• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Iklim dan Penyakit Bersumber B

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perubahan Iklim dan Penyakit Bersumber B"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PERUBAHAN IKLIM DAN PENYAKIT BERSUMBER BINATANG

MAKALAH UTAMA

Disampaikan dalam Pekan In-House Training Loka Penelitian & Pengembangan Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang (P2B2) Ciamis, 13-18 April 2012

Ditulis oleh:

Pandji Wibawa Dhewantara

Telah dipublikasikan pada media Buletin INSIDE, Edisi 13 Vol.VIII No.02/Desember 2012.

(2)

PERUBAHAN IKLIM DAN PENYAKIT BERSUMBER BINATANG

Pandji Wibawa Dhewantara

Penjelasan Umum: Perubahan Iklim

Perubahan iklim kini menjadi topik utama yang selalu didiskusikan karena potensi dampak yang dihasilkannya akan mengancam kelangsungan hidup manusia di muka bumi ini. Beragam pengamatan dan hasil observasi yang membuktikan bahwa iklim dunia mengalami perubahan telah banyak dilakukan dan tidak sedikit yang juga telah dipublikasikan. Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) sebagai organisasi dunia yang terdiri dari sejumlah pakar dari berbagai negara yang berfokus pada perubahan iklim telah menghasilkan beragam skenario perubahan iklim global di masa depan, dampak yang akan dihasilkannya, serta upaya-upaya adaptasi dan mitigasi dalam menghadapi fenomena alam tersebut.

Terjadinya perubahan iklim dunia salah satunya didorong oleh aktivitas manusia. IPCC menyatakan bahwa sejumlah aktivitas manusia yang semakin intensif dan masif justru akan memperparah dampak perubahan iklim itu sendiri. Sektor industri, pertanian, dan transportasi adalah tiga sektor penyumbang emisi karbon terbesar yang mendorong pemanasan global dan perubahan iklim (IPCC, 2007). Konsumsi bahan bakar fosil yang kian intensif di sektor-sektor tersebut adalah akar masalahnya. Di sisi lain, kegiatan eksploitasi sumberdaya alam dan perubahan tataguna lahan akibat besarnya tekanan jumlah penduduk dunia dari tahun ke tahun meningkatkan laju penebangan hutan (deforestasi), pencemaran air, udara, dan tanah menjadikan resiko dampak dari perubahan iklim semakin besar (IPCC, 2002).

(3)

1970-2004 dengan pertumbuhan emisi gas CO2 mencapai 80% yang bersumber dari kegiatan antropogenik selama lebih dari 30 tahun (IPCC, 2007).

Skenario Iklim Global dan Dampaknya

Iklim adalah kondisi rata-rata cuaca harian selama jangka waktu tertentu (satu tahun). Sementara, cuaca keadaan udara yang terdiri dari variabel suhu, kelembapan, arah dan kecepatan angin pada waktu tertentu dan area tertentu yang relatif sempit (Patz, 1996). Iklim secara global membentuk pola perubahan suhu, kelembapan, arah dan kecepatan angin yang menciptakan pola musim. Perubahan pola musim hujan, musim kemarau, musim dingin dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa terjadinya perubahan iklim dunia. Kini, perubahan pola musim itu sudah dirasakan.

Hasil proyeksi iklim oleh para pakar memperkirakan bahwa pada tahun 2100 suhu bumi bertambah antara 1,4°C hingga 5,8°C. Peningkatan suhu bumi akan berdampak pada melelehnya lapisan es (gletser) di daerah kutub sehingga meningkatkan tinggi permukaan air laut. Pada abad ke-20 diperkirakan air laut bertambah 0,1-0,2 meter (Baum,2002; IPCC, 2007). Perubahan iklim akan mempengaruhi siklus hidrologi bumi, seperti laju evapotranspirasi, runoff, pola dan variasi curah hujan, dan presipitasi (IPCC, 2008), serta keanekaragaman hayati (IPCC, 2007). Peningkatan suhu bumi pun diduga sebagai penyebab munculnya fenomena alam El-Nino dan La-Nina (Epstein, 1995; Kovats et al, 2003).

Sebagai akibat dari perubahan pola dan variasi siklus hidrologi ini, maka akan lahir berbagai dampak yang berkaitan erat dengan kelangsungan hidup manusia. Curah hujan yang ekstrem, musim kering dan kemarau yang berkepanjangan dan sporadis, musim dingin yang juga ekstrem akan dirasakan di seluruh pelosok bumi karena munculnya fenomena El-Nino/La-Nina Southern Oscillation (ENSO) (Kovats et al, 2003). Perubahan pola musim dan intensitasnya menimbulkan

(4)

mendapatkan perhatian serius adalah bagaimana dampak perubahan iklim tersebut – yang direpresentasikan oleh perubahan pola musim dan intensitasnya – terhadap kesehatan masyarakat, dalam hal ini penyakit menular berbasis binatang (vektor).

Perubahan Iklim dan Kesehatan Masyarakat: Pandangan Umum

Perubahan iklim global akan mengancam baik aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Dari sisi sosial, perubahan iklim beserta dampak yang dihasilkannya akan mendorong pergerakan populasi manusia (migrasi) dari suatu tempat ke tempat lainnya dan mewabahnya penyakit menular pasca bencana akibat sanitasi buruk, tidak berfungsinya layanan kesehatan, dan lemahnya imunitas penduduk. Dampak perubahan iklim pun akan berpengaruh secara tidak langsung kepada perekonomian, seperti menurunnya daya beli masyarakat pasca bencana banjir dan kekeringan atau/fenomena anomali alam lainnya, terganggunya sistem perdagangan barang/jasa dan industri.

Anomali variasi curah hujan, temperatur, kelembaban, frekuensi banjir atau kekeringan, serta peningkatan tinggi muka air laut akibat perubahan iklim, akan mempengaruhi status kesehatan masyarakat. Sebagaimana diketahui, kesehatan sangat ditentukan salah satunya oleh kondisi lingkungan di mana masyarakat berada. Dari sudut pandang epidemiologi penyakit, aspek lingkungan memiliki andil yang signifikan bagi timbulnya penyakit. Sebagaimana Teori Simpul Paradigma Kesehatan Lingkungan yang digambarkan oleh Achmadi (2011) mengilustrasikan bahwa patogenesis penyakit dalam perspektif lingkungan dan kependudukan ditentukan oleh hubungan interaksi antara sumber penyakit, media transmisi, komunitas, kejadian penyakit, dan variabel supra sistem yang meliputi kebijakan dan iklim. Sebagai contoh, bencana banjir yang terjadi akibat curah hujan yang tinggi didukung dengan kurangnya daerah resapan air, buruknya pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan sistem drainase wilayah, minimnya perilaku hidup bersih dan sehat masyarakat, berpotensi menimbulkan berbagai wabah penyakit seperti diare, disentri, demam tifoid, hepatitis A, penyakit infeksi kulit dan mata, schistosomiasis, ascariasis dan trichuriasis. Tidak hanya itu, penyakit bersumber binatang (vektor serangga) yang terkait dengan air pun berpotensi mengancam kesehatan masyarakat, seperti filariasis, malaria, dengue, dan lainnya.

(5)

dan kesehatan masyarakat tidak pernah terlepas dari faktor lingkungan. Dalam konteks ekosistem, kesehatan masyarakat sangat ditentukan oleh faktor populasi, budaya, kesehatan jiwa, sumberdaya alam, dan keseimbangan ekologi, sebagaimana yang dibuat oleh Blum dengan modelnya “The Environment of Health Model” (VanLeeuwen et al, 1999).

Dampak Perubahan Iklim terhadap Penyakit Bersumber Binatang: Malaria, Dengue, dan Filariasis

Pemanasan global diperkirakan akan mendorong peningkatan suhu bumi. Perubahan secara temporal dan spasial pada suhu, presipitasi, dan kelembaban berdasarkan beragam skenario perubahan iklim yang diutarakan IPCC secara tidak langsung akan mempengaruhi biologi dan ekologi vektor dan host intermediate (agen patogenik) serta risiko penularan. Meskipun secara biologi arthropoda dapat mengatur suhu internal dalam tubuhnya dengan cara adaptasi perilaku, secara fisiologis kelompok fauna ini sangat tergantung pada kondisi iklim/lingkungannya bagi kelangsungan hidup dan perkembangannya (Lindsay dan Birley, 1996).

Kejadian penyakit bersumber binatang seperti malaria, dengue, dan filariasis dipengaruhi oleh keberadaan vektor (nyamuk), agen patogen baik parasit maupun virus, dan lingkungan. Binatang, dalam hal ini serangga nyamuk, dinyatakan sebagai vektor jika memiliki kapasitas atau kemampuan untuk mengakomodasi kehidupan agen patogen dan menularkannya. Indikator kemampuan nyamuk sebagai vektor penyakit dapat dikuantifikasi dengan nilai kapasitas vektorial maupun cukup dengan mengamati keberadaan parasit, virus, dan agen patogenik lainnya secara kualitatif. Dari sisi agen patogenik, Entomological Inoculation Rate menjadi ukuran kesuksesan agen patogenik untuk hidup dan berkembangbiak di dalam tubuh nyamuk menjadi fase yang infektif.

(6)

Frekuensi banjir atau kekeringan sebagai dampak perubahan di tingkat iklim makro akan mempengaruhi eksistensi habitat dan siklus hidup sang vektor tersebut. Lebih jauh lagi, peningkatan tinggi muka air menyebabkan abrasi pantai, hilangnya ekosistem pesisir yang menjadi habitat spesies vektor tertentu akibat perendaman, dan di sisi lain munculnya habitat-habitat baru, serta fragmentasi habitat-habitat yang akan mempengaruhi pula eksistensi vektor penyakit. Tidak hanya itu, kondisi ekstrem manifestasi perubahan iklim tersebut mempengaruhi daya tahan/imunitas dan adaptabilitas manusia terhadap beragam jenis penyakit yang muncul.

Studi Kasus #1: Perubahan Iklim dan Malaria

Proses penularan malaria melibatkan interaksi yang kompleks antara manusia, nyamuk Anopheles spp, parasit Plasmodium, iklim, dan lingkungan fisik. Kompleksnya interaksi ini

menyebabkan pengendalian penyakit malaria masih terus dikembangkan hingga saat ini. Pengendalian terhadap vektor dan upaya pengobatan anti malaria telah seringkali dilakukan. Namun, malaria tidak pernah hilang di muka bumi ini dan masih menyimpan potensi mengancam kelangsungan hidup manusia.

Lingkungan berperan sangat penting dalam penularan penyakit malaria. Malaria, dengan beragam vektor dan kondisi ekologi, memiliki kekhasan di setiap lokasi. Kaitannya dengan iklim dan perubahannya, penelitian tentang eksistensi penyakit malaria di tengan fenomena perubahan iklim telah banyak dilakukan dan hasilnya pun beragam. Bukti pada tahun 1981-1991 mengungkapkan peningkatan suhu karena El-Nino selama musim dingin di daerah dataran tinggi utara Pakistan mendorong tingginya laju penularan malaria (Kovats, 2003). Sebaliknya, peningkatan curah hujan di dataran tinggi Tanzania pada kurun waktu El-Nino tahun 1997, kasus malaria justru menurun karena diduga curah hujan yang tinggi telah menyapu tempat-tempat perkembangbiakan nyamuk. Peningkatan temperatur dan curah hujan di Uganda juga diperkirakan penyebab peningkatan kasus malaria (Lindblade et al, 1999). Selain itu, bencana kekeringan akibat El-Nino dilaporkan berkaitan erat dengan kejadian malaria di Irian Jaya (Bangs dan Subianto, 1999).

(7)

menyebabkan berbagai penyakit bersumber binatang seperti malaria, dengue, dan leishmaniasis. Suhu yang tinggi, didukung oleh pola curah hujan dan muka air yang kondusif, akan memperpanjang masa musim penularan di daerah-daerah endemis. Sementara, di daerah lain, perubahan iklim justru akan mengurangi laju penularan sebagai akibat berkurangnya curah hujan atau suhu yang terlalu tinggi.

Perubahan iklim diperkirakan akan berpengaruh secara spasial-temporal terhadap malaria. Perubahan iklim akan mempengaruhi distribusi vektor sehingga akan muncul epidemi malaria di daerah-daerah yang baru dan menghilangnya kasus malaria di daerah endemis (Kovats et al, 2001 dalam van Lieshout et al, 2004).

Studi Kasus #2: Perubahan Iklim terhadap Penularan Dengue dan Filariasis

Nyamuk juga berperan dalam penularan sejumlah arboviruses (arthropod-borne virus), seperti dengue. Demam berdarah dengue ditularkan kepada manusia melalui vektor Aedes aegypti yang umumnya lebih sering ditemukan di lingkungan perkotaan dan tempat perkembangbiakannya umumnya adalah kontainer buatan, seperti bak air, dispenser, dan tempat penampungan air terbuka lainnya. Permasalahan penyakit dengue umumnya merebak pada akhir musim penghujan atau awal musim kemarau. Beberapa laporan menyebutkan keterkaitannya dengan curah hujan tinggi yang menyebabkan banjir memungkinkan munculnya penyakit dengue, akibat sisa-sisa genangan air yang ada potensial menjadi tempat perkembangbiakan vektor, serta migrasi penduduk dengan ragam kondisi kesehatan dan imunitas pasca bencana berpotensi pula menularkan virus dengue. Hingga kini, belum ada penelitian yang secara komprehensif mengidentifikasi pengaruh perubahan iklim secara langsung terhadap penyakit dengue dan penularannya.

Penyakit infeksi lainnya potensial terjadi pasca banjir dikarenakan curah hujan yang tinggi adalah filariasis. Agen penyakit ini adalah cacing mikroskopik filaria dari Famili Filarioidae. Nematoda Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, atau B.timori ditransmisikan melalui perantara nyamuk Culex quinquefasciatus, Aedes, dan Mansonia (Asia Pasifik dan Amerika) dan Anopheles (Afrika). Kini, filariasis mengancam lebih dari 120 juta penduduk di 80 negara tropis

(8)

filariasis di Lower Shire, Malawi selatan sebagai dampak atas bencana banjir hebat di Mozambique pada tahun 1999.

Kesimpulan

Pengaruh perubahan iklim terhadap penyakit tidak ditentukan oleh faktor tunggal. Faktor lingkungan fisik, sosial, dan ekonomi yang berbeda antara satu populasi manusia (masyarakat) yang satu dengan yang lainnya sangat menentukan besarnya dampak yang terjadi. Cara pandang yang makro dan menyeluruh terhadap kejadian dan penularan penyakit di tengah fenomena perubahan iklim menjadi sebuah tuntutan karena keterkaitan dan kompleksitas beragam faktor tersebut. Saat ini di era globalisasi, negara-negara di dunia berlomba menjadi sebuah negara yang secara ekonomi tangguh. Laju pertumbuhan dan perkembangangan industrialisasi serta GDP per kapita menjadi indikator kemajuan ekonomi sebuah bangsa. Di sisi lain, dampak dari industrialisasi ini mendorong konsumsi energi setiap bangsa terus meningkat tanpa diimbangi dengan pengelolaan yang berkelanjutan. Eksploitasi sumberdaya alam mengakibatkan hilangnya layanan ekosistem yang semestinya menjaga keseimbangan biosfer. Bumi pun seolah diperas dan kini akibat atas perilaku manusia itu pun menjadi ancaman bagi umat manusia itu sendiri.

Perubahan iklim – sebagai manifestasi perilaku manusia terhadap pengelolaan lingkungan yang tidak arif – memunculkan beragam skenario iklim dan dampaknya di masa depan. Merebaknya penyakit emerging dan re-emerging adalah salah satu dari sekian dampak perubahan iklim yang berpotensi mengancam manusia. Malaria, dengue, dan filariasis adalah tiga dari sekian banyak penyakit berbasis lingkungan yang diperkirakan penyebaran dan penularannya di luar dari kebiasaan. Adaptasi secara ekologi, sosial, dan ekonomi dalam merespon kondisi iklim saat ini dan masa depan serta dampaknya menjadi suatu tantangan setiap bangsa.

Rujukan

VanLeeuwen, JA, Waltner-Toews, D, Abernathy T, Smit, B. 1999. Evolving Models of Human Health Towards an Ecosystem Context. Ecosystem Health, (5):3, pp.204-219 [di akses dari www.ovc.uoguelph.ca/personal/ecosys/Health-models.pdf]

(9)

Bangs M, Subianto DB. El Niño and associated outbreaks of severe malaria in highland populations in Irian Jaya, Indonesia: a review and epidemiological perspective. Southeast Asian J Trop Med Public Hlth1999; 30: 608–19.

R Sari Kovats, Menno J Bouma, Shakoor Hajat, Eve Worrall, Andy Haines. El-Nino and

Health.Lancet 2003; 362: 1481–89.

Van Lieshout M, Kovats, RS, Livermore MTJ, Martens P. 2004. Climate change and malaria: analysis of SRES climate and socio-economic scenarios. Global Environmental Change, 14: 87-99.

IPCC. 2002. Climate Change and Biodiversity. IPCC Technical Paper V. Cambridge University Press: New York.

IPCC. 2007a. Climate Change 2007: Synthesis Report. Contribution of Working Group I, II, and III to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge University Press: New York.

IPCC. 2007b. Climate Change 2007: Impacts, Adaptations, and Vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge University Press: New York.

IPCC. 2008. Climate Change and Water. IPCC Technical Paper VI. Cambridge University Press: New York.

Nielsen, N.O., Makaula, P., Nyakuipa, D., Bloch, P., Nyasulu, Y., & Simonsen, P.E. (2002). Lymphatic filariasis in Lower Shire, southern Malawi. Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene, 96, 133-138.

Website:

(10)

Gambar 1. Interkoneksi Pemanasan Global, Perubahan Iklim, dan Kesehatan (disarikan dari berbagai sumber)

Pemanasan Global Peningkatan

konsentrasi GHG (Emisi CO2)

Deplesi Ozon (O3) Perubahan Iklim

Gambar

Gambar 1. Interkoneksi Pemanasan Global, Perubahan Iklim, dan Kesehatan (disarikan dari berbagai sumber)

Referensi

Dokumen terkait

Tugas Akhir “Pra Rencana Pabrik Bleaching Earth Dari Bentonite Dengan Proses Pengaktifan Asam Sulfat ” ini disusun berdasarkan pada beberapa sumber yang berasal dari

• khalayak akan menjadi lebih tergantung terhadap media yang telah memenuhi berbagai kebutuhan khalayak bersangkutan dibanding pada media yang menyediakan hanya beberapa

Kelembapan udara yang diikuti oleh penurunan curah hujan disertai terjadinya peningkatan suhu udara mulai bulan Juni sampai bulan September 2019 menyebabkan terjadinya

Berdasarkan tabel 3 di atas dapat dike- tahui bahwa korelasi antara unit kerja/ kerjasama dengan penerapan patient safety adalah bermakna dengan nilai korelasi.. Spearman

permukiman. b) Pusat ini ditandai dengan adanya pampatan agung/persimpangan jalan (catus patha) sebagai simbol kultural secara spasial. c) Pola ruang desa adat yang berorientasi

Pada tugas akhir ini dilakukan pengenalan citra wajah dengan menggunakan fitur Gabor phase congruency sebagai pengekstraksi citra wajah, dimana Gabor phase ini

Pertumbuhan penduduk di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, pada tahun 2000 jumlah penduduk Indonesia telah mencapai 210 juta jiwa, dengan tingkat

(d) Menyediakan informasi mengenai perubahan posisi keuangan entitas pelaporan, apakah mengalami kenaikan atau penurunan, sebagai akibat kegiatan yang dilakukan selama