• Tidak ada hasil yang ditemukan

Belenggu-Belenggu Patriaki Yang Dihadapi Oleh Tokoh Utama Dalam Novel The Bell Jar Karya Sylvia Plath

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Belenggu-Belenggu Patriaki Yang Dihadapi Oleh Tokoh Utama Dalam Novel The Bell Jar Karya Sylvia Plath"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

FACED BY MAIN CHARACTER

IN SYLVIA PLATH’S THE BELL JAR

SKRIPSI

Diajukan untuk menempuh Ujian Sarjana Pada Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra

Universitas Komputer Indonesia

RIKA AGUSTIN NIM. 63705805

JURUSAN SASTRA INGGRIS FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA BANDUNG

(2)

iv

ABSTRAK

Skripsi ini menganalisis belenggu-belenggu patriarki yang dihadapi oleh tokoh utama di dalam novel The Bell Jar karya Sylvia Plath. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan menjelaskan mengenai belenggu patriarki yang muncul serta upaya apa saja yang dilakukan oleh tokoh utama dalam menghadapi belenggu-belenggu patriarki tersebut.

Metode deskriptif analisis dan pendekatan feminisme radikal digunakan dalam penelitian ini. Metode deskriptif analisis tersebut digunakan untuk mengumpulkan, mengklasifikasikan, serta menginterpretasikan data yang kemudian dianalisis berdasarkan teori feminisme radikal. Teori tersebut akan digunakan untuk mengidentifikasi belenggu-belenggu patriarki yang muncul di dalam novel.

Belenggu patriarki yang ditemukan dalam novel tersebut terjadi dalam dua aspek, yaitu secara biologis dan sosiologis. Secara biologis, belenggu yang dihadapi lebih terarah kepada tubuh perempuan beserta atributnya, khususnya karena sistem reproduksi yang dimiliki oleh perempuan. Sementara Secara sosiologis, belenggu yang terjadi lebih menekankan kepada konstruksi sosial mengenai pencitraan atau strerotipe terhadap perempuan, yang menyebabkan ketimpangan gender dalam hal pembagian pekerjaan dan pendidikan.

(3)

v ABSTRACT

This thesis analyzes the patriarchal oppression faced by the main character in Sylvia Plath’s The Bell Jar. This research aims to describe and explain the patriarchal oppresssion faced by main character and the efforts taken by the main character.

The descriptive analysis method and radical feminism approach are used in this research. Descriptive analysis method is used to collect, classify and interpret the data, then the data are analyzed by the radical feminism theory. The radical feminism theory is used to identify the patriarchal oppression in the novel.

The patriarchal oppression that emerge in the novel occurs in two aspects; biological and sociological. In biological, woman’s oppression is more directed to women’s body and its attributes, particulary because the reproduction system. Whereas, in sociological, woman’s oppression occurances is caused by the social construction with stereotype towards woman and it causes gender inequality to occur in work and education division.

(4)

vi

karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Pada kesempatan ini, penulis juga berterimakasih kepada pihak-pihak yang terkait secara langsung dalam penulisan skripsi yang berjudul “Belenggu-Belenggu Patriarki Yang Dihadapi Oleh Perempuan Dalam Novel The Bell Jar Karya Sylvia Plath” ini :

1. Prof. Dr. H. Moh. Tadjuddin, MA, Dekan Fakultas Sastra UNIKOM. 2. Retno Purwani Sari,S.S.,M.Hum, Ketua Jurusan Sastra Inggis UNIKOM. 3. Asih Prihandini, M.Hum, Wakil Ketua Jurusan Sastra Inggis dan Koordinator

Skripsi.

4. Nungki Heriyati, S.S.,MA, Pembimbing Pertama. 5. Nenden Rikma Dewi, S.S, Pembimbing Kedua. 6. Dr. Juanda, Dosen Wali.

(5)

vii

(6)

1 1.1 Latar Belakang Masalah

Gender merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan

kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran dan

kesempatan tersebut terjadi baik di dalam kehidupan keluarga maupun

masyarakat, yang dikarenakan oleh pencitraan terhadap perempuan dan

laki-laki. Perempuan sering kali dikenal sebagai makluk yang lemah lembut,

cantik, emosional, pasif dan keibuan, sementara laki-laki dianggap sebagai

makhluk yang kuat, agresif, dan perkasa. Sering kali pencitraan tersebut

dapat menimbulkan diskriminasi terhadap perempuan.

Diskriminasi terhadap perempuan telah terjadi sejak berabad-abad

lamanya. Hal ini dapat dilihat pada zaman dahulu, sekitar abad 18 ketika

perempuan tidak bisa mendapatkan pendidikan tinggi dan hanya laki-laki

yang dapat memperoleh pendidikan tinggi. Diskriminasi lain juga dapat

dilihat pada budaya Inggris, dimana perempuan yang telah menikah sering

kali tidak dapat menyembunyikan identitas mereka sendiri karena harus

menyandang sebutan “Mrs”, tetapi aturan tersebut tidak berlaku bagi kaum

(7)

yang belum atau telah menikah. Hal tersebut merupakan salah satu

diskriminasi untuk sebagian perempuan, dimana para perempuan yang sudah

menikah tidak dapat menyembunyikan status pernikahan mereka, tetapi

laki-laki dapat menyembunyikan status pernikahan mereka.

Melihat adanya ketimpangan sosial dan diskriminasi terhadap

perempuan, seperti contoh tersebut diatas, lahirlah sebuah gerakan

perempuan yang disebut feminisme. Kata feminisme berasal dari bahasa

Latin 'Femina' yang berarti 'wanita'. Feminisme merupakan filsafat sosial

yang peduli terhadap hak-hak dan masalah-masalah perempuan. Feminisme

juga merupakan teori sosial atau gerakan politik yang terbentuk dan

termotivasi dari pengalaman-pengalaman yang dialami kaum perempuan serta

terbentuk atas kesadaran kaum perempuan bahwa mereka tertindas dan

tereksploitasi. Gerakan ini mengkritisi ketidaksetaraan gender dan menuntut

hak-hak perempuan, terutama terhadap penindasan patriarkal dan seksisme.

Munculnya gerakan ini pun membuat banyak penulis perempuan

mulai menulis, baik tentang representasi dari kehidupan sosial maupun

tentang perempuan. Banyak dari mereka juga menulis tentang perempuan

dan diskriminasi gender yang mereka hadapi, baik secara terang-terangan

mereka gambarkan maupun secara bias, yang dapat dianalisis menggunakan

pendekatan feminisme. Seperti yang terdapat dalam novel Sylvia Plath The Bell

(8)

Novel tersebut merupakan sebuah novel semi autobiografi dari Sylvia

Plath. Novel ini menceritakan tentang seorang perempuan muda yang cerdas

dan memiliki talenta dalam menulis. Novel ini menggambarkan bagaimana

perempuan tersebut menghadapi belenggu-belenggu patriarki di dalam

kehidupannya, dimana ia sangat memiliki ambisi untuk menjadi seorang

penulis yang sukses dan menjadi perempuan yang mandiri di dalam

lingkungan yang lebih didominasi oleh laki-laki. Sehingga novel tersebut

dapat dianalisis menggunakan pendekatan feminisme, khususnya feminisme

radikal.

Seperti yang diasumsikan oleh feminisme radikal, bahwa penindasan

terhadap perempuan adalah hasil dari sistem seks dan gender. Maka, sangat

tepat apabila novel tersebut dianalisis menggunakan pendekatan feminisme

radikal. Di mana pendekatan feminisme tersebut dapat digunakan untuk

mengungkapkan belenggu-belenggu patriarki yang dihadapi oleh tokoh

utama dan mengungkapkan upaya apa saja yang dilakukan tokoh utama

(9)

1.2 Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini, terdapat dua rumusan masalah agar pokok

pembahasan dalam penelitian ini lebih spesifik, diantaranya :

1. Belenggu-belenggu patriarki apa yang dihadapi oleh Esther

Greenwood sebagai tokoh utama dalam novel The Bell Jar ?

2. Upaya apa saja yang dilakukan Esther Greenwood dalam melawan

belenggu-belenggu patriarki tersebut?

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

Penelitian ini dibuat dengan tujuan sebagai berikut :

1. Mengungkapkan belenggu-belenggu patriarki yang dihadapi oleh

Esther Greenwood.

2. Mengungkapkan upaya apa saja yang dilakukan Esther Greenwood

dalam melawan belenggu-belenggu patriarki tersebut.

1.4 Kegunaan Penelitian

Pada dasarnya, penelitian ini diharapkan agar dapat memberikan

kontribusi terhadap perkembangan bidang sastra di Fakultas Sastra

(10)

baru dan beberapa informasi serta kontribusi yang berguna dibidang sastra,

khususnya mengenai feminisme radikal.

Secara pribadi, penelitian ini diharapkan dapat membuat penulis

mengetahui lebih dalam mengenai feminisme dan perempuan dalam

kehidupan ini. Selain itu, diharapkan dapat membuat penulis menjadi lebih

peduli terhadap kaum perempuan dan ketidaksetaraan gender yang

dihadapi oleh perempuan.

1.5 Kerangka Pemikiran

Objek pada penelitian ini adalah belenggu-belenggu patriarki yang

dihadapi oleh tokoh utama dalam novel yang berjudul The Bell Jar karya

Sylvia Plath. Oleh karena fokus utamanya adalah tokoh utama, maka penulis

menggunakan metode karakterisasi, seperti showing (metode tidak langsung)

yaitu metode katakterisasi berdasarkan dialog langsung dan tingkah laku para

tokoh. Telling (metode langsung) yaitu metode karakterisasi berdasarkan

tuturan langsung dari pengarang.

Dalam menganalisis belenggu-belenggu patriarki tersebut, penulis

membagi belenggu-belenggu tersebut ke dalam dua aspek; sosiologis dan

biologis. Kemudian, belenggu-belenggu tersebut dianalisis menggunakan teori

dari feminisme radikal. Feminisme radikal adalah feminisme gelombang

kedua yang bertujuan memahami ketidaksetaraan gender dan fokus pada

(11)

berpendapat bahwa penindasan perempuan adalah akibat dari sistem

patriarki dan berasumsi bahwa sumber penindasan tersebut berdasarkan

pada sistem seks dan gender. Seks mengacu pada organ biologis, terdiri dari

laki-laki dan perempuan. Gender adalah konstruksi sosial mengenai perbedaan

peran dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan karena mereka memiliki

karakteristik yang berbeda. Perempuan berdasarkan sistem gender dibentuk

sebagai orang yang pasif, tidak rasional, lembut, dan lemah. Sementara

laki-laki sebagai orang yang aktif, rasional, dan kuat. Berdasarkan strereotipe

tersebut, perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang berbeda

sehingga menimbulkan diskriminasi terhadap perempuan.

Dalam menganalisis belenggu-belenggu patriarki yang terjadi pada

tokoh utama, teori Kate Millet digunakan. Millet menyatakan bahwa akar

opresi terhadap perempuan sudah terkubur dalam sistem seks dan gender dalam

budaya patriarki. Millet juga berpendapat bahwa kendali laki-laki di dunia

publik dan pribadi menimbulkan diskriminasi. Ideologi patriarkal

membesar-besarkan perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan serta memastikan

bahwa laki-laki selalu berperan maskulin atau dominan, sedangkan

perempuan selalu berperan subordinat atau feminin.

Kate Millet juga mengatakan bahwa secara sosiologi, sistem patriarki

yang membelenggu perempuan dapat terlihat pada institusi keluarga dan

kehidupan sosial. Dimana terdapat perbedaan peran dan kesempatan antara

laki-laki dan perempuan. Misalnya saja, peran dan kesempatan perempuan di

(12)

Karya sastra

diakui sebagai warganegara, tetapi mereka

untuk terlibat aktif dalam pemerinta

as utama perempuan adalah menangani pe

ngga).

rangka pemikiran dalam proses analisis ini

(13)

8

Sesuai dengan tema dari penelitian ini yaitu belenggu-belenggu

patriarki yang dihadapi oleh tokoh utama dalam novel The Bell Jar, yang juga merupakan studi mengenai feminisme radikal. Maka, dalam bab ini akan dibahas mengenai novel, karakter dan karakterisasi, feminisme, feminisme

radikal serta sistem patriarki.

2.1 Novel

Novel merupakan salah satu jenis karya sastra yang biasanya berbentuk cerita atau narasi. Novel muncul di Spanyol pada abad ke- 17,

kemudian mulai berkembang di Inggris pada abad ke- 18. Kata novel sendiri berasal dari bahasa Italia “Novella” yang berarti sebuah kisah atau sepotong

berita. Kata novella tersebut juga sering kali digunakan untuk menyebut sebuah prosa pendek, karena novella biasanya hanya terdiri kurang dari 200 halaman. Berbeda dengan novel, yang terdiri dari 200 halaman lebih.

Terdapat berbagai jenis novel, diantaranya picaresque novel yang menceritakan pengalaman-pengalaman kehidupan sosial masyarakat. Historical

(14)

sejarah. Satrical novel, yaitu novel yang berisi kritikan-kritikan terhadap bidang sosial politik. Serta detective novel, yaitu novel yang menceritakan

kejahatan-kejahatan dan menceritakan bagaimana kejahatan-kejahatan tersebut terungkap.

Novel juga merupakan karya sastra yang sering digunakan untuk menggambarkan dan mengespresikan kehidupan sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Michel Zerrafa dalam Elizabeth mengatakan bahwa novel tidak

terlepas dari fenomena-fenomena sosial dan juga terikat pada peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam kehidupan sosial. Ini terlihat dalam kutipan

Michel Zerrafa berikut ini “ The form of and content of the novel derive more closely from social phenomena; novel often seem bound up with particular moments in the history of society”. (1973 : 35).

Di dalam novel juga terdapat beberapa unsur-unsur pembangun karya sastra, antara lain adalah karakter dan karakterisasi. Karakter dan karakterisasi

akan dibahas lebih lanjut, karena objek dalam penelitian ini adalah karakter dalam sebuah novel.

2.1.1 Karakter

Menurut Echols dan Shadily dalam Metode Karakterisasi Telaah Fiksi

(15)

sendiri. Karakter berarti watak, peran (Minderop, 2005 : 2). Horby dalam Minderop pun mengatakan bahwa karakter bisa berarti orang, masyarakat, ras,

sikap mental dan moral, kualitas nalar, orang terkenal, tokoh dalam karya sastra, reputasi dan tanda atau huruf (Minderop, 2005 : 2).

Sudjiman dalam buku Pengantar Teori Sastra karya Wahyudi Siswanto, membedakan karakter yang ditinjau dari peranan dan keterlibatan dalam cerita, yang terdiri atas tokoh primer (utama), tokoh sekunder (tokoh

bawahan) dan tokoh komplementer (tambahan). Tokoh primer atau tokoh utama, adalah tokoh yang paling banyak mengalami peristiwa di dalam cerita.

Tokoh bawahan dan tokoh komplementer adalah tokoh-tokoh yang mendukung atau membantu tokoh utama. (Siswanto, 2008 : 143)

Meskipun terdapat berbagai jenis karakter di dalam sebuah karya sastra,

tetapi hanya ada satu karakter atau tokoh yang sering menjadi sorotan, yaitu tokoh utama. Tokoh ini selalu menjadi wacana utama bagi penikmat karya

sastra atau pembaca. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dipilih tokoh utama sebagai objek penelitian, yang juga merupakan tokoh sentral di dalam cerita dan mengalami berbagai peristiwa di dalam novel tersebut.

2.1.2 Karakterisasi

(16)

metode karakterisasi berdasarkan Pickering dan Hoeper dalam Minderop adalah metode langsung (telling) dan metode tidak langsung (showing).

Metode telling mengandalkan pemaparan watak tokoh pada eksposisi dan komentar langsung dari pengarang. Metode showing memperlihatkan

pengarang menempatkan diri di luar kisahan dengan memberikan kesempatan kepada para tokoh untuk menampilkan perwatakan mereka melalui dialog dan action (Minderop, 2005 : 6).

Metode Telling mencakup karakterisasi melalui penggunaan nama tokoh, karakaterisasi melalui penampilan tokoh, dan melalui tuturan

pengarang. Metode showing mencakup dialog dan tingkah laku, karakterisasi melalui dialog, apa yang dikatakan penutur, jatidiri penutur, lokasi dan situasi percakapan, jatidiri tokoh yang dituju oleh penutur, kualitas mental

para tokoh, nada suara, penekanan, dialek, dan kosa kata para tokoh. Karakterisasi para tokoh mencangkup : ekspresi wajah dan motivasi yang

melandasi tindakan tokoh (Minderop, 2005 : 4).

Kedua metode karakteristik tersebut digunakan dalam penelitian ini untuk mengungkapkan belenggu-belenggu patriarki yang dihadapi tokoh

utama. Tetapi metode showing lebih sering digunakan dalam penelitian ini karena dalam novel tersebut si pengarang hanya memberikan sedikit

(17)

2.2 Feminisme

2.2.1 Definisi

Feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang pada awalnya

ditujukan untuk menuntut kebebasan perempuan. Pada saat itu perempuan baik dari kalangan atas, menengah maupun bawah, tidak memiliki hak-hak

seperti untuk mendapatkan pendidikan, berpolitik, hak pilih dan pekerjaan. Secara umum, kaum perempuan saat itu merasa dirugikan dalam berbagai bidang dan menjadi makhluk kedua setelah laki-laki dalam bidang sosial,

pekerjaan, pendidikan, dan politik, terutama dalam masyarakat yang bersifat patriarki. Feminisme juga muncul dari berbagai rasa sakit dan

pengalaman-pengalaman perempuan akan ketimpangan yang berlangsung dalam tatanan masyarakat, baik yang berlangsung di ranah publik maupun pribadi.

Menurut Peter Barry, pergerakan ini dilihat dari segi-segi yang penting,

bersifat sastrawi sejak awal. Artinya, mereka menyadari signifikansi citra perempuan yang disebarluaskan oleh sastra dan memandang bahwa penting

sekali untuk melawan hal tersebut dan mempertanyakan otoritas dan koherensinya (Barry, 2010 : 143). Oleh karena itu, pergerakan ini dapat dikaitkan dengan karya sastra. Artinya, sebuah karya sastra dapat dilihat dari

segi feminisme karena terkadang karya sastra menampilkan serangkaian representasi kehidupan dan pengalaman-pengalaman perempuan serta

(18)

Diawali dengan munculnya feminisme gelombang pertama yaitu feminisme liberal, gerakan ini terus berkembang dan menimbulkan banyak

gelombang feminisme dengan pendekatan yang berbeda-beda. Seperti feminisme radikal, feminisme Marxis, feminisme psikoanalisis, feminisme

ekstensialis, feminisme posmodern, feminisme multikultural dan yang terakhir ekofeminisme. Meskipun berbeda pandangan, tetapi sebenarnya tujuan mereka sama yaitu menuntut kesetaraan gender terhadap perempuan serta pemikiran

mengenai akar persoalan perempuan dan solusinya. Pada penelitian ini, feminisme radikal akan dibahas lebih lanjut karena ideologi ini digunakan

untuk menganalisis belenggu-belenggu yang dihadapi oleh tokoh utama dalam novel The Bell Jar.

2.2.2 Feminisme Radikal

Feminisme radikal merupakan feminisme gelombang kedua yang

dikembangkan oleh sekelompok gerakan perempuan di akhir 1960-an, terutama di New York dan Boston. Pada awalnya gerakan ini muncul karena melihat adanya eksploitasi terhadap tubuh perempuan, seperti praktek

pornografi, pelecehan seksual, dan pemerkosaan. Kata ‘radical’ bisa berarti hampir sama dengan ekstrim, tetapi sesungguhnya berasal dari kata ‘radic’

atau ‘radix’ yang berarti akar. Sehingga, Feminisme radikal ini melihat opresi terhadap perempuan dari akarnya, yaitu sistem seks dan gender.

Menurut Braidotti dalam Pengantar Teori-teori feminis kontemporer

(19)

(Jackson, 2009 : 227). Serta, Oakley dalam Jackson juga berpendapat bahwa gender bukanlah akibat langsung dari jenis kelamin biologis. Ia pun

mendefinisikan seks sebagai sesuatu yang anatomis dan ciri psikologis yang menentukan kelaki-lakian (maleness) dan keperempuan (femaleness), dan

gender merupakan suatu maskulinitas dan feminitas yang terbentuk bukan secara biologis, namun secara sosial, kultural, dan psikologis di dalam masyarakat dalam kurun waktu tertentu. (Jackson, 2009 : 228)

Feminisme ini berasumsi bahwa sistem seks dan gender melahirkan sistem patriarki, yang mengidentifikasikan perempuan dan laki-laki sebagai

makhluk biologis dengan sifat feminin untuk perempuan dan maskulin untuk laki-laki. Pada kenyataannya, pembedaan seperti itu memberdayakan laki-laki tetapi justru melemahkan perempuan dan menimbulkan ketimpangan gender.

Gayle Rubin mengatakan bahwa sistem seks dan gender adalah suatu rangkaian pengaturan yang digunakan oleh masyarakat untuk

mentransformasikan seksualitas biologis menjadi produk kegiatan manusia. Pengaturan ini merupakan cara konvensional dalam mengelola relasi seksual yang sifatnya beragam secara kultural, terutama melalui struktur

kekeluargaan dan pernikahan. Gender sendiri didefinisikan sebagai pemisah jenis kelamin yang dipaksakan secara sosial dan sebagai suatu hasil relasi

seksualitas yang bersifat sosial (Rubin, 1975 : 179).

Seperti yang dikatakan oleh Sojourner Truth dalam buku Pengantar Teori Feminis Kontemporer yang merupakan mantan seorang budak kulit

(20)

terdapat konsepsi dominan mengenai perempuan sebagai makhluk yang rapuh, lembut, dan membutuhkan perlindungan dari laki-laki yang sopan dan

jantan (2009 : 229). Hal tersebut terlihat jelas bahwa secara kultural perempuan identitaskan dengan perilaku “feminin” sementara laki-laki

“maskulin”.

Salah satu tokoh feminis radikal adalah Kate Millet, dalam Joshepine, ia mengatakan bahwa “Patriarchal ideology is that of male supremacy which

conditions woman to exhibit male-serving behavior and to accept male-serving roles”. Ini berarti bahwa patriarki adalah sebuah ideologi mengenai

supremasi laki-laki yang membentuk perempuan untuk menerima segala bentuk kekuasaan laki-laki terhadap perempuan dan menerima segala bentuk peran-peran yang diatur oleh laki-laki. Millet berpendapat bahwa ideologi ini

menembus disetiap aspek budaya dan menyentuh setiap kehidupan kita, bahkan dalam hal yang paling pribadi. Millet melihat keluarga adalah sumber

utama dimana doktrin ideologi patriarki ditanamkan. Millet pun berpendapat bahwa seks adalah politis karena hubungan laki-laki dan perempuan merupakan paradigma dari semua hubungan kekuasaan.

Ia juga mengatakan “sex is political. Male and female relationship is the paradigm for all power relationship” (Millet,1970 : 91). Hubungan perempuan

(21)

seluruh anggota keluarga. Sementara perempuan hanya memiliki kendali yang kecil dan menjadikan perempuan sebagai makluk inferior, sementara laki-laki

sebagai makhluk yang superior. De Beauvoir dalam bukunya “The Second Sex” menyatakan bahwa pada dasarnya perempuan tidak diciptakan sebagai

makhluk inferior tetapi perempuan menjadi inferior karena struktur kekuasaan yang terdapat di dalam masyarakat berada di tangan dan kendali laki-laki. Beauvoir juga menyatakan bahwa laki-laki menggunakan seksualitas

antara perempuan dan laki-laki sebagai alasan untuk memposisikan perempuan sebagai makhluk yang inferior (1989 : 9).

Tokoh feminis radikal lainnya adalah Shulamith Firestone, ia berpendapat bahwa fungsi reproduksi perempuan merupakan salah satu alasan pembagian peran berdasarkan gender, yang justru menghasilkan ketimpangan

gender. Ia pun tidak menyetujui gagasan dimana perempuan harus hidup untuk laki-laki dan mengidentifikasi perempuan sebagai objek cinta atau

objek seks laki-laki. Teori-teori feminisme radikal ini digunakan untuk menganalisis novel The Bell Jar yang bertujuan untuk mengungkapkan penindasan patriarkal yang muncul.

2.3 Sistem Patriarki

(22)

keluarga. Secara harfiah, patriarki adalah aturan ayah atau otoritas laki-laki, dimana perempuan haruslah patuh terhadap laki-laki.

Patriarki sendiri memiliki beberapa prinsip yaitu dimana laki-laki harus lebih dominan dalam segala bidang dibanding perempuan yang menjadi

subordinatnya. Laki-laki yang lebih tua harus lebih dominan dibandingkan dengan yang berusia muda.

Dalam teori feminisme, patriarki adalah sebuah struktur dimana

laki-laki memiliki peran besar daripada perempuan dalam segala bidang, seperti keluarga, pekerjaan, dan sebagainya. Patriarki juga dapat didefinisikan sebagai

kendali laki-laki terhadap perempuan. Dalam masyarakat patriarki, perempuan hanya memiliki sedikit kesempatan dan hak dalam berbagai bidang karena perempuan lebih rendah dari laki-laki. Hal ini yang membuat

perempuan tertindas dan terdiskriminasi.

Patriarki pun telah menjadi sebuah ideologi di dalam masyarakat.

Ideologi patriarki merupakan suatu ideologi yang menekankan kekuasaan bapak (kaum laki-laki). Ideologi ini pun merupakan sebuah sistem sosial yang mendukung dan membenarkan predominasi kaum laki-laki yang

mengakibatkan kontrol dan subordinasi perempuan, serta menciptakan ketimpangan atau ketidakadilan gender. Hal ini merupakan dominasi atau

kontrol laki-laki atas perempuan, tubuhnya, seksualitasnya dan pekerjaannya, baik dalam keluarga maupun masyarakat. (Yulianeta, 2002)

Ideologi patriarki menurut Millet, membesar-besarkan perbedaan

(23)

mempunyai peran yang maskulin dan dominan, sedangkan perempuan selalu mempunyai peran yang subordinat atau feminin. Ideologi ini begitu kuat

sehingga laki-laki biasanya mampu mengopresi perempuan. Mereka melakukan hal tersebut melalui institusi seperti akademi, gereja, dan keluarga

yang masing-masingnya membenarkan dan menegaskan subordinasi perempuan terhadap laki-laki yang berakibat bagi kebanyakan perempuan untuk menginternalisasi rasa inferioritas diri terhadap laki-laki (Tong, 1998 :

74). De Beauvoir juga menyatakan bahwa secara umum masyarakat barat adalah patriarki. Masyarakat patriarki terdiri dari struktur kekuasaan yang

didominasi oleh laki-laki di seluruh aspek masyarakat. Millet membagi patriarki dalam beberapa aspek, seperti sosiologis dan biologis.

2.3.1 Sosiologi

Dalam buku Sexual Politics, Millet mengatakan bahwa keluarga adalah sumber utama dari sistem patriarki, seperti yang ia katakan berikut ini :

“patriarchy’s chief institution is the family, as the fundamental instrument and the foundation unit of patriarchal society the family and its roles are prototypical, serving as an agent of the large society, the family not only encourages its own members to adjust and comform, but acts as a unit in the goverenment of the patriarchal stataes which rules its citizens through its family head”. (1970 : 33)

Ia juga berkata “even in patriarchal societies where they are granted

(24)

masyarakat yang menganut sistem patriarki perempuan diakui sebagai warganegara. Tetapi tetap saja mereka hanya memiliki sedikit kesempatan atau

bahkan tidak memiliki kesempatan di dalam pemerintahan itu sendiri. Mereka memiliki tugas utama untuk memelihara dan menangani segala segala urusan

rumah tangga atau domestic work.

Meskipun perempuan memiliki peran yang sangat besar dalam domestic work atau keluarga, tapi tetap saja hanya laki-laki sebagai ayah yang

memiliki andil besar dalam keluarga. Laki-laki dalam keluarga lah yang berkuasa atas istri dan anak-anak, sehingga mereka pun dapat berbuat semau

mereka terhadap istri dan anak-anak mereka yang terkadang disalahgunakan sehingga berakibat kekerasan dalam rumah tangga terjadi. Ini dapat terlihat pada kutipan Millet dalam bukunya Sexual Politics berikut ini “Traditionally,

patriarchy granted the father nearly total ownership over wife or wives and children, including the powers of physical abuse and often even those of murder

and sale” (1970 : 33).

Dalam keluarga tradisional yang berprinsip patriarki, ayah secara total memiliki kuasa terhadap istri dan anak-anak sehingga ia bisa berbuat

sewenang-wenang terhadap mereka. Selain itu, perempuan pun harus mengikuti semua konstruksi-konstruksi sosial yang ada di dalam masyarakat yang di terapkan

(25)

2.3.2 Biologis

Secara biologis, perempuan tersubordinat lebih karena pada

kepemilikan fungsi reproduksi dan perbedaan fisik yang lebih mengacu pada perbedaan jenis kelamin yang merupakan ciri biologis yang melekat pada

perempuan dan laki-laki serta tidak dapat diubah. Hal tersebut menghasilkan perbedaan-perbedaan peran dan kesempatan antara perempuan dan laki-laki. Misalnya saja, masyarakat patriarkal menggunakan fakta tertentu mengenai

fisiologi perempuan dan laki-laki (kromosom, anatomi, hormon) sebagai dasar untuk membangun serangkain identitas dan perilaku “maskulin” dan

“feminin” yang berlaku untuk memberdayakan laki-laki dan melemahkan perempuan (Tong, 1998 : 48). Millet juga mengatakan :

“biological differencess between the sexes, so that where culture is acknowledged as shaping behaviour, it is said to do no more than coorporate with nature. Yet the tempramental distinction created in patriarchy (masculine and feminine personality traits), the havier musculature of male a secondary characteristic and common among mamals, is origin but is also culturally encouraged through breeding, diet and exercise (Millet, 1970 : 27).

Pada kutipan tersebut Milllet mengatakan bahwa perbedaan biologis

antara perempuan dan laki-laki merupakan hal yang alami, namun kultur telah mengkonstruksi perbedaan tersebut. Sehingga konstruksi tersebut menimbulkan konsep bahwa laki-laki lah yang kuat sementara perempuan

(26)

21

Bab ini memberikan gambaran mengenai objek penelitian, metode

penelitian dan metode pengumpulan data yang digunakan serta metode analisis

data.

3.1 Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah belenggu-belenggu patriarki yang dihadapi

oleh tokoh utama dalam novel yang berjudul The Bell Jar” karya Sylvia Plath.

Novel tersebut pertama kali dipublikasikan di London, Inggris pada bulan

Januari 1963 dengan nama samaran Victoria Lucas. Pada tahun 1966, The Bell

Jar diterbitkan di Inggris dengan nama asli pengarangnya, Sylvia Plath. Pada

awal tahun 1970-an. Novel tersebut mulai banyak diterbitkan di Amerika

Serikat.

Novel ini merupakan novel pertama dari Sylvia Plath, karena

sebelumnya ia dikenal sebagai seorang penulis puisi. Novel ini pun merupakan

sebuah novel semi autobiografi dirinya. Novel ini menggambarkan bagaimana

seorang perempuan terbelenggu oleh budaya patriarki di lingkungan ia tinggal,

serta bagaimana ia melawan belenggu tersebut dengan tetap berusaha menjadi

(27)

tersebut akan dianalisis menggunakan pendekatan feminisme dengan melihat

karakterisasi tokoh utama.

3.1.1 Sinopsis The Bell Jar

Novel The Bell Jar karya Sylvia Plath merupakan sumber dari penelitian

ini. Novel tersebut menceritakan seorang perempuan muda, Esther Greenwood.

Ia berasal dari sebuah keluarga kelas menengah yang tinggal di sebuah kota kecil

di pinggiran kota Boston. Cerita berawal ketika Esther Greenwood, tokoh utama

mendapatkan undangan sebagai tamu editor sebuah majalah fashion terkenal di

New York karena memenangkan beasiswa. Di sana ia mengalami berbagai

pengalaman. Ia berkenalan dengan salah satu pemenang di sana, yaitu Doreen

yang merupakan seorang gadis homoseksual, seorang lesbian. Sebenarnya ia

tidak suka dan tidak nyaman berada di sana karena kehidupan di sana berbeda

dengan kehidupan ia di tempat tinggalnya, dimana kehidupan di sana lebih

glamor.

Setelah Esther kembali ke rumahnya, ibunya meminta agar ia tidak lagi

melanjutkan studinya dalam menulis. Ia diminta untuk belajar shorthand

(stenographi), untuk menjadi seorang sekretaris dan menikah. Budaya di sana

saat itu mengharuskan perempuan melakukan pekerjaan tersebut, namun ia

menolaknya. Pada suatu ketika, kekasihnya yang bernama Buddy Williard

meminta Esther untuk menikah dengannya, namun ia menolaknya setelah ia

(28)

yang ingin menjadi seorang penulis terkenal, karena ia hanya ingin Estrher

menikah dengannya dan mengurus rumah tangga. Buddy juga sering

berselingkuh dengan wanita-wanita lain.

Suatu ketika, Esther melihat gambar mengenai fig tree, yang

menggambarkan seorang wanita dengan berbagai aktivitas melelahkan dan

membelenggu, mengurus rumah tangga, anak, suami, dan karir. Sejak saat itu,

Esther mulai bimbang. Ia sangat berambisi menjadi penulis terkenal dan wanita

yang sukses di dalam karir, sementara budaya pada saat itu memang

mengharuskan perempuan untuk menikah dan mengurus pekerjaan domestik.

Di dalam novel ini juga diceritakan tentang motherhood (keibuan), yang

tercermin pada beberapa tokoh, diantaranya, Dodo Conway adalah salah satu

tetangga Esther, yang merupakan seorang istri yang hampir setiap tahun

melahirkan anak karena tuntutan dari suaminya. Ia setiap hari hanya mengurus

anak-anaknya yang begitu banyak dan rumah tangga, tetapi ia terlihat sangat

nyaman dengan melakukan hal itu. Mrs. Willard, seorang ibu rumah tangga

yang merupakan ibu dari Buddy Williard, kekasih Esther. Ia merupakan ibu

ideal yang selalu menyiapkan segala keperluan anak-anak dan suaminya

walaupun ia sibuk bekerja. Betsy, salah satu teman Esther sewaktu di New

York, ia yang bercita-cita menjadi ibu rumah tangga suburban (desa), ia tak

peduli walaupun ia sudah memenangkan kontes menulis di sebuah majalah

fashion terkenal di New York. Esther melihat bahwa wanita-wanita tersebut

ternyata merasa nyaman menuruti norma-norma tersebut yang ada. Seperti

(29)

mengagungkan kehidupan dalam ranah domestik (rumah tangga), yang sering

kali mengabaikan ketidakadilan yang terjadi di dalamnya.

Hal tersebut di atas menjadi tekanan bagi Esther. Ia bimbang, antara

karir yang selama ini ia cita-citakan atau menjadi ibu rumah tangga. Ia

merasa tak mampu menjalani semua itu, sementara orang-orang disekelilingnya

mampu. Ia mulai depresi, ia tidak lagi dapat menulis. Pikirannya mulai

terpecah antara tuntutan diri untuk menjadi penulis yang hebat, dan

tuntutan social untuk mengurus pekerjaan rumah tangga, seperti yang ia lihat

dalam analogi pohon (fig tree). Esther merasa tidak mampu melakukan

semuanya.

Akibat depresi yang berat, Esther dilarikan ke psikiatris. Esther pun

berkali-kali mencoba bunuh diri. Akibat depresinya, Esther tidak mampu lagi

mengeluarkan bakatnya dalam menulis. Ia berpikir tidak lagi memiliki

kesempatan untuk menjadi penulis terkenal dan menjadi seorang profesor.

Namun, usaha bunuh dirinya berulang-ulang tidak berhasil. Di akhir cerita,

Esther terpaksa dilarikan ke sebuah rumah sakit jiwa dan harus tinggal di sana.

3.1.2 Biografi Pengarang

Sylvia Plath lahir pada tanggal 27 Oktober 1932 di Massachusetts

Memorial Hospital yang berada di Jamaica Plain, Massachusetts Amerika.

Ibunya bernama Aurelia Schober Plath, yang merupakan keturunan Austria,

(30)

Ayahnya adalah seorang profesor biologi di Boston University, yang juga

merupakan penulis buku Bumblebees and Their Ways. Ia memiliki seorang

adik laki-laki. Plath dibesarkan di Winthrop, sebuah kota di tepi pantai dekat

Boston.

Pada 5 November 1940 ketika ia berusia 8 tahun, ayahnya meninggal

dunia karena terserang diabetes. Sejak saat itu Plath mulai menulis, ia pun

mendapatkan penghargaan The Scholastic Art & Writing Awards pada tahun

1947. Kemudian, pada September 1950 Plath mendapatkan beasiwa di Smith

College Northhampton, Massachusetts Amerika yang merupakan salah satu

perguruan tinggi khusus wanita terbesar di dunia. Ia juga menjadi editor di

The Smith Review. Disinilah awal karirnya dimulai, ia mulai mempublikasikan

beberapa karyanya ke sebuah majalah Seventeen. Salah satunya adalah short

story pertamanya “And Summer Not Come Again” yang diterbitkan pada

Agustus 1950. Pada tahun dan bulan yang sama, ia juga mempublikasikan

puisinya yang berjudul “Bitter Strawberries”.

Kemudian pada tahun 1952 ia terpilih sebagai tamu editor di

Mademoiselle’s College Board Contest di New York. Setelah kembali dari New

York, ia menderita depresi dan mengalami gangguan mental yang serius,

penyebab depresinya tidak diketahui secara jelas. Sejak saat itu, ia mulai

mencoba bunuh diri dengan banyak mengkonsumsi obat tidur. Ia terpaksa

dilarikan ke sebuah rumah sakit dan diberi terapi listrik serta psikoterapi.

(31)

Plath kembali ke Smith College pada semester kedua tahun 1954, ia

berhasil menyelesaikan studinya pada tahun 1955 dengan predikat summa cum

laude dan mendapatkan beasiswa di Newnham College, Cambridge

University pada bulan Juni 1955. Di sana ia bertemu dengan seorang penyair

inggris, Ted Hughes. Mereka menikah di St George the Martyr Holborn, London.

Ted dan Plath memiliki dua orang anak. Selanjutnya pada tanggal 1 Agustus

1962, ia berhasil menyelesaikan novelnya yang berjudul “The Bell Jar”.

Plath bercerai dengan suaminya pada bulan Desember 1962, karena

mengalami berbagai masalah. Saat itu, Plath pun banyak menulis puisi dan

menghasilkan karya-karyanya. Pada 11 Februari 1963 diusia tiga puluh tahun,

Plath mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Ia meletakkan kepalanya ke

dalam oven gas. Ia dimakamkan di Heptonstall. Setelah ia meninggal, reputasi

Plath mulai berkembang dan karya-karyanya mulai banyak diterbitkan serta

diketahui banyak orang diberbagai negara. Pada tahun 1981, Plath's Collected

Poems mulai diterbitkan, yang kemudian disusul dengan jurnal-jurnal Plath

pada tahun berikutnya.

3.2 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis. Menurut

Surakhmad, metodologi deskriptif analisis adalah metode untuk memecahkan

masalah yang aktual, dengan mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan,

(32)

metode tersebut digunakan untuk mendeskripsikan data, kemudian dianalisis

berdasarkan teori-teori yang diterapkan dalam penelitian ini.

3.2.1 Metode Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data pada penelitian ini, menggunakan studi

kepustakaan atau library research. Menurut Semi (1993:8) “ library research

yakni penelitian dilakukan di kamar kerja peneliti atau ruang perpustakaan

dimana peneliti memperoleh data atau informasi tentang objek penelitiannya

lewat buku-buku atau alat-alat visual lainnya”. Sesuai dengan pengertian

tersebut diatas, maka penelitian ini dilakukan hanya dengan studi kepustakaan,

tanpa melakukan survei atau observasi tertentu. Adapun langkah-langkah yang

dilakukan dalam proses ini adalah sebagai berikut :

1. Membaca novel yang merupakan sumber penelitian.

Novel yang dipilih adalah novel karya Sylvia Plath The Bell Jar.

Novel tersebut dibaca secara berulang-ulang dan dipahami secara

mendalam, agar dapat mengidentifikasi belenggu-belenggu patriarki

yang dihadapi oleh tokoh utama, gambaran pertentangan antara

tokoh utama dan budaya-budaya patriarki yang ada pada saat itu.

2. Mencari data.

Setelah membaca berulang-ulang dan memahami isi novel tersebut,

(33)

rumusan masalah dalam penelitian ini yang digunakan sebagai data

analisis.

3. Pengklasifikasian data.

Dalam tahap ini, data-data yang telah terkumpul kemudian dipilih

berdasarkan klasifikasinya. Baik yang merupakan belenggu-belenggu

patriarki yang dihadapi oleh tokoh utama maupun bagaimana tokoh

utama tersebut melawan belenggu-belenggu patriarki. Serta,

pengklasifikasian data juga berdasarkan belenggu patriarki dalam

aspek biologis dan sosiologis.

4. Analisis data.

Tahap akhir dalam proses penelitian ini adalah menganalisis semua

data-data yang telah diklasifikasikan sebelumnya, serta menerapkan

teori-teori yang digunakan dalam menganalisis data-data tersebut.

3.2.2 Metode Analisis Data

Data-data yang telah diklasifikasikan kemudian dianalisis menggunakan

pendekatan kritik sastra feminisme radikal. Pendekatan ini berfokus pada

keberadaan masalah gender perempuan dalam karya sastra. Sebagaimana telah

disebutkan sebelumnya, bahwa didalam novel The Bell Jar digambarkan

seseorang yang menghadapi belenggu-belenggu patriarki di dalam

(34)

kritik sastra ini digunakan sebagai alat bantu dalam membahas

belenggu-belenggu patriarki yang dihadapi oleh Esther Greenwood sebagai tokoh utama.

3.2.2.1 Contoh Analisis Data

Berikut ini adalah salah satu contoh analisis data dalam penelitian ini.

Korpus dibawah ini merupakan salah satu ketimpangan gender dalam hal

pembagian pekerjaaan secara sexual yang dihadapi oleh tokoh utama Esther

Greenwood.

I didn’t know shorthand. This meant I couldn’t get a good job after college. My mother kept telling me nobody wanted a plain English major. (Plath, 1972 : p.61).

Pada kutipan tersebut, terlihat bahwa perempuan pada zaman itu

harus belajar shorthand yang merupakan stenografi atau cara menulis dengan

ringkas dan cepat yang biasanya dipelajari oleh sekretaris. Namun, Esther

tidak mengetahui stenografi tersebut dan ia sangat tidak tertarik menjadi

sekretaris. Hal tersebut pun menjadi kekhawatiran Esther dan orang-orang

disekitarnya jika setelah ia lulus sekolah, ia tidak akan mendapatkan

pekerjaan “This meant I couldn’t get a good job after college” karena kehidupan

sosial di tempat ia tinggal telah mengkonstruksi perempuan untuk

melakukan pekerjaan seperti itu. Ibunya pun mengatakan padanya bahwa

tidak ada yang mencari seseorang dari lulusan bahasa inggris atau sastra,

My mother kept telling me nobody wanted a plain English major”. Ibunya

(35)

yang bekerja selain sebagai sekretaris, typist atau waitress dan belajar

selain shorthand.

Hal tersebut terlihat bahwa telah terjadi pembagian kerja berdasarkan

sexual atau jenis kelamin, dimana perempuan terkonstruksi untuk bekerja

sebagai sekretaris karena pada dasarnya pekerjaan sekretaris adalah melayani,

hal tersebut sesuai dengan strereotipe perempuan yang terkonstruksi sebagai

makhluk yang pasif, lemah lembut, dan sebagainya. Sehingga perempuan tidak

dapat sebebasnya memilih jenis pekerjaan yang mereka inginkan seperti yang

dialami oleh Esther karena ia hanya ingin menjadi seorang penulis dan

mempelajari sastra atau bahasa Inggris. Namun, seperti yang dikatakan oleh

ibunya bahwa tidak ada seorang pun yang mencari lulusan dari sastra atau

(36)

31

Pada bab ini akan dibahas mengenai bentuk-bentuk belenggu patriarki

yang dihadapi oleh tokoh utama di dalam novel. Belenggu patriarki tersebut di

klasifikasikan dalam dua kategori, yaitu secara sosiologis dan secara biologis.

4.1 Sosiologis

Secara sosial, perempuan terkonstruksi untuk tampil ideal dan cantik.

Kecantikan merupakan salah satu yang melekat dan harus ada pada seorang

perempuan. Hal tersebut telah terkonsepkan oleh ideologi patriarki karena

perempuan yang cantik akan disukai dan dicari laki-laki, meski pada dasarnya

cantik itu bersifat relatif. Menurut Beauvoir, strereotipe dan mitos

kecantikan diciptakan oleh masyarakat yang menganut sistem patriarki. Bagi

perempuan yang merasa dirinya kurang ideal dan cantik, mereka akan selalu

mengusahakan agar dirinya senantiasa terlihat cantik dan ideal. Menurut Wolf,

sosok yang ideal adalah sosok yang kurus, tinggi, putih, dan berambut pirang

dengan wajah yang mulus tanpa noda, simetri dan tanpa cacat sedikit pun.

(2004 : 4). Konsep ideal dan cantik tersebut pun telah terkonstruksi di dalam

masyarakat, yang terkadang justru membuat perempuan malah menjadi

(37)

novel The Bell Jar, ia malah berusaha untuk tidak mengikuti stereotipe

yang tertuju pada perempuan harus tampil cantik. Hal tersebut tergambarkan

pada kutipan berikut :

“I got such a kick out of all those free gifts showering on to us”. (Plath,1971 : p.3).

Kutipan tersebut menggambarkan bahwa Esther membuang hadiah

yang ia dapatkan ketika memenangkan lomba menulis di sebuah majalah

terkenal, dimana hadiah itu merupakan seperangkat kosmetik. Dalam

kutipan tersebut terlihat bahwa ia menolak budaya patriarki, ia membuang

semua hadiah tersebut. Budaya patriarki mengkontruksi perempuan sebagai

hiasan yang harus terlihat cantik dan menarik. Esther berpikir bahwa semua

itu hanya dapat mengopresi perempuan ketika perempuan terkonstruksi

harus terlihat cantik untuk membuat laki-laki tertarik padanya dan

memenuhi kesenangan laki-laki sehingga mereka selalu mengusahakan untuk

terlihat cantik dengan berbagai cara. Hal tersebut justru menjadikan diri

mereka sebagai korban dari stereotipe, citra, dan mitos kecantikan yang

sudah terkonstruksi secara sosial. Menurut Wolf, mitos kecantikan ini

dikonstruksikan ke dalam norma dan nilai sosial budaya sehingga apa yang

dikatakan mitos kecantikan ini menjadi kebenaran yang absolut (2004: 25).

Dalam ideologi patriarki, supremasi laki-laki membentuk perempuan

untuk memenuhi keinginan laki-laki, melayani dan menerima segala

peran-peran perempuan yang telah terkonstruksi. Hal ini dapat dilihat ketika

(38)

Beauvoir, salah satu feminis mengatakan bahwa perempuan adalah makhluk

kedua yang harus menjadi seseorang yang sempurna dan menarik untuk

melayani dan membuat laki-laki atau suaminya bahagia dengan penampilan

yang indah dan menarik. Ketika perempuan tidak bisa memenuhi semua itu,

mereka tidak bisa mendapatkan cinta. Mereka menjadi berlomba-lomba

mempercantik diri agar dapat diterima dan memenuhi standar kecantikan

yang sering kali dilontarkan terhadap perempuan.

Terdapat beberapa feminis mencoba untuk menghapuskan segala

sesuatu yang dapat mengopresi tubuh mereka sendiri, seperti menggunakan

sepatu hak tinggi. Mereka berasumsi bahwa hal tersebut dapat mengopresi

tubuh mereka, membuat kaki mereka lelah meskipun mereka dapat terlihat

lebih indah dan menarik. Hal tersebut juga seperti halnya Esther yang

membuang semua peralatan kecantikan wanita, karena mereka berpikir

hal-hal tersebut hanya mengopresi tubuh mereka. Ketika perempuan hanya dilihat

dari kecantikannnya saja dan menjadikan perempuan hanya sebagai objek

dari keinginan seks pria, perempuan berlomba-lomba dan berusaha mengubah

dirinya agar terilhat menarik dan diterima oleh laki-laki.

Selain masalah tersebut di atas, di dalam novel The Bell Jar pun

terdapat isu-isu tentang perbedaan bidang pekerjaan bagi perempuan dan

laki-laki. Seperti yang terjadi di Amerika, terdapat beberapa jenis pekerjaan

yang ditujukan tepat untuk perempuan, seperti yang dikatakan oleh Claudia

Goldin dalam buku Understanding The Gender Gap (An Economic History of

(39)

promotion but relatively short ladders” ( 1990, 8).

Pada kutipan Claudia tersebut, terdapat perbedaan gender di dalam

pekerjaan. Pada saat itu di Amerika, terdapat dua jenis pekerjaan yang

tepat untuk perempuan, yaitu sebagai typist (pengetik) dan stenographer

(stenograf), yang ia sebut sebagai dead-end position karena pekerjaan

tersebut merupakan pekerjaan yang tidak ada kenaikan jabatannya serta

pekerjaan dengan posisi yang dapat memperoleh jabatan meski dengan

jenjang yang lama “positions that involved promotion but relatively short

ladders”.

Esther pun mengalami perbedaan-perbedaan tersebut di lingkungan ia

tinggal. Pada saat itu, perempuan dikonstruksi untuk bekerja sebagai

sekretaris dan ia pun diminta untuk mempelajari shorthand atau stenographi

untuk menjadi seorang sekretaris.

My mother had convinced me I should study shorthand ...maybe I could study the eighteenth century in secret...but I didn’t know shorthand, so what could I do? (Plath,1971 : p.99-100)

Ibunya meminta ia untuk belajar stenographi secara berulang-ulang.

Namun, ia sendiri pun tidak mengetahui lebih dalam apa itu srenographi

dan ia sendiri tidak tahu apa yang harus ia lakukan karena ia benar-benar

tidak menginginkan belajar shorthand (stenographi). Hal tersebut terlihat

bahwa kehidupan sosial pada saat itu memang membentuk perempuan untuk

bekerja sebagai sekretaris dan terdapat ketimpangan gender dalam hal

(40)

ia bekerja sebagai pelayan.

Buddy’s mother had even arranged for me to be given a job as a waitress...she and Buddy couldn’t understand why I chose to go to New York City instead (Plath, 1972 : p.16)

Pada kutipan diatas terlihat bahwa memang pada saat itu biasanya

perempuan banyak bekerja sebagai sekretaris atau pelayan. Oleh karena itu

ibu Buddy kekasihnya mempersiapkan Esther untuk bekerja sebagai pelayan.

Seperti kita ketahui bahwa pekerjaan pelayan itu pada dasarnya adalah

melayani, sama seperti sekretaris yang tugas utamanya adalah melayani dan

membantu atasan. Hal itu terlihat bahwa perempuan memang terkonstruksi

sebagai pelayan baik dalam ranah publik maupun domestik (rumah tangga).

Namun, Esther tidak menginginkannya karena pada dasarnya ia memang

tidak suka diperlakukan sebagai pelayan dan ia tidak suka melayani

laki-laki dengan cara apapun. Ia hanya ingin mencurahkan semuanya untuk

hobinya menulis.

The trouble was, I hated the idea of serving men in any way. I wanted to dictate my own thrilling letters. (Plath,1971 : p.62)

Orang-orang di sekeliling Esther pun tidak mendukung apa yang

telah menjadi cita-cita Esther sebelumnya. Terlihat pada saat Esther

mendapatkan beasisiwa dari salah satu majalah ternama di New York, ibu

Buddy sangat tidak mengerti dan tidak mendukungnya, begitu juga ibunya

sendiri yang terus menerus menyuruh ia untuk belajar stenographi untuk

menjadi seorang sekretaris. Namun, Esther menolaknya, terlihat pada

(41)

would never have touse it. (Plath,1971 : p. 100)

Ia tidak berkeinginan menjadi seorang sekretaris dan menolak dan

tidak akan pernah belajar shorthand (stenographi), ia hanya ingin menjadi

seorang penulis karena menulis merupakan cita-cita terbesar dalam hidupnya.

I had in mind was getting some big scholarship to graduate school or a grant to study all over Europe, and then I thought I’d be a professor and write books of poems and be an editor of some sort. (Plath, 1972 :p.26-27).

Pada kutipan di atas, terlihat jelas bahwa Esther sangat tertarik dalam

menulis dan sangat berambisi menjadi perempuan yang sukses dalam karir

sebagai penulis. Ia juga sangat menginginkan mengenyam pendidikan tinggi

di negara-negara Eropa karena ia berfikir negara-negara Eropa lebih modern

dalam pemikiran, tidak seperti di lingkungan ia tinggal. Pemikiran Esther

tersebut terlihat sudah sangat modern, dimana perempuan sudah tidak lagi

harus bekerja di wilayah domestik dan mendapat perbedaan dalam bidang

pendidikan. Oleh karena itu, ia sangat tidak setuju dengan

pekerjaan-pekerjaan yang ditujukan pada perempuan saat itu. Esther tertarik dengan

dunia menulis karena ia berfikir dengan menulis ia dapat mengekspresikan

dirinya, ia tidak terkungkung dengan aturan-aturan yang menjadikan

perempuan tersubordinat. Seperti yang dikatakan oleh Helene Cixous dalam

essainya The Laugh of Medusa berikut ini :

(42)

Kutipan tersebut menjelaskan bahwa perempuan seharusnya menulis,

sebagai sarana untuk menyampaikan ide-idenya dan apa yang dirasakan, baik

itu opresi maupun tidak. Hal tersebut untuk menunjukkan eksistensi

perempuan, sehingga perempuan tidak lagi bungkam dan menjadi manusia

kedua yang selalu menjadi subordinat. Namun, ibunya sendiri pun tidak

sepenuhnya mendukung cita-cita Esther tersebut.

My own mother wasn’t much help. My mother had thought shorthand and typing to support us ever since my father died, (Plath, 1972 : p.27).

Ibunya tidak banyak membantu dan mendukung ia dalam menulis, hal

tersebut karena ibunya sendiri pun bekerja sebagai seorang sekretaris untuk

menghidupi Esther dan keluarganya sepeninggalan ayahnya. Sehingga ia

hanya ingin Eesther memiliki pekerjaan seperti ibunya tersebut. Pemikiran

ibunya tersebut pun karena konstruksi sosial yang sudah ada pada saat itu dan

sudah terdoktrin terhadap kehidupannya, sehingga ia hanya berpikir

perempuan tepat jika memiliki pekerjaan tersebut. Selain subordinasi di

dalam pekerjaan, subordinasi perempuan pun terjadi di dalam wilayah

domestik, seperti yang tergambarkan di dalam novel berikut ini.

(43)

Dalam kutipan diatas, Esther membayangkan bagaimana ia kelak

sesudah menikah dan menjadi seorang istri dengan seluruh pekerjaan rumah

yang tertuju padanya, Esther mengatakan “I’d spend the evening washing up

even more dirty plates till I fell into bed, utterly exhausted” dalam kutipan

tersebut, Esther membayangkan bagaimana lelahnya ia harus bekerja

mengurus pekerjaan domestik. Ia membayangkan setiap hari harus

mengerjakan pekerjaan rumah, sejak ia bangun di pagi hari sampai malam

tiba dengan menghabiskan seluruh waktunya melakukan pekerjaan-pekerjaan

tersebut. Misalnya, mempersiapkan makan pagi sampai makan malam dan

semua kebutuhan-kebutuhan suaminya. Padahal ia merupakan perempuan

cerdas yang selama lima belas tahun selalu mendapatkan nilai A “This

seemed a dreary and wasted life for a girl with fifteen years of straight A’s”.

Seharusnya ia dapat meraih kesuksesan di dunia publik, bukan hanya

menghabiskan waktunya untuk urusan domestik dan terkungkung di dalam

rumah yang menakutkan dan membosankan. Esther pun melihat ibu dari

Buddy Williard kekasihnya yang merupakan seorang istri sempurna, selalu

melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, seperti yang tergambar pada

kutipan berikut :

I knew that’s what marriage was like, because cook and clean and wash was just what Buddy Williard’s mother did from morning till night, and she was the wife of university professor and had been a private school teacher herself (Plath, 1972 : p. 68-69)

Esther melihat ibu Buddy tetap melakukan semua pekerjaan-pekerjaan

(44)

yang terjadi terhadap perempuan. Esther pun mengingat apa yang Buddy

katakan kepadanya tentang pernikahan, seperti dalam kutipan berikut ini :

I also remembered Buddy Williard saying in a sinister, knowing way that after I had children I would feel differently, I wouldn’t want to write poem anymore. So I began to think maybe it was true that when you were married and had children it was like being brainwashed, and afterward you went about numb as a slave in some private, totalitarian state. (Plath, 1972 : 69)

karena ia pun tahu bahwa menulis adalah hobi dan cita-cita Esther.

Esther pun takut jika nanti ia hanya akan fokus pada anak-anaknya

dan suaminya, sehingga ia hanya memiliki sedikit waktu untuk melakukan

aktifitasnya dalam menulis dan mengejar cita-citanya. Padahal menulis puisi

dan menjadi penulis adalah tujuan besar dalam hidupnya, oleh karena itu ia

berfikir “maybe it was like being brainwashed”. Perempuan sebagai istri juga

harus menerima segala bentuk kekuasaan laki-laki dan menerima segala

bentuk peran yang diaturnya sebagai kepala rumah tangga. Dalam ideologi

patriarki, supremasi laki-laki membentuk perempuan untuk menerima

(45)

dalam ranah domestik “…and afterward you went about numb as a slave in

some private, totalitarian state” ia melihat kehidupan di dalam keluarga

seperti sebuah negara totalitarian. Negara Totalitarian adalah negara yang

menempatkan pemerintah sebagai pemegang kedaulatan atau kekuasaan

tertinggi. Pemerintah mempunyai kekuasaan yang absolut dalam mengatur

kehidupan warga negara pada semua aspek. Dimana masyarakat hanya

mengikuti segala perintah dan aturan-aturannya tanpa bisa memberikan

pendapat dan aspirasi mereka. Mereka juga bekerja untuk melayani

pemerintah, bukan sebaliknya pemerintah yang melayani masyarakat. Esther

mengibaratkan seorang istri sebagai warga masyarakat di dalam negara

totalitarian yang terkungkung dengan aturan-aturan pernikahan yang sudah

terkonstruksi yang membuat perempuan tersubordinasi. Ia mengatakan “a

slave in some private, totalitarian state”, dalam kutipan tersebut ia

membandingkan seorang slave di negara totaliter. Menjadi seorang slave saja

sudah membuat orang kehilangan haknya, apalagi di negara otoriter.

Seperti yang sudah dijabarkan di atas, semua hal tersebut pada

dasarnya disebabkan karena konstruksi sosial. Membuat perempuan memiliki

peran untuk menjaga anak-anak dan mengatur seluruh rumah tangga. Seperti

pernyataan Millet bahwa keluarga sebagai sumber utama pengindoktrinasian

dan belenggu patriarki. Hal ini dapat dilihat dalam keluarga tradisional

bahwa laki-laki adalah tokoh yang mendukung atau menghasilkan uang dan

bekerja di dunia publik, sementara perempuan hanya tinggal di rumah dan

(46)

di dalam masyarakat mengenai hak dan peran antara perempuan dan

laki-laki. Konstruksi tersebut bagi para feminis radikal dianggap sangat

membelenggu para perempuan. Pandangan Esther pun terhadap pernikahan

adalah bahwa pernikahan membelenggu perempuan.

Dalam sistem patriarki, perempuan dalam keluarga dikendalikan oleh

laki-laki yang mempunyai peran yang sangat besar. Jessie Bernand dalam

Thinking About Women (1993) mengatakan bahwa sebenarnya ketika

perempuan menikah sebagai istri dan ibu, mereka diharapkan bertanggung

jawab mengurus suami dan anak-anak mereka. Keluarga dianggap sebagai

satu satunya tempat yang tepat bagi perempuan, dimana hal tersebut telah

terkonstruksi secara sosial di masyarakat. Meskipun sekitar abad 18 sampai

19, ketika revolusi industri muncul di Inggris perempuan sudah mulai

diperbolehkan bekerja di ranah publik atau pabrik karena banyak

dibutuhkan para pekerja perempuan sebagai buruh. Namun mereka tetap

memiliki peran sebagai ibu, bertanggung jawab mengurus dan merawat

anak-anak serta mengelola semua keperluan sehari-hari dalam rumah

tangga mereka. Mereka menjadi memiliki dua tugas atau double job.

Apabila seorang perempuan yang menjadi seorang ibu rumah tangga

atau istri yang juga bekerja di publik demi membantu suami untuk

memenuhi kebutuhan mereka, mereka tetap saja mempunyai tugas utama di

dalam kehidupan domestik (rumah tangga). Padahal, tidak hanya perempuan

(47)

perempuan lah yang pantas melakukannya.

Hal-hal tersebut pun menjadi ketakutan Esther dalam menikah,

sehingga ia menolak untuk menikah. Ia pun melihat bahwa tuntutan

sistem patriarki terhadap perempuan yang menjadikannya subordinat

seringkali tidak manusiawi. Perempuan dituntut untuk menjadi manusia

sempurna yang mampu menangani segala urusan, baik dalam ranah

domestik saja, atau dalam ranah publik dan domestik sekaligus. Hal tersebut

terlihat dalam kutipan di bawah ini :

I’m never going to get married. (Plath, 1971 : 76)

Esther berfikir bahwa pernikahan dapat menjadikan dirinya

subordinat, maka ia memutuskan untuk tidak menikah. Selain karena alasan

itu, Esther sadar akan perlakuan Buddy dan ia memutuskan hubungannya

dengan Buddy. Ia merasakan bahwa Buddy Williard itu patriarkal. Ia sangat

tidak mendukung apa yang menjadi cita-cita Esther karena ia hanya

menginginkan Esther menjadi istrinya dan mengurus semua kepentingan

domestik. Buddy hanya menganggap cita-cita Esther itu tidak penting, ia

pun menyebut puisi itu hanya sebagai “a pieces of dust”.

“do you know what a poem is, Esther ?” “no, what?” I would say.”

“a piece of dust.” (Plath, 1972 : 46)

Kutipan di atas diambil ketika Esther sedang berbicara dengan Buddy.

Buddy tiba-tiba menanyakan kepada Esther mengenai puisi dan Buddy

(48)

yang merupakan hobi dan cita-cita Esther untuk menjadi seorang penyair

puisi. Ia hanya menganggap puisi sangatlah tidak berarti dan tak berguna.

Seharusnya, ia tidak berkata demikian karena hal tersebut merupakan cita-cita

terbesar Esther kekasihnya yang semestinya ia beri dukungan.

Hal tersebut terlihat bahwa Buddy sangat tidak menghargai Esther dan

patriarkal dengan tidak memberi kesempatan kepada kekasihnya untuk

menggapai cita-cita terbesarnya. Sikap Buddy tersebut juga merupakan

pembungkaman terhadap perempuan, dimana perempuan tidak dapat berkreasi

dalam menulis untuk menunjukkan eksistensinya. Seperti yang dikatakan oleh

Cixous pada penjelasan dari kutipan sebelumnya, yang menjelaskan bahwa

perempuan harus menulis untuk menunjukkan eksistensinya dan agar tidak

dianggap sebagai makluk kedua yang hanya dapat menjadi penikmat karya

sastra saja dan tidak mampu menulis. Esther pun mencoba menunjukkan

bahwa apa yang dikatakan oleh Buddy mengenai puisi merupakan

sekumpulan debu yang tak berguna itu adalah salah, terlihat dalam kutipan

berikut :

People were made of nothing so much as dust, and I couldn't see that doctoring all that dust was a bit better than writing poems people could remember and repeat to themselves when they were unhappy or sick and couldn't sleep. (Plath, 1970 : 46)

Pada kutipan di atas, Esther mengatakan bahwa puisi bukanlah

sesuatu hal yang tidak penting, dan tidak berguna. Dalam kutipan tersebut,

Esther mengatakan bahwa puisi mempunyai banyak manfaat. Puisi dapat

Referensi

Dokumen terkait

Faktor manusia sebagai pemberi pelayanan terhadap publik dalam organisasi dianggap sangat menentukan dalam menghasilkan pelayanan yang berkualitas. Sumber daya

1836212: Format tidak berubah namun ada perbaikan penawaran berlaku 30 hari kalender, Surat penawarannya beserta lampirannya kami sampaikan sebanyak 2 rangkap yang terdiri dari

Mampu mengumpulkan data subyektif dan data obyektif pada yang diberikan asuhan kebidanan komprehensif pada kehamilan, persalinan, bayi baru lahir, nifas dan masa

Nilai kebersamaan budaya pokadulu (kerja sama) berperan memberikan pelayanan dengan membangun suasana memahami dan mengerti akan kebutuhan seluruh warga sekolah, yang

[r]

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut apakah ekstrak daun jambu biji merah berpengaruh terhadap jumlah sel sertoli dan kadar inhibin pada tikus putih jantan,

Tahapan ini dilakukan untuk menentukan tempat yang sesuai untuk didirikannya Rumah Indonesia sebagai fasilitas umum yang mampu dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar

The aim of this study was find out whether or not the TPRC is effective to teach reading comprehension for teaching reading at the Tenth Grade students of SMA N 4 Pekalongan in