ANALISIS KADAR RESISU PESTISIDA ORGANOFOSFAT
PADA SAYURAN SERTA TINGKAT PERILAKU KONSUMEN
TERHADAP SAYURAN YANG BEREDAR DIPASAR
TRADISIONAL PRINGGAN KECAMATAN
MEDAN BARU TAHUN 2015
SKRIPSI
OLEH
LULU HOTDINA MARBUN NIM : 111000189
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISIS KADAR RESISU PESTISIDA ORGANOFOSFAT
PADA SAYURAN SERTA TINGKAT PERILAKU KONSUMEN
TERHADAP SAYURAN YANG BEREDAR DIPASAR
TRADISIONAL PRINGGAN KECAMATAN
MEDAN BARU TAHUN 2015
Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat
OLEH
LULU HOTDINA MARBUN NIM : 111000189
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAK
Pestisida organofosfat adalah golongan pestisida yang disukai oleh petani karena mempunyai daya basmi yang kuat, cepat dan hasilnya terlihat jelas pada tanaman. Meskipun demikian residu pestisida organofosfat pada manusia dapat menimbulkan keracunan baik akut maupun kronis, ha1 ini disebabkan oleh sifat akumulatif dari residu pestisida organofosfat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui residu pestisida pada sayuran serta tingkat perilaku konsumen terhadap sayuran di Pasar Pringgan.
Residu pestisida dari golongan organofosfat yang akan diperiksa adalah dengan bahan aktif dimetoat, klorpirifos, profenofos, dan triazofos diteliti pada sayuran kubis (Brassica oleracea), tomat (Solanum lycopersicum), wortel
(Daucus carota), dan kacang panjang(Vigna sinensis).
Jenis penelitian ini adalah survei yang bersifat deskriptif. Objek penelitiannya adalah sayuran yang dijual di Pasar Pringgan sebanyak 4 sampel yang kemudian diperiksa di Laboratorium Pengujian Mutu dan Residu Pestisida untuk mengetahui berapa kadar residu pestisida yang terdapat pada sayuran. Hasil penelitian mengacu kepada SNI No. 7313:2008 tentang BMR pada Hasil Pertanian. Penentuan sampel konsumen dilakukan dengan cara accidental sampling, yaitu mengambil sampel atau responden yang sedang membeli sayur di lokasi penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa residu pestisida dengan bahan aktif dimetoat, klorpirifos, profenos, dan triazofos tidak terdeteksi pada sayuran wortel dan kacang panjang. Sayuran tomat terdapat residu pestisida dengan bahan aktif profenofos sebesar 0,0188 mg/kg dan pada sayuran kubis terdapat residu pestisida bahan aktif klorpirifos sebesar 0,098 mg/kg.
Diketahui bahwa kadar residu pestisida yang terdapat pada sayuran masih berada dibawah BMR yaitu < 0,5 mg/kg. Meskipun demikian, diharapkan para konsumen untuk lebih teliti dalam memilih sayuran.
ABSTRACT
Pesticides organophosphate is a class of pesticides preferred by farmers because they havethe power exterminate strong, fast, and the result are clearly visible on the plant. Nevertheless organoposphate pestiside residues in humans can cause both acute and chronic poisoning, it is caused by the accumulative nature of residues of organophospate. This study aims to determine pesticide residues in vegetables as well as the level of consumer behaviors towards vegetables in Market Pringgan.
Pesticides residues from the class of organophosphate is the active ingredient dimetoat, klorfirifos, profenofos, and triazofos researched on vegetables cabbage (Brassica oleracea), tomato (Solanum lypopersicum), carrot (Daucus carota), and long bean (Vigna sinensis).
This study is a descriptive survey. The objects of the study incluced vegetables sold in Market Pringgan consisting of 4 samples then examined in Laboratorium Pengujian Mutu dan Residu Pestisida to know how much the residual pesticides in the vegetables. The result of the study referred to the SNI 7313:2008 MRL (Maximum Residue Limit) Product Agriculture. The samples were determined accidental sampling method, who bought the vegetables at observational location. This study found that residue of pestisides with active materials such as dimetoat, chlorpyriphos, profenofos, and triazofos were not detected in vegetables such as carrot and long bean. Result indicated that profonefos residue were found in carrot with content of 0,0188 mg/kg and result indicated that chlorpyriphos residue were found in cabbage with content 0,098 mg/kg.
It is known that the levels of pesticide residues found in vegetables is still below the MRL of <0,5 mg/kg. Nevertheless, consumer are expected to be more careful in choosing vegetables.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala berkat dan anugerahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “ Analisis Kadar Residu Pestisida Pada Sayuran Serta Tingkat
Perilaku Konsumen Terhadap Sayuran Yang Beredar Di Pasar Tradisional
Pringgan Kecamatan Medan Baru Tahun 2015”.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara.
Penulis juga menyadari dalam penulisan skripsi ini banyak sekali
memperoleh bantuan baik moril maupun material dari berbagai pihak, maka pada
kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang tulus dan ikhlas
kepada:
1. Dr.Drs. Surya Utama, MS, selaku Dekan Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
2. Ir. Evi Naria, M. Kes, selaku Ketua Departemen Kesehatan
Lingkungan Universitas Sumatera Utara.
3. Dra. Nurmaini, MKM Ph.D selaku ketua pembimbing yang telah
meluangkan waktu dan pikirannya serta dengan sabar memberikan
bimbingan, saran dan pengarahan kepada penulis dalam
penyempurnaan skripsi ini.
4. Dr. dr. Taufik Ashar, MKM, selaku Dosen Pembimbing II yang telah
bimbingan, saran dan pengarahan kepada penulis dalam
penyempurnaan skripsi ini.
5. Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, Msi, selaku Dosen Pembimbing
Akademik penulis.
6. Seluruh dosen khususnya Dosen Departemen Kesehatan Lingkungan
FKM USU yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam
mengikuti perkuliahan di Faklutas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara.
7. Seluruh staf pegawai dan karyawan khususnya kak Dian yang telah
membantu kelancaran skripsi ini.
8. Eli Martona, S.Si, selaku Kepala Laboratorium Pengujian Mutu Dan
Residu Pestisida Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara yang telah
memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyempurnaan skripsi
ini.
9. Orang tua tercinta (L. Marbun dan T. Pasaribu) yang selalu memberi
dukungan, doa dan kasih sayang serta memberi motivasi untuk tetap
semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Bapak uda dan Inanguda terkasih (Drs. E. Marbun, M.Si. dan Y.
Harianja) yang selalu memberi semangat, bantuan baik berupa moril
dan materi.
11. Kakak tersayang (Linda Marbun) dan adik-adik tersayang (Loretta
Yusuf Laden Christian Marbun) yang telah memberi motivasi dan
semangat dalam penulisan skripsi ini.
12. Sahabat-sahabatku SOLAFIDE : Martha Helen, Nova Sitinjak,
Theresia, dan Marini terimakasih atas persahabatan, motivasi, doa dan
kebersamaan kita selama ini.
13. Teman-teman QUASIMODOGENITI : Kak Heny, Elis, Martha Helen,
Martharia, Ratna, Theresia terimakasih atas motivasi, doa dan
kebersamaan kita.
14. Seluruh rekan-rekan seperjuangan di Peminatan kesehatan
Lingkungan, terimakasih atas kerjasama dan kebersamaan kita selama
ini.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca
dan perkembangan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang.
Medan, Juli 2015
DAFTAR ISI
2.1.2 Bentuk Formulasi Pestisida ... 13
2.1.3 Toksisitas Pestisida ... 18
2.1.4 Bidang Sasaran Aplikasi Pestisida ... 19
2.1.5 Manfaat dan Dampak Negatif Pestisida ... 22
2.1.6 Cara Masuk Pestisida ke Dalam Tubuh ... 28
2.2 Organofosfat... 29
2.2.1 Pengertian Organofosfat... 29
2.2.2 Sumber Jenis dan Karakteristik... 29
2.2.3 Dampak Organofosfat Terhadap Kesehatan ... 30
2.2.4 Mekanisme Organofosfat dalam Tubuh ... 34
2.3 Residu Pestisida... 36
2.4 Sayuran... 38
2.5 Pengertian dan Klasifikasi Perilaku ... 40
2.5.1 Pengetahuan ... 42
2.5.2 Sikap ... 43
2.5.3 Tindakan ... 43
2.6 Kerangka Konsep ... 44
BAB III METODE PENELITIAN ... 45
3.1 Jenis Penelitian ... 45
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 45
3.2.2 Waktu Penelitian ... 45
3.3 Objek Penelitian dan Sampel ... 45
3.4 Populasi dan Sampel ... 46
3.4.1. Populasi ... 46
3.4.2 Sampel ... 46
3.5 Metode Pengumpulan Data ... 47
3.5.1 Data Primer ... 47
3.5.2 Data Sekunder ... 48
3.6 Defenisi Operasional ... 48
3.7 Cara Pemeriksaan Residu Pestisida... 48
3.7.1 Alat dan Bahan ... 48
4.4 Karakteristik Perilaku Konsumen Terhadap Sayuran Yang Beredar Di PasarPringgan Kecamatan Medan Baru... 56
4.4.1 Pengetahuan Konsumen Terhadap Sayuran Yang Mengandung Residu Pestisida di Pasar Tradisional Pringgan Kecamatan Medan Baru ... 56
4.4.2 Sikap Responden Terhadap Sayuran Yang Mengandung Residu Pestisida di Pasar Tradisional Pringgan Kecamatan Medan Baru ... 59
4.4.3 Tindakan Responden Terhadap Sayuran Yang Mengandung Residu Pestisida... 61
BAB V PEMBAHASAN ... 63
5.1 Keberadaan Residu Pestisida Pada Sayuran ... 63
5.2 Karakteristik Responden ... 65
5.3 Pengetahuan Konsumen tentang Residu Pestisida pada Sayuran ... 66
5.4 Sikap Konsumen tentang Residu Pestisida pada Sayuran... 67
5.5 Tindakan Konsumen tentang Residu Pestisida pada Sayuran... 68
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 70
6.1 Kesimpulan ... 70
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kelas Bahaya Pestisida Menurut WHO ... 19
Tabel 2.2 Batas Maksimum Residu Organofosfat pada Makanan ... 37
Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Residu Pestisida Pada Sayuran
di Pasar Tradisional Pringgan Kecamatan Medan Baru ... 54
Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Umur ... 55
Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 56
Tabel 4.4 Distribusi Jawaban Pengetahuan Konsumen Tentang
Sayuran Yang Mengandung Residu Pestisida ... 56
Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Konsumen Terhadap
Sayuran Yang Mengandung Residu Pestisida ... 58
Tabel 4.6 Distribusi Jawaban Sikap Konsumen Tentang Sayuran
Yang Mengandung Residu Pestisida ... 59
Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Sikap Konsumen Terhadap
Sayuran Yang Mengandung Residu Pestisida ... 60
Tabel 4.8 Distribusi Jawaban Tindakan Tentang Sayuran Yang
Mengandung Residu Pestisida ... 61
Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Tindakan Konsumen Terhadap
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Reaksi Pengikatan Kolinesterase Dengan Organofosfat ... 33
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuesioner Penelitian
Lampiran 2 Baku Mutu Residu Pestisida SNI 7313:2008
Lampiran 2 Surat Permohonan Izin Penelitian
Lampiran 3Surat Keterangan Telah Selesai Melakukan Penelitian
Lampiran 4 Surat Hasil Uji Laboratorium
Lampiran 5 Laporan Hasil Pengujian Residu Pestisida
Lampiran 6 Master Data Kuesioner
Lampiran 7 Output
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Lulu Hotdina Marbun
Tempat/Tanggal Lahir : Barus/ 20 Februari 1993
Agama : Kristen Protestan
Status Perkawinan : Belum Kawin
Jumlah Anggota Keluarga : 6 (enam) orang
Alamat Rumah : Jl. Luku III No. 31 Medan
Riwayat Pendidikan
1. Tahun 2001-2006 : SD Negeri 155965 Simargarap
2. Tahun 2006-2009 : SMP Manunggal V Simargarap
3. Tahun 2009-2011 : SMA Negeri 1 Sorkam Barat
ABSTRAK
Pestisida organofosfat adalah golongan pestisida yang disukai oleh petani karena mempunyai daya basmi yang kuat, cepat dan hasilnya terlihat jelas pada tanaman. Meskipun demikian residu pestisida organofosfat pada manusia dapat menimbulkan keracunan baik akut maupun kronis, ha1 ini disebabkan oleh sifat akumulatif dari residu pestisida organofosfat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui residu pestisida pada sayuran serta tingkat perilaku konsumen terhadap sayuran di Pasar Pringgan.
Residu pestisida dari golongan organofosfat yang akan diperiksa adalah dengan bahan aktif dimetoat, klorpirifos, profenofos, dan triazofos diteliti pada sayuran kubis (Brassica oleracea), tomat (Solanum lycopersicum), wortel
(Daucus carota), dan kacang panjang(Vigna sinensis).
Jenis penelitian ini adalah survei yang bersifat deskriptif. Objek penelitiannya adalah sayuran yang dijual di Pasar Pringgan sebanyak 4 sampel yang kemudian diperiksa di Laboratorium Pengujian Mutu dan Residu Pestisida untuk mengetahui berapa kadar residu pestisida yang terdapat pada sayuran. Hasil penelitian mengacu kepada SNI No. 7313:2008 tentang BMR pada Hasil Pertanian. Penentuan sampel konsumen dilakukan dengan cara accidental sampling, yaitu mengambil sampel atau responden yang sedang membeli sayur di lokasi penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa residu pestisida dengan bahan aktif dimetoat, klorpirifos, profenos, dan triazofos tidak terdeteksi pada sayuran wortel dan kacang panjang. Sayuran tomat terdapat residu pestisida dengan bahan aktif profenofos sebesar 0,0188 mg/kg dan pada sayuran kubis terdapat residu pestisida bahan aktif klorpirifos sebesar 0,098 mg/kg.
Diketahui bahwa kadar residu pestisida yang terdapat pada sayuran masih berada dibawah BMR yaitu < 0,5 mg/kg. Meskipun demikian, diharapkan para konsumen untuk lebih teliti dalam memilih sayuran.
ABSTRACT
Pesticides organophosphate is a class of pesticides preferred by farmers because they havethe power exterminate strong, fast, and the result are clearly visible on the plant. Nevertheless organoposphate pestiside residues in humans can cause both acute and chronic poisoning, it is caused by the accumulative nature of residues of organophospate. This study aims to determine pesticide residues in vegetables as well as the level of consumer behaviors towards vegetables in Market Pringgan.
Pesticides residues from the class of organophosphate is the active ingredient dimetoat, klorfirifos, profenofos, and triazofos researched on vegetables cabbage (Brassica oleracea), tomato (Solanum lypopersicum), carrot (Daucus carota), and long bean (Vigna sinensis).
This study is a descriptive survey. The objects of the study incluced vegetables sold in Market Pringgan consisting of 4 samples then examined in Laboratorium Pengujian Mutu dan Residu Pestisida to know how much the residual pesticides in the vegetables. The result of the study referred to the SNI 7313:2008 MRL (Maximum Residue Limit) Product Agriculture. The samples were determined accidental sampling method, who bought the vegetables at observational location. This study found that residue of pestisides with active materials such as dimetoat, chlorpyriphos, profenofos, and triazofos were not detected in vegetables such as carrot and long bean. Result indicated that profonefos residue were found in carrot with content of 0,0188 mg/kg and result indicated that chlorpyriphos residue were found in cabbage with content 0,098 mg/kg.
It is known that the levels of pesticide residues found in vegetables is still below the MRL of <0,5 mg/kg. Nevertheless, consumer are expected to be more careful in choosing vegetables.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Pestisida telah lama digunakan oleh para petani untuk mengendalikan
hama tanaman buah-buahan, dan sayur-mayur. Dalam upaya untuk meningkatkan
produksi dengan tujuan agar tanaman tidak dirusak oleh hama dan penyakit
adalah dengan menggunakan pestisida. Penggunaan pestisida pada tanaman
sayuran di dataran tinggi tergolong sangat intensif, hal ini disebabkan karena
kondisi iklim yang sejuk dengan kelembaban udara dan curah hujan yang tinggi
menciptakan kondisi yang baik untuk perkembangbiakan hama dan penyakit
tanaman.
Pada tahun 1984, sekitar 20% produksi pestisida dunia diserap oleh
Indonesia. Pemakaian pestisida dalam periode 1982-1987 meningkat sebesar
236% dibandingkan periode sebelumnya. Sementara itu, pemakaian insektisida
meningkat sebesar 710% pada periode yang sama. Pada tahun 1986 total
pemakaian insektisida mencapai 17.230 ton atau setara dengan 1,69 kg insektisida
setiap hektar lahan pertanian. Pada dekade 1990-an pemakaian insektisida telah
mencapai 20 ribu ton/tahun dengan nilai Rp 250 milyar (Novizan, 2002).
Pestisida merupakan pilihan utama cara mengendalikan hama, penyakit
dan gulma karena membunuh langsung jasad pengganggu. Kegiatan
mengendalikan jasad pengganggu merupakan pekerjaan yang memakan banyak
waktu, tenaga dan biaya. Kemanjuran pestisida dapat diandalkan, penggunaannya
mudah, tingkat keberhasilannya tinggi, ketersediaannya mencukupi dan mudah
sehingga muncul kondisi ketergantungan bahwa pestisida adalah faktor produksi
penentu tingginya hasil dan kualitas produk, seperti yang tercermin dalam setiap
paket program atau kegiatan pertanian yang senantiasa menyertakan pestisida
sebagai bagian dari input produksi (Wahyuni, 2010).
Serangan hama dan penyakit merupakan salah satu penyebab utama
kegagalan panen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa serangan hama pada
tanaman sayuran cukup tinggi, diantaranya pada kubis yang menyebabkan
kehilangan hasil sampai 100% (Ameriana et.al., 2000). Aplikasi penyemprotan pestisida untuk mengendalikan hama dan penyakit biasanya pada bagian tanaman
terutama daun. Dengan harapan hama akan datang dan makan daun yang sudah
disemprot dengan insektisida tersebut dan mati. Ada juga yang diaplikasikan pada
tanah agar bahan aktif insektisida diserap oleh akar tanaman dan diedarkan ke
seluruh bagian tubuh tanaman. Sehingga bila suatu saat hama datang dan
memakan bagian tanaman yang sudah mengandung bahan aktif insektisida
tersebut akan mati (Djojosumarto, 2008).
Pestisida dengan cepat dapat menurunkan populasi hama sehingga
meluasnya hama dapat dicegah. Namun penggunaan pestisida pada sistem usaha
sayuran diduga sudah berlebihan baik dalam hal jenis, komposisi, takaran, waktu,
dan intervalnya. Pestisida yang terdapat pada tanaman dapat diserap bersama hasil
panen berupa residu yang dapat terkomsumsi oleh konsumen. Residu pestisida
tersebut tidak saja berasal dari bahan yang diaplikasikan, namun juga berasal dari
penyerapan akar dari dalam tanah, terutama pada tanaman yang dipanen umbinya
Berdasarkan peraturan yang dikeluarkan badan Standar Nasional
Indonesia (SNI) tahun 2008, tentang batas maksimum residu (BMR) pestisida
pada tanaman. Residu pestisida untuk golongan organofosfatmasih diperbolehkan
ada di dalam tanaman dalam konsentrasi yang telah ditentukan, khusus untuk
sayuran batas konsentrasi residu yang diperbolehkan yaitu 0,5 mg/kg.
Hasil penelitian Sudewa dkk (2008), ditemukan bahwa, residu pestisida
diazinon, klorpirifos, fentoat, karbaril, dan BPMC yang terdapat pada krop kubis
dan polong kacang panjang yang dijual di pasar Badung Denpasar dipengaruhi
oleh jumlah penggunaan insektisida tersebut, dimana insektisida klorpirifos
60-65%, karbaril 40% digunakan oleh petani, nilai residu pada kubis dan kacang
panjang klorpirifos sebesar 0,0525ppm dan 1,296 ppm, karbaril sebesar 0,303
ppm dan 0,471 ppm. Dimana nilai residu klorpirifos pada kubis dan kacang
panjang melebihi nilai MRL (Maximum Residue Limit) pada sayuran yaitu 0,5 ppm.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Munarso dan Miskiyah (2009) di
Malang dan Cianjur ditemukan residu pestisida pada kubis, tomat, dan wortel.
Hasil analisis menemukan sebanyak 37,4 ppb endosulfan pada kubis, 10,6 ppb
endosulfan pada wortel, dan 7,9 ppb profenos pada tomat. Selain itu, residu lain
yang terdeteksi antara lain pestisida yang mengandung bahan aktif klorpirifos,
metidation, malation, dan karbaril. Menurut penelitian Narwati dkk (2012)
melaporkan bahwa terdapat residu deltametrin sebesar 0,15 ppm pada wortel dan
Residu pestisida merupakan zat tertentu yang terkandung dalam hasil
pertanian bahan pangan atau pakan hewan, baik sebagai akibat langsung maupun
tidak langsung dari penggunaan pestisida. Istilah ini mencakup juga senyawa
turunan pestisida seperti senyawa hasil konversi, metabolit, senyawa hasil reaksi
dan zat pengotor yang dapat bersifat toksik. Residu pestisida menimbulkan efek
tidak langsung terhadap konsumen namun, dalam jangka panjang dapat
menimbulkan gangguan kesehatan, diantaranya, berupa gangguan syaraf dan
metabolisme enzim. Residu pestisida yang terbawa bersama makanan akan
terakumulasi dalam jaringan tubuh yang mengandung lemak. Akumulasi pestisida
ini pada manusia dapat merusak fungsi hati, ginjal, sistem syaraf, menurunkan
kekebalan tubuh, menimbulkan cacat bawaan, alergi dan kanker (Sakung, 2004).
Pestisida yang banyak direkomendasikan untuk bidang pertanian adalah
golongan organofosfat, karena golongan ini lebih mudah terurai di alam.
Organophosphat adalah golongan pestisida yang disukai petani, karena
mempunyai daya basmi yang kuat, cepat, dan hasilnya terlihat jelas pada tanaman.
Departeman Pertanian menganjurkan pemakaian pestisida ini karena sifat
organofosfat yang mudah hilang di alam. Meskipun demikian, residu pestisida
organofosfat pada manusia dapat menimbulkan keracunan baik akut, maupun
kronis, hal ini disebabkan oleh sifat akumulatif dari residu pestisida organofosfat
(Alegentina, 2005).
Keracunan akut dapat terjadi berupa manifestasi muscarinik, yaitu gejala
pencernaan seperti mual, muntah, aktifitas kelenjer keringat meningkat, aktifitas
berkurang. Manifestasi nikotinik, sepeti sesak napas, kram, pada otot tertentu dan
cynosis.Manifestasi susunan syaraf pusat seperti rasa cemas, sakit kepala, kesukaran tidur, depresi, tremor, kejang, gangguan pernafasan, dan peredaran
darah. Sedangkan keracunan kronis yang disebabkan pestisida organofosfat,
yaitu:carsinogenik (pembentukan kelenjer kanker), teratogenik (kelahiran anak cacat dari ibu yang keracunan insektisida), myopathi (penyakit otot) (Mukono, 2011).
Pasar tradisional Pringgan merupakan pasar yang ramai dikunjungi
masyarakat kota Medan. Pasar ini menjual berbagai macam kebutuhan sehari-hari,
termasuk sayuran. Terdapat 45 pedangang sayuran yang setiap harinya menjual
sayuran di pasar ini. Para pedagang memperoleh sayuran yang akan dijual,
langsung dari petani yang menjual hasil panen kebun mereka. Sayuran yang dijual
para pedagang di pasar tradisionl Pringgan belum mendapatkan perlakuan khusus
dari pedagangnya. Para pedagang tidaklah membersihkan sayuran terlebih dahulu
sebelum dijual kepada konsumen. Sedangkan pada sayuran yang dijual di pasar
modern sudah dibersihkan terlebih dahulu sebelum dijual kepada konsumen. Dari
hal diatas dikhawatirkan masih adanya residu pestisida yang menempel pada
sayuran sehingga sayuran menjadi tidak aman untuk dikonsumsi. Berdasarkan
permasalahan diatas, penulis ingin mengetahui kadar residu pestisida serta tingkat
perilaku konsumen terhadap keberadaaan residu pestisida pada sayuran yang di
1.2 Rumusan Masalah
Pasar Pringgan merupakan pasar tradisional yang menjual berbagai macam
kebutuhan sehari-hari, termasuk sayuran. Sayuran yang di peroleh pedagang
langsung dari petani yang menjual hasil kebunnya kepada pedagang. Para
pedagang yang menjual sayuran tidaklah membersihkan sayuran yang hendak
dijual terlebih dahulu, sehingga dikhawatirkan sisa-sisa pestisida yang digunakan
para petani masih menempel pada sayuran. Sayuran yang mengandung residu
pestisida didalamnya tidaklah aman untuk dikonsumsi. Berdasarkan permasalahan
diatas, penulis ingin mengetahui kemungkinan ada tidaknya kadar residu pestisida
pada sayuran serta tingkat perilaku konsumen, terhadap residu pestisida pada
sayuran yang di jual di pasar tradisional Pringgan Kecamatan Medan Baru, karena
dengan mengetahui perilaku konsumen dapat diketahui bagaimana kepedulian
konsumen terhadap sayuran yang aman untuk dikonsumsi.
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui residu pestisida serta tingkat perilaku konsumen
terhadap residu pestisida pada sayuran yang beredar di pasar tradisional Pringgan,
Kecamatan Medan Baru.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui ada tidaknya residu pestisida golongan organofosfat
2. Untuk mengetahui kadar residu pestisida golongan organofosfat pada
sayuran kol/kubis (Brassica oleracea), tomat (Solanum lycopersicum), wortel (Daucus sarota), dan kacang panjang (Vigna sinensis) apakah memenuhi syarat atau tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan
berdasarkan SNI No 7313 : 2008.
3. Untuk mengetahui perilaku (pengetahuan, sikap, dan tindakan) para
konsumen terhadap residu pestisida pada sayuran.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagi informasi
agar lebih teliti dalam memilih dan mengkonsumsi sayuran.
2. Sebagai bahan masukan bagi BPOM dalam melakukan pemeriksaan lebih
lanjut terhadap sayuran yang dijual di pasar tradisional.
3. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis tentang residu
pestisida golongan organofosfat.
4. Sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya sehingga penelitian ini
dapat digunakan untuk berbagai keperluan dan dapat bermanfaat bagi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pestisida
Pestisida adalah agensi yang membunuh hama. Yang dimaksud disini
adalah bahan-bahan yang telah dikembangkan untuk membunuh sejumlah besar
spesies hama-hama tertentu. Asosiasi Kimia Nasional Amerika Serikat
menyatakan, bahwa yang juga termasuk pestisida adalah agensi yang
dipergunakan untuk keperluan-keperluan khusus seperti zat pengatur tumbuh, zat
penggugur daun, zat pengering (desiccant) dan zat-zat lainnya yang sejenis seperti
feromon, zat kimia pemandul, zat “anti- feedant”, antraktan, repelen, sinergis
(Oka,1995).
Menurut peraturan Menteri Kesehatan RI NO. 258/MenKes/Per/III/1992
pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang
dipergunakan untuk memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit yang
merusak tanaman, bagian-bagian dari tanaman atau hasil-hasil pertanian;
memberantas rerumputan; mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang
tidak diinginkan; mengatur atau merangsang pertumbuhan yang tidak diinginkan;
mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tidak
termasuk pupuk; memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan
piaraan dan ternak; memberantas atau mencegah binatang-binatang dan
jasad-jasad renik dalam rumah tangga, bangunan dan dalam alat-alat pengangkutan; dan
atau memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan
penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan
Dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya
Tanaman, yang dimaksud dengan pestisida adalah zat pengatur dan perangsang
tumbuh, serta organisme renik, atau virus yang digunakan untuk melakukan
perlindungan tanaman. Pestisida merupakan bahan yang banyak memberikan
manfaat sehingga banyak dibutuhkan masyarakat pada bidang pertanian, (pangan,
perkebunan, perikanan, peternakan), penyimpanan hasil pertanian, kehutanan
(tanaman hutan dan pengawetan hasil hutan), rumah tangga dan penyehatan
lingkungan pemukiman, bangunan, pengangkutan dan lain-lain.
2.1.1 Klasifikasi Pestisida
Klasifikasi pestisida dapat dibagi dua, yaitu berdasarkan golongan hama
yang dibunuh dan berdasarkan efek yang ditimbulkan pada hama sasaran sebagai
berikut:
a. Berdasarkan Golongan Hama Sasaran Yang Dibunuh
1. Akarisida, berasal dari kata akari, yang dalam bahasa Yunani berarti tungau atau kutu. Akarisida sering juga disebut Mitesida. Fungsinya
untuk membunuh tungau atau kutu.
2. Algasida, berasal dari kata alga, bahasa latinnya berarti ganggang, laut, berfungsi untuk membunuh algae.
3. Alvasida, berasal dari kata avis, bahasa latinnya berarti burung, fungsinya sebagai pembunuh atau penolak burung.
4. Bakterisisda, berasal dari kata bacterium, atau kata Yunani bakron, berfungsi untuk membunuh bakteri.
bersifat fungitostik (membunuh cendawan) atau fungistatik (menekan
pertumbuhan cendawan).
6. Herbisida, berasal dari kata latin herba, artinya tanaman setahun, berfungsi untuk membunuh gulma.
7. Insektisida, berasal dari kata latin insectum, artinya potongan, keratan, segmen, berfungsi untuk membunuh serangga.
8. Molluskisida, berasal dari kata Yunani molluscus, artinya berselubung tipis atau lembek, berfungsi untuk membunuh siput.
9. Ovisida, berasal dari kata latin ovum berarti telur, berfungsi untuk merusak telur.
10. Nematisida, berasal dari kata latin nematoda, atau bahasa Yunani nema
berati benang, berfungsi untuk membunuh nematoda.
11. Pedukulisida, berasal dari kata latin pedis, berarti kutu, tuma, berfungsi untuk membunuh kutu atau tuma.
12. Rodentisida, berasal dari kata Yunani rodere, berarti pengerat berfungsi untuk membunuh binatang pengerat.
13. Piscisida, berasal dari kata Yunani Pscis, berarti ikan, berfungsi untuk membunuh ikan.
14. Termisida, berasal dari kata Yunani termes, artinya serangga pelubang kayu berfungsi untuk membunuh rayap (Ditjen Prasarana dan Sarana
b. Berdasarkan Efek Pestisida Terhadap Hama
1. Anti makan (anti-feedant), menghalangi makan, hama tetap tinggal pada tanaman, hama kelaparan dan akhirnya mati mengurangi transpirasi.
2. Anti-transpiran, mengurangi transpirasi.
3. Atraktan, menarik hama kepada lokasi yang memperoleh perlakuan
(atraktan seks).
4. Zat kimia pemandul, merusak kemampuan hama bereproduksi.
5. Penggugur daun (defoliant), menghilangkan pertumbuhan bagian tanaman yang tidak dikehendaki, tanpa membunuh tanaman seketika.
6. Zat pengering(desiccant), mengeringkan daun, batang, dan serangga. 7. Feromon, melepaskan atau menghalangi perilaku tertentu dari serangga.
8. Zat pengatur tumbuh, menghentikan, mempercepat atau merubah proses
pertumbuhan tanaman.
9. Repelan, mengusir hama dari objek yang memperoleh perlakuan, tanpa
membunuhnya.
10. Sinergis, meningkatkan efektifitas dari agensia yang aktif (Oka, 1995).
Ternyata jenis-jenis pestisida dapat dibagi lagi berdasarkan struktur
kimianya. Berdasarkan struktur kimianya, pestisida dapat dibagi menjadi:
1. Organophosphat
Jenis ini mengandung unsur-unsur phospat, carbon, dan hidrogen.
dihidrolisis bila tercampur dengan air, memiliki aktivitas residu dalam waktu
pendek, karena itu perlu diaplikasikan berulang-ulang dan sedikit meninggalkan
residu bila disemprotkan.
2. Organochlorine
Organoclor adalah pestisida yang mengandung unsur-unsur karbon,
hidrogen, dan clorine. Atom-atom chlor dalam komposisinya terikat pada atom
hidrokarbon, misal DDT (dicloro Diphenyl Trichloretane), aldrin, dieldrin, endrin, lidane,heptaklor, toksafin, dan beberapa lainnya. Kebanyakan diantaranya memiliki aktivitas residu dalam jangka panjang. Ada kecenderungan menumpuk
di dalam rantai makanan yang menimbulkan kematian pada ikan dan kehidupan
lainnya. Oleh kerena itu penggunaannya sangat dibatasi.
3. Metil Carbamate
Mengandung fenol seperti BPMC, karbaril, propoksur, metiokarb, dan beberapa lainnya; carbamate yang mengandung okime seperti aldikarb, metomil,
oksamil, dan oksikarboksin; metil carbamate dan dimetil carbamte yang
mengandung senyawa-senyawa hidrosiklik seperti bendiokarb,karbofuran,
dimetilon, dioksakarb, dan oksikarboksin. Kebanyakan diantaranya juga memiliki
aktivitas residu jangka pendek. Seperti pada organophospor senyawa ini
menghalangi kolinesterase. Herbisida profam dan klorprofarm juga termasuk
karbamat ini.
4. Piretroid
Senyawa-senyawa yang struktur kimianya seperti piretrin yang berasal
serangga dan pada umumnya toksisitasnya terhadap mamalia lebih rendah
dibandingkan dengan insektisida lainnya. Namun kebanyakan diantaranya sangat
toksisk terhadap ikan, tawon madu, dan serangga berguna lainnya. Bekerjanya
terutama secara kontak dan tidak sistemik. Kebanyakan senyawa piretroid adalah
lipofilik dan tidak larut dalam air. Sifat ini meningkatkan ketahanannya terhadap
air dan resistensinya pada daun. Kebanyakan diantaranya bertekanan udara rendah
dan karena itu tidak dapat menguap. Ada yang peka terhadap sinar matahari
(alletrin, bioalletrin) karena itu tidak dipergunakan di lapangan. Yang tahan sinar
matahari seperti sipermetrin, permetrin, dekametrin, dipergunakan mengendalikan
hama di lapangan (Ekha,1988).
2.1.2 Bentuk Formulasi Pestisida
1. Formulasi cair
Formulasi pestisida bentuk cair biasanya terdiri dari pekatan yang dapat
diemulsikan (EC), pekatan yang larut dalam air (SL), pekatan dalam air (AC),
pekatan dalam minyak (OC), aerosol (A), gas yang dicairkan (LG).
a. Pekatan yang diemulsikan
Formulasi pekatan yang dapat diemulsikan atau Emulsifiable Concentrate (yang lazim disingkat EC) merupakan formulasi dalam bentuk cair yang dibuat dengan melarutkan bahan aktif dalam pelarut tertentu dan
ditambah sufaktan atau bahan pengemulsi.
Formulasi untuk penyemprotan penggunaan perlu diencerkan dengan
air, sehingga formulasi ini akan segera menyebar dan membentuk emulsi serta
Pestisida yang termasuk formulasi pekatan yang dapat diemulsikan mempunyai
kodeECdibelakang nama dagangnya. b. Pekatan yang larut dalam air
Formulasi yang larut dalam air atau Water Soluble Concentratre (SL) merupakan formulasi cair yang terdiri dari bahan aktif yang dilarutkan dalam
pelarut tertentu yang dapat bercampur baik dengan air. Formulasi ini sebelum
digunakan terlebih dahulu diencerkan dengan air kemudian disemprotkan.
Pestisida yang termasuk formulasi ini mempunyai kode SL di belakang nama
dagangnya.
c. Pekatan dalam air
Formulasi pekatan dalam air atau Aqueous Concentrate (AC) merupakan pekatan pestisida yang dilarutkan dalam air. Biasanya pestisida
yang diformulasikan sebagai pekatan dalam air adalah bentuk garam dari
herbisida asam yang mempunyai kelarutan dalam air.
Pestisida yang termasuk formulasi ini mempunyai kode AC di belakang
nama dagangnya.
d. Larutan dalam minyak
Pekatan dalam minyak atau Oil Miscible Concntrate (OL) adalah formulasi cair yang mengandung bahan aktif dalam konsentrasi tinggi yang
dilarutkan dalam pelarut hidrokarbon aromatic seperti xilin atau nafta.
Formulasi ini biasanya digunakan setelah diencerkan dalam hidrokarbon yang
Pestisida yang termasuk formulasi ini mempunyai koe OL di belakang
nama dagangnya.
e. Aerosol
Formulasi pestisida aerosol adalah formulasi cair yang mengandung
bahan aktif yang dilarutkan dalam pelarut organik. Ke dalam larutan ini
ditambahkan gas yang bertekanan dan kemudian dikemas menjadi kemasan
yang siap pakai dan dibuat dalam konsentrasi yang rendah.
Pestisida yang temasuk formulasi ini mempunyai kode A di belakang
nama dagangnya.
f. Gas yang dicairkan atauLiquefield Gases
Formulasi ini adalah formulasi pestisida bahan aktif dalam bentuk gas
yang dipampatkan pada tekanan dalam suatu kemasan. Formulasi pestisida ini
digunakan dengan cara fumigasi ke dalam ruangan atau tumpukan bahan
makanan atau penyuntikan ke dalam tanah.
Pestisida yang termasuk formulasi ini mempunyai kode LG di belakang
nama dagangnya.
2. Formulasi Padat
a. Tepung yang dapat disuspensikan/dilarutkan
Formulasi tepung yang dapat disuspensikan atau Wettable Powder
(WP) atau disebut juga Dispersible Powder (DP) adalah formulasi yang berbentuk tepung kering yang halus, sebagai bahan pembawa inert (misalnya:
suspensi, dan ditambah dengan bahan aktif atau pestisida. Ke dalam formulasi
ini juga ditambahkan surfaktan sebagai bahan pembasah atau penyebar.
Pestisida yang termasuk formulasi ini mempunyai kode WP di belakang
nama dagangnya.
b. Tepung yang dilarutkan
Formulasi yang dapat dilarutkan atau Soluble Powder (SP) sama dengan formulasi tepung yang dapat disuspensikan, tapi bahan aktif pestisida
maupun bahan pembawa bahan lainnya.
Pestisida yang termasuk formulasi ini mempunyai kode SP di balakang
nama dagangnya.
c. Butiran
Dalam formulasi butiran atau Granula (G), bahan aktif pestisida dicampur atau dilapisi oleh penempel pada bagian luar bahan pembawa inert,
seperti tanah liat, pasir, atau tongkol jagung yang ditumbuk. Kadar aktif
formulasi ini berkisar antara 1-40%. Formulasi ini digunakan secara langsung
tanpa bahan pengencer dengan cara menabur.
d. Pekatan debu
Pekatan debu atau Dust Concentrate (DC) adalah tepung kering yang mudah lepas denganukuran dari 75 micron, yang mengandung bahan aktif
dalam konsentrasi yang relatif tinggi, berkisar antara 25-75%.
Pestisida yang termasuk formulasi ini mempunyai kode DC dibelakang
e. Debu
Formulasi pestisida dalam bentuk debu atauDust (D) terdiri dari bahan pembawa yang kering dan halus, mengandung bahan aktif dalam konsentrasi
antara 1-10%. Ukuran partikel debu kurang dari 70 micron.
Pestisida yang termasuk formulasi ini mempunyai kode D di belakang
nama dagangnya.
f. Umpan
Formulasi umpan atau Block Bait (BB) adalah campuran bahan aktif pestisida dengan bahan penambah inert. Formulasi ini biasanya berbentuk
bubuk, pasta atau butiran.
Pestisida yang termasuk formulasi ini mempunyai kode D di belakang
nama dagangnya.
g. Tablet
Formulasi ini ada 2 macam yang pertama tablet yang terkena udara
akan menguap menjadi fumigant. Bentuk ini akan digunakan di gudang atau
perpustakaan untuk membunuh hama (kecoa).
3. Padatan Lingkar
Formulasi padatan lingkar adalah campuran bahan aktif pestisida dengan
serbuk gergaji kayu dan perekat yang dibentuk menjadi padatan melingkar.
Formulasi ini mempunyai kode MC di belakang nama dagangnya (Ditjen
2.1.3 Toksisitas Pestisida
Penggunaan pestisida untuk mengendalikan hama-hama tanaman selalu
mempunyai dua sisi: bila ia efektif dan diaplikasikan menurut petunjuk, dapat
menurunkan populasi hama tanaman; tetapi selalu mengandung resiko kecelakaan
pada manusia dalam bentuk keracunan kronik/akut dan atau kematian dan
pencemaran lingkungsn. Belum lagi resiko reaksi populasi hama sasaran yang
diperlakukan dengan pestisida tertentu secara berulang-ulang.
Untuk mengurangi berbagai resiko yang tidak dikehendaki tersebut dan
menetapkan prosedur penggunaan pestisida mutlak perlu diketahui bagaimana
terjadinya keracunan itu dan derajat keracunan setiap jenis pestisida.
Manusia/hewan dapat keracunan pestisida melalui mulut (oral), karena sejumlah
pestisida tertelan. Dapat juga melalui kulit (dermal), karena masuk melalui tubuh
melalui pori-pori dan kulit itu sendiri. Keracunan dapat juga terjadi melalui
paru-paru ketika udara yang tercemar pestisida terhirup (Oka, 1995).
Daya racun pestisida biasanya ditunjukkan oleh angka toksisitas akut hasil
uji laboratorium dengan hewan percobaan (umumnya menggunakan tikus). Studi
tosisitas akut pada hewan menghasilkan data LD50. Artinya, jumlah atau dosis
bahan teknis (mg) dalam setiap 1 kg bobot badan binatang uji yang dapat
mematikan 50% binatang uji tersebut (Sembodo, 2010). Namun, antara LD50oral
dan LD50dermaldibedakan. LD50oraladalah kematian yang terjadi bila binatang
uji tersebut makan dan LD50dermaladalah kematian karena keracunan lewat kulit
(Djojosumarto, 2000). Berdasarkan nilai LD50 WHO menyusun kelas bahaya
Tabel 2.1 Kelas Bahaya Pestisida Menurut WHO Kelas
LD50akut (tikus) formulasi (mg/kg)
Oral Dermal
Padat Cair Padat Cair
Sangat berbahaya
≤ 5 ≤ 20 ≤ 10 ≤ 40
Bahaya tinggi 5-50 20-200 10-100 40-400
Bahaya sedang 50-500 200-2000 100-1000 400-4000
Bahaya rendah ≥ 5001 ≥ 2001 ≥ 1001 ≥ 4000
Sumber: (Sembodo, 2010).
Data LD50 untuk setiap senyawa kimia perlu dibedakan antarabahan
teknikal (bahan aktif) dan bahan formulasi yang siap digunakan petani. Semakin
rendah nilai LD50 berarti pestisida tersebut semakin beracun. Namun harus
dipahami lagi bahwa semua pestisida adalah racun, tergantung dari dosis dan
konsentrasi serta organ mana yang teracuni. Setinggi apapun nilai LD50, kalau
dosis yang diberikan tinggi juga akan beracun. Demikian juga dengan konsentrasi,
semakin pekat akan semakin beracun. Karena itu dalam aplikasinya,
penyemprotan pestisida dengan LD50 rendah dianjurkan menggunakan volume
semprotan tinggi supaya konsentrasi larutan pestisida yang siap disemprotkan
menjadi rendah (Sembodo, 2010).
2.1.4 Bidang Sasaran Aplikasi Pestisida
Sasaran biologis aplikasi pestisida pertanian adalah organisme
pengganggu tanaman (OPT), yakni hama, penyakit tanaman, dan gulma. Namun,
dalam praktek aplikasi pestisida tidak langsung diaplikasikan pada OPT,
melainkan diaplikasikan dalam suatu bidang sasaran. Bidang sasaran adalah suatu
makan, tidur, berkembang biak , dan sebagainya. Dengan aplikasi bidang sasaran
ini, diharapkan OPT akan terpapar bahan aktif pestisida dalam jumlah yang
cukup untuk membunuh atau mengendalikannya. Misalnya insektisida racun perut
disemprotkan pada daun-daun tanaman dengan harapan hama akan datang dan
makan daun yang sudah disemprot dengan insektisida tersebut dan mati.
Insektisida sistemik berbentuk butiran diaplikasikan pada tanah agar bahan aktif
insektisida diserap oleh akar tanaman dan diedarkan ke seluruh bagian tanaman.
Bila suatu saat hama datang dan makan bagian tanaman yang sudah mengandung
bahan aktif insektisida tersebut akan mati.
Perhitungan aplikasi produk perlindungan tanaman umumnya tidak
didasarkan atas besarnya populasi OPT, tetapi lebih didasarkan pada luas bidang
sasaran atau volume ruang sasaran. Beberapa bidang sasaran (sasaran fisik) yang
umumnya dalam aplikasi pestisida pertanian antara lain sebagai berikut.
1. Tanaman atau bagian tanaman (terutama daun)
Bidang sasaran ini sangat umum pada aplikasi penyemprotan insektisida
dan fungisida untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Tanaman atau
bagian tanaman juga merupakan sasaran untuk aplikasi dengan cara pengembusan
(dusting), mist blowing, dan sebagainya. Perhitungan aplikasi umumnya didasarkan atas luas lahan yang akan disemprot (sangat umum untuk tanaman
semusim), jumlah pohon, panjang barisan, dan sebagainya.
2. Tanah
Tanah merupakan bidang sasaran pada aplikasi herbisida pra-tumbuh
serta sterilisasi tanah. Perhitungan apliksai umumnya didasarkan atas luas lahan
yang akan diaplikasi.
3. Gulma
Pada penyemprotan pasca-tumbuh, bidang sasaran dan sasaran biologisnya
sama, yakni gulma. Perhitungan aplikasi didasarkan atas luas lahan yang akan
diaplikasi.
4. Air
Bidang sasran lainnya adalah air. Pada aplikasi herbisida pra-tumbuh di
lahan sawah dan daerah perairan (sungai dan danau), herbisida langsung
disemprotkan ke permukaan air. Demikian pula, pada metode herbigation,
herbisida diaplikasikan lewat air irigasi. Air juga merupakan sasaran aplikasi
insektisida untuk pengendalian nyamuk, hama air, dan sebagainya. Perhitungan
aplikasi didasarkan atas luas lahan atau perkiraan volume air yang akan
diperlakukan dengan pestisida.
5. Ruangan
Ruangan merupakan sasaran fisik yang umum pada pengendalian hama
gudang dengan sistem fumigasi. Perhitungan aplikasi fumigan didasarkan atas
volume ruangan yang akan diaplikasikan.
6. Tembok, lingkungan, tubuh ternak.
Diluar bidang pertanian masih ada beberapa bidang sasaran lainnya yakni
tembok (pengendalian nyamuk, jamur), lingkungan (kesehatan lingkungan), tubuh
ternak (untuk mengendalikan ektoparasit ternak), dan sebagainya (Djojosumarto,
2.1.5 Manfaat dan Dampak Negatif Pestisida
1. Manfaat Penggunaan Pestisida
Pengendalian organisme pengganggu dengan pestisida banyak digunakan secara luas oleh masyarakat, karena mempunyai banyak kelebihan dibandingkan dengan cara pengendalian yang lain yaitu:
a. Dapat diaplikasikan dengan mudah
Pestisida dapat diaplikasikan dengan menggunakan alat yang relatif
sederhana (sprayer, duster, bak celup, dan sebagainya), bahkan ada yang tanpa
memerlukan alat (ditaburkan).
b. Dapat diaplikasikan hampir di setiap waktu dan tempat
Pestisida dapat diaplikasikan di setiap waktu (pagi, siang, sore, atau
malam) dan di setiap tempat, baik di tempat tetutup maupun di tempat terbuka.
c. Hasilnya dapat dirasakan dalam waktu singkat
Hasil penggunaan pestisida misalnya dalam bentuk penurunan populasi
organisme pengganggu dapat dirasakan dalam waktu singkat, dalam beberapa
hal, hasilnya dapat dirasakan hanya beberapa menit setelah aplikasi.
d. Dapat diaplikasikan dalam areal yang luas dalam waktu singkat
Hal ini sangat diperlukan dalam mengendalikan daerah serangan yang
luas dan harus diselesaikan dalam waktu singkat (misalnya dalam kasus
eksplosif organisme penggangu). Misalnya dengan menggunakan alat
mistblower, power spayer, bahkan kapal terbang.
e. Mudah diperoleh dan memberikan keuntungan ekonomi terutama jangka
pendek.
Perhitungan untung rugi secara eknomi dalam menggunakan pestisida
sektor pertanian berakibat makin mendorong masyarakat petani untuk
menggunakan pestisida.
2. Dampak Negatif Pestisida
a. Terhadap Konsumen
Adapun dampak pestisida bagi konsumen umumnya berbentuk keracunan
kronis yang tidak langsung dirasakan. Namun, dalam waktu lama mungkin bisa
menimbulkan gangguan kesehatan. Meskipun sangat jarang, pestisida dapat
pula menyebabkan keracunan akut, misalnya dalam hal mengonsumsi produk
pertanian yang mengandung residu dalam jumlah besar (Djojosumarto, 2008).
b. Terhadap Kesehatan
Umumnya keracunan pestisida terjadi dengan adanya kontak dengan
pestisida selama beberapa minggu. Orang tidak akan sakit langsung setelah
terpapar pestisida, tetapi membutuhkan waktu sampai beberapa waktu
kemudian. Pestisida masuk dalam tubuh manusia dengan cara sedikit demi
sedikit dan mengakibatkan keracunan kronis. Bisa pula berakibat racun akut
bila jumlah yang masuk dalam tubuh manusia dalam jumlah yang cukup
(Wudianto, 2010).
1) Keracunan akut
Keracunan akut biasanya terjadi pada pekerja yang langsung bekerja
menggunakan pestisida atau terjadi pada saat aplikasi pestisida. Cara
pestisida masuk kedalam tubuh :
a) Penetrasi lewat kulit (dermal contamination)
c) Masuk ke dalam saluran pencernaan makanan lewat mulut (oral). 2) Keracunan kronis
Keracunan kronis terjadi apabila penderita terkena racun dalam jangka
waktu panjang dengan dosis rendah. Gejala keracunan ini baru kelihatan
setelah beberapa waktu (bulan atau tahun kemudian). Keracunan kronis
lebih sulit dideteksi karena tidak segera terasa dan tidak menimbulkan
gejala serta tanda yang spesifik. Dan beberapa dampak akibat keracuan
kronis akibat pestisida.
a) Pada Syaraf
Gangguan otak dan syaraf yang paling sering terjadi akibat terpapar
pestisida selama bertahun-tahun adalah masalah pada ingatan, sulit
berkonsentrasi, perubahan kepribadian, kelumpuhan, bahkan kehilangan
kesadaran dan koma.
b) Pada Hati (Liver)
Karena hati adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menetralkan
bahan-bahan kimia beracun, maka hati itu sendiri sering kali dirusak oleh
pestisida apabila terpapar selama bertahun-tahun. Hal ini dapat
menyebabkan Hepatitis.
c) Pada Perut
Muntah-muntah, sakit perut dan diare adalah gejala umum dari
keracunan pestisida. Banyak orang-orang yang dalam pekerjaannya
berhubungan langsung dengan pestisida selama bertahun-tahun,
sengaja atau tidak) efeknya sangat buruk pada perut dan tubuh secara
umum. Pestisida merusak langsung melalui dinding-dinding perut.
d) Pada Sistem Kekebalan
Beberapa jenis pestisida telah diketahui dapat mengganggu sistem
kekebalan tubuh manusia dengan cara yang lebih berbahaya. Beberapa
jenis pestisida dapat melemahkan kemampuan tubuh untuk menahan dan
melawan infeksi. Ini berarti tubuh menjadi lebih mudah terkena infeksi,
atau jika telah terjadi infeksi penyakit ini menjadi lebih serius dan makin
sulit untuk disembuhkan.
e) Pada Sistem Hormon
Hormon adalah bahan kimia yang diproduksi oleh organ-organ
seperti otak, tiroid, paratiroid, ginjal, adrenalin, testis dan ovarium untuk
mengontrol fungsi-fungsi tubuh yang penting. Beberapa pestisida
mempengaruhi hormon reproduksi yang dapat menyebabkan penurunan
produksi sperma pada pria atau pertumbuhan telur yang tidak normal
pada wanita. Beberapa pestisida dapat menyebabkan pelebaran tyroid
yang akhirnya dapat berlanjut menjadi kanker tyroid.
c. Terhadap Lingkungan
Menurut Soemirat (2007) Insektisida dapat berpengaruh terhadap lingkungan
sebagai berikut :
a) Residu Insektisida dalam Tanah
Penyemprotan pestisida akan berada di udara yang lama kelamaan
berada di dalam tanah terutama dari golongan organoklorin karena sifatnya
yang persisten.
b) Residu Insektisida dalam Air
Pestisida yang disemprotkan dan yang sudah berada didalam tanah
dapat terbawa oleh air hujan atau aliran permukaan sampai ke badan air,
berupa sungai dan sumur.
c) Residu Insektisida di Udara
Pestisida dapat berada di udara setelah disemprotkan dalam bentuk
partikel air(droplet)atau partikel yang terformulasi jatuh pada tujuannya. d) Residu Pestisida pada Tanaman
Insektisida yang disemprotkan padan tanaman tentu akan
meninggalkan residu. Residu insektisida terdapat pada semua tubuh
tanaman seperti batang, daun, buah dan juga akar. Khusus pada buah, residu
ini terdapat pada permukaan maupun daging dari buah tersebut.
Walaupun sudah dicuci, atau dimasak residu pestisida ini masih
terdapat pada bahan makanan.
e) Residu Pestisida di Lingkungan Kerja
Pestisida kebanyakan digunakan di pertanian, sehingga perlu diketahui
bahwa insektisida dapat menimbulkan masalah kesehatan pekerja pertanian
atau petani termasuk juga pencampuran pestisida. Kebanyakan petani di
Indonesia mengetahui bahaya pestisida, namun mereka tidak peduli dengan
d. Terhadap lingkungan Pertanian
Menurut Djojosumarto (2008), bahwa dampak pestisida bagi lingkungan
pertanian yaitu:
a) Organisme pengganggu tanaman menjadi kebal terhadap suatu pestisida
(timbul resistensi organisme pengganggu tanaman terhadap pestisida).
Resistensi hama muncul apabila suatu jenis hama yang mula-mula
dapat terbunuh oleh suatu dosis kemudian menjadi kebal oleh dosis
tersebut. Untuk dapat mematikan hama tersebut dibutuhkan konsentrasi
atau dosis insektisida yang lebih tinggi.
b) Meningkatkan populasi hama setelah pengguanan pestisida (resurjensi hama). Sifat resurjensi hama muncul apabila hama telah mengalami perlakuan pestisida, populasinya tidak menurun, tetapi sebaliknya
menjadi meningkat jika dibandingkan populasi sebelum diadakan
penyemprotan insektisida.
c) Timbulnya hama baru, bisa hama yang selama ini dianggap tidak
penting maupun hama yang sama sekali baru. Aplikasi pestisida yang
ditujukan untuk mengendalikan jenis hama tertentu malah
mengakibatkan munculnya jenis hama baru. Hal ini karena insektisida
yang digunakan di bidang pertanian memiliki sifat berspektrum luas
yang berarti akan dapat mematikan tidak saja hama sasaran melainkan
d) Meracuni tanaman bila salah menggunakannya. Khususnya pada
tanaman pertanian adanya residu yang disebabkan karena aplikasi
pestisida selama kegiatan usahataninya.
2.1.6 Cara Masuk Pestisida ke Dalam Tubuh
Menurut Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian (2011), pestisida dapat masuk
ketubuh manusia melaui berbagai cara, yaitu:
1. Kontaminasi Lewat Kulit
Pestisida yang menempel dipermukaan kulit dapat meresap ke dalam
tubuh dan menimbulkan keracunan. Kejadian kontaminasi pestisida lewat kulit
merupakan kontaminasi yang paling sering terjadi. Tingkat bahaya kontaminasi
lewat kulit dipengaruhi bebrapa faktor, yaitu: a). Toksisitas dermal (dermal
LD50 pestisida yang bersangkutan, b). Konsentrasi pestisida yang menempel
pada kulit, c). Formulasi pestisida, d). Jenis atau bagian kulit yang terpapar, e).
Luas kulit yang terpapar, f). Lamanya kulit terpapar, g). Kondisi fisik
seseorang.
2. Terhisap Lewat Hidung
Keracunan pestisida karena partikel pestisida terhisap lewat hidung
merupakan yang terbanyak kedua sesudah kontaminasi kulit. Gas dan partikel
semprotan yang sangat halus dapat masuk ke paru-paru, sedangkan partikel
yang lebih besar akan menempel diselaput lendir hidung atau di
kerongkongan. Pestisida yang berbentuk gas mudah masuk kedalam
3. Melalui Mulut
Hal ini terjadi apabila seseorang meminum pestisida secara sengaja
ataupun tidak, ketika seseorang makan atau minum air yang telah tercemar,
atau ketika makan dengan tangan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu
setelah berurusan dengan pestisida.
2.2 Organofosfat
2.2.1 Pengertian Organofosfat
Organofosfat memiliki struktur kimia dengan atom oksigen atau sulfur
yang berikatan ganda dengan fosfor, sehingga disebut phosphate atau
phosphorothioates. Sebagian besar senyawa organofosfat berikatan dengan sulfur,
karena bentuk P=S lebih stabil dan lebih larut lemak (WHO, 1996).
2.2.2 Sumber, Jenis, dan Karakteristik
Organofosfat disintesis pertama di Jerman pada awal perang dunia ke
II.Pada awal sintesisnya diproduksi senyawa tetraethyl pyrophosphate (TEPP), parathion dan schordan yang sangat efektif sebagai insektisida, tetapi jugacukup toksik terhadap mamalia (Sudarno, 2007). Organofosfat yang mempunyai sifat
larut dalam air, terhidrolisis dengan cepat di dalam air dengandemikian daya
toksisitasnya cepat hilang dan berupa cairan tidak berwarna, tidak berbau dan
mudah menguap.
Secara kebetulan senyawa organofosfat ini mempunyai potensi yang baik
untuk digunakan sebagai insektisida. Senyawa organofosfat tidak stabil, karena itu
organofosfat mempengaruhi sistem saraf dan mempunyai cara kerja menghambat
enzim cholinesterase (Sastroutomo, 1992).
Setiap jenis pestisida mempunyai tiga jenis nama, yaitu nama umum, nama
dagang, dan nama kimia. Nama dagang suatu jenis pestisida diberikan oleh si
pembuatnya atau pabriknya sendiri sehingga kadangkala terdapat beberapa jenis
pestisida mempunyai bahan aktif yang sama tetapi dengan nama dagang yang
berbeda. Senyawa organofosfat merupakan golongan insektisida yang cukup
besar. Lebih daripada 100.000 senyawa organofosfat telah diuji untuk mencari
senyawa-senyawa yang mempunyai sifat sebagai insektisida. Dari jumlah ini
hanya 100 senyawa saja yang berhasil diperdagangkan sebagai insektisida secara
luas (Sastroutomo, 1992).
2.2.3 Dampak Organofosfat Terhadap Kesehatan
Cholinesterase ialah suatu enzym yang merupakan katalis biologik yang
dalam jaringan tubuh berperan untuk menjaga agar otot-otot, kelenjer-kelenjer dan
sel-sel syaraf bekerja secara terorganisir dan harmonis. Jika aktivitas
cholinesterase jaringan turun secara drastis (cepat) sampai pada tingkat rendah,
dampaknya adalah bergeraknya serat-serat otot secara tak sadar dengan gerakan
halus maupun kasar dan pengeluaran air mata serta ludah secara berlebihan.
Pernafasan kemudian menjadi lemah dan dan detak jantung menjadi lebih lambat
dan lemah (Depkes, 1989).
Oleh sebab itu, menurut Depkes (1989), defenisi kadar cholinesterase
plasma atau sel darah merah merupakan indikator adanya penyerapan yang
menghasilkan metabolit yang biasanya dapat ditemukan dalam urine korban
keracunan dalam waktu 12-48 jam sesudah penyerapan dalam jumlah yang cukup
berarti.
Menurut Depkes (1989), proporsi aktifitas cholinesterase dalam darah
dinyatakan dalam persen (%) dengan klasifikasi keracunan sebagai berikut:
1. 75-100% termasuk kategori normal, yaitu tingkat pemaparannya masih
normal. Pada kelompok ini tidak ada tindakan yang diperlukan tetapi perlu
selalu diuji ulang.
2. 50-74% termasuk kategori keracunan ringan, yaitu tingkat keracunan
masih ringan. Pada kelompok ini telah terjadi keracunan pestisida sehingga
jika penderitanya lemah dianjurkan agar istirahat (tidak kontak) dengan
pestisida minimal selama 2 minggu kemudian baru diuji ulang kembali.
3. 25-49% termasuk kategori keracunan sedang, yaitu tingkat keracunan
sedang. Pada kelompok ini telah terjadi keracunan pestisida yang sangat
serius sehingga penderita dianjurkan untuk menghentikan segala kegiatan
yang terkait dengan pestisida.
4. 0-24% termasuk kategori keracuanan berat, yaitu tingkat keracuanan berat.
Pada kelompok ini keracunan pestisida sudah sangat serius dan berbahaya
sehingga penderita harus israhat dari semua jenis pekerjaan dan perlu
dirujuk ke unit pelayanan medis.
Pada masyarakat yang terkena racun insektisida organofosfat, tanda dan
gejala keracuanan adalah timbul gerakan otot-otot tertentu, penglihatan kabur,
kejang-kejang, muntah-muntah, detak jantung menjadi cepat, mencret, sesak
nafas, otot tidak bisa digerakkan, dan akhirnya pingsan (Wudianto, 2010).
Menurut Alegantina dkk (2005), yang mengutip pendapat Darmansjah (1987)
menyebutkan bahwa cara kerja organofosfat adalah menghambat penyaluran
impuls saraf dengan cara mengikat kolinesterase sehingga tidak terjadi hidrolisis
asetilkolin. Secara sederhana reaksi pengikatan kolinesterase dengan organofosfat
dapat digambarkan sebagai berikut:
Asetilkolin kolin + asam asetat
Kolinesterase
fosforilasi
organofosfat
Gambar 2.1 Reaksi pengikatan kolinesterase dengan organofosfat.
Asetilkolin adalah suatu neurotransmitter yang terdapat di antara
ujung-ujung saraf dan otot serta berfungsi meneruskan rangsangan saraf, Apabila
rangsangan ini berlangsung terus menerus akan menyebabkan penimbunan
asetilkolin. Kolinesterase yang terdapat di berbagai jaringan dan cairan tubuh
dapat menghentikan rangsangan yang ditimbulkan asetilkolin di berbagai tempat
dengan jalan menhidrolisis asetilkolin menjadi kolin dan asam asetat dalam waktu
sangat cepat sehingga penimbunan asetilkolin tidak terjadi.
Sewaktu insektsida organfosfat terpajan kepada seseorang,
asetilkolinesterase dihambat sehingga terjadi akumulasi asetilkolin, asetilkolin
inkoordinasi, kejangkejang, dan lain-lain. Dalam sistem syarat autonom
akumulasi ini akan menyebabkan diare, urinisasi tanpa sadar, bronko konstriksi,
miosis.
Menurut Mukono (2011) akibat inhibisi Acetilcholinesterase(AChE) di dalam sistem syaraf mengakibatkan gangguan keracunan seperti:
1. Keracunan akut
a. Manifestasi muscarinik, yaitu gejala pencernaan seperti mual, muntah,
aktifitas kelenjer keringat meningkat, aktifitas kelenjer ludah
meningkat, aktifitas kelenjer mata meningkat, dan ketajaman mata
berkurang.
b. Manifestasi nikotinik, sepeti sesak napas, kram, pada otot tertentu dan
cynosis.
c. Manifestasi susunan syaraf pusat seperti rasa cemas, sakit kepala,
kesukaran tidur, depresi, tremor, kejang, gangguan pernafasan, dan
peredaran darah.
2. Keracunan Kronis
Ada beberapa jenis keracunan kronis yang disebabkan pestisida organofosfat,
yaitu:
a. Carsinogenik(pembentukan kelenjer kanker)
b. Teratogenik (kelahiran anak cacat dari ibu yang keracunan insektisida).
2.2.4 Mekanisme Organofosfat dalam Tubuh
Dampak pestisida terhadap kesehatan bervariasi, antara lain tergantung
dari golongan, intensitas pemaparan, jalan masuk dan bentuk sediaan. Efek
kesehatan yang timbul juga dipengaruhi toksisitas masing-masing bahan aktif
dalam senyawa organofosfat.
Pestisida masuk ke dalam tubuh manusia melalui kulit, mulut, saluran
pencernaan, pernafasan. Di dalam darah manusia pestisida ini akan berikatan
dengan enzim cholinesterase yang berfungsi untuk mengatur kerja syaraf. Dan
karena adanya pestisida dalam darah maka Acetilcholinesterase (AchE) akan di ikat oleh pestisida, sehingga enzim tidak dapat melaksanakan tugasnya dalam
tubh terutama meneruskan untuk mengirim perintah kepada otot-otot. Akibatnya
otot-otot bergerak tanpa dapat dikendalikan (Sudarno, 1997).
Dalam tubuh manusia diproduksi asetikolin dan enzim kholinesterase.
Enzimckholinesterase berfungsi memecah asetilkolin menjadi kolin dan asam
asetat. Asetilkolin dikeluarkan oleh ujung-ujung syaraf ke ujung syaraf
berikutnya, kemudian diolah dalam Central nervous system (CNS), akhirnya terjadi gerakan gerakan tertentu yang dikoordinasikan oleh otak. Apabila tubuh
terpapar secara berulang pada jangka waktu yang lama, maka mekanisme kerja
enzim kholinesterase terganggu, dengan akibat adanya ganguan pada sistem
syaraf. Asetikholinesterase adalah suatu enzim, terdapat pada banyak jaringan
yang menghidrolisis asetilkholin menjadi kholin dan asam asetat. Sel darah merah
dapat mensintesis asetilkholin dan bahwa kholin asetilase dan asetilkholinesterase
hanya di dalam otak tetapi juga di dalam otot rangka,limpa dan jaringan plasenta
(Syarief, 2007).
Asetilkholin berperan sebagai jembatan penyeberangan bagi mengalirnya
getaran syaraf. Melalui sistem syaraf inilah organ-organ di dalam tubuh menerima
informasi untuk mempergiat atau mengurangi efektifitas sel. Pada sistem syaraf,
stimulas yang diterima dijalarkan melalui serabut-serabut syaraf (akson) dalam
betuk impuls. Setelah impuls syaraf oleh asetikholin dipindahkan (diseberangkan)
melalui serabut, enzim kholinesterase memecahkan asetilkholin dengan cara
meghidrolisis asetilkholin menjadi kholin dan sebuah ion asetat, impuls syaraf
kemudian berhenti. Reaksi-reaksi kimia ini terjadi sangat cepat (Dirjen PPM &
PLP, 2001).
Hadirnya pestisida golongan organofosfat di dalam tubuh akan
menghambat aktifitas enzim asetilkholinesterase, sehingga terjadi akumulasi
substrat (asetilkholin) pada sel efektor. Keadaan tersebut diatas akan
menyebabkan gangguan sistem syaraf yang berupa aktifitas kolinergik secara
terus menerus akibat asetilkholin yang tidak dihidrolisis. Gangguan ini
selanjutnya akan dikenal sebagai tanda-tanda atau gejala keracunan (Syarief,
2007).
2.3 Residu Pestisida
Residu pestisida adalah sisa pestisida, termasuk hasil perubahannya yang
terdapat pada atau dalam jaringan manusia, hewan, tumbuhan, air, udara atau
tanah (Deptan, 2009). Beberapa yang mengindikasikan batas residu, digunakan
adalah salah satu indeks konsentrasi maksimum dari residu pestisida (ditetapkan
dalam mg/kg) yang direkomendasikan sebagai batasan yang diijinkan secara legal
pada komoditas makanan dan daging hewan.
Berdasarkan peraturan yang dikeluarkan badan Standar Nasional
Indonesia (SNI) tahun 2008, tentang batas maksimum residu (BMR) pestisida
pada tanaman. Residu pestisida untuk golongan organofosfatmasih diperbolehkan
ada di dalam tanaman dalam konsentrasi yang telah ditentukan, khusus untuk
sayuran batas konsentrasi residu yang diperbolehkan yaitu 0,5 mg/kg.
Menurut Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian (2011), batas maksimum
residu (BMR) adalah batas dugaan maximum residu pestisida yang ada dalam
berbagai hasil pertanian yang diperoleh. Data BMR Organofosfat berdasarkan
Deptan (2009) dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut ini:
Tabel 2.2 Batas Maksimum Residu Organofosfat pada Makanan
No Komoditas BMR (mg/kg)
1 Kentang 0,01
2 Kubis 0,5
3 Mentimun 0,1
4 Paprika 0,05
5 Lobak 0,1
6 Wortel 0,5
7 Bawang bombay 0,05
8 Jagung 0,02