FACED BY MAIN CHARACTER
IN SYLVIA PLATH’S THE BELL JAR
SKRIPSI
Diajukan untuk menempuh Ujian Sarjana Pada Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra
Universitas Komputer Indonesia
RIKA AGUSTIN NIM. 63705805
JURUSAN SASTRA INGGRIS FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA BANDUNG
iv
ABSTRAK
Skripsi ini menganalisis belenggu-belenggu patriarki yang dihadapi oleh tokoh utama di dalam novel The Bell Jar karya Sylvia Plath. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan menjelaskan mengenai belenggu patriarki yang muncul serta upaya apa saja yang dilakukan oleh tokoh utama dalam menghadapi belenggu-belenggu patriarki tersebut.
Metode deskriptif analisis dan pendekatan feminisme radikal digunakan dalam penelitian ini. Metode deskriptif analisis tersebut digunakan untuk mengumpulkan, mengklasifikasikan, serta menginterpretasikan data yang kemudian dianalisis berdasarkan teori feminisme radikal. Teori tersebut akan digunakan untuk mengidentifikasi belenggu-belenggu patriarki yang muncul di dalam novel.
Belenggu patriarki yang ditemukan dalam novel tersebut terjadi dalam dua aspek, yaitu secara biologis dan sosiologis. Secara biologis, belenggu yang dihadapi lebih terarah kepada tubuh perempuan beserta atributnya, khususnya karena sistem reproduksi yang dimiliki oleh perempuan. Sementara Secara sosiologis, belenggu yang terjadi lebih menekankan kepada konstruksi sosial mengenai pencitraan atau strerotipe terhadap perempuan, yang menyebabkan ketimpangan gender dalam hal pembagian pekerjaan dan pendidikan.
v ABSTRACT
This thesis analyzes the patriarchal oppression faced by the main character in Sylvia Plath’s The Bell Jar. This research aims to describe and explain the patriarchal oppresssion faced by main character and the efforts taken by the main character.
The descriptive analysis method and radical feminism approach are used in this research. Descriptive analysis method is used to collect, classify and interpret the data, then the data are analyzed by the radical feminism theory. The radical feminism theory is used to identify the patriarchal oppression in the novel.
The patriarchal oppression that emerge in the novel occurs in two aspects; biological and sociological. In biological, woman’s oppression is more directed to women’s body and its attributes, particulary because the reproduction system. Whereas, in sociological, woman’s oppression occurances is caused by the social construction with stereotype towards woman and it causes gender inequality to occur in work and education division.
vi
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Pada kesempatan ini, penulis juga berterimakasih kepada pihak-pihak yang terkait secara langsung dalam penulisan skripsi yang berjudul “Belenggu-Belenggu Patriarki Yang Dihadapi Oleh Perempuan Dalam Novel The Bell Jar Karya Sylvia Plath” ini :
1. Prof. Dr. H. Moh. Tadjuddin, MA, Dekan Fakultas Sastra UNIKOM. 2. Retno Purwani Sari,S.S.,M.Hum, Ketua Jurusan Sastra Inggis UNIKOM. 3. Asih Prihandini, M.Hum, Wakil Ketua Jurusan Sastra Inggis dan Koordinator
Skripsi.
4. Nungki Heriyati, S.S.,MA, Pembimbing Pertama. 5. Nenden Rikma Dewi, S.S, Pembimbing Kedua. 6. Dr. Juanda, Dosen Wali.
vii
1 1.1 Latar Belakang Masalah
Gender merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran dan
kesempatan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran dan
kesempatan tersebut terjadi baik di dalam kehidupan keluarga maupun
masyarakat, yang dikarenakan oleh pencitraan terhadap perempuan dan
laki-laki. Perempuan sering kali dikenal sebagai makluk yang lemah lembut,
cantik, emosional, pasif dan keibuan, sementara laki-laki dianggap sebagai
makhluk yang kuat, agresif, dan perkasa. Sering kali pencitraan tersebut
dapat menimbulkan diskriminasi terhadap perempuan.
Diskriminasi terhadap perempuan telah terjadi sejak berabad-abad
lamanya. Hal ini dapat dilihat pada zaman dahulu, sekitar abad 18 ketika
perempuan tidak bisa mendapatkan pendidikan tinggi dan hanya laki-laki
yang dapat memperoleh pendidikan tinggi. Diskriminasi lain juga dapat
dilihat pada budaya Inggris, dimana perempuan yang telah menikah sering
kali tidak dapat menyembunyikan identitas mereka sendiri karena harus
menyandang sebutan “Mrs”, tetapi aturan tersebut tidak berlaku bagi kaum
yang belum atau telah menikah. Hal tersebut merupakan salah satu
diskriminasi untuk sebagian perempuan, dimana para perempuan yang sudah
menikah tidak dapat menyembunyikan status pernikahan mereka, tetapi
laki-laki dapat menyembunyikan status pernikahan mereka.
Melihat adanya ketimpangan sosial dan diskriminasi terhadap
perempuan, seperti contoh tersebut diatas, lahirlah sebuah gerakan
perempuan yang disebut feminisme. Kata feminisme berasal dari bahasa
Latin 'Femina' yang berarti 'wanita'. Feminisme merupakan filsafat sosial
yang peduli terhadap hak-hak dan masalah-masalah perempuan. Feminisme
juga merupakan teori sosial atau gerakan politik yang terbentuk dan
termotivasi dari pengalaman-pengalaman yang dialami kaum perempuan serta
terbentuk atas kesadaran kaum perempuan bahwa mereka tertindas dan
tereksploitasi. Gerakan ini mengkritisi ketidaksetaraan gender dan menuntut
hak-hak perempuan, terutama terhadap penindasan patriarkal dan seksisme.
Munculnya gerakan ini pun membuat banyak penulis perempuan
mulai menulis, baik tentang representasi dari kehidupan sosial maupun
tentang perempuan. Banyak dari mereka juga menulis tentang perempuan
dan diskriminasi gender yang mereka hadapi, baik secara terang-terangan
mereka gambarkan maupun secara bias, yang dapat dianalisis menggunakan
pendekatan feminisme. Seperti yang terdapat dalam novel Sylvia Plath The Bell
Novel tersebut merupakan sebuah novel semi autobiografi dari Sylvia
Plath. Novel ini menceritakan tentang seorang perempuan muda yang cerdas
dan memiliki talenta dalam menulis. Novel ini menggambarkan bagaimana
perempuan tersebut menghadapi belenggu-belenggu patriarki di dalam
kehidupannya, dimana ia sangat memiliki ambisi untuk menjadi seorang
penulis yang sukses dan menjadi perempuan yang mandiri di dalam
lingkungan yang lebih didominasi oleh laki-laki. Sehingga novel tersebut
dapat dianalisis menggunakan pendekatan feminisme, khususnya feminisme
radikal.
Seperti yang diasumsikan oleh feminisme radikal, bahwa penindasan
terhadap perempuan adalah hasil dari sistem seks dan gender. Maka, sangat
tepat apabila novel tersebut dianalisis menggunakan pendekatan feminisme
radikal. Di mana pendekatan feminisme tersebut dapat digunakan untuk
mengungkapkan belenggu-belenggu patriarki yang dihadapi oleh tokoh
utama dan mengungkapkan upaya apa saja yang dilakukan tokoh utama
1.2 Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini, terdapat dua rumusan masalah agar pokok
pembahasan dalam penelitian ini lebih spesifik, diantaranya :
1. Belenggu-belenggu patriarki apa yang dihadapi oleh Esther
Greenwood sebagai tokoh utama dalam novel The Bell Jar ?
2. Upaya apa saja yang dilakukan Esther Greenwood dalam melawan
belenggu-belenggu patriarki tersebut?
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
Penelitian ini dibuat dengan tujuan sebagai berikut :
1. Mengungkapkan belenggu-belenggu patriarki yang dihadapi oleh
Esther Greenwood.
2. Mengungkapkan upaya apa saja yang dilakukan Esther Greenwood
dalam melawan belenggu-belenggu patriarki tersebut.
1.4 Kegunaan Penelitian
Pada dasarnya, penelitian ini diharapkan agar dapat memberikan
kontribusi terhadap perkembangan bidang sastra di Fakultas Sastra
baru dan beberapa informasi serta kontribusi yang berguna dibidang sastra,
khususnya mengenai feminisme radikal.
Secara pribadi, penelitian ini diharapkan dapat membuat penulis
mengetahui lebih dalam mengenai feminisme dan perempuan dalam
kehidupan ini. Selain itu, diharapkan dapat membuat penulis menjadi lebih
peduli terhadap kaum perempuan dan ketidaksetaraan gender yang
dihadapi oleh perempuan.
1.5 Kerangka Pemikiran
Objek pada penelitian ini adalah belenggu-belenggu patriarki yang
dihadapi oleh tokoh utama dalam novel yang berjudul The Bell Jar karya
Sylvia Plath. Oleh karena fokus utamanya adalah tokoh utama, maka penulis
menggunakan metode karakterisasi, seperti showing (metode tidak langsung)
yaitu metode katakterisasi berdasarkan dialog langsung dan tingkah laku para
tokoh. Telling (metode langsung) yaitu metode karakterisasi berdasarkan
tuturan langsung dari pengarang.
Dalam menganalisis belenggu-belenggu patriarki tersebut, penulis
membagi belenggu-belenggu tersebut ke dalam dua aspek; sosiologis dan
biologis. Kemudian, belenggu-belenggu tersebut dianalisis menggunakan teori
dari feminisme radikal. Feminisme radikal adalah feminisme gelombang
kedua yang bertujuan memahami ketidaksetaraan gender dan fokus pada
berpendapat bahwa penindasan perempuan adalah akibat dari sistem
patriarki dan berasumsi bahwa sumber penindasan tersebut berdasarkan
pada sistem seks dan gender. Seks mengacu pada organ biologis, terdiri dari
laki-laki dan perempuan. Gender adalah konstruksi sosial mengenai perbedaan
peran dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan karena mereka memiliki
karakteristik yang berbeda. Perempuan berdasarkan sistem gender dibentuk
sebagai orang yang pasif, tidak rasional, lembut, dan lemah. Sementara
laki-laki sebagai orang yang aktif, rasional, dan kuat. Berdasarkan strereotipe
tersebut, perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang berbeda
sehingga menimbulkan diskriminasi terhadap perempuan.
Dalam menganalisis belenggu-belenggu patriarki yang terjadi pada
tokoh utama, teori Kate Millet digunakan. Millet menyatakan bahwa akar
opresi terhadap perempuan sudah terkubur dalam sistem seks dan gender dalam
budaya patriarki. Millet juga berpendapat bahwa kendali laki-laki di dunia
publik dan pribadi menimbulkan diskriminasi. Ideologi patriarkal
membesar-besarkan perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan serta memastikan
bahwa laki-laki selalu berperan maskulin atau dominan, sedangkan
perempuan selalu berperan subordinat atau feminin.
Kate Millet juga mengatakan bahwa secara sosiologi, sistem patriarki
yang membelenggu perempuan dapat terlihat pada institusi keluarga dan
kehidupan sosial. Dimana terdapat perbedaan peran dan kesempatan antara
laki-laki dan perempuan. Misalnya saja, peran dan kesempatan perempuan di
Karya sastra
diakui sebagai warganegara, tetapi mereka
untuk terlibat aktif dalam pemerinta
as utama perempuan adalah menangani pe
ngga).
rangka pemikiran dalam proses analisis ini
8
Sesuai dengan tema dari penelitian ini yaitu belenggu-belenggu
patriarki yang dihadapi oleh tokoh utama dalam novel The Bell Jar, yang juga merupakan studi mengenai feminisme radikal. Maka, dalam bab ini akan dibahas mengenai novel, karakter dan karakterisasi, feminisme, feminisme
radikal serta sistem patriarki.
2.1 Novel
Novel merupakan salah satu jenis karya sastra yang biasanya berbentuk cerita atau narasi. Novel muncul di Spanyol pada abad ke- 17,
kemudian mulai berkembang di Inggris pada abad ke- 18. Kata novel sendiri berasal dari bahasa Italia “Novella” yang berarti sebuah kisah atau sepotong
berita. Kata novella tersebut juga sering kali digunakan untuk menyebut sebuah prosa pendek, karena novella biasanya hanya terdiri kurang dari 200 halaman. Berbeda dengan novel, yang terdiri dari 200 halaman lebih.
Terdapat berbagai jenis novel, diantaranya picaresque novel yang menceritakan pengalaman-pengalaman kehidupan sosial masyarakat. Historical
sejarah. Satrical novel, yaitu novel yang berisi kritikan-kritikan terhadap bidang sosial politik. Serta detective novel, yaitu novel yang menceritakan
kejahatan-kejahatan dan menceritakan bagaimana kejahatan-kejahatan tersebut terungkap.
Novel juga merupakan karya sastra yang sering digunakan untuk menggambarkan dan mengespresikan kehidupan sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Michel Zerrafa dalam Elizabeth mengatakan bahwa novel tidak
terlepas dari fenomena-fenomena sosial dan juga terikat pada peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam kehidupan sosial. Ini terlihat dalam kutipan
Michel Zerrafa berikut ini “ The form of and content of the novel derive more closely from social phenomena; novel often seem bound up with particular moments in the history of society”. (1973 : 35).
Di dalam novel juga terdapat beberapa unsur-unsur pembangun karya sastra, antara lain adalah karakter dan karakterisasi. Karakter dan karakterisasi
akan dibahas lebih lanjut, karena objek dalam penelitian ini adalah karakter dalam sebuah novel.
2.1.1 Karakter
Menurut Echols dan Shadily dalam Metode Karakterisasi Telaah Fiksi
sendiri. Karakter berarti watak, peran (Minderop, 2005 : 2). Horby dalam Minderop pun mengatakan bahwa karakter bisa berarti orang, masyarakat, ras,
sikap mental dan moral, kualitas nalar, orang terkenal, tokoh dalam karya sastra, reputasi dan tanda atau huruf (Minderop, 2005 : 2).
Sudjiman dalam buku Pengantar Teori Sastra karya Wahyudi Siswanto, membedakan karakter yang ditinjau dari peranan dan keterlibatan dalam cerita, yang terdiri atas tokoh primer (utama), tokoh sekunder (tokoh
bawahan) dan tokoh komplementer (tambahan). Tokoh primer atau tokoh utama, adalah tokoh yang paling banyak mengalami peristiwa di dalam cerita.
Tokoh bawahan dan tokoh komplementer adalah tokoh-tokoh yang mendukung atau membantu tokoh utama. (Siswanto, 2008 : 143)
Meskipun terdapat berbagai jenis karakter di dalam sebuah karya sastra,
tetapi hanya ada satu karakter atau tokoh yang sering menjadi sorotan, yaitu tokoh utama. Tokoh ini selalu menjadi wacana utama bagi penikmat karya
sastra atau pembaca. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dipilih tokoh utama sebagai objek penelitian, yang juga merupakan tokoh sentral di dalam cerita dan mengalami berbagai peristiwa di dalam novel tersebut.
2.1.2 Karakterisasi
metode karakterisasi berdasarkan Pickering dan Hoeper dalam Minderop adalah metode langsung (telling) dan metode tidak langsung (showing).
Metode telling mengandalkan pemaparan watak tokoh pada eksposisi dan komentar langsung dari pengarang. Metode showing memperlihatkan
pengarang menempatkan diri di luar kisahan dengan memberikan kesempatan kepada para tokoh untuk menampilkan perwatakan mereka melalui dialog dan action (Minderop, 2005 : 6).
Metode Telling mencakup karakterisasi melalui penggunaan nama tokoh, karakaterisasi melalui penampilan tokoh, dan melalui tuturan
pengarang. Metode showing mencakup dialog dan tingkah laku, karakterisasi melalui dialog, apa yang dikatakan penutur, jatidiri penutur, lokasi dan situasi percakapan, jatidiri tokoh yang dituju oleh penutur, kualitas mental
para tokoh, nada suara, penekanan, dialek, dan kosa kata para tokoh. Karakterisasi para tokoh mencangkup : ekspresi wajah dan motivasi yang
melandasi tindakan tokoh (Minderop, 2005 : 4).
Kedua metode karakteristik tersebut digunakan dalam penelitian ini untuk mengungkapkan belenggu-belenggu patriarki yang dihadapi tokoh
utama. Tetapi metode showing lebih sering digunakan dalam penelitian ini karena dalam novel tersebut si pengarang hanya memberikan sedikit
2.2 Feminisme
2.2.1 Definisi
Feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang pada awalnya
ditujukan untuk menuntut kebebasan perempuan. Pada saat itu perempuan baik dari kalangan atas, menengah maupun bawah, tidak memiliki hak-hak
seperti untuk mendapatkan pendidikan, berpolitik, hak pilih dan pekerjaan. Secara umum, kaum perempuan saat itu merasa dirugikan dalam berbagai bidang dan menjadi makhluk kedua setelah laki-laki dalam bidang sosial,
pekerjaan, pendidikan, dan politik, terutama dalam masyarakat yang bersifat patriarki. Feminisme juga muncul dari berbagai rasa sakit dan
pengalaman-pengalaman perempuan akan ketimpangan yang berlangsung dalam tatanan masyarakat, baik yang berlangsung di ranah publik maupun pribadi.
Menurut Peter Barry, pergerakan ini dilihat dari segi-segi yang penting,
bersifat sastrawi sejak awal. Artinya, mereka menyadari signifikansi citra perempuan yang disebarluaskan oleh sastra dan memandang bahwa penting
sekali untuk melawan hal tersebut dan mempertanyakan otoritas dan koherensinya (Barry, 2010 : 143). Oleh karena itu, pergerakan ini dapat dikaitkan dengan karya sastra. Artinya, sebuah karya sastra dapat dilihat dari
segi feminisme karena terkadang karya sastra menampilkan serangkaian representasi kehidupan dan pengalaman-pengalaman perempuan serta
Diawali dengan munculnya feminisme gelombang pertama yaitu feminisme liberal, gerakan ini terus berkembang dan menimbulkan banyak
gelombang feminisme dengan pendekatan yang berbeda-beda. Seperti feminisme radikal, feminisme Marxis, feminisme psikoanalisis, feminisme
ekstensialis, feminisme posmodern, feminisme multikultural dan yang terakhir ekofeminisme. Meskipun berbeda pandangan, tetapi sebenarnya tujuan mereka sama yaitu menuntut kesetaraan gender terhadap perempuan serta pemikiran
mengenai akar persoalan perempuan dan solusinya. Pada penelitian ini, feminisme radikal akan dibahas lebih lanjut karena ideologi ini digunakan
untuk menganalisis belenggu-belenggu yang dihadapi oleh tokoh utama dalam novel The Bell Jar.
2.2.2 Feminisme Radikal
Feminisme radikal merupakan feminisme gelombang kedua yang
dikembangkan oleh sekelompok gerakan perempuan di akhir 1960-an, terutama di New York dan Boston. Pada awalnya gerakan ini muncul karena melihat adanya eksploitasi terhadap tubuh perempuan, seperti praktek
pornografi, pelecehan seksual, dan pemerkosaan. Kata ‘radical’ bisa berarti hampir sama dengan ekstrim, tetapi sesungguhnya berasal dari kata ‘radic’
atau ‘radix’ yang berarti akar. Sehingga, Feminisme radikal ini melihat opresi terhadap perempuan dari akarnya, yaitu sistem seks dan gender.
Menurut Braidotti dalam Pengantar Teori-teori feminis kontemporer
(Jackson, 2009 : 227). Serta, Oakley dalam Jackson juga berpendapat bahwa gender bukanlah akibat langsung dari jenis kelamin biologis. Ia pun
mendefinisikan seks sebagai sesuatu yang anatomis dan ciri psikologis yang menentukan kelaki-lakian (maleness) dan keperempuan (femaleness), dan
gender merupakan suatu maskulinitas dan feminitas yang terbentuk bukan secara biologis, namun secara sosial, kultural, dan psikologis di dalam masyarakat dalam kurun waktu tertentu. (Jackson, 2009 : 228)
Feminisme ini berasumsi bahwa sistem seks dan gender melahirkan sistem patriarki, yang mengidentifikasikan perempuan dan laki-laki sebagai
makhluk biologis dengan sifat feminin untuk perempuan dan maskulin untuk laki-laki. Pada kenyataannya, pembedaan seperti itu memberdayakan laki-laki tetapi justru melemahkan perempuan dan menimbulkan ketimpangan gender.
Gayle Rubin mengatakan bahwa sistem seks dan gender adalah suatu rangkaian pengaturan yang digunakan oleh masyarakat untuk
mentransformasikan seksualitas biologis menjadi produk kegiatan manusia. Pengaturan ini merupakan cara konvensional dalam mengelola relasi seksual yang sifatnya beragam secara kultural, terutama melalui struktur
kekeluargaan dan pernikahan. Gender sendiri didefinisikan sebagai pemisah jenis kelamin yang dipaksakan secara sosial dan sebagai suatu hasil relasi
seksualitas yang bersifat sosial (Rubin, 1975 : 179).
Seperti yang dikatakan oleh Sojourner Truth dalam buku Pengantar Teori Feminis Kontemporer yang merupakan mantan seorang budak kulit
terdapat konsepsi dominan mengenai perempuan sebagai makhluk yang rapuh, lembut, dan membutuhkan perlindungan dari laki-laki yang sopan dan
jantan (2009 : 229). Hal tersebut terlihat jelas bahwa secara kultural perempuan identitaskan dengan perilaku “feminin” sementara laki-laki
“maskulin”.
Salah satu tokoh feminis radikal adalah Kate Millet, dalam Joshepine, ia mengatakan bahwa “Patriarchal ideology is that of male supremacy which
conditions woman to exhibit male-serving behavior and to accept male-serving roles”. Ini berarti bahwa patriarki adalah sebuah ideologi mengenai
supremasi laki-laki yang membentuk perempuan untuk menerima segala bentuk kekuasaan laki-laki terhadap perempuan dan menerima segala bentuk peran-peran yang diatur oleh laki-laki. Millet berpendapat bahwa ideologi ini
menembus disetiap aspek budaya dan menyentuh setiap kehidupan kita, bahkan dalam hal yang paling pribadi. Millet melihat keluarga adalah sumber
utama dimana doktrin ideologi patriarki ditanamkan. Millet pun berpendapat bahwa seks adalah politis karena hubungan laki-laki dan perempuan merupakan paradigma dari semua hubungan kekuasaan.
Ia juga mengatakan “sex is political. Male and female relationship is the paradigm for all power relationship” (Millet,1970 : 91). Hubungan perempuan
seluruh anggota keluarga. Sementara perempuan hanya memiliki kendali yang kecil dan menjadikan perempuan sebagai makluk inferior, sementara laki-laki
sebagai makhluk yang superior. De Beauvoir dalam bukunya “The Second Sex” menyatakan bahwa pada dasarnya perempuan tidak diciptakan sebagai
makhluk inferior tetapi perempuan menjadi inferior karena struktur kekuasaan yang terdapat di dalam masyarakat berada di tangan dan kendali laki-laki. Beauvoir juga menyatakan bahwa laki-laki menggunakan seksualitas
antara perempuan dan laki-laki sebagai alasan untuk memposisikan perempuan sebagai makhluk yang inferior (1989 : 9).
Tokoh feminis radikal lainnya adalah Shulamith Firestone, ia berpendapat bahwa fungsi reproduksi perempuan merupakan salah satu alasan pembagian peran berdasarkan gender, yang justru menghasilkan ketimpangan
gender. Ia pun tidak menyetujui gagasan dimana perempuan harus hidup untuk laki-laki dan mengidentifikasi perempuan sebagai objek cinta atau
objek seks laki-laki. Teori-teori feminisme radikal ini digunakan untuk menganalisis novel The Bell Jar yang bertujuan untuk mengungkapkan penindasan patriarkal yang muncul.
2.3 Sistem Patriarki
keluarga. Secara harfiah, patriarki adalah aturan ayah atau otoritas laki-laki, dimana perempuan haruslah patuh terhadap laki-laki.
Patriarki sendiri memiliki beberapa prinsip yaitu dimana laki-laki harus lebih dominan dalam segala bidang dibanding perempuan yang menjadi
subordinatnya. Laki-laki yang lebih tua harus lebih dominan dibandingkan dengan yang berusia muda.
Dalam teori feminisme, patriarki adalah sebuah struktur dimana
laki-laki memiliki peran besar daripada perempuan dalam segala bidang, seperti keluarga, pekerjaan, dan sebagainya. Patriarki juga dapat didefinisikan sebagai
kendali laki-laki terhadap perempuan. Dalam masyarakat patriarki, perempuan hanya memiliki sedikit kesempatan dan hak dalam berbagai bidang karena perempuan lebih rendah dari laki-laki. Hal ini yang membuat
perempuan tertindas dan terdiskriminasi.
Patriarki pun telah menjadi sebuah ideologi di dalam masyarakat.
Ideologi patriarki merupakan suatu ideologi yang menekankan kekuasaan bapak (kaum laki-laki). Ideologi ini pun merupakan sebuah sistem sosial yang mendukung dan membenarkan predominasi kaum laki-laki yang
mengakibatkan kontrol dan subordinasi perempuan, serta menciptakan ketimpangan atau ketidakadilan gender. Hal ini merupakan dominasi atau
kontrol laki-laki atas perempuan, tubuhnya, seksualitasnya dan pekerjaannya, baik dalam keluarga maupun masyarakat. (Yulianeta, 2002)
Ideologi patriarki menurut Millet, membesar-besarkan perbedaan
mempunyai peran yang maskulin dan dominan, sedangkan perempuan selalu mempunyai peran yang subordinat atau feminin. Ideologi ini begitu kuat
sehingga laki-laki biasanya mampu mengopresi perempuan. Mereka melakukan hal tersebut melalui institusi seperti akademi, gereja, dan keluarga
yang masing-masingnya membenarkan dan menegaskan subordinasi perempuan terhadap laki-laki yang berakibat bagi kebanyakan perempuan untuk menginternalisasi rasa inferioritas diri terhadap laki-laki (Tong, 1998 :
74). De Beauvoir juga menyatakan bahwa secara umum masyarakat barat adalah patriarki. Masyarakat patriarki terdiri dari struktur kekuasaan yang
didominasi oleh laki-laki di seluruh aspek masyarakat. Millet membagi patriarki dalam beberapa aspek, seperti sosiologis dan biologis.
2.3.1 Sosiologi
Dalam buku Sexual Politics, Millet mengatakan bahwa keluarga adalah sumber utama dari sistem patriarki, seperti yang ia katakan berikut ini :
“patriarchy’s chief institution is the family, as the fundamental instrument and the foundation unit of patriarchal society the family and its roles are prototypical, serving as an agent of the large society, the family not only encourages its own members to adjust and comform, but acts as a unit in the goverenment of the patriarchal stataes which rules its citizens through its family head”. (1970 : 33)
Ia juga berkata “even in patriarchal societies where they are granted
masyarakat yang menganut sistem patriarki perempuan diakui sebagai warganegara. Tetapi tetap saja mereka hanya memiliki sedikit kesempatan atau
bahkan tidak memiliki kesempatan di dalam pemerintahan itu sendiri. Mereka memiliki tugas utama untuk memelihara dan menangani segala segala urusan
rumah tangga atau domestic work.
Meskipun perempuan memiliki peran yang sangat besar dalam domestic work atau keluarga, tapi tetap saja hanya laki-laki sebagai ayah yang
memiliki andil besar dalam keluarga. Laki-laki dalam keluarga lah yang berkuasa atas istri dan anak-anak, sehingga mereka pun dapat berbuat semau
mereka terhadap istri dan anak-anak mereka yang terkadang disalahgunakan sehingga berakibat kekerasan dalam rumah tangga terjadi. Ini dapat terlihat pada kutipan Millet dalam bukunya Sexual Politics berikut ini “Traditionally,
patriarchy granted the father nearly total ownership over wife or wives and children, including the powers of physical abuse and often even those of murder
and sale” (1970 : 33).
Dalam keluarga tradisional yang berprinsip patriarki, ayah secara total memiliki kuasa terhadap istri dan anak-anak sehingga ia bisa berbuat
sewenang-wenang terhadap mereka. Selain itu, perempuan pun harus mengikuti semua konstruksi-konstruksi sosial yang ada di dalam masyarakat yang di terapkan
2.3.2 Biologis
Secara biologis, perempuan tersubordinat lebih karena pada
kepemilikan fungsi reproduksi dan perbedaan fisik yang lebih mengacu pada perbedaan jenis kelamin yang merupakan ciri biologis yang melekat pada
perempuan dan laki-laki serta tidak dapat diubah. Hal tersebut menghasilkan perbedaan-perbedaan peran dan kesempatan antara perempuan dan laki-laki. Misalnya saja, masyarakat patriarkal menggunakan fakta tertentu mengenai
fisiologi perempuan dan laki-laki (kromosom, anatomi, hormon) sebagai dasar untuk membangun serangkain identitas dan perilaku “maskulin” dan
“feminin” yang berlaku untuk memberdayakan laki-laki dan melemahkan perempuan (Tong, 1998 : 48). Millet juga mengatakan :
“biological differencess between the sexes, so that where culture is acknowledged as shaping behaviour, it is said to do no more than coorporate with nature. Yet the tempramental distinction created in patriarchy (masculine and feminine personality traits), the havier musculature of male a secondary characteristic and common among mamals, is origin but is also culturally encouraged through breeding, diet and exercise (Millet, 1970 : 27).
Pada kutipan tersebut Milllet mengatakan bahwa perbedaan biologis
antara perempuan dan laki-laki merupakan hal yang alami, namun kultur telah mengkonstruksi perbedaan tersebut. Sehingga konstruksi tersebut menimbulkan konsep bahwa laki-laki lah yang kuat sementara perempuan
21
Bab ini memberikan gambaran mengenai objek penelitian, metode
penelitian dan metode pengumpulan data yang digunakan serta metode analisis
data.
3.1 Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah belenggu-belenggu patriarki yang dihadapi
oleh tokoh utama dalam novel yang berjudul The Bell Jar” karya Sylvia Plath.
Novel tersebut pertama kali dipublikasikan di London, Inggris pada bulan
Januari 1963 dengan nama samaran Victoria Lucas. Pada tahun 1966, The Bell
Jar diterbitkan di Inggris dengan nama asli pengarangnya, Sylvia Plath. Pada
awal tahun 1970-an. Novel tersebut mulai banyak diterbitkan di Amerika
Serikat.
Novel ini merupakan novel pertama dari Sylvia Plath, karena
sebelumnya ia dikenal sebagai seorang penulis puisi. Novel ini pun merupakan
sebuah novel semi autobiografi dirinya. Novel ini menggambarkan bagaimana
seorang perempuan terbelenggu oleh budaya patriarki di lingkungan ia tinggal,
serta bagaimana ia melawan belenggu tersebut dengan tetap berusaha menjadi
tersebut akan dianalisis menggunakan pendekatan feminisme dengan melihat
karakterisasi tokoh utama.
3.1.1 Sinopsis The Bell Jar
Novel The Bell Jar karya Sylvia Plath merupakan sumber dari penelitian
ini. Novel tersebut menceritakan seorang perempuan muda, Esther Greenwood.
Ia berasal dari sebuah keluarga kelas menengah yang tinggal di sebuah kota kecil
di pinggiran kota Boston. Cerita berawal ketika Esther Greenwood, tokoh utama
mendapatkan undangan sebagai tamu editor sebuah majalah fashion terkenal di
New York karena memenangkan beasiswa. Di sana ia mengalami berbagai
pengalaman. Ia berkenalan dengan salah satu pemenang di sana, yaitu Doreen
yang merupakan seorang gadis homoseksual, seorang lesbian. Sebenarnya ia
tidak suka dan tidak nyaman berada di sana karena kehidupan di sana berbeda
dengan kehidupan ia di tempat tinggalnya, dimana kehidupan di sana lebih
glamor.
Setelah Esther kembali ke rumahnya, ibunya meminta agar ia tidak lagi
melanjutkan studinya dalam menulis. Ia diminta untuk belajar shorthand
(stenographi), untuk menjadi seorang sekretaris dan menikah. Budaya di sana
saat itu mengharuskan perempuan melakukan pekerjaan tersebut, namun ia
menolaknya. Pada suatu ketika, kekasihnya yang bernama Buddy Williard
meminta Esther untuk menikah dengannya, namun ia menolaknya setelah ia
yang ingin menjadi seorang penulis terkenal, karena ia hanya ingin Estrher
menikah dengannya dan mengurus rumah tangga. Buddy juga sering
berselingkuh dengan wanita-wanita lain.
Suatu ketika, Esther melihat gambar mengenai fig tree, yang
menggambarkan seorang wanita dengan berbagai aktivitas melelahkan dan
membelenggu, mengurus rumah tangga, anak, suami, dan karir. Sejak saat itu,
Esther mulai bimbang. Ia sangat berambisi menjadi penulis terkenal dan wanita
yang sukses di dalam karir, sementara budaya pada saat itu memang
mengharuskan perempuan untuk menikah dan mengurus pekerjaan domestik.
Di dalam novel ini juga diceritakan tentang motherhood (keibuan), yang
tercermin pada beberapa tokoh, diantaranya, Dodo Conway adalah salah satu
tetangga Esther, yang merupakan seorang istri yang hampir setiap tahun
melahirkan anak karena tuntutan dari suaminya. Ia setiap hari hanya mengurus
anak-anaknya yang begitu banyak dan rumah tangga, tetapi ia terlihat sangat
nyaman dengan melakukan hal itu. Mrs. Willard, seorang ibu rumah tangga
yang merupakan ibu dari Buddy Williard, kekasih Esther. Ia merupakan ibu
ideal yang selalu menyiapkan segala keperluan anak-anak dan suaminya
walaupun ia sibuk bekerja. Betsy, salah satu teman Esther sewaktu di New
York, ia yang bercita-cita menjadi ibu rumah tangga suburban (desa), ia tak
peduli walaupun ia sudah memenangkan kontes menulis di sebuah majalah
fashion terkenal di New York. Esther melihat bahwa wanita-wanita tersebut
ternyata merasa nyaman menuruti norma-norma tersebut yang ada. Seperti
mengagungkan kehidupan dalam ranah domestik (rumah tangga), yang sering
kali mengabaikan ketidakadilan yang terjadi di dalamnya.
Hal tersebut di atas menjadi tekanan bagi Esther. Ia bimbang, antara
karir yang selama ini ia cita-citakan atau menjadi ibu rumah tangga. Ia
merasa tak mampu menjalani semua itu, sementara orang-orang disekelilingnya
mampu. Ia mulai depresi, ia tidak lagi dapat menulis. Pikirannya mulai
terpecah antara tuntutan diri untuk menjadi penulis yang hebat, dan
tuntutan social untuk mengurus pekerjaan rumah tangga, seperti yang ia lihat
dalam analogi pohon (fig tree). Esther merasa tidak mampu melakukan
semuanya.
Akibat depresi yang berat, Esther dilarikan ke psikiatris. Esther pun
berkali-kali mencoba bunuh diri. Akibat depresinya, Esther tidak mampu lagi
mengeluarkan bakatnya dalam menulis. Ia berpikir tidak lagi memiliki
kesempatan untuk menjadi penulis terkenal dan menjadi seorang profesor.
Namun, usaha bunuh dirinya berulang-ulang tidak berhasil. Di akhir cerita,
Esther terpaksa dilarikan ke sebuah rumah sakit jiwa dan harus tinggal di sana.
3.1.2 Biografi Pengarang
Sylvia Plath lahir pada tanggal 27 Oktober 1932 di Massachusetts
Memorial Hospital yang berada di Jamaica Plain, Massachusetts Amerika.
Ibunya bernama Aurelia Schober Plath, yang merupakan keturunan Austria,
Ayahnya adalah seorang profesor biologi di Boston University, yang juga
merupakan penulis buku Bumblebees and Their Ways. Ia memiliki seorang
adik laki-laki. Plath dibesarkan di Winthrop, sebuah kota di tepi pantai dekat
Boston.
Pada 5 November 1940 ketika ia berusia 8 tahun, ayahnya meninggal
dunia karena terserang diabetes. Sejak saat itu Plath mulai menulis, ia pun
mendapatkan penghargaan The Scholastic Art & Writing Awards pada tahun
1947. Kemudian, pada September 1950 Plath mendapatkan beasiwa di Smith
College Northhampton, Massachusetts Amerika yang merupakan salah satu
perguruan tinggi khusus wanita terbesar di dunia. Ia juga menjadi editor di
The Smith Review. Disinilah awal karirnya dimulai, ia mulai mempublikasikan
beberapa karyanya ke sebuah majalah Seventeen. Salah satunya adalah short
story pertamanya “And Summer Not Come Again” yang diterbitkan pada
Agustus 1950. Pada tahun dan bulan yang sama, ia juga mempublikasikan
puisinya yang berjudul “Bitter Strawberries”.
Kemudian pada tahun 1952 ia terpilih sebagai tamu editor di
Mademoiselle’s College Board Contest di New York. Setelah kembali dari New
York, ia menderita depresi dan mengalami gangguan mental yang serius,
penyebab depresinya tidak diketahui secara jelas. Sejak saat itu, ia mulai
mencoba bunuh diri dengan banyak mengkonsumsi obat tidur. Ia terpaksa
dilarikan ke sebuah rumah sakit dan diberi terapi listrik serta psikoterapi.
Plath kembali ke Smith College pada semester kedua tahun 1954, ia
berhasil menyelesaikan studinya pada tahun 1955 dengan predikat summa cum
laude dan mendapatkan beasiswa di Newnham College, Cambridge
University pada bulan Juni 1955. Di sana ia bertemu dengan seorang penyair
inggris, Ted Hughes. Mereka menikah di St George the Martyr Holborn, London.
Ted dan Plath memiliki dua orang anak. Selanjutnya pada tanggal 1 Agustus
1962, ia berhasil menyelesaikan novelnya yang berjudul “The Bell Jar”.
Plath bercerai dengan suaminya pada bulan Desember 1962, karena
mengalami berbagai masalah. Saat itu, Plath pun banyak menulis puisi dan
menghasilkan karya-karyanya. Pada 11 Februari 1963 diusia tiga puluh tahun,
Plath mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Ia meletakkan kepalanya ke
dalam oven gas. Ia dimakamkan di Heptonstall. Setelah ia meninggal, reputasi
Plath mulai berkembang dan karya-karyanya mulai banyak diterbitkan serta
diketahui banyak orang diberbagai negara. Pada tahun 1981, Plath's Collected
Poems mulai diterbitkan, yang kemudian disusul dengan jurnal-jurnal Plath
pada tahun berikutnya.
3.2 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis. Menurut
Surakhmad, metodologi deskriptif analisis adalah metode untuk memecahkan
masalah yang aktual, dengan mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan,
metode tersebut digunakan untuk mendeskripsikan data, kemudian dianalisis
berdasarkan teori-teori yang diterapkan dalam penelitian ini.
3.2.1 Metode Pengumpulan Data
Proses pengumpulan data pada penelitian ini, menggunakan studi
kepustakaan atau library research. Menurut Semi (1993:8) “ library research
yakni penelitian dilakukan di kamar kerja peneliti atau ruang perpustakaan
dimana peneliti memperoleh data atau informasi tentang objek penelitiannya
lewat buku-buku atau alat-alat visual lainnya”. Sesuai dengan pengertian
tersebut diatas, maka penelitian ini dilakukan hanya dengan studi kepustakaan,
tanpa melakukan survei atau observasi tertentu. Adapun langkah-langkah yang
dilakukan dalam proses ini adalah sebagai berikut :
1. Membaca novel yang merupakan sumber penelitian.
Novel yang dipilih adalah novel karya Sylvia Plath The Bell Jar.
Novel tersebut dibaca secara berulang-ulang dan dipahami secara
mendalam, agar dapat mengidentifikasi belenggu-belenggu patriarki
yang dihadapi oleh tokoh utama, gambaran pertentangan antara
tokoh utama dan budaya-budaya patriarki yang ada pada saat itu.
2. Mencari data.
Setelah membaca berulang-ulang dan memahami isi novel tersebut,
rumusan masalah dalam penelitian ini yang digunakan sebagai data
analisis.
3. Pengklasifikasian data.
Dalam tahap ini, data-data yang telah terkumpul kemudian dipilih
berdasarkan klasifikasinya. Baik yang merupakan belenggu-belenggu
patriarki yang dihadapi oleh tokoh utama maupun bagaimana tokoh
utama tersebut melawan belenggu-belenggu patriarki. Serta,
pengklasifikasian data juga berdasarkan belenggu patriarki dalam
aspek biologis dan sosiologis.
4. Analisis data.
Tahap akhir dalam proses penelitian ini adalah menganalisis semua
data-data yang telah diklasifikasikan sebelumnya, serta menerapkan
teori-teori yang digunakan dalam menganalisis data-data tersebut.
3.2.2 Metode Analisis Data
Data-data yang telah diklasifikasikan kemudian dianalisis menggunakan
pendekatan kritik sastra feminisme radikal. Pendekatan ini berfokus pada
keberadaan masalah gender perempuan dalam karya sastra. Sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya, bahwa didalam novel The Bell Jar digambarkan
seseorang yang menghadapi belenggu-belenggu patriarki di dalam
kritik sastra ini digunakan sebagai alat bantu dalam membahas
belenggu-belenggu patriarki yang dihadapi oleh Esther Greenwood sebagai tokoh utama.
3.2.2.1 Contoh Analisis Data
Berikut ini adalah salah satu contoh analisis data dalam penelitian ini.
Korpus dibawah ini merupakan salah satu ketimpangan gender dalam hal
pembagian pekerjaaan secara sexual yang dihadapi oleh tokoh utama Esther
Greenwood.
I didn’t know shorthand. This meant I couldn’t get a good job after college. My mother kept telling me nobody wanted a plain English major. (Plath, 1972 : p.61).
Pada kutipan tersebut, terlihat bahwa perempuan pada zaman itu
harus belajar shorthand yang merupakan stenografi atau cara menulis dengan
ringkas dan cepat yang biasanya dipelajari oleh sekretaris. Namun, Esther
tidak mengetahui stenografi tersebut dan ia sangat tidak tertarik menjadi
sekretaris. Hal tersebut pun menjadi kekhawatiran Esther dan orang-orang
disekitarnya jika setelah ia lulus sekolah, ia tidak akan mendapatkan
pekerjaan “This meant I couldn’t get a good job after college” karena kehidupan
sosial di tempat ia tinggal telah mengkonstruksi perempuan untuk
melakukan pekerjaan seperti itu. Ibunya pun mengatakan padanya bahwa
tidak ada yang mencari seseorang dari lulusan bahasa inggris atau sastra,
“My mother kept telling me nobody wanted a plain English major”. Ibunya
yang bekerja selain sebagai sekretaris, typist atau waitress dan belajar
selain shorthand.
Hal tersebut terlihat bahwa telah terjadi pembagian kerja berdasarkan
sexual atau jenis kelamin, dimana perempuan terkonstruksi untuk bekerja
sebagai sekretaris karena pada dasarnya pekerjaan sekretaris adalah melayani,
hal tersebut sesuai dengan strereotipe perempuan yang terkonstruksi sebagai
makhluk yang pasif, lemah lembut, dan sebagainya. Sehingga perempuan tidak
dapat sebebasnya memilih jenis pekerjaan yang mereka inginkan seperti yang
dialami oleh Esther karena ia hanya ingin menjadi seorang penulis dan
mempelajari sastra atau bahasa Inggris. Namun, seperti yang dikatakan oleh
ibunya bahwa tidak ada seorang pun yang mencari lulusan dari sastra atau
31
Pada bab ini akan dibahas mengenai bentuk-bentuk belenggu patriarki
yang dihadapi oleh tokoh utama di dalam novel. Belenggu patriarki tersebut di
klasifikasikan dalam dua kategori, yaitu secara sosiologis dan secara biologis.
4.1 Sosiologis
Secara sosial, perempuan terkonstruksi untuk tampil ideal dan cantik.
Kecantikan merupakan salah satu yang melekat dan harus ada pada seorang
perempuan. Hal tersebut telah terkonsepkan oleh ideologi patriarki karena
perempuan yang cantik akan disukai dan dicari laki-laki, meski pada dasarnya
cantik itu bersifat relatif. Menurut Beauvoir, strereotipe dan mitos
kecantikan diciptakan oleh masyarakat yang menganut sistem patriarki. Bagi
perempuan yang merasa dirinya kurang ideal dan cantik, mereka akan selalu
mengusahakan agar dirinya senantiasa terlihat cantik dan ideal. Menurut Wolf,
sosok yang ideal adalah sosok yang kurus, tinggi, putih, dan berambut pirang
dengan wajah yang mulus tanpa noda, simetri dan tanpa cacat sedikit pun.
(2004 : 4). Konsep ideal dan cantik tersebut pun telah terkonstruksi di dalam
masyarakat, yang terkadang justru membuat perempuan malah menjadi
novel The Bell Jar, ia malah berusaha untuk tidak mengikuti stereotipe
yang tertuju pada perempuan harus tampil cantik. Hal tersebut tergambarkan
pada kutipan berikut :
“I got such a kick out of all those free gifts showering on to us”. (Plath,1971 : p.3).
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa Esther membuang hadiah
yang ia dapatkan ketika memenangkan lomba menulis di sebuah majalah
terkenal, dimana hadiah itu merupakan seperangkat kosmetik. Dalam
kutipan tersebut terlihat bahwa ia menolak budaya patriarki, ia membuang
semua hadiah tersebut. Budaya patriarki mengkontruksi perempuan sebagai
hiasan yang harus terlihat cantik dan menarik. Esther berpikir bahwa semua
itu hanya dapat mengopresi perempuan ketika perempuan terkonstruksi
harus terlihat cantik untuk membuat laki-laki tertarik padanya dan
memenuhi kesenangan laki-laki sehingga mereka selalu mengusahakan untuk
terlihat cantik dengan berbagai cara. Hal tersebut justru menjadikan diri
mereka sebagai korban dari stereotipe, citra, dan mitos kecantikan yang
sudah terkonstruksi secara sosial. Menurut Wolf, mitos kecantikan ini
dikonstruksikan ke dalam norma dan nilai sosial budaya sehingga apa yang
dikatakan mitos kecantikan ini menjadi kebenaran yang absolut (2004: 25).
Dalam ideologi patriarki, supremasi laki-laki membentuk perempuan
untuk memenuhi keinginan laki-laki, melayani dan menerima segala
peran-peran perempuan yang telah terkonstruksi. Hal ini dapat dilihat ketika
Beauvoir, salah satu feminis mengatakan bahwa perempuan adalah makhluk
kedua yang harus menjadi seseorang yang sempurna dan menarik untuk
melayani dan membuat laki-laki atau suaminya bahagia dengan penampilan
yang indah dan menarik. Ketika perempuan tidak bisa memenuhi semua itu,
mereka tidak bisa mendapatkan cinta. Mereka menjadi berlomba-lomba
mempercantik diri agar dapat diterima dan memenuhi standar kecantikan
yang sering kali dilontarkan terhadap perempuan.
Terdapat beberapa feminis mencoba untuk menghapuskan segala
sesuatu yang dapat mengopresi tubuh mereka sendiri, seperti menggunakan
sepatu hak tinggi. Mereka berasumsi bahwa hal tersebut dapat mengopresi
tubuh mereka, membuat kaki mereka lelah meskipun mereka dapat terlihat
lebih indah dan menarik. Hal tersebut juga seperti halnya Esther yang
membuang semua peralatan kecantikan wanita, karena mereka berpikir
hal-hal tersebut hanya mengopresi tubuh mereka. Ketika perempuan hanya dilihat
dari kecantikannnya saja dan menjadikan perempuan hanya sebagai objek
dari keinginan seks pria, perempuan berlomba-lomba dan berusaha mengubah
dirinya agar terilhat menarik dan diterima oleh laki-laki.
Selain masalah tersebut di atas, di dalam novel The Bell Jar pun
terdapat isu-isu tentang perbedaan bidang pekerjaan bagi perempuan dan
laki-laki. Seperti yang terjadi di Amerika, terdapat beberapa jenis pekerjaan
yang ditujukan tepat untuk perempuan, seperti yang dikatakan oleh Claudia
Goldin dalam buku Understanding The Gender Gap (An Economic History of
promotion but relatively short ladders” ( 1990, 8).
Pada kutipan Claudia tersebut, terdapat perbedaan gender di dalam
pekerjaan. Pada saat itu di Amerika, terdapat dua jenis pekerjaan yang
tepat untuk perempuan, yaitu sebagai typist (pengetik) dan stenographer
(stenograf), yang ia sebut sebagai dead-end position karena pekerjaan
tersebut merupakan pekerjaan yang tidak ada kenaikan jabatannya serta
pekerjaan dengan posisi yang dapat memperoleh jabatan meski dengan
jenjang yang lama “positions that involved promotion but relatively short
ladders”.
Esther pun mengalami perbedaan-perbedaan tersebut di lingkungan ia
tinggal. Pada saat itu, perempuan dikonstruksi untuk bekerja sebagai
sekretaris dan ia pun diminta untuk mempelajari shorthand atau stenographi
untuk menjadi seorang sekretaris.
My mother had convinced me I should study shorthand ...maybe I could study the eighteenth century in secret...but I didn’t know shorthand, so what could I do? (Plath,1971 : p.99-100)
Ibunya meminta ia untuk belajar stenographi secara berulang-ulang.
Namun, ia sendiri pun tidak mengetahui lebih dalam apa itu srenographi
dan ia sendiri tidak tahu apa yang harus ia lakukan karena ia benar-benar
tidak menginginkan belajar shorthand (stenographi). Hal tersebut terlihat
bahwa kehidupan sosial pada saat itu memang membentuk perempuan untuk
bekerja sebagai sekretaris dan terdapat ketimpangan gender dalam hal
ia bekerja sebagai pelayan.
Buddy’s mother had even arranged for me to be given a job as a waitress...she and Buddy couldn’t understand why I chose to go to New York City instead (Plath, 1972 : p.16)
Pada kutipan diatas terlihat bahwa memang pada saat itu biasanya
perempuan banyak bekerja sebagai sekretaris atau pelayan. Oleh karena itu
ibu Buddy kekasihnya mempersiapkan Esther untuk bekerja sebagai pelayan.
Seperti kita ketahui bahwa pekerjaan pelayan itu pada dasarnya adalah
melayani, sama seperti sekretaris yang tugas utamanya adalah melayani dan
membantu atasan. Hal itu terlihat bahwa perempuan memang terkonstruksi
sebagai pelayan baik dalam ranah publik maupun domestik (rumah tangga).
Namun, Esther tidak menginginkannya karena pada dasarnya ia memang
tidak suka diperlakukan sebagai pelayan dan ia tidak suka melayani
laki-laki dengan cara apapun. Ia hanya ingin mencurahkan semuanya untuk
hobinya menulis.
The trouble was, I hated the idea of serving men in any way. I wanted to dictate my own thrilling letters. (Plath,1971 : p.62)
Orang-orang di sekeliling Esther pun tidak mendukung apa yang
telah menjadi cita-cita Esther sebelumnya. Terlihat pada saat Esther
mendapatkan beasisiwa dari salah satu majalah ternama di New York, ibu
Buddy sangat tidak mengerti dan tidak mendukungnya, begitu juga ibunya
sendiri yang terus menerus menyuruh ia untuk belajar stenographi untuk
menjadi seorang sekretaris. Namun, Esther menolaknya, terlihat pada
would never have touse it. (Plath,1971 : p. 100)
Ia tidak berkeinginan menjadi seorang sekretaris dan menolak dan
tidak akan pernah belajar shorthand (stenographi), ia hanya ingin menjadi
seorang penulis karena menulis merupakan cita-cita terbesar dalam hidupnya.
I had in mind was getting some big scholarship to graduate school or a grant to study all over Europe, and then I thought I’d be a professor and write books of poems and be an editor of some sort. (Plath, 1972 :p.26-27).
Pada kutipan di atas, terlihat jelas bahwa Esther sangat tertarik dalam
menulis dan sangat berambisi menjadi perempuan yang sukses dalam karir
sebagai penulis. Ia juga sangat menginginkan mengenyam pendidikan tinggi
di negara-negara Eropa karena ia berfikir negara-negara Eropa lebih modern
dalam pemikiran, tidak seperti di lingkungan ia tinggal. Pemikiran Esther
tersebut terlihat sudah sangat modern, dimana perempuan sudah tidak lagi
harus bekerja di wilayah domestik dan mendapat perbedaan dalam bidang
pendidikan. Oleh karena itu, ia sangat tidak setuju dengan
pekerjaan-pekerjaan yang ditujukan pada perempuan saat itu. Esther tertarik dengan
dunia menulis karena ia berfikir dengan menulis ia dapat mengekspresikan
dirinya, ia tidak terkungkung dengan aturan-aturan yang menjadikan
perempuan tersubordinat. Seperti yang dikatakan oleh Helene Cixous dalam
essainya The Laugh of Medusa berikut ini :
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa perempuan seharusnya menulis,
sebagai sarana untuk menyampaikan ide-idenya dan apa yang dirasakan, baik
itu opresi maupun tidak. Hal tersebut untuk menunjukkan eksistensi
perempuan, sehingga perempuan tidak lagi bungkam dan menjadi manusia
kedua yang selalu menjadi subordinat. Namun, ibunya sendiri pun tidak
sepenuhnya mendukung cita-cita Esther tersebut.
My own mother wasn’t much help. My mother had thought shorthand and typing to support us ever since my father died, (Plath, 1972 : p.27).
Ibunya tidak banyak membantu dan mendukung ia dalam menulis, hal
tersebut karena ibunya sendiri pun bekerja sebagai seorang sekretaris untuk
menghidupi Esther dan keluarganya sepeninggalan ayahnya. Sehingga ia
hanya ingin Eesther memiliki pekerjaan seperti ibunya tersebut. Pemikiran
ibunya tersebut pun karena konstruksi sosial yang sudah ada pada saat itu dan
sudah terdoktrin terhadap kehidupannya, sehingga ia hanya berpikir
perempuan tepat jika memiliki pekerjaan tersebut. Selain subordinasi di
dalam pekerjaan, subordinasi perempuan pun terjadi di dalam wilayah
domestik, seperti yang tergambarkan di dalam novel berikut ini.
Dalam kutipan diatas, Esther membayangkan bagaimana ia kelak
sesudah menikah dan menjadi seorang istri dengan seluruh pekerjaan rumah
yang tertuju padanya, Esther mengatakan “I’d spend the evening washing up
even more dirty plates till I fell into bed, utterly exhausted” dalam kutipan
tersebut, Esther membayangkan bagaimana lelahnya ia harus bekerja
mengurus pekerjaan domestik. Ia membayangkan setiap hari harus
mengerjakan pekerjaan rumah, sejak ia bangun di pagi hari sampai malam
tiba dengan menghabiskan seluruh waktunya melakukan pekerjaan-pekerjaan
tersebut. Misalnya, mempersiapkan makan pagi sampai makan malam dan
semua kebutuhan-kebutuhan suaminya. Padahal ia merupakan perempuan
cerdas yang selama lima belas tahun selalu mendapatkan nilai A “This
seemed a dreary and wasted life for a girl with fifteen years of straight A’s”.
Seharusnya ia dapat meraih kesuksesan di dunia publik, bukan hanya
menghabiskan waktunya untuk urusan domestik dan terkungkung di dalam
rumah yang menakutkan dan membosankan. Esther pun melihat ibu dari
Buddy Williard kekasihnya yang merupakan seorang istri sempurna, selalu
melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, seperti yang tergambar pada
kutipan berikut :
I knew that’s what marriage was like, because cook and clean and wash was just what Buddy Williard’s mother did from morning till night, and she was the wife of university professor and had been a private school teacher herself (Plath, 1972 : p. 68-69)
Esther melihat ibu Buddy tetap melakukan semua pekerjaan-pekerjaan
yang terjadi terhadap perempuan. Esther pun mengingat apa yang Buddy
katakan kepadanya tentang pernikahan, seperti dalam kutipan berikut ini :
I also remembered Buddy Williard saying in a sinister, knowing way that after I had children I would feel differently, I wouldn’t want to write poem anymore. So I began to think maybe it was true that when you were married and had children it was like being brainwashed, and afterward you went about numb as a slave in some private, totalitarian state. (Plath, 1972 : 69)
karena ia pun tahu bahwa menulis adalah hobi dan cita-cita Esther.
Esther pun takut jika nanti ia hanya akan fokus pada anak-anaknya
dan suaminya, sehingga ia hanya memiliki sedikit waktu untuk melakukan
aktifitasnya dalam menulis dan mengejar cita-citanya. Padahal menulis puisi
dan menjadi penulis adalah tujuan besar dalam hidupnya, oleh karena itu ia
berfikir “maybe it was like being brainwashed”. Perempuan sebagai istri juga
harus menerima segala bentuk kekuasaan laki-laki dan menerima segala
bentuk peran yang diaturnya sebagai kepala rumah tangga. Dalam ideologi
patriarki, supremasi laki-laki membentuk perempuan untuk menerima
dalam ranah domestik “…and afterward you went about numb as a slave in
some private, totalitarian state” ia melihat kehidupan di dalam keluarga
seperti sebuah negara totalitarian. Negara Totalitarian adalah negara yang
menempatkan pemerintah sebagai pemegang kedaulatan atau kekuasaan
tertinggi. Pemerintah mempunyai kekuasaan yang absolut dalam mengatur
kehidupan warga negara pada semua aspek. Dimana masyarakat hanya
mengikuti segala perintah dan aturan-aturannya tanpa bisa memberikan
pendapat dan aspirasi mereka. Mereka juga bekerja untuk melayani
pemerintah, bukan sebaliknya pemerintah yang melayani masyarakat. Esther
mengibaratkan seorang istri sebagai warga masyarakat di dalam negara
totalitarian yang terkungkung dengan aturan-aturan pernikahan yang sudah
terkonstruksi yang membuat perempuan tersubordinasi. Ia mengatakan “a
slave in some private, totalitarian state”, dalam kutipan tersebut ia
membandingkan seorang slave di negara totaliter. Menjadi seorang slave saja
sudah membuat orang kehilangan haknya, apalagi di negara otoriter.
Seperti yang sudah dijabarkan di atas, semua hal tersebut pada
dasarnya disebabkan karena konstruksi sosial. Membuat perempuan memiliki
peran untuk menjaga anak-anak dan mengatur seluruh rumah tangga. Seperti
pernyataan Millet bahwa keluarga sebagai sumber utama pengindoktrinasian
dan belenggu patriarki. Hal ini dapat dilihat dalam keluarga tradisional
bahwa laki-laki adalah tokoh yang mendukung atau menghasilkan uang dan
bekerja di dunia publik, sementara perempuan hanya tinggal di rumah dan
di dalam masyarakat mengenai hak dan peran antara perempuan dan
laki-laki. Konstruksi tersebut bagi para feminis radikal dianggap sangat
membelenggu para perempuan. Pandangan Esther pun terhadap pernikahan
adalah bahwa pernikahan membelenggu perempuan.
Dalam sistem patriarki, perempuan dalam keluarga dikendalikan oleh
laki-laki yang mempunyai peran yang sangat besar. Jessie Bernand dalam
Thinking About Women (1993) mengatakan bahwa sebenarnya ketika
perempuan menikah sebagai istri dan ibu, mereka diharapkan bertanggung
jawab mengurus suami dan anak-anak mereka. Keluarga dianggap sebagai
satu satunya tempat yang tepat bagi perempuan, dimana hal tersebut telah
terkonstruksi secara sosial di masyarakat. Meskipun sekitar abad 18 sampai
19, ketika revolusi industri muncul di Inggris perempuan sudah mulai
diperbolehkan bekerja di ranah publik atau pabrik karena banyak
dibutuhkan para pekerja perempuan sebagai buruh. Namun mereka tetap
memiliki peran sebagai ibu, bertanggung jawab mengurus dan merawat
anak-anak serta mengelola semua keperluan sehari-hari dalam rumah
tangga mereka. Mereka menjadi memiliki dua tugas atau double job.
Apabila seorang perempuan yang menjadi seorang ibu rumah tangga
atau istri yang juga bekerja di publik demi membantu suami untuk
memenuhi kebutuhan mereka, mereka tetap saja mempunyai tugas utama di
dalam kehidupan domestik (rumah tangga). Padahal, tidak hanya perempuan
perempuan lah yang pantas melakukannya.
Hal-hal tersebut pun menjadi ketakutan Esther dalam menikah,
sehingga ia menolak untuk menikah. Ia pun melihat bahwa tuntutan
sistem patriarki terhadap perempuan yang menjadikannya subordinat
seringkali tidak manusiawi. Perempuan dituntut untuk menjadi manusia
sempurna yang mampu menangani segala urusan, baik dalam ranah
domestik saja, atau dalam ranah publik dan domestik sekaligus. Hal tersebut
terlihat dalam kutipan di bawah ini :
I’m never going to get married. (Plath, 1971 : 76)
Esther berfikir bahwa pernikahan dapat menjadikan dirinya
subordinat, maka ia memutuskan untuk tidak menikah. Selain karena alasan
itu, Esther sadar akan perlakuan Buddy dan ia memutuskan hubungannya
dengan Buddy. Ia merasakan bahwa Buddy Williard itu patriarkal. Ia sangat
tidak mendukung apa yang menjadi cita-cita Esther karena ia hanya
menginginkan Esther menjadi istrinya dan mengurus semua kepentingan
domestik. Buddy hanya menganggap cita-cita Esther itu tidak penting, ia
pun menyebut puisi itu hanya sebagai “a pieces of dust”.
“do you know what a poem is, Esther ?” “no, what?” I would say.”
“a piece of dust.” (Plath, 1972 : 46)
Kutipan di atas diambil ketika Esther sedang berbicara dengan Buddy.
Buddy tiba-tiba menanyakan kepada Esther mengenai puisi dan Buddy
yang merupakan hobi dan cita-cita Esther untuk menjadi seorang penyair
puisi. Ia hanya menganggap puisi sangatlah tidak berarti dan tak berguna.
Seharusnya, ia tidak berkata demikian karena hal tersebut merupakan cita-cita
terbesar Esther kekasihnya yang semestinya ia beri dukungan.
Hal tersebut terlihat bahwa Buddy sangat tidak menghargai Esther dan
patriarkal dengan tidak memberi kesempatan kepada kekasihnya untuk
menggapai cita-cita terbesarnya. Sikap Buddy tersebut juga merupakan
pembungkaman terhadap perempuan, dimana perempuan tidak dapat berkreasi
dalam menulis untuk menunjukkan eksistensinya. Seperti yang dikatakan oleh
Cixous pada penjelasan dari kutipan sebelumnya, yang menjelaskan bahwa
perempuan harus menulis untuk menunjukkan eksistensinya dan agar tidak
dianggap sebagai makluk kedua yang hanya dapat menjadi penikmat karya
sastra saja dan tidak mampu menulis. Esther pun mencoba menunjukkan
bahwa apa yang dikatakan oleh Buddy mengenai puisi merupakan
sekumpulan debu yang tak berguna itu adalah salah, terlihat dalam kutipan
berikut :
People were made of nothing so much as dust, and I couldn't see that doctoring all that dust was a bit better than writing poems people could remember and repeat to themselves when they were unhappy or sick and couldn't sleep. (Plath, 1970 : 46)
Pada kutipan di atas, Esther mengatakan bahwa puisi bukanlah
sesuatu hal yang tidak penting, dan tidak berguna. Dalam kutipan tersebut,
Esther mengatakan bahwa puisi mempunyai banyak manfaat. Puisi dapat