• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Distribusi Aerosol Dengan Ketinggian Planetary Boundary Layer (Studi Kasus: Riau Dan Sekitarnya).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Distribusi Aerosol Dengan Ketinggian Planetary Boundary Layer (Studi Kasus: Riau Dan Sekitarnya)."

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN DISTRIBUSI AEROSOL DENGAN

KETINGGIAN

PLANETARY BOUNDARY LAYER

(Studi Kasus: Riau dan Sekitarnya)

SULVIANA WIDURI EKAYATNI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Distribusi Aerosol Dengan Ketinggian Planetary Boundary Layer (Studi Kasus: Riau dan Sekitarnya) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2015

(4)
(5)

ABSTRAK

SULVIANA WIDURI EKAYATNI. Hubungan Distribusi Aerosol Dengan Ketinggian Planetary Boundary Layer (Studi Kasus: Riau dan Sekitarnya). Dibimbing oleh AHMAD BEY dan IDUNG RISDIYANTO.

Kebakaran sering terjadi di wilayah Indonesia, seperti di Sumatera dan Kalimantan sehingga menjadi salah satu indikasi penyebab dari adanya sebaran aerosol di atmosfer. Aerosol Optical Depth (AOD) merupakan tingginya aerosol dalam satu kolom sampai puncak atmosfer. AOD sebagai indeks ketebalan optik aerosol diasumsikan sebagai tebal aerosol yang ada di suatu lapisan udara dan berkontribusi dalam pengurangan radiasi matahari ke permukaan bumi. Berkurangnya panas yang diterima permukaan bumi berpengaruh pada penurunan suhu yang berakibat pada proses berkurangnya tinggi planetary boundary layer yang faktor berpengaruhnya berupa thermal (suhu), shear wind, letak topografi, dll. Sehingga hubungan yang terjadi pada AOD dengan tinggi planetary boundary layer adalah negatif karena semakin tebalnya AOD di suatu lapisan udara, maka tinggi planetary boundary layer akan semakin rendah, sedangkan semakin tipisnya AOD, maka tinggi planetary boundary layer akan semakin tinggi.

(6)

ABSTRACT

SULVIANA WIDURI EKAYATNI. The Relationship of Aerosol Distributions With Planetary Boundary Layer Height (Case Study: Riau Area). Supervised by AHMAD BEY and IDUNG RISDIYANTO.

Aerosol concentrations within a planetary boundary layer may provide useful information in identifying the likely occurrences of forest fires in regions, like parts of Sumatera and Kalimantan, where such phenomena frequently occur, especially, during dry months of July, August, September and October. Aerosol Optical Depth (AOD) is a measure of the height of aerosol distributions in the atmosphere, primarily, in the vertical. It is expressed in form of an index which gives the aerosol optical thickness, and may be interpreted as aerosol thickness within an air layer that affects to the reduction of solar radiation reaching the earth's surface. As a consequence, the reduced heat flux arrived and, subsequently, absorbed by the surface allows the lowering of surface temperature which may, significantly, reduce planetary boundary layer thickness when other factors remain constant. As inferred from theory, the analysis shows a tendency of negative relationships between AOD and the height of planetary boundary layer; namely, a large AOD index is accompanied by a relatively low planetary boundary layer, and vice versa. Simple calculations in this work also derive a single factor scenario which allows to estimate the impact of a prescribed increased of an AOD index on the extent of planetary boundary height reductions.

(7)

HUBUNGAN DISTRIBUSI AEROSOL DENGAN

KETINGGIAN

PLANETARY BOUNDARY LAYER

(Studi Kasus: Riau dan Sekitarnya)

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015

SULVIANA WIDURI EKAYATNI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2014 ini ialah kajian atmosfer, dengan judul Hubungan Distribusi Aerosol Dengan Ketinggian Planetary Boundary Layer (Studi Kasus: Riau dan Sekitarnya).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Ahmad Bey selaku pembimbing satu yang paling banyak memberikan bimbingan, perhatian, semangat, serta wawasan baru selama penelitian dan penyusunan skripsi ini, Bapak Idung Risdiyanto, S.Si, M.Sc selaku pembimbing dua yang telah banyak memberi arahan, saran, juga semangat, serta kepada Ibu Dr Ir Tania June, M.Sc selaku dosen penguji yang baik, sabar, dan atas dukungan yang diberikan dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada teman-teman GFM 48 yang telah memberikan saran, masukan dan motivasinya terutama para sahabat, serta kakak GFM 46, GFM 47 dan adik GFM 49 yang memberikan bantuan-bantuan demi terwujudnya penelitian ini.

Ungkapan terima kasih terutama penulis sampaikan kepada ibu, nenek, seluruh keluarga, serta teman sejati yang senantiasa memberi kekuatan, dukungan disaat apapun dan atas segala doa serta kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2015

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

TINJAUAN PUSTAKA 2

Aerosol Optical Depth (AOD) 2

Pengertian AOD 2

Arti Nilai Indeks AOD 2

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Planetary Boundary Layer 3

Turbulence Kinetic Energy (TKE) 3

Komponen Stabilitas Atmosfer 3

METODE 4

Waktu dan Tempat 4

Alat 4

Bahan 4

Prosedur Analisis Data 4

Pengolahan Awal Data Citra 4

Konversi Data MOD-04 4

Penentuan Ketebalan Aerosol 5

Penentuan Ketinggian Planetary Boundary Layer 6

Metode Suhu Potensial 6

Metode Kelembaban Spesifik (q) 7

Metode Kelembaban Relatif (RH) 7

Metode Refraktiviti (N) 7

Metode Elevated Inversion (EI) 7

Metode Surface-Based Inversion (SBI) 8

Pengolahan Akhir Data Citra 8

HASIL DAN PEMBAHASAN 8

(12)

Tinggi Planetary Boundary Layer Menggunakan Metode Empiris 12

Hubungan AOD dengan Tinggi Planetary Boundary Layer 17

SIMPULAN DAN SARAN 19 tanggal 1 bulan Juli sampai Oktober tahun 2007-2012. 23 2 Tinggi dalam satuan meter dengan penghitungan menggunakan

rumus. 23

3 Data tinggi planetary boundary layer menggunakan metode empiris Kabupaten Pelalawan, Riau setiap tanggal 1 bulan Juli sampai 5 Peta AOD dari data MOD-04 Aerosol Product 1 Agustus 2012 plot

3. 12

6 Peta AOD dari data MOD-04 Aerosol Product 1 Agustus 2012 plot

4. 12

7 Tinggi planetary boundary layer dari data radiosonde menggunakan metode gradien suhu potensial di Pelalawan bulan Juli hingga

Oktober tahun 2007 hingga 2012. 13

8 Plotting time series tinggi planetary boundary layer dan nilai AOD plot 1 setiap tanggal 1 pada bulan Juli sampai Oktober tahun

2007-2012. 15

9 Plotting time series tinggi planetary boundary layer dan nilai AOD plot 2 setiap tanggal 1 pada bulan Juli sampai Oktober tahun

(13)

10 Plotting time series tinggi planetary boundary layer dan nilai AOD plot 3 setiap tanggal 1 pada bulan Juli sampai Oktober tahun

2007-2012. 16

11 Hubungan AOD pada plot 1 dengan tinggi planetary boundary layer per tanggal 1 bulan Juli hingga Oktober tahun 2007 hingga 2012. 17 12 Hubungan AOD pada plot 2 dengan tinggi planetary boundary layer

per tanggal 1 bulan Juli hingga Oktober tahun 2007 hingga 2012. 17 13 Hubungan AOD pada plot 3 dengan tinggi planetary boundary layer

per tanggal 1 bulan Juli hingga Oktober tahun 2007 hingga 2012. 18 14 Hubungan AOD pada plot 4 dengan tinggi planetary boundary layer

per tanggal 1 bulan Juli hingga Oktober tahun 2007 hingga 2012. 18

DAFTAR LAMPIRAN

(14)
(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Fenomena kebakaran hutan di Indonesia saat ini menjadi hal yang tidak asing karena kejadian tersebut sudah sering terjadi. Kebakaran hutan akan mengakibatkan kerugian pada sumber daya alam yaitu berupa hutan, selain itu juga pada pelepasan emisi materi ke atmosfer sehingga memberikan resiko peningkatan polutan di udara, contohnya berupa aerosol. Aerosol dapat didefinisikan sebagai suspense dari larutan atau partikel padat di udara dengan ukuran partikel antara 109 – 10-4 m (Poschl 2005). Tingkat bahaya menjadi lebih tinggi jika kebakaran terjadi di area lahan gambut karena emisi yang dihasilkan dapat menjadi lebih banyak dan lebih pekat bahkan sulit dipadamkan karena kebakaran terjadi di bawah permukaan sehingga suhu permukaan dan suhu udara akan lebih tinggi dari keadaan normal. Menurut Harisson et al (2009), Kalimantan dan Sumatera merupakan area kebakaran lahan gambut terluas di dunia yang menjadi sumber aerosol di Indonesia. Tercatat pada tahun 1997/1998 adalah kejadian kebakaran yang terbesar dan menjadi sejarah di bidang kehutanan. Pada masa kini, terjadinya kebakaran karena berkaitan dengan aktivitas pembukaan lahan seperti konversi hutan menjadi perkebunan.

Menggunakan citra satelit seperti citra MODIS, pendugaan kebakaran di suatu wilayah dapat dilakukan. Pendugaan dapat dilihat dari nilai suhu permukaan wilayah kajian atau dengan nilai ketebalan aerosol di atmosfer yaitu menggunakan indeks AOD (Aerosol Optical Depth). Aerosol dapat dinilai sebagai emisi hasil dari proses kebakaran yang memberikan kontribusi pada besar konsentrasi polutan di udara dan akan berkaitan penting pada kualitas lingkungan. Aerosol yang terdapat di udara berhubungan dengan kondisi atmosfer karena dapat mempengaruhi jumlah radiasi matahari yang diserap oleh permukaan bumi dan tergantung pada sifat suatu aerosol karena ada tipe aerosol yang dapat menyerap radiasi matahari dan yang memantulkan radiasi matahari sehingga mempengaruhi ketinggian planetary boundary layer (PBL) yang salah satu faktor pembentuknya adalah suhu permukaan. Pendugaan tinggi PBL dapat dilakukan menggunakan beberapa parameter meteorologi yang diperoleh dari data radiosonde sehingga dapat dianalisis dengan metode empiris.

Tujuan Penelitian

(16)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Aerosol Optical Depth (AOD)

Pengertian AOD

AOD merupakan tebal aerosol dalam satu kolom atmosfer sampai puncak atmosfer sehingga dapat diketahui juga jumlah sinar yang terhamburkan atau terserap oleh partikel udara tersebut. Menurut Puruitaningrum (2010), AOD adalah kedalaman optik sebagai ukuran transparansi yang merupakan logaritma negatif dari fraksi radiasi yang tidak tersebar atau terserap pada suatu medium lapisan udara. Kedalaman optik atmosfer dapat diukur dengan alat pengukur cahaya pencitraan.

Arti Nilai Indeks AOD

AOD ditunjukkan melalui indeks yang tidak bersatuan dan fungsinya juga beragam yaitu untuk pengukuran ketebalan aerosol pada suatu kolom udara. Menurut Carmichael dkk (2009), nilai AOD <2 menunjukkan jumlah aerosol yang rendah pada kolom atmosfer sehingga tingkat visibilitas wilayah tersebut tinggi. Nilai AOD dapat bernilai positif dan negatif yang mampu menunjukkan sifat aerosol. Positif menunjukkan aerosol dapat menyerap panas, seperti mineral dust, smoke, dan aerosol volcanic, sedangkan bernilai negatif jika aerosol tidak menyerap panas seperti sulfat dan sea salt (Torres et al 1998).

Data citra MODIS mengidentifikasi AOD dengan membuat range indeks dari -1 sampai 1 yang mengartikan bahwa semakin mendekati 0 atau -1, ketebalan dan jumlah aerosol pada wilayah terukur adalah semakin rendah, sedangkan semakin mendekati 1, ketebalan dan jumlah aerosol semakin tinggi. Peranan aerosol dalam memberikan efek radiatif yaitu memantulkan atau menyerap radiasi menjadi tergantung pada nilai indeks AOD karena dengan semakin tinggi nilai AOD mengartikan tingginya konsentrasi aerosol sehingga berpengaruh semakin besar pada pengurangan radiasi (Puruitaningrum 2010).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Planetary Boundary Layer

Turbulence Kinetic Energy (TKE)

(17)

3

fluktuasi yang tidak teratur, bahkan terjadi pencampuran karena berbeda dengan aliran laminar yang bergerak di area yang halus dan rata. Pada aliran turbulensi, kecepatan fluida pada suatu titik mengalami perubahan bergantung besar dan arahnya (Frank dan Peter 2010). Visualisasi turbulensi dapat berupa putaran yang bergerak tidak teratur dan disebut dengan pusaran. Umumnya, turbulensi terdiri dari banyak pusaran dengan ukuran yang berbeda dan saling bertumpukan satu sama lain. Energi turbulen mengalir melalui inertial subrange, yaitu eddy yang lebih besar akan mengendalikan eddy yang lebih kecil. Dalam keadaan stabil, turbulensi secara vertikal lebih sedikit dibanding turbulensi secara horizontal bahkan jika atmosfer terlalu stabil, maka tidak ada turbulensi. Turbulensi dapat muncul dan berpindah sendiri seperti jika turbulensi berada di dekat lapisan permukaan, maka gerakan turbulensi akan mendorong perpindahan TKE dari lapisan permukaan ke lokasi yang lebih tinggi di planetary boundary layer.

Komponen Stabilitas Atmosfer

Terdapat beberapa jenis stabilitas yang terjadi di atmosfer, yaitu dynamic stability dan static (thermal) stability. Static stability merupakan kecenderungan udara naik atau turun namun disebabkan oleh densitas udara dan buoyancy yaitu suhu udara yang lebih tinggi dari udara sekitarnya akan mempunyai gaya dorong ke atas, tanpa memperhatikan wind shears sedangkan dynamic stability juga adalah kecenderungan udara naik atau turun namun juga memperhatikan pengaruh angin dan buoyancy sehingga dapat terjadi turbulen ke atas. Stabilitas baik dynamic atau static dapat menjadi penyebab aerosol di udara bergerak dan terbawa ke lapisan atas atmosfer. Static stability dapat mengatur formasi yang terjadi di planetary boundary layer sehingga mempengaruhi angin dan profil suhu udara (Stull 2000). Kondisi static stability berhubungan dengan parsel udara karena jika terjadi perpindahan dari ketinggian awal, suhu parsel udara dengan suhu lingkungan berbeda sehingga menyebabkan adanya gaya bouyancy. Jika suhu parsel udara lebih hangat dibanding suhu lingkungannya di ketinggian atau tekanan yang sama, maka parsel udara akan bergerak naik, jika lebih dingin maka parsel udara akan bergerak turun, disebut sebagai statically unstable dengan pergerakan udara yang berbentuk turbulen. Jika parsel udara bergerak kembali ke tempat awalnya, maka dikategorikan dalam kondisi statically stable dengan pergerakan udara yang laminar yaitu halus dan tidak turbulen. Parsel udara yang memiliki suhu sama dengan lingkungan sekitarnya mengalami zero buoyancy yang disebut sebagai kondisi statically neutral. Dynamic stability dipengaruhi oleh shear wind yang kuat, sehingga parameter Richardson number (Ri) dapat digunakan untuk menentukan keberadaan aliran turbulen di suatu lapisan. Menurut Tjernstrom et al (2008), jika Ri negatif maka turbulensi bersifat kuat, sedangkan jika Ri positif maka turbulensi bersifat lemah. Persamaan dalam menghitung Ri adalah (Stull 2000):

(18)

4

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan November 2014 sampai bulan Mei 2015 bertempat di laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor. Wilayah kajian terdapat di Provinsi Riau dan sekitarnya dengan menggunakan Pelalawan sebagai fokus dari kajian yang berada pada koordinat 00o46’24” LU – 00o24’34” LS dan 101o30’37” BT – 103o21’36” BT.

Alat

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah komputer yang dilengkapi dengan software (perangkat lunak) Microsoft Office 2007, Microsoft Excel 2007, ENVI 4.5, Er Mapper 7.1, dan ArcGIS 10.

Bahan

Bahan yang digunakan adalah data hotspot MODIS setiap tanggal 1 bulan Juli-Oktober tahun 2007-2012 dipeoroleh dari website http://modis.gsfc.nasa.gov/ dan data Radiosonde per tanggal 1 pada bulan Juli-Oktober tahun 2007-2012 sumber data di http://ready.arl.noaa.gov/READYamet.php .

Prosedur Analisis Data

Pengolahan Awal Data Citra

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah peta administratif Indonesia, peta administratif wilayah hutan gambut Riau dan sekitarnya, citra MODIS, data radiosonde. Citra MODIS mengidentifikasi aerosol di atmosfer berdasarkan ketebalannya menggunakan indeks AOD. Kemudian data radiosonde digunakan untuk menghitung ketinggian planetary boundary layer secara empiris pada wilayah kebakaran yang telah diidentifikasi sebelumnya. Langkah pertama setelah menyediakan data adalah melakukan proses pengolahan citra MODIS. Dengan melalui beberapa tahapan yaitu konversi data .hdf menjadi .ers untuk dilanjutkan dengan pembuatan peta layout untuk menentukan ketebalan aerosol dari nilai AOD sedangkan data radiosonde diolah menggunakan metode empiris.

Konversi Data MOD-04

Satelit MODIS mempunyai format berekstensi .hdf yaitu Hierarchical Data Format (HDF). MOD-04 adalah data produk aerosol dari MODIS berisi tentang pantauan ketebalan optik aerosol ambien global lautan dan benua. Beberapa informasi tambahan tentang MOD-04 produk aerosol, adalah:

Cakupan : Global atas lautan, sebagian global atas tanah Karakteristik Spasial : 10 km untuk level 2 menggunakan band 1-7 Karakteristik Temporal : Daily (harian)

(19)

5 data dapat ditampilkan di software ArcGis untuk mengetahui gradasi warna yang telah dipotret citra, sekaligus dari gradasi warna akan diperoleh skala indeks AOD. Untuk mengkonversi menjadi .ers, dibutuhkan software ENVI yang telah dilengkapi dengan menu “MODIS Conversion Toolkit” (MCTK) pada pilihan File → Open Eksternal File → EOS. Pada pengolahan konversi data di MCTK, memilih Projected : Rigorous georeferencing pada tipe output sehingga dapat ditampilkan data georeference yaitu pada UTM WGS-84 Zona 49 South, dan memilih jenis data [64] (2D) AOD_550_Dark_Target_Deep_Blue_Combined untuk selanjutnya diproses dan ditampilkan di ENVI sehingga dapat di simpan kembali menjadi data berformat .ers. Data .ers yang telah diperoleh berfungsi untuk menampilkan potret citra di ArcGis dengan mengatur warna gradasi menjadi “classified” pada pilihan properties sehingga diketahui perbedaan warna yang menunjukkan perbedaan skala nilai AOD. Untuk dapat menampilkan garis-garis batas pulau pada data citra dengan menginput file “indokab.shp” dan memilih wilayah “Pelalawan” dan mengaktifkan “label features”.

Penentuan Ketebalan Aerosol

(20)

6

Menurut Levy et al (2009), range nilai AOD yang menunjukkan ketebalan aerosol “medium” atau sedang adalah antara 0,2 sampai sama dengan 0,75 sehingga AOD termasuk tebal jika range nilai adalah lebih besar dari 0,75 dan termasuk tipis jika range nilai adalah lebih kecil sama dengan 0,2.

Penentuan Ketinggian Planetary Boundary Layer

Planetary Boundary Layer (PBL) adalah lapisan terendah atmosfer sebagai tempat terjadinya proses pertukaran energi, air, polutan antara permukaan dan atmosfer bebas (Seidel et al 2010). Ketebalan PBL bergantung pada waktu dan ruang dengan rentang puluhan meter hingga beberapa kilometer dipengaruhi oleh ketinggian lapisan pencampuran (mixing height) karena polutan yang terdispersi dari dekat permukaan secara cepat tercampur ke batas atas PBL (Arya 1999). Pada penelitian ini, pendugaan ketinggian PBL menggunakan beberapa parameter seperti gradien suhu potensial, kelembaban relatif, kelembaban spesifik, surface-based inversion, refraktiviti dan elevated inversion dari data radiosonde untuk selanjutnya diolah dengan metode empiris. Data yang diperoleh dari radisonde adalah ketinggian dari tekanan, sehingga dibutuhkan ketinggian dalam satuan meter, menggunakan rumus Hipsometrik, yaitu untuk mencari ketinggian dalam meter:

(5)

dengan asumsi z1 adalah ketinggian pada p1 = 1000 mb, dan z1 bernilai 0 m di permukaan laut. Nilai ketinggian (meter) yang dihasilkan menggunakan rumus tidak jauh berbeda dengan ketinggian berdasarkan literatur, hanya berbeda pada ketinggian pada tekanan 1000 mb yang digunakan sebagai awal dalam penghitungan ketinggian sehingga disebutkan 0 meter, namun pada literatur ketinggian pada saat tekanan 1000 mb adalah 74 meter dari permukaan.

Metode Suhu Potensial (θ)

Lokasi dengan gradien vertikal maksimum suhu potensial, menunjukkan transisi dari daerah konveksi kurang stabil ke daerah yang lebih stabil (Oke, 1988; Stull, 1988; Sorbjan,1989; Garratt, 1992).

Suhu potensial ( ) merupakan suhu udara yang mengembang/menyusut secara adiabatik ke ketinggian Po= 1000 mb.

 Suhu potensial virtual :

v = (1+ 0.61 x rsat– rL) (6) dimana rsat adalah pencampuran (mixing ratio) titik jenuh uap air dari parcel

udara dan rL adalah liquid-water mixing ratio. Rsat– rL = r = 0.02

v = (1+ 0.61 x r) (7) Suhu potensial dapat diturunkan dari hubungan antara P dan T dalam proses adiabatik; = (P,T)

(21)

7

(Thaisir 2014) (8)

Ketinggian PBL dapat dilihat dari nilai maksimum dari gradien vertikal suhu potensial, dimana:

(9)

artinya tinggi PBL terdapat pada ketinggian yang bernilai maksimum dari nilai

gradien suhu potensial.

Metode Kelembaban Spesifik (q)

Kelembaban spesifik (q) merupakan perbandingan antara massa uap air (mv) dengan massa total udara lembab (mm).

Ketinggian PBL dapat dilihat dari nilai minimum dari gradien kelembaban spesifik, dimana:

(10)

artinya tinggi PBL terdapat pada ketinggian yang bernilai minimum dari nilai

gradien kelembaban spesifik.

Metode Kelembaban Relatif(RH)

Gradien minimum dari kelembaban relatif dapat dilihat dari persamaan di bawah ini:

(11)

artinya tinggi PBL terdapat pada ketinggian yang bernilai minimum dari nilai

gradien kelembaban relatif.

Metode Refraktiviti (N)

Menurut Petty (2006), pada level mikroskopis, interaksi radiasi dengan media homogen sedikit kompleks, sehingga dilihat secara umum kompleksitas yang terjadi dipengaruhi oleh satu parameter yaitu pada indeks refraksi suatu medium. Kejadian refraktiviti adalah saat gelombang elektromagnetik mengenai batas antara dua media homogen yang memiliki indeks refraksi yang berbeda mengakibatkan gelombang yang ditransmisikan pada medium kedua berubah arah bahkan terjadi pembelokan dari arah awal di medium pertama.

Ketinggian PBL dapat dilihat dari profil gradien vertikal dari refraktiviti. Refraktiviti (N) berhubungan dengan P, T dan e (tekanan parsial uap air) (Bean and Dutton 1968) mengartikan bahwa refraktiviti tidak konstan pada setiap substansi tetapi tergantung pada kuat dan panjang gelombangnya (Petty 2006). Gradien vertikal minimumrefraktivitidapat dilihat dari:

(12)

artinya tinggi PBL terdapat pada ketinggian yang bernilai minimum dari nilai gradien refraktiviti.

Metode Elevated Inversion (EI)

(22)

8

untuk pencampuran dibawahnya sehingga dapat dianggap ketinggian PBL (Seidel et al 2010).

(13)

Elevated inversion dapat dilihat dari perbandingan antara perubahan suhu terhadap ketinggian yang pertama kali bernilai negatif yang bukan di surface layer.

Metode Surface-Based Inversion (SBI).

Surface based inversion merupakan indikator yang jelas dari batas lapisan yang stabil, dimana puncaknya dapat menentukan ketinggian PBL (Bradley et al 1993).

(14)

SBI dapat dilihat dari perbandingn antara perubahan suhu terhadap ketinggian bernilai negatif yang berada di surface layer.

Pengolahan Akhir Data

Setelah data AOD pada beberapa plot dan ketinggian planetary boundary layer diperoleh, langkah selanjutnya adalah proses pengumpulan menjadi tabel-tabel yang disesuaikan menurut kebutuhannya. Data final yang digunakan adalah sebanyak 24 data ketinggian planetary boundary layer, 24 data AOD plot 1, 24 data AOD plot 2, dan 24 data AOD plot 3 di wilayah kajian yaitu Riau dan sekitarnya. Plotting dilakukan berdasarkan tipe time series, yaitu pada data AOD plot 1, 2, dan 3, dan data ketinggian planetary boundary layer. Selain itu, untuk memperjelas hubungan AOD pada masing-masing plot dengan ketinggian planetary boundary layer, dibuat grafik scatter dengan sumbu x data AOD (plot 1, plot 2, dan plot 3) dengan sumbu y tinggi planetary boundary layer. Hal penting adalah plotting AOD dengan nilai tinggi planetary boundary layer telah disesuaikan berdasarkan tanggal (bulan, tahun) dan waktu (pukul) untuk keakuratan temporal dan keadaan atmosfer yang sedang terjadi pada saat tersebut. Penggunaan waktu pada nilai planetary boundary layer mengikuti waktu citra satelit MODIS memotret kenampakan bumi dengan kajian daerah adalah di Riau dan sekitarnya. Resolusi temporal MOD-04 dari MODIS adalah harian, sehingga dalam satu hari memotret permukaan bumi sebanyak 1 kali, sedangkan data radisonde yang digunakan sebagai sumber pengolahan data menggunakan metode empiris dikeluarkan dengan selang waktu 3 jam, satu hari terdapat data pukul 00.00, 03.00, 06.00, 09.00, 12.00, dst.

HASIL DAN PEMBAHASAN

AOD (Plot 1, Plot 2, dan Plot 3)

(23)

9

AOD pada plot 2, dan warna hijau adalah AOD pada plot 3. Terlihat bahwa secara umum nilai AOD pada plot 1 ke plot 2 dan ke plot 3, nilai indeksnya semakin tinggi yang mengartikan bahwa AOD akan semakin tebal. Nilai rata-rata AOD yang diperoleh pada plot 1 adalah 0,242, pada plot 2 adalah 0,443, dan pada plot 3 adalah 0,644. Hal tersebut dapat menjadi indikator telah terjadi kebakaran di wilayah Riau dan sekitarnya, karena nilai AOD yang semakin jauh dari wilayah Riau dan sekitarnya akan semakin tipis dan semakin tebal ketika wilayah cakupan potret citra berfokus pada wilayah Riau dan sekitarnya, selain itu juga menunjukkan adanya penyebaran aerosol akibat kebakaran, yang tebal di wilayah sumber aerosol, dan semakin tipis dengan semakin jauhnya dari sumber aerosol.

Gambar 1 Nilai AOD menggunakan citra MODIS pada beberapa plot di Riau dan sekitarnya per tanggal 1 bulan Juli hingga Oktober tahun 2007 hingga 2012

(24)

10

Gambar 2 Peta AOD dari data MOD-04 Aerosol Product 1 Juli 2009 plot 1

Gambar 2 menampilkan sebaran aerosol secara luas, dengan diketahui skala peta adalah 1:6.000.000 menunjukkan bahwa cakupan peta masih secara menyeluruh. Warna yang sering muncul dapat diasumsikan menjadi nilai AOD sebagai keadaan atmosfer pada tanggal 1 Juli 2009, yaitu pada plot 1 adalah warna orange sehingga nilai AOD adalah sebesar 0,157 menunjukkan bahwa ketebalan aerosolnya tergolong tipis.

Gambar 3 Peta AOD dari data MOD-04 Aerosol Product 1 Juli 2009 plot 2

(25)

11

orange seperti pada Gambar 2, namun berupa warna merah muda terang yang menunjukkan nilai AOD sebesar 0,271 dan menunjukkan bahwa ketebalan aerosol termasuk dalam kategori sedang.

Gambar 4 dengan tampilan sebaran aerosol plot 3 mengartikan bahwa cakupannya sangat lokal, yaitu hanya di daerah Pelalawan dan sebagian kecil wilayah sekitarnya. Sebaran aerosol disimbolkan dengan penyebaran warna yang disesuaikan dengan nilai rentang AOD, namun pada Gambar 4 terlihat bahwa di dalam wilayah Pelalawan tidak terdapat warna. Sebaran warna hanya tertangkap di sekitar wilayah kajian yang ditandai dengan adanya garis biru sebagai batas wilayah Pelalawan, sehingga penetapan nilai AOD tetap kembali melihat warna yang sering muncul seluas cakupan peta di plot 3 pada Gambar 4 yaitu ungu sehingga nilai AOD adalah sebesar 0,509 dan termasuk kategori sedang yang berkisar dari 0,2 sampai sama dengan 0,75.

Gambar 4 Peta AOD dari data MOD-04 Aerosol Product 1 Juli 2009 plot 3

(26)

12

Gambar 5 Peta AOD dari data MOD-04 Aerosol Product 1 Agustus 2012 plot 3

Gambar 5 adalah salah satu hasil layout peta yang menunjukkan adanya sebaran data AOD plot 3 khususnya di Pelalawan sebesar 1,377 sehingga termasuk kategori tebal. Terdapatnya sebaran warna di dalam wilayah Pelalawan hanya terdapat pada bulan Agustus 2011, Oktober 2011, dan Agustus 2012 sehingga dapat digunakan untuk membuat layout peta berskala 1:400.000 seperti pada Gambar 6 dibawah ini.

Gambar 6 Peta AOD dari data MOD-04 Aerosol Product 1 Agustus 2012 plot 4

Tinggi Planetary Boundary Layer Menggunakan Metode Empiris

(27)

13

wilayah tropis, terutama di daerah garis khatulistiwa. Penelitian juga mengukur berbagai parameter meteorologi seperti angin permukaan, suhu, kelembaban, curah hujan, dan radiasi netto inframerah matahari dengan instrumen standar. Hasil keluaran diperoleh bahwa ketinggian maksimum pengamatan BLR (boundary layer radar) tergantung pada intensitas echo (gema) dari atmosfer. Dalam suasana yang cerah tanpa hujan, intensitas gema meningkat dengan meningkatnya nilai kelembaban, suhu, dan gradien vertikal. Hal ini yang menyebabkan tinggi cakupan terbatas di bawah 2,2 km (dengan probabilitas → 80%) di Shigaraki, sementara terjadi peningkatan menjadi 3,2 km di Serpong (tempat penelitian untuk mewakili wilayah tropis di ekuator) karena kelembaban dan suhu yang lebih tinggi. Pada hari-hari yang cerah, tinggi cakupan tertinggi adalah saat tengah hari dan terendah saat malam hari. Sehingga dapat dianggap bahwa turbulensi dan fluktuasi kecepatan vertikal yang kuat dalam lapisan pencampuran (mixing layer) dan perbedaan besar dalam distribusi vertikal kelembaban dan suhu berkontribusi pada pembentukan lapisan echo yang kuat ketika diamati dengan menggunakan BLR (Angevine et al 1994; Hashiguchi et al 1995). Menurut teori klasik Ekman, ketebalan PBL dapat diestimasi menggunakan (K/f)1/2, dimana k adalah difusivitas eddy dan f adalah parameter Coriolis. Jika K adalah konstan, rasio ketebalan di Serpong (60S) dengan yang di Shigaraki (350N) menjadi (sin 350/sin 60)1/2 ~2,3. Prediksi ini tampak secara konsisten dengan hasil pengamatan, meskipun interpretasi dari PBL di wilayah khatulistiwa tidak begitu sederhana (Firestone dan Albrecht 1986). K dapat diperkirakan dari kekuatan echo (lebar spektral atau intensitas) setelah menghilangkan pengaruh background angin, kelembaban, dan suhu. Oleh sebab itu, dipilih metode gradien suhu potensial untuk mewakili penggunaan metode empiris dalam menentukan ketinggian planetary boundary layer di wilayah Pelalawan yang merupakan wilayah tropis dan berada di ekuator dengan nilai PBL yang dihasilkan berkisar pada nilai 3-5 km.

Gambar 7 Tinggi planetary boundary layer dari data radiosonde menggunakan metode gradien suhu potensial di Pelalawan bulan Juli hingga Oktober tahun 2007

hingga 2012

(28)

14

tinggi PBL mencapai hingga 6 – 6,5 km. Terdapat 4 simbol yang mewakilkan bulan yaitu Juli, Agustus, September, dan Oktober. Terlihat pada Gambar 7 simbol merah yang mewakili bulan Agustus, rata-rata mempunyai tinggi planetary boundary layer yang paling tinggi dibanding bulan lainnya, yang paling terlihat adalah pada tahun 2010 yang mencapai hingga 6 km. Terdapat simbol silang ungu yang terlihat jelas paling tinggi yang menunjukkan nilai planetary boundary layer pada bulan Oktober tahun 2011 yaitu sekitar 6,5 km. Secara umum, belum pernah ada penelitian yang menghasilkan tinggi PBL di ekuator setinggi 6,5 km, sehingga data tersebut disimpulkan overestimasi. Hal lain yang memungkinkan terjadinya tinggi PBL yang sangat besar adalah menurut Zunaidi (2009), faktor musim yaitu pada bulan Agustus hingga Oktober merupakan bulan kering sehingga suhu udara di permukaan menjadi sangat tinggi dan mencapai maksimum mengakibatkan proses turbulen semakin kuat, selain itu dari faktor karakter lahan Pelalawan, menurut Subiksa (2011) yaitu berupa lahan gambut yang berwarna gelap sehingga cenderung menyerap suhu mengakibatkan lahan yang terpapar panas akan sangat panas.

Tinggi PBL sangat berkaitan dengan faktor permukaan, namun terdapat juga faktor yang juga mempengaruhi proses pembentukan tinggi PBL yang terjadi di lapisan atmosfer. Proses yang penting di siang hari ini adalah proses entrainment, yaitu proses yang dapat mempercepat bertambahnya ketinggian PBL di atmosfer selain faktor suhu permukaan. Terbentuk akibat dari proses turbulen yaitu saat proses pencampuran panas kuat, mengakibatkan terjadinya overshoot yaitu udara dari dalam lapisan PBL keluar menuju atmosfer bebas sehingga terjadi konversi massa udara dan udara dari lapisan atmosfer bebas masuk menggantikan udara yang keluar dari lapisan PBL. Proses yang terjadi selanjutnya adalah kembalinya udara yang keluar dari lapisan PBL, yaitu turun kembali masuk ke lapisan PBL karena densitinya yang lebih rendah dibanding lingkungannya saat di lapisan atmosfer bebas, sedangkan udara dari atmosfer bebas yang masuk ke dalam lapisan PBL mengalami proses pencampuran thermal, dengan suhu yang lebih tinggi mengakibatkan peningkatan proses turbulensi sehingga udara di lapisan PBL semakin bersifat chaotic. Terjadinya proses entrainment ini mengartikan bahwa ketinggian PBL bukan hanya disebabkan oleh faktor permukaan, namun juga proses-proses yang terjadi di lapisan atmosfer dengan tingkat perubahan dalam kurun waktu yang sangat cepat.

(29)

15

mempengaruhi terbentuknya planetary boundary layer dapat diidentifikasi dengan benar.

Gambar 8 menampilkan keseluruhan data tinggi planetary boundary layer dan AOD pada plot 1 yaitu peta yang berskala 1:6.000.000. Analisis yang dapat dilakukan adalah ketika tinggi planetary boundary layer dari bulan ke bulan meningkat, nilai AOD menjadi menurun dan sebaliknya ketika tinggi planetary boundary layer menurun dari bulan ke bulan, nilai AOD meningkat seperti yang terlihat pada data tersedia yaitu bulan Agustus sampai Oktober 2007, Agustus 2009 sampai Juli 2010, Oktober 2010 sampai September 2011, yang menurun lalu meningkat, dan nilai AOD meningkat menurun. Ketidakselarasan tinggi planetary boundary layer dengan nilai AOD secara umum menunjukkan hubungan negatif yang berarti jika AOD tipis, maka tinggi planetary boundary layer besar, dan jika AOD tebal tinggi, maka planetary boundary layer kecil. Namun terdapat juga pada Gambar 8 yang menunjukkan kejadian bahwa semakin tinggi PBL, maka AOD juga semakin tebal seperti pada bulan Oktober 2011 dengan tinggi PBL sebesar 6,5 km dan nilai AOD adalah 0,55. Hal ini dapat disebabkan oleh cakupan wilayah pada AOD plot 1 masih sangat luas, karena jika penampakan diperbesar yaitu menjadi AOD plot 2 hingga AOD plot 3 yang semakin fokus pada wilayah Riau dan sekitarnya, maka hubungan yang terjadi untuk bulan Oktober 2011 adalah negatif karena nilai rentang AOD semakin tebal dari plot 3 ke plot 2 ke plot 1 sehingga sebaran AOD akan semakin tebal dan mengakibatkan AOD pada bulan Oktober 2011 bergeser kebawah.

Gambar 8 Plotting time series tinggi planetary boundary layer dan nilai AOD plot 1 setiap tanggal 1 pada bulan Juli sampai Oktober tahun 2007-2012

(30)

16

Gambar 9 Plotting time series tinggi planetary boundary layer dan nilai AOD plot 2 setiap tanggal 1 pada bulan Juli sampai Oktober tahun 2007-2012

Gambar 8, 9, dan 10 menunjukkan bahwa dengan menggunakan tinggi planetary boundary layer yang sama, namun memiliki nilai range y-secondary yang berbeda, yaitu dari Gambar 8 sampai 10 mengalami peningkatan range nilai maksimum pada data AOD. Hal tersebut mengindikasikan terdapat kemungkinan wilayah Riau dan sekitarnya menjadi sumber aerosol untuk atmosfer, seperti terjadinya kebakaran hutan dan aktifitas antropogenik. Semakin tebal AOD dengan semakin mendekatnya pada wilayah Riau dan sekitarnya menunjukkan telah terjadi pendispersian aerosol oleh angin dan faktor cuaca lainnya.

Gambar 10 Plotting time series tinggi planetary boundary layer dan nilai AOD plot 3 setiap tanggal 1 pada bulan Juli sampai Oktober tahun 2007-2012

(31)

17

Hubungan AOD dengan Tinggi Planetary Boundary Layer

AOD menunjukkan ketebalan aerosol di atmosfer, sehingga berdasarkan jenis aerosolnya ada yang bersifat menghalangi sinar radiasi matahari ke permukaan bumi. Hal ini akan mempengaruhi ketinggian planetary boundary layer yang salah satu faktor pembentukannya adalah berupa thermal terutama akibat dari penyinaran matahari ke permukaan bumi. Gambar 11, 12, dan 13 menunjukkan hubungan nilai AOD pada plot 1, plot 2, dan plot 3 terhadap ketinggian planetary boundary layer. Hubungan antara nilai AOD di plot 1 dengan ketinggian planetary boundary layer dapat ditunjukkan dengan persamaan yaitu y = 4677,9x + 1661,2 dengan trendline yang naik, kemudian untuk hubungan nilai AOD di plot 2 dengan ketinggian planetary boundary layer ditunjukkan dengan persamaan yaitu y = 384,65x + 2625,8 dengan trendline yang lebih landai dibanding pada Gambar 11, dan persamaan pada AOD di plot 3 dengan ketinggian planetary boundary layer yaitu y = -72,519x + 2739 dengan trendline yang menurun. Informasi tambahan diperoleh dengan pembuatan peta berskala 1:400.000 yang terdiri dari 3 data AOD, disebabkan hasil dari pengolahan citra yang menunjukkan adanya nilai AOD di dalam wilayah Pelalawan hanya pada Agustus 2011, Oktober 2011, dan Agustus 2012, ditunjukkan pada Gambar 14 dengan trendline yang juga tetap menurun dengan persamaan negatif yaitu y = -1752,9x + 4549.

Gambar 11 Hubungan AOD pada plot 1 dengan tinggi planetary boundary layer per tanggal 1 bulan Juli hingga Oktober tahun 2007 hingga 2012

(32)

18

Gambar 13 Hubungan AOD pada plot 3 dengan tinggi planetary boundary layer per tanggal 1 bulan Juli hingga Oktober tahun 2007 hingga 2012

Gambar 14 Hubungan AOD pada plot 4 dengan tinggi planetary boundary layer per tanggal 1 bulan Juli hingga Oktober tahun 2007 hingga 2012

(33)

19

akan semakin rendah karena faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu gerakan turbulen dan thermal yang tersedia semakin kecil.

Menggunakan literatur menurut Levy et al (2009) bahwa AOD dikategorikan tipis jika nilai dibawah sama dengan 0,2, sedang jika antara 0,2 sampai sama dengan 0,75 dan tebal jika diatas 0,75, maka nilai AOD dari plot 1, plot 2, dan plot 3 dipisah menjadi AOD tebal yang rata-ratanya sebesar 1,165 dengan rata-rata tinggi PBL adalah 2610 meter, AOD sedang yang rata-ratanya sebesar 0,372 dengan rata-rata tinggi PBL adalah 2701 meter, dan AOD tipis yang rata-ratanya sebesar 0,147 dengan rata-rata tinggi PBL adalah 3049 meter. Hubungan tersebut menunjukkan bahwa menurunnya nilai AOD tebal menjadi AOD sedang sebesar 10% maka meningkatkan ketinggian PBL sebesar 30,22%, dan ketika menurunnya nilai AOD sedang menjadi AOD tipis sebesar 10% maka dapat meningkatkan ketinggian PBL sebesar 22,42%. Perubahan tinggi PBL lebih besar dipengaruhi oleh AOD yang tebal ketika nilainya turun menjadi AOD yang sedang dibanding perubahan yang diakibatkan oleh AOD sedang menjadi AOD tipis.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

(34)

20

semakin besar dengan semakin tebalnya AOD, sehingga suhu di permukaan bumi menjadi lebih rendah yang akan berpengaruh pada kecilnya proses turbulensi udara sehingga menghasilkan tinggi planetary boundary layer yang rendah. Jika AOD semakin tipis, maka pengurangan radiasi matahari akan semakin sedikit, suhu di bumi akan tinggi dan berpengaruh pada proses pemanasan udara sehingga tinggi planetary boundary layer akan tinggi. Tinggi PBL menggunakan metode suhu potensial berkisar antara 1-4 km, lebih rendah dari literatur menurut Hashiguchi et al (1995) bahwa tinggi PBL pada siang hari di wilayah ekuator adalah setinggi 3 – 5 km. Hal ini mungkin karena penggunaan waktu data radiosonde mengikuti waktu data citra MODIS yaitu berkisar antara pukul 09.00 hingga 11.00 WIB, sehingga tinggi planetary boundary layer yang diperoleh menjadi lebih rendah karena radiasi matahari ke permukaan juga lebih kecil.

Saran

Penelitian selanjutnya akan lebih baik jika memasukkan komponen shear wind karena berkaitan terhadap nilai TKE (turbulence kinetic energy) dan lebih mendetailkan data AOD pada citra satelit sehingga resolusi yang diperoleh semakin tinggi dan nilai indeks AOD pada wilayah kajian semakin akurat. Kelemahan citra MODIS untuk penggunaan di wilayah ekuator adalah berupa sebaran awan sehingga mengakibatkan hilangnya data akibat tertutup oleh awan ketika satelit sedang memotret citra bumi, sehingga lebih baik lagi mencari data yang lengkap dan sangat detail supaya tidak terjadi kehilangan informasi untuk wilayah kajian digunakan dengan langkah selektif dalam penggunaan waktu penelitian yaitu mencari hasil citra yang memiliki sedikit sebaran awan.

DAFTAR PUSTAKA

Angevine, W. M., A. B. White, and S. K. Avery. 1994. Boundary-layer depth and entrainment zone characterization with a boundary-layer profiler. Boundary Layer Meteorol., 68, 375-385.

Arifin Zainal Agus dan Murni Aniati. 2002. Disain dan implementasi perangkat lunak klasifikasi citra inderaja multispektal secara Unsupervised. J. ICIS 2(1):49-57.

Arya PS. 1999. Air Pollution Meteorology and Dispersion. New York: Oxford University Press.

Bean, B. R., and E. J. Dutton, 1968: Radio Meteorology. Dover, 435 pp.

Bradley, R. S., F. T. Keimig, and H. F. Diaz. 1993. Recent changes in the North American Arctic boundary layer in winter, J. Geophys. Res. Vol 98: 8851– 8858. doi:10.1029/93JD00311.

Firestone, J. K., and B. A. Albrecht. 1986. The structure of the atmospheric boundary layer in the central equatorial Pacific during January and February of FGGE. Mon. Weather Rev. 114: 2219-2231.

(35)

21

Garratt, J. R. 1992. The Atmospheric Boundary Layer, 335 pp., Cambridge Atmospheric and Space Science Series, Cambridge Univ. Press.

Harisson M.E., Page S.E., dan Limin S.H. 2009. The global impact of Indonesian forest fires. Biologist, 156-163.

Hashiguchi, H., Yamanaka, M. D., Tsuda, T., Yamamoto, M., Fukao, S., Sribimawati, T., Harijono, S. W. B., Tobing, D. L., Wiryosumarto, H. 1995. Observations of the planetary boundary layer over equatorial Indonesia with an L band clear-air Doppler radar: Initial results. Radio Science. Vol. 30 No. 4 : 1043-1054. July-August 1995.

Levy, Robert C., Lorraine A. Remer, Didier Tanre, S. Mattoo and Yoram J. Kaufman. 2009. Algorithm for remote sensing of tropospheric aerosol over dark targets from modis: collections 005 and 051. Revision 2 of Product ID: MOD04/MYD04. Feb 2009.

Oke, T. R. 1988. Boundary Layer Climates 2nd ed. 435 pp. New York: Halsted Press.

Petty, Grant W. 2006. A First Course In Atmospheric Radiation Second Edition. Wisconsin: Sundog Publishing.

Poschl U. 2005. Atmospheric Aerosol: Composition, Transformation, Climate and Health Effects. 7520-7540.

Puruitaningrum, Widya Anggit. 2010. Penentuan kandungan aerosol di atmosfer menggunakan data terra/aqua modis. Skripsi. Depok: Universitas Indonesia Fakultas Teknik Departemen Elektro.

Saidel Dian J., Chi O.Ao dan Kun Li. 2010. Estimating Climatological Planetary Boundary Layer Heights from Radiosonde Observation : Comparison of Methods and Uncertainty Analysis. Journal of Geofhysical Research. Vol. 115, D16113, doi:10.1029/2009JD013680.

Savli Matic. 2012. Turbulence kinetic energy – TKE. Seminar 4th class. University of Ljubljana. Department of Meteorology.

Sorbjan, Z. 1989. Structure of the Atmospheric Boundary Layer, 317 pp., Prentice Hall, Englewood Cliffs, N.J. Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. 2011. Hal. 85

Thaisir, M. 2014. Pendugaan ketinggian planetary boundary layer (PBL) di beberapa lokasi di wilayah Indonesia menggunakan metode empiris. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor Fakultas MIPA Departemen Geofisika dan Meteorologi.

Tjernstrom M, Balsley BB, Svensson G, dan Nappo CJ. 2008. The Effects of Critical Layers on Residual Layer Turbulence. Atmospheric Sciences 66:468-480.

(36)

22

(37)

23

LAMPIRAN

Tabel 1 Data AOD pada beberapa plot Provinsi Riau dan sekitarnya setiap tanggal 1 bulan Juli sampai Oktober tahun 2007-2012.

Tahun Bulan AOD Plot 1 AOD Plot 2 AOD Plot 3 Rata-rata 0,242666667 0,44325 0,644368421

Tabel 2 Tinggi dalam satuan meter dengan penghitungan menggunakan rumus.

T (0C) P (mb) e w Tv (0C) Tv (K) ρ Z (m)

(38)

24 Kabupaten Pelalawan, Riau setiap tanggal 1 bulan Juli sampai Oktober tahun 2007-2012.

Tahun Bulan Tinggi Planetary Boundary Layer(Meter)

(39)

25

Lampiran 1. Metadata MOD-04

DatasetHeader Begin Version = "5.0"

DataSetType = ERStorage DataType = Raster

ByteOrder = LSBFirst CoordinateSpace Begin Datum = "WGS84"

Projection = "SUTM47" CoordinateType = EN Units = "METERS" Rotation = 0:0:0.0 CoordinateSpace End RasterInfo Begin

CellType = IEEE4BYTEREAL NrOfLines = 233

NrOfCellsPerLine = 270 NrOfBands = 1

RegistrationCellX = 0.0 RegistrationCellY = 0.0 RegistrationCoord Begin Eastings = -616152.69 Northings = 10561253.00 RegistrationCoord End CellInfo Begin

Xdimension = 10000.00 Ydimension = 10000.00 CellInfo End

(40)

26

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama SULVIANA WIDURI EKAYATNI merupakan anak tunggal yang lahir di Banyuwangi pada tanggal 19 Oktober 1993 dari pasangan Bapak Samsul Hidayat dan Ibu Sutyasrini. Tahun 2011 penulis lulus dari SMAN 1 Glagah, Banyuwangi dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur SNMPTN Undangan untuk jurusan Meteorologi Terapan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam-IPB.

Gambar

Gambar 1  Nilai AOD menggunakan citra MODIS pada beberapa plot di Riau dan
Gambar 2  Peta AOD dari data MOD-04  Aerosol Product 1 Juli 2009 plot 1
Gambar 4  Peta AOD dari data MOD-04  Aerosol Product 1 Juli 2009 plot 3
Gambar 5  Peta AOD dari data MOD-04  Aerosol Product 1 Agustus 2012 plot 3
+4

Referensi

Dokumen terkait