaten/kota di dalam UU No. 23 tahun 2014. Kondisi ini memperbesar peluang daerah mengabaikan sektor pertanian. Menurut Irawan (2008) fokus terhadap kemajuan daerah yang dilihat dari pertumbuhan ekonomi dan pendapatan asli daerah (PAD) menyebabkan daerah berlomba-lomba meningkatkan investasi di sektor non pertanian karena dapat menghasilkan PAD lebih besar dan mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat. Konsekuensinya jika terjadi permintaan konversi lahan pertanian untuk dimanfaatkan oleh pembangunan sektor pertanian maka pemerintahan daerah cenderung kurang mempertimbangkan larangan konversi lahan yang berlaku.

(20)

Saat ini perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan sebagian besar berada pada tahapan identifikasi untuk usulan LP2B. Sebagian besar proses identifikasi LP2B baru pada tahapan penetapan luasan LP2B di kabupaten/kota dan belum menetapkan secara jelas posisi ruang dari LP2B yang akan dilindungi. Kementerian Pertanian (Kementan) sudah membangun peta sawah aktual berdasarkan informasi luas dan jenis lahan sawah secara tabular yang dilengkapi dengan informasi intensitas pertanaman dan produktivitas, kondisi jaringan irigasi per-wilayah administrasi kecamatan, kabupaten, provinsi dan pusat (Pusdatin Kementan 2013). Meskipun data berbasis citra sudah tersedia, pengembangan model spasial lahan pertanian pangan berkelanjutan dengan menggunakan data spasial masih perlu dilengkapi. Data penggunaan lahan terkait dengan sosial dan ekonomi diperlukan untuk menjamin suatu lahan akan dilindungi khususnya oleh pemilik lahan dan merupakan kebutuhan masyarakat (Barus et al. 2012). Lebih rinci (Barus et al. 2012) menyatakan data yang terkait dengan persepsi petani membantu menjelaskan harapan pemilik/pengelola lahan dari sisi budaya, ekonomi dan lingkungan. Data produktivitas usahatani, indeks pertanaman, biaya pengolahan, tenaga kerja, pemupukan dan lain-lain diperlukan untuk penghitungan penerimaan usahatani. Selain itu data demografi juga dipakai untuk menentukan status defisit dan surplus pangan di lokasi.

(21)

Pembiayaan program LP2B diatur melalui PP No. 30 tahun 2012. Dalam PP No. 30 tahun 2012 disebutkan pembiayaan LP2B mencakup kegiatan perencanaan dan penetapan; pengembangan; penelitian; pemanfaatan; pembinaan; pengendalian; pengawasan; sistem informasi; serta perlindungan dan pemberdayaan Petani. Berdasar PP No. 30 tahun 2012, sumber Pembiayaan untuk kegiatan LP2B berasal dari anggaran Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, badan usaha maupun masyarakat yang diperoleh dalam rangka penyelenggaraan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Pelaksanaa insentif untuk mendukung LP2B membutuhkan pembiayaan yang cukup besar. Insentif diberikan secara langsung dan tidak langsung kepada petani. Selain pemberian bantuan saprodi dan modal yang sifatnya langsung, insentif dalam bentuk infrastruktur seperti irigasi, jalan usahatani, dan pabrik pengolahan menjadi faktor yang mendukung proses usahatani. Sawah yang ditetapkan menjadi LP2B diantaranya merupakan lahan sawah dengan irigasi teknis. Pada satu sisi pemerintah daerah menganggap jaringan irigasi merupakan kewenangan pusat, karena dibangun menggunakan anggaran negara (APBN). Dalam konteks otonomi daerah dikhawatirkan pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi menjadi terlantar karena subsidi pemeliharaan jaringan irigasi dari pemeritah pusat perlahan berkurang. Sedangkan PAD untuk pemeliharaan jaringan irigasi saat ini belum memungkinkan atau rendah (Husodo, 2004). Pemerintah pusat menganggap setelah otonomi daerah, kegiatan operation dan maintenance seharusnya menjadi kewenangan daerah. Daerah seharusnya mampu mengalokasikan dana secukupnya untuk memelihara dan mempertahankan lahan sawah produktif, sebagai salah satu penopang sistem produksi beras dan ketahanan pangan secara umum. Berdasar UU No 7 tahun 2004 tentang sumber daya air, kabupaten/kota mempunyai kewajiban melakukan pemeliharaan dan operasional jaringan irigasi tersier yang jumlahnya cukup banyak. Selain pemeliharaan jaringan irigasi, infrastruktur dan prasarana produksi pertanian lainnya seperti jalan usahatani juga memiliki kendala dalam operasional dan pemeliharaan. Tanggung jawab yang besar, biaya yang tidak sedikit dengan anggaran terbatas menjadi tantangan kabupaten/kota dalam mendukung terwujudnya lahan pertanian pangan berkelanjutan.

(22)

Perumusan Masalah

Furuseth dan Pierce (1982) menjelaskan tiga trade off yang menjadi perhatian utama dalam upaya perlindungan lahan pertanian pangan. Isu pertama terkait kepemilikan barang privat dan barang publik. Pada konteks ini, lahan pertanian pangan di Indonesia secara riil dimiliki oleh individu-individu baik petani atau bukan, sementara pangan yang dihasilkan secara langsung berpengaruh terhadap kepentingan orang banyak. Isu kedua mengenai perspektif saat ini dan perspektif yang akan datang. Nilai lahan yang digunakan untuk pertanian cenderung dilihat pada nilai saat ini, sementara untuk penggunaan lain seperti industri dan perumahan cenderung dilihat secara over-expected. Isu terakhir mencakup masalah pertimbangan keadilan dan efisiensi dalam penggunaan lahan. Ketiga hal ini sifatnya kompleks dengan didasarkan pada banyak asumsi, diantaranya kenaikan produktivitas tanaman pangan, ketersediaan lahan cadangan pertanian, serta perubahan permintaan dan harga makanan dan energi. Upaya perlindungan lahan pangan berkelanjutan merupakan proses terintegrasi yang menggabungkan aspek fisik, sosial, ekonomi, budaya dan ekologi. Terbitnya UU No. 41 tahun 2009 merupakan bentuk kewajiban bagi setiap daerah (kabupaten/kota) di Indonesia untuk melindungi ketersediaan pangannya. Secara riil ada daerah yang kelebihan produksi pangan (beras), dan ada daerah yang kekurangan produksi pangan sehingga lahan pertanian pangan perlu dilindungi untuk menjaga stabilitas pangan secara nasional.

Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu kabupaten yang telah menetapkan luas LP2B di dalam Perda Tata Ruangnya. Perda No. 26 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Kuningan menetapkan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) kurang lebih seluas 11.706 hektar, yang tersebar di 32 kecamatan. Kondisi ini sejalan dengan tujuan dari UU No. 41 tahun 2009 yang mengintegrasikan perlindungan LP2B dengan perda RTRW kabupaten/kota. Luasan lahan pangan berkelanjutan dalam perda RTRW diharapkan dapat menjaga ketersediaan pangan minimal ditingkatan wilayahnya dengan harapan dapat membantu stabilitas ketersediaan pangan pada skala nasional. Luasan LP2B dalam RTRW Kabupaten Kuningan masih dilakukan proses revisi karena luasan lahan pertanian di Kabupaten Kuningan secara potensial masih cukup besar. Proses penetapan LP2B di Kabupaten Kuningan juga didukung dengan Perda No. 7 tahun 2015 tentang LP2B yang mengatur mengenai penetapan LP2B, sosialisasi dan pemberiaan insentif. Pemerintah Kabupaten Kuningan masih terus melakukan proses inventarisasi untuk lahan sawah. Dari data sementara hasil inventarisasi tahun 2013, usulan LP2B Kabupaten Kuningan di 32 kecamatan diperoleh luas LP2B sebesar 20.248,60 hektar dan LCP2B 1.397,41 hektar (Disperta Kabupaten Kuningan 2013).

(23)

sawah secara keseluruhan berbeda dengan tren luas lahan sawah dengan irigasi teknis yang luasnya mengalami peningkatan 4,79% (178,43 hektar)/tahun.

Tabel 2 Luas sawah dan produksi padi di Kabupaten Kuningan Tahun Luas Sawah Irigasi

Teknis (Ha)

Sumber : BPS Kabupaten Kuningan berbagai terbitan (diolah)

Penetapan LP2B di Kabupaten Kuningan merupakan kebijakan yang dilakukan untuk meminimalisir proses konversi lahan sawah dan mempertahankan produksi pangan. Pertanian sebagai salah satu basis pembangunan ekonomi Kabupaten Kuningan yang merupakan wilayah konservasi dan agropolitan akan berperan penting tidak hanya terhadap pendapatan petani tetapi keberlanjutan wilayah dari aspek pangan secara umum. Keputusan untuk mengembangkan kawasan produksi pangan melalui penetapan LP2B tidak lepas dari trade off, karena dengan demikian kesempatan untuk mengembangkan sector lain (industri dan jasa) yang berkaitan dengan konversi lahan pertanian akan terbatas.

Tabel 3 Indikator ketersediaan pangan di beberapa daerah di Jawa Barat

Kabupaten/Kota Produksi

Kuningan 279.919,67 1.035.589,00 741 0,41

Cirebon 303.155,88 2.067.196,00 402 0,75

Majalengka 443.075,11 1.166.473,00 1.041 0,29

Indramayu 800.338,40 1.663.737,00 1.318 0,23

Subang 618.189,72 1.465.157,00 1.156 0,26

*Produksi total serealia merupakan gabungan sumber karbohidrat utama (padi, jagung, ubi jalar, ubi kayu) Sumber : Data Food Security and Vulnerabilty Analyisis. Badan Ketahanan Pangan 2014.

(24)

2000-2009 berada pada peringkat ke-14 sebagai penyumbang produksi padi bagi Jawa Barat, namun produksi padi di Kabupaten Kuningan selalu mengalami surplus.

Perkembangan pembangunan nasional yang pesat di sekitar jalan pantura Jawa Barat yang merupakan lumbung padi Jawa Barat dan Nasional berpotensi mengganggu produksi pangan akibat konversi lahan. Lahan irigasi teknis di Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Subang mengalami luas konversi tahunan yang relatif besar (Tabel 4). Tanda minus pada Tabel 4 menunjukkan ada pengurangan lahan sawah, sedangkan tanda positif menunjukkan ada penambahan luas sawah. Daerah-daerah yang produksi padinya lebih rendah tetapi surplus seperti Kabupaten Kuningan, minimal dapat menjadi stabilisator produksi pangan di tingkat lokal dan regional.

Tabel 4 Luas sawah irigasi teknis di beberapa kabupaten di Jawa Barat tahun 2001-2011

Daerah Rata-Rata Luas Sawah (Ha/tahun)

Rata-Rata Laju Konversi (%/tahun)

Rata-Rata Luas Konversi (Ha/tahun)

Kuningan 4.909,36 1,27 94,40

Cirebon 35.071,09 0,32 93,30

Indramayu 71.277,91 -0,94 -886,30

Majalengka 17.556,45 0,32 55,20

Subang 58.007,36 -0,37 -241,00

Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat berbagai terbitan (diolah)

Secara zonasi, UU No. 41 tahun 2009 menetapkan kawasan pertanian pangan yang perlu dilindungi, maka instrumen pendukung perlu dipersiapkan dengan baik. Petani sebagai produsen pangan harus mendapatkan imbalan balas jasa yang sesuai ketika dapat mempertahankan lahan pertaniannya dan menjaga ketersediaan pangan penduduk. Proses inventarisasi LP2B yang dilakukan di Kabupaten Kuningan baru terkait dengan karakteristik fisik, seperti kesuburan, produktivitas serta sarana prasarana pendukung seperti irigasi. Berdasar UU No. 41 tahun 2009, proses penetapan LP2B perlu disesuaikan dengan indikator sosial ekonomi wilayah yang akan ditetapkan. Irawan (2008) menjelaskan perlindungan lahan pertanian dengan basis administrasi kecamatan seharusnya mempertimbangkan beberapa ciri, yaitu; 1) merupakan sentra produksi pangan dengan sumbangan cukup besar terhadap produksi pangan wilayah, 2) ketergantungan masyarakat setempat terhadap kegiatan pertanian sebagai sumber pendapatan relatif tinggi, dan 3) memiliki fungsi lingkungan yang relatif tinggi Indikator sosial ekonomi terkait perlindungan LP2B merupakan salah satu dasar penentuan insentif LP2B dan sebagai input dalam pembuatan sistem informasi lahan pertanian pangan berkelanjutan.

(25)

dihadapi petani. Pemberian insentif untuk lahan yang ditetapkan tentu membutuhkan pembiayaan. Pembiayaan LP2B dapat dilaksanakan melalui dana pemerintah (APBN dan APBD), badan usaha dan masyarakat. Pembiayaan LP2B hendaknya tidak mengandalkan dana pemerintah, karena keterbatasan dana dan prioritas program pembangunan. Kabupaten Kuningan sendiri memiliki keterbatasan dalam alokasi belanja daerah. Berdasar Tabel 5, proporsi kenaikan belanja pegawai selama lima tahun terakhir (71,35%) lebih besar dari proporsi kenaikan belanja modal (69,20%) dan sangat jauh jika dibandingkan dengan kenaikan proporsi bagi hasil dan bantuan keuangan kepada pemerintah desa yang hanya naik 13,60%. Perlindungan LP2B membutuhkan dana yang tidak sedikit. Keterbatasan anggaran pemerintah harus diminimalisir dengan alternatif pembiayaan melalui kerjasama dengan badan usaha maupun masyarakat. Sumber dan mekanisme pembiayaan yang tepat akan membantu proses perlindungan LP2B berjalan baik.

Tabel 5 Realisasi belanja daerah menurut jenis pengeluaran di Kabupaten Kuningan, tahun 2007-2011 Sumber : Kuningan Dalam Angka 2009 & 2012 (diolah)

(26)

Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah :

1. Mengetahui karakteristik sosial ekonomi di wilayah yang menjadi usulan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Kuningan

2. Menentukan jenis dan mekanisme insentif yang dapat dilaksanakan untuk melindungi lahan pertanian pangan berkelanjutan

3. Menenetukan konsep pembiayaan untuk perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Kuningan

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Sebagai informasi yang memberikan alternatif bentuk insentif perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan menyusun strategi perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan melalui mekanisme insentif yang tepat.

2. Sebagai informasi, bagi pemangku kebijakan untuk mengendalikan dampak negatif dari konversi lahan.

3. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi penelitian lanjutan dalam konteks pengaturan institusional perlindungan lahan pangan berkelanjutan.

Ruang Lingkup Penelitian

Berdasar UU No. 41 tahun 2009, Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) adalah lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. Tanaman pangan pokok terdiri atas sagu, ubi, jagung, padi, ketela pohon dan lain-lain. Dalam penelitian ini lahan yang dimaksud adalah lahan sawah berdasar penetapan lahan pangan berkelanjutan oleh pemerintah daerah Kabupaten Kuningan. Secara garis beras program perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan mencakup aspek fisik dan aspek institusional. Pendataan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang dilakukan saat ini lebih menekankan pada indikator kesesuaian lahan dari aspek fisik. Inventarisasi lahan pertanian pangan berkelanjutan dilakukan dengan cara mendata lahan irigasi teknis dan non teknis yang ada ditambah dengan lahan-lahan lain yang potensial untuk menjadi lahan cadangan. Penelitian ini ingin mengukur kriteria dari aspek sosial ekonomi lahan pertanian pangan yang menjadi prioritas perlindungan sebagai pelengkap kriteria fisik. Kriteria sosial ekonomi yang digunakan terdiri dari kriteria faktual dan persepsi. Kriteria faktual diantaranya adalah laju konversi lahan, neraca pangan, rata-rata kepemilikan lahan, ketimpangan pendapatan antara sektor pertanian dan non pertanian, jumlah kelompok tani, jumah rumah tangga petani, tenaga kerja pertanian, dan kebijakan RTRW. Melengkapi kriteria faktual, ditanyakan juga persepsi petani terhadap upaya perlindungan LP2B.

(27)

berkelanjutan terbatas pada pembiayaan insentif yang perlu diberikan terhadap petani dalam rangka mempertahankan lahan pertanian pangannya. Insentif yang menjadi fokus dalam penelitian diantaranya insentif dari aspek ekonomi berdasarkan PP No. 12 tahun 2012 dan PP No. 30 tahun 2012 yaitu (1) pengembangan infrastruktur pertanian, (2) bantuan saprodi, (3) jaminan harga komoditas pangan, (4) keringanan pajak/PBB serta mekanisme insentif lain yang mungkin dilaksanakan. Dalam penelitian ini dilihat alternatif pembiayaan baik dari APBN, APBD, badan usaha dan masyarakat untuk mendukung pelaksanaan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Konversi Lahan Pertanian Pangan dan Ketahanan Pangan

Konversi lahan di Indonesia terjadi dalam skala yang cukup besar, melibatkan ribuan hekar lahan pertanian primer dengan irigasi teknis (Firman 2004). Selain menyebabkan pemborosan investasi pada jaringan irigasi yang di bangun untuk mendukung lahan pertanian khususnya sawah, penurunan produksi pangan merupakan dampak langsung yang terjadi akibat konversi lahan pertanian. Konversi lahan pertanian merupakan masalah serius dalam rangka pemantapan ketahanan pangan nasional. Berdasarkan UU No. 18 tahun 2012 tentang pangan subsistem ketahanan pangan terbagi menjadi tiga bagian utama, yaitu subsistem ketersediaan, keterjangkauan, serta subsistem konsumsi pangan dan gizi. Subsistem ketersediaan merupakan subsistem yang terkait langsung dengan isu konversi lahan. Dalam subsistem ketersediaan dijabarkan mengenai produksi dalam negeri serta cadangan pangan nasional. Produksi dalam negeri dipengaruhi salah satunya oleh input lahan, hasil produksi yang dihasilkan akan menentukan stok cadangan pangan nasional yang tentu terkait dengan ekspor dan impor pangan untuk menjaga cadangan pangan.

Seperti disebutkan oleh Pasaribu (2007), bidang pertanian memiliki korelasi positif dengan kedaulatan dan ketahanan pangan. Secara faktual terdapat beberapa permasalahan krusial dan menjadi isu serius di Indonesia, yaitu antara lain: (1) Kemampuan Indonesia di bidang pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan sendiri relatif telah dan/atau sedang menurun cukup signifikan, (2) Indonesia berada dalam keadaan sedang “rawan pangan”, bukan karena tidak ada pangan, tetapi karena pangan untuk rakyat Indonesia yang tergantung dari supply luar negeri kecenderungannya semakin besar dan (3) Kurangnya daya dukung sektor pertanian yang komprehensif, termasuk di dalamnya ketersediaan lahan pertanian.

(28)

teknologi untuk meningkatkan produktivitas padi. Berbagai peraturan yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan telah diterbitkan pemerintah untuk mengendalikan konversi lahan pertanian namun peraturan-peraturan tersebut kurang efektif. Nasoetion (2003) menjabarkan tiga kendala mendasar yang menjadi alasan peraturan pengendalian alih fungsi lahan sulit dilaksanakan yaitu: (1) kebijakan yang kontradiktif; (2) cakupan kebijakan yang terbatas; (3) kendala konsistensi perencanaan.

Filosofi Perlindungan Lahan Pertanian

Pertambahan jumlah penduduk yang semakin besar merupakan isu strategis dalam program ketahanan pangan nasional terutama dalam aspek ketersediaan pangan. Jaminan ketersediaan pangan nasional, perlu dilakukan melalui perlindungan terhadap lahan pertanian pangan dari konversi ke penggunaan lain di luar pertanian. Konversi lahan pertanian pada dasarnya terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan antara sektor pertanian dan sektor non pertanian (Irawan 2003). Persaingan dalam pemanfaatan lahan tersebut menurut Irawan (2003) muncul karena fenomena ekonomi dan sosial, yaitu; 1) keterbatasan sumberdaya lahan, 2) pertumbuhan penduduk, dan 3) pertumbuhan ekonomi. Revitalisasi kebijakan perlindungan lahan pertanian perlu diarahkan untuk mencapai tiga sasaran yaitu; 1) menekan intensitas faktor sosial-ekonomi yang dapat merangsang konversi lahan, 2) mengendalikan luas, lokasi dan jenis lahan sawah yang dikonversi untuk memperkecil dampak negatif yang ditimbulkan, dan 3) menetralisir dampak negatif konversi lahan melalui kegiatan investasi yang melibatkan dana perusahaan swasta pelaku konversi lahan.

Perlindungan lahan pertanian pangan dapat dilaksanakan melalui beberapa kebijakan, yang terkait dengan pengaturan fisik maupun institusional. Reforma agraria merupakan salah satu bentuk upaya mempertahankan lahan pertanian. Tan et al (2008) menyebutkan bahwa di China, pemerintah telah melakukan beberapa reformasi dalam manajemen pengelolaan lahan, termasuk memperkenalkan beberapa model perlindungan lahan pertanian. Di Indonesia, perlindungan lahan pertanian secara implisit terdapat dalam UUPA No 50 tahun 1960, namun sampai sekarang implementasi UU ini tidak berjalan maksimal. Sementara itu Tan et al (2008) juga mendeskripsikan mekanisme perlindungan lahan pertanian pangan di dunia barat, yang lebih terkait dengan isu ekologis yang menyebutkan bahwa perencanaan spasial dapat menginternalisasi nilai non-pasar (manfaat lingkungan) dari lahan pertanian dalam sistem pasar yang berlaku sekarang. Furuseth dan Pierce (1982) menyebutkan beberapa program perlindungan lahan pertanian pangan yang dilakukan di Amerika Utara selain dari aspek zonasi, juga ada beberapa program seperti insentif dan disinsentif pajak, bank lahan, pembelian hak pengembangan (Purchase of Development Rights) maupun transfer hak pengembangan (Transfer of Development Rights)

(29)

menghasilkan surplus yang tinggi bagi lahan. Kondisi ini terjadi karena pasar tidak mampu untuk menunjukkan biaya sosial dari lahan. Intervensi pemerintah merupakan jawaban atas kondisi pasar lahan yang tidak seimbang (Lee dalam Nelson 1992). Kehilangan lahan pertanian di Indonesia sebagian besar diakibatkan oleh proses urbanisasi dan industrialisasi (Firman 1999). Nilai lahan pertanian cenderung tetap dan lebih murah pada wilayah yang berada jauh di luar pengembangan perkotaan. Perlindungan lahan pertanian yang efektif harus bisa meningkatkan investasi pada lahan pertanian, agar produk pertanian menarik secara ekonomi. Nelson (1992), menyatakan kebijakan perlindungan lahan pertanian yang efektif harus mempengaruhi pasar lahan dengan empat cara. Pertama, kebijakan perlindungan lahan harus mampu meningkatkan nilai produktif dari lahan pertanian. Kedua, kebijakan perlindungan harus menstabilisasi, mengurangi atau menghilangkan nilai konsumtif (penggunaan untuk properti). Ketiga, pemerintah harus mengurangi nilai spekulatif lahan pertanian karena tekanan urbanisasi. Keempat program perlindungan harus bisa menghilangkan impermanence syndrome, yaitu berkurangnya kepercayaan petani terhadap usahataninya karena merasa usahataninya tidak menguntungkan dan akan kalah oleh sektor lain.

Implementasi Undang-Undang No. 41 Tahun 2009

Proses pelaksanaan perlindungan diawali dengan identifikasi keadaan aktual lahan pangan yang didukung dengan aspek legal melalui UU No 41 tahun 2009. Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 yang dimaksud dengan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLPPB) adalah sistem dan proses dalam merencanakan dan menetapkan, mengembangkan, memanfaatkan dan membina, mengendalikan, dan mengawasi lahan pertanian pangan dan kawasannya secara berkelanjutan. Undang-Undang ini dijadikan acuan bagi pemerintah dan pemerintah daerah untuk melindungi lahan pertanian pangan dengan mengintegrasikan ke dalam RTRW wilayah. Perlindungan lahan pertanian pangan dalam RTRW merupakan bentuk perhatian pemerintah daerah dalam upaya pencapaian ketahanan pangan. Sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang No. 18 tahun 2012 tentang pangan yang menyebutkan pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah desa melaksanakan kebijakan ketahanan pangan dan bertanggungjawab terhadap penyelengaraan ketahanan pangan di wilayahnya masing-masing dengan memperhatikan pedoman, norma, standar dan kriteria yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Dalam UU No. 41 tahun 2009 perencanaan lahan pertanian pangan berkelanjutan meliputi;

1. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B)

Adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional.

2. Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LCP2B)

(30)

3. Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B)

Adalah wilayah budi daya pertanian terutama pada wilayah perdesaan yang memiliki hamparan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan/atau hamparan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan serta unsur penunjangnya dengan fungsi utama.

Tabel 6 Kriteria untuk penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan No Kriteria Fisik Kriteria Sosial Ekonomi 1 Jaringan irigasi Kebutuhan pangan daerah dan nasional 2 Tutupan lahan Status kepemilikan lahan

3 Kelas lereng Pendapatan usahatani

4 Kelas lahan Jumlah penduduk/pertumbuhan penduduk 5 Jaringan jalan Jumlah petani

6 Luasan hamparan Disparsitas pendapatan usahatani dan non usahatani 7 Produktivitas Land rent usahatani dan non usahatani

8 Organisasi petani dan organisasi terkait

9 Sasaran produksi

10 Pola tanam

11 Jenis komoditas

12 Kebijakan pembiayaan

Sumber : UU No. 41 tahun 2009 dan PP No. 1 tahun 2011 (diolah)

Dalam perkembangannya UU No. 41 Tahun 2009 dilengkapi dengan 4 Peraturan Pemerintah (PP) sebagai turunan dari UU No 41 Tahun 2009, yaitu:

1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2012 tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2012 tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Peraturan pemerintah yang menjadi pelengkap UU No. 41 tahun 2009 mensyaratkan beberapa kriteria kesesuaian lahan dari aspek fisik dan sosial ekonomi untuk lahan pertanian pangan berkelanjutan dan lahan cadangan yang berada di dalam dan/atau diluar KP2B. Kriteria tersebut digunakan untuk membantu proses identifikasi dan inventarisasi lahan pertanian pangan berkelanjutan. Kriteria untuk penetapan LP2B ditunjukkan pada Tabel 6.

(31)

Syamson (2011) melakukan indentifikasi lahan aktual dan potensial untuk tanaman padi sawah yang dapat diusulkan sebagai KP2B di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan. Proses deliniasi oleh ekosistem dan penyatuan oleh fasilitas infastruktur berusaha mengusulkan KP2B berdasarkan pertimbangan batas wilayah administrasi kecamatan, kontiguitas spasial dan luas hamparan maksimal. Zulfikar (2012) melakukan penelitian identifikasi potensi lahan sawah untuk arahan perencanaan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Pasaman Barat Propinsi Sumatera Barat. Selain mengidentifikasi luas lahan aktual dan potensial untuk tamanan padi, Zulfikar juga melakukan proyeksi kebutuhan lahan sawah dengan beberapa skenario, serta menganalisis pendapat masyarakat tentang faktor yang mempengaruhi perencanaan dan penetapan LP2B dan LCP2B. Di wilayah Jawa Barat, Christina (2011) melakukan penelitian identifikasi potensi lahan sawah untuk mendukung usulan perencanaan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Dalam penelitiannya, Christina menetapkan lokasi-lokasi potensial untuk diusulkan sebagai Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan di tingkat provinsi dan kabupaten serta melakukan analisis kebutuhan lahan sawah yang dihitung berdasarkan proyeksi pertumbuhan penduduk dan kebutuhan pangan. Implementasi UU No 41 tahun 2009 yang masih berada pada tahap inventarisasi dan identifikasi lahan untuk LP2B ditegaskan oleh Handari (2012) yang meneliti implementasi kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Magelang. Dari hasil penelitiannya disimpulkan implementasi Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 di Kabupaten Magelang sampai pada tahap identifikasi lokasi dan masih perlu adanya sosialiasi di tingkat petani. Implementasi UU No. 41 tahun 2009 masih perlu ditunjang dengan kebijakan-kebijakan yang tepat, mudah dioperasionalkan serta ditunjang dengan aspek kelembagaan yang efektif. Rachman et al (2012) menyebutkan dukungan yang konkrit dan operasional dalam mendukung pelaksanaan PLP2B dapat berupa; (1) Rencana Tata Ruang Daerah (RTRD) yang sinergis dengan UU No. 41 tahun 2009, serta (2) insentif ekonomi dan aspek kelembagaan yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah.

Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

(32)

Pemerintah di level pusat, provinsi dan kabupaten/kota menjalankan peran sesui kemampuan anggaran masing-masing dalam memberikan insentif perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Insentif dibiayai dari dana APBN maupun APBD. Pemberian insentif terhadap petani adalah suatu upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia pertanian agar mampu menghasilkan produk pertanian yang berkualitas dalam kuantitas yang tinggi supaya mampu memenuhi kebutuhan pangan. Insentif pajak yang diberikan kepada petani, dalam bentuk keringanan pajak bumi dan bangunan perlu diimbangi dengan mekanisme disentif pajak untuk penggunaan lahan di luar pertanian melalui mekanisme pajak progresif. Namun, harus menjadi perhatian bahwa instrumen pajak harus tepat dilaksanakan, Firman (2004) menyebutkan sebagian besar negara di Asia, menganggap pajak terhadap lahan merupakan instrumen untuk meningkatkan pendapatan daripada mengatur penggunaan lahan. Pemberian insentif terhadap petani merupakan bentuk perlindungan dan apresiasi terhadap petani yang mempertahankan luasan lahan pertaniannya untuk menghasilkan pangan. Hasil penelitian Rachman et al. (2012) menunjukkan dari beberapa pilihan insentif yang ditawarkan, persepsi petani cenderung mengacu pada jenis insentif bantuan saprodi, perbaikan infrastruktur pertanian, serta jaminan harga output. Jaminan harga merupakan program yang sudah dilakukan pemerintah dengan penetapan harga dasar, tetapi pada faktanya kebijakan pemerintah kadang kontradiktif. Sunarti dan Khomsan (2012) menyatakan, persoalan yang dihadapi pemerintah setelah menetapkan HPP, kualitas gabah yang dihasilkan petani sangat beragam. Tidak semua gabah petani kemudian berhak untuk dihargai sesuai HPP. Selain di tingkat petani, insentif ditingkat wilayah juga diperlukan. Wilayah (kabupaten/kota) yang memfokuskan diri pada penyediaan pangan dan jasa lingkungan harus mampu bersaing secara ekonomi dengan kabupaten/kota yang berbasis industri.

Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

(33)

Teori Klasik Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan di perkotaan merupakan pilihan dari beberapa penggunaan. Pfefer dan Laping (1994) menyatakan bahwa Logan dan Molotch mendeskripsikan kota sebagai mesin pertumbuhan yang berpusat pada perubahan penggunaan lahan. Ketika lahan dilakukan modifikasi penggunaanya, maka lahan menjadi sumber dari kesejahteraan dan kekuatan dalam sistem sosial di perkotaan. Terori terkait penggunaan lahan telah berkembang sejak lama ketika pada tahun 1826 Von Thunen seorang ahli ekonomi dari Jerman melalui karyanya The Isolated State berusaha menghubungkan antara konsep ekonomi dengan lokasi spasial. Von Thunen melakukan pembagian penggunaan lahan dengan bentuk lingkaran (Rustiadi 2011). Berdasar asumsinya Von Thunen membagi penggunaan lahan di wilayah terisolasi tersebut ke dalam enam zona.

 Zona kesatu yang paling mendekati kota/pasar diusahakan tanaman yang mudah rusak seperti sayuran dan kentang.

 Zona kedua merupakan hutan dengan hasil kayu

 Zona ketiga menghasilkan biji-bijian seperti gandum dengan hasil yang relative tahan lama dan ongkos transfer murah

 Zona kelima untuk pertanian yang berubah-rubah dua sampai tiga jenis tanaman

 Zona keenam berupa lahan yang paling jauh dari pusat, digunakan untuk rerumputan dan peternakan domba atau sapi.

Konsep Von Thunen pada dasarnya menjelaskan bahwa penggunaan lahan sangat ditentukan oleh biaya angkut produk yang diusahakan yang pada akhirnya menentukan sewa ekonomi tanah (Land Rent). Konsep Von Thunen menjadi gambaran mengenai penggunaan lahan. Von Thunen menyebutkan bahwa nilai land rent tidak ditentukan hanya oleh kesuburuan lahan seperti yang diungkapkan oleh David Ricardo (Ricardian rent), tetapi nilai land rent merupakan fungsi dari lokasinya (location rent), dimana perbedaan rent ini lebih ditentukan oleh biaya-biaya transfernya. Pada kasus konversi lahan di Indonesia terutama di Jawa, banyak lahan-lahan sawah yang terkonversi sebagai akibat pertimbangan relatif antara kegiatan pertanian dan non pertanian, hal ini dapat dimengerti karena penggunaan lahan di perkotaan cenderung mendorong perubahan penggunaan lahan di wilayah sekitarnya. Barlowe dalam Rustiadi (2011) menggambarkan hubungan antara nilai land rent dan alokasi sumber daya tanah di antara berbagai kompetisi penggunaan kegiatan. Sektor-sektor yang komersial dan strategis mempunyai land rent yang tinggi. Sebaliknya sektor-sektor yang kurang mempunyai nilai komersial nilai land rentnya semakin kecil. Di Pulau Jawa, sektor-sektor industri dan jasa berkembang pesat yang menyebabkan sektor pertanian kalah bersaing, terutama untuk lahan-lahan yang berada di dekat perkotaan.

Teori Kontemporer dalam Penggunaan Lahan

(34)

potensi konflik penggunaan lahan. Ekonomi neo klasik cenderung memperlakukan lahan sama dengan modal biasa yang akan terus bertambah hasilnya jika dilakukan investasi. Padahal lahan mempunyai keterbatasan daya dukung karena adanya penurunan kualitas lahan sebagai akibat proses ekonomi. Selain itu lahan juga menampung tidak hanya economic rent, tetapi juga environmental rent dan social rent, dimana social net benefit dari lahan diperoleh dari gabungan ketiga rent lahan tersebut. Konsep ekonomi terkait lahan berakar dari konsep ekonomi kelembagaan dan mempunyai keterkaitan dengan ekonomi pertanian, ekonomi sumbedaya, dan ekonomi lingkungan. Land resource economics yang berakar dari Ekonomi kelembagaan melihat budaya sebagai faktor penting dalam menentukan kebijakan ekonomi pada situasi tertentu. Sementara ekonomi neoklasik cenderung mengesampingkan budaya, kelembagaan, agama dan faktor lainnya sebagai bagian ceteris paribus.

Dorfman et al (2008) menyebutkan lahan pertanian mempunya empat fungsi utama, yaitu; 1) sebagai sumber produksi pangan lokal dan nasional, 2) sebagai penyedia tenaga kerja di sektor pertanian khsusunya, 3) membantu proses manajemen lahan yang baik bagi pengembangan perkotaan dan perdesaan, dan 4) sebagai bentuk jasa lingkungan. Pada kondisi pasar konvensional nilai pasar dari lahan pertanian hanya terbatas pada poin satu dan dua. Nilai pasar lahan pertanian untuk tujuan pengembangan berdasar peran pemerintah. Tidak adanya subsidi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap proses pengembangan lahan, menyebabkan lahan pertanian berubah menjadi lahan perumahan, jasa komersial dan industri karena nilai pasar dari penggunaan non pertanian lebih besar daripada nilai pasar lahan di sektor pertanian. Berdasar pada kondisi ini, dengan teori penggunaan lahan klasik, menyebabkan nilai lahan menjadi rendah dan realokasi lahan untuk sektor non pertanian tidak dapat dicegah. Konsep yang berbeda yang memasukan dua unsur terakhir terutama unsur ke empat mengenai jasa lingkungan menjadi ide dasar dalam pengembangan teori ekonomi sumber daya lahan. Penggunaan lahan merupakan sesuatu yang kompleks. Kebutuhan terhadap pangan, pakaian dan perumahan merupakan kebutuhan dasar manusia. Dengan pilihan penggunaan yang kompleks Negara harus mengalokasikan sumber daya lahan yang langka untuk keuntungan semua pihak agar dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya. Internalisasi nilai tersebut diharapkan dapat meningkatkan manajemen sumber daya lahan yang lebih efisien dan berkelanjutan.

Model Dinamika Sistem dalam Penentuan Kebijakan

(35)

Pendekatan berpikir sistemik didasarkan pada konsep yang menyatakan suatu perubahan (perilaku atau dinamika) terjadi karena adanya struktur (unsur-unsur pembentuk yang saling bergantung, interdependen). Dalam fenomena sosial struktur yang menyebabkan perubahan terdiri dari struktur fisik dan struktur pembuatan keputusan (oleh aktor-aktor dalam sistem) yang saling berinteraksi. Struktur fisik dibentuk oleh akumulasi (stok) dan jaringan aliran orang, barang, energi dan bahan. Sedangkan struktur pembuatan keputusan dibentuk oleh akumulasi dan jaringan aliran informasi yang digunakan oleh aktor-aktor (manusia) dalam sistem yang menggambarkan kaidah-kaidah proses pembuatan keputusannya (Tasrif dalam Heryanto 2010)

Dalam sistem yang lebih bersifat dinamis alur proses perancangan dinamika dan struktur pada awal perancangan model ditentukan oleh konseptualisasi literatur tertulis, tujuan, informasi mental dan tertulis dengan

menggunakan kaidah “feedback-loops” (Tasrif dalam Heryanto 2010). Setelah

model terbentuk dari model tersebut dihasilkan perilaku yang dibandingkan dunia nyata berdasarkan kepada data historis (time series) dan informasi yang berasal dari mental dan tertulis. Apabila terjadi ketidaksesuaian perilaku, maka yang harus diperbaiki adalah struktur dan parameternya. Apabila perilaku yang dihasilkan oleh model sesuai dengan perilaku pada dunia nyatanya, maka model tersebut dapat digunakan untuk mengevaluasi kebijakan. Selain itu, model tersebut juga dapat digunakan untuk membuat alternatif kebijakan yang diperlukan berdasarkan evaluasi yang telah dilakukan sebelumnya. Evaluasi model dilakukan dengan menggunakan dua langkah validasi, yaitu validasi struktur dan validasi kinerja. Validasi struktur untuk memperoleh keyakinan

“konstruksi” model valid secara ilmiah atau didukung oleh struktur sistem nyata.

Validasi kinerja dilakukan untuk memperoleh keyakinan kinerja model (Muhammadi et al. 2001).

Kerangka Pemikiran

(36)

kriteria lahan yang dapat diajukan untuk dilindungi. Selain dari aspek fisik, ditekankan juga kriteria dari aspek sosial ekonomi. Aspek sosial ekonomi berfungsi untuk melengkapi kriteria dari aspek fisik, supaya lahan pertanian pangan berkelanjutan yang dilindungi memuat informasi yang lengkap dan dapat ditetapkan sebagai wilayah prioritas untuk perlindungan dan penerapan insentif.

(37)

Batasan Penelitian

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Insentif

Perlindungan

Karakterisitk wilayah perlindungan LP2B Inventarisasi kriteria

fisik Penetapan LP2B di

Kabupaten/Kota

Perlindungan Lahan Pertanian Pangan (UU No. 41 2009)

LP2B LCP2B KP2B

Pembiayaan Perlindungan LP2B

Konsep Pembiayaan

LP2B

Mekanisme Insentif perlindungan LP2B

Pemerintah

Badan Usaha Masyarakat

Sumber Pendanaan

Faktor pendukung dan Penghambat

LP2B

Subsistem Produksi

Subsistem Insentif

• Laju konversi sawah

• Neraca pangan

• Disparsitas Pendapatan

• Rata-rata luas sawah

• Kelompok Tani

• Jumlah RT Petani

• Jumlah Tenaga Kerja Pertanian

• Kebijakan RTRW Aspek Sosial Ekonomi

Faktual Persepsi Petani

Kebutuhan dana Insentif

(38)

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan latar belakang, tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran maka diturunkan hipotesis untuk penelitian ini, yaitu ;

1. Terdapat perbedaan karakteristik sosial ekonomi antar kecamatan yang menjadi objek penelitian perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. 2. Persepsi petani di Kabupaten Kuningan mendukung perlindungan lahan

pertanian pangan berkelanjutan.

3. Dari beberapa insentif yang ditetapkan pemerintah melalui PP No. 12 tahun 2012, pemberian insentif dapat mengurangi luas konversi lahan pertanian sehingga perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dapat dilakukan. 4. Pembiayaan untuk LP2B di Kabupaten Kuningan masih akan mengandalkan

dana dari pemerintah. Pembiayaan yang terintegrasi antara pemerintah, badan usaha dan masyarakat diharapkan mendorong pelaksanaan program perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dengan baik.

3 METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat dengan fokus penelitian di lahan sawah. Luas wilayah Kabupaten Kuningan secara keseluruhan mencapai 1.195,71 km2. Wilayah barat dan selatan merupakan dataran tinggi yang terletak di bawah Gunung Ciremai (3.078 m dpl), yang subur dengan endapan vulkanis serta kaya akan sumber daya air, baik berupa sungai, waduk maupun mata air, sedangkan wilayah timur dan utara merupakan dataran rendah. Kabupaten Kuningan terdiri dari 32 kecamatan, 361 desa dan 15 kelurahan.

Gambar 2 Peta lahan pertanian pangan berkelanjutan Sumber: Bappeda Kabupaten Kuningan 2014

Penelitian dilakukan dari bulan Juli – Desember 2014. Penelitian dilaksanakan di tiga kecamatan terpilih untuk melihat perbandingan indikator

Kecamatan Ciawigebang

Kecamatan Cilimus

Gambar

Tabel 6  Kriteria untuk penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan
Gambar 1  Kerangka Pemikiran
Tabel 8  Komposisi Rumah Tangga Petani (RTP) pada kecamatan terpilih
Gambar 3  Kerangka analisis data
+7

Referensi

Dokumen terkait

tersedianya luasan RTH Publik sebesar 20% dari luas wilayah ... Usulan Kegiatan dan Pembiayaan Sektor Penataan Bangunan dan Lingkungan ... Readiness Criteria Sektor Penataan

Radiasi ini didasari oleh partikel beta (β), yang disebut elektron energi tinggi atau positron, dilepaskan dari inti atom dalam proses yang dikenal sebagai peluruhan Beta...

Bagi masyarakat di sekitar lokasi perkebunan, berpeluang untuk menjadi tenaga kerja untu kegiatan tersebut sehingga diprakirakan akan terjadi perbaikan kualitas lingkungan

(1) Produsen benih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) yang telah memperoleh sertifikat sistem manajemen mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) harus

Sedangkan variabel independen dalam penelitian ini adalah kinerja keuangan perusahaan yang terdaftar di Index Saham Syariah Indonesia (ISSI) yang diukur dengan rasio

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa kelas XI di SMK Bina Nusantara Ungaran dengan nilai p 0,001

Koefisien dalam Analisa Harga Satuan Pekerjaan harus sesuai dengan koefisien yang tercantum dalam Dokumen Lelang, apabila koefisien tidak sama dengan dokumen lelang