• Tidak ada hasil yang ditemukan

AOD di wilayah Riau dan sekitarnya pada bulan Juli hingga Oktober tahun 2007 hingga 2012 ditunjukkan pada Gambar 1. Korelasi yang terdapat antara dua plot yang semakin detail, yaitu plot 1 ke plot 2 adalah sebesar 0,531 sedangkan plot 2 ke plot 3 adalah sebesar 0,444. Gambar 1 menunjukkan nilai AOD secara keseluruhan, simbol warna biru adalah AOD pada plot 1, warna merah adalah

9

AOD pada plot 2, dan warna hijau adalah AOD pada plot 3. Terlihat bahwa secara umum nilai AOD pada plot 1 ke plot 2 dan ke plot 3, nilai indeksnya semakin tinggi yang mengartikan bahwa AOD akan semakin tebal. Nilai rata-rata AOD yang diperoleh pada plot 1 adalah 0,242, pada plot 2 adalah 0,443, dan pada plot 3 adalah 0,644. Hal tersebut dapat menjadi indikator telah terjadi kebakaran di wilayah Riau dan sekitarnya, karena nilai AOD yang semakin jauh dari wilayah Riau dan sekitarnya akan semakin tipis dan semakin tebal ketika wilayah cakupan potret citra berfokus pada wilayah Riau dan sekitarnya, selain itu juga menunjukkan adanya penyebaran aerosol akibat kebakaran, yang tebal di wilayah sumber aerosol, dan semakin tipis dengan semakin jauhnya dari sumber aerosol.

Gambar 1 Nilai AOD menggunakan citra MODIS pada beberapa plot di Riau dan sekitarnya per tanggal 1 bulan Juli hingga Oktober tahun 2007 hingga 2012

Terdapat beberapa plot dari 1 hingga 3 yang menunjukkan cakupan potret citra aerosol oleh MODIS sehingga mengakibatkan perbedaan skala peta yang dihasilkan. Gambar 2, 3, dan 4 dibawah ini merupakan contoh pada satu waktu yaitu bulan Juli 2009, menunjukkan perbedaan tampilan sebaran AOD serta cakupan daerahnya. Plot 1 pada Gambar 2 memiliki skala 1:6.000.000 yang menunjukkan secara keseluruhan sebaran aerosol yang terpotret citra satelit, plot 2 pada Gambar 3 memiliki skala 1:2.000.000 yang cakupannya lebih lokal di sekitar wilayah kajian, dan plot 3 pada Gambar 4 memiliki skala 1:800.000 yang secara fokus mencakup daerah kajian yaitu Riau dan sekitarnya. Sehingga penggunaan plot 1, plot 2, dan plot 3 mengartikan bahwa resolusi data menjadi lebih detail dalam menunjukkan ketebalan aerosol yang diwakili oleh indeks AOD.

10

Gambar 2 Peta AOD dari data MOD-04 Aerosol Product 1 Juli 2009 plot 1 Gambar 2 menampilkan sebaran aerosol secara luas, dengan diketahui skala peta adalah 1:6.000.000 menunjukkan bahwa cakupan peta masih secara menyeluruh. Warna yang sering muncul dapat diasumsikan menjadi nilai AOD sebagai keadaan atmosfer pada tanggal 1 Juli 2009, yaitu pada plot 1 adalah warna orange sehingga nilai AOD adalah sebesar 0,157 menunjukkan bahwa ketebalan aerosolnya tergolong tipis.

Gambar 3 Peta AOD dari data MOD-04 Aerosol Product 1 Juli 2009 plot 2 Persamaan waktu dengan Gambar 2 terdapat juga di Gambar 3 yaitu menampilkan sebaran aerosol pada tanggal 1 Juli 2009. Perbedaannya terlihat dari pembesaran penampakan wilayah kajian yaitu Riau dan sekitarnya sehingga wilayah cakupan yang ditampilkan pada peta AOD plot 2 semakin menyempit. Nilai AOD juga menjadi berubah karena warna yang sering muncul bukan lagi

11

orange seperti pada Gambar 2, namun berupa warna merah muda terang yang menunjukkan nilai AOD sebesar 0,271 dan menunjukkan bahwa ketebalan aerosol termasuk dalam kategori sedang.

Gambar 4 dengan tampilan sebaran aerosol plot 3 mengartikan bahwa cakupannya sangat lokal, yaitu hanya di daerah Pelalawan dan sebagian kecil wilayah sekitarnya. Sebaran aerosol disimbolkan dengan penyebaran warna yang disesuaikan dengan nilai rentang AOD, namun pada Gambar 4 terlihat bahwa di dalam wilayah Pelalawan tidak terdapat warna. Sebaran warna hanya tertangkap di sekitar wilayah kajian yang ditandai dengan adanya garis biru sebagai batas wilayah Pelalawan, sehingga penetapan nilai AOD tetap kembali melihat warna yang sering muncul seluas cakupan peta di plot 3 pada Gambar 4 yaitu ungu sehingga nilai AOD adalah sebesar 0,509 dan termasuk kategori sedang yang berkisar dari 0,2 sampai sama dengan 0,75.

Gambar 4 Peta AOD dari data MOD-04 Aerosol Product 1 Juli 2009 plot 3 Tidak adanya sebaran warna di dalam wilayah Pelalawan bukan mengartikan bahwa tidak ada aerosol di atmosfer di atas permukaan wilayah tersebut, namun dapat disebabkan dari kekurangan citra MODIS dalam menentukan kandungan aerosol suatu tempat secara akurat karena data pengindraan jauh berupa citra sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca seperti terdapatnya sebaran awan, garis-garis (striped), dan pancaran sinar matahari (sunlight) sehingga informasi yang diperoleh kurang akurat dan kurang sesuai dengan kondisi lapangan menyebabkan terjadinya kehilangan informasi yang ada di dalamnya. Menurut Puruitaningrum (2010), hambatan untuk mengetahui nilai AOD disebabkan oleh tingginya sebaran awan di wilayah tropis sehingga terdapat data dan informasi yang tidak terpotret oleh satelit.

12

Gambar 5 Peta AOD dari data MOD-04 Aerosol Product 1 Agustus 2012 plot 3 Gambar 5 adalah salah satu hasil layout peta yang menunjukkan adanya sebaran data AOD plot 3 khususnya di Pelalawan sebesar 1,377 sehingga termasuk kategori tebal. Terdapatnya sebaran warna di dalam wilayah Pelalawan hanya terdapat pada bulan Agustus 2011, Oktober 2011, dan Agustus 2012 sehingga dapat digunakan untuk membuat layout peta berskala 1:400.000 seperti pada Gambar 6 dibawah ini.

Gambar 6 Peta AOD dari data MOD-04 Aerosol Product 1 Agustus 2012 plot 4 Tinggi Planetary Boundary Layer Menggunakan Metode Empiris Di ekuator pada siang hari, PBL setinggi 3-5 km menurut Hashiguchi et al (1995) yang melakukan penelitian ketinggian planetary boundary layer di

13

wilayah tropis, terutama di daerah garis khatulistiwa. Penelitian juga mengukur berbagai parameter meteorologi seperti angin permukaan, suhu, kelembaban, curah hujan, dan radiasi netto inframerah matahari dengan instrumen standar. Hasil keluaran diperoleh bahwa ketinggian maksimum pengamatan BLR (boundary layer radar) tergantung pada intensitas echo (gema) dari atmosfer. Dalam suasana yang cerah tanpa hujan, intensitas gema meningkat dengan meningkatnya nilai kelembaban, suhu, dan gradien vertikal. Hal ini yang menyebabkan tinggi cakupan terbatas di bawah 2,2 km (dengan probabilitas → 80%) di Shigaraki, sementara terjadi peningkatan menjadi 3,2 km di Serpong (tempat penelitian untuk mewakili wilayah tropis di ekuator) karena kelembaban dan suhu yang lebih tinggi. Pada hari-hari yang cerah, tinggi cakupan tertinggi adalah saat tengah hari dan terendah saat malam hari. Sehingga dapat dianggap bahwa turbulensi dan fluktuasi kecepatan vertikal yang kuat dalam lapisan pencampuran (mixing layer) dan perbedaan besar dalam distribusi vertikal kelembaban dan suhu berkontribusi pada pembentukan lapisan echo yang kuat ketika diamati dengan menggunakan BLR (Angevine et al 1994; Hashiguchi et al 1995). Menurut teori klasik Ekman, ketebalan PBL dapat diestimasi menggunakan (K/f)1/2, dimana k adalah difusivitas eddy dan f adalah parameter Coriolis. Jika K adalah konstan, rasio ketebalan di Serpong (60S) dengan yang di Shigaraki (350N) menjadi (sin 350/sin 60)1/2 ~2,3. Prediksi ini tampak secara konsisten dengan hasil pengamatan, meskipun interpretasi dari PBL di wilayah khatulistiwa tidak begitu sederhana (Firestone dan Albrecht 1986). K dapat diperkirakan dari kekuatan echo (lebar spektral atau intensitas) setelah menghilangkan pengaruh background angin, kelembaban, dan suhu. Oleh sebab itu, dipilih metode gradien suhu potensial untuk mewakili penggunaan metode empiris dalam menentukan ketinggian planetary boundary layer di wilayah Pelalawan yang merupakan wilayah tropis dan berada di ekuator dengan nilai PBL yang dihasilkan berkisar pada nilai 3-5 km.

Gambar 7 Tinggi planetary boundary layer dari data radiosonde menggunakan metode gradien suhu potensial di Pelalawan bulan Juli hingga Oktober tahun 2007

hingga 2012

Gambar 7 menunjukkan bahwa pada tahun 2007 hingga 2009, tinggi planetary boundary layer berkisar 2,5 hingga 4 km namun pada tahun 2010 hingga 2012 hanya berkisar pada 1 km hingga 3 km, dan terjadi perbedaan yang tinggi yaitu pada bulan Agustus dan Oktober 2010, dan Oktober 2011 dengan

14

tinggi PBL mencapai hingga 6 – 6,5 km. Terdapat 4 simbol yang mewakilkan bulan yaitu Juli, Agustus, September, dan Oktober. Terlihat pada Gambar 7 simbol merah yang mewakili bulan Agustus, rata-rata mempunyai tinggi planetary boundary layer yang paling tinggi dibanding bulan lainnya, yang paling terlihat adalah pada tahun 2010 yang mencapai hingga 6 km. Terdapat simbol silang ungu yang terlihat jelas paling tinggi yang menunjukkan nilai planetary boundary layer pada bulan Oktober tahun 2011 yaitu sekitar 6,5 km. Secara umum, belum pernah ada penelitian yang menghasilkan tinggi PBL di ekuator setinggi 6,5 km, sehingga data tersebut disimpulkan overestimasi. Hal lain yang memungkinkan terjadinya tinggi PBL yang sangat besar adalah menurut Zunaidi (2009), faktor musim yaitu pada bulan Agustus hingga Oktober merupakan bulan kering sehingga suhu udara di permukaan menjadi sangat tinggi dan mencapai maksimum mengakibatkan proses turbulen semakin kuat, selain itu dari faktor karakter lahan Pelalawan, menurut Subiksa (2011) yaitu berupa lahan gambut yang berwarna gelap sehingga cenderung menyerap suhu mengakibatkan lahan yang terpapar panas akan sangat panas.

Tinggi PBL sangat berkaitan dengan faktor permukaan, namun terdapat juga faktor yang juga mempengaruhi proses pembentukan tinggi PBL yang terjadi di lapisan atmosfer. Proses yang penting di siang hari ini adalah proses entrainment, yaitu proses yang dapat mempercepat bertambahnya ketinggian PBL di atmosfer selain faktor suhu permukaan. Terbentuk akibat dari proses turbulen yaitu saat proses pencampuran panas kuat, mengakibatkan terjadinya overshoot yaitu udara dari dalam lapisan PBL keluar menuju atmosfer bebas sehingga terjadi konversi massa udara dan udara dari lapisan atmosfer bebas masuk menggantikan udara yang keluar dari lapisan PBL. Proses yang terjadi selanjutnya adalah kembalinya udara yang keluar dari lapisan PBL, yaitu turun kembali masuk ke lapisan PBL karena densitinya yang lebih rendah dibanding lingkungannya saat di lapisan atmosfer bebas, sedangkan udara dari atmosfer bebas yang masuk ke dalam lapisan PBL mengalami proses pencampuran thermal, dengan suhu yang lebih tinggi mengakibatkan peningkatan proses turbulensi sehingga udara di lapisan PBL semakin bersifat chaotic. Terjadinya proses entrainment ini mengartikan bahwa ketinggian PBL bukan hanya disebabkan oleh faktor permukaan, namun juga proses-proses yang terjadi di lapisan atmosfer dengan tingkat perubahan dalam kurun waktu yang sangat cepat.

Menurut Hashiguchi et al (1995) ketinggian planetary boundary layer pada siang hari di wilayah ekuator adalah setinggi 3 – 5 km. Hasil dari pengamatan menggunakan radiosonde untuk daerah Pelalawan ini sedikit berbeda, disebabkan oleh waktu dari data radiosonde yang digunakan tidak tepat pada siang hari yaitu sekitar pada pukul 12.00 hingga 14.00 WIB saat radiasi matahari berada pada titik tertinggi dan maksimal dalam memancarkan panas radiasi ke permukaan bumi. Penggunaan waktu dari data radiosonde mengikuti waktu data citra MODIS yaitu berkisar antara pukul 09.00 hingga 11.00 WIB, sehingga tinggi planetary boundary layer yang diperoleh menjadi lebih rendah karena radiasi matahari ke permukaan juga lebih kecil. Ketinggian planetary boundary layer dipengaruhi oleh banyak hal, seperti radiasi matahari yang berpengaruh pada proses pemanasan, struktur permukaan, topografi wilayah, dan momentum berupa wind shear di atmosfer. Oleh karena itu, planetary boundary layer dapat menunjukkan kondisi dari suatu wilayah dalam waktu tertentu jika segala hal kompleks yang

15

mempengaruhi terbentuknya planetary boundary layer dapat diidentifikasi dengan benar.

Gambar 8 menampilkan keseluruhan data tinggi planetary boundary layer dan AOD pada plot 1 yaitu peta yang berskala 1:6.000.000. Analisis yang dapat dilakukan adalah ketika tinggi planetary boundary layer dari bulan ke bulan meningkat, nilai AOD menjadi menurun dan sebaliknya ketika tinggi planetary boundary layer menurun dari bulan ke bulan, nilai AOD meningkat seperti yang terlihat pada data tersedia yaitu bulan Agustus sampai Oktober 2007, Agustus 2009 sampai Juli 2010, Oktober 2010 sampai September 2011, yang menurun lalu meningkat, dan nilai AOD meningkat menurun. Ketidakselarasan tinggi planetary boundary layer dengan nilai AOD secara umum menunjukkan hubungan negatif yang berarti jika AOD tipis, maka tinggi planetary boundary layer besar, dan jika AOD tebal tinggi, maka planetary boundary layer kecil. Namun terdapat juga pada Gambar 8 yang menunjukkan kejadian bahwa semakin tinggi PBL, maka AOD juga semakin tebal seperti pada bulan Oktober 2011 dengan tinggi PBL sebesar 6,5 km dan nilai AOD adalah 0,55. Hal ini dapat disebabkan oleh cakupan wilayah pada AOD plot 1 masih sangat luas, karena jika penampakan diperbesar yaitu menjadi AOD plot 2 hingga AOD plot 3 yang semakin fokus pada wilayah Riau dan sekitarnya, maka hubungan yang terjadi untuk bulan Oktober 2011 adalah negatif karena nilai rentang AOD semakin tebal dari plot 3 ke plot 2 ke plot 1 sehingga sebaran AOD akan semakin tebal dan mengakibatkan AOD pada bulan Oktober 2011 bergeser kebawah.

Gambar 8 Plotting time series tinggi planetary boundary layer dan nilai AOD plot 1 setiap tanggal 1 pada bulan Juli sampai Oktober tahun 2007-2012

Hal yang sama juga terjadi pada Gambar 9 seperti Gambar 8, bahwa simbol titik yang mewakili nilai AOD akan bernilai tinggi jika simbol garis yang mewakili tinggi planetary boundary layer bernilai rendah. Perbedaan yang terdapat antara Gambar 8, 9, dan 10 adalah range nilai AOD pada garis y-secondary. Gambar 8 dengan nilai AOD untuk plot 1 memiliki range nilai dari 0 sampai 0,6 sedangkan Gambar 9 dengan nilai AOD untuk plot 2 memiliki range nilai dari 0 sampai 1,2 dan Gambar 10 dengan data AOD pada plot 3 memiliki range nilai dari 0 sampai 2,5.

16

Gambar 9 Plotting time series tinggi planetary boundary layer dan nilai AOD plot 2 setiap tanggal 1 pada bulan Juli sampai Oktober tahun 2007-2012

Gambar 8, 9, dan 10 menunjukkan bahwa dengan menggunakan tinggi planetary boundary layer yang sama, namun memiliki nilai range y-secondary yang berbeda, yaitu dari Gambar 8 sampai 10 mengalami peningkatan range nilai maksimum pada data AOD. Hal tersebut mengindikasikan terdapat kemungkinan wilayah Riau dan sekitarnya menjadi sumber aerosol untuk atmosfer, seperti terjadinya kebakaran hutan dan aktifitas antropogenik. Semakin tebal AOD dengan semakin mendekatnya pada wilayah Riau dan sekitarnya menunjukkan telah terjadi pendispersian aerosol oleh angin dan faktor cuaca lainnya.

Gambar 10 Plotting time series tinggi planetary boundary layer dan nilai AOD plot 3 setiap tanggal 1 pada bulan Juli sampai Oktober tahun 2007-2012

Nilai tinggi planetary boundary layer pada waktu yang sama dengan waktu pengambilan citra oleh satelit dapat mewakili ketinggian planetary boundary layer dari cakupan AOD yang paling luas yaitu pada plot 1, hingga cakupan AOD yang fokus hanya pada wilayah Pelalawan yaitu pada plot 3. Hal ini karena suatu lapisan atmosfer bersifat kontinu, tidak diskret yang berarti tidak terputus-putus, sehingga diasumsikan bahwa lapisan tinggi planetary boundary layer yang diperoleh dapat mencakup tinggi planetary boundary layer seluas cakupan AOD plot 3, plot 2, hingga plot 1. Artinya adalah di semua wilayah cakupan AOD plot 3, plot 2, hingga plot 1 memiliki ketinggian planetary boundary layer yang sama.

17

Hubungan AOD dengan Tinggi Planetary Boundary Layer

AOD menunjukkan ketebalan aerosol di atmosfer, sehingga berdasarkan jenis aerosolnya ada yang bersifat menghalangi sinar radiasi matahari ke permukaan bumi. Hal ini akan mempengaruhi ketinggian planetary boundary layer yang salah satu faktor pembentukannya adalah berupa thermal terutama akibat dari penyinaran matahari ke permukaan bumi. Gambar 11, 12, dan 13 menunjukkan hubungan nilai AOD pada plot 1, plot 2, dan plot 3 terhadap ketinggian planetary boundary layer. Hubungan antara nilai AOD di plot 1 dengan ketinggian planetary boundary layer dapat ditunjukkan dengan persamaan yaitu y = 4677,9x + 1661,2 dengan trendline yang naik, kemudian untuk hubungan nilai AOD di plot 2 dengan ketinggian planetary boundary layer ditunjukkan dengan persamaan yaitu y = 384,65x + 2625,8 dengan trendline yang lebih landai dibanding pada Gambar 11, dan persamaan pada AOD di plot 3 dengan ketinggian planetary boundary layer yaitu y = -72,519x + 2739 dengan trendline yang menurun. Informasi tambahan diperoleh dengan pembuatan peta berskala 1:400.000 yang terdiri dari 3 data AOD, disebabkan hasil dari pengolahan citra yang menunjukkan adanya nilai AOD di dalam wilayah Pelalawan hanya pada Agustus 2011, Oktober 2011, dan Agustus 2012, ditunjukkan pada Gambar 14 dengan trendline yang juga tetap menurun dengan persamaan negatif yaitu y = -1752,9x + 4549.

Gambar 11 Hubungan AOD pada plot 1 dengan tinggi planetary boundary layer per tanggal 1 bulan Juli hingga Oktober tahun 2007 hingga 2012

Gambar 12 Hubungan AOD pada plot 2 dengan tinggi planetary boundary layer per tanggal 1 bulan Juli hingga Oktober tahun 2007 hingga 2012

18

Gambar 13 Hubungan AOD pada plot 3 dengan tinggi planetary boundary layer per tanggal 1 bulan Juli hingga Oktober tahun 2007 hingga 2012

Gambar 14 Hubungan AOD pada plot 4 dengan tinggi planetary boundary layer per tanggal 1 bulan Juli hingga Oktober tahun 2007 hingga 2012

Gambar 11 hingga 14 menghasilkan R2 yaitu 0,0947, 0,005, 0,0005, dan 0,0823 dengan menggunakan persamaan linear yang dimaksudkan untuk menunjukkan hubungan yang terjadi pada AOD dengan tinggi PBL, namun pada kenyataan di alam, hubungan yang terjadi mungkin sekali tidak hanya bersifat linear karena kompleksnya interaksi sehingga nilai R2 yang dihasilkan kecil. Gambar 13 dan Gambar 14 menunjukkan persamaan dengan trendline menurun, yaitu hubungan negatif antara AOD plot 3 dan plot 4 dengan ketinggian planetary boundary layer. Gambar 11 dan 12 yaitu pada plot 1 dan plot 2 yang menunjukkan trend positif, hal ini dapat disebabkan oleh keterbatasan data yang digunakan, akan tetapi dari plot 1 sampai plot 4 menunjukkan bahwa hubungan negatif antara AOD dan tinggi PBL cenderung semakin kuat dengan bertambah detailnya informasi yang digunakan. Plot 3 dan plot 4 yang memiliki penampakan peta yang lebih mendetail karena cakupannya dikhususkan di wilayah Riau dan sekitarnya sehingga mampu memperoleh hasil yang lebih akurat yaitu hubungan AOD dengan ketinggian planetary boundary layer adalah negatif, artinya jika AOD di atmosfer semakin tebal, maka ketinggian planetary boundary layer akan semakin rendah, dan sebaliknya jika AOD semakin tipis mengartikan bahwa kandungan aerosol juga semakin sedikit maka ketinggian planetary boundary layer akan semakin tinggi. Hal tersebut dikarenakan aerosol yang berada pada lapisan atmosfer dapat menghalangi radiasi matahari yang dapat masuk ke permukaan bumi. Sehingga dengan semakin tebalnya AOD, maka jumlah energi panas matahari yang dapat ditransmisikan ke permukaan akan semakin sedikit. Permukaan bumi akan memiliki suhu yang semakin rendah jika radiasi matahari yang diterima semakin sedikit, sehingga ketinggian planetary boundary layer

19

akan semakin rendah karena faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu gerakan turbulen dan thermal yang tersedia semakin kecil.

Menggunakan literatur menurut Levy et al (2009) bahwa AOD dikategorikan tipis jika nilai dibawah sama dengan 0,2, sedang jika antara 0,2 sampai sama dengan 0,75 dan tebal jika diatas 0,75, maka nilai AOD dari plot 1, plot 2, dan plot 3 dipisah menjadi AOD tebal yang rata-ratanya sebesar 1,165 dengan rata-rata tinggi PBL adalah 2610 meter, AOD sedang yang rata-ratanya sebesar 0,372 dengan rata-rata tinggi PBL adalah 2701 meter, dan AOD tipis yang rata-ratanya sebesar 0,147 dengan rata-rata tinggi PBL adalah 3049 meter. Hubungan tersebut menunjukkan bahwa menurunnya nilai AOD tebal menjadi AOD sedang sebesar 10% maka meningkatkan ketinggian PBL sebesar 30,22%, dan ketika menurunnya nilai AOD sedang menjadi AOD tipis sebesar 10% maka dapat meningkatkan ketinggian PBL sebesar 22,42%. Perubahan tinggi PBL lebih besar dipengaruhi oleh AOD yang tebal ketika nilainya turun menjadi AOD yang sedang dibanding perubahan yang diakibatkan oleh AOD sedang menjadi AOD tipis.

Dokumen terkait