TINJAUAN HUKUM TERHADAP PENGELUARAN AREAL
HAK GUNA USAHA DAN PELEPASAN ASSET NEGARA
ATAS TANAH YANG DIKUASAI OLEH PT. PERKEBUNAN
NUSANTARA-II
TESIS
Oleh :
ELFACHRI BUDIMAN
037005003
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2004
Elfachri Budiman : Tinjauan Hukum Terhadap Pengeluaran Areal Hak Guna Usaha Dan Pelepasan…, 2004
Elfachri Budiman : Tinjauan Hukum Terhadap Pengeluaran Areal Hak Guna Usaha Dan Pelepasan…, 2004
USU Repository © 2007
T I N J A U A N H U K U M T E R H A D A P P E N G E L U A R A N A R E A L H A K G U N A U S A H A DA N P E L E P A S A N A S S E T N E G AR A A T A S T A N A H Y A N G
D I K U A S A I O L E H PT. PERKEBUNAN NUSANTARA-II
E l f a c h r i B u d i m a n *
INTI SARI
Berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 ditentukan bahwa status hak atas tanah yang dikuasai PT. Perkebunan Nusantara-II (PTPN-II) sebagai badan hukum yang bergerak di bidang usaha perkebunan adalah Hak Guna Usaha (HGU). HGU PTPN-II eks. PTP-IX dan PTP-II, eks. PTP-IX eks. PPN Tembakau Deli, semula berasal dari hak konsesi NV. VDM dengan areal seluas ± 250.000 Ha. Oleh karena adanya penggarapan/pendudukan rakyat, terjadi beberapa kali penciutan/pengeluaran areal berdasarkan rekomendasi beberapa Tim Penyelesaian Tanah Garapan seperti KPPT, KRPT, BPPST, Panitia Landreform, Tim Inventarisasi, TPTGA dan Tim Tanah, sehingga sampai tahun 1997 areal PTPN-II hanya tinggal s e l u a s 4 3 . 2 4 1 , 3 4 H a . B e g i t u j u g a P a n i t i a B P l u s m e n g u s u l k a n penciutan/pengeluaran areal HGU PTPN-II seluas 5.873,06 Ha yang dikuatkan dengan Keputusan Kepala BPN No. 42, 43, 44/HGU/BPN/2002 dan No. 10/HGUMPN/2004 dengan menegaskan tanah seluas 5.873,06 Ha tersebut sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh negara yang pengaturan selanjutnya diserahkan kepada Gubsu setelah memperoleh ijin pelepasan asset dari Menteri yang berwenang. Adanya klausula mengenai ijin pelepasan asset, menimbulkan pertanyaan, bagaimana sebenarnya status hukum tanah yang dikeluarkan dari areal HGU PTPN-II
Penelitian dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai status hukum terhadap tanah yang dikeluarkan dari areal HGU PTPN-II, pelaksanaan pengeluaran areal HGU dan pelepasan asset Negara atas tanah yang dikuasai oleh PTPN-II dan kendala-kendala yang dihadapi dalam pengeluaran areal HGU dan pelepasan asset Negara. Penelitian dilakukan di Kantor Wilayah BPN Propinsi Sumatera Utara, dengan pendekatan yuridis normatif, menggunakan bahan penelitian dari data primer data sekunder dan alat penelitian berupa studi dokumen dan wawancara dengan responden yang ditentukan. Kemudian data dianalisis secara kualitatif dan menghasilkan data deskriptif.
Elfachri Budiman : Tinjauan Hukum Terhadap Pengeluaran Areal Hak Guna Usaha Dan Pelepasan…, 2004
USU Repository © 2007
Hasil penelitian menunjukan bahwa terjadi penciutan/pengeluaran areal HGU PTPN-II dalam enam tahapan, tahapan keenam dilakukan atas usul Panitia B Plus yaitu atas tanah seluas 5.873,06 Ha. Status hukum tanah seluas 5.873,06 Ha tersebut berdasarkan Keputusan Kepala BPN No. 42, 43 dan 44/HGU/BPN/2002 dan No. 10/HGU/BPN/2004 menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara sehingga sesuai dengan ketentuan Hukum Agraria berakhirlah hubungan hukum antara bekas pemegang hak dengan tanahnya, pengaturan selanjutnya atas tersebut dilakukan oleh Pemerintah. Namun karena terdapat hal khusus berupa latar belakang usulan pengeluaran HGU disebabkan adanya kebijakan politis Pempropsu dengan mensyaratkan konsultasi terhadap setiap penyelesaian perpanjangan HGU yang diikuti dengan pembentukan Panitia B Plus selanjutnya penyerahan pengaturannya kepada Gubsu setelah memperoleh ijin pelepasan asset, hubungan hukum antara PTPN-II dengan tanah yang dikeluarkan dari HGU tersebut belum dapat diakhiri secara yuridis, dengan alasan hak keperdataan atas tanah tersebut masih melekat pada bekas pemegang hak sebelum ada pelepasan dari asset negara. Hal itu pada prinsipnya tidak sesuai dengan ketentuan dalam pasal 2 dan 4 UUPA.
Kendala belum diterbitkannya ijin pelepasan asset oleh Menteri Negara BUMN kendati Gubsu telah mengajukan surat permohonkan sebanyak 3 (tiga) kali, antara lain sikap PTPN-II yang tidak ikhlas menerima kebijakan politis Gubsu dalam pengeluaran areal HGU dan belum adanya kesepakatan antara Gubsu dengan PTPN-II mengenai ganti rugi tanahnya dan kejelasan tindak lanjut pengaturannya, sehingga pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum balk bagi PTPN-II dan rakyat penutut/penggarap dan Gubsu. Upaya yang ditempuh adalah mengadakan musyawarah mufakat antara PTPN-II dengan Gubsu untuk menyelesaikan kendalakendala tersebut.
Disarankan agar setiap pengeluran areal I-IGU yang terkait dengan asset Negara dilakukan secara simultan dengan pelepasan assetnya dan setiap penanganan permohonan HGU maupun penyelesaian tuntutan/garapan rakyat dihindarkan kebijakan yang bernuansa politis dan tetap didasarkan pada aturan hukum pertanahan (yuridis-telcnis), sehingga dicapai kepastian hukum bagi semua pihak.
Elfachri Budiman : Tinjauan Hukum Terhadap Pengeluaran Areal Hak Guna Usaha Dan Pelepasan…, 2004
USU Repository © 2007
A REVIEW OF CONCESSION AREA CONFISCATION AND STATE- OWNED ASSET RELEASE CONCERNING THE LAND POSSESSED BY
P.T. PERKEBUNAN NUSANTARA II
E l f a c h r i B u d i m a n
ABSTRACT
Based on Agrarian Law No.5/1960 and Government Regulation No.40/1996, the status of land possessed by P.T. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) is Concession Right. The Concession Right currently possessed by PTPN-II (ex PTPIX and PTP-II, ex PTP IX, ex PPN Tembakau Deli) is originally from the one belonged to NV.VDM covering the area of about 250.000 hectares. Occupied and worked by the local people and based on the recommendation of the team for occupied/worked land solution, the land has been reduced several phases that in 1997 the area of PTPN-II was only 43,241.34 hectares. The sixth phase, the reduction of 5,873.06 ha, was suggested by B Plus Committee and confirmed by the Decree of Head of National Board for Land Affairs No.42,43,44/HGU/BPN/2002 and No. 10/HGU/BPN/2004 stating that the 5,873.06 hectares of land is directly under state control whose further administration is delegated to the Governor of Sumatera Utara after the letter of permission of asset release is issued by the authorized minister. The existence of clause on asset release permission leads to a question about the legal status of the land confiscated from PTPN-II's concession area.
The purpose of this study is to examine the legal status of the land confiscated from PTPN-It's concession area, and the constraints faced during the execution of concession area confiscation and the release of state-owned assets concerning the land possessed by PTPN-II. This study was conducted in the Sumatera Utara Regional Office of National Board for Land Affairs employing juridical normative approach. Primary data were obtained through an interview and secondary data were collected through library research. To produce descriptive data, the data obtained were qualitatively analyzed.
The findings reveal that since the permission to release state-owned assets is not issued yet by the Minister of State-Owned Enterprises (BUMN), the relationship between PTPN-II and the 5,873.06 hectare confiscated concession area is not yet legally ended because according to the civil law the concession right holder (PTPN11) still reserves the right to the land before it is released from state-owned assets which, in principle, is contradictory with what stated in Articles 2 and 4 of Agrarian Law. There is no legal certainty that can be used by the Governor of Sumatera Utara, PTPN-II and the local people to help them solve the problem they are facing. Therefore; it is suggested that any confiscation of concession area related to state-owned assets be simultaneously executed with the asset release, and any application for concession right and solution to the claim of local people who work on the concession area be solved without involving policy with political nuance and keep being based on the rules of agrarian law (juridical-technical) in order to attain a legal certainty for all parties.