ANGKA KEJADIAN RELAPS SINDROM NEFROTIK
PADA ANAK YANG DITERAPI DENGAN
KORTIKOSTEROID
DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK
DARI TAHUN 2009 SAMPAI 2010
Oleh :
KALAI SELVIE A/P PONNUSAMY
080100434
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANGKA KEJADIAN RELAPS SINDROM NEFROTIK
PADA ANAK YANG DITERAPI DENGAN
KORTIKOSTEROID
DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK
DARI TAHUN 2009 SAMPAI 2010
KARYA TULIS ILMIAH
Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran
Oleh :
KALAI SELVIE A/P PONNUSAMY
080100434
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : Angka Kejadian Relaps Sindrom Nefrotik pada Anak yang diterapi
dengan Kortikosteroid di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik dari tahun 2009 sampai 2010
Nama: Kalai Selvie A/P Ponnusamy Nim : 080100434
Pembimbing, Penguji I,
... ... (dr. Yunita Sari Pane, Msi) (dr. Imam Budi Putra,SpKK,MHA) NIP:19710620 200212 2 001 NIP:19650725 200501 1 001
Penguji II,
………
(dr. Akhyar H. Nasution, SpAn.KAKV ) NIP: 19600701 198702 1 002
Medan, 15 Januari 2012 Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
……...
ABSTRAK
Latar belakang Sindrom nefrotik adalah suatu kondisi nefrologik pediatrik dengan gejala klinis trias proteinuria, edema, dan hipoalbuminemia yang dapat bersifat ulang kambuh. Kortikosteroid didapati efektif dalam mencapai remisi pada pasien sindrom nefrotik sejak tahun 1940-an dan sejak itu digunakan sebagai terapi lini pertama dalam pengobatan sindrom nefrotik, namun sebagian pasien masih ada yang relaps atau tidak lagi memberi respons dengan pengobatan steroid.
Tujuan penelitian Penelitian ini dilaksanakan adalah untuk mengetahui angka kejadian relaps pada anak dengan sindrom nefrotik yang diterapi dengan kortikosteroid dari tahun 2009-2010 berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin pasien.
Metode Desain penelitian ini bersifat deskriptif retrospektif dan dilaksanakan pada bulan Agustus-September 2011 di Poliklinik Kesehatan Anak Bagian Nefrologi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Medan. Jenis sampel yang digunakan adalah total sampling di mana rekod status semua pasien sindrom nefrotik yang datang ke poliklinik dikumpul dan diteliti ada tidaknya di antara mereka yang mengalami relaps.
Hasil Pada penelitian ini didapati jumlah penderita sindrom nefrotik yang datang ke Poliklinik Kesehatan Anak dari tahun 2009 sampai 2010 adalah sebanyak 149 orang, dengan kasus relaps sebanyak 65 orang (43,6%), dimana kelompok umur 6-12 tahun paling sering mengalami relaps sementara anak berumur lebih dari 18 tahun paling jarang mengalami relaps. Anak laki-laki didapati 2 kali lebih rentan kambuh dibandingkan dengan anak perempuan.
Kesimpulan Angka kejadian sindrom nefrotik dengan relaps masih tinggi pada anak. Sebaiknya pasien dengan sindrom nefrotik diberi terapi mematuhi protokol pengobatan relaps yang terkini menurut International Study of Kidney Disease in Children, ISKDC dan dilakukan kontrol ulang yang adekuat. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dukungan pada masa depan agar morbiditas dan mortalitas anak sindrom nefrotik dapat dikurangi.
ABSTRACT
Background Nephrotic syndrome is a paediatric nephrologic condition with clinical manifestations such as proteinuria, oedema and hypoalbuminaemia which tends to relapse. Corticosteroids was found to be effective in inducing remission of nephrotic syndrome from the 1940’s, and has since then been used as first line therapy in the treatment of nephrotic syndrome although some patients experience relapse or no longer respond to steroid treatments.
Objective This research was conducted to know the prevalence of relapse in children suffering from nephrotic syndrome who are given corticosteroid treatment in year 2009-2010 based on the age group and gender of the patients.
Methods This research is a descriptive retrospective study and was carried out during August-September 2011 at the Children’s Health Polyclinic Nephrology Department at the Dr. H. Adam Malik government hospital, Medan. Samples were collected using the total sampling method where the data records of nephrotic syndrome patients at the polyclinic were obtained and analyzed for those who had relapse incidence.
Results The total number of nephrotic syndrome patients who went to the Children’s Health Polyclinic in year 2009-2010 were 149, where 65 (43,6%) of them had relapses with the highest occurrence in age group of 6-12 years whereas the lowest incidence of relapses in age group of more than 18 years. Male gender are 2 times at higher risk of having relapses than the female patients.
Conclusions The prevalence of relapse in children with nephrotic syndrome is still high. Medical staffs must take great care in the administration of treatment for children with relapsing nephrotic syndrome by strictly following the latest protocol by International Study of Kidney Disease in Children, ISKDC together with adequate follow ups. Any how, the results of this research may be helpful as future reference in order to significantly reduce the morbidity and mortality of the patients.
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman persetujuan .………... i
Abstrak... ii
Abstract... iii
Kata pengantar... iv
Daftar isi ………... vi
Daftar tabel... ix
Daftar gambar... x
Daftar lampiran... xi
BAB 1 PENDAHULUAN... 1
1.1.Latar belakang………... 1
1.2.Rumusan masalah………... 3
1.3.Tujuan penelitian………... 3
1.4.Manfaat penelitian………... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA………... ... 5
2.1. Sindrom nefrotik………... 5
2.1.1. Definisi sindrom nefrotik………... 5
2.1.2. Epidemiologi………... 7
2.1.3. Manifestasi klinik... 8
2.1.4. Patofisiologi………... 9
2.1.5. Pemeriksaan diagnostik………... 10
2.1.6. Terapi secara suportif, dietetik dan medikamentosa……... 11
2.1.6.1. Protokol pengobatan menurut International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC)... 13
2.1.7. Komplikasi sindrom nefrotik………... 16
2.1.8. Prognosis sindrom nefrotik berdasarkan gejala klinis... 17
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL...19
3.1. Kerangka konsep penelitian...19
3.2. Variabel dan defenisi operasional...20
BAB 4 METODE PENELITIAN... 23
4.1. Jenis penelitian……….……… 23
4.2. Lokasi dan waktu penelitian………...23
4.3. Populasi dan sampel penelitian………..24
4.4. Metode pengumpulan data………24
4.5. Metode analisis data………..24
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 25
5.1. Hasil penelitian………..25
5.1.1. Deskripsi lokasi penelitian... 25
5.1.2. Distribusi kasus sindrom nefrotik dengan relaps...25
5.1.3. Distribusi kasus sindrom nefrotik berdasarkan umur pasien………...26
5.1.4. Distribusi kasus sindrom nefrotik berdasarkan jenis kelamin pasien………...27
5.2. Hasil analisa data ………28
5.2.1. Distribusi kasus sindrom nefrotik dengan relaps………...28
5.2.2. Distribusi kasus sindrom nefrotik berdasarkan umur pasien………..… 29
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN………... 31
6.1. Kesimpulan………. 31
6.2. Saran ……….. 32
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
2.1.
2.2.
5.1.
Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer
Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada
anak dengan sindrom nefrotik
Distribusi kasus sindrom nefrotik di Poliklinik Kesehatan Anak
7
12
25
5.2. Distribusi kasus sindrom nefrotik berdasarkan kelompok umur pasien
26
5.3. Distribusi kasus sindrom nefrotik berdasarkan jenis kelamin pasien
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
3.1. Kerangka konseptual penelitian 19
DAFTAR LAMPIRAN
Daftar riwayat hidup ……….. Lampiran 1
Surat Ethical Clearance………. Lampiran 2
Surat izin penelitian ……… Lampiran 3
Data induk ……… Lampiran 4
ABSTRAK
Latar belakang Sindrom nefrotik adalah suatu kondisi nefrologik pediatrik dengan gejala klinis trias proteinuria, edema, dan hipoalbuminemia yang dapat bersifat ulang kambuh. Kortikosteroid didapati efektif dalam mencapai remisi pada pasien sindrom nefrotik sejak tahun 1940-an dan sejak itu digunakan sebagai terapi lini pertama dalam pengobatan sindrom nefrotik, namun sebagian pasien masih ada yang relaps atau tidak lagi memberi respons dengan pengobatan steroid.
Tujuan penelitian Penelitian ini dilaksanakan adalah untuk mengetahui angka kejadian relaps pada anak dengan sindrom nefrotik yang diterapi dengan kortikosteroid dari tahun 2009-2010 berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin pasien.
Metode Desain penelitian ini bersifat deskriptif retrospektif dan dilaksanakan pada bulan Agustus-September 2011 di Poliklinik Kesehatan Anak Bagian Nefrologi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Medan. Jenis sampel yang digunakan adalah total sampling di mana rekod status semua pasien sindrom nefrotik yang datang ke poliklinik dikumpul dan diteliti ada tidaknya di antara mereka yang mengalami relaps.
Hasil Pada penelitian ini didapati jumlah penderita sindrom nefrotik yang datang ke Poliklinik Kesehatan Anak dari tahun 2009 sampai 2010 adalah sebanyak 149 orang, dengan kasus relaps sebanyak 65 orang (43,6%), dimana kelompok umur 6-12 tahun paling sering mengalami relaps sementara anak berumur lebih dari 18 tahun paling jarang mengalami relaps. Anak laki-laki didapati 2 kali lebih rentan kambuh dibandingkan dengan anak perempuan.
Kesimpulan Angka kejadian sindrom nefrotik dengan relaps masih tinggi pada anak. Sebaiknya pasien dengan sindrom nefrotik diberi terapi mematuhi protokol pengobatan relaps yang terkini menurut International Study of Kidney Disease in Children, ISKDC dan dilakukan kontrol ulang yang adekuat. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dukungan pada masa depan agar morbiditas dan mortalitas anak sindrom nefrotik dapat dikurangi.
ABSTRACT
Background Nephrotic syndrome is a paediatric nephrologic condition with clinical manifestations such as proteinuria, oedema and hypoalbuminaemia which tends to relapse. Corticosteroids was found to be effective in inducing remission of nephrotic syndrome from the 1940’s, and has since then been used as first line therapy in the treatment of nephrotic syndrome although some patients experience relapse or no longer respond to steroid treatments.
Objective This research was conducted to know the prevalence of relapse in children suffering from nephrotic syndrome who are given corticosteroid treatment in year 2009-2010 based on the age group and gender of the patients.
Methods This research is a descriptive retrospective study and was carried out during August-September 2011 at the Children’s Health Polyclinic Nephrology Department at the Dr. H. Adam Malik government hospital, Medan. Samples were collected using the total sampling method where the data records of nephrotic syndrome patients at the polyclinic were obtained and analyzed for those who had relapse incidence.
Results The total number of nephrotic syndrome patients who went to the Children’s Health Polyclinic in year 2009-2010 were 149, where 65 (43,6%) of them had relapses with the highest occurrence in age group of 6-12 years whereas the lowest incidence of relapses in age group of more than 18 years. Male gender are 2 times at higher risk of having relapses than the female patients.
Conclusions The prevalence of relapse in children with nephrotic syndrome is still high. Medical staffs must take great care in the administration of treatment for children with relapsing nephrotic syndrome by strictly following the latest protocol by International Study of Kidney Disease in Children, ISKDC together with adequate follow ups. Any how, the results of this research may be helpful as future reference in order to significantly reduce the morbidity and mortality of the patients.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Sindrom nefrotik adalah kelainan glomerular yang paling sering
ditemukan pada anak- anak, merupakan suatu kumpulan kelainan glomerular
dengan gejala klinis yang terdiri dari proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema serta hiperkolesterolemia. Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom
nefrotik (Noer 1997). Hematuria mikroskopik, bahkan azotemia kadang-kadang ditemukan namun tidak dapat dijadikan petanda untuk membedakan berbagai tipe
sindrom nefrotik (Chesney 1999).
Sindrom nefrotik bisa digolongkan kepada 2 yaitu sindrom nefrotik primer
atau idiopatik dan sindrom nefrotik sekunder. Pada sindrom nefrotik primer,
faktor etiologinya tidak diketahui atau idiopatik dan sesuai dengan namanya,
sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu
sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak.
Sindrom nefrotik primer dibagi lagi menurut gambaran histopatologik
berdasarkan istilah dan terminologi menurut rekomendasi International Study of
Kidney Diseases in Children, ISKDC pada tahun 1981.
Sindrom nefrotik sekunder pula ditimbulkan oleh berbagai penyakit
misalnya penyakit metabolik seperti diabetes mellitus atau amiloidosis, infeksi
seperti sifilis, malaria, atau hepatitis, penyakit sistemik bermediasi imunologik
contohnya lupus eritematosus sistemik atau sarkoidosis, neoplasma, ataupun disebabkan bahan kimia atau efek samping dari obat-obatan (Noer 1997).
Insidens sindrom nefrotik adalah 2 kasus per tahun tiap 100.000 anak
berumur kurang dari 16 tahun, dengan angka prevalensi kumulatif 16 kasus tiap
100.000 anak. Pada anak-anak berumur kurang dari 16 tahun paling sering
ditemukan nefropati lesi minimal yaitu 75%-85% di mana 80% dari pasien
berusia kurang dari 6 tahun dan saat diagnosis dibuat dengan umur rata-rata 2,5
anak kurang dari 14 tahun. Rasio antara anak lelaki dengan anak perempuan
sekitar 2 : 1 (Wirya 2002).
Kortikosteroid merupakan obat pilihan utama pengobatan awal sindrom
nefrotik walaupun terdapat obat-obat alternatif lain. Sindrom nefrotik dengan
relaps berikutan waktu dosis steroid diturunkan atau dalam 14 hari sesudah
pengobatan steroid dihentikan diklasifikasikan sebagai sindrom nefrotik sensitif
steroid sementara sindrom nefrotik bila dengan dosis penuh sampai 4 minggu tidak remisi, maka penderita didiagnosis dengan sindrom nefrotik resisten steroid
(non responsif steroid) dan harus diberi imunosupresif non-steroid lain.
Kebanyakan pasien mengalami relaps berulang atau multipel, sehingga berisiko
mengalami efek samping akibat toksisitas steroid, infeksi sistemik, dan
komplikasi lain. Sebagian kecil pasien dengan sindrom nefrotik resisten steroid
juga berisiko mengalami efek samping yang sama seperti pada pasien sindrom
nefrotik sensitif steroid dan dapat disertai komplikasi insufisiensi renal (Naoyuki
et al. 1998).
Proteinuria menghilang 90% pada anak selama pengobatan 8 minggu
dengan prednison, dengan dosis 60 mg/m2/hari untuk 4 minggu, diikuti dengan
40 mg/m2/48 jam untuk 4 minggu berikutnya. Setengah dari pasien ini, remisinya
terjadi dalam minggu pertama dan pada kebanyakan pasien lainnya terjadi remisi
dalam empat minggu berikutnya. Namun banyak pasien kambuh sesudah remisi.
Resiko terjadi relaps dan keseringannnya rupanya dipengaruhi oleh lamanya
pengobatan awal. Kira-kira 80% anak relaps dalam satu tahun apabila prednison
diberikan untuk 4 minggu, 60% relaps sesudah pengobatan 8 minggu, dan hanya 36% relaps apabila prednison diberikan selama 12 minggu (Wirya 2002).
Insiden relaps biasanya terjadi saat dosis pemeliharaan harian diturunkan
karena alasan efek samping atau toksisitas steroid. Resiko terjadi relaps dapat
sebanyak 60-75% dan menurut Alexandru R.C. et al, 2000, relaps diklasifikasikan
menjadi relaps sering (lebih dari 2 x relaps dalam 6 bulan atau lebih dari 4 x
relaps dalam 1 tahun) dan relaps jarang (kurang dari 2 x relaps dalam 6 bulan)
(Denny et al. 2008).
Menurut suatu penelitian yang dilakukan pada pasien anak yang rawat inap di
departemen kesehatan anak di RS Dr. Soetomo, Surabaya untuk melihat
frekuensi kejadian relaps dengan regimen standard pengobatan sindrom nefrotik
menurut ISDKC berbanding dengan terapi yang lebih lama dari protokol terapi
standarnya, didapati pada anak yang diterapi dengan kortikosteroid pada durasi
yang lebih lama dari terapi standar kurang kejadian relapsnya (Noer 2005).
Berdasarkan data-data yang diperoleh dari hasil-hasil penelitian sebelumnya, maka keseringan relaps jelas dipengaruhi oleh lamanya pengobatan
kortikosteroid awal yang diberikan pada pasien sindrom nefrotik. Oleh karena itu,
telah dilakukan penelitian mengenai angka kejadian relaps sindrom nefrotik pada
anak yang diterapi dengan kortikosteroid di Rumah Sakit Umum Pusat Haji
Adam Malik dari tahun 2009 sampai 2010.
1.2. Rumusan masalah
Berapakah angka kejadian relaps sindrom nefrotik pada anak dengan yang
diterapi dengan kortikosteroid di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik
dari tahun 2009 sampai 2010 ?
1.3. Tujuan penelitian
1.3.1. Tujuan umum
Untuk mengevaluasi keseringan terjadinya kekambuhan pada sindrom nefrotik
pada anak yang diterapi dengan kortikosteroid di Rumah Sakit Umum Pusat Haji
Adam Malik.
1.3.2. Tujuan khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk menentukan pada kelompok umur anak yang paling sering terjadi
relaps sindrom nefrotik yang diterapi dengan kortikosteroid.
2. Untuk menentukan pada jenis kelamin mana yang sering ditemukan
1.4. Manfaat penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat seperti berikut:
1. Bagi petugas kesehatan
Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan semaksimal mungkin bagi
mengelakkan kemungkinan relaps pada penderita penyakit sindrom nefrotik.
2. Bagi peneliti
Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat menjadi kontribusi
sebagai informasi dalam menerapkan pengalaman ilmiah yang diperoleh
untuk peneliti di masa akan datang.
3. Bagi masyarakat
Menambah pengetahuan masyarakat dan seterusnya meningkatkan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sindrom nefrotik
2.1.1. Definisi sindrom nefrotik
Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh
kelainan glomerular dengan gejala edema, proteinuria masif (lebih dari 50
mg/kgBB/24 jam) (Donna 2004), hipoalbuminemia (kurang dari 2,5 gram/100
ml), dan hiperkolesterolemia melebihi 250mg/dl Tanda – tanda tersebut dijumpai pada kondisi rusaknya membran kapiler glomerulus yang signifikan dan
menyebabkan peningkatan permeabilitas membran glomerulus terhadap protein
(Chesney 1999).
Penyakit ini berlaku secara tiba-tiba justru berlanjut secara progresif dan
tersering pada anak-anak dengan insiden tertinggi ditemukan pada anak berusia
3-4 tahun dengan rasio lelaki dan perempuan 2:1. Biasanya dijumpai oliguria
dengan urin berwarna gelap, atau urin yang kental akibat proteinuria berat (Mansjoer et al. 1999). Kadang -kadang terdapat juga hematuria, hipertensi dan
penurunan fungsi ginjal (Ngastiyah 2005). Sedimen urin bisa juga normal namun bila didapati hematuria mikroskopik (> 20 eritrosit per lapangan pandang besar)
dicurigai adanya lesi glomerular misalnya sklerosis glomerulus fokal (Suriadi dan
Rita Yuliani 2001).
Umumnya sindrom nefrotik diklasifikasikan menjadi sindrom nefrotik
primer dan sindrom nefrotik sekunder. Pada sindrom nefrotik primer terjadi
kelainan pada glomerulus itu sendiri di mana faktor etiologinya tidak diketahui.
Penyakit ini 90% ditemukan pada kasus anak. Pasien sindrom nefrotik primer
secara klinis dapat dibagi lagi menjadi tiga kelompok yaitu sindrom nefrotik
kongenital, responsif steroid dan resisten steroid (Wirya 2002). Sindrom nefrotik
primer yang biasanya paling banyak menyerang anak berupa sindrom nefrotik
tipe kelainan minimal dan majoriti dari mereka berumur antara 1-6 tahun dan
(Abeyagunawardena 2005). Pada dewasa pula, prevalensi sindrom nefrotik tipe
kelainan minimal jauh lebih sedikit kasusnya berbanding pada anak-anak
( Noer 1997).
Sindrom nefrotik bawaan diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena
reaksi maternofetal dan resisten terhadap semua pengobatan. Prognosisnya buruk
dan biasanya pasien meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya
(Ngastiyah 2005) atau pada umur 1 hingga 5 tahun. Faktor predisposisi kematian sering oleh karena infeksi, malnutrisi atau gagal ginjal. Pasien bisa diselamatkan
dengan terapi agresif atau transplantasi ginjal yang dini (PubMed Health 2009).
Sindrom nefrotik primer dikelompokkan menurut International Study of
Kidney Disease in Children, ISKDC berdasarkan kelainan histopatologik
glomerulus. Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui
pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila diperlukan, dengan pemeriksaan
mikroskop elektron dan imunofluoresensi (Noer 1997).
Berikut adalah tabel klasifikasi histopatologik sindrom nefrotik primer
pada anak berdasarkan istilah dan terminologi menurut rekomendasi
International Study of Kidney Disease in Children, ISKDC pada tahun 1978 serta Habib dan Kleinknecht pada tahun 1971 (Noer 1997).
Tabel 2.1. Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer
Kelainan minimal (KM)
Glomerulosklerosis (GS)
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
Glomerulonefritis kresentik (GNK)
Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
GNMP tipe II dengan deposit intramembran
GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial
Glomerulopati membranosa (GM)
Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)
(dikutip dari Buku Ajar Nefrologi Anak, Wirya 2002)
Sindrom nefrotik sekunder timbul menyertai suatu penyakit yang telah
diketahui etiologinya. Penyebab yang sering dijumpai adalah penyakit metabolik atau kongenital, infeksi, paparan toksin dan alergen, penyakit sistemik bermediasi
imunologik, neoplasma (Noer 2005).
2.1.2. Epidemiologi
Menurut kepustakaan sindrom nefrotik, kasus sindrom nefrotik ini paling
banyak ditemukan pada anak berumur 3-4 tahun. Tetapi berdasarkan penelitian
yang dijalankan di RSCM Jakarta oleh Wila Wirya I.G.N. dari tahun 1970-1979,
didapati sindrom nefrotik pada umumnya mengenai anak umur 6-7 tahun.
Penyakit sindrom nefrotik dijumpai pada anak mulai umur kurang dari 1 tahun
sampai umur 14 tahun (Ngastiyah 2005). Di Indonesia gambaran histopatologik
sindrom nefrotik primer agak berbeda dengan data-data di luar negeri. Wila Wirya
nefrotik primer yang dibiopsi (Wirya 1997), sedangkan Noer di Surabaya
mendapatkan 39.7% tipe kelainan minimal dari 401 anak dengan sindrom nefrotik
primer yang dibiopsi (Noer 2005).
2.1.3. Manifestasi klinik
1. Gejala utama yang ditemukan adalah :
i. Edema anasarka. Pada awalnya dijumpai edema terutamanya jelas pada
kaki, namun dapat juga pada daerah periorbital, skrotum atau labia. Bisa
juga terjadi asites dan efusi pleura. Akhirnya sembab menjadi menyeluruh
dan masif (anasarka).
ii. Proteinuria > 3,5 g/hari pada dewasa atau 0,05 g/kg BB/hari pada
anak – anak.
iii. Hipoalbuminemia < 20-30 mg/dl.
iv. Hiperlipidemia atau hiperkolesterolemia > 250mg/dl
(Chesney 1999)
2. Pada sebagian pasien dapat ditemukan gejala lain yang jarang:
i. Hipertensi
ii. Hematuria
iii. Diare
iv. Anorexia
v. Fatigue atau malaise ringan
vi. Nyeri abdomen atau nyeri perut vii. Berat badan meningkat
viii. Hiperkoagulabilitas
2.1.4. Patofisiologi sindrom nefrotik
Kelainan yang terjadi pada sindrom nefrotik yang paling utama adalah
proteinuria sedangkan yang lain dianggap sebagai manifestasi sekunder. Kelainan
ini disebabkan oleh karena kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus yang sebabnya belum diketahui yang terkait dengan hilangnya muatan negatif
glikoprotein dalam dinding kapiler (Husein 2002). Akibatnya fungsi mekanisme penghalang yang dimiliki oleh membran basal glomerulus untuk mencegah
kebocoran atau lolosnya protein terganggu. Mekanisme penghalang tersebut
berkerja berdasarkan ukuran molekul dan muatan listrik (Silvia 1995). Pada
sindrom nefrotik keluarnya protein terdiri atas campuran albumin dan protein
yang sebelumnya terjadi filtrasi protein didalam tubulus terlalu banyak akibat dari
kebocoran glomerulus dan akhirnya diekskresikan dalam urin (Husein 2002).
Pada sindrom nefrotik, protein hilang lebih dari 2 g/kgbb/hari yang
terutama terdiri dari albumin yang mengakibatkan hipoalbuminemia. Pada
umumnya, edema muncul bila kadar albumin serum turun dibawah 2,5 gram/dl.
Mekanisme edema belum diketahui secara fisiologis tetapi kemungkinan edema
terjadi karena penurunan tekanan onkotik atau osmotik intravaskuler yang
memungkinkan cairan menembus ke ruangan interstisial, hal ini disebabkan oleh
karena hipoalbuminemia. Keluarnya cairan ke ruang interstisial menyebabkan
edema yang diakibatkan pergeseran cairan (Silvia 1995).
Akibat dari pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah
arteri menurun dibandingkan dengan volume sirkulasi efektif, sehingga mengakibatkan penurunan volume intravaskuler yang mengakibatkan
menurunnya tekanan perfusi aliran darah ke ginjal. Hal ini dideteksi lalu
mengaktifkan sistem rennin-angiotensin-aldosteron (RAAS) yang akan
meningkatkan vasokonstriksi dan juga akan mengakibatkan rangsangan pada
reseptor volume intravaskular yang akan merangsang peningkatan aldosteron
yang merangsang reabsorbsi natrium di tubulus distal dan merangsang pelepasan
Hal ini mengakibatkan peningkatan volume plasma tetapi karena onkotik plasma
berkurang natrium dan air yang direabsorbsi akan memperberat edema (Husein
2002).
Stimulasi renis angiotensin, aktivasi aldosteron dan hormon antidiuretik
akan mengaktifasi terjadinya hipertensi. Pada sindrom nefrotik kadar kolesterol,
trigliserid, dan lipoprotein serum meningkat disebabkan oleh hipoproteinemia
yang merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, dan terjadinya katabolisme lemak yang menurun karena penurunan kadar lipoprotein lipase
plasma. Hal ini kalau berkepanjangan dapat menyebabkan arteriosclerosis (Husein
2002).
2.1.5. Pemeriksaan diagnostik
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di kedua kelopak mata, perut,
tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang berkurang.
Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan yang
menandakan hematuria.
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan edema di kedua kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum atau labia. Kadang-kadang ditemukan
hipertensi.
3. Pemeriksaan penunjang
Pada urinalisis menggunakan dipstik ditemukan proteinuria masif (3+ sampai4+),
dapat disertai hematuria. Pada pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemia
(< 2,5 g/dl), hiperkolesterolemia, dan laju endap darah yang meningkat, rasio
ada penurunan fungsi ginjal. Bila ditemukan hematuria mikroskopik (>20
eritrosit/LPB) dicurigai adanya lesi glomerular contohnya pada sklerosis
glomerulus fokal (Husein 2002).
2.1.6. Terapi secara suportif, dietetik dan medikamentosa bagi sindrom nefrotik.
Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya jangan
tergesa-gesa memulai terapi kortikosteroid, karena remisi spontan dapat terjadi pada
5-10% kasus. Terapi kortikoteroid dimulai apabila gejala menetap atau memburuk
dalam waktu 10-14 hari. Untuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid
pada anak dengan sindrom nefrotik digunakan istilah-istilah seperti pada tabel 2
Tabel 2.2. Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak dengan
sindrom nefrotik
Remisi Proteinuria negatif atau proteinuria
< 4 mg/m2/jam selama 3 hari berturut-turut
Kambuh Proteinuria 2 + atau proteinuria > 40 mg/m2/jam selama 3 hari berturut-turut, dimana sebelumnya
Kambuh sering Kambuh 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal, atau 4 kali kambuh pada setiap periode 12 bulan
Responsif-steroid Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja
Dependen-steroid
Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa tapering terapi steroid, atau dalam waktu 14 hari setelah terapi steroid dihentikan
Resisten-steroid Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi prednison 60 mg/m2/hari selama 4 minggu
Responder lambat
Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60 mg/m2/hari tanpa tambahan terapi lain
2.1.6.1. Protokol pengobatan menurut International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC)
ISKDC menganjurkan untuk memulai terapi awal dengan pemberian
prednison oral (induksi) sebesar 60 mg/m2/hari dengan dosis maksimal 80
mg/hari selama 4 minggu, kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan sebesar 40
mg/m2/hari secara selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu,
lalu setelah itu pengobatan dihentikan.
Cara penanganan sekiranya terjadi sindrom nefrotik serangan pertama :
i. Perbaiki keadaan umum penderita
a.Rujukan ke bagian gizi diperlukan untuk pengaturan diet terutama pada
pasien dengan penurunan fungsi ginjal. Batasi asupan natrium sampai ± 1
gram/hari, secara praktis dengan menggunakan garam secukupnya dalam
makanan yang diasinkan. Pasien diberikan diet tinggi kalori, tinggi protein
2-5 gram/kgBB/hari, serta rendah lemak.
b.Ditingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan transfusi plasma
atau albumin konsentrat.
c.Mengatasi infeksi
d.Lakukan work-up untuk diagnostik dan untuk mencari tanda-tanda
komplikasi dari sindrom nefrotik
ii. Berikan terapi suportif yang diperlukan:
a.Tirah baring bila ada edema anasarka. Diuretik diberikan bila ada edema anasarka berat atau mengganggu aktivitas seharian. Biasanya
diberikan furosemid 1 mg/kgBB/kali, bergantung pada beratnya edema dan
respons pasien terhadap pengobatan. Bila edema refrakter, dapat digunakan
hidroklortiazid (25-50 mg/hari). Selama pengobatan diuretik perlu dipantau
kemungkinan hipokalemia, alkalosis metabolik atau hipovolemia
(kehilangan cairan intravaskular berat).
b.Jika ada hipertensi, dapat ditambahkan obat antihipertensi.
Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari
setelah diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan untuk memastikan apakah penderita
mengalami remisi spontan atau tidak. Bila dalam waktu 14 hari terjadi remisi
spontan, prednison tidak perlu diberikan, tetapi bila dalam waktu 14 hari atau
kurang terjadi pemburukan keadaan pasien, segera berikan prednison tanpa
menunggu waktu 14 hari.
Cara penanganan sekiranya terjadi sindrom nefrotik kambuh (relaps) :
i. Berikan prednison sesuai protokol relaps, segera setelah diagnosis relaps
ditegakkan.
ii. Perbaiki keadaan umum penderita
Cara penanganan sekiranya terjadi sindrom nefrotik kambuh tidak sering
(sindrom nefrotik yang kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan atau < 4 kali
dalam masa 12 bulan)
i. Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari,
diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu.
ii. Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 40 mg/m2/48 jam, diberikan selang
sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, prednison dihentikan.
Sindrom nefrotik kambuh sering (sindrom nefrotik yang kambuh > 2 kali dalam
masa 6 bulan atau > 4 kali dalam masa 12 bulan).
i. Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari,
diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu
ii. Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 60 mg/m2/48 jam, diberikan selang
prednison diturunkan menjadi 40 mg/m2/48 jam diberikan selama 1 minggu,
kemudian 30 mg/m2/48 jam selama 1 minggu, kemudian 20 mg/m2/48 jam selama
1 minggu, akhirnya 10 mg/m2/48 jam selama 6 minggu, kemudian prednison
dihentikan.
Pada saat prednison mulai diberikan selang sehari, siklofosfamid oral 2-3
mg/kg/hari diberikan setiap pagi hari selama 8 minggu. Setelah 8 minggu
siklofosfamid dihentikan. Indikasi untuk merujuk ke dokter spesialis nefrologi
anak adalah bila pasien tidak respons terhadap pengobatan awal, relaps sering,
terdapat komplikasi, terdapat kontra indikasi steroid, atau untuk biopsi ginjal
(Noer 1997).
2.1.6.2. Terapi suportif
i. Istirahat sampai edema berkurang (pembatasan aktivitas). Pembatasan
asupan cairan terutama pada penderita rawat inap ± 900 sampai 1200 ml/
hari.
ii. Diet makanan dan minuman tinggi protein yang mengandung protein 2-5
gram/kgbb/hari, rendah lemak dan tinggi kalori.
iii. Pembatasan garam atau asupan natrium sampai 1 – 2 gram/hari jika anak hipertensi. Menggunakan garam secukupnya dalam makanan dan
menghindari makanan yang diasinkan.
iv. Terapi diuretik sesuai indikasi. Pemberian ACE-inhibitors misalnya :
enalpril, captopril atau lisinopril untuk menurunkan pembuangan protein
dalam air kemih dan menurunkan konsentrasi lemak dalam darah. Tetapi
pada penderita yang memiliki kelainan fungsi ginjal yang ringan sampai
berat, obat tersebut dapat meningkatkan kadar kalium darah sehingga
tidak dianjurkan bagi penderita dengan gangguan fungsi ginjal. v. Terapi albumin jika intake anak dan output urin kurang.
vi. Antibiotik hanya diberikan bila ada infeksi.
2.1.7. Komplikasi Sindrom Nefrotik
1. Kelainan koagulasi dan timbulnya trombosis. Dua mekanisme kelainan
hemostasis pada sindrom nefrotik:
i. Peningkatan permeabilitas glomerulus mengakibatkan:
a. Meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein di dalam urin
seperti antithrombin III (AT III), protein S bebas, plasminogen dan α antiplasmin.
b. Hipoalbuminemia menimbulkan aktivasi trombosit lewat tromboksan
A2.
c. meningkatnya sintesis protein prokoagulan dan tertekannya fibrinolisis.
2. Aktivasi sistem hemostatik di dalam ginjal dirangsang oleh faktor jaringan
monosit dan oleh paparan matriks subendotel pada kapiler glomerolus yang
selanjutnya mengakibatkan pembentukan fibrin dan agregasi trombosit.
3. Infeksi sekunder terutama infeksi kulit oleh streptococcus, staphylococcus,
bronkopneumonia, TBC. Erupsi erisipelas pada kulit perut atau paha sering
ditemukan. Pinggiran kelainan kulit ini batasnya tegas, tapi kurang menonjol
seperti erisipelas dan biasanya tidak ditemukan organisme apabila kelainan
kulit dibiakan.
4. Gangguan klirens renali pada pasien sindrom nefrotik mungkin disebabkan
kurangnya reabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan berkurangnya hantaran
natrium dan air ke ansa henle tebal. Gangguan pengasaman urin ditandai
dengan ketidakmampuan menurunkan pH urin sesudah pemberian beban
asam.
5. Gagal ginjal akut terjadi bukan karena nekrosis tubulus atau fraksi filtrasi
berkurang, tapi karena edema interstisial dengan akibatnya meningkatnya tekanan tubulus proksimalis yang menyebabkan penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG).
6. Anemia yang disebabkan protein pengangkut Fe yaitu transferin serum
yang menurun akibat proteinuria. Anemia hipokrom mikrositik, karena
7. Peritonitis karena adanya edema di mukosa usus membentuk media yang baik
untuk perkembangan kuman-kuman komensal usus. Biasanya akibat infeksi
streptokokus pneumonia, E.coli.
8. Gangguan keseimbangan hormon dan mineral.
i. Karena protein pengikat hormon hilang melalui urin . Hilangnya globulin
pengikat tiroid (TBG) dalam urin pada beberapa pasien sindrom nefrotik
dan laju ekskresi globulin umumnya berkaitan dengan beratnya proteinuria.
ii. Hipokalsemia disebabkan albumin serum yang rendah, dan
berakibat menurunkan kalsium terikat, tetapi fraksi yang terionisasi
normal dan menetap. Disamping itu pasien sering mengalami
hipokalsiuria, yang kembali menjadi normal dengan membaiknya
proteinuria. Absorbsi kalsium yang menurun di GIT, dengan eksresi
kalsium dalam feses lebih besar daripada pemasukan.
Hal-hal seperti di atas dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan
perkembangan serta mental anak pada fasa pertumbuhan. Hubungan antara
hipokalsemia, hipokalsiuria, dan menurunnya absorpsi kalsium dalam GIT
menunjukan kemungkinan adanya kelainan metabolisme vitamin D namun
penyakit tulang yang nyata pada penderita sindrom nefrotik jarang ditemukan
(Rauf 2002).
2.1.8. Prognosis sindrom nefrotik berdasarkan gejala klinis
Prognosis makin baik jika dapat didiagnosis segera. Pengobatan segera
dapat mengurangi kerusakan glomerolus lebih lanjut akibat mekanisme
kompensasi ginjal maupun proses autoimun. Prognosis juga baik bila penyakit
memberikan respons yang baik terhadap kortikosteroid dan jarang terjadi relaps.
Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) pasien sindrom nefrotik memberi respons
antaranya akan relaps berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi
dengan pengobatan steroid.
Penyembuhan klinis kadang-kadang terdapat setelah pengobatan
bertahun-tahun dengan kortikosteroid. Terapi antibakteri dapat mengurangi kematian akibat
infeksi, tetapi tidak berdaya terhadap kelainan ginjal sehingga akhirnya dapat
terjadi gagal ginjal.
1. Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut :
i. Menderita untuk pertama kalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di
atas 6 tahun.
ii. Disertai oleh hipertensi.
iii. Disertai hematuria.
iv. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder
v. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal
vi. Pengobatan yang terlambat, diberikan setelah 6 bulan dari timbulnya
gambaran klinis penyakit.
BAB 3
KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka konsep penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dikemukakan, kerangka konsep mengenai angka kejadian relaps sindrom nefrotik pada anak yang diterapi dengan
kortikosteroid di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik dari tahun 2009
sampai 2010 dapat diuraikan seperti gambar dibawah ini:
Gambar 3.1. Kerangka konseptual penelitian TERAPI
KORTIKOSTEROID
SINDROM NEFROTIK PADA
ANAK
REMISI
SEMBUH RELAPS
KELOMPOK UMUR
3.2 Variabel dan definisi operasional
3.2.1. Sindrom nefrotik
Definisi : Sindrom nefrotik merupakan suatu kumpulan gejala klinis yang
disebabkan oleh penyakit glomerular yang sering dijumpai pada anak, dengan manifestasi edema, proteinuria masif serta hipoalbuminemia dan
bisa hiperkolesterolemia. Cara ukur : data sekunder
Alat ukur : rekod status pasien
Skala ukur : nominal
3.2.2. Kortikosteroid
Definisi : Prednison oral tablet sebesar 60 mg/m2/hari dengan dosis
maksimal 80 mg/hari selama 4 minggu, kemudian dilanjutkan dengan
dosis rumatan sebesar 40 mg/m2/hari secara selang sehari dengan dosis
tunggal pagi hari selama 4 minggu (ISKDC, 1981). Obat ini merupakan
derivat sintetik kortisol dengan efek terapeutik anti-inflamatori dan
imunosupresan (Bertam, G. K., 2000).
Cara ukur : analisis data sekunder
Alat ukur : rekod status pasien
Skala ukur : nominal
3.2.3. Anak
Definisi : semua pasien sindrom nefrotik di poliklinik kesehatan anak
Cara ukur : analisis data sekunder
Alat ukur : rekod status pasien
3.2.4. Relaps
Definisi : Terjadinya kekambuhan sindrom nefrotik selama proses
penyembuhan atau setelah pasien mencapai remisi total di mana kondisi
pasien memburuk kembali.
Cara ukur : analisis data sekunder
Alat ukur : rekod status pasien
Skala ukur : nominal
Kategori : Dalam penentuan kategori kekambuhan sindrom nefrotik dinilai
dengan menggunakan metode positif dan negatif sebagai berikut:
a. Positif bila pasien mengalami relaps
b. Negatif bila pasien tidak mengalami relaps
3.2.5. Kelompok umur
Definisi : Usia pasien sindrom nefrotik pada status poliklinik saat
penelitian dilaksanakan dan umur dinyatakan dalam tahun.
Cara ukur : analisis data sekunder
Alat ukur : rekod status pasien
Hasil ukur:
a. 1 bulan - 12 bulan
b. 1 tahun - 6 tahun
c. lebih 6 - 12 tahun
d. lebih 12 - 18 tahun e. lebih dari 18 tahun
3.2.6. Jenis kelamin
Jenis kelamin penderita sindrom nefrotik dalam status poliklinik saat
penelitian dilaksanakan.
Cara ukur : analisis data sekunder
Alat ukur : rekod status pasien
Hasil ukur :
a. lelaki b. perempuan
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis penelitian
Desain penelitian dalam penelitian ini adalah deskriptif retrospektif bagi
menilai angka kejadian relaps sindrom nefrotik pada anak yang diterapi dengan
kortikosteroid di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik dari tahun 2009
sampai 2010. Pengumpulan data telah dilakukan untuk meneliti apakah penderita
sindrom nefrotik yang diberikan terapi kortikosteroid mengalami relaps ataupun tidak. Penelitian deskriptif adalah studi yang ditujukan untuk menentukan jumlah
atau frekuensi serta distribusi penyakit di suatu daerah berdasarkan variabel orang,
tempat dan waktu.
4.2. Lokasi dan waktu penelitian
4.2.1. Lokasi penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Kesehatan Anak Bagian
Nefrologi Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Medan. Lokasi ini
menjadi pilihan karena merupakan pusat pelayanan kesehatan pemerintah yang
menjadi tempat rujukan para peneliti di kota Medan, Sumatera Utara.
4.2.2. Waktu penelitian
Waktu pelaksanaan penelitian adalah setelah penulisan dan presentasi
4.3. Populasi dan sampel
4.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua data penderita sindrom nefrotik
di Poliklinik Kesehatan Anak RSUP H.Adam Malik, Medan dari tahun 2009 sampai 2010.
4.3.2. Sampel
Sampel adalah data penderita sindrom nefrotik di RSUP H. Adam Malik
Medan dari tahun 2009 sampai 2010. Besar sampel yang dibutuhkan adalah sama
dengan populasi (total sampling).
4.4. Metode pengumpulan data
Prosedur pengumpulan data dilakukan setelah mendapat rekomendasi izin
pelaksanaan penelitian dari bagian Medical Education Unit (MEU) Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara ke direktur RSUP HAM, Medan lalu ke
Bagian Poliklinik Kesehatan Anak. Pengumpulan data dilakukan dengan data
sekunder yang diperoleh dari catatan status pasien anak dengan sindrom nefrotik.
4.5. Metode analisis data
Data pasien yang diperoleh dari Poliklinik Anak diteliti dan maklumat
yang diperlukan dimasukkan ke dalam komputer untuk dianalisis dan diolah
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil penelitian
5.1.1. Deskripsi lokasi penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan di RSUP. Haji Adam Malik, Medan.
Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik merupakan rumah sakit milik
pemerintah. Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik merupakan Rumah
Sakit tipe A sesuai dengan SK Menkes no. 547/Menkes/SK/VII/1998 dan
menjadi rumah sakit rujukan untuk propinsi Sumatera Utara serta juga sebagai
Rumah Sakit Pendidikan sesuai dengan SK Menkes No.
502/Menkes/SK/IX/1991.
Dalam hal ini telah dilakukan penelitian terhadap pasien anak yang
didiagnosis menderita sindrom nefrotik. Data diperoleh dengan meneliti catatan
status pasien di Poliklinik Kesehatan Anak Bagian Nefrologi RSUP. Haji Adam
Malik, Medan.
5.1.2. Distribusi kasus sindrom nefrotik dengan relaps di Poliklinik Kesehatan Anak Bagian Nefrologi RSUP. H. Adam Malik dari Januari 2009 sampai Desember 2010.
Tabel 5.1. Distribusi kasus sindrom nefrotik di Poliklinik Kesehatan Anak
Sindrom nefrotik dengan relaps n %
Positif
Negatif
65
84
43,6
56,4
Dari tabel 5.1, dapat dilihat distribusi kasus sindrom nefrotik berdasarkan
pasien anak yang dirawat di Poliklinik Kesehatan Anak. Total sampel yang
terdapat dalam studi ini adalah sebanyak 149 orang. Anak yang mengalami relaps
adalah sebanyak 65 orang dan anak yang tidak mengalami relaps adalah sebanyak
84 orang. Diperkirakan prevalensi angka kejadian relaps pada sindrom nefrotik
adalah sebanyak 44% sementara prevalensi bagi yang tidak mengalami relaps pula
adalah sebanyak 56%.
5.1.3. Distribusi sindrom nefrotik berdasarkan umur pasien di Poliklinik Kesehatan Anak Bagian Nefrologi RSUP. H. Adam Malik dari Januari 2009 sampai Desember 2010.
Tabel 5.2. Distribusi kasus sindrom nefrotik berdasarkan kelompok umur pasien
Kelompok umur
berdasarkan kelompok umur pasien. Kelompok umur yang paling sering mengalami sindrom nefrotik adalah anak berusia lebih dari 6 -12 tahun yaitu
sebanyak 70 orang dimana 37 dari mereka mengalami relaps dengan prevalensi
angka kejadian sebanyak 24,8%. Kelompok umur yang kedua tersering mendapat
sindrom nefrotik adalah anak berumur 1-6 tahun yaitu sejumlah 53 kasus dimana
Pada kelompok usia lebih dari 12-18 tahun, dijumpai 17 kasus sindrom
nefrotik dengan kejadian relaps pada 8 orang dengan prevalensi angka kejadian
5,4%. Kejadian sindrom nefrotik pada anak golongan umur lebih dari 18 tahun
paling sedikit yaitu hanya 2 orang dimana kejadian relaps tidak dijumpai pada
kelompok ini diikuti oleh kelompok bayi berumur 1-12 bulan sebanyak 7 orang
dengan hanya 2 kejadian relaps dengan prevalensi 1,3%.
5.1.4. Distribusi sindrom nefrotik berdasarkan jenis kelamin pasien di Poliklinik Kesehatan Anak Bagian Nefrologi RSUP. H. Adam Malik dari Januari 2009 sampai Desember 2010.
Tabel 5.3. Distribusi kasus sindrom nefrotik berdasarkan jenis kelamin pasien
Jenis Kelamin Relaps
Positif % Negatif %
Total %
Lelaki
Perempuan
45 30,2 51 34,2
20 13,4 33 22,1
96 64,4
53 35,6
Total 65 84 149 100
Berdasarkan tabel 5.3, dapat diketahui sindrom nefrotik lebih sering terjadi
pada anak laki-laki yaitu sebanyak 96 orang dengan prevalensi angka kejadian
sebanyak 64,4% dibandingkan dengan anak perempuan sebanyak 53 orang
dengan prevalensi sebanyak 35,6%. Anak laki-laki juga yang paling sering
mengalami relaps dimana terdapat sebanyak 45 kasus, yaitu sebanyak 30,2%.
Pada anak perempuan pula prevalensi angka kejadian relaps adalah 13,4% yaitu
5.2. Hasil analisa data
5.2.1. Distribusi kasus sindrom nefrotik di Poliklinik Kesehatan Anak Bagian Nefrologi RSUP. H. Adam Malik dari Januari 2009 sampai Desember 2010.
Pasien anak penderita sindrom nefrotik yang datang ke Poliklinik Kesehatan Anak dari Januari 2009 sampai Desember 2010 adalah sebanyak 149
orang dimana 65 dari mereka mengalami relaps mempunyai prevalensi angka
kejadian sebanyak 43,6% sementara 84 pasien lainnya dengan angka prevalensi
56,4 % mengalami remisi total.
Dalam Indian Journal Medicine Research No.122, mengatakan hampir
50-60% pasien yang diterapi dengan steroid akan mengalami relaps atau
steroid-dependence (Arvind et al. 2005). Hasil dari suatu penelitian cohort oleh
International Society of Nephrology pada 60 pasien anak dengan sindrom nefrotik
didapati terjadinya relaps pada 49 orang (82%) (Kim et al. 2005). Dalam suatu
penelitian di Rumah Sakit Seotomo dari tahun 1983 hingga 2001 didapati dari 99
orang anak dengan sindrom nefrotik, 63 orang (64%) dari mereka mengalami
relaps (Noer 2005). Pada penelitian The Lancet Vol 362 menyatakan secara
umum 60-80% pasien yang pada mulanya responsif terhadap steroid akan
mengalami relaps di mana 60% dari mereka akan relaps 5 kali atau lebih (Eddy et
al. 2003).
Hasil persentase angka kejadian relaps pada pasien didapati masih tinggi dan sedikit berbeda dengan data-data pada penelitian sebelumnya. Deviasi dari
prevalensi angka kejadian relaps pada literatur-literatur di atas mungkin
disebabkan oleh perbedaan dari durasi terapi, perbedaan dari etnis, geografis dan
sosio-ekonomi pasien serta tingkat pengetahuan orang tua pasien yang berbeda
walaupun belum ada bukti yang mendukung teori ini. Tingginya angka kejadian
relaps khususnya pada anak-anak dibanding dengan orang dewasa disebabkan
sistem imun yang masih belum sempurna dan mudah terpapar pada resiko infeksi
5.2.2. Distribusi sindrom nefrotik berdasarkan umur pasien di Poliklinik Kesehatan Anak RSUP. H. Adam Malik dari Januari 2009 sampai Desember 2010.
Dari penelitian ini didapati bahwa penderita sindrom nefrotik dengan
relaps paling banyak pada kelompok umur lebih dari 6-12 tahun yaitu sebanyak
37 orang (24,8%) diikuti oleh kelompok usia 1-6 tahun dengan angka kejadian kedua tertinggi yaitu sebanyak 18 orang (12,1%). Penderita sindrom nefrotik yang
mengalami relaps paling sedikit adalah anak berumur lebih dari 18 tahun di mana
tidak ada kasus relaps diikuti oleh golongan bayi berumur 1-12 bulan sebanyak 2
orang (1,3% ).
Ternyata ada perbedaan dalam hasil penelitian ini dengan penelitian lain di
mana menurut Pediatric Nephrology Journal of the International Pediatric
Nephrology Association, kejadian relaps paling banyak diketemukan pada
golongan anak berusia 0-3 tahun (Naoyuki et al. 1998) sementara satu lagi jurnal
dari asosiasi yang sama mengatakan anak berumur 1-3 tahun paling sering
mengalami relaps (Andersen et al. 2010).
5.2.3. Distribusi sindrom nefrotik berdasarkan jenis kelamin pasien di Poliklinik Kesehatan Anak RSUP. H. Adam Malik dari Januari 2009 sampai Desember 2010.
Berdasarkan tabel 5.3, anak lelaki lebih rentan mengalami episode relaps yaitu sebanyak 45 orang (30,2%) dari total 65 pasien dibandingkan dengan anak
perempuan sebanyak 20 orang (13,4%). Perbandingan ratio kejadian relaps antara
anak lelaki dengan anak perempuan adalah 2:1.
Hasil ini sesuai dengan beberapa penelitian bahwa angka kejadian relaps
pada sindrom nefrotik lebih tinggi pada anak lelaki dibandingkan pada anak
perempuan. Kejadian relaps lebih banyak dijumpai pada anak lelaki karena kasus
anak perempuan dengan ratio 2:1 (Husein et al. 2005 dan Wirya 2002) . Menurut
suatu jurnal dari International Society of Nephrology, juga turut mendukung
bahwa anak lelaki lebih rentan mengalami relaps dibandingkan dengan anak
perempuan (Naoyuki et al. 1998). Namun penyebab kenapa anak lelaki lebih
beresiko mengalami relaps dibanding dengan anak perempuan masih belum
DAFTAR PUSTAKA
Noer, M.S., 1997. Sindrom Nefrotik, In.Putra ST, Suharto, Soewandojo E, editors,
Patofisiologi Kedokteran, Surabaya : GRAMIL FK Universitas Airlangga :
137-46.
Chesney, R.W., 1999. The Idiopathic Nephrotic Syndrome. Curr Opin Pediatrics 11 : 158-61.
International Study of Kidney Diseases in Children, Nephrotic syndrome in
children: prediction of histopathology from clinical and laboratory characteristics
at time of diagnosis. Kidney Int 13, 1978: 159-165.
Suryadi dan Yuliani, Rita, 2001. Praktek klinik Asuhan Keperawatan Pada Anak,
Edisi 1, Fajar Interpratama Jakarta : Sagung Seto.
Wila Wirya I.G.N., 1992. Penelitian Beberapa Aspek Klinis dan Patologi
Anatomis Sindrom Nefrotik Primer pada Anak di Jakarta. Disertasi. Jakarta :
Universitas Indonesia, 14 Oktober : 207.
Wila Wirya I.G.N., 2002. Sindrom Nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono
PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI pp. 381-426.
Donna L, W., 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Anak, alih bahasa: Monica
Ester. Jakarta: EGC.
Alexandru R. C., Hetal B. Shah, Edward F. Foote and Lynne S. Weiss, 2000.
Predicting First-Year Relapses in Children With Nephrotic Syndrome, Pediatrics ;
Mohammad Sjaifullah Noer, 2005. Long Versus Standard Initial Steroid Therapy
For Children with Idiopathic Nephrotic Syndrome, Folia Medica Indonesiana
Vol. 41 No. 3 July – September.
Ngastiyah, edisi 2, 2005. Pera watan Anak Sakit. EGC.
Mansjoer, Arif, dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran, edisi ketiga, Jilid 1. Media Aesculapius.
Management Of Steroid Sensitive Nephrotic Syndrome: Revised Guidelines,
Indian Pediatric Nephrology Group, Indian Academy Of Pediatrics .Volume
45__March 17, 2008.
"http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/s/diseases_and_conditions/Congenit
al nephrotic syndrome", [last accessed: August 19, 2009]
Denny Sujatno, Damanik M. P., Purnomo Suryantoro, 2008. Relapse Episodes in
Childhood Primary Nephrotic Syndrome Treated by Alternate or Three
Consecutive Daily Dose Prednisone Therapy, Paediatrica Indonesiana , Volume
48, No. 6..
Price A. & Wilson L., 1995. Pathofisiology Clinical Concept of Disease Process
(Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit), alih bahasa: Dr. Peter Anugrah. Jakarta: EGC.
Abeyagunawardena A.S., 2005. Treatment of Steroid Sensitive Nephrotic
Syndrome, Department of Pediatrics, Faculty of Medicine, University of
Bertam G. K., Basic & Clinical Pharma cology, 9th edition, 2000. Section VII.
Endocrine Drugs, Chapter 39.Adrenocorticosteroids & Adrenocortical
Antagonists : 903.
Husein A Latas, 2002. Buku Ajar Nefrologi. Jakarta: EGC.
Noer M. S., 2005. Predictors of Relapse in Steroid-Sensitive Nephrotic Syndrome, Department of Child Health, School of Medicine, Airlangga University, Soetomo
Hospital, Surabaya, Indonesia, Southeast Asian J Trop Med Public Health, Vol
36, No. 5.
Arvind B., Mukta M., 2005. Nephrotic Syndrome in Children, Division of
Nephrology, Department of Paediatrics, All India Institute of Medical Sciences &
Maulana Azad Medical College, New Delhi, India, Indian J Med Res 122, 13-28.
Kim J. S. et al.,2005. High Incidence of Initial and Late Steroid Resistance in
Childhood Nephrotic Syndrome, International Society of Nephrology 68, 1275– 1281.
Eddy A. A., Symons J. M., 2003. Nephrotic syndrome in Childhood, The Lancet ,
Vol 362.
Andersen R. F., 2010. Early Age at Debut is a Predictor of Steroid-dependent and Frequent Relapsing Nephrotic Syndrome, Pediatric Nephrology Journal of the
International Pediatric Nephrology Association, 10.1007/s00467-010-1537-7.
Naoyuki K. et al , 1998. Influence of age at onset on the outcome of steroid
-sensitive nephrotic syndrome, International Pediatric Nephrology Association
HASIL OUTPUT SPSS
ANGKA KEJADIAN RELAPS SINDROM NEFROTIK PADA ANAK YANG DITERAPI DENGAN KORTIKOSTEROID DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK DARI TAHUN 2009 SAMPAI 2010
1. Distribusi penderita relaps sindrom nefrotik yang diterapi dengan kortikosteroid
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid negatif 84 56.4 56.4 56.4
positif 65 43.6 43.6 100.0
Total 149 100.0 100.0
2. Distribusi penderita relaps sindrom nefrotik yang diterapi dengan kortikosteroid berdasarkan kelompok umur
kelompokumur * relaps Crosstabulation Count
relaps
Total negatif positif
kelompokumur 1-12 bulan 5 2 7
1-6 tahun 35 18 53
>6-12 tahun 33 37 70
>12-18 tahun 9 8 17
>18 tahun 2 0 2
3. Distribusi penderita relaps sindrom nefrotik yang diterapi dengan Kortikosteroid berdasarkan jenis kelamin
jenis kelamin pasien * kejadian relaps Crosstabulation Count
kejadian relaps
Total negatif positif
jenis kelamin pasien
lelaki 51 45 96
perempuan 33 20 53