• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Pengelolaan Air Bersih Berbasis Masyarakat (Studi Kasus di Desa Bumijawa, Kecamatan Bumijawa, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Pengelolaan Air Bersih Berbasis Masyarakat (Studi Kasus di Desa Bumijawa, Kecamatan Bumijawa, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah)"

Copied!
178
0
0

Teks penuh

(1)

MASYARAKAT

(Studi Kasus di Desa Bumijawa, Kecamatan Bumijawa Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah)

YUDO JATMIKO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Pengelolaan Air Bersih Berbasis Masyarakat (Studi Kasus di Desa Bumijawa, Kecamatan Bumijawa, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.

Bogor, 13 Pebruari 2009

(3)

YUDO JATMIKO. Capacity Building of Community Based Clean Water Management Institution. (Case Study at Bumijawa Village, Bumijawa Sub-district, Tegal Regency, Central Java Province). Supervised by DJUARA P. LUBIS and CAROLINA NITIMIHARDJO.

Clean water management through a group of clean water user which has been operating on for eight years is not yet well developed in terms of institution and its management. The aim of this study was to analyze the management of institution capacity and to identify the factors which influence community Based Clean Water Management. The study used qualitative approach with case study strategy through descriptive implementation. The technique of data collection was documentation study, participatory observation, in-depth interview and Focused Group Discussion (FGD). The study result showed that capacity limitation of community based clean water management institution was due to the managerial capacity (leadership. education, managerial capability, group’s rule/norm enforcement), member’s capacity (participation, education, and degree of group’s norm loyality) and the factors such as goverment policy/intervention.The programs planning process through FGD, are: Structural reinforcement program of clean water management institution; Program for increasing member’s independent participation, Skill program in clean water management for manager’s, Program for structure and infrastructure rehabilitation of clean water resource and its network.

(4)

YUDO JATMIKO. Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Pengelolaan Air

Bersih Berbasis Masyarakat (Studi Kasus di Desa Bumijawa, Kecamatan Bumijawa, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah). Di bimbing oleh

DJUARA P. LUBIS sebagai Ketua dan CAROLINA NITIMIHARDJO sebagai anggota Komisi Pembimbing.

Penyediaan air bersih bagi masyarakat erat kaitannya dengan kemampuan kapasitas pengelolaan air bersih oleh masyarakat itu sendiri. Berdasarkan keadaan di lapangan selama ini yang terjadi dalam memenuhi kebutuhan air bersih untuk keperluan rumah tangga di Desa Bumijawa melalui Kelompok Pemakai Air Bersih (Pokmair) yang berjalan selama delapan tahunan, kurang mampu berkembang dengan baik, dimana struktur dan peran kepengurusan yang kurang berfungsi optimal, melemahnya norma atau nilai yang ada dalam kelompok, rendahnya partisipasi anggota dalam kemandirian, kurang mampu menjaga keberlangsungan ekosistem di sekitar sumber air.

Hal yang mendukung dalam pengelolaan air bersih berbasis masyarakat ialah dari sisi budaya masyarakat, karena mereka biasa bekerjasama, tipe solidaritas organik, adanya dukungan finansial terutama dari masyarakat yang tergolong mampu. Keberadaan sumberdaya air berdasarkan penuturan petugas sanitarian Puskesmas Bumijawa sangat layak kualitasnya yang bisa dikonsumsi langsung melalui jaringan pipa pedesaan. Adanya jaringan air bersih sampai ke pemukiman, juga merubah orientasi masyarakat terhadap air yang mempunyai nilai ekonomis.

Tujuan kajian ini ialah menganalisis kapasitas kelembagaan pengelolaan air bersih berbasis masyarakat, mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitasnya dan menyusun rencana strategis program pengembangan kapasitas kelembagaan pengelolaan air bersih berbasis masyarakat dalam memenuhi kebutuhan air bersih di tingkat rumah tangga. Pendekatan kajian ini ialah kualitatif dengan strategi studi kasus melalui terapan deskriptif. Teknik pengumpulan data, ialah studi dokumentasi, observasi berpartisipasi, wawancara mendalam dan Diskusi Kelompok Terfokus atau Focus Group Discussion (FGD).

Hasil kajian menunjukkan bahwa keragaan pengelolaan air bersih oleh komunitas, sejak adanya jaringan pipa air bersih dari sumber Sayom ke pemukiman penduduk pada tahun 1976. Pengelolaan di awali oleh LKMD, karena perkembangan kebutuhan air bersih masyarakat yang semakin meningkat dan adanya kesadaran pentingnya akses dan kontrol masyarakat, pada tanggal 5 Nopember 2000 dibentuk Kelompok Pemakai Air Bersih (Pokmair) Sayom.

(5)

hukum yang kuat, tidak mampu melaksanakan hak dan kewajiban pengurus maupun anggota; kurang mampu menjalin kerjasama dengan stakeholders yang peduli dengan pengelolaan air bersih masyarakat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitasnya yaitu, faktor kapasitas pengurus meliputi kepemimpinan, di mana dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya kurang mampu memberikan kepercayaan kepada anggota; tingkat pendidikan formal yang dimiliki tidak diimbangi kemampuan teknis pengelolaan yang memberikan kepercayaan terhadap anggota maupun menguatkan struktur kelembagaannya. Sedangkan kemampuan pengelolaan dalam implementasinya tidak mampu mengembangkan secara profesional dan mandiri; menegakkan aturan/norma kelompok, yang praktis tidak mampu melaksanakan secara konsekwen dan tegas.

Faktor kapasitas anggota meliputi partisipasi, dimana peran serta anggota dalam wujud pemikiran, tenaga, dukungan dalam proses perencanaan sampai menikmati hasil kurang di dukung adanya kesempatan melalui pelaksanaan kegiatan forum pertemuan secara rutin oleh pengurus, sedangkan dana dalam bentuk iuran bulanan maksimal hanya 30 persen dari 270 anggota yang ada, karena faktor krisis kepercayaan terhadap pengurus; potensi pendidikan formal yang dimiliki kurang didayagunakan dalam mengembangkan kelembagaannya; derajat ketaatan dalam mematuhi aturan kelompok kurang didukung oleh ketegasan pengurus. Adapun faktor kebijakan/intervensi pemerintah, cenderung berorientasi pada pemenuhan kebutuhan bangunan fisik, tanpa memperhatikan keberlanjutan dalam pemeliharaan maupun pengelolaan oleh masyarakat secara mandiri.

Bentuk pengelolaan air bersih berbasis masyarakat yang diharapkan dalam wujud Badan pengelola ataupun lembaga Pengelola Air Bersih Berbasis Masyarakat secara profesional dan mandiri, yang dikuatkan dengan Peraturan Desa maupun Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Adanya penataan jaringan ke rumah tangga dengan sistim meteran secara swadaya melalui kerjasama dengan Badan Keswadayaan Masyarakat Satria Desa Bumijawa, sesuai dengan kriteria pemanfaatan air bersih serta kemudahan akses masyarakat miskin melalui subsidi silang.

(6)

Program Peningkatan Ketrampilan Pengelolaan Air Bersih bagi Pengurus, dengan kegiatan: pendampingan teknis dan administrasi oleh Dinas Kesehatan, pelatihan pengelolaan air bersih masyarakat oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, studi banding pengurus ke lokasi pengelolaan air bersih berbasis masyarakat yang berkembang dengan baik. Program Rehabilitasi Sarana dan Prasarana Air Bersih dan Jaringannya, dengan kegiatan: penataan dan rehabilitasi jaringan dengan sistim meteran, menambah jaringan dari sumber air baru untuk menambah debet air, penghijauan dan pemeliharaannya di sekitar sumber air setiap tahun, merehab ringan kantor sekretariat untuk difungsikan sebagai tempat pelayanan anggota.

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

MASYARAKAT

(Studi Kasus di Desa Bumijawa, Kecamatan Bumijawa Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah)

YUDO JATMIKO

Tugas Akhir

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada

Program Studi Pengembangan Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah).

Nama : Yudo Jatmiko

NRP : I. 35407035

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS Dr. Hj. Carolina Nitimihardjo, MS Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Magister Profesional

Pengembangan Masyarakat

Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS Prof. Dr. Ir. H. Khairil A. Notodiputro, MS

(11)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga Kajian Pengembangan Masyarakat ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian melalui Studi Kasus di Desa Bumijawa, Kecamatan Bumijawa, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah sejak bulan Oktober sampai dengan Nopember 2008, ialah Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Pengelolaan Air Bersih Berbasis Masyarakat.

Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS dan Dr. Hj. Carolina Nitimihardjo, MS selaku komisi pembimbing serta Dr. Ir. Ninuk Purnaningsih, M.Si selaku penguji di luar komisi pembimbing yang telah banyak memberikan saran hingga kesempurnaan kajian ini. Di samping itu penulis menyampaikan penghargaan kepada Ketua Program Studi dan seluruh Dosen beserta Sekretariat yang mengelola Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat, juga Departemen Sosial yang telah memberikan beasiswa, Pemerintah Kabupaten Tegal yang telah memberikan bantuan moril maupun materiil, khususnya Badan Kepegawaian Daerah dan BAPPEDA, Kepala Desa Bumijawa beserta jajarannya, tokoh masyarakat dan warga masyarakat yang telah memberikan informasi dan data serta suksesnya pelaksanaan Diskusi Kelompok Terfokus. Khusus penulis persembahkan kepada Ibunda, Istri, ananda Yessi dan Vinny tercinta yang telah memberikan doa dan restu, rekan-rekan MPM angkatan V semoga sukses.

Semoga Kajian Pengembangan Masyarakat ini bermanfaat.

Bogor, 13 Pebruari 2009

(12)

Penulis dilahirkan di Tegal, Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 29 Mei 1963 dari Ayah Soemarto (Almarhum) dan Ibu Hj. Sunampiharti. Penulis merupakan putra ke tiga dari tujuh bersaudara yang kesemuanya sudah berkeluarga.

Tahun 1988 penulis menyelesaikan kuliah S-1 di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Jakarta jurusan Pembangunan Masyarakat dan Pendidikan Luar Sekolah, Fakultas Ilmu Pendidikan, kemudian pernah menjadi pengajar/guru pada Sekolah Menengah Pekerjaan Sosial Marsudirini Jakarta dari tahun 1988 sampai dengan akhir tahun 1991. Pada bulan Maret 1992 mulai bekerja sebaga Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN) Kabupaten Tegal. Riwayat Jabatan struktural, yaitu: Tahun 1994-2004 sebagai Pengawas PLKB, di era otonomi daerah tepatnya pada tahun 2004-2007 menjadi pegawai Pemerintah Daerah Kabupaten Tegal sebagai Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Keluarga Berencana dan Kesejahteraan Sosial.

Tahun 2007 penulis diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S-2 beasiswa Departemen Sosial pada program studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor (IPB).

(13)

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... ... xv

PENDAHULUAN ... .... 1

Latar Belakang ... 1

Rumusan Masalah ... 3

Tujuan Kajian ... 5

Manfaat Kajian ... 6

TINJAUAN TEORITIS ... ... 7

Tinjauan Pustaka ... 7

Pengembangan Kapasitas ... 7

Kelembagaan ... 11

Pemberdayaan Masyarakat ... 13

Partisipasi Masyarakat ... 15

Pengelolaan Air Bersih Berbasis Masyarakat ... 18

Kerangka Berfikir ... ... 20

Definisi Operasional ... 23

METODOLOGI ... ... 27

Pendekatan dan Strategi Kajian ... 27

Tipe dan Aras Kajian ... 27

Lokasi dan Waktu Kajian ... 28

Teknik Pengumpulan dan Analisis Data ... 29

Penyusunan Rencana Program ... 31

PETA SOSIAL DESA BUMIJAWA, KECAMATAN BUMIJAWA ... 36

Lokasi ... 36

Kependudukan ... 38

Potensi Sumber Daya Alam ... 43

Organisasi dan Kelembagaan ... 45

KERAGAAN PENGELOLAAN AIR BERSIH BERBASIS MASYARAKAT DI DESA BUMIJAWA ... ... 49

Budaya Masyarakat ... 49

Kehidupan Sosial Kemasyarakatan ... 49

Nilai Air dan Teknologinya ... 50

Pemanfaatan Sumber Daya Air ... 51

Sejarah Pengelolaan Air Bersih ... 53

(14)

Norma/Aturan Tertulis ... 65

Jejaring Kerjasama ... 68

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KAPASITAS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN AIR BERSIH BERBASIS MASYARAKAT ... .... 69

Kebijakan dan Intervensi Pemerintah ... 82

PROGRAM PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN AIR BERSIH BERBASIS MASYARAKAT ... 85

Harapan dan Dukungan yang diinginkan oleh Anggota, Pengurus dan Stakeholders ... 86

Bentuk Kelembagaan Pengelolaan Air Bersih Berbasis Masyarakat. 89 Identifikasi Potensi, Masalah dan Kebutuhan Anggota ... 90

Identifikasi Potensi ... 91

Identifikasi Masalah dan Kebutuhan ... 94

Penyusunan Rencana Program ... 98

Program Penguatan Struktur Kelembagaan Pengelolaan Air Bersih Berbasis Masyarakat ... 98

Program Peningkatan Partisipasi Anggota dalam Kemandirian ... 101

Program Peningkatan Ketrampilan Pengelolaan Air Bersih bagi Pengurus ... 104

Program Rehabilitasi Sarana dan Prasarana Air Bersih dan Jaringannya ... 106

Evaluasi Pelaksanaan Program ... 110

Penentuan Waktu Monitoring dan Evaluasi ... 111

Penentuan Pelaku Evaluasi Program ... 111

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN ... ... 112

Kesimpulan ... 112

Rekomendasi Kebijakan ... 114

DAFTAR PUSTAKA ... 116

(15)

Halaman

1 Jadwal Kegiatan Kajian Pengembangan Masyarakat ... .... 28 2 Tujuan, Variabel, Parameter, Sumber Data dan Instrumen Kelengkapan

Metode Pengumpulan Data ... 32 3 Jumlah dan Prosentase Jenis Lahan di Desa Bumijawa Tahun 2007 ... 37 4 Jumlah dan Prosentase Jumlah Penduduk menurut Umur

dan Jenis Kelamin Desa Bumijawa Tahun 2007 ... 39 5 Jumlah Penduduk menurut Tingkat Pendidikan Desa Bumijawa

Tahun 2007 ... . 42 6 Nama Sumber Air, Lokasi dan Pemanfaat di Desa Bumijawa ... 52 7 Nama, Jabatan dan Pendidikan Pengurus Pokmair Sayom

Tahun 2006-2009 ... 72 8 Jumlah dan Prosentase Tingkat Pendidikan Anggota Pokmair Sayom

Tahun 2007 ... . 79 9 Hasil Analisis Peran Stakeholders dalam Pengembangan Kapasitas

Kelembagaan Pengelolaan Air Bersih Berbasis Masyarakat ... 87 10 Hasil Identifikasi Masalah, Sebab-sebab, Kebutuhan

dan Prioritas Program ... 96 11 Rencana Tiga kegiatan, Tujuan, Pelaksana, Metode, Dinas Instansi

Pendukung, Waktu Pelaksanaan dan Sumber Dana Program Penguatan Struktur Kelembagaan Pengelolaan Air Bersih Berbasis Masyarakat .... 100 12 Rencana Tiga Kegiatan, Tujuan, Pelaksana, Metode, Dinas Instansi

Pendukung, Waktu Pelaksanaan dan Sumber Dana

Program Peningkatan Partisipasi Anggota dalam Kemandirian ... 103 13 Rencana Tiga Kegiatan, Tujuan, Pelaksana, Metode, Dinas Instansi

Pendukung, Waktu Pelaksanaan dan Sumber Dana Program Peningkatan Ketrampilan Pengelolaan Air Bersih bagi Pengurus ... . 105 14 Rencana Lima Kegiatan, Tujuan, Pelaksana, Metode, Dinas Instansi

Pendukung, Waktu Pelaksanaan, Sumber Dana Program Rehabilitasi

(16)

Halaman

(17)

Halaman

1 Instrumen Penelitian ... 119

2 Peta Kabupaten Tegal ... 136

3 Peta Desa Bumijawa ... ... 137

4 Dokumentasi (Foto-Foto) Pelaksanaan Penelitian ... ... 138

5 Surat Undangan Pelaksanaan FGD ... ... 144

6 Daftar Hadir Pelaksanaan FGD ... ... 145

7 Surat Keputusan Kades Bumijawa tentang Tim Perumus Rancangan Perdes dan AD/ART Pengelolaan Air Bersih Berbasis Masyarakat ... 146

8 Rancangan Perdes tentang Kelembagaan Pengelolaan Air Bersih Berbasis Masyarakat Desa Bumijawa ... 149

(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Air merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia dan makhluk hidup lainnya. Keberadaan air merupakan bagian dari alam (nature) sehingga eksistensi air terkait dengan semua yang ada di alam ini dan mengikuti siklus hidrologis yang erat hubungannya dengan kondisi cuaca pada suatu daerah sehingga menyebabkan ketersediaan air tidak merata dalam setiap waktu dan setiap wilayah.

Konferensi Dublin mengenai Air dan Lingkungan Tahun 1992, menyatakan bahwa hak dasar (basic right) yang pertama bagi semua umat manusia adalah akses air dan sanitasi dengan harga yang terjangkau (FAO, 1995 yang dikutip oleh Fabby, 2003), karena itu perlu dijaga adanya hak setiap orang untuk mendapatkan air bersih secara adil dan dengan biaya yang terjangkau. Hal ini sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 33, Ayat 3 yang menyebutkan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Undang-Undang Nomor 7/2004, tentang Sumber Daya Air pada Bab I Pasal 5 menyatakan bahwa, “Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif”. Dalam perhitungan Unesco, dari 220 penduduk Indonesia hanya 78 persen yang bisa mendapatkan akses air bersih, itupun dominan di perkotaan. Akses penduduk kota terhadap air bersih mencapai 89 persen, sementara akses penduduk desa hanya 69 persen. Mereka sebagian besar mendapatkan air bersih dari penyaluran air, usaha air secara komunitas, atau sumur air dalam (Suara Merdeka, 2008).

(19)

pembuangan tinja serta sekitar 8,4 persen menggunakan air dari sumber air yang layak tanpa memperhitungkan jarak dengan pembuangan tinja (Bambang, 2006). Keterbatasan kemampuan penyediaan air bersih di satu pihak dan permintaan air bersih yang terus meningkat di pihak lain, pada akhirnya akan menjadikan air sebagai benda langka atau memunculkan terjadinya krisis air, meskipun keberadaan air sesungguhnya bersifat tak terbatas karena sumbernya selalu diperbaharui.

Hal ini dapat dipandang sebagai gejala terancamnya kemampuan memenuhi permintaan air bersih dari masyarakat karena kurangnya suplai air oleh kemampuan penyediaan air bersih melalui peningkatan efisiensi dalam pengelolaan air bersih di tingkat masyarakat. Krisis air pada umumnya disebabkan oleh kelemahan manajemen sumberdaya air, seperti lemahnya kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya air, pengelolaan yang parsial, peraturan yang tidak memadai, pencemaran air makin meluas, dan pemakaian air yang tidak efesien. Selain itu pengelolaan air bersih semakin rumit dengan meningkatnya jumlah penduduk dan menyusutnya debet sumber-sumber air.

Menurut Tim Aksi Penguatan Kelembagaan IPB (2004), dari perspektif kelembagaan, terdapat hubungan kausal (sebab-akibat) antara fenomena sumberdaya alam dan lingkungan serta sistem sosialnya. Pengelolaan sumberdaya air, erat kaitannya dengan perubahan-perubahan sosial yang terjadi pada tingkat rumah tangga, kelompok dan organisasi sosial, komunitas, dan masyarakat. Pengelolaan air bersih melalui kelembagaan yang berbasis masyarakat agar dapat berkelanjutan, juga tidak lepas dari konsep pembangunan berkelanjutan menurut Soemarwoto (2001), ialah : (a) terpeliharanya proses ekologi yang esensial, (b) tersedianya sumberdaya yang cukup dan (c) lingkungan sosial-budaya dan ekonomi yang sesuai.

(20)

membantu kondisi mereka sendiri, sekaligus menjaga sumber daya alam secara berkelanjutan. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2005, tentang Sistem Pengembangan Air Minum, masyarakat diperbolehkan ikut mengelola sumberdaya air, sehingga memberi ruang bagi penerapan pengelolaan berbasis masyarakat (community based management).

Ketiadaan dukungan pemerintah, dalam bentuk kebijakan di tingkat regional atau nasional, bisa menurunkan kelangsungan organisasi lokal semacam ini, dan jika terus menerus terjadi maka masyarakat tidak lagi berupaya membentuk suatu tatanan untuk kepentingan kehidupan sosial, ekonomi dan ekologi dalam jangka panjang. Ini berarti suatu kemunduran bagi upaya pencapaian keberlanjutan pembangunan.

Pengelolaan air bersih berbasis masyarakat menjadi lebih penting dalam pengertian proses perencanaan maupun pelaksanaannya. Asumsi dasar yang melandasi penerapan konsep ini adalah insiatif masyarakat dalam pengelolaan kawasan yang mereka ketahui, mereka miliki, mereka butuhkan untuk keperluan pokok sehari-hari, akan jauh lebih efektif dibandingkan bila pengelolaannya diserahkan terpusat oleh mereka yang di luar kawasan, baik dari sisi pemanfaatan sumberdaya lokal maupun keuntungan ekonomis.

Berdasarkan hal tersebut di atas, peneliti melakukan analisis hasil kajian, kemudian bersama stakeholders terkait melakukan Diskusi Kelompok Terfokus dengan menyusun rencana program pengembangkan kapasitas kelembagaan pengelolaan air bersih berbasis masyarakat di Desa Bumijawa, Kecamatan Bumijawa, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah.

Rumusan Masalah

(21)

sumber air. Di satu sisi, dengan bertambahnya jumlah konsumen air bersih di tingkat rumah tangga hanya mengandalkan sumber air Sayom dan Putri (bantuan pemerintah), tetapi tidak mampu memanfaatkan natural capital yang berupa kekayaan sumberdaya air yang ada di sekitar lokasi Desa Bumijawa dengan membuat jaringan dari sumber air lainnya untuk memasok debet air karena keterbatasan dana yang dimiliki oleh Pokmair Sayom secara swadaya.

Kapasitas pengurus Pokmair Sayom, dalam pengelolaannya lebih menekankan aspek sosial dengan iuran bulanan yang kurang mampu untuk operasional bulanan, sehingga aspek ekonomi dalam menggali finansial dan ekologi dalam memelihara keberlangsungan ekosistem di sekitar sumber air kurang diperhatikan, sedangkan tenaga teknis dan administrasi kurang optimal dalam pelayanannya. Ketegasan kepemimpinan sangat dibutuhkan dalam menerapkan aturan tertulis, seperti penerapan sangsi bagi anggota yang tidak disiplin dalam membayar iuran bulanan dan memperbaiki jaringan tanpa sepengetahuan pengurus yang menguntungkan diri sendiri, tetapi merugikan anggota lainnya.

Anggota Pokmair Sayom sebagai konsumen air bersih, lebih banyak menuntut hak agar terpenuhi kebutuhan air bersih di tingkat rumah tangga, hal ini ditunjukkan dengan tekanan terhadap pengurus, khususnya ketua Pokmair Sayom dalam dua periode, berhenti sebelum masa baktinya berakhir, tetapi kurang diimbangi dengan kewajiban dalam membayar iuran bulanan yang menurut penuturan bendahara, uang iuran rata-rata perbulan masuk sekitar 30 persen dari jumlah anggota sebanyak dua ratus tujuh puluh. Sedangkan perilaku hemat air, kepedulian serta tanggung jawab bersama dalam pemeliharaan jaringan dan keberlanjutan ekosistem di sekitar sumber air kurang mendapat perhatian.

(22)

Hal yang mendukung dalam pengelolaan air bersih berbasis masyarakat ialah dari sisi budaya masyarakat, karena mereka biasa bekerjasama, tipe solidaritas organik, adanya dukungan finansial terutama dari masyarakat yang tergolong mampu. Keberadaan sumberdaya air berdasarkan penuturan petugas sanitarian Puskesmas Bumijawa sangat layak kualitasnya yang bisa dikonsumsi langsung melalui jaringan pipa pedesaan. Adanya jaringan air bersih sampai ke pemukiman, juga merubah orientasi masyarakat terhadap air yang mempunyai nilai ekonomis.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti melaksanakan kajian pengembangan masyarakat tentang bagaimana pengembangan kapasitas kelembagaan pengelolaan air bersih berbasis masyarakat. Adapun rumusan kajian yang dapat peneliti susun adalah :

1. Bagaimana kapasitas kelembagaan pengelolaan air bersih berbasis masyarakat? 2. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas kelembagaan pengelolaan air

bersih berbasis masyarakat?

3. Bagaimanakah rencana strategis program pengembangan kapasitas kelembagaan pengelolaan air bersih berbasis masyarakat dalam memenuhi kebutuhan air bersih untuk keperluan rumah tangga?

Tujuan Kajian

Tujuan kajian ini adalah:

1. Menganalisis kapasitas kelembagaan pengelolaan air bersih berbasis masyarakat.

2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas kelembagaan pengelolaan air bersih berbasis masyarakat.

(23)

Manfaat Kajian

Hasil kajian pengembangan masyarakat yang dilakukan di Desa Bumijawa secara lebih khusus diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1. Pemerintah Kabupaten Tegal, dapat dijadikan bahan pustaka ilmiah dan rekomendasi dari hasil penelitian atau Kajian Pengembangan Masyarakat untuk pertimbangan dalam menentukan dan merumuskan kebijakan di tingkat kabupaten berkaitan dengan pengelolaan air bersih berbasis masyarakat.

2. Pemerintah Desa Bumijawa, dapat dijadikan rekomendasi dalam penyusunan kebijakan dan penyempurnaan program untuk memberdayakan masyarakat melalui program pengelolaan air bersih berbasis masyarakat secara mandiri dan berkelanjutan dalam upaya peningkatan pemenuhan kebutuhan air bersih. 3. Masyarakat Desa Bumijawa, menumbuhkan kesadaran dan peranserta

tanggungjawab sosial masyarakat secara profesional tentang keberadaan lembaga Pengelola Air Bersih Berbasis Masyarakat sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan air bersih di Desa Bumijawa.

(24)

TINJAUAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka Pengembangan Kapasitas

Pengembangan Kapasitas (capacity building), diartikan sebagai peningkatkan kemampuan masyarakat di segala bidang, termasuk mengorganisir diri sendiri dan mengembangkan jaringan (Gunardi, dkk, 2007). Sumpeno yang dikutip oleh Gunardi, dkk (2007), mengartikan pengembangan kapasitas sebagai peningkatan atau perubahan perilaku individu, organisasi, dan sistem masyarakat dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien. Peningkatan kemampuan individu mencakup perubahan daya, dalam hal pengetahuan, sikap, dan ketrampilan; peningkatan kemampuan kelembagaan meliputi perbaikan organisasi dan manajemen, keuangan, dan budaya organisasi; peningkatan kemampuan masyarakat mencakup kemandirian, keswadayaan, dan kemampuan mengantisipasi perubahan. Peningkatan kapasitas sangat diperlukan agar program dapat berkelanjutan, karena tanpa kemampuan yang besar, masyarakat akan tergantung pada pihak luar untuk mengatasi masalahnya.

Ada tiga level yang dapat menjadi obyek dalam capacity building, yaitu: (a) level individu dan group, (b) level institusi dan organisasi, dan (c) level sistem institusi secara keseluruhan. Peningkatan kapasitas individu biasanya berupa pelatihan-pelatihan untuk memperbaiki pengetahuan dan ketrampilan, untuk institusi dan organisasi dikenal dengan pendekatan social learning process, sedangkan kapasitas masyarakat secara umum akan tergantung kepada institusi yang sehat (viable institutions), kepemimpinan yang memiliki visi, dukungan finansial dan sumberdaya material, ketrampilan sumberdaya manusia, dan kerja yang efektif termasuk sistem, prosedur dan insentif kerja yang sesuai (Syahyuti, 2006).

(25)

sumberdaya manusia sehingga menjadi suatu local capacity. Kapasitas lokal yang dimaksud adalah kapasitas pemerintahan daerah, kapasitas kelembagaan swasta dan kapasitas masyarakat desa.

Organisasi-organisasi lokal diberi kebebasan untuk menentukan kebutuhan organisasi dan kebutuhan masyarakat. Karena itu, kebutuhan penting disini adalah bagaimana mengembangkan kapasitas masyarakat, yang mencakup kapasitas institusi dan kapasitas sumberdaya manusia. Di dalam kerangka kebijakan untuk pengembangan kelembagaan dan kawasan berbasis komunitas menjelaskan bahwa kapasitas kelembagaan (institutional capacity) merupakan program bottom-up, berupa program pemberdayaan dan partisipasi masyarakat, yang berupa aksi kolektif (Kolopaking, Tonny, 2007).

Menurut Kolopaking dan Tonny (2007), dalam pedoman umum kebijakan untuk pengembangan kelembagaan perlu berlandaskan prinsip-prinsip :

1. “Partisipatif”, yakni dimulai dengan suatu proses perencanaan partisipatif di aras mikro yang dilakukan bersama komunitas dengan melibatkan Pemerintah Komunitas, Badan Permusyawaratan Komunitas, dan pemangku kepentingan lainnya, seperti lembaga swadaya masyarakat.

2. “Keseimbangan” antara pembangunan di aras mikro dan makro. Dalam mengimplementasikan kedua aras tersebut perlu melibatkan pemerintah lokal dalam bentuk kebijakan pemerintah, maupun pihak swasta. Partisipasi dari pihak pemerintah lokal dalam hal ini dengan memberikan kemudahan dalam mendapatkan akses terhadap sumberdaya yang dimiliki.

(26)

4. “Sinergis” antar kelembagaan dan antar sektor pembangunan, artinya dalam pengembangan perlu dilakukan antara public sector, private sector, dan participatory sector. Dalam manajemen pembangunan untuk pengembangannya yang difasilitasi pemerintah, sinergi antar sektor pembangunan dan antar institusi pemerintah menjadi suatu prinsip yang sangat krusial yang dimanifestasikan dalam bentuk rencana pembangunan.

5. “Transparansi” dalam proses pengembangan kelembagaan. Prosesnya dilaksanakan dengan semangat keterbukaan, sehingga seluruh warga komunitas dan pemangku kepentingan lainnya memiliki akses yang sama terhadap informasi tentang rencana dan pengembangan.

Syahyuti (2003) menjelaskan bahwa untuk menguatkan kapasitas kelembagaan perlu dianalisa variabel-variabel yang ada di dalam kelembagaan tersebut. Dengan demikian kita dapat menentukan indikator-indikator yang menunjukkan kekuatan dari kelembagaan tersebut, sekaligus potensi dan kesempatan untuk ditingkatkan kapasitasnya. Variable-variabel dalam kelembagaan yang perlu dianalisa adalah nilai, norma yang berlaku, dan group atmosphere (berkaitan dengan perilaku kolektif).

Menurut Floyd Ruch yang dikutip oleh Santoso (2004), group atmosphere menyangkut hal-hal berikut :

1. Keadaan fisik tempat/kelompok, seperti tersedianya fasilitas dan peralatan yang dibutuhkan anggota.

2. Treat Reduction (rasa aman), menyangkut ketentraman anggota untuk tinggal dalam kelompoknya (tidak ada ancaman, tidak saling curiga, tidak saling bermusuhan).

3. Distributive leadership (kepemimpinan bergilir), adanya pemindahan kekuasaan untuk pengendalian dan pengawasan terhadap kelompoknya. Dengan demikian, tiap anggota yang diberi kekuasaan akan dapat mengetahui kemampuan mereka masing-masing dan lebih dari itu akan menanamkan rasa tanggung jawab yang besar terhadap kelompok secara keseluruhan, baik pada saat menjadi pimpinan maupun sebagai anggota kelompok.

(27)

5. Flexibility (fleksibilitas). Segala sesuatu yang menyangkut kelompok seperti suasana, tujuan, kegiatan, struktur, dapat mengikuti perubahan yang terjadi. 6. Concensus (mufakat). Dengan mufakat yang ada dalam kelompok, semua

perbedaan angggota dapat teratasi sehingga tercapai keputusan yang memuaskan semua anggota.

7. Process awareness (kesadaran berkelompok). Adanya peranan, fungsi, dan kegiatan masing-masing anggota dalam kehidupan berkelompok maka tiap-tiap anggota pasti timbul rasa kesadaran terhadap kelompoknya, terhadap sesama anggota, dan pentingnya berorientasi satu sama lain.

8. Continual evaluation (penilaian yang kontinyu). Kelompok yang baik seringkali mengadakan penilaian secara kontinyu terhadap perencanaan kegiatan dan pengawasan kelompok sehingga dapat diketahui tercapai/tidaknya tujuan kelompok.

Kluckkon dalam Syahyuti (2003) memberikan pertanyaan-pertanyaan yang berguna untuk mengetahui nilai dalam kelembagaan tersebut. Inti pertanyaan tersebut adalah untuk mengupas nilai yang berlaku dari sistem tata nilai, jenis nilai dan orientasi dari nilai tersebut. Sedangkan norma dilihat berupa aturan-aturan yang merupakan kesepakatan bersama dan dilakukan oleh masyarakat dalam kelembagaan tersebut. Sementara group atmosphere lebih menyangkut kinerja kelembagaan tersebut dan masyarakat yang ada di dalamnya.

Berdasarkan penjelasan tersebut, penguatan kapasitas kelembagaan dapat dilakukan dalam berbagai aspek, yaitu: (a) Perubahan peran dan fungsi kelembagaan, (b) Pengertian nilai dan norma, (c) Pengertian kelembagaan melalui pengertian program teknologi, informasi, jejaring dan kepemimpinan. Apabila dikaitkan dengan pengembangan kapasitas kelembagaan pengelolaan air bersih komunitas, yang dilakukan ialah dengan melakukan perubahan peran dan fungsi, termasuk norma/aturan kelompok berdasarkan kebutuhan komunitas, termasuk mempertimbangkan perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan komunitas.

(28)

Konsep partisipatori mengandung makna masyarakat memiliki peran dalam pengelolaan sumberdaya air. Adapun prinsip-prinsip pengembangan kapasitas kelembagaan dalam pengembangan masyarakat adalah: pengembangan kapasitas masyarakat dengan pendekatan pembangunan berbasis kekuatan dari bawah (kekuatan sumberdaya manusia, sumberdaya ekonomi, sumberdaya alam) atau local capacity; kapasitas lokal (kapasitas pemda, lembaga swasta, komunitas) untuk pengembangan masyarakat; organisasi lokal menentukan kebutuhan organisasi dan kebutuhan masyarakat (Tonny, 2007).

Kelembagaan

Mempelajari kelembagaan merupakan sesuatu yang esensial, karena masyarakat modern beroperasi dalam organisasi-organisasi. Tiap perilaku individu selalu dapat dimaknai sebagai representatif kelompoknya. Seluruh hidup kita dilaksanakan dalam organisasi, mulai dari lahir, bekerja, sampai meninggal. Kegiatan manusia, baik sengaja maupun tidak sengaja selalu diulang-ulang, akhirnya menjadi melekat dan menjadi bagian yang tak terpisahkan serta mengatur aktivitas manusia itu sendiri.

Kelembagaan sendiri merupakan terjemahan langsung dari istilah “social institution”. ‘Social institution’ dan ‘social organization’ berada dalam level yang sama, untuk menyebut apa yang kita kenal dengan kelompok sosial, group, social form dan lain-lain yang relatip sejenis. Kata kelembagaan lebih disukai karena memberi kesan lebih sosial, lebih menghargai budaya lokal, lebih humanis dan mengindikasikan suatu keinginan serta harapan yang murni, karena lebih menuju inti pokok suatu sistem sosial, sesuatu yang mengakar dan datang dari bawah (Syahyuti, 2003).

(29)

kelembagaan hanya difokuskan kepada kelembagaan yang memiliki struktur, serta organisasi yang potensial untuk dikembangkan (Syahyuti, 2006).

Adapun institution atau pranata ialah sebagai kelakuan berpola dari manusia dalam pengaruh dari tiga wujud kebudayaan, yaitu: (1) sistem norma dan tata kelakuan dalam konteks wujud ideal kebudayaan, (2) kelakuan berpola untuk wujud kelakuan kebudayaan, dan (3) peralatannya untuk wujud fisik kebudayaan. Ditambah dengan personelnya sendiri, dari empat komponen tersebut yang saling berinteraksi satu sama lain (Koentjaraningrat, 2002). Gambar komponen-komponen pranata atau institution, dapat dilihat pada gambar 1:

Gambar 1: Komponen-komponen dari Pranata Sosial

Aktivitas manusia yang berulang-ulang terus menjadi bagian dari manusia dan masyarakatnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, kemudian prosesnya menjadi kerangka pengaturan untuk memenuhi kebutuhan yang terbentuk-tumbuh-berkembang-berubah-mati-berganti-berbentuk yang baru, kemudian seterusnya menjadi siklus kehidupan dinamakan kelembagaan sosial (Kolopaking dan Tonny, 2007). Dari hasil analisis kajian potensi kelembagaan lokal bagi pengelolaan sumberdaya air berbasis masyarakat salah satu kesimpulannya, yaitu: Kondisi kelembagaan ideal bagi sistem Community Based Management adalah apabila masyarakat setempat memiliki bentuk kelembagaan dengan tingkat kepemimpinan, rule of law, derajat ketaatan dan penegakkan yang tinggi (Suharno, 2005).

Sistem Norma

Pranata yang berpusat pada suatu kelakuan berpola

Personal Peralatan

(30)

Dari pendapat para ahli tentang kelembagaan, namun apa yang dimaksud pada umumnya adalah sama, merupakan sesuatu yang stabil, mantap, berpola, berfungsi untuk tujuan-tujuan tertentu dalam masyarakat, ditemukan dalam sistem sosial tradisional maupun modern dan berfungsi untuk mengefisiensikan kehidupan sosial. Ada dua aspek dalam kelembagaan, yaitu: (a) aspek kelembagaan perilaku; (b) aspek keorganisasian-struktur, dimana keduanya merupakan komponen pokok dalam setiap kelompok sosial. Perilaku dan Struktur sebagai bagian utama aspek kelembagaan dan aspek keorganisasian saling membutuhkan satu sama lain, ibarat dua sisi mata uang (Syahyuti, 2003).

Sedangkan menurut pendekatan konseptual kelembagaan berkelanjutan, karena faktor-faktor internal (kepemimpinan, pendidikan dan ketersediaan anggaran) dan faktor-faktor eksternal ( kebijakan pemerintah lokal dan insentif kelembagaan). Hasil studi ilmiah dirumuskan faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan kelembagaan komunitas lokal dalam pengelolaan DAS Citanduy, yaitu: (a) jejaring kerjasama; (b) intervensi positif pemerintah; (c) kecukupan

anggaran dan (d) aturan-aturan tertulis (Tonny, 2004).

Pemberdayaan Masyarakat

Proses peningkatan kesejahteraan masyarakat, dapat diterapkan dengan berbagai pendekatan, salah satunya adalah pemberdayaan masyarakat. Istilah keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah kemampuan individu-individu lainnya dalam masyarakat untuk membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan (Anwar, 2007). Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang berada dalam kondisi tidak mampu dengan mengandalkan kekuatannya sendiri sehingga dapat keluar dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan atau proses memampukan dan memandirikan masyarakat (Kartasasmita, 1996).

(31)

2007). Konsep pemberdayaan (empowerment) dalam wacana pengembangan masyarakat selalu dikembangkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan (Hikmat, 2006).

Pemberdayaan masyarakat, mengacu kepada kata empowerment, yaitu sebagai upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang sudah dimiliki oleh masyarakat. Jadi, pendekatan pemberdayaan masyarakat titik beratnya adalah pemahaman pada pentingnya masyarakat lokal yang mandiri sebagai suatu sistem yang mengorganisir diri mereka sendiri. Pendekatan pemberdayaan masyarakat yang demikian diharapkan dapat memberi peranan kepada individu bukan sebagai objek, tetapi justru sebagai subjek pembangunan yang ikut menentukan masa depan kehidupan masyarakat secara umum (Hikmat, 2006).

Dilihat dari sasaran dan ruang lingkupnya, menurut Wasistiono dalam Roesmidi dan Riza (2006) pemberdayaan dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu pemberdayaan individu, anggota organisasi atau masyarakat; pemberdayaan pada tim atau kelompok masyarakat ; pemberdayaan pada organisasi dan pemberdayaan pada masyarakat secara keseluruhan. Dalam hal ini adalah pemberdayaan pengelolaan air bersih berbasis masyarakat dengan pengembangan kapasitas kelembagaannya.

(32)

Partisipasi Masyarakat

Partisipasi menurut Sumardjo dan Saharuddin (2007); mengandung makna peranserta seseorang atau sekelompok orang atau sesuatu pihak dalam suatu kegiatan atau upaya mencapai sesuatu yang secara sadar diinginkan oleh pihak yang berperanserta tersebut. Bila menyangkut partisipasi dalam pembangunan masyarakat, maka menyangkut keterlibatan secara aktif dalam pengambilan keputusan, pelaksanaan, evaluasi dan menikmati hasilnya atas suatu usaha perubahan masyarakat yang direncanakan untuk mencapai tujuan-tujuan masyarakat.

Sebagaimana diketahui, pembangunan pada dasarnya merupakan proses perubahan, dan salah satu bentuk perubahan yang diharapkan adalah perubahan sikap dan perilaku. Partisipasi masyarakat yang semakin meningkat baik secara kualitatif maupun kuantitatif merupakan salah satu perwujudan dari perubahan sikap dan perilaku tersebut. Agar proses pembangunan dapat berlangsung secara berkelanjutan, maka perlu diusahakan agar ada kesinambungan dan peningkatan yang bersifat komulatif dari partisipasi masyarakat melalui berbagai tindakan bersama dan aktivitas lokal tadi. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah keterlibatan masyarakat dalam proses tersebut yang dilandasi oleh kesadaran dan determinasi.

Prasyarat untuk berpartisipasi ( Kolopaking dan Tonny, 2007), yaitu adanya: 1. Kesempatan, yaitu adanya suasana atau kondisi lingkungan yang disadari oleh

orang tersebut bahwa dia berpeluang untuk berpartisipasi.

2. Kemauan, adanya sesuatu yang mendorong menumbuhkan minat dan sikap mereka untuk termotivasi berpartisipasi, misalnya berupa manfaat yang dapat dirasakan atas partisipasinya tersebut.

3. Kemampuan, adanya kesadaran dan keyakinan pada dirinya bahwa dia mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi, bisa berupa pikiran, tenaga, waktu, atau sarana dan material lainnya.

(33)

konstribusi/sumbangan yang dapat menunjang keberhasilan program pembangunan dengan berbagai bentuk atau jenis partisipasi. Adapun bentuk-bentuk jenis partisipasi sosial menurut Sulaiman (1985), ada lima macam, yaitu: 1. Partisipasi langsung dalam kegiatan bersama secara fisik dan tatap muka 2. Partisipasi dalam bentuk iuran uang, atau barang dalam kegiatan partisipatori,

dana, dan sarana sebaiknya datang dari dalam masyarakat sendiri 3. Partisipasi dalam bentuk dukungan

4. Partisipasi dalam proses pengambilan keputusan

5. Partisipasi representatif dengan memberikan kepercayaan dan mandat kepada wakil-wakil yang duduk dalam organisasi atau panitia.

Selanjutnya, agar tindakan bersama tersebut lebih bersandar pada prakarsa dan partisipasi masyarakat sendiri dibutuhkan adanya kompetensi masyarakat terhadap proses pembangunan di lingkungannya. Menurut Ndraha (1987) yang dikutip oleh Soetomo (2006) menyebutkan komunitas yang kompeten merupakan kehidupan bersama yang memiliki empat komponen, yaitu: (a) mampu mengidentifikasi masalah dan kebutuhan komunitas; (b) mampu mencapai kesepakatan tentang sasaran yang hendak dicapai dan skala prioritas; (c) mampu menemukan dan menyepakati cara dan alat mencapai sasaran yang telah disepakati bersama; (d) mampu bekerjasama secara rasional dalam bertindak mencapai sasaran.

Adapun untuk mengembangkan partisipasi, dilihat dari proses belajar maka pendekatan partisipasi atas permintaan setempat lebih sesuai dan banyak digunakan dalam praktek lapangan. Kegiatan ini peranan pihak eksternal lebih bersifat menjawab kebutuhan yang diputuskan dan dinyatakan oleh masyarakat lokal, bukan kebutuhan berdasarkan program yang dirancang dari luar (Mikkelsen, 2003).

(34)

masyarakat dalam perumusan program, tidak semata-mata sebagai konsumen program, tetapi juga sebagai produsen karena telah ikut serta terlibat dalam proses pembuatan atau perumusannya.

Hal ini menyebabkan masyarakat merasa ikut memiliki program tersebut, sehingga kemudian juga mempunyai tanggungjawab bagi keberhasilannya. Oleh sebab itu masyarakat juga lebih memiliki motivasi bagi partisipasi pada tahap-tahap berikutnya. Dengan demikian keterkaitan masyarakat dalam pelaksanaan program akan terbentuk karena kesadaran dan determinasinya, bukan karena dimobilisasi oleh pihak luar.

Apabila hal tersebut dilakukan secara berulang-ulang, maka akan memacu semakin cepat terwujudnya proses institusionalisasi atau keterlembagakannya perilaku membangun dalam masyarakat. Hal itu disamping merupakan suatu bentuk perwujudan dari berlakunya prinsip pengelolaan yang berbasis komunitas juga akan menjamin proses yang berkelanjutan karena masyarakat telah mempunyai kapasitas swakelola.

Partisipasi masyarakat pada tahap evaluasi akan membawa dampak positif bagi penyempurnaan dan pencarian alternatif yang terus menerus. Hasil evaluasi yang dilakukan akan dapat menjadi umpan balik bagi perbaikan dan penyempurnaan program-program berikutnya. Dengan demikian, melalui partisipasi masyarakat akan terjadi proses bekerja sambil belajar secara berkesinambungan.

(35)

Studi Kasus mengenai Peningkatan Partisipasi Anggota Organisasi PKK dalam Pengembangan Masyarakat, bahwa dalam rancangan program Pelatihan Pengembangan Masyarakat secara partisipatif bagi pengurus PKK, disimpulkan bahwa pelibatan anggota dalam pengambilan keputusan dan implementasinya, sehingga pelaksanaan program-programnya sesuai dengan keinginan dan kebutuhan anggota, yang pada akhirnya timbul rasa memiliki, tanggung jawab dan berkelanjutan program tersebut (Rokna, 2004).

Pengelolaan Air Bersih Berbasis Masyarakat

Pengelolaan Air Bersih Berbasis Masyarakat merupakan penerapan dari konsep Community Based Resource Management (CBRM). Menurut Syahyuti (2006) CBRM adalah suatu pendekatan pembangunan yang menekankan kepada kesalinghubungan manusia dengan segala hal yang ada di lingkungannya, yang dimulai dengan pengembangan komunitas yang terdiri dari individu-individu yang paham tentang ekosistemnya, dan ingin berkerja dengan orang lain secara inklusif, hormat untuk memperbaiki dan menjaga lingkungannya, mencoba untuk menyediakan kehidupan yang sustain untuk generasi sekarang dan mendatang, serta komitmen dengan keadilan sosial (social justice). Dari konsep ini lahirlah pendekatan Comunnity-Based Natural Resource Management (CBNRM) dengan tekanan pada sumberdaya alam. CBNRM yaitu suatu aktivitas yang menekankan kepada manajemen sumberdaya alam oleh, untuk, dan dengan komunitas lokal (Syahyuti, 2006).

(36)

bentuk organisasi lokal, peraturan dan pengaturan penggunaan setempat, mekanisme finansial, dan perumusan sangsi; (c) masyarakat memiliki kontrol dalam hal kepemilikan sarana, hasil pembuatan keputusan, serta kualitas kerja dan fungsi sarana ( IRC, 1999).

Pengelolaan air bersih oleh komunitas merupakan perwujudan terselenggaranya desentralisasi. Sudah tentu untuk terselenggaranya desentralisasi dalam bentuk swakelola dengan berbagai perubahan metode dalam proses pengambilan keputusan tersebut, diperlukan beberapa prasyarat: (a) Mekanisme baru dalam proses pengambilan keputusan dan pengelolaan sumberdaya alam perlu difasilitasi dalam bentuk institusi sosial yang cukup mengakar dalam masyarakat, bukan hanya suatu kelompok/organisasi atau lembaga formal, tetapi lebih sebagai suatu pola aktivitas yang sudah menjadi bagian integral dalam kehidupan masyarakat; (b) pemberian kewenangan kepada masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan yang didukung oleh kapasitas masyarakat; (c) desentralisasi mengandung makna pendelegasian wewenang kepada level yang lebih rendah, dalam hal ini kepada masyarakat lokal (Soetomo, 2006).

Untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat tersebut dibutuhkan proses perubahan dalam berbagai dimensi yang menyesuaikan dengan dimensi kesejahteraan yang diharapkan. Sehubungan dengan hal tersebut, perubahan fisik, teknologi dan ekonomi saja belumlah cukup. Salah satu bentuk perubahan sosial yang penting adalah perubahan kelembagaan. Sajogyo (1997), menyatakan bahwa setiap perubahan adalah pembangunan, dimana keberhasilan pembangunan masyarakat yang berkelanjutan apabila dalam proses perubahan tersebut terkandung perubahan kelembagaan dan organisasi yang mampu menggerakkan masyarakat secara mandiri.

(37)

desa Cibodas dan kesejahteraan masyarakat. Bahkan jumlah mata air bertambah dari yang tadinya tergantung satu mata air, sekarang menjadi tiga buah mata air yang dikelola untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat (Suci, 2007).

Pengalaman di beberapa tempat seperti pengolahan dan pengelolaan air bersih di Ngampilan Yogyakarta, penanganan air bersih dari konsep, konstribusi hingga manajemen bagi masyarakat di Kabupaten Sumba Barat dan Sumba Timur, menunjukkan bahwa masyarakat merupakan “center point” yang harus diikutsertakan agar bersama-sama menyelesaikan masalah yang dihadapi melalui bentuk-bentuk seperti “community participatory”. Jelas pula pengalaman kami menunjukkan bahwa sistim dapat berfungsi dengan baik dan terbukti harga/tarif dari air bersih relatif terjangkau oleh masyarakat (Peteryan, 2004).

Tidak termanfaatkan pasokan air bersih itulah yang dikatakan sebagai krisis manajemen air, bukan karena krisis ketersediaan air bersih. Krisis manajemen air menyebabkan terganggunya pasokan air bersih ke konsumen kelompok masyarakat. Terganggunya akses air bersih ini bukan karena ketersediaan air terbatas, melainkan karena kelembagaan pengurusan air tidak siap dalam mengantisipasi dan mengatasi tantangan permasalahan akses masyarakat atas sumberdaya air (Chary, 2008).

Kerangka Berfikir

Pengelolaan sumber daya berbasis komunitas (Community Based Resources Management) merupakan strategi pembangunan masyarakat yang memberi peran dominan kepada masyarakat pada tingkat komunitas untuk mengelola proses pembangunan, salah satunya dalam mengontrol dan mengelola sumber daya air yang dapat memenuhi kebutuhan lokal dan bernilai produktif. Oleh sebab itu, dalam strategi pengelolaan sumber daya air berbasis komunitas ini sangat diperlukan peranan prakarsa, kreativitas dan partisipasi masyarakat dalam keseluruhan proses pengembangan kapasitasnya.

(38)

melalui berbagai tindakan bersama dan aktivitas lokal, termasuk adanya perubahan kelembagaan dan organisasi yang mampu menggerakan masyarakat secara mandiri. Dengan demikian, berarti pendekatan partisipatoris harus dilihat sebagai pendekatan utama dalam strategi pengelolaan sumberdaya air berbasis komunitas.

Permasalahan mendasar adalah keterbatasan manajemen pengelolaan air bersih berbasis masyarakat yang diharapkan dapat menumbuhkan kapasitas kelembagaan dengan mensinergikan insentif-insentif kelembagaan dalam bentuk pembangunan infrastruktur maupun fasilitas program pemerintah yang mendukung pengelolaan sumber daya air dengan adanya tanggung jawab sosial masyarakat dalam bentuk partisipasi. Apabila didukung dengan tingkat kemampuan yang memadai dan adanya kesempatan untuk berpartisipasi dalam menentukan aspek pemanfaatan, pelestarian dan pengendalian dalam pengelolaan sumberdaya air, maka masyarakat dapat terpenuhi kebutuhan air bersih bagi kepentingan rumah tangga secara adil dan dengan biaya yang terjangkau.

(39)

Dengan pendekatan partisipatoris, setelah menganalisis kapasitas kelembagaan pengelolaan air bersih berbasis masyarakat dan mengidentifikasi faktor-faktornya, maka melalui Focus Group Discussion dapat menyusun program pengembangan kapasitas kelembagaan dalam rangka adanya proses perubahan yang dibarengi perubahan sosial dalam kelembagaan Pokmair Sayom, sehingga mampu menggerakkan masyarakat secara mandiri, dengan menekankan pada pendekatan proses, dari mulai proses identifikasi, perumusan masalah, kebutuhan, kemudian menyusun rencana program kelembagaan pengelolaan air bersih berbasis masyarakat yang mampu mengembangkan kapasitas dalam pelayanan memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat untuk keperluan rumah tangga. Gambar kerangka pemikiran kajian tertera berikut ini:

,

Gambar 2: Kerangka Pemikiran Kajian

(40)

Definisi Operasional

1. Variabel-Indikator : Kapasitas Pengurus

a) Kepemimpinan : Perilaku yang dimiliki oleh Ketua Pokmair Sayom serta kemampuannya untuk mempengaruhi orang lain

1) Hubungan anggota dengan Ketua Pokmair Sayom; 2) Hubungan pengurus dengan Ketua Pokmair Sayom;

3) Keterlibatan dalam perencanaan, pengelolaan dan evaluasi; 4) Keterlibatan dalam menghadapi dan mengatasi setiap persoalan; 5) Frekwensi mengontrol jaringan dan administrasi;

b) Pendidikan : Tingkat pendidikan formal dan non formal yang dimiliki pengurus

1) Pendidikan formal terakhir yang ditempuh;

2) Pelatihan tentang pengelolaan teknis air bersih yang pernah diikuti c) Kemampuan mengelola Pokmair Sayom: Kemampuan mengelola baik

secara organisatoris, administratif maupun secara teknis.

1) Status dalam kepengurusan (Pengurus harian, Seksi-seksi/Pembantu Umum);

2) Keberhasilan melaksanakan tugas dan tanggung jawab secara organisatoris, teknis dan adminstrasi sesuai dengan jabatan dalam kepengurusan secara rutin.

d) Penegakkan aturan (Norma Kelompok); Kemampuan melaksanakan tugas dan tanggung jawab dalam pelayanan terhadap anggota sesuai dengan aturan/norma kelompok.

1) Adanya aturan tetulis tentang sangsi dan penghargaan terhadap anggota dan pengurus berdasarkan kesepakatan;

2) Merealisasikan aturan sangsi dan penghargaan terhadap anggota dan pengurus.

2. Variabel-Indikator: Kapasitas Anggota

(41)

kemampuan dengan melakukan tindakan dalam bentuk pemikiran, dana, dukungan, pengambilan keputusan maupun tenaga.

1) Adanya kesempatan, kemauan, dan kemampuan sebagai prasyarat yang mendukung dalam melaksanakan partisipasi.

2) Keterlibatan dalam proses kegiatan dalam berbagai bentuk (dukungan, tenaga, dana, pemikiran, pengambilan keputusan).

3) Kehadiran di dalam forum pertemuan Pokmair Sayom.

b) Pendidikan : Tingkatan pendidikan formal dan non formal yang dimiliki pengurus

1) Pendidikan formal terakhir yang ditempuh;

2) Pelatihan tentang pengelolaan teknis air bersih yang pernah diikuti. c) Derajat ketaatan: Kesadaran rasa tanggung jawab terhadap kewajiban

sebagai anggota dalam melaksanakan aturan/norma kelompok. 1) Keaktifan melaksanakan kewajiban iuran bulanan

2) Adanya stop kran di jaringan air bersih rumah tangga;

3) Keaktifan memfungsikan stop kran, di saat kebutuhan air bersih sudah terpenuhi.

3. Variabel-Indikator: Kebijakan dan Intervensi Program Pemerintah

a) Kebijakan Pemerintahan Desa: Keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan oleh pemerintahan Desa Bumijawa yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumber daya air, finansial dan manusia demi kepentingan publik, yakni masyarakat.

1) Realisasi kebijakan pemerintahan desa Bumijawa yang berkaitan dengan pengelolaan air bersih di Desa Bumijawa (Perdes, Keputusan Kades, Surat Perintah Tugas, tidak ada).

b) Intervensi Program Pemerintah

(42)

2) Alokasi anggaran yang pernah dilakukan berkaitan intervensi program pemerintah dalam pembangunan dan perbaikan sarana air bersih (APBN, APBD I, APBD II);

3) Pembinaan atau pelatihan yang berkaitan dengan teknis pengelolaan air bersih.

4. Variabel-Indikator: Kapasitas Kelembagaan Pengelolaan Air Bersih Berbasis Masyarakat.

a) Sarana dan prasarana: fasilitas dan perlengkapan yang dimiliki dan dibutuhkan dalam menunjang pengelolaan dan pelayanan air bersih bagi anggota.

1) Adanya kantor sekretariat;

2) Adanya kelengkapan administrasi Pokmair Sayom;

3) Adanya peralatan teknis untuk perawatan dan perbaikan jaringan air bersih Sayom;

4) Banyaknya/Jumlah Sumberdaya air yang dikelola (lebih dari satu sumber, satu sumber);

5) Terpenuhinya kebutuhan minimum air bersih.

b) Ketersediaan anggaran: Jumlah dana yang dikelola dari hasil iuran wajib bulanan anggota, yang dapat mencukupi untuk kebutuhan operasional. 1) Adanya pemasukan dana dari iuran wajib anggota setiap bulan; 2). Tersedianya dana operasional bulanan untuk pengurus;

3) Tersedianya dana operasional bulanan untuk pemeliharaan dan perbaikan jaringan;

4) Tersedianya kas/tabungan, setelah dikurangi pengeluaran bulanan. c) Norma/Aturan tertulis: Nilai-nilai dan aturan-aturan baik tertulis maupun

tidak tertulis yang telah disepakati berdasarkan hasil musyawarah anggota dan pengurus.

1) Adanya AD/ART Pokmair Sayom;

(43)

3) Dasar Hukum keberadaan kepengurusan Pokmair Sayom dari hasil musyawarah anggota (Perdes, SK. Kepala Desa, Surat Tugas Kepala Desa, Tidak ada).

d) Jejaring kerjasama: Adanya kerjasama dalam hal pembinaan teknis, keuangan, administrasi, ekologis dengan stakeholders lain

1) Adanya pembinaan teknis pengelolaan air bersih dari stakeholders pemerintah/swasta;

2) Adanya pembinaan administrasi pengelolaan air bersih dari stakeholders;

3) Adanya pelatihan teknis dan administrasi pengelolaan air bersih dari stakeholders;

4) Adanya kerjasama administrasi dan keuangan dengan stakeholders; 5) Adanya kerjasama dalam kegiatan pemeliharaan keberlanjutan

(44)

METODOLOGI

Pendekatan dan Strategi Kajian

Sesuai dengan latar belakang dan tujuan serta kerangka pemikiran, maka kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yang didasarkan pada tingkat kebaruan informasi yang akan diperoleh dari situasi sosial (lapangan). Kebaruan informasi itu berupa upaya untuk memahami secara lebih luas dan mendalam tentang situasi sosial (Sugiyono, 2005).

Strategi Kajian dengan Studi Kasus untuk melacak peristiwa-peristiwa kontemporer, bila peristiwa-peristiwa yang bersangkutan tak dapat dimanipulasi dan suatu inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena di dalam konteks kehidupan nyata, bila batas-batas antara fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas, dimana multi sumber bukti dimanfaatkan (Yin, 2003). Studi Kasus merupakan pilihan yang relevan untuk mengkaji suatu permasalahan di tingkat komunitas, dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan eksploratori ‘bagaimana’.

Hal ini berkenaan dengan kaitan-kaitan operasional yang menuntut pelacakan waktu tersendiri, dengan melakukan analisis historis dari hasil studi dokumentasi, yang diperkuat dari hasil wawancara mendalam dan melakukan observasi dan dilanjutkan dengan pelaksanaan Fokus Group Discussion untuk menyusun rencana aksi program. Dengan studi kasus merupakan instrumental yang bersifat deskriptif terhadap permasalahan pemenuhan kebutuhan air bersih di tingkat rumah tangga melalui Kelompok Pemakai Air Bersih (Pokmair) Sayom di Desa Bumijawa.

Tipe dan Aras Kajian

(45)

pendekatan ini mengharuskan adanya interaksi langsung antara peneliti dengan subyek yang diteliti (Sitorus dan Agusta, 2006).

Lokasi dan Waktu Kajian

Kajian pengembangan masyarakat dilakukan di Desa Bumijawa, Kecamatan Bumijawa, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah, sesuai dengan lokasi pelaksanaan Praktek Lapangan I yang telah dilaksanakan pada tanggal 23 Januari sampai dengan 29 Pebruari 2008 yang menghasilkan pemetaan sosial dan pelaksanaan Praktek Lapangan II pada tanggal 19 Mei sampai dengan 14 Juni 2008 yang menghasilkan evaluasi program pengembangan masyarakat, terutama yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya air berbasis masyarakat dan pemenuhan kebutuhan air bersih untuk keperluan rumah tangga. Hasil praktikum PL I dan PL II, dijadikan bahan untuk kajian pengembangan kapasitas pengelolaan kelembagaan air bersih berbasis masyarakat melalui Kelompok Air Bersih Sayom untuk memenuhi kebutuhan air bersih rumah tangga.

Penelitian (kajian) direncanakan pada awal Oktober sampai dengan Nopember 2008. Kegiatan pelaksanaan kajian, mulai dari penyusunan proposal, kolokium, penelitian di lapangan, seminar, sampai ujian dapat dilihat dalam tabel berikut ini:

Tabel 1. Jadwal Kegiatan Kajian Pengembangan Masyarakat (KPM)

Kegiatan Tahun 2008 Tahun 2009

Juli Agsts Sept. Okt. Nop. Des. Jan. Febr. Mrt.

(46)

Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam kajian pengembangan masyarakat ini adalah :

1. Studi Dokumentasi, yaitu untuk mengumpulkan data sekunder dengan mempelajari dokumen-dokumen/data yang terkait dengan pemetaan sosial dan kegiatan pengembangan masyarakat Panitia Kemitraan (Pakem) Tirta Sayom, potensi sumberdaya air, sarana dan prasarana Pokmair Sayom, intervensi program pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan air bersih dan pengelolaan sumber air bersih untuk keperluan rumah tangga yang berbasis masyarakat, baik yang ada dalam arsip pemerintahan desa, UPTD Puskesmas (bidang sanitasi/pengelolaan air bersih masyarakat), BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat) Satria Desa Bumijawa, Administrasi Kelompok Pemakai Air Bersih Sayom.

2. Observasi berpartisipasi, dengan melakukan pengamatan dan berinteraksi sosial secara aktif mengenai perilaku anggota Pokmair dalam memenuhi kebutuhan air bersih sehari-hari melalui jaringan pipanisasi serta keterlibatan akses dan kontrol pengelolaan air bersih komunitas, perilaku pengurus dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan administrasi dan teknis dalam melayani kebutuhan air bersih anggotanya, serta melihat secara langsung kondisi jaringan pipanisasi, sumber air yang dimanfaatkan oleh Pokmair Sayom (Sayom, Putri dan Lemper), Bak Induk Penampung Desa, Bak Pelepas Tekan, Eks Kantor Sekretariat Pokmair Sayom.

(47)

pengalaman-pengalaman, termasuk permasalahan yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan air bersih masyarakat, intervensi program pemerintah, swadaya masyarakat dan pengelolaan air bersih berbasis masyarakat.

4. Diskusi dengan informan yang mewakili tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh agama, tokoh wanita, Kepala Desa, BPD, LKMD, BKM Satria, Karang Taruna Taman Kusuma, pengurus dan anggota Pokmair Sayom, stakeholders terkait melalui Focus Group Discussion (FGD), untuk mendapatkan data tentang potensi, permasalahan dan alternatif pemecahan dalam bentuk penyusunan program pengembangan kapasitas kelembagaan pengelolaan air bersih berbasis masyarakat di Desa Bumijawa.

Dalam pelaksanaan teknik pengumpulan data di lokasi, dengan menggunakan pedoman studi dokumentasi, observasi,wawancara mendalam dan FGD sebagaimana dalam lampiran satu, halaman 119 sampai 135.

Pengolahan dan Analisa Data dilakukan melalui tahapan sebagai berikut : 1. Reduksi data, kegiatan ini peneliti mengumpulkan, memilah dan meringkas

data hasil studi dokumentasi, observasi, wawancara mendalam kemudian mengkategorisasikan data yang memiliki arti dan berkaitan dengan variabel kapasitas kelembagaan pengelolaan air bersih, seperti sarana dan prasarana, pengelolaan anggaran, norma/nilai yang berlaku, jejaring kerjasama yang dilakukan serta faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas kelembagaannya, seperti faktor kapasitas pengurus, faktor kapasitas anggota, faktor kebijakan dan intervensi program pemerintah yang berkaitan dengan air bersih di masyarakat serta data potensi, masalah dan kebutuhan.

2. Penyajian Data, yaitu mengkonstruksi data dalam bentuk narasi dan grafik atau bagan, sehingga mempermudah dalam analisis masalah. Data yang telah dikategorisasi bersama disajikan dalam bentuk narasi, tabel dan bagan.

(48)

mempengaruhi kelembagaan pengelolaan air bersih berbasis masyarakat. Selanjutnya menganalisis dan menginterpretasikan potensi, masalah dan kebutuhan yang dikembangkan dalam forum FGD yang menghasilkan rencana program pengembangan kapasitas kelembagaan pengelolaan air bersih berbasis masyarakat.

Penyusunan Rencana Program

Penyusunan program pengembangan kapasitas kelembagaan pengelolaan air bersih berbasis masyarakat dilakukan dengan pendekatan partisipatif melalui Fokus Group Discussion, baik dalam perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan maupun evaluasi agar program strategis dalam bentuk aksi program dengan kondisi dan kemampuan masyarakat lokal.

Penyusunan program dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:

1. Merumuskan fokus masalah berdasarkan informasi, data hasil observasi, wawancara mendalam, dengan berbagai informan, kemudian menganalisis kapasitas kelembagaan pengelolaan air bersih berbasis masyarakat, mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas Pokmair Sayom, yaitu kapasitas pengurus dan anggota Pokmair Sayom serta kebijakan dan intervensi program pemerintah tentang pemenuhan kebutuhan air bersih di tingkat rumah tangga melalui pengelolaan air bersih berbasis masyarakat. Selanjutnya melakukan tukar pendapat dengan informan kunci maka didapatkan fokus masalah tentang pengembangan kapasitas kelembagaan pengelolaan air bersih berbasis masyarakat.

(49)

3. Menyusun rencana program, dengan tahapan melakukan identifikasi potensi, masalah dan kebutuhan serta menganalisis yang dilanjutkan dengan penyusunan program pengembangkan kapasitas kelembagaan Pokmair Sayom sehingga dapat mandiri dan berkelanjutan melalui FGD.

Adapun tabel kelengkapan Metode Kajian Pengembangan Masyarakat, dapat dilihat dalam tabel berikut ini:

Tabel 2. Tujuan, Variabel, Parameter, Sumber Data dan Instrumen Kelengkapan Metode Kajian Pengembangan Masyarakat.

No. Tujuan Variabel Parameter Sumber Data Instrumen

(50)
(51)
(52)
(53)

PETA SOSIAL DESA BUMIJAWA

Lokasi

Desa Bumijawa termasuk ibukota Kecamatan Bumijawa Kabupaten Tegal. Jarak terjauh ke ibukota kecamatan adalah tiga kilometer (Dk. Bawangan/RW VIII, Dk. Wadasgantung/RW IV) dengan waktu tempuh kurang lebih 15 menit, menggunakan ojeg dengan biaya Rp.4000,-. Jarak terdekat ke ibukota Kabupaten (Slawi) sejauh 33 km dengan waktu kurang lebih 45 menit menggunakan kendaraan umum ”engkel” (istilah lokal) atau mini bus dengan biaya Rp.10.000,-Topografi dan bentang wilayah berbukit dengan iklim tropis, suhu udara berkisar 18 sampai 33 derajat celcius, curah hujan 159 hari per tahun dan rata-rata 393 mm, dengan ketinggian dari permukaan laut kurang lebih 800 m serta luas wilayah 6,043 km2. Adapun posisi Desa Bumijawa, dapat dilihat dalam peta Kabupaten Tegal pada lampiran dua, halaman 136.

Batas Desa Bumijawa meliputi, sebelah Utara Desa Sumbaga dan Desa Sokasari, sebelah Selatan Desa Batumirah dan Desa Guci, sebelah Barat Desa Muncanglarang dan Desa Traju Kecamatan Bumijawa, sebelah Timur Kecamatan Bojong. Secara administratif, dibagi menjadi 11 Dukuh, delapan RW dan 43 RT, terdiri dari Dukuh Bandarsari (RW I/9 RT), Dukuh Krajan (RW II/6 RT), Dukuh Bumijawa Utara (RW III/6 RT), Dukuh Keseran dan Dukuh Wadasgantung (RW IV/4 RT), Dukuh Aren (RW V/5 RT), Dukuh Karang Anyar dan Dukuh Bulakwaru (RW VI/6 RT), Dukuh Gupakan, Dukuh Germadang, Dukuh Tembelang (RW VII/3 RT), Dukuh Bawangan (RW VIII/4 RT). Mengenai peta Desa Bumijawa dapat dilihat pada lampiran 3, halaman 137.

Gambar

Gambar 1: Komponen-komponen dari Pranata Sosial
Gambar 2: Kerangka Pemikiran Kajian
Tabel 1. Jadwal Kegiatan Kajian Pengembangan Masyarakat (KPM)
Tabel 2.     Tujuan, Variabel, Parameter, Sumber Data dan Instrumen Kelengkapan Metode Kajian Pengembangan Masyarakat
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keadilan persepsi secara signifikan tidak berpengaruh positif terhadap kinerja Pemerintah Daerah dalam penyusunan anggaran

Obat ini diberikan secara oral, tidak diabsorbsi melalui slauran cerna sehingga diekskresi melalui tinja. Dalam cairan usus, metilselulosa akan mengembang membentuk

Belanja Perjalanan Dinas Dalam Daerah Sosialisasi Partisipasi Masyarakat ( Rp.. 10 Pendapatan

yang berhasil dengan terapi yang dianjurkan oleh dokter dan diabetes melitus tersebut dapat terkendali dengan baik, maka dapat menghambat atau mencegah keluhan fisik

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk meningkatkan prestasi belajar Matematika siswa kelas IX E SMP Negeri 1 Tampaksiring pada semester

sawit yang belum menghasilkan menunjukkan bahwa pada aplikasi kompos Tankos takaran 6 t/ha memberikan hasil jagung pipilan kering paling tinggi yaitu sebesar 6,78

PT MUTUAGUNG LESTARI Halaman 8 dari 10 MUTU-4134F 3.1 21/01/2015 Kriteria/Indikator/Verifier  Memenuhi/Tidak  Memenuhi/Non  Aplicable 

Data tersebut dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok difokuskan kepada hal-hal yang penting dan berkaitan dengan masalah yang akan diteliti, sehingga memberi gambaran