• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Asam Borat Terhadap Pengawetan Kayu Jabon Dengan Metode Pengawetan Rendaman Panas Dingin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Asam Borat Terhadap Pengawetan Kayu Jabon Dengan Metode Pengawetan Rendaman Panas Dingin"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH ASAM BORAT TERHADAP PENGAWETAN KAYU

JABON DENGAN METODE PENGAWETAN

RENDAMAN PANAS DINGIN

SKRIPSI

Oleh :

JANUARDO PUTRA SIREGAR 081203015

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Pengaruh Asam Borat Terhadap Pengawetan Kayu Jabon Dengan Metode Pengawetan Rendaman Panas Dingin Nama : Januardo Putra Siregar

NIM : 081203015

Program Studi : Kehutanan

Disetujui Oleh,

Komisi Pembimbing

Ridwanti Batubara, S.Hut, M.P Luthfi Hakim, S.Hut, M.Si

Ketua Anggota

Mengetahui,

(3)

ABSTRAK

JANUARDO PUTRA SIREGAR: Pengaruh Asam Borat Terhadap Pengawetan Kayu Jabon dengan Metode Pengawetan Rendaman Panas Dingin.

Dibimbing oleh RIDWANTI BATUBARA dan LUTHFI HAKIM.

Keawetan kayu adalah daya tahan suatu jenis kayu terhadap faktor-faktor perusak yang datang dari luar tubuh kayu itu sendiri. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghitung besarnya nilai retensi dan penetrasi, menguji stabilitas dimensi dan kekuatan kayu jabon setelah diawetkan menggunakan bahan pengawet asam borat (H3BO3

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kayu jabon memiliki nilai retensi berkisar antara 16,31 kg/m

) dengan metode pengawetan rendaman panas dingin. Perlakuan penelitian pengawetan kayu jabon ini terdiri atas ukuran contoh uji (20 x 5 x 1, 20 x 5 x 5 dan 25 x 5 x 5) dan pereaksi (2 gr ekstrak kurkuma dalam 100 ml alkohol dan 20 ml HCl dilarutkan dalam 80 ml alkohol dan dijenuhkan dengan asam salisilat) dengan menggunakan pengawet asam borat. Pengujian sifat mekanis dan ukuran contoh uji berdasarkan standar ASTM D 143 tahun 2005

3

-25,31 kg/m3, nilai penetrasi berkisar antara 13 mm-16.8 mm dan nilai ASE berkisar antara 4,82%-13,46%. Nilai MOE berkisar antara 19415 kg/cm2-20364 kg/cm2, sedangkan nilai MOR berkisar antara 829,28 kg/cm2-901,88 kg/cm2

Kata kunci: kayu jabon, ukuran contoh uji, pereaksi, dan pengawetan kayu.

(4)

ABSTRACT

JANUARDO PUTRA SIREGAR: Effect of Boric Acid Against the Method of Preserving Wood Preserving Jabon Cold Heat Soak.

Supervised by RIDWANTI BATUBARA and Lutfi HAKIM.

The durability of the wood is the durability of a wood species against destructive factors coming from outside the body of the wood itself. The purpose of this study was to quantify the value of retention and penetration, dimensional stability and strength test Jabon after preserved wood preservatives boric acid (H3BO3) with a heat bath of cold preservation method. Treatment of wood preservation research Jabon consists of sample size (20 x 5 x 1, 20 x 5 x 5 and 25 x 5 x 5) and reagent (2 g of turmeric extract in 100 ml of alcohol and 20 ml of HCl is dissolved in 80 ml of alcohol and saturated with salicylic acid) using boric acid preservative. Testing of mechanical properties and the size of the test sample based on the standard ASTM D 143 in 2005

The results showed that Wood Jabon retention values ranged from 16.31 kg/m3-25, 31 kg/m3, the penetration value ranging between 13 mm-16.8 mm and ASE values ranged from 4.82% -13.46%. MOE values ranged between 19415 kg/cm2-20364 kg/cm2, while the MOR values ranged between 829.28 kg/cm2-901, 88 kg/cm2. Concentration differences significantly affect retention and penetration value, while the value of dimensional stability, MOE and MOR, the differences do not affect the real concentration.

(5)

RIWAYAT HIDUP

Januardo Putra Siregar dilahirkan di Medan pada tanggal 29 Januari 1990.

Penulis merupakan anak pertama dari pasangan Bilson Siregar dan Lince

Sihombing.

Pada tahun 2002 penulis menyelesaikan pendidikan di SD ST. JOSEF

Sidikalang, pada tahun 2005 menyelesaikan pendidikan di SMP Negeri 1

Sidikalang, dan pada tahun 2008 menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 2

Sidikalang. Pada tahun 2008 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Universitas

Sumatera Utara, Fakultas Pertanian, Program Studi Kehutanan, minat Teknologi

Hasil Hutan melalui jalur UMB.

Peulis melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PEH) di

Hutan Dataran Tinggi Gunung Sinabung dan Taman Wisata Alam (TWA) Deleng

Lancuk pada Juli 2010. Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) di

HPHTI PT. Arara Abadi, Distrik Duri II Sebanga, Riau dari tanggal 6 Februari

sampai 6 Maret 2012. Selama perkuliahan penulis pernah tergabung dalam

anggota Himpunan Mahasiswa Sylva (HIMAS).

Penulis melaksanakan penelitian pada bulan Desember-Mei 2014 di

Laboratorium Teknologi Hasil Hutan, Workshop Teknologi Hasil Hutan, dan

Laboratorium Sentral Pertanian dengan judul ” Pengaruh Asam Borat Terhadap

Pengawetan Kayu Jabon dengan Metode Pengawetan Rendaman Panas Dingin” di

bawah bimbingan Ridwanti Batubara, S.Hut., M.P., dan Luthfi Hakim S.Hut.,

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Pengaruh Asam Borat Terhadap Pengawetan Kayu Jabon dengan Metode

Pengawetan Rendaman Panas Dingin”. Skripsi ini bertujuan untuk menghitung

besarnya nilai retensi dan penetrasi, menguji stabilitas dimensi dan kekuatan kayu

jabon setelah diawetkan menggunakan bahan pengawet asam borat (H3BO3

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada kedua orang tua yang

telah banyak memberikan bantuan moril dan materil. Penulis juga menyampaikan

ucapkan terima kasih kepada komisi pembimbing skripsi yaitu Ridwanti Batubara

S.Hut., M.P., Luthfi Hakim S.Hut., M.Si., dan Evalina Herawati S.Hut., M.Si.

yang telah banyak memberikan arahan dan masukan yang membangun selama ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman seangkatan THH

2008 dan semua pihak yang telah mendukung dan membantu hingga skripsi ini

selesai.

)

dengan metode pengawetan rendaman panas dingin. Skripsi ini diajukan untuk

melengkapi salah satu syarat untuk menyelesaikan perkuliahan di Program Studi

Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Penulis berharap semoga hasil penelitian ini berguna bagi kita semua,

sebagai dasar penelitian selanjutnya dan menyumbangkan ilmu pengetahuan bagi

kemajuan dunia pendidikan khususnya dalam bidang kehutanan.

Medan, Juli 2014

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Hipotesis ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Keawetan dan Keterawetan Kayu ... 4

Bahan Pengawet Asam Borat (H3BO3)... 6

Retensi dan Penetrasi ... 7

Kayu Jabon (Anthocepalus cadamba Roxb Miq.) ... 8

Sifat Fisis dan Mekanis Kayu Jabon ... 9

Stabilitas Dimensi Kayu ... 10

Metode Pengawetan Kayu ... 11

(8)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 14

Bahan dan Alat Penelitian ... 14

Metode Penelitian Persiapan Contoh Uji ... 15

Pengawetan Contoh Uji ... 15

Pengujian ... 16

Pengukuran Retensi dan Penetrasi ... 17

Rancangan Percobaan dan Analisis Data ... 19

HASIL DAN PEMBAHASAN Retensi ... 21

Penetrasi ... 23

Stabilitas Dimensi ... 25

Keteguhan Lentur (MOE) ... 26

Keteguhan Patah (MOR) ... 28

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 31

Saran ... 31

DAFTAR PUSTAKA ... 32

(9)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Retensi bahan pengawet Asam Borat ... 20

2. Penetrasi Bahan Pengawet Asam Borat ... 22

3. Anti Pengembangan ASE Terhadap Kayu Jabon ... 24

4. MOE Contoh Uji Kayu Jabon ... 26

(10)

ABSTRAK

JANUARDO PUTRA SIREGAR: Pengaruh Asam Borat Terhadap Pengawetan Kayu Jabon dengan Metode Pengawetan Rendaman Panas Dingin.

Dibimbing oleh RIDWANTI BATUBARA dan LUTHFI HAKIM.

Keawetan kayu adalah daya tahan suatu jenis kayu terhadap faktor-faktor perusak yang datang dari luar tubuh kayu itu sendiri. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghitung besarnya nilai retensi dan penetrasi, menguji stabilitas dimensi dan kekuatan kayu jabon setelah diawetkan menggunakan bahan pengawet asam borat (H3BO3

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kayu jabon memiliki nilai retensi berkisar antara 16,31 kg/m

) dengan metode pengawetan rendaman panas dingin. Perlakuan penelitian pengawetan kayu jabon ini terdiri atas ukuran contoh uji (20 x 5 x 1, 20 x 5 x 5 dan 25 x 5 x 5) dan pereaksi (2 gr ekstrak kurkuma dalam 100 ml alkohol dan 20 ml HCl dilarutkan dalam 80 ml alkohol dan dijenuhkan dengan asam salisilat) dengan menggunakan pengawet asam borat. Pengujian sifat mekanis dan ukuran contoh uji berdasarkan standar ASTM D 143 tahun 2005

3

-25,31 kg/m3, nilai penetrasi berkisar antara 13 mm-16.8 mm dan nilai ASE berkisar antara 4,82%-13,46%. Nilai MOE berkisar antara 19415 kg/cm2-20364 kg/cm2, sedangkan nilai MOR berkisar antara 829,28 kg/cm2-901,88 kg/cm2

Kata kunci: kayu jabon, ukuran contoh uji, pereaksi, dan pengawetan kayu.

(11)

ABSTRACT

JANUARDO PUTRA SIREGAR: Effect of Boric Acid Against the Method of Preserving Wood Preserving Jabon Cold Heat Soak.

Supervised by RIDWANTI BATUBARA and Lutfi HAKIM.

The durability of the wood is the durability of a wood species against destructive factors coming from outside the body of the wood itself. The purpose of this study was to quantify the value of retention and penetration, dimensional stability and strength test Jabon after preserved wood preservatives boric acid (H3BO3) with a heat bath of cold preservation method. Treatment of wood preservation research Jabon consists of sample size (20 x 5 x 1, 20 x 5 x 5 and 25 x 5 x 5) and reagent (2 g of turmeric extract in 100 ml of alcohol and 20 ml of HCl is dissolved in 80 ml of alcohol and saturated with salicylic acid) using boric acid preservative. Testing of mechanical properties and the size of the test sample based on the standard ASTM D 143 in 2005

The results showed that Wood Jabon retention values ranged from 16.31 kg/m3-25, 31 kg/m3, the penetration value ranging between 13 mm-16.8 mm and ASE values ranged from 4.82% -13.46%. MOE values ranged between 19415 kg/cm2-20364 kg/cm2, while the MOR values ranged between 829.28 kg/cm2-901, 88 kg/cm2. Concentration differences significantly affect retention and penetration value, while the value of dimensional stability, MOE and MOR, the differences do not affect the real concentration.

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kayu merupakan salah satu bahan yang penting bagi kehidupan manusia

untuk berbagai keperluan seperti untuk bahan energi, konstruksi dan industri

lainnya. Pilihan kayu sebagai bahan konstruksi menghendaki pengetahuan

sifat-sifat dari kayu tersebut agar dalam penggunaannya dapat dioptimalkan baik dari

segi teknis maupun ekonomis. Salah satu kegunaan kayu adalah sebagai bahan

konstruksi bangunan perumahan dan gedung (Alex, 2004).

Kebutuhan manusia akan kayu tidak ada habisnya, bahkan cenderung naik

seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Sementara itu jumlah persediaan

kayu menurun secara drastis sebagai akibat penjarahan kayu di hutan dalam

beberapa tahun terakhir. Kayu dengan kelas awet tinggi menjadi langka atau

terlalu mahal. Kayu dengan kelas awet sedang dan kurangpun semakin berkurang.

Dalam situasi demikian, penghematan penggunaan kayu dengan cara pengawetan

menjadi mutlak untuk dilakukan (Hadikusumo dan Wahyudi, 2005).

Tanaman jabon (A. cadamba Roxb Miq.) berasal dari daerah beriklim

muson tropika. Tanaman ini lebih menyukai tempat yang lembab, misalnya di tepi

sungai dan rawa. Tanaman jabon terbilang tinggi besar. Tinggi tanaman bisa

mencapai 45m dengan diameter 100-160 cm. Kelebihan lain dari tanaman ini

memiliki batang yang lurus dan silindris sehingga sangat cocok sebagai bahan

baku industri kayu. Di Indonesia, tanaman ini sudah tersebar hampir di seluruh

pelosok Indonesia, mulai dari Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,

Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat dan

(13)

Dalam SNI 03-3233-1998, kayu yang memerlukan pengawetan adalah

kayu yang mempunyai keawetan alami rendah, yaitu kayu dengan kelas awet III,

IV, V, kayu gubal kelas I dan II dan semua kayu yang tidak jelas jenisnya. Salah

satu jenis kayu yang kurang awet adalah kayu jabon (A. cadamba Roxb Miq.)

yang termasuk dalam kelas awet V dan kelas kuat III. Dalam upaya peningkatan

pemanfaatan dan meningkatkan umur pakainya maka dilakukan tindakan

pengawetan.

Pengawetan kayu bertujuan untuk menambah umur pakai kayu lebih lama,

terutama kayu yang dipakai untuk material bangunan atau perabot luar ruangan.

Bahan pengawet potensial dikembangkan apabila memiliki daya racun yang

efektif, mudah didapat dan murah. Secara umum terdapat tiga kelompok besar

bahan pengawet kayu, yaitu: bahan pengawet berupa minyak, bahan pengawet

larut dalam pelarut organik, bahan pengawet larut air (Hunt dan Garrat, 1967

dalam Prasetyo, 2012).

Penelitian ini menggunakan bahan pengawet asam borat (H3BO3) karena

bahan pengawet ini merupakan yang umum digunakan dan mudah ditemukan.

Metode yang dipilih adalah metode rendaman panas dingin karena metode

rendaman panas dingin lebih baik dari metode rendaman panas atau rendaman

dingin saja. Bahan kimia seperti boraks dan asam borat menjadi salah satu bahan

yang digunakan untuk mengawetkan kayu dalam metode vakum, pencelupan

dingin, pencelupan panas hingga metode pemolesan (Hunt dan Garrat dalam Putri,

(14)

Dari uraian tersebut perlu dilakukan penelitian mengenai pengawetan kayu

jabon (A. cadamba Roxb Miq.) menggunakan asam borat (H3BO3) dengan

metode pengawetan rendaman panas dingin.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah menghitung besarnya nilai retensi dan

penetrasi, menguji stabilitas dimensi dan kekuatan kayu jabon setelah diawetkan

menggunakan bahan pengawet asam borat (H3BO3) dengan metode pengawetan

rendaman panas dingin.

Hipotesis

Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsentrasi bahan

pengawet asam borat berpengaruh terhadap stabilitas dimensi, retensi, penetrasi

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Keawetan dan Keterawetan Kayu

Keawetan kayu berhubungan erat dengan pemakaiannya. Kayu dapat

dikatakan awet jika mempunyai umur pakai lama. Kayu berumur pakai lama jika

mampu menahan bermacam-macam faktor perusak kayu. Dengan kata lain

keawetan kayu ialah daya tahan suatu jenis kayu terhadap faktor-faktor perusak

yang datang dari luar tubuh kayu itu sendiri. Kayu diselidiki keawetannya pada

bagian kayu terasnya, sedangkan kayu gubalnya kurang diperhatikan.

(Dumanauw, 2001).

Keawetan alami kayu diperoleh melalui serangkaian uji coba, kemudian

diperoleh pembagian kelas-kelas awet kayu. Menurut Duljapar (2001), ada lima

penggolongan kelas awet kayu yaitu sebagai berikut:

a. Kelas awet I

Lama pemakaian kayu kelas awet I dapat mencapai 25 tahun. Jenis-jenis

kayu yang termasuk dalam kelas ini adalah jati, ulin, sawokecik, merbau,

tanjung, sonokeling, johar, bangkirai, behan, resak, dan ipil.

b. Kelas awet II

Jenis-jenis kayu yang termasuk kelas awet II yaitu weru, kapur, bungur,

cemara gunung, rengas, rasamala, merawan, lesi, walikukun, dan

sonokembang. Umur pemakaian dari kelas ini yaitu antara 15-25 tahun.

c. Kelas awet III

Contoh kayu kelas awet III yaitu ampupu, bakau, kempas, keruing,

mahoni, matoa, merbatu, meranti merah, meranti putih, pinang dan pulai.

(16)

d. Kelas awet IV

Jenis kayu ini termasuk kurang awet, umur pakainya antara 5-10 tahun.

Kayu yang termasuk dalam kelas awet IV yaitu agatis, bayur, durian,

sengon, kemenyan, kenari, ketapang, perupuk, ramin, surian, dan benuang

laki.

e. Kelas awet V

Kayu-kayu yang termasuk dalam kelas awet V tergolong kayu yang tidak

awet karena umur pakainya kurang dari 5 tahun. Jenis kayu yang temasuk

dalam kelas ini yaitu jabon, jaelutung, kapuk hutan, kemiri, kenanga,

mangga hutan, dan marabung.

Keterawetan kayu adalah kemampuan kayu untuk ditembus bahan

pengawet, sampai mencapai retensi dan penetrasi tertentu yang secara ekonomi

menguntungkan dan efektif untuk mencegah faktor perusak kayu. Keterawetan

kayu sangat bervariasi, kayu gubal memiliki keterawetan yang lebih tinggi karena

bagian ini sebelumnya berfungsi sebagai penyalur air dari akar ke daun.

Sedangkan kayu teras memiliki keterawetan yang kurang baik, karena

terbentuknya tylosis serta deposit-deposit lainnya yang menutupi sel-sel kayu.

Jika kayu yang tidak awet dipakai untuk perumahan dan gedung maka usia

pakainya akan pendek, sehingga harus menggantinya dengan kayu yang baru.

Akibatnya konsumsi kayu sering melebihi kecepatan pertumbuhan pohon, dan

menyebabkan menyusutnya sumber persediaan hutan kayu yang semakin lama

terancam habis. Supaya kayu kelas awet III. IV, dan V dapat digunakan dengan

(17)

Bahan Pengawet Asam Borat (H3BO3

Asam borat dikenal dengan nama kimia Acidum boricum. Asam borat

mengandung tidak kurang dari 99,5% H

)

3BO3

1. Basahkan sepotong kertas kurkuma P dengan larutan encer zat yang telah

diasamkan dengan asam klorida P. bila dikeringkan warna kertas berubah

menjadi merah kecoklatan yang jika dibasakan dengan ammonia encer P

berubah menjadi hitam kehijauan

. Asam borat berbentuk serbuk

hablur putih atau sisik mengkilap tidak berwarna, kasar, tidak berbau, rasa agak

asam, pahit dan manis. Asam borat larut dalam 20 pembagian air, 3 bagian air

mendidih, 16 bagian etanol (95%) P (posfor) dan dalam 5 bagian gliserol P

(posfor). Cara mengidentifikasi keberadaan asam borat dalam suatu zat:

2. Panaskan sejumlah zat dalam cawan porselen hingga melebur, tambahkan

methanol P. bila dibakar nyala api berwarna hijau

Dalam 30 bagian air larutan jernih dan tidak berwarna, 1 gram Asam borat

melarut sempurna. Asam borat memiliki pH 3,8 sampai 4,8. Penetapan dilakukan

menggunakan 3,0 g dalam 800 ml air mendidih, didinginkan dan diencerkan

dengan air secukupnya hingga 90 ml. Penyimpanan asam borat harus dalam

wadah tertutup baik. Asam borat berkhasiat dan digunakan dalam antiseptikum

ekstern (Ditjen POM, 1995).

Asam borat digunakan untuk mengawetkan kayu agar terhindar dari

cendawan dan serangga perusak kayu. Harganya relatif murah sehingga

mempunyai daya tarik yang tinggi sebagai bahan pengawet kayu. Meskipun

demikian, bahan pengawet asam borat ini mudah mengalami pelunturan. Oleh

(18)

konstruksi rumah (misal rangka atap) dan tidak dianjurkan untuk kayu yang dalam

penggunaannya berhubungan dengan tanah atau kondisi lembab (misalnya pagar).

Sifat yang alkalis membuat asam borat sangat korosif terhadap paku atau besi lain

yang bersinggungan dengannya (Suranto, 2002).

Retensi dan Penetrasi

Retensi adalah kemampuan suatu jenis kayu dalam menyerap bahan

pengawet selama periode waktu tertentu. Retensi dihitung berdasarkan selisih

berat masing-masing contoh kayu sebelum dan sesudah diawetkan (Duljapar,

2001).

Penetrasi adalah kemampuan tembus bahan pengawet ke dalam sel-sel

kayu yang diawetkan. Penetrasi sangat dipengaruhi oleh kadar air kayu, cara

pengawetan yang digunakan, ukuran dan keadaan kayu, serta perbandingan antara

kayu gubal dan teras (Duljapar, 2001).

1.

Menurut Duljapar (2001), tingkat penetrasi bahan pengawet ke dalam kayu

dikategorikan atas lima kelas sebagai berikut :

Penetrasi total (kelas A)

2.

Pada penetrasi ini, bahan pengawet dapat memasuki seluruh sel sel kayu

secara sempurna. Penetrasi ini memang sulit dicapai.

Penetrasi mendekati sempurna (kelas B)

3.

Bahan pengawet dalam penetrasi ini dapat menembus kedalaman 30 mm pada

permukaan kayu tegak lurus arah serat dan sekurang-kurangnya 100 mm pada

bagian ujung-ujungnya.

(19)

4.

Bahan pengawet dapat terpenetrasi sampai kedalaman 10 mm pada bagian

tegak lurus arah serat dan sekurang-kurangnya 50 mm pada bagian

ujung-ujungnya.

Penetrasi sedang (kelas D)

5.

Pada penetrasi sedang, sekurang-kurangnya mencapai kedalaman 1 mm pada

bagian kayu tegak lurus arah serat dan sekurang-kurangnya 10 mm pada

bagian ujung-ujung kayu.

Penetrasi permukaan

Sekurang-kurangnya bahan pengawet dapat menembus kedalaman 0,5 mm

pada bagian kayu tegak lurus arah serat dan sekurang-kurangnya 2 mm pada

bagian ujung-ujungnya.

Kayu Jabon (Anthocepalus cadamba Roxb Miq.)

Jabon merupakan salah satu jenis pohon gugur daun (decidious). Tinggi

jabon mencapai 40-45 meter dengan tinggi bebas cabang (TBS) 30 meter dan

diameter batang setinggi dada (DBH) 100-160 cm. Secara Fisik, batang jabon

relatif ramping, lurus, dan terkadang berbanir kecil dengan tinggi 50-150 cm yang

menyebar sekitar 60 cm keluar dari pangkal batang (Mulyana et al., 2010).

Berdasarkan klasifikasinya, jabon (Anthocephalus. cadamba Roxb. Miq.)

termasuk ke dalam famili Rubiaceae. Menurut (Mansur dan Tuheteru, 2010)

secara lengkap, susunan klasifikasi jabon adalah sebagai berikut.

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh)

Super Divisi : Spermatophyta (menghasilkan biji)

(20)

Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil)

Sub Kelas : Asteridae

Ordo : Rubiales

Famili : Rubiaceae (suku kopi-kopian)

Genus : Anthocepalus

Spesies : Anthocepalus cadamba (Roxb.) Miq.

Jabon memiliki nama yang berbeda di setiap daerah. Dinamai jabun,

hanja, kelampean (Jawa); bance, pute, loeraa, pontua, sugemania, pekaung, toa

(Sulawesi); gumpayan, kelapan, mugawe (NTB); serta aparabire, masarambi

(Papua) (Mulyana et al., 2010).

Sifat Fisis dan Mekanis Kayu Jabon

Sifat fisik, batang jabon memiliki permukaan yang licin dengan tingkat

kelurusan yang sangat baik. Batangnya berwarna putih kekuningan hampir sama

dengan meranti kuning. Batangnya mudah dikupas, dikeringkan, dan direkatkan.

Bebas dari cacat mata kayu dan tingkat susutnya rendah. Kayu jabon dapat

digunakan sebagai bahan baku industri perkayuan. Sementara itu, daunnya dapat

digunakan sebagai bahan pembuatan kompos (Mulyana et al., 2010).

Pada jabon muda, kulit batang berwarna kuning kecoklatan-cokelat dan

bertekstur halus. Makin tua umurnya, tekstur kulit batangnya menjadi

pecah-pecah dan mengelupas. Tajuk pohon berbentuk payung dan berukuran relatif

kecil. Cabang dan rantingnya menyebar secara horizontal. Sementara itu, bentuk

daun jabon agak oval dan elips dengan arah daun saling berhadapan. Daun jabon

berukuran 15-50 cm x 8-25 cm (panjang x lebar) dengan panjang tangkainya 2,5-6

(21)

fisis dan mekanisnya kayu jabon termasuk dalam kelas kuat III dan kelas awet V

(Mulyana et al., 2010)

Stabilitas Dimensi Kayu

Dimensi kayu akan berubah sejalan dengan perubahan kadar air dalam

dinding sel, karena di dalam dinding sel terdapat gugus OH (hidroksil) dan

oksigen lain yang bersifat menarik uap air melalui ikatan hidrogen. Kembang

susut kayu yang paling besar berturut-turut adalah pada bidang tangensial, radial

dan aksial. Komponen kimia penyusun kayu terdiri dari selulosa (45-50%),

hemiselulosa (25-32%), lignin (16-31%), zat ekstraktif (1-8%) dan zat

abu/mineral (<1%) (Sucipto, 2006).

Menurut Haygreen & Bowyer (1996) dalam (Sucipto, 2006), cara untuk

mengurangi perubahan dimensi kayu yang disebabkan oleh air:

1. Menghalangi penyerapan uap air dengan pelapisan produk. Berupa pelapisan

dengan cat dan resin sintetis. Merupakan cara yang umum tapi tidak efektif,

karena tidak satupun yang menghalangi gerakan uap air secara sempurna, tapi

akan memperlambat laju difusi.

2. Menghalangi perubahan dimensi dengan penahanan yang membuat gerakan

menjadi sukar atau tidak mungkin. Masalah pada cara ini adalah terjadinya

tekanan-tekanan internal apabila kayu berusaha mengembang tetapi dihalangi,

sehingga adapat mengakibatkan gangguan bentuk atau cacat kayu.

3. Memperlakukan kayu dengan bahan yang menggantikan semua atau sebagian

air terikat di dalam dinding sel. Dilakukan pada kayu yang masih segar dan

bahan perlakuan tetap tinggal dalam dinding sel ketika kayu tersebut

(22)

(PF) melalui proses impregnasi. Bahan lainnya adalah polietilen glikol (PEG),

berupa seperti lilin yang dilarutkan dengan air.

4. Menghasilkan kayu untuk menghasilkan saling ikatan silang antara gugus

hidroksil dalam dinding sel kayu. Ikatan silang dapat mengurangi

higroskopisitas kayu dengan mengurangi tempat iakatan untuk air di dalam

dinding sel.

5. Pengisian dengan monomer-monomer plastik seperti metil metakrilat dan stiren

akrilonitril. Monomer tersebut dapat dipolimerisasikan dengan radiasi atau

pemanasan dengan katalisator yang sesuai. Monomer tersebut biasanya tidak

seefisien PEG, karena monomer hanya memiliki jalan masuk yang terbatas ke

dinding sel.

Metode Pengawetan Kayu

Metode pengawetan merupakan cara memasukkan bahan pengawet ke

dalam kayu. Menurut Barly et al. (1995) ada beberapa metode pengawetan antara

lain :

a. Metode pengawetan tanpa tekanan, dimana kayu-kayu yang diawetkan secara

pelaburan atau penyemprotan, pencelupan, rendaman dingin dan rendaman

panas.

b. Metode pengawetan dengan tekanan yaitu kayu-kayu yang diawetkan dalam

silinder tertutup dan diberi tekanan

c. Metode difusi, dimana kayu-kayu basah atau kayu-kayu segar diawetkan

dengan bahan-bahan pengawet yang berkonsentrasi tinggi.

d. Sap replacement method, dimana cara ini digunakan hanya untuk balok yang

(23)

Metode pengawetan tanpa tekanan terdiri dari pelaburan/penyemprotan

(brushing and spraying), pencelupan (dipping), rendaman (steeping), rendaman

dingin (cold soaking), dan rendaman panas-dingin (hot and cold bath). Metode

dengan tekanan dan vakum tekan terdiri dari metode sel penuh (full cell) dan sel

kosong (empty cell) (Hunt dan Garrat, 1986).

Menurut Duljapar (2001), metode pengawetan kayu dengan cara

perendaman dapat dibagi dua, yaitu perendaman dingin dan perendaman

panas-dingin. Perendaman dingin dilakukan dengan cara merendam kayu ke dalam

bahan pengawet selama beberapa hari sampai beberapa minggu. Larutan bahan

pengawet yang digunakan dapat berupa bahan pengawet yang larut dalam air atau

larut dalam minyak.

Metode pengawetan kayu dengan cara perendaman ini dilakukan dengan

merendam kayu di dalam bahan pengawet larut air pada suhu kamar. Pemanasan

bahan pengawet sedikit di atas suhu kamar akan membuat proses pengawetan

lebih efektif. Apabila cara ini diterapkan pada kayu kering, baik air maupun bahan

pengawetnya akan masuk ke dalam kayu (Suranto, 2002).

Sedangkan pada proses perendaman panas-dingin, bak perendam kayu

dipanaskan kemudian kayu dimasukkan dan dibiarkan dalam bak sampai larutan

menjadi dingin. Kayu yang akan diawetkan dengan cara ini harus berkadar air

maksimal 45%. (Duljapar, 2001)

Di dalam bak pengawet, kayu tidak boleh terapung, tetapi harus

tenggelam, bahan kayu gergajian harus disusun secara baik dan jarak antar kayu

yang berdampingan harus cukup lebar. Susunan demikian dimaksudkan untuk

(24)

Absorbsi bahan pengawet ke dalam kayu paling intensif terjadi sejak hari

pertama hingga hari ketiga terhitung sejak awal perendaman, tetapi akan terus

berlangsung dengan lebih lambat selama waktu yang tak tertentu. Oleh karena itu,

makin lama bahan pengawet dapat tetap dalam kayu makin baik pengawetan yang

diperoleh. Apabila perendaman ini berlangsung cukup lama, absorbsi dan

peresapannya akan sama atau bahkan melebihi yang diperoleh pada proses

bertekanan, tetapi ini memerlukan perendaman bulanan, atau bahkan dalam

tahunan (Hunt dan Garrat, 1986).

Kekuatan Lentur Statis (Static Bending Strength)

Kekuatan lentur statis adalah ukuran kemampuan kayu untuk menahan

beban yang bekerja tegak lurus sumbu batang di tengah-tengah balok yang

disangga kedua ujungnya sehingga permukaan kayu di bagian atas mengalami

tekanan, sedangkan yang di bawah sumbu netral mengalami tarikan. Balok akan

mengalami pelengkungan di bagian tengahnya. Pelengkungan yang terjadi

dinamakan defleksi.

Dari hasil pengujian kekuatan lentur statis ini akan diperoleh nilai MOE

dan MOR. MOE (Modulus of Elasticity) menunjukkan perbandingan antara

tegangan dan regangan di bawah batas elastis sehingga benda akan kembali ke

bentuk semula apabila beban dilepaskan, sedangkan MOR (Modulus of Rupture)

adalah suatu nilai yang menunjukkan besarnya beban maksimum yang dapat

ditahan atau diterima oleh suatu material, dan nilai ini menunjukkan kekuatan

(25)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan

Program Studi Kehutanan Fakultan Pertanian USU dan Laboratorium Keteknikan

Kayu IPB. Penelitian ini dilaksanakan mulai Desember 2013 sampai Mei 2014.

Bahan dan Alat Penelitian Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu jabon (A.

cadamba Roxb Miq.) berukuran 20 x 5 x 1 cm sebanyak 12 buah untuk pengujian

sifat mekanis, ukuran 20 x 5 x 5 cm sebanyak 12 buah untuk pengujian stabilitas

dimensi dan ukuran 25 x 5 x 5 cm sebanyak 12 buah untuk uji retensi dan

penetrasi dalam kondisi kering udara. Ukuran contoh uji ditentukan berdasarkan

ASTM D 143 tentang pengujian destruktif keteguhan lentur statis. Bahan

pengawet asam borat (H3BO3

Alat Penelitian

), cat untuk melabur kedua ujung contoh uji, air

sebagai bahan pelarut, 2 bahan pereaksi yaitu pereksi pertama terdiri dari 2 gr

ekstrak kurkuma dalam 100 ml alkohol, dan pereaksi kedua terdiri dari 20 ml HCl

dilarutkan dalam 80 ml alkohol dan dijenuhkan dengan asam salisilat.

Alat- alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu gergaji tangan, caliper,

penggaris, meteran, bak rendaman, pemberat, pengaduk, masker, sarung tangan,

(26)

Metode Penelitian

1. Persiapan Contoh Uji

Contoh uji kayu jabon (A. cadamba Roxb Miq.) dibuat denganukuran 20

x 5 x 1 cm sebanyak 12 buah untuk pengujian sifat mekanis dan kayu berukuran

20 x 5 x 5 cm sebanyak 12 buah untuk pengujian stabilitas dimensi, dan kayu

berukuran 25 x 5 x 5 cm sebanyak 12 buah untuk pengujian retensi dan penetrasi.

Kemudian keseluruhan contoh uji dikeringkan dengan kipas angin sampai kadar

air kering udara dan ditimbang berat awalnya.

2. Pengawetan Contoh Uji (Rendaman panas-dingin)

Contoh uji kayu sebelum diawetkan kedua ujungnya dilapisi cat duko

untuk mencegah masuknya bahan pengawet melalui arah longitudinal (khusus

untuk contoh uji sifat mekanis, retensi dan penetrasi) . Pada kegiatan pengawetan

diharapkan bahan pengawet masuk melalui bidang transversal. Sedangkan bahan

pengawet disiapkan sesuai volume perendaman dengan konsentrasi 0, 5, 10 dan

15%.

Metode pengawetan yang dilakukan adalah metode rendaman, yaitu

contoh uji direndam dalam bahan pengawet selama 2 hari masing-masing 3

contoh uji untuk setiap perlakuan. Agar contoh uji terendam dan tidak terapung,

maka contoh uji tersebut diberi pemberat. Pada proses perendaman panas-dingin,

bak perendaman kayu yang berisi bahan pengawet yang telah dipanaskan pada

suhu 100˚C, kemudian kayu dimasukkan dan dibiarkan dalam bak sampai larutan

(27)

3. Pengujian

Setelah proses pengawetan, kayu ditiriskan terlebih dahulu sampai bahan

pengawet tidak menetes. Kayu yang sudah diawetkan ditimbang untuk

mendapatkan berat setelah diawetkan, kemudian dilakukan pengkondisian kayu

menggunakan fan (kipas angin) selama ±3 minggu agar kadar air kayu setelah

diawetkan tidak berbeda jauh dengan kontrolnya.

Pengujian dilakukan dengan metode beban terpusat (one point loading)

yang mengacu pada ASTM D 143. Kecepatan yang digunakan adalah 2,5

mm/detik. Variabel yang diperoleh dari pengujian ini berupa kekakuan lentur

statis atau modulus elastisitas statis (MOE) dan kekuatan lentur (MOR). Pengujian destruktif keteguhan lentur statis

Persamaan pengujian yang digunakan dengan rumus yaitu :

MOE = P. L3 dan MOR =

Δy = perubahan defleksi akibat beban (cm)

b = lebar (cm)

h = tebal (cm)

(28)

Pengujian terhadap stabilitas dimensi kayu

Contoh uji yang sebelumnya telah direndam dengan bahan pengawet

diangkat dan diukur dimensinya (DB), selanjutnya dikeringkan dengan oven pada

suhu 60˚C selama 48 jam dan diukur dimensinya (DK). Contoh uji setelah

direndam dan dikeringkan oven diukur dengan kaliper, dihitung koefisien

pengembangan volume (S) berdasarkan metode perendaman Rowell dan Ellis

(1978) dalam Sanjaya (2001) menggunakan rumus :

S (%) = {(DB/DK) – 1 } x 100

Keterangan :

DB = dimensi contoh uji setelah perendaman

DK = dimensi contoh uji kering oven

Nilai ASE (Antiswelling efficiency) dapat dihitung dari perbedaan antara

nilai pengembangan contoh uji (S) dengan perlakuan pengawetan dan tanpa

perlakuan pengawetan berdasarkan metode Rowell dan Ellis (1978) dalam

Sanjaya (2001) menggunakan rumus :

ASE (%) = {1 – (S2/S1) } x 100

Keterangan :

S2 = koefisien pengembangan volume contoh uji setelah perlakuan

pengawetan

S1 = koefisien pengembangan volume contoh uji tanpa perlakuan pengawetan

4. Pengukuran Retensi dan Penetrasi

Salah satu faktor penentu keberhasilan pengawetan kayu adalah

kesempurnaan fiksasi unsur aktif dari bahan pengawet tersebut dengan zat kayu,

(29)

(luntur). Fiksasi terjadi pada waktu kayu yang sudah diawetkan masih dalam

keadaan basah, oleh karena itu kayu yang sudah diawetkan tidak boleh segera

dikeringkan, tetapi perlu dijaga agar tetap basah selama beberapa waktu tertentu

(Padlinurjaji, 1985 dalam Risnasari, 2002)

Retensi

Sebelum dan sesudah diawetkan contoh uji ditimbang untuk mengetahui

retensi bahan pengawet. Menurut Mulyadi (2011) retensi bahan pengawet

dihitung berdasarkan selisih berat sebelum dan sesudah pengawetan. Retensi

dapat dihitung dengan rumus:

R = B1 – B0 x K

V

Dimana : R = retensi bahan pengawet

B1 = berat contoh uji setelah diawetkan (kg)

B0 = berat contoh uji sebelum diawetkan (kg)

V = volume contoh uji setelah diawetkan (m3)

K = konsentrasi larutan bahan pengawet (%)

Penetrasi

Pengukuran penetrasi dilakukan setelah contoh uji diangin-anginkan

hingga mencapai kadar air kering udara. Contoh uji dipotong-potong

masing-masing 5 cm pada bagian ujung dan pangkal.

Pengukuran penetrasi bahan pengawet dengan melihat penetrasi boron.

Caranya dengan menyemprotkan pereaksi I (2 gr ekstrak kurkuma dalam 100 ml

alkohol). Selanjutnya disemprotkan pereaksi II (20 ml HCl dilarutkan dalam 80

(30)

warna merah jambu yang menandakan adanya unsur boron, kemudian ditandai

batas lebarnya dengan spidol. Pengukuran setiap penampang dilakukan 16 tempat

sehingga disetiap contoh uji terdapat 32 tempat pengukuran dengan menggunakan

kertas millimeter. Besarnya penetrasi adalah rata-rata dari hasil pengukuran

tersebut seperti terlihat pada Gambar 1.

Keterangan :

1,2,3….16 = tempat pengukuran penetrasi

= bagian yang terawetkan

= bagian yang tidak terawetkan

Gambar 1. Pengukuran Penetrasi

5. Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Dalam penelitian ini digunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)

nonfaktorial dengan perlakuan konsentrasi bahan pengawet (0%, 5%, 10% dan

15%). Jumlah ulangan untuk setiap perlakuan adalah 3 kali.

(31)

Yij = μ + αi + εij

Dimana: Yij = nilai pengawetan pada perlakuan ke-i pada ulangan ke-k

μ = nilai rataan umum

αi = pengaruh konsentrasi bahan pengawet ke-i

i = konsentrasi 0%, 5%, 10%, dan 15%

j = ulangan ke 1,2,3

εij = galat percobaan

Untuk mengetahui pengaruh faktor perlakuan terhadap sifat mekanis, sifat

fisis, retensi dan penetrasi dilakukan analisis sidik ragam / Analysis of Variance

(ANOVA). Selanjutnya F-hitung yang diperoleh dari ANOVA tersebut

dibandingkan dengan F tabel pada selang kepercayan 95% dengan kaidah

keputusan :

a. Apabila F-hitung < F-tabel, maka perlakuan tidak memberikan pengaruh

nyata

b. Apabila F-hitung > F-Tabel, maka perlakuan memberikan pengaruh nyata

sehingga menimbulkan perbedaan pada suatu tingkat kepercayaan

Jika hasil analisis sidik ragam memberikan perbedaan yang nyata maka dilakukan

(32)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Retensi

Kemampuan suatu jenis kayu dalam menyerap bahan pengawet selama

periode waktu tertentu disebut retensi. Retensi dihitung berdasarkan selisih berat

masing-masing contoh kayu sebelum dan sesudah diawetkan. Retensi rata-rata

yang diperoleh dari bahan pengawet asam borat terhadap contoh uji kayu jabon

berkisar antara 16,31 kg/m3 sampai dengan 25,31 kg/m3

Gambar 1. Nilai rata-rata retensi bahan pengawet Asam Borat

. Nilai tertinggi diperoleh

dengan konsentrasi 15% sedangkan nilai terendah diperoleh dengan konsentrasi

5%. Secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 1.

Berdasarkan Gambar 1, terlihat bahwa pada konsentrasi 5% diperoleh nilai

sebesar 16,31 kg/m3, kemudian mengalami peningkatan pada konsentrasi 10%

yaitu 23,41 kg/m3, begitu juga pada konsentrasi 15% juga mengalami peningkatan

yaitu sebesar 25,31 kg/m3

Hunt dan Garrat (1986) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi nilai retensi yaitu anatomi kayu, kadar air, kerapatan dan bahan . Hal ini sesuai dengan Suranto (2002) yang menyatakan

bahwa semakin banyak jumlah bahan pengawet murni yang dapat menetap

(33)

pengawet. Kayu jabon yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kadar air

rata-rata 17,74% (Lampiran 1). Nilai kadar air akan berpengaruh terhadap retensi

dan penetrasi bahan pengawet asam borat. Kadar air kayu mempengaruhi

keterawetannya. Kadar air yang diperoleh pada penelitian ini sudah rendah.

Hasil penelitian kerapatan kayu menunjukkan bahwa nilai kerapatan kayu

jabon berkisar antara 0,30 gr/cm3 sampai dengan 0,35 gr/cm3 (Lampiran 2).

Rata-rata kerapatan kayu jabon pada penelitian ini adalah 0,32 gr/cm3

Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa konsentrasi larutan asam

borat berpengaruh nyata terhadap nilai retensi contoh uji kayu jabon seperti

terlihat pada Lampiran 5. Sedangkan pada uji lanjut LSD pada Lampiran 6

menunjukkan bahwa pada konsentrasi 0% (kontrol) berbeda nyata dengan semua

perlakuan, konsentrasi 5% berbeda nyata dengan konsentrasi 10%, tetapi

konsentrasi 10% tidak berbeda nyata dengan konsentrasi 15%.

. Hunt dan Garrat

(1986) menyatakan bahwa kerapatan kayu ikut berpengaruh terhadap penyebaran

bahan pengawet, kerapatan ini tergantung sekali pada kadar air dan bahan

penyusunan di dalam dinding sel. Jika kayu cukup kering maka kerapatannya

memperkirakan banyaknya rongga-rongga udara (rongga sel) yang ada untuk diisi

bahan pengawet, untuk bahan pengawet larut air masuk ke dalam dinding sel

selama proses pengawetan, sedangkan bahan pengawet larut minyak hanya

terbatas pada rongga sel.

Mengacu pada SNI 01-5010.1-1999 maka retensi minimum yang

disyaratkan untuk pemakaian di bawah atap dan diluar atap adalah masing-masing

8,2 kg/m3 dan 11,3 kg/m3 hal ini sesuai dengan hasil dari penelitian ini

(34)

tersebut yaitu berkisar antara 15,83 kg/m3 – 28,94 kg/m3 yang dapat dilihat pada

Lampiran 3.

Penetrasi

Hasil pengukuran penetrasi rata-rata berkisar dari 13 mm sampai dengan

16.8 mm (Lampiran 3). Nilai tertinggi diperoleh pada konsentrasi 10% sedangkan

nilai terendah diperoleh pada konsentrasi 5%. Secara lengkap dapat dilihat pada

Gambar 2.

Gambar 2. Nilai Rata-rata Penetrasi Bahan Pengawet Asam Borat

Berdasarkan Gambar 3, terlihat bahwa penambahan konsentrasi larutan

asam borat 5% menjadi 10% dapat meningkatkan nilai penetrasi namun

mengalami penurunan saat penambahan konsentrasi 15%.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penetrasi adalah anatomi kayu, kadar

air, kerapatan dan bahan pengawet. Beberapa kayu dapat diresapi bahan pengawet

dengan mudah tetapi pada jenis-jenis kayu yang lain sangat sukar untuk diresapi.

Hal ini disebabkan oleh sifat anatomi setiap jenis kayu yang berbeda-beda.

Umumnya, bahan pengawet akan terhalang untuk masuk ke dalam kayu jika

rongga-rongga sel masih banyak mengandung air, bahan pengawet dan metode

(35)

berkurang dengan meningkatnya kerapatan. Selanjutnya dikemukakan oleh Hunt

dan Garrat (1986), bahwa kerapatan kayu ikut berpengaruh terhadap penyebaran

bahan pengawet, kerapatan ini tergantung sekali pada kadar air dan bahan

penyusunan di dalam dinding sel. Jika kayu cukup kering maka kerapatannya

memperkirakan banyaknya rongga-rongga udara (rongga sel) yang ada untuk diisi

bahan pengawet, untuk bahan pengawet larut air masuk ke dalam dinding sel

selama proses pengawetan, sedangkan bahan pengawet larut minyak hanya

terbatas pada rongga sel. Bahan pengawet berupa garam akan memberikan hasil

yang lebih baik dari pada pengawet larut minyak atau berupa minyak karena

proses difusi.

Hasil analisis keragaman pada Tabel 4 menunjukkan bahwa konsentrasi

bahan pengawet berpengaruh nyata terhadap nilai penetrasi contoh uji kayu Jabon.

Sedangkan pada uji lanjut LSD pada Lampiran 6 menunjukkan bahwa pada

konsentrasi 0% (kontrol) berbeda nyata dengan semua perlakuan, tetapi

konsentrasi 5%, 10% dan 15% tidak berbeda nyata.

Menurut Duljapar (2001), tingkat penetrasi bahan pengawet ke dalam

kayu dikategorikan ke dalam lima kelas. Dan untuk kayu Jabon ini tergolong ke

dalam penetrasi permukaan yaitu bahan pengawet sekurang-kurangnya dapat

menembus kedalaman 0,5 mm pada bagian kayu tegak lurus arah serat dan

sekurang-kurangnya 2 mm pada bagian ujung-ujungnya.

Metode pengawetan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan

perendaman yaitu rendaman panas-dingin. Kayu yang diteliti harus diberi

pemberat agar tidak mengapung. Jarak yang digunakan antar kayu harus cukup

(36)

bagi udara yang keluar dari dalam kayu. Menurut Suranto (2002), meresapnya

bahan pengawet ke dalam kayu paling intensif terjadi sejak hari pertama sampai

dengan hari ketiga terhitung sejak awal perendaman.

Stabilitas Dimensi

Stabilitas dimensi kayu dapat dinyatakan dalam tingkat perubahan dimensi

(TPD) yaitu besarnya perubahan dimensi untuk setiap perubahan kadar air (Coto

2005).

Anti pengembangan volume (Anti-Swelling Efficiency, ASE) dapat

dihitung dari perbedaan antara nilai pengembangan contoh uji dengan perlakuan

pengawetan maupun tanpa perlakuan pengawetan. Rata-rata anti pengembangan

volume (ASE) dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 3. Nilai Rata-rata Anti Pengembangan ASE Terhadap Kayu Jabon

Rata-rata nilai ASE contoh uji yang diberi perlakuan konsentrasi 5%, 10%,

15% berkisar antara 4,82% sampai dengan 13,46%. Nilai ASE tertinggi diperoleh

pada perlakuan konsentrasi 10%, nilai ASE terendah diperoleh pada perlakuan

(37)

penurunan dari konsentrasi 10%. Semakin tinggi nilai ASE maka semakin kecil

pengembangan volumenya dan stabilitas dimensi kayu semakin baik.

Nilai ASE ditentukan dengan membandingkan perbedaan persen

pengembangan kayu yang tidak diberi perlakuan (kontrol) dengan persen kayu

yang menggunakan bahan pengawet. Semakin besar nilai ASE berarti semakin

sedikit pengembangan volume yang terjadi pada kayu perlakuan (Sanjaya, 2001).

Pengembangan volume terjadi karena perubahan bentuk akibat meningkat dan

menurunnya air di dalam kayu (dibawah kadar air titik jenuh serat).

Analisis sidik ragam pada Lampiran 9 menunjukkan bahwa perlakuan

konsentrasi tidak berpengaruh nyata terhadap nilai ASE (Anti-Swelling Efficiency)

contoh uji kayu Jabon, meskipun contoh uji mengalami sedikit pengembangan

pada sisi panjang, lebar dan tebal. Pengembangan dimensi yang terjadi yaitu

secara menyeluruh pada permukaan kayu. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Achmadi (1990) bahwa dimensi kayu berubah jika kadar airnya berubah, sebab

polimer dinding sel mengandung gugus hidroksil dan gugus mengandung oksigen

lainnya yang bersifat menarik air melalui ikatan hydrogen. Air ini

mengembangkan dinding sel dan kayu memuai sampai dinding sel jenuh dengan

air. Air yang terdapat setelah titik jenuh serat berada dalam struktur rongga (void

structure) dan tidak mengakibatkan pengembangan lebih lanjut. Proses ini bersifat

dapat balik, kayu menyusut jika melepaskan air dari dinding selnya.

Keteguhan Lentur (MOE)

Keteguhan lentur merupakan ketahanan contoh uji menahan beban dalam

batas proporsi (sebelum patah). Mamlouk dan Zaniewski, 2006 menyatakan

(38)

regangan. Semakin besar nilai defleksi maka semakin kecil nilai MOE. Semakin

rendah MOE berarti kayu semakin lentur. Hasil penelitian yang dilakukan

menunjukkan bahwa nilai MOE rata-rata contoh uji berkisar antara 19415 kg/cm2

sampai dengan 20364 kg/cm2. Pemaparan data MOE secara lengkap dapat dilihat

pada Gambar 4.

Gambar 4. Nilai Rata-rata MOE Contoh Uji Kayu Jabon

Nilai rata-rata MOE tertinggi terdapat pada contoh uji dengan konsentrasi

10% sebesar 203644,87 kg/cm2, sedangkan nilai terendah terdapat pada contoh uji

dengan konsentrasi 0% sebesar 194158,04 kg/m2

Hasil penelitian ini berbeda dengan Hunt dan Garratt (1986) yang

menyatakan bahwa MOE kayu awetan seharusnya lebih rendah daripada MOE

kayu kontrol khususnya pada konsentrasi bahan pengawet yang tinggi.

Penyimpangan ini diduga ada kaitannya dengan konsentrasi larutan bahan

pengawet yang dipakai. Konsentrasi 5% sampai 15% tampaknya tidak cukup

untuk melemakan ikatan kimiawi sel-sel penyusun kayu, tetapi dari grafik diatas

dapat dilihat terjadi penurunan nilai MOE dari 10% ke 15%. .

Putri, (2012) menyatakan bahwa pemberian bahan pengawet dapat

(39)

mengandung garam dapat melemahkan kayu. Lebih lanjut disebutkan bahwa

dibawah kondisi-kondisi pengawetan yang sama, kayu yang diimpregnasi dengan

garam-garam yang larut air menunjukkan tendensi yang lebih besar untuk mudah

hancur daripada kayu yang sama yang diawetkan dengan minyak-minyak

pengawet. Hal ini mungkin disebabkan oleh larutan-larutan air yang cenderung

untuk lebih melunakan kayu dari pada minyak-minyak.

Hasil analisisis sidik ragam selang kepercayaan 95% pada lampiran 10

menunjukkan bahwa pemberian konsentrasi berpengaruh tidak nyata terhadap

nilai MOE.

Keteguhan Patah (MOR)

Keteguhan lentur MOR (modulus of rupture) merupakan kekuatan serat

yang terjadi pada beban maksimum yaitu pada saat benda mengalami kegagalan

(failure), dan dikatakan sebagai kekuatan maksimum(Sulistyawati, 2008). Hasil

penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa nilai MOR rata-rata contoh uji

yang dihasilkan berkisar antara 829,28 kg/cm2 sampai dengan 901,88 kg/cm2

seperti tersaji pada Gambar 5.

(40)

Nilai MOR tertinggi terdapat pada konsentrasi 10% yaitu 901,88 kg/cm2,

sedangkan nilai MOR terendah terdapat pada konsentrasi 0% (kontrol) yaitu

829,28 kg/cm2

Hasil analisisis sidik ragam selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa

pemberian konsentrasi berpengaruh tidak nyata terhadap nilai MOR seperti

terlihat pada Lampiran 11.

. Hasil penelitian menunjukkan bahwa contoh uji yang diberi

perlakuan 10% konsentrasi memberikan nilai MOR yang lebih tinggi. Contoh uji

yang tidak diberi perlakuan (kontrol) memiliki keteguhan patah yang lebih rendah

dibandingkan contoh uji kayu jabon lainnya yang diberi perlakuan konsentrasi

perendaman bahan pengawet. Pemberian konsentrasi 5% sampai 10% cenderung

meningkatkan nilai MOR kayu jabon, namun dari grafik dapat dilihat terjadi

penurunan nilai dari konsentrasi 10% menuju 15%. Ada kemungkinan terjadi

penurunan nilai MOR pada konsentrasi >15% yang menyebabkan nilai MOR akan

(41)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kayu jabon memiliki nilai retensi berkisar antara 16,31 kg/m3 sampai

dengan 25,31 kg/m3, nilai penetrasi berkisar antara 13 mm sampai dengan 16.8

mm dan nilai ASE berkisar antara 4,82% sampai dengan 13,46%. Nilai MOE

berkisar antara 19415 kg/cm2 sampai dengan 20364 kg/cm2, sedangkan nilai

MOR berkisar antara 829,28 kg/cm2 sampai dengan 901,88 kg/cm2

Perbedaan konsentrasi berpengaruh nyata terhadap nilai retensi dan

penetrasi, sedangkan pada nilai stabilitas dimensi, MOE dan MOR, perbedaan

konsentrasi berpengaruh tidak nyata.

.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk uji ketahanan kayu terhadap

(42)

DAFTAR PUSTAKA

[ASTM] American Society Institute, 2005. ASTM D-143. Standard Test Methods for Small Clear Specimens of Timber. In Annual Book of ASTM Standard. United State. Philadelpia.

Achmadi, S. S. 1990. Kimia Kayu. Departemen Pendidikan dan Kebudayan. Direktorat Jenderal pendidikan Tinggi Pusat Universitas Ilmu Hayat IPB. Bogor.Ditjen POM. 1995. Farmakope Indonesia Edisi ketiga. DepKes RI: Jakarta.

Coto Z. 2005. Penurunan Kadar Air Keseimbangan dan Peningkatan stabilitas Dimensi Kayu dengan Pemanasan dan Pengekangan. Jurnal Ilmu & Teknologi Kayu Tropis 3 (1): 27-31.

Duljapar, K. 2001. Pengawetan Kayu. Jakarta: Penebar Swadaya.

Dumanauw, J. F. 2001. Mengenal Kayu. Semarang: Kanisius.

Hadikusumo, S.A dan Wahyudi, A. 2005. Pengawetan Kayu Akasia Dengan Asap Cair Kayu Bangkirai Untuk Mencegah Serangan Rayap Kayu Kering. Prosiding Seminar Nasional Mapeki VIII. Tenggarong, Kutai Kartanegara, 3 – 5 September 2005.

Hidayat, M. Y. 2006. Evaluasi Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Sengon (Paraserianthes Falcataria (L) Nielsen) Pada Beberapa Satuan Kelas Lereng. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Hunt G.M, dan G.A. Garrat. 1986. Pengawetan Kayu (Terjemahan). Yogyakarta. Gajah Mada University Press.

Mansur, I dan Tuheteru, F D. 2010. Kayu Jabon. Jakarta: Penebar Swadaya.

Mardikanto TR, Karlinasari L, Bahtiar ET. 2009. Sifat Mekanis Kayu. Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Mamlouk, M.S., and Zaniewski, J.P., 2006. Materials for Civil and Construction Engineer, Pearson Education, Inc. Prentice Hall. Hal 3-7.

Mashuri. 2012. Struktur Kayu. Retrived from

(43)

Mulyadi, I. 2011. Pengaruh Perbedaan Perlakuan Awal (Sebelum Kayu Diawetkan) Terhadap Penetrasi dan Retensi Diffusol-CB Pada Kayu Mindi (Melia azedarach L). [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Mulyana, D., Asmarahman, C., Fahmi, I. 2010. Bertanam Jabon. Jakarta: AgroMedia Pustaka.

Prasetyo, S. 2012. Efektivitas Pengawetan Kayu Terhadap Serangan Rayap Dengan Menggunakan Bahan Pengawet Ekstrak Tembakau Dan Urea. [Jurnal Teknik Sipil]. Yogyakaarta: Fakultas Teknik, Universitas Negeri Yogyakarta.

Putri, N. 2012. Pengawetan Kayu Karet (Hevea Braziliensis Muell Arg) Menggunakan Asam Borat (H3bo3) Dengan Metode Pengawetan

Rendaman Panas Dingin. [Skripsi]. Medan: Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Risnasari, I. 2002. Tanin. [Skripsi]. Medan: Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Sanjaya, 2001. Pengaruh Anhidridasetat Terhadap Struktur Molekuler Kayu dalam Stabilitas Dimensi kayu Pinus merkusii. Jurnal Manajemen Sriwijaya. 1(6):21-32.

[SNI] Standar Nasional Indonesia Nomor 03-3233-1998. Pengawetan Kayu untuk Perumahan dan Gedung. Badan Standardisasi Nasional Indonesia: Jakarta.

Sucipto, T. 2009. Stabilitas Dimensi Kayu. Medan: Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Sulistyawati, I. 2008. Kekakuan dan Kekuatan Lentur Maksimum Balok Glulam dan Utuh Kayu Akasia. Jurnal Teknik Sipil Trisakti. Vol. 15 No. 3

Suranto, S., 2002. Pengawetan Kayu Bahan dan Metode. Yogyakarta: Kanisius

(44)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Kadar Air Kayu Jabon Sebelum Pengawetan

(45)

Keterangan :

0 = kayu yang tidak diberi perlakuan konsentrasi (kontrol)

1 = kayu yang akan diberikan konsentrasi 5%

2 = kayu yang akan diberikan konsentrasi 10%

3 = kayu yang akan diberikan konsentrasi 15%

A, B, C= ulangan

Lampiran 2. Kerapatan Kayu Jabon

Kayu kerapatan (g/cm3)

20x5x5

0 0A 0,34

0B 0,30

0C 0,35

Rata-rata 0,33

I IA 0,31

IB 0,34

IC 0,35

Rata-rata 0,33

II 2A 0,30

2B 0,33

2C 0,31

Rata-rata 0,31

III 3A 0,31

3B 0,31

3C 0,32

(46)

Lampiran 3. Hasil Perhitungan Retensi (kg/m3) dan Penetrasi (mm) Bahan Pengawet Asam Borat (H3BO3) pada Kayu Jabon

Lampiran 4. Nilai MOE dan MOR Kayu Jabon

Kayu MOE (kg/cm2) MOR (kg/cm2)

0 0A 191612,58 834,38

0B 193557,88 856,67

0C 197303,67 796,81

rata-rata 194158,04 829,29

5% 1A 211724,9 932,88

2A 197569,44 888,16

3A 194429,12 740,8

rata-rata 201241,15 853,95

10% 2A 190654,51 883,01

2B 202388,82 899,72

2C 217891,26 922,91

rata-rata 203644,86 901,88

15% 3A 215357,65 931,62

3B 150421,18 678,38

3C 221805,48 934,34

rata-rata 195861,44 848,11

Konsentrasi Ulangan Retensi (kg/m3) Penetrasi (mm)

(47)

Lampiran 5. Analisis Keragaman Retensi Bahan Pengawet Asam Borat

SK Db JK KT F.Hitung F.Tabel

Konsentrasi 3 1192,946 397,649 139,283* 4,066

Galat 8 22,840 2,855

Total 11 1215,786

*= berpengaruh nyata

Lampiran 6. Uji Lanjut LSD Retensi

Konsentrasi Rerata Notasi

0% 0 a

5% 16,31 b

10% 23,42 c

15% 25,31 c

Lampiran 7. Analisis Keragaman Penetrasi Bahan Pengawet Asam Borat

SK Db JK KT F.Hitung F.Tabel

Konsentrasi 3 4,914 1,638 29,905* 4,066

Galat 8 0,438 0,055

Total 11 5,352

*= berpengaruh nyata

Lampiran 8. Uji Lanjut LSD Penetrasi

Konsentrasi Rerata Notasi

0% 0 a

5% 1,33 b

10% 1,68 b

15% 1,30 b

Lampiran 9. Analisis Keragaman Nilai ASE Contoh Uji Kayu Jabon

SK Db JK KT F.Hitung F.Tabel

Konsentrasi 3 359,580 119,859 0,471 4,066

Galat 8 2036,027 254,503

(48)

Lampiran 10. Analisis Keragaman MOE Contoh Uji Kayu Jabon

SK Db JK KT F.Hitung F.Tabel

Konsentrasi 3 1787796011,2 59593200.41 0,129 4.066 Galat 8 3677828124 459728515.5

Total 11 3856607873,65

Lampiran 11. Analisis Keanekaragaman Nilai MOR Contoh Uji Kayu Jabon

SK Db JK KT F.Hitung F.Tabel

Konsentrasi 3 5106,917 1702,30 1,147 4,066

Galat 8 11864 1483

Gambar

Gambar 1. Nilai rata-rata retensi bahan pengawet Asam Borat
Gambar 2. 20Nilai Penetrasi (mm)
Gambar 3. Nilai Rata-rata Anti Pengembangan  ASE Terhadap Kayu Jabon
Gambar 4. Nilai Rata-rata MOE Contoh Uji Kayu Jabon
+2

Referensi

Dokumen terkait

Cabang Batu sudah bagus, dengan mengedepankan mutu dan dan kualitas produk terbukti dengan meningkatnya jumlah MPF tiap tahunya.” Strategi pemasaran prduk yang dilakukan oleh Bank

(2006) mendefinisikan hutan mangrove sebagai hutan yang terutama tumbuh pada tanah lumpur aluvial di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, dan

[r]

Reaksi yang terjadi bersifat eksotermis sehingga untuk menjaga agar suhu reaksi konstan adalah dengan pemasangan jaket pendingin pada reactor.Produk dari reaktor adalah asam

Dari beberapa definisi tersebut di atas, maka kepuasan pernikahan dalam penelitian ini berarti apa yang dirasakan oleh suami atau istri terhadap kehidupan pernikahannya,

Salah satu masalah pemasangan fistula rumen karena tidak sesuainya antara lingkaran atau lubang hasil penyayatan (operasi) yang dibuat dengan karet fistula yang akan dipasang

Muamalat Indonesia Kantor Cabang Jember adalah dengan adanya peranan Customer service yang baik dalam proses perbankan serta untuk meningkatkan loyalitas nasabah penabung