• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keanekaragaman Jenis Dan Jenis Pakan Kelelawar Sub Ordo Megachiroptera Di Taman Wisata Alam Gunung Meja Manokwaripapua Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keanekaragaman Jenis Dan Jenis Pakan Kelelawar Sub Ordo Megachiroptera Di Taman Wisata Alam Gunung Meja Manokwaripapua Barat"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

KEANEKARAGAMAN JENIS DAN JENIS PAKAN

KELELAWAR SUB ORDO MEGACHIROPTERA

DI TAMAN WISATA ALAM GUNUNG MEJA

MANOKWARI PAPUA BARAT

PETRUS IZAK BUMBUT

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keanekaragaman Jenis dan Jenis Pakan Kelelawar Sub Ordo Megachiroptera di Taman Wisata Alam Gunung Meja Manokwari Papua Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2016

Petrus Izak Bumbut

NIM E351120021

(4)

RINGKASAN

PETRUS IZAK BUMBUT. Keanekaragaman jenis dan jenis pakan kelelawar sub ordo Megachiroptera di Taman Wisata Alam Gunung Meja ManokwariPapua Barat. Dibimbing oleh AGUS PRIYONO KARTONO dan IBNU MARYANTO.

Kelelawar yang memanfaatkan sumberdaya (pakan dan habitat) secara bersama akan berbeda secara morfologi, ekologi, dan tingkah laku untuk meminimalisir persaingan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman jenis dan menginvestigasi penggunaan sumberdaya oleh kelelawar Megachiroptera dari aspek kesamaan penggunaan sumberdaya, niche overlap penggunaan sumberdaya, hubungan morfometrik craniodental dan tipe mahkota bunga, dan komposisi pakan kelelawar buah khususnya di Taman Wisata Alam Gunung Meja (TWAGM). Data dianalisis menggunakan analisis komponen utama (PCA), analisis koresponden kanonik (CCA), analisis koresponden (CA),

euclidean distance, chi square, Anova, dan niche overlap index.

Hasil studi menunjukan bahwa terdapat tujuh jenis kelelawar yang ditemukan. Tumbuhan pakan yang teridentifikasi dari polen terdiri 55 jenis dari 29 famili tumbuhan dan 11 tipe mahkota bunga. Berdasarkan kesamaan relung sumberdaya habitat, D. magna dan R. amplexicaudatus cenderung menyukai habitat kebun buah campuran, sedangkan D. minor, M. minimus, S. australis, N. aello, dan N. albiventer cenderung memilih hutan primer. Niche overlap index

menunjukkan bahwa tumpang tindih relung sumberdaya habitat yang tinggi terjadi D. minor dengan M. minimus dan N. aello. Berdasarkan kesamaan relung sumberdaya pakan, D. magna, D. minor dan M. minimus cenderung berasosiasi sangat dekat, sedangkan R. amplexicaudatus, N. albiventer, N. aello, dan S. australis membentuk kelompok asosiasi tersendiri. Nilai indeks niche overlap

sumberdaya pakan antar jenis kelelawar secara keseluruhan kurang dari 50% yang mengindikasikan bahwa tidak terjadi persaingan interspesifik terhadap pemanfaatan sumberdaya pakan. Karakter tengkorak menjadi penciri bagi kelelawar yang memanfaatkan tipe mahkota caryophyllaceous, rosaceous corona,

apetalouse, dan tubular. Karakter gigi kelelawar mencirikan kelelawar yang memanfaatkan tipe mahkota bunga rosaceouse, sepalloid, dan papilionaceous.

(5)

SUMMARY

PETRUS IZAK BUMBUT. Species diversity and food species of megachiropteran bats in Natural Tourism Park of Gunung Meja. Supervised by AGUS PRIYONO KARTONO and IBNU MARYANTO.

Bats utilizing resources together will differ morphologically, ecologically, and behaviorally. This study aimed to measure species diversity and to investigate resource use by Megachiropteran bats. Data were analyzed using Principal Component Analysis (PCA), Canonical Correspondence Analysis (CCA), Correspondence Analysis (CA), euclidean distance, chi square, Anova, and niche overlap index.

The result showed seven bat species were captured in three habitat types. Plant as food identified from pollen comprised 55 species from 29 families and 11 types of corolla. D. magna and R. amplexicaudatus preferred mixed fruit plantation, whilst other bat species tended to choose primary forest. D. minor

tended to have high niche overlap against M. minimus and N. aello. According to similarity of food resource niche, D. magna, D. minor, and M. minimus tended to closely associate, in contrast, R. amplexicaudatus, N. albiventer, N. aello, and S. australis were grouped correspondingly. Niche overlap index of food resource among bat species were overall less than 50%. This indicated that there was no interspecies competition to food resource. Variables of cranial were characteristics for bat utilizing corolla types of caryophyllaceous, rosaceous corona, apetalouse, and tubular. Variables of bat dentary characterized bat utilizing corolla types of

rosaceouse, sepalloid, and papilionaceous.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

KEANEKARAGAMAN JENIS DAN JENIS PAKAN

KELELAWAR SUB ORDO MEGACHIROPTERA

DI TAMAN WISATA ALAM GUNUNG MEJA

MANOKWARI PAPUA BARAT

PETRUS IZAK BUMBUT

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmat dan berkat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2014 ini ialah Keanekaragaman Jenis dan Jenis Pakan Kelelawar Sub Ordo Megachiroptera di Taman Wisata Alam Gunung Meja Manokwari Papua Barat.

Terima kasih dan penghargaan khusus penulis ucapkan kepada:

1. Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si dan Prof. Dr. Ir. Ibnu Maryanto, M.Si yang telah memberikan arahan, saran, dan masukkan selama proses pembimbingan tesis.

2. Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F.Trop. selaku dosen penguji luar komisi yang telah memberikan saran dan masukan demi penyempurnaan penulisan tesis ini.

3. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas bantuan studi melalui Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) tahun 2012 – 2014.

4. Rektor Universitas Negeri Papua dan Dekan Fahutan Unipa atas segala dukungan dan bantuannya.

5. Spesial kepada istri terkasih Maria FF Yekbat serta kedua anakku Benedictus Aquinas Silvano Bumbut dan Paulus Rudi Kanggrinon yang penuh kesabaran, perhatian, doa dan motivasi selama penulis menempuh studi.

6. Kepada ayahanda, ibunda, dan seluruh anggota keluarga, penulis ucapkan terima kasih atas segala doa dan kasih sayangnya.

7. Teman-teman seperjuangan Mayor Konservasi Biodiversitas Tropika (KVT) tahun 2012 untuk kebersamaan dan dukungannya selama ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2016

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

I. PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

Kerangka Pemikiran 3

II. METODE 5

Waktu dan Tempat Penelitian 5

Alat dan Bahan 5

Jenis dan Metode Pengumpulan Data 6

Metode Pengolahan dan Analisis Data 9

III. HASIL DAN PEMBAHASAN 12

Hasil 12

Pembahasan 25

IV. SIMPULAN DAN SARAN 34

Simpulan 34

Saran 35

DAFTAR PUSTAKA 35

LAMPIRAN 39

RIWAYAT HIDUP 51

DAFTAR TABEL

1. Jumlah individu kelelawar per spesies yang diketemukan

pada ketiga tipe habitat 12

2. Nilai indeks keanekaragaman pada ketiga tipe habitat 13 3. Nilai indeks relung tumpang tindih sumberdaya habitat

antar jenis kelelawar 14

4. Komposisi jenis tumbuhan pakan kelelawar berdasarkan famili dan jumlah individu kelelawar diketemukan polen spesies tumbuhan 15 5. Nilai kesamaan relung sumberdaya pakan dan nilai chi-square

(12)

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka pikir penelitian 4

2. Peta lokasi penelitian di kawasan TWAGM Manokwari 5 3. Penampakan bagian dorsal dan ventral tengkorak, lateral tengkorak

dan gigi Acerodon jubatus 7

4. Tipe-tipe mahkota bunga 8

5. Bentuk modifikasi tipe mahkota bunga 9

6. Pengelompokkan kelelawar berdasarkan sumberdaya habitat 13

7. Komposisi pakan kelelawar 14

8. Kecenderungan pemilihan jenis sumberdaya pakan oleh kelelawar

pada PC1 dan PC2 17

9. Kecenderungan pemilihan jenis sumberdaya pakan oleh kelelawar

pada PC1 dan PC3 18

10. Kesamaan penggunaan sumberdaya pakan oleh jenis-jenis kelelawar 19 11. Pengelompokkan kelelawar berdasarkan tipe mahkota bunga 21 12. Hubungan morfometrik tengkorak dan gigi (craniodental)

terhadap tipe bentuk mahkota bunga pada axis 1 dengan axis 2 22 13. Hubungan morfometrik tengkorak dan gigi (craniodental)

terhadap tipe bentuk mahkota bunga pada axis 1 dengan axis 3 24

DAFTAR LAMPIRAN

1. Hasil identifikasi polen pada kelelawar Megachiroptera di TWAGM 39 2. Hasil penghitungan analisis cluster variable jenis kelelawar

Megachiroptera berdasarkan kesamaan sumberdaya habitat menggunakan

Software Minitab 14 48

3. Hasil penghitungan analisis cluster variable jenis kelelawar

Megachiroptera berdasarkan kesamaan sumberdaya habitat menggunakan

Software Minitab 14 48

4. Hasil penghitungan Correspondence Analysis jenis kelelawar Megachiroptera dan tipe mahkota bunga menggunakan

software Minitab 14 48

5. Total variance explained PrincipleComponentAnalysis

peubah craniodental pada tampilan software SPSS version 16 49 6. Hasil penghitungan Canonical Correspondence Analysis

morfometri craniodental dan tipe mahkota bunga menggunakan

software Canoco for Windows 4.5 50

7. Total variance explained PrincipleComponentAnalysis

(13)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ketersediaan dan penyebaran pakan sangat menentukan kelimpahan dan komposisi kelelawar buah (Heithaus et al. 1975, Hodgkinson et al. 2004, Maryanto et al. 2011). Ketersediaan tumbuhan sebagai pakan bagi kelelawar sangat bervariasi secara temporal sepanjang tahun yang dipengaruhi oleh masa pembungaan dan pembuahan tumbuhan tersebut terutama di daerah tropis, ketika pada musim kering tumbuhan akan berbunga dan pada musim penghujan tumbuhan akan berbuah (Heithaus et al. 1975). Selain itu, variasi spasial habitat berdasarkan tipe habitat dan ketinggian tempat juga mempengaruhi kehadiran spesies kelelawar terkait dengan ketersediaan sumber pakan bagi kelelawar buah (Maryanto et al. 2011). Kelelawar berperan penting sebagai jasa ekosistem dalam jasa regulasi ekosistem (seperti pengontrolan populasi serangga dan penyerbukan tumbuhan) dan jasa pendukung ekosistem seperti penyebar biji (Kunz et al. 2011, Ghanem & Voigt 2012). Kelelawar insectivorous memainkan peran penting sebagai agen kontrol biologi terhadap serangga hama di ekosistem pertanian (Leelapaibul et al. 2005). Kelelawar frugivorous menyediakan jasa ekosistem melalui penyerbukan tumbuhan dan penyebaran biji (Kunz et al. 2011, Ghanem & Voigt 2012).

Strategi adaptasi spesies kelelawar terhadap ketersediaan sumberdaya pakan secara fungsional digambarkan melalui morfologi tengkorak (cranial morphology) (Dumont 2004). Beberapa studi sebelumnya juga telah mendokumentasikan bahwa terdapat hubungan antara morfologi tengkorak kelelawar dengan karakteristik sumberdaya pakannya, terutama kelelawar Phyllostomidae di daerah sub tropis (Aguire et al. 2002, Cakenberghe et al. 2002, Dumont 2004), sedangkan untuk kelelawar Pteropodidae masih sangat jarang diteliti, namun Campbell et al. (2007) menemukan juga bahwa morfologi craniodental juga menentukan pemisahan relung secara interspesifik pada Cynopterus spp. di Semenanjung Malaysia.

Ukuran tubuh kelelawar, selain asosiasi habitat dan morfologi craniodental, merupakan dimensi utama relung (niche) dalam memfasilitasi koeksistensi spesies kelelawar pemakan buah (famili Pteropodidae) (Campbell et al. 2007). Ukuran tubuh kelelawar buah mempengaruhi penggunaan sumberdaya pakan dan habitat (Fleming 1991). Fleming (1991) telah membuktikan hipotesisnya bahwa kelelawar buah, genus Carollia, dengan ukuran tubuh relatif kecil cenderung mengkonsumsi pakan yang berukuran relatif kecil namun kelimpahan dan kandungan nutrisinya tinggi serta pada umumnya kelelawar ini cenderung dijumpai pada habitat hutan sekunder.

(14)

pengelompokkan tersebut terdiri dari kelompok B1 yang merupakan asosiasi pegunungan tinggi (1800-1200 mdpl), kelompok B2 merupakan asosiasi hutan dataran dan hutan pegunungan (600-1800 mdpl), kelompok B3 hanya ditemukan

Pteropus alecto di daerah rawa dimana jenis ini adalah jenis migran, dan kelompok B4 adalah asosiasi dataran rendah dan pegunungan rendah (300-1200 mdpl). Peneliti lain, Soegiharto et al. (2010) menemukan bahwa tipe mahkota, tipe polen dan ukuran polen dalam pengelompokan peran ekologis kelelawar pemakan buah di Kebun Raya Bogor. Selain itu, Choirunnisa (2015) juga menemukan bahwa hubungan antara karakter morfometri sayap dan tipe tutupan hutan serta hubungan karakter craniodental dan tipe mahkota bunga. Studi-studi tersebut telah mengkaji koeksistensi kelelawar buah dari aspek ekologi (pakan, tipe habitat, morfometrik craniodental dan sayap, dan ketinggian tempat) terutama di wilayah Indonesia bagian barat. Bila dibandingkan dengan Papua, penelitian aspek ekologi kelelawar pemakan buah masih relatif belum banyak diteliti sehingga perlu kajian aspek ekologi kelelawar pemakan buah ditinjau dari morfometri craniodental (morfologi) dan penggunaan sumberdaya (ekologis).

Berdasarkan pertimbangan di atas maka perlu dikaji penggunaan sumberdaya baik pakan dan ruang oleh kelelawar pemakan buah ditinjau dari keanekaragaman jenis kelelawar buah, kesamaan penggunaan sumberdaya (pakan dan habitat), perbedaan morfometrik craniodental, dan komposisi pakan kelelawar buah khususnya di Taman Wisata Alam Gunung Meja (TWAGM).

1.2 Perumusan Masalah

Taman Wisata Alam Gunung Meja (TWAGM) merupakan salah satu kawasan konservasi seluas 460.25 ha berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 19/Kpts/Um/I/1980. Kawasan ini merupakan holotype hutan dataran rendah yang memiliki fungsi utama sebagai fungsi hidrologi, keseimbangan ekosistem, dan biodiversitas.

Perkembangan kota Manokwari yang cukup pesat dan tuntutan kebutuhan lahan pertanian oleh masyarakat urban maka sebagian kawasan TWAGM sudah dirambah untuk lahan pertaninan dan pembangunan sarana fisik lain seperti menara telkomsel, perumahan dan jalan alternatif. Selain itu, pemanfaatan kayu dari dalam kawasan untuk kebutuhan rumah bagi penduduk di sekitar kawasan turut menjadi ancaman bagi keberadaan TWAGM. Desakan pembangunan dan aktivitas masyarakat yang intensif terhadap keberadaan TWAGM juga berdampak terhadap keseimbangan ekosistem, degradasi kawasan dan biodiversitas, serta dapat menurunkan fungsi hidrologi kawasan sebagai sumber air minum.

(15)

tanaman pertanian sebagai sumber pakan atau terbang ke kawasan hutan lain dengan jarak jauh (Fukuda et al. 2009).

Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan penelitian (research question) sebagai berikut:

1. Bagaimana keanekaragaman spesies kelelawar pemakan buah di kawasan TWAGM sebagai daerah mencari pakan (foraging area)?

2. Bagaimana kesamaan penggunaan sumberdaya (pakan dan ruang) dari kelelawar pemakan buah di kawasan TWAGM?

3. Bagaimana hubungan peubah morfologi craniodental dan tipe mahkota bunga?

4. Bagaimana jenis pakan kelelawar pemakan buah di kawasan TWAGM?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengukur tingkat keanekaragaman spesies kelelawar pemakan buah di TWAGM.

2. Menentukan kesamaan relung sumberdaya (pakan dan ruang/habitat) kelelawar pemakan buah di TWAGM

3. Mengukur hubungan antara morfometrik tengkorak dan gigi (craniodental) dan pakan kelelawar.

4. Mengidentifikasi pakan kelelawar pemakan buah di TWAGM.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi dasar dan masukan bagi pihak pengelola TWAGM dalam pengelolaan kawasan terutama upaya konservasi spesies kelelawar buah dan sumberdayanya (pakan dan ruang).

1.5 Kerangka Pemikiran

Keberadaan TWAGM sebagai holotype ekosistem hutan dataran rendah pesisir sangat berperan penting sebagai sumber genetik dan habitat bagi berbagai hidupan liar. Kawasan ini memiliki keanekaragaman spesies baik flora maupun fauna. Taksa mamalia dari ordo Chiroptera belum terdokumentasi dibanding taksa aves (burung) ataupun vegetasi berkayu dan vegetasi non kayu seperti anggrek, palem, dan tumbuhan paku.

Keberadaan kawasan hutan TWAGM berperan juga sebagai habitat dan sebagai sumber pakan bagi satwaliar termasuk kelelawar pemakan buah. Di sisi lain, kelelawar buah memiliki peran penting secara ekologis bagi ekosistem hutan tropis dalam penyebaran benih (seed dispersal), penyerbukan (pollinator), serta regenerasi hutan. Namun kondisi kawasan hutan TWAGM saat ini mendapat ancaman serius akibat perambahan hutan untuk lahan pertanian, pengambilan kayu ilegal dan aktivitas lain dari manusia seperti perambahan lahan untuk perkampungan, perburuan liar, dan pembangunan menara telkomsel. Ancaman ini juga memiliki dampak terhadap populasi kelelawar pemakan buah yang menggunakan kawasan ini sebagai habitat mencari makan (foraging area).

(16)

dalam Fukuda et al. 2009). Secara rinci kerangka pikir penelitian disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

Ketersediaan pakan yang bervariasi secara temporal pada kawasan hutan tropis termasuk pada kawasan hutan TWAGM menjadi faktor penting terhadap kehadiran spesies kelelawar buah pada kawasan tertentu. Pemanfaatan sumberdaya pakan yang tersedia secara temporal sepanjang tahun dan sumberdaya ruang menyebabkan kelelawar buah beradaptasi secara fungsional terhadap pakan dan ruang sehingga diasumsikan bahwa terdapat variasi ukuran morfologi antara spesies kelelawar pemakan buah. Hal ini memicu penggunaan sumberdaya pakan dan ruang secara intraspesifik ataupun interspesifik.

Seed dispersal &

(17)

Penelitian ini difokuskan pada kajian keanekaragaman spesies kelelawar buah, kesamaan penggunaan sumberdaya (pakan dan habitat), hubungan morfometrik craniodental dan pakan kelelawar, dan komposisi pakan kelelawar buah khususnya di Taman Wisata Alam Gunung Meja (TWAGM).

II METODE PENELITIAN

2.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei – Juli 2014 di Taman Wisata Alam Gunung Meja Manokwari dan dari Februari sampai Juli 2015 di Laboratorium Genetika Hutan dan Kehutanan Molekuler Fahutan IPB Bogor. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian di kawasan TWAGM Manokwari

2.2 Alat dan Bahan

(18)

2.3 Jenis dan Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer meliputi jumlah individu dan jenis kelelawar pada tiga tipe habitat yang berbeda (primer, kebun buah campuran, dan hutan sekunder), ukuran karakter tengkorak dan gigi (craniodental) sampel kelelawar, dan polen meliputi bentuk dan ukuran polen pada saluran pencernaan sampel kelelawar.

Pengumpulan data jumlah individu dan jenis kelelawar pada tiga tipe habitat yang berbeda dilakukan melalui observasi lapangan. Penangkapan sampel kelelawar pemakan buah dilakukan dari bulan Mei sampai Juli 2014 pada 45 titik tempat pemasangan misnet (berukuran panjang 9 meter, lebar 2.5 meter dan 4 shelf) yang mewakili ketiga tipe habitat dimana hutan primer 25 titik, kebun buah campuran 10 titik, dan hutan sekunder 10 titik. Misnet dibentangkan di bawah tajuk (2 meter di atas permukaan tanah) secara purposive sampling pada jam 16.00 WIT dan dilakukan pengecekan pada jam 20.00 WIT, 24.00 WIT, dan 06.00 WIT pada keesokan paginya selama tiga malam berturut-turut untuk setiap misnet. Waktu pemasangan misnet untuk penangkapan kelelawar, dua hal penting yang harus diperhatikan adalah 1) menghindari pemasangan jaring ketika bulan purnama karena efek lunar phobia pada kelelawar pemakan buah (Flores et al. 2012), dan 2) jika terjadi hujan deras saat pengambilan sampel kelelawar maka hal ini akan dilakukan pada malam berikutnya pada titik pemasangan misnet yang sama dan juga waktu yang sama pada saat jaring ditutup malam sebelumnya (Rex

et al. 2008). Individu kelelawar yang terperangkap diidentifikasi berdasarkan spesies, jenis kelamin, ditimbang (mendekati 0.5 gram), dilakukan pengukuran tubuh (panjang lengan bawah sayap, telinga, betis, telapak kaki, dan panjang kepala – badan) untuk individu dewasa dan kemudian dilepas lagi di lokasi pemasangan misnet. Pengukuran karakter morfologi dilakukan untuk identifikasi kelalawar yang mengacu pada Flannery (1995) dan Suyanto (2001). Individu kelelawar yang terperangkap ditentukan usia dan status reproduksi yang mengacu pada Kunz (1973) dan Estrada & Estrada (2001).

(19)

Gambar 3 Penampakan bagian dorsal dan ventral tengkorak, lateral tengkorak dan gigi Aceredon jubatus (Ingle & Heaney 1992)

Keterangan Gambar 3: 1) panjang tengkorak (TSL), 2) jarak antar orbit (MZB), 3) lebar jarak antar tulang zigomatik (PSW), 4) lebar tempurung tengkorak (MSW), 5) jarak antar gigi taring (PC), 6) jarak antar gigi geraham depan 4 (PM4), 7) panjang total palatal (TPL), 8) panjang anterior dasar tengkorak (ASL), 9) panjang rostrum (RL), 10) tinggi tengkorak (SH), 11) jarak antara condyle terhadap gigi taring (CC), 12) jarak condyle terhadap gigi geraham pertama (CM1), 13) jarak condyle terhadap gigi geraham bawah ketiga (CM3), 14) tinggi ramus angular proses (CPH), 15) tinggi condilar proses (CH), 16) tinggi tebal dentari di bawah geraham pertama (MDD), 17) panjang susunan gigi pada rahang bawah (LTR), 18) panjang rahang bawah (TDL).

Pengumpulan data polen dilakukan secara observasi pada saluran pencernaan kelelawar yang digunakan sebagai sampel sebanyak 63 individu yang terdiri dari 1 individu Dobsonia magna, 4 individu D. minor, 3 individu

Macroglossus minimus, 7 individu Nyctimene aello, 19 individu N. albiventer, 19 individu Rousettus amplexicaudatus, dan 10 individu Syconycteris australis. Polen bunga berasal dari saluran pencernaan kelelawar dengan mengambil sisa makanan di saluran pencernaan kelelawar. Hasil dari isi pencernaan kelelawar dicampur dengan alkohol 70% di dalam tube sentrifugal berukuran 1 ml. Pemisahan antara cairan alkohol dan endapan dilakukan melalui sentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm selama 30 menit. Proses pemisahan ini dilakukan sebanyak tiga kali dengan alkohol yang baru. Hasil endapan yang diperoleh dari proses pemisahan tersebut diletakkan pada kaca preparat sebanyak satu tetes kemudian dicampur satu tetes gliserol lalu ditutup dengan cover glass dan pada bagian tepinya direkatkan dengan kuteks bening. Gliserol tersebut berfungsi sebagai bahan pengawet (Yulianto 1992). Obyek diamati dibawah mikroskop cahaya pada perbesaran 10x dan 40x dengan bantuan kamera Optilab Advance. Hasil gambar dikalibrasi dengan bantuan software Image Raster sehingga mendapatkan ukuran polen yang akurat. Hasil Image Raster dicocokkan dengan kunci identifikasi polen berdasarkan buku Erdtman (1943), Erdtman (1972), Nayar (1990), dan website Australasian Pollen and Spore Atlas (www.apsa.anu.edu.au).

(20)

kelopak yang saling bergabung) dan polypetalouse (bunga dengan kelopak yang saling bebas). Polypetalouse dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu rosaceous (bunga dengan lima atau lebih kelopak yang menumpuk ke arah luar), caryophyllaceous

(bunga dengan lima kelopak atau lebih namun tidak saling menumpuk) dan yang terakhir adalah papillionaceous dimana terdapat lima kelopak yang saling bebas namun memiliki ukuran kelopak yang berbeda. Kelopak posterior berukuran besar disebut vexillium dan dua lainnya membentuk sayap dan tumbuh disamping, dan dua kelopak anterior disebut keel. Jenis tipe mahkota bunga menurut Swink & Willhem (1994) disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Tipe-tipe mahkota bunga (dimodifikasi dari Swink & Wilhelm 1994)

Bentuk bunga lain merupakan hasil modifikasi suatu tanaman. Menurut de Sauza & Moscheta (1999) bentuk bunga modifikasi ini tidak masuk kedalam kategori. Tiga diantara bentuk modifikasi mahkota ini adalah bentuk apetalouse,

rosaceous-corona, dan sepaloid (disajikan pada Gambar 5). Apetalouse adalah tipe bunga yang tidak memiliki mahkota bunga, bunga tipe ini biasanya terdiri dari benang-benang sari yang memanjang dari calyx. Sazima et al. (1999) menggambarkan tipe mahkota bunga apetalouse ini seperti bentuk sikat terutama famili Mimosaceae. Tipe mahkota bunga sepaloid merupakan modifikasi penebalan daging kelopak bunga. Famili tumbuhan yang memiliki bentuk mahkota bunga sepaloid adalah Annonaceae. Bentuk modifikasi lain adalah

(21)

Apetalouse Rosaceous corona Sepalloid

Gambar 5 Bentuk modifikasi tipe mahkota bunga

2.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data

Metode analisis data dilakukan sebagai berikut:

1. Metode analisis keanekaragaman jenis kelelawar Megachiroptera dilakukan terhadap indeks Shannon, indeks Margalef, indeks Evenness, dan indeks Simpson yang mengacu pada Magurran (1988) sebagai berikut:

Indeks keanekaragaman jenis

Untuk menghitung indeks keanekaragaman jenis kelelawar buah setiap tipe habitat digunakan indeks keragaman Shannon (Magurran 1988) sebagai berikut:

�′ =− �

=1

��

keterangan: �′ = indeks keragaman Shannon

� = proporsi jumlah individu spesies ke-i terhadap jumlah total individu seluruh spesies

s = jumlah total seluruh spesies

Indeks kekayaan jenis Margalef

Untuk menghitung indeks kekayaan jenis kelelawar pada masing-masing tipe habitat digunakan indeks Margalef. Besarnya nilai indeks ini ditentukan oleh jumlah spesies dan jumlah individu pada suatu habitat tertentu. Indeks Margalef dihitung dengan formula sebagai berikut (Magurran 1988):

� = ( −1) ln

keterangan: = indeks Margalef

= jumlah total seluruh spesies

N = jumlah total individu seluruh spesies

Indeks kemerataan jenis(Evenness)

Indeks kemerataan jenis (evenness) menunjukkan penyebaran spesies dalam suatu komunitas. Indeks ini dihitung dengan rumus sebagai berikut (Magurran 1988):

=�′/ ln

Passiflora sp.

(22)

Indeks Dominansi Simpson

Untuk menghitung indeks dominansi Simpson digunakan rumus menurut Magurran(1988):

= � � −1

−1

Keterangan: D = indeks dominansi Simpson, � = jumlah individu spesies ke-I, N = jumlah total individu seluruh spesies

Analisis data untuk menghitung indeks keragaman Shannon (H’), indeks

kekayan jenis Margalef, indeks kemerataan (E), dan indeks dominansi Simpson (Magurran 1988) menggunakan perangkat lunak PAST (PAleontological STatistics) versi 2.17c. Analisis sidik ragam (Anova) dilakukan untuk mengevaluasi perbedaan individu kelelawar yang terperangkap diantara ketiga tipe habitat dengan menggunakan perangkat lunak SPSS versi 16.

Hipotesis yang digunakan adalah:

H0 = kelimpahan individu kelelawar tidak berbeda antara ketiga tipe habitat

H1 = kelimpahan individu kelelawar tidak berbeda antara ketiga tipe habitat

2. Metode analisis data hubungan morfometri tengkorak dan gigi (craniodental) dan pemilihan tipe mahkota bunga

Principal Component Analysis (PCA) digunakan untuk mereduksi peubah yang tidak dapat dijadikan pembeda dalam suatu populasi data. Data yang direduksi adalah peubah yang memiliki ragam paling kecil. Peubah yang dikerjakan dengan PCA menggunakan software SPSS version 16 adalah ukuran tengkorak dan gigi (craniodental). Hasil dari PCA kemudian digunakan untuk menganalisis hubungan antara peubah morfometri tengkorak dan gigi (craniodental) terhadap pemilihan bentuk mahkota bunga oleh kelelawar Megachiroptera yang diolah dengan metode Multivariate Canonical Correspondence Analysis (CCA) menggunakan software Canoco for Windows

4.5. Metode CCA dengan Canoco for Windows 4.5 digunakan untuk mengetahui hubungan antara spesies dan lingkungannya (Leps & Smilauer 2003). Hasil dari pengolahan data berupa gambar panah vektor dan titik yang menunjukkan hubungan antara peubah craniodental dan tipe mahkota bunga.

3. Hubungan antara jenis kelelawar dan sumberdaya (pakan dan habitat)

Hubungan antar jenis kelelawar dan sumberdaya habitat dianalisis dengan metode cluster variable yang diolah dengan menggunakan software Minitab version 14. Pengelompokan dicari menggunakan rumus Euclidean distance

(Krebs 1989) untuk mengetahui tingkat kesamaan. Hasil analisis menghasilkan dendrogram yang menunjukkan persentase kesamaan penggunaan sumberdaya (pakan dan habitat) oleh kelelawar Megachiroptera. Hubungan jenis kelelawar dengan jenis tumbuhan pakan dianalisis dengan PCA menggunakan software

SPSS version 16. Hubungan jenis kelelawar dengan tipe mahkota bunga dianalisis dengan Correspondence Analysis (CA) menggunakan software Canoco for

Windows 4.5 dan analisis sidik ragam (Anova) menggunakan software SPSS

(23)

Hipotesis yang digunakan adalah:

H0 = jenis kelelawar tidak memiliki preferensi terhadap tipe mahkota bunga tertentu

H1 = jenis kelelawar memiliki preferensi terhadap tipe mahkota bunga tertentu

4. Metode analisis kesamaan relung sumberdaya (pakan dan habitat) kelelawar buah

Metode yang digunakan untuk menganalisis kesamaan relung sumberdaya (pakan atau ruang) kelelawar adalah metode niche overlap index (Ludwig & Reynolds 1988), yaitu metode yang didasarkan pada kesamaan proporsi sumberdaya yang dimanfaatkan oleh spesies kelelawar yang dibandingkan. Persamaan yang digunakan adalah persamaan simplified Morisita index (Ludwig & Reynolds 1988):

�= 2 2

+ 2

Keterangan: �= simplified Morisita index antara kelelawar spesies ke-j dan spesies ke-k, = proporsi sumberdaya (pakan atau ruang) yang digunakan oleh kelelawar ke-j ( = �/ ), = proporsi sumberdaya (pakan atau ruang) yang digunakan oleh kelelawar ke-k ( = �/ ), n = jumlah total sumberdaya (pakan atau ruang)

Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan yang nyata antara jenis pakan kelelawar satu dengan lainnya dilakukan uji chi square. Hipotesis yang digunakan adalah:

H0 = jenis pakan kelelawar satu dengan lainnya tidak berbeda nyata H1 = jenis pakan kelelawar satu dengan lainnya berbeda nyata

Nilai chi square dihitung menggunakan rumus (Ludwig & Reynolds 1988): �2 = ( − )2

keterangan: = total frekuensi jenis pakan pada baris ke-i � = total frekuensi jenis pakan pada kolom ke-j T = total seluruh frekuensi

Jika �2 hitung ≤ �2 tabel maka H0 diterima, dan sebaliknya jika �2hitung > �2

(24)

III HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

3.1.1 Struktur komunitas kelelawar Megachiroptera

Total kelelawar yang terperangkap sebanyak 689 individu yang terdiri dari tujuh spesies dan lima genus (Tabel 1). Flannery (1995) melaporkan bahwa Pteropodidae di New Guinea (Papua dan Papua New Guinea) hanya terdiri dari 20 spesies. Kelelawar Megachiroptera yang terperangkap di hutan primer sebanyak enam spesies, sedangkan di kebun buah campuran dan di hutan sekunder adalah sebanyak 7 dan 3 spesies secara berurutan. Total usaha penangkapan kelelawar di hutan primer adalah 192.59 individu/1000 m2/malam, sedangkan pada kebun buah campuran dan hutan sekunder adalah 287.41dan 251.85 individu/1000 m2/malam secara berurutan. Kelimpahan tertinggi kelelawar yang tertangkap di kebun buah campuran sebanyak 6.4 individu per malam, sedangkan di hutan sekunder dan hutan primer masing-masing adalah 5.67 dan 4.33 individu per malam secara berurutan. Uji one-way anova menunjukkan bahwa jumlah individu kelelawar yang tertangkap tidak berbeda nyata diantara ketiga tipe habitat (p=0.939; α=0.05; f=0.063; db=2, 18).

Kelimpahan relatif tertinggi kelelawar yang terperangkap adalah R. amplexicaudatus (65.63%) dan N. albiventer (23.44%), sedangkan D. magna dan

D. minor merupakan spesies kelelawar yang jarang terperangkap selama waktu penelitian di lapangan.

Nyctimene albiventer (Gray, 1863) 192 (113.78) 13 (19.26) 26 (38.52) 231 (171.56)

Roussetus amplexicaudatus (E.Geoffroy, 1810) a 43 (25.48) 165 (244.44) 142 (210.37) 350 (480.30)

Syconycterys australis (Peters, 1867) 61 (36.15) 9 (13.13) 0 (0) 70 (49.48) Jumlah individu 325 (192.59) 194 (287.41) 170 (251.85) 689 (731.85)

Jumlah spesies 6 7 3

Keterangan: HP = Hutan Primer, KBC = Kebun Buah Campuran, HS = Hutan Sekunder,

a

= spesies yang dominan tertangkap pada ketiga tipe habitat, b = spesies yang jarang terperangkap (< 10 individu). Nilai yang terdapat dalam tanda kurung menyatakan jumlah individu yang terperangkap per 1000 m2 misnet per malam.

(25)

dominansi tertinggi masing-masing 0.73 dan 0.72 secara berurutan dibanding hutan primer dengan nilai indeks dominansi 0.41.

Tabel 2 Keanekaragaman jenis kelelawar pada ketiga tipe habitat

Indeks Hutan Primer Kebun Buah

Campuran Hutan Sekunder

Dominance (D) 0.41 0.73 0.72

Shannon (H’) 1.20 0.62 0.49

Evenness (E) 0.55 0.27 0.55

Margalef (SMg) 3.42 3.22 1.15

3.1.2 Kesamaan dan tumpang tindih relung sumberdaya habitat

Berdasarkan kesamaan relung sumberdaya habitat kelelawar Megachiroptera dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok (Gambar 6). Kelompok pertama adalah asosiasi D. magna dan R. amplexicaudatus dengan indeks kesamaan sebesar 81.04%. Kedua jenis kelelawar tersebut lebih cenderung memanfaatkan habitat kebun campuran sebagai tempat mencari makan (foraging

area) pada malam hari. Kelompok kedua merupakan gabungan pasangan

M. minimus dan S. australis (ED=98.45%) dan D. minor (93.93%) dengan pasangan N. aello dan N. albiventer (ED=98.90%) yang memiliki indeks kesamaan sebesar 51.68%. Kelima jenis kelelawar pada kelompok kedua ini lebih cenderung untuk memanfaatkan hutan primer sebagai tempat mencari makan (foraging area) pada malam hari.

Jenis Kelelawar

Gambar 6 Pengelompokkan kelelawar berdasarkan sumberdaya habitat

Keterangan: Dma = D. magna, Dmi = D. minor, Mmi = M. minimus, Nae = N. aello. Nal = N. albiventer, Ram = R. amplexicaudatus, dan Sau = S. australis.

(26)

oleh kedua jenis kelelawar tersebut adalah 83.45%. Tumpang tindih relung sumberdaya habitat terendah terlihat antara D. magna dan N. albiventer

(CH=0.39%) serta D. magna dan R. amplexicaudatus (CH=0.69%). Nilai indeks

niche overlap sumberdaya habitat antar jenis kelelawar disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Nilai indeks relung tumpang tindih sumberdaya habitat antar jenis kelelawar

Dmi Mmi Nae Nal Ram Sau

Dma 0.3717 0.1620 0.0909 0.0039 0.0069 0.0266

Dmi 0.8070 0.7542 0.0623 0.0156 0.2232

Mmi 0.8345 0.1293 0.0245 0.4320

Nae 0.1100 0.0217 0.3057

Nal 0.2630 0.5367

Ram 0.0788

Keterangan: Dma = D. magna, Dmi = D. minor, Mmi = M. minimus, Nae = N. aello, Nal = N. albiventer, Ram = R. amplexicaudatus, dan Sau = S. australis.

3.1.3 Jenis Tumbuhan Pakan Kelelawar

Berdasarkan hasil identifikasi polen pada saluran pencernaan kelelawar maka terdapat 55 jenis dan 29 famili tumbuhan asal polen (Tabel 4). Euphorbiaceae merupakan famili yang memiliki jumlah jenis paling banyak dimanfaatkan sebagai sumber pakan kelelawar yaitu 5 jenis (9.09%). Famili urutan kedua jumlah jenis sebagai sumber pakan kelelawar adalah Anacardiaceae, Cucurbitaceae, Fabaceae, dan Sterculiaceae dengan jumlah jenis masing-masing sebanyak 4 jenis (7.27%). Komposisi pakan berdasarkan famili yang dimanfaatkan disajikan pada Gambar 7. Intsia sp. (Fabaceae) dan Cerbera sp. (Apocynaceae) merupakan kedua jenis yang paling dikonsumsi oleh kelelawar masing-masing sebanyak 16 dan 11 individu kelelawar secara berurutan.

Gambar 7 Komposisi Pakan Kelelawar

(27)

kedua ditempati oleh Anacardiaceae, Cucurbitaceae, Fabaceae, dan Sterculiaceae yang memiliki jumlah jenis sebanyak 4 jenis untuk masing-masing famili tersebut. Tabel 4 Komposisi jenis tumbuhan pakan kelelawar berdasarkan famili dan

jumlah individu kelelawar diketemukan polen spesies tumbuhan

(28)

Famili Spesies

3.1.4 Kesamaan dan tumpang tindih relung sumberdaya pakan

Hasil PCA berdasarkan polen yang ditemukan pada saluran perncernaan Megachiroptera menggunakan 3 axis utama dapat menjelaskan 74.33% dari total varian. Axis 1 menjelaskan 35.11%, axis menjelaskan 22.34%, komponen utama III menjelaskan 16.88%. Nilai loading faktor dari masing masing komponen setelah direduksi menjadi 3 komponen utama dapat dilihat pada Lampiran 7. Penggambaran hasil analisis PCA dengan axis 1 dan axis 2 tertera pada Gambar 8, sedangkan axis 1 dan axis 3 tertera pada Gambar 9.

Berdasarkan hasil PCA terdapat kecenderungan pemilihan sumberdaya pakan oleh kelelawar, yakni:

1. D. magna, D. minor, dan M. minimus cenderung menyukai polen dari

Sonneratia sp., Firmiana sp., Planchonia papuana, Planchonella sp., dan

Barringtonia sp.

2. N. aello cenderung memilih polen dari Pimeliodendron sp., Dracaena sp., dan Popowia sp.

3. N. albiventer dan S. australis lebih menyukai polen dari Clerodendrum sp.,

Callophyllum sp., Lagerstroemia sp., Ceiba sp., Aleurites sp., dan

Lagenaria sp., Timonius sp., Celtis sp., Chrisophyllum sp., Octomeles sp.,

Rhus sp., Campnosperma sp., dan Pandanus sp.

4. R. amplexicaudatus cenderung menyukai polen dari Annona sp., Cucumis

sp., Mallotus sp., Glochidion sp., Endospermum sp., Luffa sp., dan

(29)
(30)

Gambar 9 Kecenderungan pemilihan jenis sumberdaya pakan oleh kelelawar pada PC1 dan PC3

Keterangan Gambar 8 dan Gambar 9: Dma = D. magna, Dmi = D. minor, Mmi = M. minimus, Nae = N. aello, Nal = N. albiventer, Ram = R. amplexicaudatus, dan Sau = S. australis, a = Dracaena sp., b = Camnosperma sp., c = Mangifera sp., d = Rhus sp., e =

Semecarpus sp., f = Annona sp., g = Polyalthia sp., h = Popowia sp., i = Alstonia sp., j = Cerbera sp., k = Caryota sp., l = Barringtonia sp., m = Spathodea campanulata, n =

Bombax sp., o = Ceiba sp., p = Canarium sp., q = Callophyllum sp., r = Cucumis sp., s = Lagenaria sp., t = Luffa sp., u = Momordica sp., v = Octomeles sp., w = Aleurites

sp., x = Endospermum sp., y = Glochidion sp., z = Mallotus sp., aa = Pimeliodendron

sp., bb = Adenanthera sp., cc = Archindendron sp., dd = Intsia sp., ee = Pongamia sp., ff = Flindersia sp., gg = Scaevola sp., hh = Planchonia papuana, ii = Lagerstroemia

sp., jj = Sonneratia sp., kk = Disoxyllum sp., ll = Vavaea sp., mm = Musa sp., nn =

Syzygium sp., oo = Pandanus sp., pp = Passiflora sp., qq = Morinda sp., rr = Timonius

sp., ss = Chrysophyllum sp., tt = Manilkara sp., uu = Planchonella sp., vv = Firmiana

sp., ww = Pterocymbium sp., xx = Pterygota sp., yy = Sterculia foetida, zz = Phaleria

sp., A1 = Celtis sp., B1 = Clerodendrum sp., dan C1 = Lantana sp.

Kesamaan relung sumberdaya pakan kelelawar yang teridentifikasi melalui polen yang terdapat dalam saluran pencernaan maka kelelawar Megachiroptera dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok (Gambar 10).

(31)

tricolporate, dan triporate. Kelompok kelelawar kedua yang terdiri dari S. australis, N. aello, N. albiventer, dan R. amplexicaudatus cenderung memiliki preferensi terhadap bentuk polen heterocolpate, inaperturate, monoporate, monosulcate, personate, polyad, salverform, sepalloid, stephanocolpate, stephanocolporate, tricolpate, tricolporate, triporate, trizonocolporate, dan zonocolporate.

Gambar 10 Kesamaan penggunaan sumberdaya pakan oleh jenis-jenis kelelawar

Keterangan: Dma = D. magna, Dmi = D. minor, Mmi = M. minimus, Nae = N. aello, Nal = N. albiventer, Ram = R. amplexicaudatus, dan Sau = S. australis.

Kelompok pertama adalah asosiasi D. magna dan D. minor (ED=51,87%) dengan M. minimus (ED=45.53%). Kelompok kedua merupakan gabungan dari pasangan R. amplexicaudatus dan N. albiventer (ED=74.43%) dengan N. aello

(ED=65.11%) dan S.australis (ED= 62.98%). Ketiga jenis kelelawar (D. magna, D. minor, dan M. minimus) pada kelompok pertama merupakan kelelawar yang cenderung bersifat spesialis. Ketiga jenis kelelawar tersebut (D. magna, D. minor,

dan M. minimus) memanfaatkan tumbuhan sebagai sumber pakan yang relatif sedikit yaitu masing-masing 5, 6, dan 11 jenis secara berurutan. Keempat jenis kelelawar (S. australis, N. aello, N. albiventer, dan R. amplexicaudatus) pada kelompok kedua merupakan jenis kelelawar yang bersifat generalis. Keempat jenis ini (S. australis, N. aello, N. albiventer, dan R. amplexicaudatus) memanfaatkan jenis tumbuhan sebagai pakan yang relatif banyak yaitu 23, 18, 21, dan 32 jenis secara berurutan.

Hasil perhitungan niche overlap index berdasarkan pemanfaatan sumberdaya pakan menunjukkan bahwa R. amplexicaudatus dan S. australis

memiliki tumpang tindih pemanfaatan sumberdaya pakan sebesar 0.5648. Nilai ini menunjukkan bahwa 56.48% pakan R. amplexicaudatus cenderung sama dengan

S. australis. Kelelawar N. aello memiliki tumpang tindih pemanfaatan

sumberdaya pakan tertinggi dengan N. albiventer, S. australis, dan

R. amplexicaudatus berturut-turut sebesar 0.5185, 0.4286, dan 0.4068.

N. albiventer memiliki tumpang tindih pemanfaatan sumberdaya pakan tertinggi dengan R. amplexicaudatus (CH=0.5497) dan S. australis (CH=0.4311). Tumpang

(32)

(CH=2.20%). Nilai kesamaan relung sumberdaya pakan dan nilai chi-square antar

jenis kelelawar disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Nilai kesamaan relung sumberdaya pakan dan nilai chi-square antar jenis kelelawar

R. amplexicaudatus adalah 13.82%. Hasil uji chi-square menunjukkan bahwa kedua jenis ini memiliki perbedaan sumberdaya pakan yang sangat nyata (�2=4.841, df=1, p<0.05).

3.1.5 Hubungan antara Jenis Kelelawar dan Tipe Mahkota Bunga

(33)

Gambar 11 Pengelompokkan kelelawar berdasarkan tipe mahkota bunga

Keterangan: Apt = Apetalouse, Bil = Bilabiate, Cry = Caryophallaceous, Cru = Cruciform, Pap =

Papillionaceous, Per = Personate, Ros = Rosaceous, Rco = Rosaceous-corona, Slv =

salverform, Sep = Sepalloid, Tub = Tubular, 1 = D. magna, 2 = D. minor, 3 = M. minimus, 4 = N. aello. 5 = N. albiventer, 6 = R. amplexicaudatus, 7 = S. australis

Pengelompokkan kelelawar berdasarkan tipe mahkota bunga menunjukkan adanya enam kelompok kelelawar, yaitu:

1. M. minimus cenderung menyukai tipe mahkota bunga yang berbentuk tubular, sedangkan S. australis cenderung memilih tipe mahkota bunga cruciform.

Jenis tumbuhan asal polen yang menjadi preferensi M. minimus adalah Musa

sp. (ukuran polen 59.9-78.2 mµ). S. australis cenderung memilih Caryota sp. dengan ukuran polen 29.3-34.7 mµ.

2. R. amplexicaudatus cenderung memilih tipe mahkota bunga yang berbentuk

papillionaceous dan sepalloid. R. amplexicaudatus cenderung memilih jenis pakan Pongamia sp. (ukuran polen 66.5-71.1 mµ) dari tipe mahkota bunga

papillionaceous. Untuk tipe mahkota bunga sepalloid, jenis pakan yang dipilih adalah Annona sp. dengan ukuran polen 50.6-55.8 mµ.

3. N. albiventer memiliki preferensi yang kuat terhadap tipe bunga

caryophyllaceous. Jenis pakan yang dipilih oleh N. albiventer adalah

Lagerstroemia sp. (ukuran polen 34.5-34.6 mµ).

4. D. magna cenderung memilih tipe mahkota bunga rosaceous. D.magna

cenderung memilih jenis pakan dari Zyzygium sp. yang memiliki ukuran polen 26.4-26.7 mµ.

5. D. minor cenderung menyukai tipe mahkota bunga berbentuk personate.

Spathodea campanulata (ukuran polen 39.6-49. mµ) merupakan jenis pakan yang cenderung disukai oleh D. minor.

6. N. aello memiliki preferensi terhadap tipe mahkota berbentuk apetalouse. N. aello lebih cenderung memilih Intsia sp. (ukuran 47.2-48 mµ) dan Semecarpus

(34)

3.1.6 Hubungan Antara Morfometrik Tengkorak dan Gigi (Craniodental) dan Tipe Mahkota Bunga

Hubungan antara ukuran peubah tengkorak dan gigi (craniodental) dan pemilihan bentuk mahkota bunga oleh kelelawar dijelaskan oleh axis 1, axis 2 dan axis 3 yang memiliki nilai total varians sebesar 89.2%. Hal tersebut menunjukkan bahwa model sudah dapat mewakili data sebesar 89.2% dengan total nilai

eigenvalue sebesar 0.004. Hubungan antara axis 1 (59.9%) dan axis 2 (22.1%) disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12 Hubungan morfometrik tengkorak dan gigi (craniodental) terhadap tipe bentuk mahkota bunga pada axis 1 dengan axis 2

Keterangan: 1) panjang tengkorak (TSL), 2) jarak antar orbit (MZB), 3) lebar jarak antar tulang zigomatik (PSW), 4) lebar tempurung tengkorak (MSW), 5) jarak antar gigi taring (PC), 6) jarak antar gigi geraham depan 4 (PM4), 7) panjang total palatal (TPL), 8) panjang anterior dasar tengkorak (ASL), 9) panjang rostrum (RL), 10) tinggi tengkorak (SH), 11) jarak antara condyle terhadap gigi taring (CC), 12) jarak condyle terhadap gigi geraham pertama (CM1), 13) jarak condyle terhadap gigi geraham bawah ketiga (CM3), 14) tinggi ramus angular proses (CPH), 15) tinggi condilar proses (CH), 16) tinggi tebal dentari di bawah geraham pertama (MDD), 17) panjang susunan gigi pada rahang bawah (LTR), 18) panjang rahang bawah (TDL). Apt=Apetalouse, Bil=Bilabiate, Cry=Caryophallaceous, Cru=cruciform, Pap=Papillionaceous, Per=Personate, Ros=Rosaceous, Rco=Rosaceous-corona, Slv=salverform, Sep=Sepalloid, Tub=Tubular.

Hubungan antara peubah craniodental dan tipe mahkota bunga pada axis 1 dan axis 2 menunjukkan bahwa karakter tengkorak menjadi penciri bagi kelelawar yang memanfaatkan tipe mahkota caryophyllaceous, rosaceous corona,

(35)

panjang anterior dasar tengkorak (ASL), dan tinggi tengkorak (SH). Karakter gigi kelelawar mencirikan kelelawar yang memanfaatkan tipe mahkota bunga

rosaceouse, sepalloid, dan papilionaceous. Karakter gigi kelelawar sebagai penciri kelelawar yang memanfaatkan ketiga tipe mahkota tersebut yakni panjang susunan gigi pada rahang bawah (LTR), panjang rahang bawah (TDL), jarak condyle terhadap gigi geraham bawah pertama (CM1), dan tinggi tebal dentari di bawah geraham pertama (MDD).

Tinggi tebal dentari di bawah geraham pertama (MDD) merupakan peubah yang mencirikan kelelawar dalam pemanfaatan tipe mahkota bunga rosaceous. Jarak antar gigi geraham depan 4 (PM4) mencirikan kelelawar yang menyukai tipe mahkota bunga salverform walaupun hubungannya sangat lemah. Lebar jarak antar tulang zigomatik (PSW) dan jarak antar orbit (MZB) merupakan penciri kuat bagi kelelawar yang memanfaatkan tipe mahkota bunga cruciform, rosaceus corona dan caryophillaceous. Kedua peubah ini menggambarkan bahwa semakin lebar ukuran tengkorak kelelawar maka kelelawar tersebut memiliki kecenderungan untuk memanfaatkan tipe mahkota bunga cruciform, rosaceus corona dan caryophillaceous. Panjang tengkorak (TSL) mencirikan kelalawar yang memanfaatkan tipe mahkota bunga apetalouse. Kelelawar dengan gigi taring yang besar cenderung memiliki jarak palate antar gigi taring yang lebar.

Ukuran panjang tengkorak juga menjadi penciri kelalawar yang memanfaatkan tipe mahkota bunga apetalouse dimana semakin panjang ukuran tengkorak maka kelelawar tersebut dapat beradaptasi terhadap tipe mahkota bunga apetalouse. Panjang total palatal(TPL) menjadi penciri bagi tipe mahkota bunga sepalloid dan

papilionaceous namun hubungannya lemah. Panjang susunan gigi pada rahang bawah (LTR) menjadi penciri bagi jenis kelelawar yang memanfaatkan tipe mahkota bunga personate dan bilabiate namun hubungannya tidak kuat karena panah vektornya tidak panjang. Panjang anterior dasar tengkorak (ASL) menjadi penciri bagi jenis kelelawar yang memanfaatkan tipe mahkota bunga tubular. Tinggi ramus angular proses (CPH) dan jarak antara condyle terhadap gigi taring (CC) merupakan peubah morfometrik craniodental yang tidak mencirikan keeratannya dengan tipe mahkota bunga tertentu sehingga peubah-peubah tersebut bukan merupakan penciri dalam memilih tipe mahkota bunga tertentu.

Gambar 13 menjelaskan beberapa variabel yang tidak dapat dijelaskan oleh Gambar 12. Gambar 13 menjelaskan bahwa panjang anterior dasar tengkorak (ASL), panjang tengkorak (TSL), dan panjang total palatal (TPL) merupakan penciri kuat bagi kelelawar yang memanfaatkan tipe mahkota bunga tubular. Hal ini menggambarkan bahwa semakin panjang ukuran tengkorak kelelawar maka kelelawar tersebut dapat menyesuaikan atau memudahkan kelelawar tersebut untuk memanfaatkan tipe mahkota bunga tubular. Tipe mahkota bunga

(36)

mahkota bunga tertentu sehingga peubah-peubah tersebut bukan merupakan penciri dalam memilih tipe mahkota bunga tertentu.

Gambar 13 Hubungan morfometrik tengkorak dan gigi (craniodental) terhadap tipe bentuk mahkota bunga pada axis 1 dengan axis 3

Keterangan: 1) panjang tengkorak (TSL), 2) jarak antar orbit (MZB), 3) lebar jarak antar tulang zigomatik (PSW), 4) lebar tempurung tengkorak (MSW), 5) jarak antar gigi taring (PC), 6) jarak antar gigi geraham depan 4 (PM4), 7) panjang total palatal (TPL), 8) panjang anterior dasar tengkorak (ASL), 9) panjang rostrum (RL), 10) tinggi tengkorak (SH), 11) jarak antara condyle terhadap gigi taring (CC), 12) jarak condyle terhadap gigi geraham pertama (CM1), 13) jarak condyle terhadap gigi geraham bawah ketiga (CM3), 14) tinggi ramus angular proses (CPH), 15) tinggi condilar proses (CH), 16) tinggi tebal dentari di bawah geraham pertama (MDD), 17) panjang susunan gigi pada rahang bawah (LTR), 18) panjang rahang bawah (TDL). Apt=Apetalouse, Bil=Bilabiate, Cry=Caryophallaceous, Cru=cruciform, Pap=Papillionaceous, Per=Personate, Ros=Rosaceous, Rco= Rosaceous-corona, Slv=salverform, Sep=Sepalloid, Tub=Tubular.

(37)

Pada saat pengamatan di lapangan dijumpai R. amplexicaudatus terperangkap dengan membawa buah Ficus sp., sedangkan N. albiventer yang terperangkap terdapat sisa biji-biji tumbuhan berukuran kecil pada daerah sekitar mulut. Pada saat pengamatan di lapangan tidak dilakukan pengamatan pada tumbuhan berbunga yang dikunjungi jenis kelelawar secara langsung sehingga tumbuhan sumber pakan kelelawar dianalisis dengan pendekatan polen yang terdapat pada saluran pencernaan kelelawar.

3.2 Pembahasan

3.2.1 Struktur komunitas kelelawar Megachiroptera

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hutan primer dan kebun buah campuran lebih cenderung digunakan untuk mencari makan oleh masing-masing 6 dan 7 spesies kelelawar secara berurutan dibanding hutan sekunder yang hanya ditemukan 3 spesies. Dari total jumlah spesies kelelawar yang mengunjungi ketiga tipe habitat tersebut, D. magna merupakan spesies tunggal yang terperangkap sebanyak satu individu saja di kebun buah campuran. Hasil ini sama dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Pattiselano & Bumbut (2011) bahwa spesies ini terperangkap pada jaring di kebun campuran pisang dan papaya. Sebaliknya R. amplexicaudatus dan N. albiventer merupakan dua jenis kelelawar terperangkap cukup berlimpah pada ketiga tipe habitat selama waktu pengamatan di lapangan. Namun R. amplexicaudatus merupakan jenis yang jumlah individunya paling berlimpah pada habitat kebun buah campuran dan hutan sekunder. Spesies ini cenderung ditemukan di hutan dataran rendah yang terganggu (Maryanto et al. 2011). Hal ini diduga dapat terjadi karena hutan primer di kawasan TWAGM merupakan hutan primer dataran rendah yang masih tersisa sedangkan kawasan di sekitarnya merupakan kawasan-kawasan yang telah terganggu seperti pemukiman, kebun buah campuran, daerah pertanian, dan hutan sekunder. Selain itu, jarak antara ketiga tipe habitat tersebut relatif dekat sehingga dapat dikunjungi oleh R. amplexicaudatus untuk mencari makan dalam semalam. Berbeda dengan R. amplexicaudatus, N. albiventer merupakan jenis kelelawar yang paling banyak terperangkap di hutan primer dibanding kedua tipe habitat lainnya.

S. australis dan M. minimus merupakan kedua jenis kelelawar pemakan buah yang tidak ditemukan di hutan sekunder walaupun Flannery (1995) menemukan bahwa kedua jenis ini merupakan jenis kelelawar yang penyebarannya luas serta umum di daratan New Guinea. Maryanto et al. (2011) juga melaporkan bahwa M. minimus biasanya terperangkap pada hutan sekunder di Taman Nasional Lore Lindu. Selain itu, Azlan et al. (2003) juga menemukan bahwa M. minimus juga ditemukan pada habitat yang terganggu dan tidak terganggu di Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM). Ada kemungkinan ketidakhadiran kedua spesies ini pada hutan sekunder karena bukan musim ketersediaan pakan, seperti dilaporkan bahwa ketersediaan dan penyebaran sumber makanan menentukan kelimpahan dan komposisi kelelawar pemakan buah (Heithaus et al. 1975, Hodgkinson et al. 2004, Maryanto et al. 2011).

(38)

sekunder atau daerah pertanian (Estrada et al. 1993, Medellin et al. 2000, Maharadatunkamsi 2006, Fukuda et al. 2009). Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa individu kelelawar tertangkap secara berlimpah di kebun buah campuran, tetapi keanekaragaman spesies tertinggi dimiliki oleh hutan primer. Namun berdasarkan analisis sidik ragam, jumlah individu kelelawar yang terperangkap pada misnet di ketiga tipe habitat tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (one way Anova; p=0.939; df= 2, 18). Medellin et al. (2000) menyatakan bahwa nilai keanekaragaman yang tinggi dapat menjadi suatu indikator terhadap kondisi hutan yang belum terganggu karena nilai ini dapat mengindikasikan jumlah individu kelelawar yang terperangkap, spesies kelelawar yang jarang terperangkap, dan indeks keanekaragaman Shannon. Hodgkison et al. (2004) juga menemukan bahwa pakan kelelawar dapat digunakan sebagai indikator respon kelelawar terhadap gangguan ekosistem karena kelelawar cenderung bersifat generalis, intermediet, atau spesialis. Kelelawar akan mengunjungi suatu habitat untuk mencari makan sangat berkaitan dengan kelimpahan atau ketersediaan sumberdaya pakan. Sebagai ilustrasi dari hasil penelitian Maryati et al. (2008) di Taman Nasional Ciremai, Aethalops alecto jantan, Cynopterus brachyotis betina, dan C. titthaecheilus betina cenderung mengkonsumsi Adenanthera sp. dan

Acacia sp sebagai sumber pakan. Namun A. alecto jantan lebih cenderung mengunjungi hutan primer pada dataran tinggi sebagai foraging area dibanding C. brachyotis betina dan C. tittahecheilus betina pada hutan sekunder atau terfragmentasi di dataran rendah. Maryanto et al. (2011) juga melaporkan bahwa

R. amplexicaudatus, C. brachyotis, dan C. minutus di Taman Nasional Lore Lindu cenderung menempati habitat hutan dataran rendah yang terganggu secara berlimpah. Dengan demikian kelelawar juga berperan sebagai indikator terhadap penilaian kerusakan atau gangguan hutan tropis karena kelelawar cenderung memiliki spesies yang beragam, kelimpahan yang tinggi, daerah penyebarannya luas, dan secara ekologi berbeda dengan kelompok taksa mamalia yang lainnya (Medellin et al. 2000).

Indeks kemerataan (Evenness) menjelaskan kelimpahan individu suatu spesies yang ada dalam suatu komunitas (Magurran 1988). Nilai kemerataan akan mencapai maksimum jika proporsi kelimpahan individu suatu spesies yang menempati suatu komunitas cenderung sama. Sebaliknya nilai ini akan cenderung menurun jika terdapat suatu spesies yang dominan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemerataan komunitas kelelawar di hutan primer dan hutan sekunder masing-masing adalah 0,55 lebih tinggi dibanding hutan kebun campuran (0,27). Namun spesies kelelawar yang hadir pada hutan sekunder hanya terdiri dari tiga spesies dari total spesies yang ditemukan selama waktu penelitian.

Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa R. amplexicaudatus

(39)

Pada hutan primer, tidak terlihat suatu spesies kelelawar pemakan buah yang dominan dimana nilai indeks kemerataan dan dominansi adalah secara berturut-turut 0,55 dan 0,41. Nilai kemerataan menunjukkan bahwa 55% spesies kelelawar cenderung untuk menggunakan sumberdaya secara bersama (koeksistensi). Sebaliknya nilai dominansi menunjukkan bahwa 60% spesies kelelawar di hutan primer memiliki peluang yang sama untuk terperangkap di misnet.

Beberapa studi sebelumnya menyatakan bahwa ukuran luas hutan yang terfragmentasi (Fregonezi et al. 2013), konfigurasi lanskap (Gorresen & Willig 2004), dan jarak isolasi (Estrada et al. 1993) dapat mempengaruhi keanekaragaman dan kekayaan suatu spesies kelelawar pada suatu tipe habitat. Namun penelitian yang kami lakukan tidak memberikan perhatian secara khusus untuk mendeskripsi faktor-faktor yang berkaitan dengan kehadiran spesies kelelawar.

Penelitian ini menunjukkan bahwa hutan sekunder dikunjungi hanya oleh tiga spesies walaupun hutan sekunder cenderung berjarak dekat dengan hutan primer. Kondisi hutan sekunder ini sangat rawan terhadap aktivitas manusia karena konversi hutan sekunder menjadi pemukiman dan daerah bercocok tanam.

3.2.2 Kesamaan Relung Sumberdaya Habitat

Pengelompokkan kelelawar berdasarkan sumberdaya habitat menunjukkan bahwa terdapat dua kelompok pemilihan tipe habitat, yaitu: 1) kelompok kelelawar yang menyukai habitat kebun buah campuran sebagai daerah mencari makan yang terdiri dari D. magna dan R. amplexicaudatus, dan 2) kelompok kelelawar yang memilih hutan primer sebagai tempat mencari makan yang terdiri dari D. minor, M. minimus, S. australis, N. aello, dan N. albiventer.

Pengelompokkan kelelawar tersebut terkait juga dengan kelimpahan individu jenis kelelawar pada suatu tipe habitat. Kelimpahan dan komposisi kelelawar buah sangat ditentukan oleh ketersediaan dan penyebaran sumberdaya pakan (Heithaus et al. 1975, Hodgkinson et al. 2004). Zukal & Rehak (2006) menambahkan juga bahwa kelelawar mencari sumberdaya pakan pada berbagai tipe habitat tetapi kelelawar tersebut akan memilih suatu habitat karena ketersediaan sumberdaya pakan yang sesuai. Hasil pengelompokkan kesamaan sumberdaya habitat menunjukkan bahwa D. magna dan R. amplexicaudatus

cenderung memilih tipe habitat kebun buah campuran. Namun bila dilihat dari kelimpahan jenis maka R. amplexicaudatus merupakan jenis kelelawar yang memiliki kelimpahan tertinggi pada tipe habitat kebun buah campuran dan hutan sekunder dibanding kelima jenis kelelawar lain. Jenis kelelawar D. magna hanya terperangkap satu individu saja pada habitat kebun buah campuran. Kelompok jenis kelelawar lain (D. minor, M. minimus, S. australis, N. aello, dan N. albiventer) cenderung memilih kesamaan sumberdaya habitat pada hutan primer. Pada tipe habitat ini N. albiventer memiliki kelimpahan spesies tertinggi dibanding jenis lainnya. Hal ini berbeda dengan kelelawar spesialis pemakan serangga (insectivorous), aktivitas mencari sumberdaya pakan sangat ditentukan oleh ketersediaan serangga (prey) dan lama kehadiran kelelawar pada suatu habitat bukan oleh tipe habitat yang digunakan (Kusch et al. 2004).

(40)

tidur, mencerna makanan, berlindung dari predator dan cuaca, dan menyediakan mikroklimat yang sesuai baik untuk menjaga energi maupun mengatur tingginya laju metabolisme saat merawat dan membesarkan individu muda. Winkelmann et al. (2000) melaporkan bahwa S. australis memiliki jarak antara tempat bertengger pada siang hari (day roost) dengan tempat mencari makan (foraging area) berkisar antara 363 dan 725 m dan luas wilayah jelajahnya (home range) 2.7–13.6 ha. Pada jenis D. minor, jarak antara tempat bertengger siang hari dan tempat mencari makan (foraging area) adalah 150 – 1150 m dan luas wilayah jelajahnya (home range) berkisar antara 1.5 sampai 12 ha (Bonacorsso et al. 2002). Wilayah jelajah yang relatif tidak luas cenderung terjadi tumpang tindih relung antar spesies kelelawar (Bonacorsso et al. 2002). Namun lebih lanjut dikemukakan bahwa jarak terbang untuk mencari makan yang relatif pendek dapat mengurangi energi yang digunakan (energy cost) dan terhindar dari predator.

Penggunaan sumberdaya yang terbatas secara bersama secara intra- dan inter-spesifik dapat menyebabkan terjadi persaingan (kompetisi) terhadap sumberdaya tersebut. Tingkat persaingan dapat dilihat dari seberapa besar nilai tumpang tindih (overlap) terhadap penggunaan sumberdaya tersebut yang dapat diukur dengan indeks niche overlap. Maryati et al. (2008) menyatakan bahwa nilai indeks niche overlap berkisar dari 0 hingga 1, bila nilai indeks mendekati 1 maka terjadi saling kompetisi terhadap sumberdaya yang dimanfaatkan dan sebaliknya. Nilai niche overlap sumberdaya habitat tertinggi terjadi antara N. aello

dan M. minimus (CH=83.45%). Tumpang tindih relung sumberdaya habitat yang tinggi juga terjadi D. minor dengan M. minimus dan N. aello dengan nilai tumpang tindih relung masing-masing adalah 80.70% dan 75.42% secara berturut-turut. Ketiga jenis kelelawar tersebut juga cenderung menggunakan hutan primer secara bersama-sama. Penggunaan sumberdaya habitat yang sama oleh ketiga jenis kelelawar tersebut dapat mengindikasikan persaingan terhadap sumberdaya habitat. Pemanfaatan sumberdaya habitat dapat ditentukan oleh ketersediaan sumberdaya pakan dan aktivitas mencari sumberdaya pakan. Weber et al. (2011) telah membuktikan bahwa perbedaan pada satu dimensi relung seperti sumberdaya pakan dapat membantu menerangkan perbedaan pada dimensi relung yang lain seperti penggunaan ruang. Hal ini menunjukkan bahwa tumpang tindih relung habitat ketiga spesies tersebut dapat diminimalisir oleh pemisahan relung baik sumberdaya pakan, pola aktivitas mencari pakan, penggunaan ruang secara vertikal, dan lain-lain.

Gambar

Gambar 1.
Gambar 2 Peta lokasi penelitian di kawasan TWAGM Manokwari
Gambar 3 Penampakan bagian dorsal dan ventral tengkorak, lateral tengkorak dan gigi Aceredon jubatus (Ingle & Heaney 1992)
Gambar 4 Tipe-tipe mahkota bunga (dimodifikasi dari Swink & Wilhelm 1994)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari perubahan-perubahan yang dialami oleh setiap individu hal ini berarti ada pengaruh kearah yang lebih baik setelah diberikan layanan bimbingan kelompok

Sangat disarankan kepada petugas Lapas khususnya petugas Lapas Kelas II B Pasir Pengaraian dibagian pembinaan agar mengikuti pelatihan-pelatihan, training atau

Individu cenderung menggunakan strategi ini pada saat individu tersebut meyakini bahwa tidak ada yang dapat diperbuat untuk mengubah situasi (Chamberlain &amp; Lyons,

Aplikasi ini dibangun sebagai alat untuk menampilkan informasi rumah, bentuk rumah dan denah ruangan secara 3 dimensi, dimana bentuk 3D ini akan ditampilkan pada sebuah marker atau

Berdasarkan pengajaran dan pemerolehan bahasa Melayu oleh penutur asing di universiti, walaupun didapati bahawa para pelajar dari negara China yang mempelajari bahasa

Sehingga perlu dikembangkan teknologi untuk pengambilan keputusan pergerakan yang menggabungkan beberapa input data kemampuan-kemampuan yang dimiliki, dengan adanya teknik

Siklus I berlangsung selama lima pertemuan dengan kegiatan pembelajaran dan praktik pendekatan Rational Emotive Behavior Therapy (REBT). Siklus II juga dilakukan selama

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah “Ada pengaruh yang signifikan antara minat belajar siswa SMK PGRI 1 Palembang terhadap prestasi belajar pada