• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Disparitas Pendapatan Kabupaten/Kota Di Sumatera Utara Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Disparitas Pendapatan Kabupaten/Kota Di Sumatera Utara Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI

MEDAN

ANALISIS DISPARITAS PENDAPATAN KABUPATEN/KOTA DI

SUMATERA UTARA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG

MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI

Skripsi

Diajukan Oleh :

YUNI HAFNI MARBUN

060501033

Ekonomi Pembangunan

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

(2)

ABSTRACT

The aim of this study is to analyze Income Disparity and the determinants of Growth of Economyc in North Sumatra. The Growth of Economics is determined by Labor (X1) and Government Expenditure (X2). The analyze Method that used at this study was generalized least square (GLS) and used panel data along 2000-2007.

The result of the estimation shows that determination coefficient (R2) is 51,74%. It means that independent variables, Labor(X1) and Government expenditure (X2) affects the dependent variable as much as 51,74%. And the 48,26% remain is explained by other variables which is not included in this estimation model.

Labor (X1) and Government expenditure (X2) as the independent variables throughly has an affect on the dependent variable Growth Economyc, it is proved from the overall test with 99% of interval confident.

Based on the parsial test, it is known that each of the independent variables has different affect on the independent variable, whereas Labor (X1) has positive significant affect up to 99% and Government Expenditure (X2) has positive significant at accuracy 99%.

(3)

ABSTRAKSI

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menganalisa bagaimana ketimpangan pendapatan kabupaten/kota dan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Sumatera Utara. Variabel-variabel yang dianggap mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (Y) dan menjadi objek penelitian adalah penduduk yang bekerja(X1), dan Pengeluaran Pemerintah(X2). Penelitian ini menggunakan data panel selama kurun waktu 2000-2007 dan menggunakan metode analisis Generalised least square (GLS) dalam mengestimasi hasil penelitian.

Hasil estimasi memperlihatkan bahwa koefisien determinasi (R2) sama dengan 51,74%. Hal ini berarti bahwa variabel-variabel independen yaitu Penduduk Yang Bekerja (X1) dan Pengeluaran Pemerintah(X2), dapat memberikan pengaruh terhadap variabel dependen Y Pertumbuhan Ekonomi sebesar 51,74% sedangkan sisanya yaitu sebesar 48,26% dijelaskan oleh variabel lain (µ = error term) yang tidak dimasukkan ke dalam model estimasi.

Variabel independen jumlah penduduk yang bekerja (X1) dan Pengeluaran Pemerintah (X2) memberikan pengaruh terhadap variabel dependen Y (Pertumbuhan Ekonomi) secara bersama-sama, terbukti dari nilai hitung yang lebih besar dari F-tabel (105,916 > 3,44) pada tingkat kepercayaan 99%.

Berdasarkan hasil uji parsial (uji t) diketahui bahwa variable X1 (penduduk yang bekerja) mempunyai pengaruh positif pada tingkat kepercayaan 99% dan variabel X2 (Pengeluaran Pemerintah) mempunyai pengaruh positif pada tingkat kepercayaan 99%.

(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji Syukur, hormat dan terima kasih penulis ucapkan kehadirat Tuhan

Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

dengan baik.

Adapun judul skripsi ini adalah “Analisis Disparitas Pendapatan Kabupaten/Kota Di Sumatera Utara Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi”.

Menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat

kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik

yang bersifat membangun dari pembaca sehingga dapat menambah pengetahuan serta

perbaikan kedepannya.

Dalam kesempatan ini, penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini baik dalam dukungan doa, moril maupun bantuan materi

terutama kepada:

1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M. Ec, sebagai Dekan Fakultas Ekonomi

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec, sebagai Ketua Departemen

Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak sebagai Prof. Dr. Syaad Afifuddin, sebagai Dosen Pembimbing

yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan

(5)

4. Bapak Drs. Syahrir Hakim Nasution, MSi dan Bapak Walad Al-Tsani,

MEc selaku Dosen Pembanding yang telah banyak memberikan saran

sampai terselesainya skripsi ini.

5. Bapak Irsyad Lubis, SE, M.Soc, Ph.D selaku Sekretaris Departemen

Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak dan Ibu Dosen Pengajar serta Staf Pegawai di Fakultas Ekonomi

Khususnya Departemen Ekonomi Pembangunan Universitas Sumatera

Utara.

7. Teristimewa kepada keluarga tercinta Ayahanda Hotmer Marbun dan

Ibunda Dermin Br. Simamora, oppung (op.Anto) serta adik-adik tercinta

(Sarto, Trigarnyati, Hyustrid, dan John Friendly) terima kasih buat semua

dukungan dan semagat yang diberikan kepada penulis.

8. Seluruh saudara-saudara saya kost 18A yakni Tante Eka, Kakak Eva,

Yosefin, Meli, Valen, Tonggus dan Andri yang memberi masukan bagi

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Terkhusus juga buat teman saya Mawaldi Simarmata yang memberi

motivasi buat penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

10.Seluruh sahabat dan teman penulis : Erna Liza, Aniem, Novia, Tari,

Regina,Valentina dan seluruh teman-teman “EP 06” yang tidak disebutkan

satu per satu.

11.Teman-Teman Mahasiswa Fakultas Ekonomi, terutama Ekonomi

Pembangunan Salute baik angkatan senior maupun junior dan seluruh

pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu sebagai

(6)

Akhir kata, penulis beharap semoga skripsi ini bermamfaat bagi para pembaca.

Terima kasih.

Medan, Pebruari 2010

Penulis

(7)

DAFTAR ISI

ABSTRACT ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Penelitian... 1

1. 2. Perumusan Masalah ... 7

1.3.Hipotesis ... ... 7

1. 4. Tujuan Penelitian... ... 8

1. 5 Manfaat Penelitian... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Ketimpangan Pendapatan ... 9

2. 1. 1 Pengertian ... 9

2. 1. 2 Hipotesa Neoklasik ... 12

2. 2 Produk Domestik Regional Bruto ... 13

2. 2. 1 Pengertian ... 13

2. 2. 2 Metode Perhitungan PDRB ... 14

2. 3 Pertumbuhan Ekonomi ... 17

2. 3. 1 Pengertian ... 17

2. 3. 2 Teori Pertumbuhan Ekonomi ... 19

2. 3. 3 Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi ... 26

2. 4 Pengeluaran Pemerintah ... 29

(8)

2. 4. 2 Teori pengeluaran pemerintah... 32

2. 5 Ketenagakerjaan... 38

2. 5. 1 Pengertian ... 38

2. 5. 2 Teori Ketenagakerjaan ... 41

2.6 Penelitian Sebelumnya ... 45

BAB III METODE PENELITIAN 3. 1. Ruang Lingkup Penelitian ... 49

3. 2. Jenis dan Sumber Data ... 50

3. 3. Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 50

3. 4. Pengolahan Data ... 51

3. 5. Model Analisis Data... 51

3. 5. 1 Model Penentuan Ketimpangan Antar Daerah ... 51

3. 5. 2 Model Analisis Ekonometrika ... 52

3.6. Metode Analisis Data Panel ... 53

3. 7. Uji Kesesuaian (Test of Goodness of Fit) ... 55

3. 7. 1 Koefisien Determinasi (R) ... 55

3. 7. 2 Uji F (Overall Test) ... 56

3. 7. 3 Uji t (Partial Test)... ... 57

3. 8. Defenisi Operasional ... 59

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Deskripsi Daerah Penelitian... ... 60

4. 1. 1. Kondisi Geografis Provinsi Sumatera Utara... 60

4. 1. 2. Kondisi Alam dan Topografi... ... 61

4. 1. 3. Kondisi Demografis... ... 62

(9)

4. 2. 1 Perkembangan PDRB Menurut Lapangan Usaha ... 66

4. 2. 2 Potensi Wilayah ... 68

4.3. Perkembangan Ekonomi Sumatera Utara ... 70

4.4. Perkembangan Tenaga Kerja di Sumatera Utara ... 73

4.5. Perkembangan Pengeluaran Pemerintah ... 74

4.6. Ketimpangan Pendapatan ... 76

4. 7. Analisis data... ... 79

4. 7. 1 Analisis dan Pengumpulan Data ... 79

4. 7. 2 Interpretasi Model... 80

1. Analisis Koefisien Determinasi ( R2 ) ...81

2. Uji F-statistik ...82

3. Uji t-statistik ...83

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... ... 85

5.2. Saran ... ... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 87

(10)

DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Halaman

1. Perkembangan PDRB Atas Dasar Harga Konstandi Sumatera Utara ... 3

2. Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk... 63

3. Laju Pertumbuhan Ekonomi Menurut Lapangan Usaha ... 65

4. PDRB ADHB Menurut Lapangan Usaha ... 67

5. PDRB ADHK Menurut Lapangan Usaha ... 68

6. Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Sumatera Utara ... 72

7. Penduduk Yang Bekerja Provinsi Sumatera Utara... 73

8. Pengeluaran Pemerintah Provinsi Sumatera Utara ... 75

9. Ketimpangan Pendapatan Provinsi Sumatera Utara ... 77

(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Halaman

1. Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah menurut Wagner ... 35

2. Uji t-Statistik ... 57

3. Uji F-Tatistik ... 58

4. Pertumbuhan Ekonomi ... 72

5 .Penduduk Yang Bekerja ... 74

6. Pengeluaran Pemerintah ... 76

7. Ketimpangan Pendapatan... 78

8. Uji t-Statistik variabel X1 ( Pengeluaran pemerintah) ... 84

9. Uji t-Statistik variabel X2 (Pengeluaran Pemerintah) ... 84

(12)

ABSTRACT

The aim of this study is to analyze Income Disparity and the determinants of Growth of Economyc in North Sumatra. The Growth of Economics is determined by Labor (X1) and Government Expenditure (X2). The analyze Method that used at this study was generalized least square (GLS) and used panel data along 2000-2007.

The result of the estimation shows that determination coefficient (R2) is 51,74%. It means that independent variables, Labor(X1) and Government expenditure (X2) affects the dependent variable as much as 51,74%. And the 48,26% remain is explained by other variables which is not included in this estimation model.

Labor (X1) and Government expenditure (X2) as the independent variables throughly has an affect on the dependent variable Growth Economyc, it is proved from the overall test with 99% of interval confident.

Based on the parsial test, it is known that each of the independent variables has different affect on the independent variable, whereas Labor (X1) has positive significant affect up to 99% and Government Expenditure (X2) has positive significant at accuracy 99%.

(13)

ABSTRAKSI

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menganalisa bagaimana ketimpangan pendapatan kabupaten/kota dan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Sumatera Utara. Variabel-variabel yang dianggap mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (Y) dan menjadi objek penelitian adalah penduduk yang bekerja(X1), dan Pengeluaran Pemerintah(X2). Penelitian ini menggunakan data panel selama kurun waktu 2000-2007 dan menggunakan metode analisis Generalised least square (GLS) dalam mengestimasi hasil penelitian.

Hasil estimasi memperlihatkan bahwa koefisien determinasi (R2) sama dengan 51,74%. Hal ini berarti bahwa variabel-variabel independen yaitu Penduduk Yang Bekerja (X1) dan Pengeluaran Pemerintah(X2), dapat memberikan pengaruh terhadap variabel dependen Y Pertumbuhan Ekonomi sebesar 51,74% sedangkan sisanya yaitu sebesar 48,26% dijelaskan oleh variabel lain (µ = error term) yang tidak dimasukkan ke dalam model estimasi.

Variabel independen jumlah penduduk yang bekerja (X1) dan Pengeluaran Pemerintah (X2) memberikan pengaruh terhadap variabel dependen Y (Pertumbuhan Ekonomi) secara bersama-sama, terbukti dari nilai hitung yang lebih besar dari F-tabel (105,916 > 3,44) pada tingkat kepercayaan 99%.

Berdasarkan hasil uji parsial (uji t) diketahui bahwa variable X1 (penduduk yang bekerja) mempunyai pengaruh positif pada tingkat kepercayaan 99% dan variabel X2 (Pengeluaran Pemerintah) mempunyai pengaruh positif pada tingkat kepercayaan 99%.

(14)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pelaksanaan pembangunan nasional pada dasarnya bertujuan untuk

menciptakan tata kehidupan ekonomi, sosial, politik yang lebih baik dimasa

mendatang. Oleh karena itu dalam melakukan perencanaan pembangunan harus

bertitik tolak pada permasalahan pembangunan baik yang mendukung lajunya

pembangunan maupun yang menghambat pembangunan sehingga dapat disusun suatu

strategi pembangunan nasional atau pembangunan daerah.

Strategi pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan semakin

sejahtera, makmur dan berkeadilan. Kebijaksanaan pembangunan dilakukan untuk

mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan cara memanfaatkan potensi yang

ada. Namun hasil pembangunan kadang belum dirasakan merata dan masih terdapat

kesenjangan antar daerah oleh karena itu diterapkan otonomi daerah (Amin Pujiati;

2008).

Penerapan otonomi daerah yang luas saat ini bertujuan untuk mengembangkan

seluruh potensi ekonomi yang ada sehingga dapat memacu peningkatan aktivitas

perekonomian di daerah yang pada akhirnya meningkatkan perekonomian nasional.

Penerapan otonomi daerah yang telah digariskan dalam UU No. 33/2004,

mensyaratkan adanya suatu perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan

daerah. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah adalah suatu

sistem pembiayaan pemerintah dalam rangka negara kesatuan yang mencakup

pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, serta pemerataan antar

(15)

Seberapa yang diterima oleh tiap daerah sebenarnya sangat berkaitan dengan

masalah merata atau tidak meratanya distribusi pendapatan tersebut. Oleh karenanya

pemerataan pendapatan adalah masalah yang penting dalam pembangunan. Tambunan

(2001) menyatakan bahwa pada dekade 1980-an sampai pertengahan dekade 1990-an

Indonesia menikmati laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi dengan tingkat

kesenjangan yang semakin besar. Begitu juga halnya dengan pertumbuhan ekonomi di

Sumatera Utara pada tahun 1985 hingga tahun 2004 relatif tinggi tetapi pertumbuhan

tersebut diiringi dengan ketimpangan antar wilayah yang semakin besar. Model

pembangunan ekonomi di Sumatera Utara bukan mengacu pada pemerataan

pembangunan yang semakin baik (Sirojuzilam,2007).

Pada tahap awal pembangunan, perbedaan laju pertumbuhan ekonomi regional

yang cukup besar antar daerah telah mengakibatkan disparitas dalam distribusi

pendapatan antar daerah. Namun dalam jangka panjang, ketika faktor-faktor produksi

di daerah semakin dioptimalkan dalam pembangunan maka perbedaan laju

pertumbuhan output antar daerah akan cenderung menurun. Hal itu ditandai dengan

semakin meningkatnya pendapatan per kapita rata-rata di setiap daerah seiring dengan

waktu yang berjalan (Etharina, 2005).

Menurut Todaro bahwa pembangunan diartikan sebagai suatu proses

multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial,

sikap-sikap mental yang sudah terbiasa dan lembaga-lembaga nasional termasuk pula

percepatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketimpangan dan pemberantasan

kemiskinan.

Pembangunan ekonomi daerah yang dimaksud adalah suatu proses dimana

pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan

(16)

untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan meransang perkembangan kegiatan

ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut. Adapun yang menjadi tolok

ukur keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi, struktur

ekonomi, dan semakin kecilnya ketimpangan pendapatan antar penduduk antar daerah

dan antar sector (Yoenanto dan Lana,2007).

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu ukuran dari hasil pembangunan

yang dilaksanakan khususnya dalam bidang ekonomi. Pertumbuhan ekonomi

merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai macam sektor ekonomi

yang secara tidak lansung menggambarkan tingkat pertumbuhan ekonomi. Bagi

daerah, indikator ini penting untuk mengetahui keberhasilan pembangunan di masa

yang akan datang.

Pertumbuhan harus berjalan secara beriringan dan terencana mengupayakan

terciptanya pemerataan kesempatan dan pembagian hasil-hasil pembangunan dengan

lebih merata. Dengan demikian maka daerah yang miskin, tertinggal tidak produktif

akan menjadi produktif, yang akhirnya akan mempercepat pertumbuhan itu sendiri.

Untuk melihat fluktuasi pertumbuhan ekonomi tersebut secara riil dari tahun ke tahun

tergambar melalui penyajian Produk Domestik Regional Bruto atas harga konstan

secara berkala, yaitu pertumbuhan yang positif menunjukkan adanya peningkatan

perekonomian, sebaliknya apabila negatif menunjukkan terjadinya penurunan dalam

pertumbuhan ekonomi. Kuznets dalam Jhingan (2008) mendefenisikan pertumbuhan

ekonomi, sebagai kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk

menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduk.

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator

untuk menunjukkan tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Indikator tersebut

(17)

dan siapa saja yang sesungguhnya menikmati pertumbuhan ekonomi tetapi seberapa

jauh pembangunan telah berhasil mensejahterakan masyarakatnya. Untuk daerah

Sumatera Utara pada tahun 2000 Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto

(PDRB) Atas Dasar Harga Konstan di Sumatera Utara dalam Sumatera Utara dalam

Angka 2000 mencapai Rp 69.154.112.380.000 pada tahun 2000 dan mengalami

peningkatan menjadi Rp 99.779.227.330.000 pada tahun 2007. Hal ini menunjukkan

bahwa perbaikan perekonomian Provinsi Sumatera Utara semakin disempurnakan,

sehingga pertumbuhan ekonomi menjadi sangat penting dan pertumbuhannya harus

lebih besar dari laju pertumbuhan penduduk sehingga peningkatan pendapatan per

kapita penduduk, pendapatan daerah dapat tercapai. Tetapi keberhasilan

pembangunan suatu daerah tidak hanya dapat diukur melalui kemampuannya dalam

meningkatkan pendapatan daerah, pendapatan per kapita, PDRB maupun indikator

sejenis lainnya. Berikut ini merupakan total Produk Domestik Regional Bruto atas

dasar harga konstan Provinsi Sumatera Utara.

Tabel 1.1

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan Propinsi Sumatera Utara 2000-2007

(18)

Berbagai masalah timbul dalam kaitan dengan pertumbuhan ekonomi wilayah

dan terus mendorong perkembangan konsep-konsep pertumbuhan ekonomi wilayah.

Dalam kenyataannya banyak fenomena tentang pertumbuhan ekonomi wilayah.

Kesenjangan wilayah dan pemerataan pembangunan menjadi permasalahan utama

dalam pertumbuhan wilayah. Beberapa daerah mencapai pertumbuhan cepat,

sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat. Daerah- daerah

tersebut tidak mengalami kemajuan yang sama disebabkan oleh karena kurangnya

sumber-sumber yang dimiliki, adanya kecenderungan peranan modal memilih daerah

perkotaan atau daerah yang memiliki fasilitas seperti prasarana perhubungan, jaringan

listrik, jaringan telekomunikasi, perbankan, asuransi juga tenaga kerja yang terampil

disamping itu adanya ketimpangan redistribusi pembagian pendapatan dari

pemerintah pusat ke daerah (Mudrajat Kuncoro, 2004:127).

Peningkatan penerimaan daerah akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi,

tetapi di sisi lain hal ini justru akan meningkatkan ketimpangan antar daerah.

Peningkatan penerimaan daerah juga akan meningkatkan keleluasaan pemerintah

daerah untuk membangun daerahnya melalui pengalokasian anggaran daerah yang

lebih tinggi nantinya akan membuka lapangan kerja yang lebih luas. Perluasan

kesempatan kerja berarti peningkatan kapasitas ekonomi daerah yang pada akhirnya

akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah tersebut.

Peranan penduduk yang bekerja atau produktif dalam perekonomian juga

sangat nyata sesuai dengan asumsi klasik bahwa jumlah penduduk dan tenaga kerja

mampu meransang pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang besar berarti

akan meningkatkan luasnya pasar domestik. Tersedianya pasar yang luas serta input

produksi yang banyak merupakan pendorong bagi keberlangsungan produksi. Namun

(19)

apabila tidak terjadi adanya akumulasi kapital. Akumulasi kapital merupakan suatu

lingkaran perputaran modal bagi input faktor produksi tenaga kerja yang dapat berupa

upah. Dimana alokasi upah tersebut tidak hanya digunakan sebagai konsumsi tetapi

juga merupakan jaminan investasi karena semakin tinggi pendapatan perkapita

diasumsikan akan meningkatkan jumlah tabungan. Sedangkan tabungan masyarakat

merupakan jaminan atas tersedianya investasi (Sirojuzilam, 2008:20).

Pengeluaran pemerintah juga merupakan salah satu faktor utama yang

menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi regional. Pengeluaran pemerintah diukur

dari total belanja rutin dan belanja pembangunan pemerintah daerah. Semakin besar

pengeluaran pemerintah yang tidak produktif, semakin kecil tingkat pertumbuhan

perekonomian daerah. Pengeluaran konsumsi pemerintah yang terlalu kecil akan

merugikan pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah yang proporsional akan

meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah yang boros akan

menghambat pertumbuhan ekonomi tetapi pada umumnya pengeluaran pemerintah

membuat dampak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi (Yoenanto dan Lana;

2007).

Begitu juga halnya campur tangan pemerintah dalam perekonomian sangat

diperlukan dalam menjaga kestabilan ekonomi terutama dalam menjaga luasnya

kesempatan kerja, inflasi dan pemerataan pembangunan. Dan hubungan pemerintah

pusat dan daerah harus berlandaskan pada penciptaan perekonomian yang tinggi.

Intervensi pemerintah dalam menjaga kestabilan pasar dan pertumbuhan ekonomi

dapat dilaksanakan dalam kebijakan publik maupun fiskal. Dengan kebijakan publik

pemerintah pusat dapat mengembangkan sarana-sarana kepentingan publik yang nyata

dapat meningkatkan kesejahteraan dan mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi.

(20)

baik konsumsi maupun investasi dengan tujuan untuk meningkatkan permintaan

agregat serta penciptaan iklim usaha yang baik.

Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian

melalui penulisan skripsi dengan dengan judul : “Analisis Disparitas Pendapatan Kabupaten/ Kota di Sumatera Utara dan Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi”.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka ada beberapa

rumusan masalah yang dapat digunakan sebagai dasar kajian dalam penelitian yang

akan dilakukan . Selain itu, rumusan masalah ini diperlukan sebagai suatu cara untuk

mengambil keputusan dari akhir penulisan skripsi, antara lain:

1. Bagaimana ketimpangan (disparitas) pendapatan yang terjadi antar

kabupaten/kota di Sumatera Utara?

2. Bagaimana pengaruh penduduk yang bekerja terhadap pertumbuhan ekonomi?

3. Bagaiman pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi?

1.3. Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan yang menjadi

objek penelitian dimana tingkat kebenarannya masih perlu dibuktikan atau diuji

secara empiris. Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas,

maka hipotesis yang dikemukakan penulis adalah sebagai berikut :

1. Terdapat ketimpangan regional yang cukup besar antar kabupaten/kota di

Sumatera Utara dan semakin kecil tingkat ketimpangan pendapatan suatu

(21)

2. Jumlah penduduk yang bekerja berpengaruh positif terhadap pertumbuhan

ekonomi Sumatera Utara, ceteris paribus.

3. Pengeluaran pemerintah baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran

pembangunan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Sumatera

Utara, ceteris paribus.

1.4. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan pokok permasalahan yang telah dirumuskan di atas maka tujuan

penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui keadaan ketimpangan antardaerah yang terjadi

kabupaten/kota di Sumatera Utara.

2. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh jumlah penduduk yang bekeja

terhadap pertumbuhan ekonomi di Sumatera Utara.

3. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap

pertumbuhan ekonomi di Sumatera Utara.

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk :

1. Menambah, melengkapi sekaligus sebagai pembanding hasil-hasil

penelitian yang sudah ada yang menyangkut topik yang sama dan sebagai

informasi serta bahan referensi bagi penelitian- penelitian selanjutnya

dengan topik yang sama.

2. Diharapakan hasil penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi

mahasiswa Fakultas Ekonomi, khususnya mahasiswa Departemen

(22)

3. Sebagai tambahan wawasan bagi penulis untuk mengetahui bagaimana

ketimpangan pendapatan antar kabupaten dan faktor yang mempengaruhi

(23)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS 2.1Ketimpangan Pendapatan

Disparitas pendapatan antar daerah merupakan hal yang wajar dalam konsep

pembangunan nasional. Pada tahap awal pembangunan ekonomi nasional, perbedaan

laju pertumbuhan regional yang cukup besar antar provinsi di Indonesia telah

mengakibatkan disparitas dalam distribusi pendapatan antar provinsi.

Peningkatan pendapatan perkapita memang menunjukkan tingkat kemajuan

perekonomian suatu daerah. Namun meningkatnya pendapatan perkapita tidak

selamanya menunjukkan bahwa distribusi pendapatan telah merata. Seringkali di

negara-negara berkembang dalam perekonomiannya lebih menekankan penggunaan

modal daripada penggunaan tenaga kerja sehingga keuntungan dari perekonomian

tersebut hanya dinikmati sebagian masyarakat saja. Apabila ternyata pendapatan

nasional tidak dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat, maka dapat

dikatakan bahwa telah terjadi ketimpangan dalam distribusi pendapatan.

Berkaitan dengan pembangunan regional, Williamson (1965) meneliti

hubungan antara disparitas regional dengan tingkat pembangunan ekonomi, dengan

menggunakan data ekonomi negara yang sudah maju dan yang sedang berkembang

selama dalam tahap awal pembangunan, disparitas regional menjadi lebih besar dan

pembangunan terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu. Pada tahap yang lebih maju,

dilihat dari pertumbuhan ekonomi tampak bahwa keseimbangan antar daerah dan

disparitas berkurang dengan signifikan.

Ketimpangan antar daerah disebabkan oleh mobilisasi sumber-sumber daya

yang dimiliki oleh suatu daerah. Sumber-sumber daya tersebut antara lain akumulasi

(24)

beragam karakteristik suatu wilayah menyebabkan kecenderungan terjadinya

ketimpangan antar daerah dan antar sektor ekonomi suatu daerah. Melihat fakta ini

dapat dikatakan bahwa disparitas regional merupakan konsekuensi dari pembangunan

itu sendiri (Safrizal,2008: 104).

Pendapatan perkapita banyak digunakan sebagai tolok ukur untuk mengukur

ketimpangan dalam suatu daerah. Pendapatan ini tidak dilihat dari tinggi rendahnya

pendapatan melainkan apakah pendapatan tersebut terdistribusikan secara merata atau

tidak ke seluruh masyarakat.

Terkonsentrasinya kegiatan ekonomi hanya di suatu daerah tertentu , secara

lansung berdampak pada disparitas pendapatan daerah yang sangat bervariasi. Daerah

yang satu mampu memberikan pendapatan yang tinggi, sebaliknya daerah yang lain

memberikan pendapatan yang relatif rendah. Pada gilirannya, semua itu akan

berimbas kembali pada kemampuan regional untuk tumbuh dan berkembang di masa

mendatang.

Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu menjadi salah

satu faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas pembangunan antar daerah.

Pembangunan ekonomi di daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi tinggi

cenderung tumbuh pesat dibandingkan daerah yang memiliki tingkat konsentrasi

kegiatan ekonomi daerah. Begitu pula, konsentrasi penduduk di dalam dan di sekitar

kota-kota besar biasanya diikuti dengan adanya disparitas pendapatan antar daerah

(Akita dan Lukman,1995).

Dalam usaha untuk menekan laju ketimpangan ini, maka harus ditentukan

kebijakan yang tepat. Pemilihan kebijakan yang tepat akan menciptakan stabilitas

pertumbuhan ekonomi yang cukup baik sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh

(25)

dalam pembangunan daerah harus dilaksanakan sebaik-baiknya. Pertumbuhan

ekonomi daerah yang berbeda-beda akan menyebabkan terjadinya katimpangan

disparitas ekonomi dan ketimpangan pendapatan antar daerah.

Richardson (1991) menyatakan bahwa perekonomian daerah merupakan

ekonomi terbuka, dimana pertumbuhan ekonomi daerah sebagai akibat dari

perpindahan faktor (factor movement). Kemudian perpindahan tenaga kerja maupun

arus modal adalah menjadi bagian penting bagi terjadinya perbedaan tingkat

pertumbuhan daerah. Dengan demikian bahwa perkembangan dan pertumbuhan

ekonomi daerah akan lebih cepat dicapai apabila memiliki keuntungan absolut kaya

akan sumber daya alam dan memiliki keuntungan komparatif apabila daerah tersebut

lebih efisien dari daerah lain dalam melakukan kegiatan produksi dan perdagangan.

North dalam Jhingan (1990) mengemukakan bahwa pertumbuhan wilayah

sangat tergantung pada keberhasilan dari suatu kegiatan yang dilakukan terhadap

suatu wilayah yang merupakan hasil pengembangan ekspor baru. Kecenderungan

peningkatan ketimpangan distribusi pendapatan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi

tidak saja terjadi di negara-negara sedang berkembang saja, namun juga terjadi di

negara-nagara industri maju.

2.1.1 Hipotesa Neo klasik

Kuznets (1976), seperti dikutip oleh Todaro (2004) mengemukakan hipotesis

Neo Klasik tentang ketimpangan wilayah (regional disparity) mengikuti suatu pola

yang berbentuk huruf U terbalik, dimasa pada proses permulaan pembangunan,

ketimpangan wilayah akan cenderung meningkat. Akan tetapi bila pembangunannya

berlanjut terus dan mobilitas modal serta tenaga kerja telah lancar, barulah

(26)

Berdasarkan hipotesa ini, dapat diambil suatu kesimpulan sementara bahwa

pada negara-negara sedang berkembang umumnya ketimpangan pembangunan antar

wilayah cenderung lebih tinggi, sedangkan pada negara maju ketimpangan tersebut

akan lebih rendah.

Kebenaran hipotesa Neo Klasik ini kemudian diuji kebenarannya oleh Jefrey

G. Williamson pada tahun 1966 melalui suatu studi tentang ketimpangan pendapatan

antarwilayah pada negara maju dan negara sedang berkembang dengan menggunakan

data time series dan cross section . Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa

Hipotesa Neo Klasik yang di formulasikan secara teoritis ternyata terbukti benar

secara empiris (Safrizal,2008:106).

Ukuran ketimpangan pendapatan antar wilayah yang mula-mula ditemukan

oleh Jeffrey G. Williamson yang digunakan dalam studinya pada tahun 1966 disebut

dengan indeks Williamson. Secara statistik , indeks ini adalah cooefficient of variation

yang lazim digunakan untuk mengukur suatu perbedaan. Indeks Williamson

menggunakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebagai data dasar

(Safrizal,2008:107-108). Formulasi indeks Williamson ini sacara statistik dapat

ditampilkan sebagai berikut:

Vw = , 0<Vw<1

Dimana :

Vw = indeks Williamson

(27)

2.2Produk Domestik Regional Bruto(PDRB)

2.2.1 Pengertian Produk Domestik Regional Bruto

Produk Domestik Regional Bruto pada dasarnya merupakan jumlah nilai

tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. Nilai akhir dari Produk Domestik

Regional Bruto akan sama dengan total nilai nominal dari konsumsi, investasi,

pengeluaran pemerintah, serta ekspor bersih. Salah satu indikator penting untuk

mengetahui kondisi ekonomi di suatu daerah dalam satu periode tertentu adalah

Produk Domestik Regional Bruto.

Produk Domestik Regional Bruto digunakan untuk berbagai tujuan, tetapi

yang terpenting adalah untuk mengukur kinerja perekonomian secara keseluruhan.

Jumlah ini akan sama dengan jumlah nilai nominal dari konsumsi, investasi kotor,

pengeluaran pemerintah untuk barang nominal dan jasa, serta ekspor netto.

Umumnya Produk Domestik Regional Bruto dapat dibedakan menjadi dua

jenis yaitu Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga berlaku (Nominal) dan

Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan (Riil). Produk Domestik

Regional Bruto atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa

yang dihitung menggunakan harga berlaku pada setiap tahun. Jadi, pada Produk

Domestik Regional Bruto atas dasar harga berlaku sudah termasuk unsur inflasi.

Sedangkan Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan

menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada

tahun tertentu. Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan meningkat

hanya jika jumlah barang dan jasa meningkat, sedangkan Produk Domestik Regional

(28)

2.2.2 Metode Penghitungan Produk Domestik Regional Bruto

Metode perhitungan pendapatan regional dapat dibagi menjadi dua yakni :

1. Metode Lansung

Metode langsung adalah perhitungan dengan menggunakan data daerah atau

data asli yang menggambarkan kondisi daerah atau data asli yang menggambarkan

kondisi daerah dan digali dari sumber data yang ada di daerah itu sendiri. Metode

lansung dapat dilakukan dengan mempergunakan tiga macam cara, yakni :

a. Pendekatan produksi

Pendekatan dengan cara ini dimaksudkan untuk menghitung netto barang dan

jasa yang diproduksi ini dinilai pada harga produsen yaitu harga yang belum

termasuk biaya transport dan pemasaran karena biaya transport dan pemasaran karena

biaya transport akan dihitung sebagai pendapatan sektor perdagangan.

Nilai barang dan jasa pada harga produsen ini merupakan nilai produksi bruto,

sebab masih termasuk di dalamnya biaya-biaya barang dan jasa-jasa yang dipakai dan

dibeli dari sektor lain.

Untuk menghindari perhitungan dua kali (double account), maka biaya-biaya

barang dan jasa-jasa harus dikeluarakan sehinnga diperoleh nilai produksi netto atau

disebut juga nilai tambah bruto (termasuk penyusutan dan pajak tidak lansung).

Y = P1Q1 + P2Q2 +…. +PnQn

Dimana :

Y = PDRB (Produk Domestik Regional Bruto)

(29)

Q1, Q2, …,Qn = Jumlah produk pada satuan masing-masing sector ekonomi

b. Pendekatan pendapatan

Produk Domestik Regional Bruto dirumuskan jumlah seluruh balas jasa yang

diterima oleh faktor produksi (berupa gaji dan upah, bunga, sewa dan laba) yang ikut

serta dalam proses produksi suatau wilayah/region dalam jangka waktu tertentu,

biasanya satu tahun. Berdasarkan pengertian di atas , maka nilai tambah bruto adalah

jumlah dari upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal, keuntungan , semuanya sebelum

dipotong pajak penghasilan dan pajak lansung lainnya.

Y = Yw + Yr + Yi + Yp

Dimana :

Y = Pendapatan regional atau PDRB

Yw = Pendapatan upah / gaji

Yr = Pendapatan Sewa

Yi = Pendapatan Bunga

Yp = Pendapatan laba/profit.

c. Pendekatan Pengeluaran

Produk Domestik Regional Bruto dihitung jumlah seluruh komponen

pengeluaran akhir, meliputi pengeluaran konsumsi rumah tangga dan swasta yang

tidak mencari keuntungan, pengeluaran konsumsi pemerintah, pembentukan modal

tetap domestik bruto serta ekspor neto (yaitu ekspor dikurangi impor) di dalam suatu

wilayah / region dengan jangka tertentu/setahun.

(30)

Dimana :

Y = PDRB ( Pendapatan Domestik Regional Bruto)

C = Pengeluaran Rumah tangga konsumen untuk konsumsi

I = Pengeluaran rumah tangga perusahaan untuk investasi

G = Pengeluaran rumah tangga pemerintah

( X-M) = Ekspor netto atau pengeluaran rumah tangga luar negeri

2. Metode Tidak Lansung

Metode tidak lansung adalah suatu cara mengalokasikan produk domestik

bruto dari wilayah yang lebih luas ke masing-masing bagian wilayah, misalnya

mengalokasikan PDB Indonesia ke setiap provinsi dengan menggunakan alokator

tertentu, alokator yang dapat digunakan, yaitu:

a. Nilai produksi bruto atau neto setiap sector/subsector, pada wilayah yang

dialokasikan,

b. Jumlah produksi fisik,

c. Tenaga kerja

d. Penduduk,

e. Alokator tidak lansung lainnya.

Dengan menggunakan salah satu atau kombinasi dari beberapa alokator dapat

diperhitugkan persentase bagian masing-masing provinsi terhadap nilai tambah setiap

(31)

2.3 Pertumbuhan Ekonomi

2.3.1 Pengertian Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output perkapita dalam jangka

panjang (Budiono, 1988). Ada empat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan

ekonomi menurut pandangan para ekonom klasik maupun ekonom neoklasik, yaitu

jumlah penduduk, jumlah stok barang modal, luas tanah dan kekayaan alam serta

tingkat teknologi yang digunakan (Mudrajad Kuncoro, 2004).

Pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan kenaikan output perkapita. Yang

perlu diperhatikan adalah sisi output totalnya dan jumlah penduduknya. Output

perkapita adalah kenaikan output total dibagikan dengan jumlah penduduk (Budiono,

1988). Sedangkan untuk melihat pertumbuhan ekonomi regional digunakan PDRB

(Produk Domestik Regional Bruto) perkapita.

Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu gambaran mengenai dampak

kebijaksanaan pemerintah yang dilaksanakan khususnya dalam bidang ekonomi.

Pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai

macan sector ekonomi yang secara tidak lansung menggambarkan tingkat

pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Bagi daerah, indikator ini penting untuk

mengetahui keberhasilan pembangunan di masa yang akan datang. Pertumbuhan

merupakan ukuran utama keberhasilan pembangunan, dan hasil pertumbuhan

ekonomi akan dapat pula dinikmati masyarakat sampai di lapisan paling bawah, baik

dengan sendirinya maupun dengan campur tangan pemerintah (Sirojuzilam,2005:4).

(32)

g = X 100

Dalam persamaan tersebut, arti setiap unsur dinyatakan di bawah ini :

g = Tingkat (persentase) pertumbuhan ekonomi

GDP1 = (Gross Domestic Product) atau produk Domestik Bruto (PDB) adalah

pendapatan nasional riil yaitu pendapatan nasional yang dihitung pada

harga tetap yang dicapai pada suatu tahun (tahun 1)

GDP0 = Pendapatan nasional pada tahun sebelumnya.

Yang dimaksud dengan pendapatan nasional adalah nilai barang dan jasa yang

diproduksikan dalam suatu Negara pada tahun tertentu. Nilai tersebut dapat dihitung

berdasarkan harga berlaku (yaitu pada harga –harga berlaku pada tahun dimana PDB

dihitung) dan menurut harga tetap yaitu pada harga-harga yang berlaku pada tahun

dasar (Sukirno,2006 : 9-10).

Pertumbuhan regional adalah produk dari banyak faktor, sebagian bersifat

intern dan sebagian lainnya bersifat extern dan sosio politik. Faktor – faktor yang

berasal dari daerah itu sendiri meliputi distribusi faktor produksi, seperti tanah, tenaga

kerja, modal sedangkan salah satu penentu extern yang penting adalah tingkat

permintaan dari daerah – daerah lain terhadap komoditi yang dihasilkan oleh daerah

tersebut (Sirojuzilam, 2008:21).

Dalam kenyataannya banyak fenomena yang timbul berkaitan dengan

pembangunan ekonomi, yaitu kesenjangan wilayah dan pemerataan pembangunan.

Dimana para ahli berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi wilayah tidak akan

bermanfaat dalam hal pemecahan masalah kemiskinan (Sirojuzilam, 2005). Hal ini

(33)

pemerataannya, dimana kesenjangan semakin tinggi disaat pertumbuhan ekonominya

juga meningkat. Hal inilah yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi bukanlah

pemecahan masalah dalam pengentasan kemiskinan.

2.3.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi

Menurut Prof. Simon Kuznets, pertumbuhan ekonomi sebagai kenaikan jangka

panjang dalam kemampuan suatu Negara untuk menyediakan semakin banyak jenis

barang – barang ekonomi kepada penduduknya. Kemampuan ini tumbuh sesuai

dengan kemajuan teknologi dan penyesuaian kelembagaan dan ideologi yang

diperlukan. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi ditandai dengan 3 ciri pokok, yaitu:

laju pertumbuhan, pendapatan perkapita riil, distribusi angkatan kerja menurut sektor

kegiatan produksi yang menjadi sumber nafkah dan pola persebaran penduduk.

1.Teori Pertumbuhan Klasik

Perhatian Adam Smith terhadap masalah pembangunan dapat dilihat dari

bukunya “An Incuiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations”. Adam

Smith sebagai pelopor teori klasik mengatakan bahwa output akan berkembang

sejalan dengan perkembangan penduduk. Pertambahan penduduk berarti peningkatan

produk nasional. Teori pertumbuhan klasik juga mengemukakan keterkaitan antara

pendapatan perkapita dengan jumlah penduduk yang dikenal dengan teori penduduk

optimum.

Teori ini menyatakan bahwa :

a. Apabila produksi marginal lebih tinggi dari pada pendapatan perkapita, jumlah

penduduk sedikit dan tenaga kerja masih kurang, maka pertambahan jumlah

penduduk akan menambah tenaga kerja dan menaikkan pertumbuhan

(34)

b. Apabila produk marginal makin menurun, pendapatan nasional semakin

meningkat dengan perlahan, maka pertambahan penduduk akan meningkatkan

jumlah tenaga kerja yang tersedia, tetapi terjadi penurunan pendapatan

perkapita dan pertumbuhan ekonomi yang peningkatannya semakin kecil.

c. Apabila produk marginal bernilai sama dengan pendapatan per kapita, yang

berarti pendapatan perkapita yang maximum dengan jumlah penduduk

optimal, maka pertambahan penduduk akan membawa pengaruh yang tidak

baik terhadap pertumbuhan ekonomi (Robinson,2005:47).

2. Teori Ricardian (1817)

David Ricardo mengungkapkan pandangannya mengenai pembangunan

ekonomi dengan cara yang tidak sistematis dalam bukunya the principle of political

economy and taxion. David Ricardo mengungkapkan bahwa faktor yang penting

dalam pertumbuhan ekonomi adalah buruh, pemupukan modal dan perdagangan luar

negeri. Seperti ahli ekonomi modern, teori Ricardo menekannkan pentingnya

tabungan bagi pembentukan modal. Dibanding pajak, Ricardo lebih menyetujui

pemupukan modal melalui tabungan (Jhingan, 2000).

Tabungan dapat dibentuk melalui penghematan pengeluaran, memproduksi

lebih banyak, dan meningkatkan keuntungan serta mengurangi harga barang. Semakin

banyak tabungan berarti semakin banyak pula pemupukan modal bagi kegiatan

penanaman modal berikutnya. Selain itu, Ricardo juga memberi tekanan khusus pada

perdagangan luar negeri sebagai sarana memperbaiki perekonomian. Sebab

perdagangan luar negeri akan menyebabkan pemamfaatan sumber daya secara

(35)

3. Teori Pertumbuhan Ekonomi Solow-Swan

Menurut teori ini garis besar proses pertumbuhan mirip dengan teori

Harrod-Domar, dimana asumsi yang melandasi model ini yaitu:

a. Tenaga kerja penduduk tumbuh dengan laju tertentu, misalnya P per

tahun.

b. Adanya fungsi produksi Q = f (K, L) yang berlaku bagi setiap periode.

c. Adanya kecenderungan menabung (prospensity to save) oleh masyarakat

yang dinyatakan sebagai proporsi (s) tertentu dari output (Q). Tabungan

masyarakat S = sQ; bila Q naik S juga naik, dan sebaliknya.

d. Semua tabungan masyarakat di investasikan S = I = AK.

Sesuai dengan anggapan mengenai kecenderungan menabung, maka dari

output disisakan sejumlah proporsi untuk ditabung dan kemudian diinvestasikan.

Dengan begitu, maka terjadi penambahan stok capital (Boediono, 1992: 81-82).

4. Teori Keynes (1936)

Teori Keynes didasarkan pada adanya pengangguran sikklis yang terjadi

akibat depresi ekonomi. Menurut Keynes pengangguran merupakan akibat dari

kurangnya permintaan efektif dan untuk mengatasinya Keynes menyarankan agar

memperbesar pengeluaran konsumsi. Dalam hal ini, maka keynes menganjurkan

adanya campur tangan pemerintah melalui kebijakan fiskal dan kebijakan moneter

yang dapat mempengaruhi permintaan efektif (Jhingan,2000).

Dalam teorinya, Keynes menganggap tabungan sabagai sifat sosial yang buruk

karena kelebihan tabungan menyebabkan terjadinya kelebihan supply sehingga

produsen dapat merugi yang akhirnya dapat terjadinya pemutusan hubungan kerja

(36)

maka Keynes merasa pemerintah perlu mempengaruhi tingkat suku bunga yang

berkorelasi lansung dengan jumlah uang yang beredar yang dapat meningkatkan

permintaan efektif (Jhingan,2000).

5. Teori Schumpeter (1934)

Schumpeter berpandangan bahwa pertumbuhan ekonomi sangat ditentukan

oleh kemampuan kewirausahaan (enterpreneurship). Sebab para pengusahalah yang

mempunyai kemampuan dan keberanian mengaplikasikan penemuan-penemuan baru

dalam aktivitas produksi.

Menurut Schumpeter, kemajuan perekonomian kapitalis disebabkan karena

diberinya keleluasaan untuk para entrepreneurship. Sayangnya keleluasaan tersebut

cenderung memunculkan masalah-masalah non ekonomi, terutama social politik yang

akhirnya dapat menghancurkan kapitalis itu sendiri (Jhingan,2000).

6. Teori Pertumbuhan Neoklasik

Teori pertumbuhan ekonomi Neo-klasik berkembang sejak tahun 1950-an.

Teori ini berkembang berdasarkan analisis-analisis mengenai pertumbuhan ekonomi

menurut pandangan ekonomi klasik. Menurut teori ini, pertumbuhan ekonomi

tergantung pada pertambahan penyediaan faktor-faktor produksi (penduduk, tenaga

kerja, dan akumulasi modal) dan tingkat kemajuan teknologi.

Menurut teori ini, rasio modal output bisa berubah. Dengan kata lain, untuk

menciptakan sejumlah output tertentu, bisa digunkan jumlah modal yang berbeda

dengan yang dibutuhkan. Jika lebih banyak modal yang digunakan, maka lebih

(37)

7. Teori Pertumbuhan Ekonomi Regional

Pada dasarnya pembangunan daerah dalah berkenaan dengan tingkat dan

perubahan selama kurun waktu tertentu suatu set variable-variabel, seperti produksi,

penduduk, angkatan kerja, rasio modal tenaga, dan imbalan bagi faktor (factor

returns) dalam daerah dibatasi secara jelas. Laju pertumbuhan dari daerah-daerah

biasanya diukur melalui output atau tingkat pendapatan adalah sangat berbeda-beda,

dan beberapa daerah mengalami kemunduran jangka panjang.

Pertumbuahan regional adalah produk dari banyak faktor , sebagian besifat

intern dan sebagian lainnya bersifat extern dan sosio politik. Faktor-faktor yang

berasal dari daerah itu sendiri meliputi distribusi faktor produksi seperti tanah , tenaga

kerja, modal sedangkan salah satu penentu extern yang penting adalah tingkat

permintaan dari daerah- daerah lain terhadap komoditi yang dihasilkan oleh daerah

tersebut.

Laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi bukan berarti telah terjadinya

pembangunan. Kriteria pendapatan perkapita sebagai dasra pengukuran pembangunan

mulai diragukan kebenarannya. Dalam keadaan demikian terjadi penyimpangan

pengertian antara pertumbuahn ekonomi dengan pembangunan( development).

Pertumbuhan ekonomi merupakan kondisi yang diperlukan tetapi tidak

mencukupi bagi proses pembanguan. Pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan

peningkatan produksi barang-barang dan jasa-jasa dalam masyarakat sebaliknya

pembangunan bukan saja memerlukan peningkatan produksi barang-barang dan

jasa-jasa tetapi juga harus menjamin pembangiannya secara lebih merata kepada segenap

lapisan masyarakat.

Strategi pertumbuhan ekonomi mengabaikan masalah pemerataan ini. Dengan

(38)

bawah (trickle-down effect) sehingga menguntungkan juga kelompok masyarakat

miskin. Pertumbuhan ekonomi merupakan ukuran utama keberhasilan pembangunan,

dan hasil pertumbuhan ekonomi akan dapat pula dinikmati masyarakat sampai di

lapisan paling bawah, baik dengan sendirinya maupun dengan campur tangan

pemerintah.

Pertumbuhan ekonomi harus berjalan secara beriringan dan terencana,

mengupayakan terciptanya pemerataan kesempatan dan pembagian hasil-hasil

pembangunan dengan lebih merata. Dengan demikian maka daerah yang miskin,

tertinggal tidak produktif akan menjadi produktif, yang akhirnya akan mempercepat

pertumbuhan itu sendiri. Strategi ini dikenal dengan istilah “Redistribution With

Growth”

Pada dasarnya pembangunan daerah adalah berkenaan dengan tingkat dan

perubahan selama kurun waktu tertentu suatu set variable-variabel, seperti produksi,

penduduk, angkatan kerja, rasio modal tenaga dan imbalan bagi faktor dan dalam

daerah dibatasi secara jelas. Laju pertumbuhan dari daerah-derah biasanya diukur

menurut output atau tingkat pendapatan. Ada beberapa teori pertumbuhan ekonomi

regional yang lazim dikenal yaitu:

a. Export Base Models, oleh North (1955) yang kemudian dikembangkan oleh

Tiebout (1956).

Mereka mendasarkan pandangannya dari sudut teori lokasi, yg

berpendapat bahwa jenis keuntungan lokasi yang dapat digunakan daerah

tersebut sebagai kekuatan ekspor. Keuntungan lokasi tersebut umumnya

berbeda-beda setiap region dan hal ini tergantung pada keadaan geografi

(39)

Pertumbuhan ekonomi suatu daerah ditentukan oleh eksploitasi

pemanfaatan alamiah dan pertumbuhan basis ekspor daerah yang bersangkutan

yang juga dipengaruhi oleh tingkat permintaan eksternal dari daerah-daerah

lain. Pendapatan yang diperoleh dari penjualan ekspor akan mengakibatkan

berkembangnya kegiatan - kegiatan penduduk setempat, perpindahan modal

dan tenaga kerja, keuntungan - keuntungan eksternal dan pertumbuhan

ekonomi regional lebih lanjut. Ini berarti bahwa untuk meningkatkan

pertumbuhan suatu region, strategi pembangunannya harus disesuaikan

dengan keuntungan lokasi yang dimilikinya dan tidak harus sama dengan

strategi pembangunan pada tingkat nasional.

b. Cumulative Causation Models oleh Myrdal (1975) dan kemudian

diformulasikan oleh Kaldor.

Teori ini berpendapat bahwa peningkatan pemerataan pembangunan

antar daerah tidak hanya dapat diserahkan pada kekuatan pasar (market

mechanism), tetapi perlu adanya campur tangan pemerintah dalam bentuk

program - program pembangunan regional terutama untuk daerah – daerah

yang relatif masih terbelakang.

c. Core Periphery Models dikemukakan oleh Friedman (1966)

Teori ini menekankan analisa pada hubungan yang erat dan saling

mempengaruhi antara pembangunan kota (core) dan desa (periphery).

Menurut teori ini, gerak langkah pembangunan daerah perkotaan akan lebih

banyak ditentukan oleh keadaan desa-desa disekitarnya. Sebaliknya corak

(40)

pembangunan perkotaan. Dengan demikian aspek interaksi antar daerah

(spatial interaction) sangat ditentukan.

Adapun yang menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan

ekonomi, yakni dibedakan atas dua jenis:

1. Faktor ekonomi

Para ahli ekonomi menganggap faktor produksi sebagai kekuatan utama yang

mempengaruhi pertumbuhan, jatuh atau berkembangnya perekonomian adalah

konsekuensi dari perubahan yang terjadi dalam faktor produksi tersebut.

a. Sumber daya alam

Faktor utama yang mempengaruhi perkembangan suatu perekonomian adalah

sumber daya alam atau tanah. Tanah sebagaimana dipergunakan dalam ilmu ekonomi

mencakup sumber daya alam seperti kesuburan tanah, letak dan susunannya,

kekayaan hutan, mineral, iklim, sumber air, sumber lautan, dan sebagainya. Bagi

pertumbuhan ekonomi, tersedianya sumber daya alam secara melimpah merupakan

hal penting. Suatu Negara yang kekurangan sumber alam tidak dapat membangun

dengan cepat.

b. Akumulasi Modal

Faktor ekonomi kedua yang penting dalam pertumbuhan ekonomi adalah

akumulasi modal. Modal berarti persediaan faktor produksi yang secara fisik dapat

direproduksi. Apabila stok modal naik dalam batas waktu tertentu, hal ini disebut

akumulasi modal atau pembentukan modal. Dalam ungkapan Nurkse, makna

pembentukan modal adalah masyarakat tidak melakukan saat ini sekedar untuk

(41)

menggairahkan sebagian daripadanya untuk pembuatan barang modal, alat-alat,

mesin-mesin, pabrik dan peralatannya. Dalam arti ini pembentukan modal merupakan

investasi dalam bentuk barang-barang modal yang dapat menaikkan stok modal,

output nasional dan pendapatan nasional.

c. Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia merupakan faktor terpenting dalam pertumbuhan

ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tidak semata-mata tergantung pada jumlah sumber

daya manusia saja, tetapi lebih menekankan kepada efisiensi mereka. Untuk

mendorong agar sumber daya manusia dapat bekerja secara efisien dan maksimal,

maka diperlukan pembentukan modal insan, yaitu proses peningkatan ilmu

pengetahuan, keterampilan dan kemampuan seluruh penduduk negara/ wilayah yang

bersangkuatan. Proses ini mencakup kesehatan, pendidikan dan pelayanan social pada

umumnya. Sehingga pada kondisi dimana penduduk dapat berproduktivitas secara

efisien akan mendorong laju pertumbuhan ekonomi.

d. Tenaga Manajerial dan Organisasi Produksi

Organisasi produksi merupakan bagian penting dalam proses pertumbuhan

ekonomi. Organisasi ini berkaitan dengan penggunaan faktor produksi dalam berbagai

kegiatan perekonomian. Organisasi produksi ini dilaksanakan dan diatur oleh tenaga

manajerial dalam berbagai kegiatannya sehari-hari. Dan dalam perkembangan dan

pertumbuhan ekonomi, para wiraswasta tampil sebagai tenaga organisator dalam

menggerakkan berbagai sumber produksi dengan memperkenalkan penemuan baru

(42)

2. Faktor Non Ekonomi

a. Faktor pemamfaatan teknologi

Kemajuan teknologi merupakan faktor yang penting dalam proses

pertumbuhan ekonomi. Dan perubahan dan kemajuan teknologi tersebut dapat

meningkatkan produktivitas tenaga kerja, modal dan faktor produksi lainnya.

b. Faktor Politik dan Administrasi Pemerintahan

Struktur dan politik serta administrasi pemerintahan yang lemah merupakan

faktor penghambat yang besar bagi pertumbuhan ekonomi Negara-negara

berkembang. Politik yang tidak stabil serta pemerintahan yang lemah dan koruptor

sangat menghambat kemajuan ekonomi.

c. Aspek Sosial Budaya

Aspek sosial budaya dalam kehidupan masyarakat meliputi antara lain sikap,

tingkah laku, pandangan masyarakat, motivasi kerja, kelembagaan masyarakat dan

hal-hal lainnya yang berkaitan dengan itu. Sebagai ilustrasi, misalnya pendidikan dan

kebudayaan Barat membawa pemikiran dan pandangan kearah penalaran, sikap dan

skeptisme, dan semangat untuk menghasilkan penemuan baru, yang kesemuanya

dapat menunjang pertumbuhan ekonomi.

d. Susunan dan tertib hukum

Susunan dan tertib hukum serta pelaksanaan hukum dan peraturan dan

(43)

sehingga tidak mendukung terlaksananya pertumbuhan ekonomi. Sehubungan dengan

itu maka hukum harus dilaksanakan secara tertib dan konsekuen, yang ditujukan

untuk menunjang pertumbuhan ekonomi.

2.4 Pengeluaran Pemerintah

2.4.1 Pengeluaran Pemerintah

Dalam kebijakan fiskal dikenal ada beberapa kebijakan anggaran, yaitu

anggaran berimbang, anggaran surplus dan anggaran defisit. Dalam pengertian umum,

anggaran berimbang adalah suatu kondisi dimana penerimaan sama dengan

pengeluaran (G = T ). Anggaran surplus yaitu pengeluaran lebih kecil dari penerimaan

(G<T) sedangkan anggaran defisit adalah anggaran dimana komposisi pengeluaran

lebih besar dari penerimaan (G>T).

Anggaran surplus digunakan jika pemerintah mengatasi masalah inflasi,

sedangkan anggaran defisit digunakan jika pemerintah ingin mengatasi masalah

pengangguran dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Jika pemerintah

merencanakan peningkatan perumbuhan untuk mengurangi angka pengangguran,

pemerintah dapat meningkatkan pengeluarannya.

Di Indonesia, pengeluaran pemerintah terbagi atas 2 yakni:

1. Pengeluaran Rutin

Pengeluaran rutin yaitu pengeluaran untuk pemeliharaan / penyelenggaraan

roda pemerintahan sehari-hari, meliputi: belanja pegawai, belanja barang, berbagai

macam subsidi (subsidi daerah dan subsidi harga), angsuran dan bunga utang

pemerintah serta jumlah pengeluaran rutin lainnya. Melalui pengeluaran rutin,

(44)

penyelenggara pemerintah, kegiatan operasional dan pemeliharaan aset negara,

pemenuhan kewajiban pemerintah kepada pihak ketiga, perlindungan kepada

masyarakat miskin dan kurang mampu, serta menjaga stabilitas perekonomian

(Djunasien dan Hidayat, 1989).

Anggaran belanja rutin memegang peranan penting untuk menunjang

kelancaran mekanisme sistem pemerintahan serta upaya peningkatan efisiensi dan

produktivitas, yang pada gilirannya akan menunjang tercapainya sasaran dan tujuan

setiap tahap pembangunan. Penghematan dan efisiensi pengeluaran rutin perlu

dilakukan untuk menambah besarnya tabungan pemerintah yang diperlukan untuk

pembiayaan pembangunan nasional. Penghematan dan efisiensi tersebut antara lain

diupayakan melalui penajaman alokasi pengeluaran rutin, pengendalian dan

koordinasi pelaksanaan pembelian barang-barang dan jasa kebutuhan

departemen/lembaga negara non departemen dan pengurangan berbagai macam

subsidi secara bertahap.

2. Pengeluaran Pembangunan

Pengeluaran pembangunan yaitu pengeluaran yang bersifat menambah modal

masyarakat dalam bentuk pembangunan baik prasarana fisik dan non fisik.

Pengeluaran pembangunan merupakan pengeluaran yang ditujukan unutk membiayai

program-program pembangunan sehingga anggarannya selalu dapat disesuaikan

dengan dana yang dimobilisasi. Dana ini kemudian dialokasikan pada berbagai bidang

sesuai dengan prioritas yang telah direncanakan. Semakin besar pengeluaran

pemerintah untuk membiayai program pembangunan, berarti semakin tinggi tingkat

(45)

berarti semakin besar pula kegiatan ekonominya. Hal ini akan memberikan pengaruh

positif terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut.

Pengelolaan anggaran pembangunan juga harus tetap ditempatkan sebagai

bagian yang utuh dari upaya menciptakan anggaran pendapatan dan belanja negara

yang sehat, melalui upaya mengurangi sacara bertahap peran pembiayaan yang

bersumber dari luar negeri tanpa mengurangi upaya untuk mencipatakan pertumbuhan

yang berkesinambungan.

Menurut Wagner, ada beberapa hal yang menyebabkan pengeluaran

pemerintah selalu meningkat, yaitu tuntutan peningkatan perlindungan keamanan dan

pertahanan, kenaikan tingkat pendapatan nasional, perkembangan demokrasi dan

ketidakefisienan birokrasi yang mengiringi perkembangan pemerintahan.

Dalam teori ekonomi makro, pengeluaran pemerintah terdiri dari 3 bagian

utama yang dapat digolongkan sebagai berikut:

1. Pengeluaran pemerintah untuk pembelian barang-barang dan jasa

2. Pengeluaran pemerintah untuk gaji pegawai

3. Pengeluaran pemerintah untuk transfer payments yakni merupakan pos yang

mencatat pembayaran atau pemberian pemerintah lansung kepada warganya

yang meliputi pembiayaan subsidi/ bantuan lansung kepada berbagai golongan

masyarakat, pembiayaan pensiunan, pembayaran bunga untuk pinjaman

pemerintah kepada masyarakat. Secara ekonomis, transfer payment

mempunyai status dan pengaruh yang sama dengan gaji pegawai meskipun

administrasi keduanya berbeda (Boediono,2001).

Pengeluaran pemerintah dalam arti riil dapat dipakai sebagai indikator besarnya

(46)

dan semakin banyak kegiatan pemerintah, semakin besar pula pengeluaran pemerintah

yang bersangkutan.

2.4.2 Teori Pengeluaran Pemerintah 1. Pengeluaran Pemerintah Versi Keynes

Identitas keseimbangan pendapatan nasional Y = C+I+G merupakan

pandangan kaum Keynesian akan relevansi campur tangan pemerintah dalam

perekonomian tertutup. Formula ini dikenal sebagai identitas pendapatan nasional.

Variabel Y (Pendapatan Nasional ), C (Pengeluaran Konsumsi), I (Investasi), dan G

(Pengeluaran pemerintah). Dengan membandingkan nilai G terhadap Y serta

mengamati dari waktu ke waktu dapat diketahui seberapa besar kontribusi

pengeluaran pemerintah dalam pembentukan pendapatan nasional (Dumairy, 1997).

Menurut Keynes untuk menghindari timbulnya stagnasi dalam perekonomian,

pemerintah berusaha untuk meningkatkan jumlah pengeluaran pemerintah (G) dengan

tingkat yang lebih tinggi dari pendapatan nasioanl, sehingga dapat mengimbangi

penurunan nilai APC (Average Prospensity to Consume) dalam perekonomian.

Pendapatan setelah diperhitungkan transfer pemerintah dari pajak yang harus

dibayarkan kepada pemerintah disebut sebagai Dispossible Income suatu masyarakat

sama dengan besarnya transfer pemerintah (Tr) dikurangi besarnya pajak (tax) yang

dipungut oleh pemerintah. (Reksoprayitna,1985).

2. Model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah.

Model ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang menghubungkan

perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi

(47)

ekonomi, prosentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada

tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan,

prasarana transportasi. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi

pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat

tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar.

Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta

semakin besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan

pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih

banyak. Selain itu pada tahap ini perkembangan ekonomi menyebabkan terjadinya

hubungan antarsektor yang makin komplek. Misalnya pertumbuhan ekonomi yang

ditimbulkan oleh perkembangan sektor industri akan menimbulkan semakin tingginya

pencemaran atau polusi. Pemerintah harus turun tangan mengatur dan mengurangi

dampak negatif dari polusi. Pemerintah juga harus melindungi buruh dalam

meningkatkan kesejahteraannya.

Musgrave(1980) berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan,

investasi swasta dalam prosentase terhadap Produk Domestik Bruto semakin besar

dan prosentase investasi pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto akan semakin

kecil. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas

pemerintah dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke

pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua

dan pelayanan kesehatan masyarakat (Guritno,1993: 170).

3. HukumWagner

Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran

(48)

mengemukakan pendapatnya bahwa dalam suatu perekonomian apabila pendapatan

per kapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan

meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan “The Law of Expanding State

Expenditure”. Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari

negara-negara maju (Amerika Serikat, Jerman, Jepang). Dalam hal ini Wagner menerangkan

mengapa peranan pemerintah menjadi semakin besar , terutama disebabkan

karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat.

Kelemahan hukum Wagner adalah karena hukum tersebut tidak didasarkan pada

suatu teori mengenai pemilihan barang-barang publik. Wagner mendasarkan

pandangannya dengan suatu teori yang disebut teori organis mengenai pemerintah

(organic theory of the state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang

bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya.

Hukum Wagner diformulasikan sebagai berikut:

PkPP : pengeluaran pemerintah perkapita PPK : pendapatan perkapita

1,2,…,n : jangkawaktu(tahun)

Hukum Wagner ditunjukkan dalam Gambar 1 dimana kenaikan pengeluaran

pemerintah mempunyai bentuk ekponential yang ditunjukkan oleh kurva 1 dan bukan

(49)

Gambar 2.1

Teori Pengeluaran Pemerintah Menurut Hukum Wagner

4. Teori Peacok dan Wiseman

Peacock dan Wiseman adalah dua orang yang mengemukakan teori mengenai

perkembangan penge-luaran pemerintah yang terbaik. Teori mereka didasarkan pada

suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa berusaha untuk memperbesar

pengeluaran sedang-kan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar

untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut. Teori

Peacock dan Wiseman merupakan dasar teori pemungutan suara. Peacock dan

Wiseman mendasarkan teori mereka pada suatu teori bahwa masyarakat mempunyai

suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami

besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai

pengeluaran pemerintah. Jadi masyarakat menyadari bahwa pemerintah membutuhkan

dana untuk membiayai aktivitas pemerintah sehingga mereka mempunyai tingkat

kesediaan masyarakat untuk membayar pajak. Tingkat toleransi ini merupakan

(50)

Teori Peacock dan Wiseman adalah sebagai berikut: Pertumbuhan ekonomi (PDB)

menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak

berubah; dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah

jugasemakinmeningkat.

Oleh karena itu, dalam keadaan normal, meningkatnya PDB menyebabkan

penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran

pemerintah menjadi semakin besar. Apabila keadaan normal tersebut terganggu,

misalnya karena adanya perang, maka pemerintah harus memperbesar pengeluarannya

untuk membiayai perang. Karena itu penerimaan pemerintah dari pajak juga

meningkat dan pemerintah meningkat-kan penerimaannya tersebut dengan cara

menaikkan tarif pajak sehingga dana swasta untuk investasi dan konsumsi menjadi

berkurang. Keadaan ini disebut efek pengalihan (displacement effect) yaitu adanya

gangguan sosial menyebabkan aktivitas swasta dialihkan pada aktivitas pemerintah.

Perang tidak hanya dibiayai dengan pajak, akan tetapi pemerintah juga melakukan

pinjaman ke negara lain. Akibatnya setelah perang sebetulnya pemerintah dapat

kembali menurunkan tarif pajak, namun tidak dilakukan karena pemerintah masih

mempunyai kewajiban untuk mengembalikan pinjaman tersebut.Sehingga

pengeluaran pemerintah meningkat karena PDB yang mulai meningkat ,

pengembalian pinjaman dan aktivitas baru setelah perang. Ini yang disebut efek

inspeksi (inspection effect). Adanya gangguan sosial juga akan menyebabkan

terjadinya konsentrasi kegiatan ke tangan pemerintah dimana kegiatan ekonomi

tersebut semula dilaksanakan untuk swasta. Ini disebut efek konsentrasi

(concentration effect). Adanya ketiga efek tersebut menyebabkan aktivitas pemerintah

bertambah. Setelah perang selesai dan keadaan kembali normal maka tingkat pajak

(51)

Wiseman . Bird menyatakan bahwa selama terjadinya gangguan sosial memang

terjadi pengalihan aktivitas pemerintah dari pengeluaran sebelum gangguan ke

pengeluaran yang berhubungan dengan gangguan tersebut. Hal ini akan diikuti oleh

peningkatan prosentase pengeluaran pemerintah terhadap PDB. Akan tetapi setelah

terjadinya gangguan, prosentase pengeluaran pemerintah terhadap PDB akan menurun

secara perlahan-lahan kembali ke keadaan semula. Jadi menurut Bird ,efek pengalihan

merupakan gejala dalam jangka pendek, tetapi tidak terjadi dalam jangka panjang.

Satu hal yang perlu dicacat dari teori Peacock dan Wiseman adalah bahwa

mereka mengemukakan adanya toleransi pajak, yaitu suatu limit perpajakan, akan

tetapi mereka tidak menyatakan pada tingkat berapa toleransi pajak tersebut. Clarke

menyatakan bahwa limit perpajakan adalah sebesar 25 persen dari pendapatan

nasional . Apabila limit dilampaui maka akan terjadi inflasi dan gangguan lainnya

(Guritno,1993:173-176).

Pengeluaran konsumsi pemerintah yang terlalu kecil akan merugikan

pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah yang proporsional akan

meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran konsumsi pemerintah yang

boros akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Tetapi pada umumnya pengeluaran

pemerintah membawa dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi(Yoenanto dan

Lana,2007).

2.5 KETENAGAKERJAAN

2.5.1 Pengertian Tenaga kerja

Yang dimaksud dengan tenaga kerja adalah penduduk yang pada usia kerja

(15-64 tahun) yang secara potensial dapat bekerja.tenaga kerja terdiri dari angkatan

Gambar

Tabel 1.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan
Gambar 2.1
Gambar 3.1 Kurva Uji t-Statistik
Gambar 3.2 Kurva Uji F-statistik
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk melihat ada tidaknya pengaruh pertumbuhan penduduk, tingkat konsumsi dan investasi terhadap pertumbuhan ekonomi di Sumatera Utara dapat dilihat dari hasil regresi yang

Survei Demografi dan Kesehatan Indonsia Tahun 2012 , Medan: BKKBN Provinsi Sumatera Utara, Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, Dinas Kesehatan Pemerintah

Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Binjai, Binjai Dalam Angka 2013..

Analisis Disparitas Pembangunan Ekonomi antar Kecamatan di Kota Medan, Skripsi, Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Sumatera Utara, Medan.. Otonomi dan Pembangunan

diperoleh untuk penelitian ini merupakan data sekunder yang berasal dari. Kantor Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI DI SUMATERA UTARA..

Data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan data sekunder yang diproleh dari. Badan Pusat Statistika (BPS)

Badan Pusat Statistik (BPS), Medan Dalam Angka.. Medan: Badan