(Analisis Putusan Mahkamah Agung No.596k/Pdt.Sus/2011)
Disusun Oleh:
Alinda Yani
109048000007
K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
Alinda Yani
NIM. 109048000007
7bl9
KONSENTRASI HUKUM BISNIS PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarla pada tanggal 25 September 2013. Skripsi
ini
telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-l) pada Prograrn Studi Ilmu Hukum.Jakafia, 25 September 2073
1. Ketua
2. Sekretaris
3. Pembimbing:
rWt
PANITIA UJIAN:Dr. Djawahir Hejazzielu. S.H..M.A. NIP. 1 95 5 1 0 I 5197 903 1 002
Drs. Abu Tarnrin. S.H..M.Hum. NrP. 1 9650908 1 99s03 1 001
Dr. Djawahir Hejazziey. S.H..lVI.A. NIP. 1 9ss 101 51979031002
4. Penguji 1
NIP. 195505051 98201012
: H. Syafrudin Makmur, SH.,MH. Ar,
&t-_
-& ii*7 €,"fi n $ d
mmad Amin Suma 51982031012
n
1.
Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhisalah satu syarat memperoleh gelar Strata 1 (Sl) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkansesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri rurN) Syarif HidayatuI lah Jakarta.
3.
Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya ataumerupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di universitas Islam Negeri
rur$
Syarif Hidayatullah Jakarta.2013
Yani
iv
ABSTRAK
ALINDA YANI. NIM 109048000007. Perlindungan Hukum Atas Karya Cipta Seni Lukis (Analisis Putusan MA No.596K/Pdt.Sus/2011). Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1434 H / 2013 M. ix + 74 halaman + 4 halaman daftar pustaka + 34 halaman lampiran.
Menurut Undang-undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, Hak Cipta adalah merupakan hak ekseklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaanya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaanya dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut perundang-undang yang berlaku. Tujuan untuk mengetahui implementasi Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta serta sejauh mana undang-undang tersebut memberi perlindungan hukum terhadap Lukisan Dua Ikan pada CV. Asian Pasific Aquatics Mahkamah Agung No.596K/Pdt.Sus/2011.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan perbandingan dan pendekatan konseptual. Informasi didapatkan dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersebut kemudian diolah dan dianalisis dengan melakukan perbandingan
antara undang-undang Hak Cipta dan putusan Mahkamah Agung
No.596K/Pdt.Sus/20.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang berlaku maka dapat disimpulkan: Putusan kasasi Mahkamah Agung No.596K/Pdt.Sus/2011 dalam sengketa hak cipta
cipta seni lukis „Dua Ikan‟ pada merek makanan ikan , tidak sesuai dengan Undang -Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Pasal 6 dan 7. Mahkamah Agung mengedepankan ketentuan Pasal 8 (3) sebagai legal standing dalam membuat amar putusannya.
Kata Kunci: analisis yuridis sengketa Hak Cipta, seni lukis, gambar “Dua Ikan”.
Pembimbing : Dr. Djawahir Hejazziey, S.H.,M.A.
v
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang hanya dengan hidayah dan
nikmat dari-Nyalah skripsi Penulis “PERLINDUNGAN HUKUM ATAS KARYA
CIPTA SENI LUKIS (Analisis Putusan MA No.596K/Pdt.Sus/2011)” dapat
terselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam tercurahlimpahkan pada Nabi
Muhammad saw yang dengan kemuliaan akhlaknya menuntut kita pada agama yang
diridhoi oleh Allah.
Tentunya masih banyak terdapat kekurangan dalam penelitian ini. Namun
demikian Penulis tetap berusaha menyelesaikannya dengan kesungguhan dan kerja
keras. Selesainya penelitian ini tidak terlepas dari elaborasi keilmuan yang Penulis
dapatkan dari kontribusi banyak pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini ingin
Penulis sampaikan setulus hati ucapan terima kasih kepada Yang Terhormat:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Djawahir Hejazziey, SH., MA., Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs.
Abu Tamrin, SH., M.Hum., Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Djawahir Hejazziey, SH., MA., MM., yang juga Dosen Pembimbing yang
telah mengajarkan Penulis lebih mengenal Hukum Bisnis. Semoga beliau selalu
mendapat rizki yang berlimpah dan dikaruniai anak-anak yang sholeh dan
segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membagi ilmunya dan
mengajarkan akhlak dalam hukum, semoga Penulis bisa membalas jasa-jasa
vi
mereka di Hari Yaumul Hisab nanti dan Adik (Muhamad Rizqi Nurrobani) yang
telah bersabar mengahadapi penulis.
5. Keluarga Besarku yang telah memberikan pengarahan, motivasi, doa , dan kasih
sayangnya yang begitu besar kepada penulis. Semoga Allah selalu melimpahkan
kebahagian dan melindunggi kita semua.
6. Keluarga besar Ilmu Hukum, Khususnya Hukum Bisnis, teman seperjuangan
yang banyak sekalin kisah kasih yang tidak bisa diceritakan oleh penulis.
Semoga kita semua menjadi orang-orang yang bermanfaat bagi agama dan
negara.
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat menjadi rujukan untuk adik-adik kelas
selanjutnya dan bermanfaat untuk setiap pembaca. Sekian terima kasih.
Jakarta, Agustus 2013
vii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ... ... iii
ABSTRAK ... ... iv
KATA PENGANTAR ... ... v
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... ... ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ... 8
E. Kerangka Konseptual ... 9
F. Metode Penelitian ... 10
G. Sistematika Penulisan ... 14
BAB II TINJAUAN TEORI A. Perlindungan Hukum Hak Cipta... 16
1. Pengertian Perlindungan Hukum... 16
2. Bentuk Perlindungan Hukum... 18
3. Pengertian Hak Cipta ... 20
4. Ciptaan Yang Dilindungi ... 26
viii
6. Sistem Pendaftaran Hak Cipta... 34
7. Masa Berlaku Hak Cipta... 35
8. Dewan Hak Cipta... 37
BAB III GAMBARAN UMUM MAHKAMAH AGUNG A. Sejarah ... 39
B. Profil... 54
C. Jumlah Hakim Agung... 55
D. Tugas Dan Wewenang Mahkamah Agung... 56
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM ATAS KARYA CIPTA SENI LUKIS A. Perlindungan Hukum Atas Karya Cipta Seni Lukis Analisis Putusan MA No.596K/Pdt.Sus/2011 ... 60
B. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Hakim Dalam Memberikan Putusan MA No.596K/Pdt.Sus/2011... ... 62
C. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memberikan Putusan MA No.596K/Pdt.Sus/2011... 64
D. Analisis Penulis... 65
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 69
B. Saran ... 72
DAFTAR PUSTAKA ... 74
ix
1
A. Latar Belakang Masalah
Proses globalisasi membawa akibat tolak ukur utama hubungan antar
bangsa atau negara tidak lagi ideologi, melainkan ekonomi yakni keuntungan1
atau hasil nyata apa yang dapat diperoleh dari adanya hubungan tersebut.
Pengaruh luar dapat cepat sekali masuk ke Indonesia sebagai implikasi
terciptanya sistem ekonomi yang terbuka. Aspek dari sistem ekonomi adalah
masalah produk yang pemasarannya tidak lagi terbatas pada satu negara
melainkan juga mengglobal. Hal ini menuntut standar kualitas dan persaingan
yang fair, serta terhindarnya produk industri palsu, berdasarkan pada
kesepakatan-kesepakatan dunia internasional.
Globalisasi mengandung makna yang dalam dan terjadi di segala aspek
kehidupan seperti ekonomi, politik, sosial budaya, IPTEK, dan sebagainya.
Globalisasi, dalam dunia bisnis misalnya, tidak hanya sekedar berdagang di
seluruh dunia dengan cara baru, yang menjaga keseimbangan antara kualitas
global hasil produksi dengan kebutuhan khas yang bersifat lokal dari konsumen.
Cara baru ini dipengaruhi oleh saling ketergantungan antar bangsa yang semakin
meningkat, berlakunya standar-standar dan kualitas baku internasional,
melemahnya ikatan ikatan etnosentrik yang sempit, peningkatan peran swasta
1
dalam bentuk korporasi internasional, melemahnya ikatan-ikatan nasional di
bidang ekonomi, peranan informasi sebagai kekuatan meningkat, munculnya
kebutuhan akan manusia-manusia brilyan tanpa melihat kebangsaannya dan
sebagainya.
Ekspansi perdagangan dunia dan juga dilakukannya rasionalisasi tarif
tercakup dalam GATT (the General Agreement on Tarif and Trade). GATT
sebenarnya merupakan kontrak antar partner dagang untuk tidak memperlakukan
secara diskriminatif, proteksionis atas dasar law of the jungle dalam perdagangan
dunia. Kesepakatan-kesepakatan dilaksanakan pada kegiatan putaran-putaran,
sejak 19472hingga putaran Uruguay (1986) yang menarik karena berhasilnya
dibentuk WTO (World Trade Organization) yang mulai 1 Januari 1995.WTO
tercakup pula Persetujuan TRIPs3 (Agreement on Trade Related Aspect of
Intellectual Property Rights, including Trade in Counterfeit Goods) atau
Persetujuan Perdagangan mengenai aspek hak kekayaan intelektual (HKI)
termasuk perdagangan barang palsu), dan Indonesia telah meratifikasinya dengan
UU No. 7 Tahun 1994, yang sudah berlaku sejak 1 Januari 2000.
Keberadaan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dalam hubungan antar
manusia dan antar negara merupakan sesuatu yang tidak dapat dipungkiri. HKI
juga merupakan sesuatu yang given dan inheren dalam sebuah masyarakat
2
Suyud Maryono, Hukum Hak Cipta Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010)
3
industri atau yang sedang mengarah ke sana. 4Keberadaannya senantiasa
mengikuti dinamika perkembangan masyarakat itu sendiri. Begitu pula halnya
dengan masyarakat dan bangsa Indonesia yang mau tidak mau bersinggungan dan
terlibat langsung dengan masalah HKI.
Secara umum Hak Kekayaan Intelektual dapat terbagi dalam dua kategori
yaitu: Hak Cipta dan Hak Kekayaan Industri.5 Sedangkan Hak Kekayaan Industri
meliputi Paten, Merek, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu,
Rahasia Dagang dan Varietas Tanaman. HKI telah diatur dengan berbagai
peraturan‐perundang‐undangan sesuai dengan tuntutan TRIPs, yaitu UU No. 29
Tahun 2000 (Perlindungan Varietas Tanaman), UU No. 30 Tahun 2000 (Rahasia
Dagang), UU No. 31 Tahun 2000 (Desain Industri), UU No. 32 Tahun 2000
(Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu), UU No. 14 Tahun 2001 (Paten),UU No. 15
Tahun 2001 (Merek),dan UU No. 19 Tahun 2002 (Hak Cipta).6UUHC ini lahir
karena adanya kebutuhan untuk mengakui atau melindungi dan memberi
penghargaan terhadap pengarang, artis, pencipta perangkat lunak (software)
dan ciptaan lain serta akses atas hasil karya mereka demi kepentingan manusia
yang mulai dirasakan di Indonesia.
HKI terkait dengan kreativitas manusia, dan daya cipta manusia dalam
memenuhi kebutuhan atau memecahkan masalah kehidupannya, baik dalam seni,
4
Tim Lindsey, dkk, Hak Kekayaan Intelektual(suatu Pengantar),(Bandung: Pt Alumni, 2006)h.71
5
Moerdino, Hak Milik Intelektual dan Alih Teknologi, Jakarta: Prisma,LP3ES, April 1987, h. 68
6
ilmu pengetehuan dan teknologi maupun produk unggulan suatu masyarakat.
Oleh karena itu, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi disertai dengan
eksistensi HKI sangat penting. Dimana kegiatan penelitian ini tidak dapat
menghindar dari masalah HKI apabila menginginkan suatu penghormatan hak
maupun inovasi baru, dan orisinalitasnya.
Permasalahan mengenai Hak Kekayaan Intelektual akan menyentuh
berbagai aspek seperti aspek teknologi, industri, sosial, budaya, dan berbagai
aspek lainnya. Akan tetapi, aspek terpenting jika dihubungkan dengan upaya
perlindungan bagi karya intelektual adalah aspek hukum. Hukum diharapkan
mampu mengatasi berbagai permasalahan yang timbul berkaitan dengan Hak
Kekayaan Intelektual tersebut. Hukum harus dapat memberikan perlindungan
bagi karya intelektual, sehingga mampu mengembangkan daya kreasi masyarakat
yang akhirnya bermuara pada tujuan berhasilnya perlindungan Hak Kekayaan
Intelektual.
Di Indonesia, permasalahan hak cipta merupakan permasalah yang banyak
dijumpai dan menjadi sorotan masyarakat. Salah satunya adalah sengketa hak
cipta karya seni lukis antara CV.Asian Fasific Aquatics melawan seseorang yang
menjipalak lukisan dua ikan yaitu dengan nama “kiki pets”. Dalam sengketa
tersebut, gugatan dilakukan oleh perusahaan asian Fasific Aquatics yang menggap
bahwa lukisan kiki pets telah melakukan pelanggaran hak-hak ekonomi yaitu hak
eksekutif dan hak moral milik pencipta dengan memperjual-belikan, mengambil,
Mahkamah Agung No.596k/Pdt.Sus/2011. Dalam putusan MA yang
dimenangkan Cv.Asian Aquatics sebagai pemilik hak cipta, itu bermakna lukisan
“kiki Pets” melanggar hak cipta.
Dalam putusan MA No.596k/Pdt.Sus/2011 terdapat permasalahan yang
muncul meliputi: pertama, Putusan MA yang memenangkan Cv.Asian Aquatics
kurang memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi pemilik
lukisan “kiki Pets”. Padahal secara umum melanggar tentang merek dagang
dimana pada mempermasalahkan merek dagang pada makanan ikan. Berdasarkan
uraian latar belakang di atas penulis tertarik untuk meneliti masalah tentang
perlindungan hukum bagi pemegang dan pemilik hak cipta dengan menyusun
skripsi yang berjudul:
PERLINDUNGAN HUKUM ATAS KARYA CIPTA SENI LUKIS (Analisis
Putusan Mahkamah Agung No.596k/Pdt.Sus/2011).
Penulis memberi judul diatas, karena menurut penulis judul di atas telah
sesuai pada permasalahan yang telah diuraikan diatas yaitu tentang permasalahan
hak cipta seni lukis yang dalam hal ini berkaitan dengan perlindungan hukum
bagi pemilik hak cipta seni lukis pada putusan Mahkamah Agung
No.596K/Pdt.Sus/2011.
Pertimbangan hukum itu seperti dogma, pendapat-pendapat hakim, atau
Undang-undang yang dijadikan acuan dalam menganalisis suatu permasalahan.
Dan pertimbangan hukum ini digunakan juga pada skripsi penulis yang dimana
melihat dari pertimbangan hakim dalam memberikan putusan Mahkamah Agung
yang berlaku diindonesia. yaitu Undang-undang tentang Hak Cipta No. 19 Tahun
2002. Dan dilihat dari pengetahuan hakim dalam memberikan purtusan ini. Yang
dimana dalam pertimbangan hukum diatas dapat menghasilkan perlindungan
hukum bagi pemegang hak cipta.
Maksud dan tujuan perlindungan hukum bila dikaitkan dengan hak cipta
seni lukis yaitu untuk merangsang aktivitas untuk melahirkan karya cipta karena
tujuan akhir dari perlindungan hak cipta adalah untuk memberikan penghargaan
dan insentif kepada pemilik hak cipta dan untuk melindungi dan memberikan
jaminan yang pasti terhadap Hak Cipta kepada si pencipta atau pemegang hak,
agar aparat penegak hukum melakukan penyidikan secara tuntas setiap hasil
penindakan kasus pembajakan/jiplakan agar terjadi image positif terhadap
penegak hukum oleh polri maupun hakin dalam memberi putusanya dan sekaligus
sebagai daya cegah bagi pelaku lain.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan Hak Kekayaan Intelektual yang meliputi hak
cipta, paten, merek ,Varietas Tanaman, Rahasia Dagang ,Desain Industri, Desain
Tata Letak Sirkuit Terpadu. maka penelitian ini difokuskan hanya pada masalah
pengaturan perlindungan hukum atas karya cipta seni lukis.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan
a. Bagaimana perlindungan hukum atas karya cipta seni lukis dalam analisis
putusan Mahkamah Agung No.596 k/Pdt.Sus/2011?
b. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi hakim dalam memberikan putusan
MA No.596k/Pdt.Sus/20011?
c. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memberikan putusan MA No.
596K/Pdt.Sus/2011?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui tentang
perlindungan hukum atas karya cipta seni lukis bagi menurut ketentuan
Undang-Undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Sedangkan secara khusus
penelitian ini bertujuan:
a. Untuk mengetahui perlindungan hukum atas karya cipta seni lukis dalam
analisis putusan MA. No.596k/Pdt.Sus/2011.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi hakim dalam
memberikan putusan MA. No.596k/Pdt.Sus/2011.
c. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memberikan putusan MA.No.
596K/Pdt.Sus/2011.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat teoritis
dan dapat di pertanggung jawabkan secara ilmiah sebagai bahan
menambah ilmu pengetahuan di bidang ilmu Hukum khususnya Hukum
Perdata dan Hukum Bisnis.
2) Sebagai acuan untuk pembelajaran dan pembuatan karya ilmiah
khususnya yang berkaitan dengan hak kekayaan intelektual terutama Hak
Cipta.
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai sumber
kajian bagian yang berkepentingan, terutama bagi praktisi hukum. dan
juga diharapkan dapat berguna sebagai jawaban dari berbagai persoalan
yang terjadi dalam lingkup hak cipta terutama karya cipta seni lukis.
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Pernah ada penelitian mengenai Hak Cipta pada skripsi yang berjudul “
Prospek Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual Dalam Kesenia
Tradisional Di Indonesia” yang disusun oleh Agnes Vira Radian, fakultas Hukum
Universita Diponogoro Tahun 2008,yang membahas tentang perlindungan hukum
hak kekayaan intelektual dalam kesenian tradisional di Indonesia, dan untuk
mengetahui dan menganalisis mengenai prospek hukum hak kekayaan intelektual
di Indonesia dalam rangka memberikan perlindungan bagi kesenian tradisional
dari pembajakkan oleh negara lain.Yang membedakan skripsi ini dengan
perlindungan hukum Atas karya cipta seni lukis,sedangkan yang akan diteliti oleh
penulis adalah tentang bagaimana perlindungan Hukum atas karya cipta seni lukis
terkait dengan putusan MA No.596k/Pdt.Sus/2011.
Skripsi selanjutnya yang terkait dengan Hak Cipta adalah Skripsi yang
berjudul “ Perlindungan Hak Cipta Karya Musik Independen ” yang disusun oleh
Wahyu Andika Putra, fakultas hukum universitas sebelas maret,
Surakarta,2009,yang membahas mengenai tujuan untuk mengetahui hubungan
hukum antara pencipta atau pemegang hak cipta dengan PT Musikita,
pelaksanaan perlindungan hak cipta karya ”musik independen” dan hambatan
-hambatan yang dihadapi oleh PT Musikita Solo-Indonesia. Yang membedakan
skripsi ini dengan penelitian yang diangkat oleh penulis adalah pada skripsi
tersebut perlindungan hukum atas musik independen dan untuk mengetuhui
hubungan hukum antara pencipta atau pemegang hak cipta dengan PT musikita,
sedangkan yang akan diteliti oleh penulis tentang perlindungan hukum terhadap
hak cipta seni lukis dan mengetahui faktor-faktor apasaja yang jadi pertimbangan
hakim dalam memberikan putusan.
E. Kerangka Konsep
Dalam pembahasan kerangka konseptual, akan diuraikan beberapa konsep
– konsep terkait terhadap beberapa istilah yang akan sering digunakan dalam
1. Hak Atas Kekayaan Intelektual
Hak Kekayaan Intelektual adalah hak yang berasal atau bersumber dari hasil
pemikiran seseorang atau seseorang yang memiliki ide7, baik dalam bidang
ilmu pengetahuan, teknologi, seni, industri atau kesemuanya, yang hasilnya
berupa sebuah karya yang dapat dikategorikan karya intelektual dan memiliki
nilai komersial.
2. Hak Cipta
Hak cipta adalah hak eksekusif yang dimiliki oleh pencipta atau pemegang
hak cipta dalam bidang ilmu pengetahuan,seni, dan sastra untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya sesuai dengan UU yang
terkait.
3. Pencipta
Pencipta adalah seseorang atau beberapa orang yang memiliki kemampuan
pikiran, keterampilan, kecekatan,8 atau keahlain untuk menghasilkan suatu
karya yang baru dan dalam bentuk yang khas.
4. Pemegang Hak Cipta
Pemegang Hak Cipta adalah pemilik dari hak cipta itu sendiri atau pihak yang
diberikan hak lebih lanjut dari pihak yang menerima hak tersebut.
5. Merek
Merak adalah berupa tanda, huruf, tulisan, warna, kata, angka-angka, yang
7
Brian Martin, Against Intellectual Property, http:// WWW.Gogle.com, Departement of Science And Thecnology, University of wollongong, Australia, h.1
8
dikombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dari
kompetitornya9 dan dapat digunakan kegiatan perdagangan barang atau jasa.
6. Lisensi
Lisensi adalah izin yang diberikan pencipta atau pemegang hak cipta kepada
orang lain untuk menggumumkan dan/memperbanyak ciptaannnya dengan
persyaratan tertentu.
F. Metode Penelitan
1. Tipe Penelitian
Penelitian merupakan salah satu cara yang tepat untuk memecahkan
masalah. Selain itu penelitian juga dapat digunakan untuk menemukan,
mengembangkan dan menguji kebenaran. Dilaksanakan untuk mengumpulkan
data guna memperoleh pemecahan masalah atau mendapatkan jawaban atas
pokok-pokok permasalahan yang dirumuskan dalam bab I Pendahuluan,
sehingga diperlukan rencana yang sistematis, metodelogi merupakan suatu
logika yang menjadi dasar suatu penelitian ilmiah.10 Oleh karenanya pada saat
melakukan penelitian seseorang harus memperhatikan ilmu pengetahuan yang
menjadi induknya.
Pada penelitian hukum ini, peneliti menjadikan bidang ilmu hukum
sebagai landasan ilmu pengetahuan induknya. Oleh karena itu maka penelitian
yang digunakan adalah penelitian hukum. Menurut Soerjono Soekanto yang
9
HKInet,( Wacana Kekayaan Intelektual Indonesia) , Regulasi Bidang HKI, http://
WWW.Gogle.com, Lembaga Kajian Hukum Teknologi , FH UI,h.1
10
dimaksud dengan penelitian hukum adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan
pada metode, sistematika,11 dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk
mempelajari satu atau segala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.
Tipe penelitian yang di gunakan dalam Penulis skripsi ini adalah
metode yuridis normatif,12 yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan
hanya meneliti bahan pustaka atau data sekunder, yang mungkin mencakup
bahan hukum primer, sekunder, dan tertier. Tujuan dari penelitian hukum
normatif mencakup penelitian asas-asas hukum, penelitian terhadap
sistematika hukum,13 penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian
sejarah hukum dan penelitian perbandingan hukum.
2. Pendekatan Masalah
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
perundang-undangan (statue approach).14 Karena analisi kasus hukum dalam
skripsi ini tentang analisi putusan Ma No.596/k/Pdt.Sus/ 2011 yang sudah
pasti mengacu pada pendekatan tentang perundang-undangan. Selain
pendekatan perundang-undangan, skripsi ini juga menggunakan Pendekatan
Kasus (case approach), dipergunakan untuk menggambarkan dan menunjang
suatu pendapat atau dalil. Pendekatan ini digunakan untuk memecahkan suatu
problema melalui pengumpulan data dalam bentuk beberapa case yang
11
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI,1986), h.43
12
Soerjono soekanto dan marmudji,Pengertian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), h. 14
13
Ibid, h.61
14
kongkret dan terperinci.pendekatan konsep (conceptual approach), yang
dimana untuk memahami konsep dalam skrisi ini dalam konsep-konsep hak
cipta terutama hak cipta dalam seni lukis, sehingga tidak terjadi pelanggaran
hak cipta.
3. Sumber Hukum
Pengumpulan data mempunyai hubungan erat dengan sumber data,
karena dengan pengumpulan data akan diperoleh data yang diperlukan untuk
selanjutnya dianalisis sesuai kehendak yang diharapkan.
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam penelitian ini penulis
menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yang merupakan bahan hukum yang
mengikat berupa peraturan perundang-undangan, beberapa putusan
pengadilan yang antara lain Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, dan peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan Hak Cipta.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang erat kaitannya
dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa,
memahami, dan menjelaskan bahan hukum primer. Yang termasuk dalam
merupakan dokumen-dokumen resmi.15 sebagai contoh buku-buku, jurnal,
majalah, buleti dan internet.
c. Bahan Non-Hukum (Tersier)
Bahan Non-Hukum adalah yang merupakan bahan-bahan hukum
yang primer dan sekunder, serperti : Kamus Inggris-Indonesia, Kamus
Hukum Belanda-Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
4.Pengelolaan dan Analisis Bahan Hukum
Metode yang digunakan dalam menganalisis dan mengolah data-data yang
terkumpul adalah analisis kualitatif.16 Maksud dari penggunaan metode tersebut
adalah memberikan gambaran terhadap permasalahan yang ada didalam Bab I
dengan berdasarkan pada pendekatan yuridis normatif.
Pada metode ini data-data yang diperoleh yaitu data sekunder, akan
diinventarisasi dan disistematiskan dalam uraian yang bersifat deskriptifanalisis.17
Setelah dilakukan proses inventarisasi dan penyusunan data secara sistematis
maka langkah selanjutnya ialah menganalisa data-data tersebut.
G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2011” dengan
15
Peter, Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), cetakan keenam, h. 141.
16
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h. 104
17
sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa
subbab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun perinciannya sebagai
berikut:
BAB I Pendahuluan, memuat: Latar Belakang, dilanjutkan dengan Batasan
dan RumusanMasalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan
(Review) kajian Terdahulu, Kerangka Konseptual, Metode Penelitian,
dan Sistematika Penulisan.
BAB II Tinjauan Teori ,Dalam Bab ini berisi uraian materi hasil penelitian
kepustakaan yang meliputi: landasan teori, bab ini menguraikan
materi-materi dan teori-teori yang berhubungan dengan masalah perlindungan
hukum dan hak cipta, materi-materi ini merupakan landasan untuk
menganalisis putusan Mahkamah Agung No.596k/Pdt.Sus/2011.
BAB III Gambaran Umum Tentang Mahkamah Agung No.596k/Pdt.Sus/2011,
yang dimana didalamnya membahas tentang sejarah MA.
BAB IV Hasil Putusab Ma No.596k/Pdt.Sus/2011, yang dimana pada bab ini
membahas tentang perlindungan hukum bagi hak cipta,faktor-faktor
yang mempengaruhi hakim dalam memberiakan putusan, dasar
pertimbangan hakim dalam memberikan putusan, analisis penulis.
BAB V Penutup yaitu berisi tentang kesimpulan dan saran. Pada bab ini
merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, untuk itu penulis
menari beberapa kesimpulan dari hasil penelitian, disamping itu penulis
16
1. Pengertian Perlindungan Hukum
Kehadiran hukum dalam masyarakat adalah untuk mengintegrasikan
dan mengkoordinasikan kepentingan- kepentingan yang bisa bertentangan
satu sama lain. Berkaitan dengan itu, hukum harus mampu
mengintegrasikannya sehingga benturan-benturan kepentingan itu dapat
ditekan sekecil-kecilnya. Dimana perlindungan terhadap
kepentingan-kepentingan tertentu, dalam suatu lalu lintas kepentingan-kepentingan, hanya dapat
dilakukan dengan cara membatasi kepentingan pihak lain.
Menurut pendapat Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta1 tentang fungsi
hukum untuk memberi perlindungan adalah bahwa hukum itu ditimbulkan dan
dibutuhkan manusia justru berdasarkan produk penilaian manusia untuk
menciptakan kondisi yang melindungi dan memajukan martabat manusia serta
untuk memungkinkan manusia menjalani kehidupan yang wajar sesuai dengan
martabatnya.
Perlindungan terhadap masyarakat mempunyai banyak dimensi yang
salah satunya adalah perlindungan hukum. Perlindungan hukum bagi setiap
Warga Negara Indonesia tanpa terkecuali, dapat ditemukan dalam
1
undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945), untuk itu setiap
produk yang dihasilkan oleh legislatif harus senantiasa mampu memberikan
jaminan perlindungan hukum bagi semua orang, bahkan harus mau
menangkap aspirasi-aspirasi hukum dan keadilan yang berkembang di
masyarakat. Hal tersebut, dapat dilihat dari ketentuan yang mengatur tentang
adanya persamaan kedudukan hukum bagi setiap Warga Negara Indonesia
tanpa terkecuali.
Ada beberapa pendapat yang dapat dikutip sebagai suatu patokan
mengenai perlindungan hukum:
a. Menurut Satjipto Rahardjo,2 Perlindungan Hukum adalah adanya upaya
melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu
kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya
tersebut.
b. Menurut Setiono,3 Perlindungan Hukum adalah tindakan atau upaya untuk
melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa
yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan
ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati
martabatnya sebagai manusia.
c. Menurut Muchsin,4 Perlindungan Hukum merupakan kegiatan untuk
melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau
2
Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, (Jakarta : Kompas, 2003), h. 121
3
Setiono, Rule of Law, (Surakarta: Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret, 2004), h. 3
4
kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam
menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antara sesama
manusia.
d. Menurut Hetty Hasanah,5 Perlindungan Hukum yaitu merupakan segala
upaya yang dapat menjamin adanya kepastian hukum, sehingga dapat
memberikan perlindungan hukum kepada pihak-pihak yang bersangkutan
atau yang melakukan tindakan hukum.
2. Bentuk Perlindungan Hukum
Perlindungan Hukum merupakan suatu hal yang melindungi
subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu saksi. Perlindungan hukum dapat
dibedakan menjadi dua,6 yaitu:
a. Perlindungan Hukum Preventif
Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk
mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam
peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu
pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam
melakukan suatu kewajiban.
b. Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan Hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa
5
Hetty Hasanah, Perlindungan Konsumen dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen atas Kendaraan Bermotor dengan Fidusia. (http//jurnal.unikom.ac.id/vol3/perlindungan.html, 2004) h, 1
6
sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan
apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.
Salah satu sifat dan sekaligus merupakan tujuan darii hukum adalah
memberikan perlindungan ( Pengayoman) kepada masyarakat. Oleh
karena itu, perlindungan hukum terhadap masyarakat tersebut harus
diwujudkan dalam bentuk adanya kepastian hukum.7 Sehigga dalam
penulisan ini, perlindungan hukum diberi batasan sebagai salah satu upaya
yang dilakukan dibidang hukum dengan maksud dan tujuan memberi hasil
karya cipta khususnya di bidang kesenian tradisional/Folklore demi
mewujudkan kepastian hukum.
3. Pengertian Hak Cipta
Istilah Hak cipta mula-mula diusulkan oleh St. Moh. Syah pada Tahun
1951 di Bandung8 dalam kongres kebudayaan (yang kemudian diterima oleh
kongres tersebut) sebagai pengganti istilah Hak Pengarang yang dapat
dianggap kurang luas lingkup pengertiannya. Istilah Hak Penggarang itu
sendiri merupakan terjemahan dari bahasa Belanda Auteursrecht.
Dinyatakan kurang luas karena istilah Hak Penggarang itu
memberikan kesan penyempitan arti, seolah-olah yang dicakup oleh Hak
Pengarang itu hanyalah berasal dari Hak Pengarang saja. Sedangkan istilah
7
Shidarta, Krakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Ke-Indonesia-an, Disertasi, (Bandung: Program Dokter Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan, 2004), h. 112
8
hak cipta adalah luas, dan mencangkup juga tentang karang-mengarang.
Untuk lebih jelasnya batasab pengertian hak cipta dan pencipta ini dapat
dilihat pada Pasal 1 Undang-undang Hak Cipta Tahun 2002, yaitu:
Hak Cipta merupakan hak ekseklusif bagi pencipta atau pemegang hak
cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaanya, yang timbul secara
otomatis setelah suatu ciptaanya dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan
menurut perundang-undang yang berlaku.
Pencipta atau pemegang hak cipta atas karya Sinema fotografi dan
Program Komputer (Software) memiliki hak untuk memberikan izin atau
melarang orang lain yang tanpa persetujuan menyewakan ciptaan tersebut
untuk kepentingan yang bersifat komersial.
Sebagai perbandingan, penulis juga menguraikan beberapa
pengertian Hak Cipta menurut Auteurswet 1912 dan Universal Copyright
Convention.
Menurut Auteurswet 1912 Pasal 1 menyebutkan:
“Hak Cipta adalah Hak tunggal dari pada pencipta, atau hak dari pada yang
mendapat hak tersebut, atas hasil ciptaannya dalam lapangan kesusastraan,
pengetahuan dan kesenian, untuk mengumumkan dan memperbanyaknya
dengan mengingat pembatasan-pembatasan yang ditentukan oleh
undang-undang.
menyebutkan bahwa: Hak Cipta meliputi Hak Tunggal dari si pencipta untuk
membuat, menerbitkan dan memberi kuasa untuk membuat terjemahan dari
pada karya yang dilindungi perjanjian ini.
Jika dibandingkan batasan pengertian yang diberikan oleh ketentuan
tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa semuanya memberikan
pengertian yang sama.
Dalam Auteurswet 19129 maupun Universal Copyright Convention
menggunakan “Hak Tunggal” sedangkan Undang-undang Hak Cipta Nomor
19 Tahun 2002 menggunakan istilah “Hak Eksklusif” bagi pencipta.
Jika dilihat penjelasan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Hak Cipta No.
19 Tahun 2002, yang dimaksud Hak Eksklusif dari pencipta ialah tidak ada
orang lain yang boleh melakukan hak itu kecuali dengan izin pencipta.
Perkataan “tidak ada orang lain” mempunyai pengertian yang sama dengan
hak tunggal, yang menunjukkan bahwa pencipta yang boleh melakukan hak
itu.
Sebagai Hak Khusus (Exclusive Rights), Hak Cipta mengandung 2
(dua) esensi hak, yaitu Hak Ekonomi (Economic Rights) dan Hak Moral
(Moral Right). Kandungan hak ekonomi meliputi hak untuk mengumumkan
dan hak untuk memperbanyak ciptaan tersebut. Kandungan hak moral
meliputi hak untuk menuntut agar nama pencipta tetap dicantumkan dalam
9
ciptaannya, hak untuk melarang perubahan suatu ciptaan tersebut.
Menurut M. Hutauruk ada 2 (dua) unsur penting yang terkandung dari
rumusan pengertian Hak Cipta,10 yakni:
a. Hak yang dapat dipindahkan, dialihkan kepada pihak lain.
b. Hak moral yang dalam keadaan bagaimanapun dan dengan jalan apapun
tidak dapat ditinggalkan dari padanya (mengumumkan karyanya,
menetapkan judulnya, mencantumkan nama sebenarnya atas nama
samarannya dan mempertahankan keutuhan atau integritas ceritanya).
Dibandingkan dengan Auteurswet 1912 Universal Copyright
Convention mencakup pengertian yang lebih luas,11 karena disana memuat
kata-kata menerbitkan terjemahan. Yang pada akhirnya tidak saja melibatkan
pencipta tetapi juga pihak penerbit dan pencetak. Menurut Ajip Rosidi
mengandung sifat economic interest (kepentingan atau arti ekonomi).
Bagian akhir Pasal 2 Undang-undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun
2002, menyebutkan bahwa dalam penggunaan hak tersebut diberikan
ketentuan harus sesuai dan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak mengurangi
hak-hak orang lain dan tidak menimbulkan kerugian bagi pihak-hak ketiga.
Dalam konsep Hak Cipta, tersimpul 3 (tiga) jenis hak khusus yang
dilindungi undang-undang. Ketiga hak khusus itu adalah hak untuk
mengumumkan ciptaan, hak untuk memperbanyak ciptaan, hak untuk
10
M. Hutauruk, Pengaturan Hak Cipta Nasional, (Jakarta : Erlangga, 1997) h. 40
11
memberi izin mengumumkan dan memperbanyak ciptaan, tanpa mengurangi
pembatasan-pembatasan menurut Peraturan Perundang-undangan Hak Cipta.
a. Hak Untuk Mengumumkan Ciptaan
Yang dimaksud dengan "mengumumkan" adalah membacakan,
menyuarakan, menyiarkan, atau menyebarkan ciptaan dengan
menggunakan alat apa pun dan dengan cara sedemikian rupa, sehingga
ciptaan itu dapat dibaca, didengar atau dilihat oleh orang lain. Termasuk
hak mengumumkan adalah distribution right, public performance right,
broadcasting right, cable-casting right.
b. Hak Untuk Memperbanyak Ciptaan
Yang dimaksud dengan "memperbanyak" adalah menambah jumlah suatu
ciptaan dengan pembuatan yang sama, hampir sama, atau menyerupai
ciptaan tersebut dengan menggunakan bahan-bahan yang sama maupun
tidak sama, termasuk mengalihwujudkan suatu ciptaan. Termasuk hak
memperbanyak adalah printing right, copying right.
c. Hak Untuk Memberi Izin
Yang dimaksud dengan “memberi izin” adalah memberi lisensi kepada
pihak lain berdasarkan surat perjanjian lisensi untuk melaksanakan
perbuatan mengumumkan atau memperbanyak ciptaan. Perbuatan hak
khusus ini harus dilaksanakan dengan perjanjian tertulis dalam bentuk akta
adalah perbuatan yang secara tegas disebutkan di dalam akta.
Setiap ciptaan seseorang atau badan hukum dilindungi oleh
undang-undang karena pada ciptaan itu melekat Hak Cipta. Setiap pencipta atau
pemegang Hak Cipta bebas menggunakan Hak Ciptanya, tetapi
undang-undang menentukan pula pembatasan terhadap kebebasan penggunaan Hak
Cipta yaitu Karena sudah ditentukan pembatasannya, maka kebebasan
menggunakan Hak Cipta tidak boleh melanggar pembatasan tersebut.
Pembatasan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Kesusilaan Dan Ketertiban Umum
Kebebasan penggunaan Hak Cipta tidak boleh melanggar kesusilaan dan
ketertiban umum. Termasuk contoh melanggar kesusilaan adalah
penggunaan hak untuk mengumumkan atau memperbanyak VCD
kebebasan seks. Termasuk melanggar ketertiban umum adalah
memperbanyak dan menyabarkan buku yang berisi ajaran yang
memperbolehkan wanita bersuami lebih dari 1 (satu) poliandri.
b. Fungsi Sosial Hak Cipta
Kebebasan penggunaan Hak Cipta tidak boleh meniadakan atau
mengurangi, fungsi sosial Hak Cipta memberi kesempatan kepada
masyarakat memanfaatkan ciptaan seseorang untuk kepentingan
pendidikan dan ilmu pengetahuan, bahan pemecahan masalah, pembelaan
perkara di pengadilan, bahan ceramah, tetapi harus disebutkan sumbernya
secara lengkap.
Pemegang Hak Cipta memberi lisensi (Compulsory Licensing) kepada
pihak lain untuk menerjemahkan atau memperbanyak ciptaannya dengan
imbalan yang wajar. Pemberian lisensi wajib didasari pertimbangan bila
negara memandang perlu atau menilai suatu ciptaan sangat penting artinya
bagi kehidupan masyarakat dan negara, misalnya untuk kepentingan
pendidikan, ilmu pengetahuan, penelitian, keamanan dan ketertiban.
Mengenai Hak Turunan yang merupakan terjemahan dari
Neighbouring Right diartikan sama dengan Hak Salinan berpangkal pada atau
berasal dari Hak Cipta yang bersifat asal (origin). Hak Turunan ini dilindungi
karena banyak berhubungan dengan perangkat teknologi, yaitu fasilitas
rekaman, fasilitas pertunjukan, dan fasifitas penyiaran. Perlindungan Hak
Turunan terutama ditujukan kepada orang yang berprofesi di bidang
pertunjukan, perekaman dan penyiaran
4. Ciptaan Yang Dilindungi
Yang menjadi objek pengaturan Hak Cipta adalah karya-karya cipta
dibidang ilmu pengetahuan, sastra dan di bidang seni. Karya apa saja yang
jelasnya dilindungi Hak Cipta, ditentukan dalam Pasal 12 Undang-undang
Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002.
Jenis ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu
pengetahuan, seni dan sastra yang meliputi karya:
a. Buku, Program Komputer (Software), pamflet, perwajahan (layout) karya
tulis yang diterbitkan dan semua karya tulis lain.
c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu
pengetahuan.
d. Lagu atau musik dengan teks atau tanpa teks.
e. Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan dan pantomin.
f. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni
kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase dan seni terapan.
g. Arsitek
h. Peta
i. Seni Batik
j. Fotografi
k. Sinematografi.
l. Terjemahaan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari
hasil pengalihwujudan.
Jika diperhatikan rincian yang diberikan menurut huruf a hingga k ini
dapat dikualifikasikan sebagai ciptaan asli. Sedangkan ciptaan pada huruf 1
merupakan pengolahan selanjutnya dari ciptaan-ciptaan asli.
Ciptaan karya hasil pengolahan tersebut juga dilindungi sebagai Hak
Cipta, sebab bentuk pengolahan itu merupakan suatu ciptaan yang baru dan
tersendiri pula. Pemberian perlindungan dimaksud selanjutnya ditentukan
tidak mengurangi Hak Cipta atau ciptaan aslinya.
tweedehandse auteursrecht (Hak Cipta saduran), untuk membedakan dari Hak
Cipta asli. Istilah ini diterjemahkan dengan istilah Hak Cipta saduran,
dinamakan demikian karena seolah-oleh disadur dari ciptaan asli.
Perlindungan Hak Cipta adalah sebagai salah satu tujuan dari
Undang-undang No. 19 tahun 2002 Tentang Hak Cipta diatur dalam Pasal 12 ayat (2)
oleh karena adalah wajar perlindungan yang diberikan terhadap pengolahan
dari ciptaan asli kepada si pengelola, dengan memperhatikan hak-hak si
pencipta asli itu, si pengelola diharuskan pula mendapatkan izin lebih dahulu
dari pengarang Hak Cipta asli atau si penerima haknya. Demikianlah halnya
jika hendak menterjemahkan karya orang lain, si penerjemah harus terlebih
dahulu menerima izin dari pemegang hak cipta asli.
Selanjutnya perlindungan juga diberikan terhadap ciptaan yang sudah
merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan
perbanyakan karya itu, tetapi belum diumumkan dalam bahasa asing ciptaan
semacam itu disebut unpublished works (karya cipta yang belum
diumumkan), dan ini diatur dalam Pasal 12 ayat (3) Undang-undang Hak
Cipta Nornor 19 Tahun 2002. Pasal tersebut berbunyi dalam perlindungan
sebagaimana yang dimaksud termasuk juga semua ciptaan yang tidak atau
belum diumumkan, akan tetapi sudah merupakan bentuk kesatuan yang nyata,
5. Pemegang Hak Cipta
Yang dimaksud dengan pemegang Hak Cipta adalah, pencipta sebagai
pemilik Hak Cipta atau orang lain yang menerima hak tersebut dari pencipta,
atau orang lain yang menerima lebih lanjut hak dari orang tersebut diatas,
sebagaimana yang dimaksudkan oleh Pasal 1 ayat (4) Undang-undang Hak
Cipta Nomor 19 Tahun 2002 bahwa Pemegang Hak Cipta adalah pencipta
sebagai pemilik Hak Cipta atau pihak yang menerima hak tersebut dari
Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang
menerima hak tersebut.
Jika dikaitkan dengan Hak Cipta, maka yang menjadi subjeknya
sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 3 Undang-undang Hak Cipta ialah
pemegang hak yaitu pencipta atau orang atau badan hukum yang secara sah
memperoleh hak untuk itu. Yaitu dengan jalan pewarisan, hibah, wasiat,
dijadikan milik negara atau dengan perjanjian, sedangkan yang menjadi objek
ialah benda yang dalam hal ini adalah Hak Cipta, sebagai benda immateril.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan pencipta dalam hal ini, Pasal 5
sampai dengan Pasal 9 Undang-undang Hak Cipta Nomor 19 tahun 2002
memberikan penjelasan sebagai berikut:
Pasal 5 (1)
Kecuali ada bukti tentang hal sebaliknya, maka yang dianggap sebagai
pencipta adalah orang yang untuk ciptaan itu namanya terdaftar sebagai
orang yang dalam atau pada ciptaannya itu disebut atau dinyatakan sebagai
pencipta, atau orang yang pada pengumuman sesuatu ciptaan diumumkan
sebagai penciptanya.
Pasal 5 (2)
Jika pada ceramah yang tidak tertulis tidak ada pemberitahuan siapa yang
menjadi penciptanya, maka orang yang berceramah dianggap sebagai
penciptanya.
Pasal 6
Jika suatu ciptaan terdiri dari beberapa bagian tersendiri yang diciptakan dua
orang atau lebih, maka yang dianggap sebagai pencipta ialah orang yang
memimpin serta mengawasi penyelesaian seluruh ciptaan itu, atau jika tidak
ada orang itu, orang yang menghimpunnya dengan tidak mengurangi Hak
Cipta masing-masing atas bagian ciptaannya.
Pasal 7
Jika suatu ciptaan yang dirancang seseorang, diwujudkan dan dikerjakan oleh
orang lain di bawah pimpinan dan pengawasan orang yang merancang, maka
penciptanya adalah orang yang merancang ciptaan itu.
Pasal 8 (1)
Jika suatu ciptaan dibuat dalam hubungan dinas dengan pihak lain dalam
lingkungan pekerjaannya, maka pihak lain untuk dan dalam dinasnya ciptaan
itu dikerjakan adalah pemegang hak cipta kecuali ada perjanjian lain antara
kedua pihak, dengan tidak mengurangi hak si pembuat sebagai penciptanya
Pasal 8 (2)
Jika suatu ciptaan dibuat dalam hubungan kerja dengan pihak lain dalam
lingkungan pekerjaannya, maka pihak yang membuat karya cipta itu sebagai
pencipta adalah pemegang Hak Cipta, kecuali apabila diperjanjikan lain antara
kedua pihak.
Penjelasan Pasal 8
Yang dimaksud dengan hubungan dinas adalah hubungan kepegawaian negeri
dengan instansinya, sedangkan yang dimaksud dengan hubungan kerja adalah
hubungan karyawan dengan pemberi kerja di lembaga swasta.
Pasal 9
Jika suatu badan hukum mengumumkan bahwa ciptaan berasal dari padanya
dengan tidak menyebut seseorang sebagai penciptanya maka badan hukum
tersebut dianggap sebagai penciptanya, kecuali jika dibuktikan sebaliknya.
Demikian dapat dilihat siapa-siapa yang dianggap sebagai pencipta
menurut Undang-undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002. Selanjutnya
mengenai Negara sebagai pemegang Hak Cipta, dalam hal ini menurut
ketentuan Pasal 3 ayat (2) menyatakan: "Hak Cipta dapat beralih atau
dialihkan karena menjadi milik Negara. Dalam hal ini dipertegas oleh Pasal 10
ayat (3) yang menyebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang
dipegang oleh negara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal ini, diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Hak Cipta sebagai Hak Milik dalam penggunaannya harus pula
Undang-undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002, menyebutkan bahwa
undang-undang ini selain dimasukkan unsur baru mengingat perkembangan
teknologi, diletakkan juga unsur kepribadian Indonesia yang mengayomi baik
kepentingan individu maupun masyarakat, sehingga terdapat keseimbangan
yang serasi antara kedua kepentingan dimaksud.
Atas pertimbangan inilah negara dapat sewaktu-sewaktu menjadi
pemegang Hak Cipta. Tidak semua jenis Hak Cipta dapat dijadikan milik
negara, hal ini tergantung pada fungsi kegunaan bagi negara.
Dalam hal ini Ali Said ketika memberi keterangan pemerintah
dihadapan sidang paripurna DPR, dalam pembahasan RUU Hak Cipta Nomor
7 Tahun 1987 mengatakan:
… Pelaksanaan pengambilalihan Hak Cipta oleh negara tidaklah semudah
diduga orang, karena yang dapat diambilalih negara hanyalah apabila
dianggap perlu atas dasar kepentingan nasional. Dengan demikian berarti
hanya dengan pertimbangan nasional semata-mata. Selanjutnya beliau
memberi contoh bahwa Hak Cipta yang dapat diambilalih adalah:
1. Hak cipta atas suatu lagu yang dijadikan lagu kebangsaan.
2. Hak cipta atas lambang yang dijadikan lambang negara.
3. Hak cipta atas rumusan Pancasila yang dijadikan dasar negara.
Demikian contoh yang dimaksudkan Ali Said tentang Hak Cipta yang
Menurut JCT. Simorangkir, bahwa:
Istilah dapat dijadikan milik negara yang dipakai oleh Undang-Undang
Hak Cipta, memberikan arti bahwa peralihan hak kepada negara itu hanya
merupakan suatu kemungkinan saja. Bukan suatu kekhususan dan untuk itu
harus dipenuhi beberapa syarat, yaitu:
a. Demi kepentingan negara.
b. Dengan sepengetahuan pengarangnya.
c. Dengan keputusan Presiden.
d. Atas dasar pertimbangan Dewan Hak Cipta.
e. Kepada pemegang Hak Cipta diberi imbalan penghargaan yang ditetapkan
oleh Presiden.
Selanjutnya menurut beliau,12 dengan dijadikan Hak Cipta suatu karya
menjadi milik negara setelah memenuhi segala macam persyaratan itu.
Atas dasar ini istilah yang digunakan Ali Said dengan mengatakan
diambilalih, walaupun sebenarnya ada pihak yang keberatan dengan istilah
itu. Keberatan itu dari pihak pengarang sendiri.
Demikian halnya dengan Hak Cipta, jika digunakan kata persetujuan,
si pencipta akan mempersulit persoalan jika ternyata si pencipta tidak
memberikan persetujuan. Oleh karena itu undang-undang telah menetapkan
syarat-syarat tertentu, misalnya atas dasar pertimbangan Dewan Hak Cipta
Nasional sebagai wakil si pencipta.
12
6. Sistem Pendaftaran Hak Cipta
Salah satu perbedaan yang dianggap cukup penting antara Auteurswet
dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 adalah tentang Pendaftaran
Hak Cipta. Auteurswet 1912 tidak ada memberi ketentuan tentang pendaftaran
Hak Cipta ini. Menurut KoIIewijn sebagaimana yang dikutip oleh Widya
Pramono menyebutkan, Ada 2 (dua) jenis pendaftaran atau stelsel
pendaftaran,13 yaitu stelsel konstitutif dan stelsel deklaratif.
Stelsel konstitutif berarti bahwa hak atas ciptaan baru terbit karena
pendaftaran yang telah mempunyai kekuatan hukum. Stelsel deklaratif bahwa
pendaftaran itu, bukanlah menerbitkan hak, melainkan hanya memberikan
dugaan atau prasangka saja bahwa menurut undang-undang orang yang
ciptaannya terdaftar itu adalah yang berhak atas ciptaannya.
Dalam stelsel konstitutif letak titik beratnya guna memperoleh hak atas
ciptaan dalam pendaftarannya, sedangkan pada stelsel deklaratif titik beratnya
diletakkan pada anggapan sebagai pencipta terhadap hak yang didaftarkan itu,
hingga orang lain dapat membuktikan sebaliknya.
Selama orang lain tidak dapat membuktikan sebagaimana yang
diisyaratkan oleh Undang-undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 Pasal 11,
maka pendaftar dianggap satu-satunya orang yang berhak atas ciptaan yang
terdaftar, dan setiap pihak ketiga harus menghormati haknya dengan mutlak.
13
Dalam penjelasan umum Undang-undang Hak Cipta disebutkan bahwa
pendaftaran ciptaan dilakukan secara pasif, artinya bahwa semua permohonan
pendaftaran diterima dengan tidak terlalu mengadakan penelitian hak
pemohon, kecuali sudah jelas ada pelanggaran Hak Cipta.
Sikap pasif ini membuktikan bahwa pendaftaran ciptaan dalam daftar
umum ciptaan tidak mengandung arti sebagai pengesahan atas isi, arti atau
bentuk dari ciptaan yang didaftarkan.
7. Masa Berlaku Hak Cipta
Sejarah perkembagan Hak Cipta di Indonesia, pada umumnya sama
dengan negara-negara yang tumbuh dan berkembang, sangat terkait dengan
perkembangan ilmu dan teknologi. Namun landasan dasarnya tetap tidak
berubah. Demikianlah jika dilihat dalam Auteurswet 1912 mengenai
pembatasan jangka waktu Hak Cipta sampai 50 (lima puluh) tahun, tetapi hal
itu pada Undang-undang Hak Cipta Nomor 6 Tahun 1982 menjadi 25 (dua
puluh lima) tahun, dengan Undang-undang Nomor 19 tahun 2002 mengenai
hal ini kembali mengalami perubahan, dan jangka waktu yang dipakai
kembali menjadi 50 (lima puluh) tahun.
Jadi yang dikatakan dengan landasan dasarnya yang tidak berubah itu,
jika dilihat dalam konsepsi hak milik yang dalam hal ini di Indonesia
didasarkan atas fungsi sosial. Sehingga dengan diberikannya pembatasan
jangka waktu pemilikan Hak Cipta maka diharapkan Hak Cipta itu tidak
Sehingga dengan demikian dapat dinikmati oleh rakyat atau masyarakat luas,
Selama ini Hak Cipta yang telah berakhir masa berlakunya hanya
menguntungkan pihak tertentu, khususnya pihak produser dalam hal karya
cipta lagu dan bagi penerbit dalam hal karya cipta buku.
Hak Cipta jika dilihat sepintas lalu adalah merupakan hak milik
absolut dari si pencipta atau si pemegang hak, namun sifat kemutlakannya itu
berkurang setelah adanya pembatasan terhadap pemilikan Hak Cipta.
Dalam hal ini dapat dilihat apa yang dikatakan oleh Mahadi:
Hak Cipta,14 jika dibandingkan dengan hak milik lainnya, kalah kuatnya dan
kalah penuhnya. Hal ini karena Hak Cipta berlaku hanya selama hidup si
pencipta ditambah dengan beberapa tahun setelah meninggalnya si pencipta
sesuai dengan ketentuan di masing-masing negara.
Pendapat yang dikemukakan oleh Mahadi di atas, sebenarnya cukup
beralasan, sebab hanya beberapa negara saja di dunia ini yang tidak
membatasi pemilikan Hak Cipta.
Sebenarnya mengenai pembatasan jangka waktu Hak Cipta adalah
merupakan penjelamaan dari pandangan tentang hakekat pemilikan dikaitkan
dengan kedudukan manusia sebagai makhluk pribadi sekaligus makhluk
bermasyarakat, dimana hak milik itu dianggap mempunyai fungsi sosial.
Sampai pada batas tertentu memang Hak Cipta itu dimaksudkan untuk
memperhatikan keseimbangan umum (masyarakat luas). Dua kepentingan ini
14
tidak dipisahkan, oleh hukum pengakuan milik perorangan dan milik umum
diakui, karena itu dapatlah dimengerti bahwa pembatasan jangka waktu Hak
Cipta itu merupakan pertimbangan atas milik umum dan milik individu
(perorangan), antara kepentingan individu dan masyarakat tidak dapat
dipisahkan atau dengan lainnya.
Ketentuan mengenai jangka waktu perlindungan bagi hak cipta atas
ciptaan segala bentuk rupa terutama seni lukis berlaku selama hidup pencipta
dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah pencipta
meninggal dunia. Banyak yang berpandangan dengan perpanjangan waktu itu
Undang-undang Hak Cipta yang sekarang ini semakin individualis, namun
disisi lain perlu untuk menjamin atau melindungi kepentingan pencipta.
8. Dewan Hak Cipta
Di dalam Pasal 39 dan Pasal 40 UU No.6 Tahun 1982 terdapat
ketentuan-ketentuan mengenai Dewan Hak Cipta, ketentuan mana tidak
mendapat perubahan, dalam arti tetap seperti yang diatur dalam UU No.6
Tahun 1982.
Ketentuan Pasal 39 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
menyatakan sebagai berikut:
a. Untuk membantu pemerintah dalam memberikan penyuluhan dan
bimbingan, serta untuk pembinaan hak cipta, dibentuk dewan hak cipta.
b. Anggota Dewan Hak Cipta terdiri dari wakil departement atau instansi
keahlian dan profesi yang bersangkutan.
c. Syarat organisasi pencipta yang dapat mengirimkan wakilnya dalam
Dewan Hak Cipta, jumlah wakil dan syaratnya, ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
d. Penetapan anggota ahli atau wakil profesi dalam bidang hak cipta dan
tambahan keanggotaan diputuskan oleh pemerintah bersama-sama dengan
anggota yang mewakili anggotanya.
Pada Pasal 40 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dalam ketentuannya berbunyi:
a. Ketua, wakil ketua, sekertaris, wakil sekertaris dan anggota Dewan Hak
Cipta lainya diangkat dan diberentikan oleh presiden atas usul Menteri
Kehakiman.
b. Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, fungsi, susunan, tata kerja,
pembiayaan dan tatacara penggantian lowongan dalam Dewan Hak Cipta
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
c. Biaya untuk Dewan Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
38
A. Sejarah
Sejarah berdirinya Mahkamah Agung RI tidak dapat dilepaskan dari masa
penjajahan atau sejarah penjajahan di bumi Indonesia ini.1Hal mana terbukti
dengan adanya kurun-kurun waktu, dimana bumi Indonesia sebagian waktunya
dijajah oleh Belanda dan sebagian lagi oleh Pemerintah Inggris dan terakhir oleh
Pemerintah Jepang. Oleh karenanya perkembangan peradilan di Indonesia pun
tidak luput dari pengaruh kurun waktu tersebut.
1. Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda
Pada tahun 1807 Mr. Herman Willem Deandels diangkat
menjadi Gubernur Jenderal oleh Lodewijk Napoleon untuk mempertahankan
jajahan-jajahan Belanda di Indonesia terhadap serangan-serangan pihak
Inggris. Deandels banyak sekali mengadakan perubahan-perubahan di
lapangan peradilan terhadap apa yang diciptakan oleh Kompeni, diantaranya
pada tahun 1798 telah merubah Raad van Justitie menjadi Hooge Raad.
Kemudian tahun 1804 Betaafse Republiek telah menetapkan suatu Charter
atau Regeringsreglement buat daerah-daerah jajahan di Asia. Dalam Pasal 86
Charter tersebut, yang merupakan perubahan-perubahan nyata dari jaman
Pemerintahan Daendels terhadap peradilan di bumi Indonesia, ditentukan
sebagai berikut :
1
“Susunan pengadilan untuk bangsa Bumiputera akan tetap tinggal menurut
hukum serta adat mereka. Pemerintah Hindia Belanda akan menjaga dengan
alat-alat yang seharusnya, supaya dalam daerah-daerah yang langsung ada
dibawah kekuasaan Pemerintahan Hindia Belanda sedapat-dapatnya
dibersihkan segala kecurangan-kecurangan, yang masuk dengan tidak
diketahui, yang bertentangan dengan tidak diketahui, yang bertentangan
degan hukum serta adat anak negeri, lagi pula supaya diusahakan agar
terdapat keadilan dengan jalan yang cepat dan baik, dengan menambah
jumlah pengadilan-pengadilan negeri ataupun dengan mangadakan
pengadilan-pengadilan pembantu, begitu pula mengadakan pembersihan dan
pengenyahan segala pengaruh-pengaruh buruk dari kekuasaan politik apapun juga”;
Charter tersebut tidak pernah berlaku, oleh karena Betaafse Republiek
segera diganti oleh Pemerintah Kerajaan , akan tetapi ketentuan didalam
“Charter” tidak sedikit mempengaruhi Deandels di dalam menjalankan
tugasnya.
2. Masa Pemerintahan Inggris
Sir Thomas Stamford Raffles, yang pada tahun 19811 diangkat
menjadi Letnan Gubernur untuk pulau Jawa dan wilayah di bawahnya,
mengadakan perubahan-perubahan antara lain :
Di kota-kota Batavia, Semarang dan Surabaya dimana dulu ada Raad
kriminil. Court of Justitice yang ada di Batavia merupakan juga Supreme
Court of Justitice, pengadilan appel terhadap putusan-putusan Court
onvoeldoende gemotiveerd Justitice yang ada di Semarang dan Surabaya.
3. Masa kembalinya Pemerintahan Hindia Belanda (1816-1942)
Setelah peperangan di Eropa berakhir dengan jatuhnya Kaisar Napoleon,
maka menurut Conventie London 1814, semua daerah-daerah jajahan Belanda
yang diduduki oleh Inggris, dikembalikan kepada negeri Belanda. Penyerahan
kembali Pemerintahan Belanda tersebut di atur dalam St.1816 No.5, yang
berisi ketetapan bahwa akan dibuat Reglement yang mengatur acara pidana
dan acara perdata yang berlaku bagi seluruh Jawa dan Madura, kecuali
Jakarta, Semarang dan Surabaya dengan daerah sekitarnya. Bagi Jakarta,
Semarang dan Surabaya dengan daerah sekitarnya untuk perkara pidana dan
sipil tetap menjadi kekuasaan Raad van Justitie. Dengan demikian ada
perbedaan dalam susunan pengadilan buat Bangsa Indonesia yang bertempat
tinggal di kota-kota dan sekitarnya dan bangsa Indonesia yang bertempat
tinggal di “desa-desa” (di pedalaman).
Untuk bangsa Eropa, berlaku susunan Pengadilan sebagai berikut:
Hooggerechtshof di Jakarta dengan Raad van Justitie yaitu masing-masing di
Jakarta, Semarang dan Surabaya.
Dengan Keputusuan Gubernur Jenderal tanggal 3 Desember 1847
No.2a (St.1847 No.23 yo No.57) yang diperlakukan tanggal 1 Mei 1948 (R.O)
a. districtgerecht
b. regentschapsgerecht
c. landraad
d. rechtbank van omgang
e. raad van Justitie
f. hooggerechtshof
Dalam fungsi judisialnya, Hooggrechtshof memutus perkara-perkara
banding mengenai putusan–putusan pengadilan wasit tingkat pertama di
seluruh Indonesia, jikalau nilai harganya lebih dari £.500 dan mengenai
putusan-putusan residentiegerechten – di luar Jawa dan Madura.
4. Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)
Setelah pulau Jawa diduduki dan dikuasai sepenuhnya oleh Bala
tentara Jepang, maka dikeluarkanlah Undang-Undang No.1 tanggal 8 Maret
1942, yang menentukan bahwa buat sementara segala Undang-Undang da
peraturan-peraturan dari Pemerintahan Hindia Belanda dahulu terus berlaku,
asal tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan Balatentara Jepang.
Mengenai peradilan sipil, maka dengan Undang-Undang 1942 No.14
ditetapkan “Peraturan Pengadilan Pemerintah Balatentera Dai Nippon”. Atas
dasar peraturan ini didirikan pengadilan-pengadilan sipil yang akan mengadili
perkara-perkara pidana dan perdata. Disamping itu dibentuk juga
Kejaksaan.Pengadilan-pengadilan bentukan Dai Nippon adalah sebagai
a. Gun Hooin (Pengadilan Kewedanaan) lanjutan districtsgerecht dahulu.
b. Ken Hooi (Pengadilan Kabupaten) lanjutan regentschapgerecht dahulu.
c. Keizai Hooin (Pengadilan Kepolisian) lanjutan landgerecht dahulu.
d. Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri) lanjutan Landraad dahulu, akan tetapi hanya
dengan seorang hakim saja (tidak lagi majelis ), kecuali terhadap perkara
tertentu apabila Pengadilan Tinggi menentukan harus diadili dengan 3 orang
Hakim.
Dengan dicabutnya Undang-Undang 1942 No.14 dan diganti dengan
Undang-Undang 1942 No.34, maka ada penambahan badan pengadilan
diantaranya Kootoo Hooin (Pengadilan Tinggi), lanjutan dari Raad van
Justitie dahulu dan Saikoo Hooin (Mahkamah Agung) , lanjutan dari
Hooggerechtshof dahulu.
5. Masa setelah Republik Indonesia
Pada saat berlakunya Undang-undang Dasar 1945 di Indonesia tidak
ada badan Kehakiman yang tertinggi. Satu satunya ketentuan yang menunjuk
kearah badan Kehakiman yang tertinggi adalah pasal 24 ayat 1
Undang-Undang Dasar 1945. Maka dengan keluamya Penetapan Pemerintah No.
9/S.D. tahun 1946 ditunjuk kota Jakarta Raya sebagai kedudukan Mahkamah
Agung Republik Indonesia. Peraturan tersebut hanya penunjukan tempatnya
saja. Penetapan Pemerintah tersebut pada alinea II berbunyi sebagai berikut:
Menunjukkan sebagai tempat kedudukan Mahkamah Agung tersebut ibu-kota
Baru dengan Undang-Undang No. 7 tahun 1947 ditetapkan tentang
susunan kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaaan Agung yang mulai
berlaku pada tanggal 3 Maret 1947.Pada tahun 1948, Undang-Undang No. 7
tahun 1947 diganti dengan Undang-Undang No. 19 tahun 1948 yang dalam
pasal 50 ayat 1 mengand