• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepuasan citra tubuh dan hubungannya dengan pengambilan keputusan menjadi transeksual waria

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kepuasan citra tubuh dan hubungannya dengan pengambilan keputusan menjadi transeksual waria"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

WARIA

1111111 1111111 1111111

-llllllli;.

111

Universitas Islam Negeri

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Disusun Oleh:

Yuanita Purwa Dewi

10507000240'S!:riit.

....

MMオNLᄋMセセセᄋᄋBGセBBGᄋセGH@

"·'n : ..

l ..

WQᄋᄋᄋtGcGセHヲゥxGGBGBBBGBM

rg1. : ..

1:Z3··· ..

イGBBBBGセI@ ...

t;···

,'in. lndnk : ..

1.l ... ::::: ..

1'::::.4..L-...

Y

k l;;sifikaf,i : ... , ..

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

WARIA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk Memenuhi Persyaratan

Pembimbing I

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

;·· .... NLNLNNNLNL⦅MMセᄋセᄋᄋセᄋBBセMᄋᄋ@

PERPUSTAKAAN UTAIVii'I

I

UIN SYAHID jakarセj@

Oleh:

YUANITA PURWA DEWI

NIIVI: 105070002405

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing II

セセᄋ@

Neneng Tati Sumiati, 1\1.Si, Psi

NIP: 150300679

Rena Latifu, 1\1.Psi

NIP: 150408704

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

Skripsi yang berjudul HUBUNGAN CITRA TUBUH POSITIF DENGAN

PENGAMBILAN KEPUTUSAN MENJADI TRANSEKSUAL WARIA, telah diujikan

dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta pada tanggal 12 November 2009. Skripsi ini telah diterima

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi.

Jakarta, 12 November 2009.

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota

Jahja Umar Ph.D NIP: 150 885 552

Penguji I

セ@

\

,;y

J

Abdul Mujib, Prof. Dr. M.Ag NIP: 19680614199704 1 001

Pembimbing I

Anggota:

<eneng

セZZゥエ[L@

M,s;, Ps;

セipZ@ 150300679

Sekretaris Merangkap Anggota

dイ。エNセmNウ[@

NIP: 19561223 198303 2 001

Penguji II

セ@

Neneng Tati Sumiati, M.Si, Psi

NIP: 150300679

Rena Latifa, M.Psi

(4)
(5)

w

Cl

セエオ@

V\,

k:j

Cl,

セ・@

k:j

Cl

セl@

V\,Cif V\, ol

Cl LCl

Vltl

berusCillttCil

uv|Lエオセ@

VVleV\,cCil-pCiIL tujuCilV\,

olCil V\,

セ・ウ@

Cl bCl

rCil V\,

Cl

olCil

LCl

1'l

セオv|L」l@

VVleV\,cCil-pCil

L

tv0

uCil V\, terseb ut.

(6)

(D) Kepuasan Citra Tubuh Dan Hubungannya Dengan Pengambilan Keputusan Menjadi Transeksual Waria

(E) xiv + 97 halaman

(F) Menurut Thomson (1996) citra tubuh adalah pengalaman

subyektif individu tentang penampilan fisiknya baik berupa

ukuran,berat badan maupun bagian-bagian tubuh lainnya, yang berisi persepsi, pikiran, perasaan dan sikap individu terhadap tubuhnya. Sementara itu kepuasan citra tubuh dibentuk oleh komponen persepsi, komponen sikap dan komponen tingkahlaku. lndividu yang puas terhadap citra tubuhnya yaitu individu yang memiliki persepsi, pikiran yang positif terhadap tubuhnya.

Seorang waria yang merasa tidak puas akan keadaan tubuhnya akan melakukan pengambilan keputusan, yang mana pengambilan

keputusan (decision making) menurut Janis dan Mann (1977) terbagi

kedalam dua kategori pola pembuatan keputusan yang adaptif dan maladaptif. Pola pengambilan keputusan adaptif adalah pola perilaku yang sangat berhati-hati dan teliti, seperti pembuatan keputusan yang penuh kewaspadaan dan percaya diri. Sebaliknya, pola maladaptif adalah pola pengambilan keputusan yang gaga! dalam memadukan semua prasyarat pemrosesan informasi yang sangat baik. Kepanikan, pengelakan, dan rasa puas diri merupakan bagian dari pola

pembuatan keputusan seperti itu. Penelitian ini ingin mengetahui: (1) Masalah - masalah apakah yang muncul sebagai waria (2) Seberapa besar kepuasan citra tubuh pada waria (3) Bila waria tidak puas dengan citra tubuhnya, apakah ini menjadi masalah besar baginya (4) Bagaimana cara waria menangani masalah citra tubuhnya (5) Apakah ada hubungan antara kepuasan citra tubuh dengan pengambilan keputusan menjadi transseksual pada waria

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara kepuasan citra tubuh dengan pengambilan keputusan pada waria menjadi transseksual.

Penlitian ini dilakukan di Yayasan Srikandi Sejati (komunitas waria) JI. Pisangan Ill No:60 - Jati Negara - Jakarta Timur. Pengambilan sampel

dalam penelitian ini menggunakan non probabiliti sampling, untuk itu

(7)

Spearman's rho dihasilkan nilai korelasi (r) hitung sebesar -0.193, sementara nilai r tabel pada taraf signifikansi 5% dengan N 30 sebesar

0.364. Karena nilai rhitung yang didapat (-0.193) < rtabel (Sig. 5% ; N 30

=

0.364), maka hipotesis nihil (Ho) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara Citra Tubuh dengan Pengambilan Keputusan diterima. (2) Hasil penghitungan uji norrnalitas menunjukkan bahwa nilai signifikansi probabilitas yang dihasilkan pada data variabel Citra Tubuh sebesar 0.001, sementara nilai siginifikansi probabilitas pada data Pengambilan Keputusan adalah sebesar 0.474. Karena nilai signifikansi probabilitas yang dihasilkan pada data variabel Citra Tubuh < 0.05, maka sebaran data pada variabel tersebut dikatakan berdistribusi tidak normal, sementara sebaran data variabel Pengambilan Keputusan berdistribusi normal, karena nilai signifikansi probabilitas yang didapat > 0.05.

Didapatkan hasil tidak ada hubungan antara kepuasan citra tubuh dengan pengambilan keputusan kemungkinan dikarenakan pada

penelitian yang dilakukan sekarang ini dilaksanakan di suatu yayasan dengan sampel waria, bisa saja karena para waria tersebut sudah

berkumpulnya pada suatu yayasan yang diakui, maka mereka sudah lebih dapat menerima dirinya dan memiliki citra tubuh yang cukup baik

sehingga tidak perlu lagi mengambil keputusan untuk menjadi

transseksual.Popularitas operasi kelamin di budaya indonesia juga masih harus diteliti lagi tentang seberapa pauh para waria mengetahui informasi operasi ini. Selain itu, faktor ekonomi di kalangan waria ini juga bisa menjadi alasan mengapa mereka tidak memutuskan untuk operasi transseksual. Para waria tersebut merasa citra tubuhnya terganggu dan merasa itu sebagai masalah untuk mereka, dengan mereka ikut berada dalam suatu yayasan maka ini bisa menjadi satu pemecahan masalah tersendiri bagi mereka. Karena dalam yayasan mereka memiliki banyak teman yang sejalan, dan mirip satu dan lainnya, dapat diterima setidaknya oleh teman-teman dan mersa diakui karena berada dalam satu yayasan.

Saran secara teoritis untuk penelitian yang akan datang (1)sampel diperbanyak dan diperluas tidak hanya diperuntukkan pada waria dalam suatu yayasan saja. (2) Tidak hanya melihat kepuasan citra tubuh pada waria, tetapi juga melihat apakah ada orientasi seks pada waria yang membuat mereka mengambil keputusan menjadi transseksual.

(8)

lainnya. (2) Perlu disosialisasikan tentang bagaimana caranya

meningkatkan citra tubuh pada waria, sehigga waria tersebut tidak perlu mengambil keputusan menjadi transseksual, mengingat resiko yang mungkin didapatkan apabila seseorang meakukan operasi transseksual.

(9)

Alhamdu/illahirobbil'aa/amiin, puji syukur penulis sampaikan kepada Allah

SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga skripsi yang berjudul

"hubungan citra tubuh positif dengan pengambilan keputusan menjadi

transeksual waria" ini dapat penulis diselesaikan.

Kelancaran pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi ini tidak terlepas

dari arahan, bimbingan, dorongan, dan bantuan dari beberapa pihak. Oleh

karena itu dengan ketulusan hati penulis mengucapkan terima kasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Dekan Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta, Bapak Jahya Umar, PhD.

2. lbu Neneng Tati Sumiati, M.Si.Psi, dosen Pembimbing I yang selalu

bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing, mengarahkan, dan

memberikan masukan kepada penulis.

3. lbu Rena Latifa, M.Psi sebagai Pembimbing II yang tidak kenal lelah

bersedia memberikan masukan dan pemikiran dan juga terus mendorong

penulis untuk terus berusaha sehingga akhirnya penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

4. Pembimbing Akademik, lbu Natris ldriyani SPsi.Msi.

5. Dan kepada seluruh Dosen Fakultas Psikologi beserta Staf Administrasi

yang telah membantu dan memberikan masukan kepada penulis.

(10)

persatunya yang selalu mewarnai hari-hari sepanjang perkuliahan

berlagsung, terimakasih yah semuanya.

9. Kepada bapak dan ibu Matsna dan teman-teman kos Pondok Alisan, lik,

Tuti, Diyah, Nenk Mala, Navis, lbah, Fitri dan semuanya. terimakasih atas

dukungan semangatnya.

10.Terima kasih kepada pegawai Perpustakaan Utama UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, pegawai Perpustakaan Fakultas Psikologi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Psikologi UL

11. Last but not least, terima kasih untuk diriku yang berhasil mengalahkan

bagian diriku yang lain, melawan kemalasan serta teman-temannya.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana

layaknya, baik dari segi bahasa maupun materi yang tertuang di

dalamnya. Besar harapan penulis skripsi ini dapat berguna untuk

menambah wawasan baru dan membuka cakrawala yang lebih luas bagi

pembaca sekalian. Amien ...

Jakarta, 12 Nopember 2009 M

(11)

HALAMAN PERSETUJUAN ... .

HALAMAN PENGESAHAN ... .. ... . ... ... ... .. .... ... ... ... .. .... ... ... ... ... ... ... ... . ii

PERSEMBAHAN . ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .... ... . iii

MOTTO ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... viii

DAFT AR ISi . ... .. ... ... ... ... ... ... . ... ... ... ... . ... .. . ... ... ... . .. ... .. ... . ... ... .. xi

DAFT AR TABEL. ... xiv

DAFT AR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BABI PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang . . . 1

1.2. ldentifikasi Masalah.. .. . ... ... ... ... ... ... ... .... .. .... .. .... ... .. . ... . .. .. 8

1.3. Pembatasan Masalah... 9

1.4. Rumusan Masalah ... 1 O 1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11

1.5.1 Tujuan Penelitian ... 11

1.5.2 Manfaat Penelitian ... 11

1.6. Sistematika Penelitian ... 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengambilan Keputusan (Decision Making) ... 13

2.1.1. Definisi Pengambilan Keputusan (Decision Making) .. 13

(12)

2.2.1. Definisi Citra Tubuh ... 18

2.2.2. Komponen Citra Tubuh ... 22

2.2.3. Citra Tubuh Positif (Kepuasan citra tubuh ) ... 23

2.2.4. Citra Tubuh Negatif (Ketidakpuasan citra tubuh) ... 24

2.2.5. Faktor yang mempengaruhi kepuasan dan ketidakpuasan citra tubuh pada individu ... 26

2.3. Waria ... 27

2.3.1. Definisi waria ... 27

2.3.2. Penyebab Timbulnya Waria ... 30

2.4. Transseksual ... 34

2.4.1. Sejarah Transseksual. ... 34

2.4.2. Definisi Transseksual ... 39

2.4.3. Ciri-Ciri Transseksual ... 40

2.4.4. Penyebab Transeksual. ... 42

2.4.5. Penelitian Mengenai Transeksual ... 46

2.5. Gambaran waria di Yayasan Srikandi Sejati ... .47

2.6. Fenomena terdahulu terkait dengan waria yang akhirnya berganti kelamin menjadi transseksual ... 48

2.7. Kerangka Berpikir. ... 54

2.7. Hipotesis ... 56

BAB Ill METODOLOGI DAN PROSEDUR PENELITIAN 3.1. Jen is Penelitian ... 58

3.1.1. Pendekatan Penelitian dan Metode Penelitian ... 58

3.1.2. Desain Penelitian ... 58

(13)

3.4. Populasi dan Sarnpel Penelitian ... 63

3.4.1. Populasi ... 63

3.4.2. Sarnpel ... 63

3.5. Teknik Pengurnpulan Data ... 64

3.3.1. Metode Penelitian ... 65

3.3.2. lnstrurnen Penelitian ... 66

3.6. Prosedur Penelitian ... 72

3.7. Teknik Analisis Data ... 74

BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1. Gamba ran Urn um Subjek ... 78

4.2. Presentasi dan Analisa Data ... 81

4.2.1. Uji persyaratan ... 81

4.2.2. Presentasi Data ... 85

4.2.3. Uji hipotesis ... 87

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1. Kesirnpulan ... 91

5.2. Diskusi ... 91

5.3. Saran ... 93

5.3.1. Saran Teoritis ... 94

5.3.2. Saran Praktis ... 94

DAFT AR PUST AKA ... 95

LAMPI RAN

(14)

Tabel 3.2

Tabel 3.3

Tabel 3.4

Tabel 3.5

Tabel4.1

Table4.2

Table4.3

Tabel 4.4

Table4.5

Tabel 4.6

Tabel 4.7

Tabel4.8

Tabel4.9

Hasil Penelitian Terdahulu Pengambilan Keputusan ... 67

Blue Print Item Pengambilan Keputusan (pilot test) ... 68

Blue Print Item Skala Citra Tub uh (pilot test) ... 71

Arti dan golongan nilai lndeks Massa Tubuh (IMT) ... 77

Komposisi subjek berdasarkan Usia ... 78

Komposisi subjek berdasarkan ukuran tinggi badan ... 79

Komposisi subjek berdasarkan berat badan ... 80

Komposisi subjek berdasarkan pengkategorian lndeks Massa Tubuh ... 80

Hasil Uji Normalitas citra tubuh dan Pengambilan Keputusan ... 82

Deskripsi data ... 85

Kategorisasi skala kepuasan citra tubuh ... 86

Kategorisasi ska la pengambilan keputusan ... 86

Hasil uji korelasi Citra tubuh dengan Pengambilan Keputusan ... 87

Tabel 4.10 Hasil uji regresi variabel bebas dan variabel terikat ... 88

Tabel 4.11 Anova ... 89

(15)

Lampiran 1 Angket Try Out Pengambilan Keputusan

Lampiran 2 Angket Try Out Citra Tubuh

Lampiran 3 Data Mentah Try Out Skala Pengambilan Keputusan

Lampiran 4 Data Mentah Try Out Skala Citra Tubuh

Lampiran 5 Reliabilitas Dan Validitas Skala Pengambilan Keputusan

Lampiran 6 Reliabilitas Dan Validitas Skala Citra Tubuh

Lampiran 7 Data Mentah Penelitian Skala Pengambilan Keputusan

Lampiran 8 Data Mentah Penelitian Skala Citra Tubuh

(16)

1.1 Latar Belakang

BAB 1

PENDAHULUAN

Atmojo (1986) dalam penelitiannya terhadap para waria di tiga kota besar di

Jawa menemukan bahwa waria dapat dikelompokkan sebagai transeksual,

yaitu seseorang yang mengalami penyimpangan identitas jender (gender

identity disorde!'). Menurutnya, sebagian besar waria di Jakarta, Bandung,

Surabaya menampilkan ciri-ciri penderita gender identity disorder, sehingga

mereka bisa dianggap sebagai transeksual.

ldentitas jenis kelamin (gender identity) adalah keadaan psikologis yang

mencerminkan perasaan dalam (inner sense) diri seseorang sebagai laki-laki

atau wanita. ldentitas jenis kelamin didasarkan pada sikap, pola perilaku, dan

atribut lain yang ditentukan secara kultural yang biasa berhubungan dengan

maskulinitas atau feminitas (dalam Kaplan dan Sadock, 1997). Orang dengan

identitas jenis kelamin yang sehat adalah mampu berkata dengan yakin "

saya adalah laki-laki" atau "saya adalah wanita".

Peran jenis kelamin (gender role) adalah pola perilaku eksternal yang

(17)

kelelakian atau kewanitaan adalah dikomunikasikan kepada orang lain

(dalam Kaplan dan Sadock, 1997).

Dalam pengertian umum, waria adalah seorang laki-laki yang berdandan dan

berperilaku sebagai wanita. Kelainan ini sebenarnya bisa dapat digolongkan

ke dalam berbagai penyakit. Pengertian di atas masih terlalu umum, dan

tidak menunjuk pada salah satu jenis penyakit. Tapi biasanya, entah disadari

atau tidak, istilah waria memang ditujukan untuk penderita transeksual

(seseorang yang memiliki fisik berbeda dengan keadaan jiwanya). Artinya,

istilah tersebut bisa juga dikenakan pada seseorang yang secara fisik

perempuan tapi berdandan dan bertingkah laku sebagai laki-laki (Atmojo,

1986).

Selain itu Atmojo (1986) menjelaskaan sebagian besar dari mereka merasa

bahwa mereka adalah wanita meskipun tubuh mereka sejak lahir mereka

memiliki jenis kelamin laki-laki. Menurut penuturan mereka, kesadaran akan

kewanitaan mereka dimulai semenjak mereka pada masa kanak-kanak.

Mereka berusaha merubah bentuk tubuh mereka yang memiliki karakteristik

laki-laki agar menjadi wanita yang seutuhnya. Bahkan banyak waria yang

berupaya untuk melakukan operasi plastik dan suntik hormon untuk

(18)

menghaluskan kulit, bahkan pada akhirnya ada yang memutuskan untuk

melakukan operasi kelamin, atau yang disebut operasi transeksual.

Umumnya masyarakat mengenal waria adalah seorang yang berjenis kelamin

pria, tetapi berpakaian seperti wanita dan juga bertingkah laku layaknya

seorang wanita, kadang kala seorang waria terlihat lebih feminin dari pada

wanita (dalam Ferdayanti, 2004). Akibat ketidaksesuaian antara hasrat, dan

perasaan untuk menjadi anggota lawan jenis terhadap kondisi-kondisi fisik

yang sebenarnya maka timbullah suatu masalah yang disebut dengan

Transseksual. Yang mana Transseksual adalah suatu keadaan dimana

seorang laki-laki memiliki keyakinan, perasaan bahwa ia seharusnya berada

dalam golongan lawan jenisnya, yaitu perempuan, atau sebaliknya

perempuan yang memiliki keyakinan seharusnya dirinya itu berada dalam

golongan lawan jenisnya, yaitu laki-laki. Transeksual sering tertukar dengan

apa yang dinamakan hermafrodit atau interseks. Transeksual umumnya

disalahartikan atau dianggap sebagai individu dengan kondisi interseks

(hermafrodit) secara fisik (Aini, 2003).

Perlu dibedakan antara transseksual dengan hermafrodit dan lesbi atau

homoseksual. Seseorang dikatakan hermafodit (inerseks) apabila ia memiliki

penis dan juga memiliki vagina meskipun bentuk ataupun fungsi salah satu

(19)

keambiguan atas genital internal atau eksternal mereka, atau bisa keduanya,

namun secara umum mereka tidak menampakkan kebingungan atas identitas

gender mereka (Dewan redaksi Ensiklopedi islam, 1993).

Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder- IV (DSM-IV),

transeksual digolongkan ke dalam Gender Identity Disorder atau Gender

Dysphoria. Gender Dysphoria adalah sebuah istilah umum. Transseksual

berbeda juga dengan homoseksual. Homoseksual adalah individu yang

memiliki orientasi seksual kepada sesama jenisnya. Bila ia pria maka ia akan

tertarik secara seksual dengan pria juga, dan sebaliknya, apabila ia

perempuan maka ia akan tertarik dengan perempuan juga, itu yang biasa

disebut dengan lesbi.

Dan tranvisit adalah selalu laki-laki; mereka tidak membenci alat kelamin

mereka ataupun menginginkan untuk menghilangkannya. Mereka tidak

seperti transeksual yang merasa "terperangkap" dalam tubuh yang salah dan

secara tegas membenci bahkan merasa jijik dengan alat kelamin yang

mereka miliki. Adapun persamaan yang dimiliki oleh transseksual dengan

transvisit adalah keduanya memakai pakaian dari lawan jenis kelamin

(20)

lstilah "Transgender" rnulai digunakan pada rnasa antara penggunaan DSM

Ill dan DSM IV (Thorn dan More, 1994), seperti dikutip oleh Ekins dan King

rnenggunakan istilah transgender untuk rnenggarnbarkan kornunitas dari

seluruh orang-orang dengan identitas cross-genderterlepas dari apakah

rnereka adalah intersex, transeksual laki-laki dan perempuan, cross-dresses,

drag king, dan drag Queen, transgenderis, androgini, bi-gender, gender

ke-tiga, atau gender gifted people. lstilah ini digunakan oleh beberapa pihak

untuk rnerujuk pada seseorang yang rnerniliki identitas gender yang tidak

biasa dalarn konteks bebas nilai, artinya istilah ini digunakan tanpa ada

konotasi psikopatologi. Beberapa orang rnenggunakan istilah ini secara

informal untuk rnenunjuk pada seseorang yang rnerniliki rnasalah identitas

gender dalarn bentuk apapun. Transgender bukanlah diagnosa formal, tetapi

para profesional dan rnasyarakat awarn rnerasa lebih rnudah rnenggunakan

istilah ini daripada GIDNOS (Gender Identity Disorder Not Otherwise

Specified), yang rnerupakan diagnosa formal.

Transseksual terbagi rnenjadi dua rnacarn, yaitu MtF atau Male to Female

transseksuals dan FtM atau Female to Male transseksuals. Male to Female

Transseksuals atau transseksual laki-laki ke perernpuan rnerniliki tubuh dan

jiwa perernpuan. Sedangkan Female to Male Transsexsua/s atau

transseksual perernpuan ke laki rnerniliki tubuh perernpuan dan jiwa

(21)

Ketidakpuasan terhadap citra tubuh rnerupakan keyakinan individu bahwa

penarnpilan tidak rnernenuhi standar pribadinya, sehingga ia rnenilai rendah

tubuhnya.

Hal ini lebih lanjut dapat rnenyebabkan individu rnenjadi rentan terhadap

harga diri yang rendah, depresi, kecernasan sosial dan rnenarik diri dari

situasi sosial, serta rnernaharni disfungsi sosial (Menurut Cash & Grant

dikutip Thompson, 1996). Dengan adanya fenornena seperti itu peneliti ingin

rnencari banyak inforrnasi tentang waria dan rnernbahas tentang kepuasan

citra tubuh dan hubungannya dengan pengarnbilan keputusan rnenjadi

transseksual.

Beberapa ahli rnernberikan batasan rnengenai pengarnbilan keputusan

(decision making) diantaranya adalah;

Menurut Janis dan Mann (1977) pengarnbilan keputusan diperoleh rnelalui

dua pola pernbuatan keputusan yaitu pola pengarnbilan keputusan yang

adaptif dan rnaladaptif. Pola pengarnbilan keputusan adaptif adalah pola

perilaku yang sangat berhati-hati dan teliti, seperti pernbuatan keputusan

yang penuh kewaspadaan dan percaya diri. Sebaliknya, pola rnaladaptif

adalah pola pengarnbilan keputusan yang gaga! dalarn rnernadukan sernua

prasyarat pernrosesan inforrnasi yang sangat baik. "Keputusan adalah

(22)

masalah atau problema untuk menjawab pertanyaan apa yang harus

diperbuat guna mengatasi masalah tersebut, dengan menjatuhkan pilihan

pada salah satu alternatif tertentu" (Atmosdirjo, 1987).

Dari batasan-batasan di atas memperlihatkan bahwa pengambilan keputusan

merupakan suatu proses atau bagian dari pemecahan masalah. Secara

umum, masalah adalah setiap kali atau pertentangan antara satu situasi lain

yang ingin dicapai yaitu yang menjadi goal atau tujuan oleh seseorang atau

sekelompok orang. Dengan demikian, proses yang dilakukan dalam

pemecahan masalah bersifat terarah pada tujuan dan didorong oleh

kebutuhan untuk mengurangi kesenjangan antara satu hal dengan yang lain

(Morgan, 1986).

Dan yang ingin dilihat pada penelitian ini adalah bagaimana citra tubuh

seorang waria dan apabila citra tubuhnya buruk apakah menggiringnya untuk

mengambil keputusan menjadi transeksual? Dimana seperti telah

dikemukakan diatas, pengambilan keputusan merupakan proses seseorang

dalam rangka memecahkan masalahnya.

1.2

ldentifikasi Masalah

1. Masalah-masalah apakah yang muncul sebagai waria?

(23)

3. Bila waria tidak puas dengan citra tubuhnya, apakah ini menjadi masalah

besar baginya?

4. Bagaimana cara waria menangani masalah citra tubuhnya?

5. Apakah ada hubungan antara kepuasan citra tubuh dengan pengambilan

keputusan menjadi transseksual pada waria?

1.3

Pembatasan Masalah

Pada penelitian ini, peneliti membatasi pada tema kepuasan citra tubuh

dengan pengambilan keputusan menjadi transseksual waria. Untuk

memudahkan pemahaman terhadap tema tersebut, berikut batasan dari

variable yang digunakan dalam penelitian ini:

Menurut Janis dan Mann (1977) pengambilan keputusan diperoleh melalui

dua pola pembuatan keputusan yaitu pola pengambilan keputusan yang

adaptif dan maladaptif. Pola pengambilan keputusan adaptif adalah pola

perilaku yang sangat berhati-hati dan teliti, seperti pembuatan keputusan

yang penuh kewaspadaan dan percaya diri. Sebaliknya, pola maladaptif

adalah pola pengambilan keputusan yang gaga! dalam memadukan semua

prasyarat pemrosesan informasi yang sangat baik. kepanikan, pengelakkan,

dan rasa puas diri merupakan bagian dari pola pembuatan keputusan seperti

itu. Singkatnya, Keputusan adalah pengakhiran atau pemutusan dari pada

(24)

menjawab pertanyaan apa yang harus diperbuat guna mengatasi masalah

tersebut, dengan menjatuhkan pilihan pada salah satu alternatif tertentu

(Atmosdirjo, 1987).

Kaum waria yang di maksud di dalam penelitian ini adalah menurut Kamus

Basar Bahasa Indonesia (2000:1269). lstilah waria kependekan dari wanita

pria, pria yang bersifat dan bertingkah laku seperti wanita, pria yang

mempunyai perasaan sebagai wanita.

Menurut Thomson (1999) Citra tubuh adalah pengalaman subyektif individu

tentang penampilan fisiknya baik berupa ukuran,berat badan maupun

bagian-bagian tubuh lainnya, yang berisi persepsi, pikiran, persaan dan sikap

individu terhadap tubuhnya. Sementara itu kepuasan citra tubuh dibentuk

oleh komponen persepsi, komponen sikap dan komponen tingkahlaku.

lndividu yang puas terhadap citra tubuhnya yaitu individu yang memiliki

persepsi, pikiran yang positif terhadap tubuhnya.

1.4

Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah yang telah ditetapkan pada penelitian ini,

maka rumusan masalah adalah "apakah ada hubungan antara kepuasan citra

(25)

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.5.1 Tujuan Penelitian

Mengacu pada latar belakang masalah dan rumusan masalah yang telah

dikemukakan, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepuasan citra

tubuh dan hubungannya dengan pengambilan keputusan menjadi

transseksual pada waria.

1.5.2 Manfaat Penelitian

Secara teoritis, dengan melakukan penelitian ini, diharapkan dapat

memperkaya literature psikologi Indonesia khususnya dalam bidang klinis.

Dari segi praktisnya, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat

bagi pembaca, dan memberikan masukan dan penemuan-penemuan yang

baru dan lebih banyak lagi kepada masyarakat luas mengenai kaum waria

dan kepuasan citra tubuhnya, serta memberikan informasi tentang

pengambilan keputusan untuk menjadi transeksual dapatlah dihindari dengan

cara meningkatkan citra tubuhnya, sehingga dapat meminimalkan resiko

pasca operasi transeksual misalnya.

1.6 Sistematika Penelitian

(26)

Bab I Merupakan Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,

ldentifikasi masalah, Batasan masalah dan rumusan masalah,

Tujuan dan Manfaat penelitian, dan Sistematika penulisan

Bab II Pengambilan Keputusan (Decision Making), Definisi Pengambilan

Keputusan (Decision Making), Faktor-faktor pengambilan

keputusan, Strategi pengambilan keputusan, Definisi Citra Tubuh,

Komponen Citra Tubuh, Citra Tubuh Positif (Kepuasan citra tubuh),

Citra Tubuh negatif (Ketidakpuasan citra tubuh), Faktor yang

mempengaruhi kepuasan dan ketidakpuasan citra tubuh pada

individu, Definisi waria, latar belakang individu menjadi waria,

gambaran waria di yayasan srikandi, sejarah transseksual, definisi

transseksual, ciri-ciri transseksual, penyebab transseksual,

penelitian mengenai transseksual, Fenomena terdahulu terkait

dengan waria yang akhirnya berganti kelamin (menjadi

transseksual), kerangka berpikir

Bab Ill Terdiri dari Metodologi Dan Prosedur Penelitian, Jenis Penelitian,

Pendekatan penelitian dan metode penelitian, Desain Penelitian,

Variabel penelitian dan Operasional variabel, Populasi dan Sampel

Penelitian, Teknik pengumpulan data, lnstrumen Penelitian,

Prosedur Penelitian, Teknik Analisis Data

Bab IV Hasil dan Analisa

(27)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1

Pengambilan Keputusan

(Decision Making)

2.1.1 Definisi Pengambilan Keputusan (Decision Making)

Beberapa ahli memberikan batasan mengenai pengambilan keputusan, di

antaranya adalah;

Menurut Janis dan Mann (1977) pengambilan keputusan diperoleh melalui

dua pola pembuatan keputusan yaitu pola pengambilan keputusan yang

adaptif dan maladaptif. Pola pengambilan keputusan adaptif adalah pola

perilaku yang sangat berhati-hati dan teliti, seperti pembuatan keputusan

yang penuh kewaspadaan dan percaya diri. Sebaliknya, pola maladaptif

adalah pola pengambilan keputusan yang gagal dalam memadukan semua

prasyarat pemrosesan informasi yang sangat baik. Kepanikan, pengelakkan,

dan rasa puas diri merupakan bagian dari pola pembuatan keputusan seperti

itu. Berdasarkan teori tersebut, Mann, Harmoni, dan Power (1989)

mengembangkan Adolescent Decision Making Questionaire (ADMQ) untuk

mengukur pola pengambilan keputusan pada masa remaja.

"Keputusan adalah pengakhiran atau pemutusan dari pada suatu proses

(28)

apa yang harus diperbuat guna mengatasi masalah tersebut, dengan

menjatuhkan pilihan pada salah satu alternatif tertentu" (Atmosdirjo, 1987).

Dari batasan-batasan di atas memperlihatkan bahwa pengambilan keputusan

merupakan suatu proses atau bagian dari pemecahan masalah. Secara

umum, masalah adalah setiap kali atau pertentangan antara satu situasi lain

yang ingin dicapai yaitu yang menjadi goal atau tujuan oleh seseorang atau

sekelompok orang. Dengan demikian, proses yang dilakukan dalam

pemecahan masalah bersifat terarah pada tujuan dan didorong oleh

kebutuhan untuk mengurangi kesenjangan antara satu hal dengan yang lain.

2.1.2

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan menurut Marx

(1976) diantaranya adalah faktor personal, yang meliputi:

1. Kognisi, yang berupa kualitas dan kuantitas pengetahuan yang dimiliki

individu.

2. Motif, yakni bagaimana motivasi individu dalam merespons situasi yang

sedang dihadapi.

3. Sikap, yang berhubungan dengan perasaan negatif dan positif individu

terhadap suatu situasi.

Faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi pengambilan keputusan individu

(29)

1. Kuatnya motivasi. Bila motivasi yang timbul dari sebuah pilihan semakin

kuat, maka akan semakin kuat pula dorongan untuk memilih hal tersebut,

dibandingkan dengan pilihan yang timbul dari motivasi yang lemah.

2. Jarak, tempat, dan waktu. lndividu akan cenderung mendekati atau

menghindari salah satu pilihan sesuai dengan jauh dekatnya jarak,

tempat, dan waktu dari pilihan tersebut.

3. Pengharapan. Semakin besar harapan individu terhadap salah satu

pilihan maka akan besar pula kemungkinan untuk memilih pilihan

terse but.

2.1.3 Strategi pengambilan keputusan

Atwater, 1983 mengklasifikasikan strategi pengambilan keputusan

berdasarkan unsur resiko yang terlibat didalamnya:

1. Wish strategy adalah memilih alternatif pilihan yang dapat membawa

pada hasil yang diinginkan, tanpa memperhatikan resiko.

2. Escape strategy adalah memilih alternatif pilihan yang paling tinggi

kecenderungannya untuk dapat terhindar dari hasil yang buruk.

3. Safe strategy adalah memilih alternatif pilihan yang paling tinggi

kecenderngannya untuk mencapai keberhasilan.

4. Combination strategy adalah mengkombinasikan kemungkinan untuk

memperoleh hasil yang paling diinginkan (high desirability) dengan

(30)

3.

Weighing the alternatives

Pilhan-pilihan yang ada dievaluasi berdasarkan konsekwensi dan

kepraktisan, terutama tentang kelebihan dan kekurangan dari setiap

alternatif. Evaluasi ini berguna untuk memilih alternatif yang terbaik.

4. Making

a

commitment

Banyaknya ketegangan karena memprtimbangkan alternatif hanya dapat

diselesaikan dengan membuat dan memutuskan komitmen. Pada tahap

ini tercapai suatu keputusan untuk memilih salah satu alternatif yang ada,

dan telah menetapkan komitmen untuk melaksanakan keputusan

terse but.

5.

Adhering despite negative feedback

Setiap keputusan pasti memiliki resiko. Oleh karena itu, sangat penting

untuk tidak terlalu bereaksi berlebihan dengan kritik maupun kekecewaan

seperti mengganti sebuah keputusan sebelum mencoba ataupun tidak

menerima kritikan.

Janis & mann 1977 (dalam Siagian,1990:23 mengemukakan 7 kriteria untuk

menguji efektifitas dari pengambilan keputusan:

1. Secara menyeluruh melihat alternatif tindakan yang mungkin dicapai dan

nilai-nilai yang mungkin dilakukan

2. Mempertimbangkan sefuruh tujuan yang akan dicapai dan nilai-nila yang

(31)

3. Secara hati-hati menimbang kerugian yang akan dihadapi,

memperkirakan resiko-resio yang belum pasti, baik konsekwensi positif

maupun negatif.

4. Secara intensif mencari informasi baru yang relevan untuk evaluasi lanjut

Membuka diri dan memperhitungkan informasi baru, walaupun informasi

itu tidak mendukung pilihan yang disukainya

5. Membuka diri memperhitungkan informasi baru walaupun informasi itu

tidak mendukung pilihan yang disukainya.

6. Menilai kembali konsekwensi positif dan negatif setiap pilihan termasuk

pilihan yang semula tidak diterima, sebelum mengambil keputusan akhir

7. Membuat langkah-langkah tindakan dan rencana yang terperinci dengan

mempertimbangkan kemungkinan tindakan yang antisipatif.

2.2 Citra Tubuh

2.2.1 Definisi Citra Tubuh

Menu rut Thompson, et. al (1999: 10), citra tubuh (body image) adalah :

"body image is an evaluation of one's size, weight, or any other aspect of the

body that determine's physical appearance".

Selain tokoh di atas, Atwater (1999) mengemukakan bahwa citra tubuh

(32)

Pengertian ini menjelaskan perasaan kita yang sesungguhnya terhadap

tubuh kita sendiri, termasuk didalamnya perasaan puas atau ketidakpuasan

terhadap tubuh kita.

Dalam Kamus Besar Psikologi (Chaplin, 2005) Body image adalah: Ide

seseorang mengenai betapa bagian badannya di hadapan orang (bagi) orang

lain. Kadang kala dimasukkan pula konsep mengenai fungsi tubuhnya. Dalam

artian seseorang mempersepsikan tubuhnya sesuai dengan ide atau

perasaan yang ia rasakan dan beranggapan apa yang ia persepsikan

tersebut sangat diperhatikan oleh orang lain di sekitarnya.

Dari definisi-definisi di atas citra tubuh adalah pengalaman subyektif individu

tentang tubuhnya, yang berisi persepsi, pikiraan, persaan dan sikap individu

terhadap tubuhnya. Lebih spesifik lagi dapat ditarik kesimpulan bahwa citra

tubuh merupakan evaluasi dari pengalaman subyektif individu tentang

penampilan fisiknya, baik berupa ukuran, berat badan maupun bagian-bagian

tubuh lainnya.

Menurut Thomson (1999) kepuasan citra tubuh mencakup Komponen

persepsi, Komponen sikap (subyektif), Komponen tingkah laku (behavior).

Citra tubuh adalah pengalaman subyektif individu tentang tubuhnya , yang

(33)

Lebih spesifik lagi dapat ditarik kesimpulan bahwa citra tubuh merupakan

evaluasi dari pengalaman subyektif individu tentang penampilan fisiknya, baik

berupa ukuran, berat badan maupun bagian-bagian tubuh lainya. Untuk

mengukur variabel citra tubuh digunakan koesioner yang dikembangkan oleh

Thomas F. Cash pada tahun 1989 dan diadaptasi oleh Jihan Kemala (2000)

dan diadaptasi kembali oleh penulis. Alat ini bernama Multimentional

Body-Se/f Relations Questionnaire (MBSRQ). MBSRO sebagai alat yang

cakupannya paling menyeluruh dan memiliki validitas yang tinggi, meliputi

elemen negatif, afektif, dan behavioral dari citra tubuh. Alat MBSRQ ini

mengukur 3 domain somatik, yaitu : penampilan fisik (appearance),

kebugaran (fitness), dan kesehatan (healthlilness), yang terbagi menjadi 7

sub skala. Selain 3 domain tersebut, masih ada 3 sub skala khusus yang

mengukur kepuasan area tubuh (The Body-Area Satisfaction Scale), skala

kecemasan terhadap kegemukan (The Overweight Preoccupation Scale) dan

skala pengkategorian berat badan diri (The Self Classified Weight Scale).

Setiap sub-skala dalam kuesioner ini mewakili satu domain dari citra tubuh.

Sub-skala tersebut adalah:

1. Evaluasi penampilan fisik (Appearence EvaluatiomEva-penampilan

=

EPF) Subskala ini mengukur tentang perasaan menarik atau tidaknya,

puas atau ketidakpuasan akan penampilan seseorang.

2. Orientasi penampilan fisik (Appearence Orientation/Ori Penampilan

=

(34)

penampilannya.

3. Evaluasi kebugaran fisik (Fitness Eva/iation/Eva-Bugar = EBF) Subskala

ini mengukur tingkat kebugaran yang dirasakan individu terhadap

tubuhnya.

4. Orientasi kebugaran fisik (Fitness Orientation/Ori-Sugar = OBF) Subskala

ini mengukur tingkat perhatian terhadap kebugaran tubuh atau seberapa

penting kebugaran tubuh yang dimiliki individu.

5. Evaluasi kesehatan (Health Evaluation!Eva-Sehat = ES) Subskala

evaluasi kesehatan ini mengukur penilaian seseorang tentang kesehatan

tubuhnya atau tingkat perasaan bebas dari penyakit.

6. Orientasi Kesehatan (Health Orientation!Ori-Sehat = OS) Mengukur

derajat pengetahuan dan kesadaran individu terhadap pentingnya

kesehatan tubuh secara fisik.

7. Orientasi tentang penyakit (Illness Orieentation!Ori-penyakit =Ope)

Mengukur tentang kesadaran individu tentang tubuhnya bila sedang atau

menjadi sakit, yaitu derajat pengetahuan dan reaksi terhadap berbagai

masalah enyakit yang dirasakan oleh tubuh.

Subskala khusus yang terdapat dalam kuesioner ini adalah :

8. Kepusan Area Tubuh (Body-Areas Satisfaction Scale!Puas Area Tubuh =

PAT) Subskala kepuasan area tubuh hampir sama dengan skala evaluasi

penampilan, hanya sub-skala ini lebih spesifik mengukur tingkat kepuasan

(35)

9. Pengkategorian Ukuran Tubuh (Self-Classified Weighf!Kategori Diri =KO)

Subskala khusus yang menggambarkan bagaimana seseorag

memperepsikan dan melebel berat badannya sendiri, dari yang sangat

kurus sampai dengan yang sangat gemuk.

10. Kecemasan Menjadi Gemuk (Overweight Preocupation =CG) Skala

khusus yang mencerminkan kecemasan menjadi gemuk, kewaspadaan

akan berat badan, kecenderungan untuk melakukan diet penurunan berat

badan dan membentuk pola yang dibatasi.

2.2.2

Komponen Citra Tubuh

Menurut Thompson (1996), citra tubuh terdiri dari tiga komponen citra tubuh:

1 . Komponen persepsi.

Komponen persepsi merupakan ketepatan individu mempersepsi atau

memperkirakan ukuran tubuhnya.

2. Komponen sikap (subyektif)

Komponen sikap berhubungan dengan kepuasan individu terhadap

tubuhnya, evaluasi kognitif, evaluasi dan kecemasan individu terhadap

penampilan tubuhnya.

3. Komponen tingkah laku (behavior)

Komponen behavioral (tingkah laku) menitikberatkan pada penginderaan

terhadap situasi yang menyebabkan individu mengalami

(36)

behavioral lebih menekankan bagaimana individu bertingkah laku dalam

menghadapikeadaantubuhnya.

Citra tubuh merupakan pengalaman multidimensional, meliputi tingkah laku,

afek, penginderaan, imagery dan kognisi, dan pengalaman interpersonal

serta biologi (Thompson, 1996). Oleh karena itu, dalam melakukan

pengkajian terhadap citra tubuh, diperlukan pemahaman yang menyeluruh

terhadap komponen-komponennya.

2.2.3 Citra Tubuh Positif (Kepuasan citra tubuh )

Citra tubuh positif menurut Mintz dan Betz (Thompson, 1996) adalah derajat

kepuasan individu terhadap bagian-bagian dan karakteristik tubuh yang

sangat menjadi perhatian mereka. Pada daerah tubuh, perempuan rata-rata

sangat memperhatikan bagian seksualitas tubuhnya, seperti paha, pinggul

dan pantat. Bahkan perempuan yang mempunyai berat badan normal

cenderung kurus pun kebanyakan menginginkan paha, pinggul dan patat

yang lebih kecil lagi.

Kepuasan citra tubuh merupakan hasil dari perbandingan antara standar citra

tubuh ideal yang ada di masyarakat dengan persepsi tentang citra tubuh

nyata yang dimilikinya. Apabila perbandingan antara citra tubuh nyata dan

(37)

tubuhnya secara tepat. Distorsi citra tubuh merupakan perbedaan antara

persepsi yang dimiliki individu tentang tubuhnya berbeda (tidak akurat)

dengan keadaan tubuh yang sebenarnya. Ketidakakuratan tersebut adalah

overestimation dan underestimation. Overestimation, yaitu individu

mempersepsi tubuhnya lebih besar daripada ukuran yang sebenarnya,

contohnya seorang perempuan yang langsing akan mempersepsi tubuhnya

mempunyai ukuran yang sama dengan orang lain yang bertubuh lebih gemuk

daripada dirinya. Sedangkan underestimation, yaitu individu mempersepsi

tubuhnya lebih kecil daripada ukuran tubuh yang sebenarnya. Tetapi tidak

semua individu mempunyai citra tubuh negatif mengalami distorsi pada

komponen persepsinya (Friedman & Brownell, dalam Thompson, 1996).

Citra tubuh yang negatif merupakan keyakinan individu bahwa

penampilannya tidak memenuhi standar pribadinya, sehingga ia menilai

rendah penampilan fisik tubuhnya. Hal ini menyebabkan individu menjadi

rentan terhadap harga diri yang rendah, depresi, kecemasan sosial dan

menarik dari situasi sosial.

Seseorang dikatakan memiliki citra tubuh yang negatif apabila derajat

kepuasan penampilan fisik tubuhnya rendah. Citra tubuh yang negatif dapat

mempengaruhi kehidupan seseorang, timbul harga diri yang rendah, bahkan

timbul gangguan kebiasaan makan karena seseorang berusaha memperbaiki

(38)

badan akibat kadar lemak tubuh yang meningkat. Sebagai akibatnya, pria

pada tahap tersebut mendambakan ukuran tubuh yang lebih kecil dan

rentan terhadap ketidakpuasan akan citra tubuh.

>-

Sosialisasi

Sejak kecil anak di sekolah disosialisasikan tentang nilai-nilai penampilan,

baik oleh orang tua ataupun orang dewasa yang berpengaruh, yang

meliputi model/ling interpersonal dan pendelegensian nilai serta sikap

tentang penampilan (Cast & Grant, 1995; Rieves & Cash, 1995 dalam

Thompson, 1996).

>-

Konsep diri

Konsep diri seseorang turut mempengaruhi besarnya kepuasan citra

tubuh yang dirasakan individu. Aspek lain dari konsep diri yang tak kalah

penting adalah kepercayaan diri dan harga diri.

2.3 Waria

2.3.1 Definisi waria

Waria, kepenendekan dari wanita pria ,banci, pria yang tingkah laku serta

fisiknya bersifat wanita atau kewanita-wanitaan memang bukan dibuat-buat,

tetapi bawaan lahir (Badudu-Zain- Kamus Bahasa Indonesia dalam Popular,

(39)

dalam tingkah dan /akunya. Misa/nya dalam penampilan dandanannya,

ia mengenakan busana dan aksesori seperti halnya wanita. Begitu pun

dalam peri/aku sehari-hari, ia juga merasa dirinya sebagai seorang

wanita.

(Latuihamallo, 1998 dalam Popular, Juni, 1998) .

.. secara biologis kami adalh iaki-laki, secara psikologis. kami ini

seperti lebih banyak kewanitaannya dari pada ke/aki-lakiannya, jiwa

kami ini merasa atau mengangap bahwa diri kami ini wanita as/i,

sampai kami tidak canggung /agi bersikap, berjalan, berbicara dan

bersolek seperti wanita.

(Dalam Wamaen, 1968 )

Tidak semua waria adalah transeksual, istilah waria merupakan istilah yang

sangat luas yang memiliki berbagai definisi, akan tetapi menurut Atmojo

(1986), sebagian besar waria di Jakarta, Bandung dan Surabaya

menampilkan ciri-ciri penderita gender identity disorder, sehingga mereka

juga bisa dianggap transeksual.

Dalam pengertian umum, waria adalah salah seorang laki-laki yang

(40)

sebenarnya dapat digolongkan kedalam berbagai penyakit. Maksudnya

pengertian diatas masih bersifat terlalu umum, dan tidak menunjuk pada

salah satu penyakit. Tapi dalam penelitian ini, istilah waria ditujukan pada

penderita gender identity disorder atau yang dikenal dengan transeksual.

Waria kependekan dari wanita pria, pria yang bersifat dan bertingkah laku

seperti wanita, pria yang mempunyai perasaan sebagai wanita (Kamus Basar

Bahasa Indonesia, edisi ke Tiga, 2000:1269).

Waria (wanita pria) yaitu pria yang bersifat dan bertingkah laku seperti wanita,

berperasaan sebagai wanita, organ kelamin luar tampak seperti laki-laki

(Kamus Besar I/mu Pengetahuan, 2007:1195).

Fausiah F. dan Widury

J

(2005: 58) menjelaskan bahwa gangguan identitas

gender, biasanya dikenal juga dengan istilah transeksualisme,

memilikikarakteristik perasaan yang menetap dalam diri seseorang tentang

ketidaknyamanan memiliki jenis kelamin (biologis) mereka, dan peran gender

yang sesuai dengan jenis kelamin tersebut. Pada istilah sehari-hari, mereka

inilah yang sering disebut sebagai "waria", "wadam", "banci", "bencong",

ataupun istilah semacam itu.

Freud (dalam Danarto, 2003:3) berpendapat bagi pribadi yang memiliki

ciri-ciri seksual terbalik (invert) memiliki kecenderungan berperilaku yang

(41)

a. Beberapa diantaranya benar-benar terbalik (absolutely inverted); objek

seksual mereka harus selalu berasal dari jenis kelamin yang sama.

Bahkan bagi kelimpok ini, lawan jenis tidak akan pernah mampu menjadi

objek kerinduan seksual; lawan jenis akan diacuhkan, bahkan mungkin

menimbulkan rasa jijik. Kemunculan rasa jijik ini, bagi kaum pria membuat

mereka tidak mampu melakukan aktivitas seksual normal atau kehilangan

segala kenikmatan dalam melakukannya.

b. Kelompok yang terbalik dalam dua arah (amphigenously inverted), atau

secara psikoseksual hermaprodit (pschosexually hermaphroditic); objek

seksual mereka mungkin tertuju secara umum, baik sesama jenis maupun

lawan jenis. Dalam kasus ini, inversi tidak menunjukkan karakternya yang

khas.

c. Sisanya merupan pribadi yang hanya kadang-kadang menampakkan

inverse (occasionally inverted). Dalam situasi tertentu, terutama bila objek

seksual normal tidak dapat dicapai, atau melalui tindakan-tindakan imitasi,

kelompok ini mampu menganggap sesama jenisnya sebagai objek

seksual, dan meraih kepuasan seksual bersamanya.

2.3.2 Penyebab Timbulnya Waria

Menurut sebagian orang, penyebab utama seseorang menjadi waria adalah

lingkungan. Pengaruh atau penyebab berjalan di bawah sadar ketika orang

(42)

bersurnber dari teori Sigmund Freud, rnaka tidak heran, rnengenai

hornoseksualitas ini Freud berkeyakinan bahwa sebagian besar

penyebabnya adalah pengaruh dari luar atau sesudah dilahirkan (acquired).

Sernentara banyak orang percaya bahwa seseorang dapat di 'bentuk'

terrnasuk dibentuk rnenjadi banci sejak orang itu rnasih belurn dewasa

(Atrnojo, 1986:3). Narnun rneski diakui, keluarga atau lingkungan ikut

rnenyurnbang terbentuknya kelainan seksual, khususnya yang bersifat

psikologis. Jelas bahwa lingkungan rnernpengaruhi pula pernbentukan

kepribadian seseorang sejak kecil. Sebab pada rnasa anak inilah seseorang

rnengidentifikasikan dirinya dengan orang-orang disekitanya. Karena itu,

tokoh yang diidentifikasikan ini (Identification Figure) rnernegang peranan

penting dalarn perkernbangan, terrnasuk perkernbangan seksual si anak.

Sebagai contoh, seorang laki-laki, rnestinya rnengidentifikasikan dirinya

kepada sang ayah. Sedangkan anak perernpuan, tentu saja harus

rnengidentikasikan dirinya kepada sang ibu. Jika terjadi kebalikannya, rnaka

diduga bisa terjadi 'kekacauan' (Atrnojo, 1986).

Munculnya gangguan identitas gender antara lain pada usia 2-4 tahun, yang

biasanya rnenyertai gangguan kecernasan untuk berpisah. Anak laki-laki

rnulai rnenunjukkan gangguan ini sebelurn usia 4 tahun dan konflik dengan

ternan sebaya rnulai berkernbang pada rnasaawal sekolah, sekitar 7-8 tahun

(43)

Perilaku yang feminine dari anak laki-laki mungkin berkurang seiring dengan

meningkatnya usia, terutama jika dilakukan usaha untuk menguranginya.

Gangguan dalam fungsi sosial dan pekerjaan akibat keinginan individu untuk

terlibat dalam peran gender yang diinginkan (dan merupakan kebalikan dari

peran gendernya yang semestinya), adalah hal yang umum terjadi.

Data menunjukkan bahwa gangguan identitas gender enam kali lebih banyak

terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Gangguan identitas gender

harus dibedakan dari transvestis (yang merupakan bagian dari pedofilia),

dimana individu yang transvestis-meskipun mengenakan pakaian lawan

jenisnya-tidak mengidentifikasikan diri mereka sebagai jenis kelamin yang

berbeda dengan jenis kelamin biologisnya (Davison dan Neale dalam

Fausiah F. dan Widury J., 2005: 58).

Dengan mengutip teori Stoller, Arman Adi Kusuma mengatakan bahwa ini

(laki-laki yang kewanita-wanitaan) bisa terjadi karena si ibu terlalu dominan

dalam diri si anak, ketimbang si ayah yang pasif. Kelahiran anak yang 'cantik'

ini membuat si ibu sangat tergugah untuk membuat ikatan emosional yang

erat (symbiosis) dengan anak tersebut. Dan biasanya semua ini berlangsung

selama bertahun-tahun (Atmojo, 1986:51).

Gerald C. Davison, dkk (2004: 613) menjelask,an bahwa ketika gangguan

(44)

banyaknya perilaku lintas-gender, seperti menggunakan pakaian lawan

jenisnya, lebih suka bermain dengan teman-teman dari lawan jenis, dan

melakukan permainan yang secara umum dianggap sebagai permainan

lawan jenisnya (anak laki-laki bermain dengan boneka Barbie).

Dalam penelitiannya Zuckerman & Green (Davison, 2006:616), orang tua

yang anak-anaknya menunjukan tanda-tanda Gangguan ldentitas Gender

(GIG) berulang kali mengungkapkan bahwa mereka tidak mencegah, dan

dalam banyak kasus jelas mendorong perilaku memakai pakaian lawan jenis

pada anak-anak mereka yang tidak normal. Banyak orang tua yang

menganggap lucu bila anak lelaki memakai pakaian wanita dan sepatu hak

tinggi milik ibunya dan mengajari cara memakai rias wajah. Reaksi semacam

ini yang diberikan oleh anggota keluarga terhadap anak yang tidak normal

mungkin berkontribusi besar dalam konflik antara jenis kelainan anatomisnya

dan identitas gender yang dikembangkannya.

Teori-teori baru bahwa untuk menjadi transeksual atau waria diperlukan

bakat sejak lahir, paling tidak untuk membentuk seorang waria, harus ada

interaksi sedikitnya antara bakat dan unsur-unsur dari luar (Atmojo, 1986:52).

Faktor biologis yang secara spesifik, menunjukkan bahwa identitas gender

(45)

2006:614) pada sebuah keluarga batih di Republik Dominika, yang

pesertanya tidak mampu memproduksi suatu hormon yang bertanggung

jawab untuk membentuk penis dan skrotum pada masa pertumbuhan

laki-laki. Mereka lahir dengan penis dan skrotum yang sangat kecil yang mirip

seperti lipatan bibir. Dua pertiganya dibesarkan sebagai perempuan, namun

ketika mereka memasuki pubertas dan kadar testosteronnya meningkat,

organ kelamin mereka berubah. Penis mereka membesar dan testikel

mengecil menjadi skrotum. Sebanyak 17 dari 18 peserta kemudian memiliki

identitas gender laki-laki.

2.4 Transseksual

2.4.1 Sejarah Transseksual

Transeksual bukan merupakan "hal baru" dalam sejarah. Fenomena ini telah

tercatat dalam berbagai kebudayaan yang ada di dunia. Tidak hanya di

Indonesia, transseksual juga terdapat dalam catatan sejarah bangsa India,

Malaysia, Indian Amerika, bahkan ada dalam motologi Yunani.

Dalam motilogi Yunani, di kenal Venus Castisa yang merupakan seorang

dewi yang merespon dengan simpati dan pengertian hasrat jiwa wanita yang

terkurung dalam tubuh pria.

Ada juga metologi yang menceritakan tentang kerajaan kuno Prygia, dimana

(46)

dengan rnengebiri diri rnereka sendiri, rnernakai pakaian wanita, dan

rnelakukan pekerjaan-pekerjaan wanita. Bahkan beberapa orang pendeta itu

telah rnengangkat sernua alat kelarnin laki-laki eksternal rnereka.

Masih dalarn rnetologi Yunani, Tiresias, seorang perarnal dari Theban, di

ceritakan sedang berjalan di gunung Cyllene ketika ia rnenernukan dua ekor

ular yang sedang kawin. la rnernbunuh ular betina dan karena perbuatannya

itu ia rnenerirna hukurnan dengan berubah rnenjadi seorang wanita. Ketika

Tiresias rnulai rnenikrnati perubahannya sebagai wanita, khususnya ketika

sedang bersenggarna, Dewa kernbali rnerubahnya rnenjadi seorang laki-laki.

Tidak hanya dewa yang rnerniliki kernarnpuan untuk rnerubah suatu jenis

kelarnin, tetapi juga para penyihir dengan bantuan iblis. Para penyihir

rnenyatakan bahwa rnereka rnernpunyai obat yang bisa rnerubah jenis

kelarnin orang yang rnenggunakannya. Ada yang rnengatakan bahwa laki-laki

bisa di ubah rnenjadi perernpuan dan perernpuan bisa di ubah rnenjadi

seorang laki-laki, tetapi ada juga yang rnengatakan bahwa perubahan jenis

kelarnin hanya berlaku satu arah. Dengan dernikian, iblis bisa rnerubah

perernpuan rnenjadi laki-laki, tapi tidak bisa rnerubah laki-laki rnenjadi

perernpuan.

Di kawasan Asia sendiri, transeksual rnerniliki berbagai narna sesuai asal

negaranya. Di Thailand, transeksual dikenal dengan narna Kathoey,

(47)

transeksual muda di India dan Bangladesh yang lari dari rumah dan

bergabung ke dalam kasta hijra.

Untuk menjadi hijra, remaja-remaja ini secara suka rela melalui operasi

pengebirian di bawah kondisi yang amat sederhana dengan hanya

menggunakan opium sebagai obat bius. Kebanyakan dari mereka melakukan

operasi pada tahap remaja setelah masa pubertas di mulai. Dengan di kebiri

seawal mungkin, mereka bisa menghindari perkembangan karakteristik

seksual sekunder laki-laki (kecuali pecah dan rendahnya suara), dan tubuh

mereka bisa secara permanent tetap halus, seperti kulit bayi dan kulit

perempuan.

Di Malaysia, transeksual dikenal dengan nama mak nyah. Mak nyah

mendapat label sebagai suatu bentuk penyimpangan seksual dari

masyarakat sekitarnya.

lstilah "Transeksual" muncul pada tahun 1950-an sebagai cara untuk

menunjuk seseorang yang memiliki keinginan atau hidup dalam gender yang

berlawanan, baik apakah seseorang itu telah melakukan terapi hormon dan

operasi ataupun belum. Selama tahun 1960-an dan 1970-an, para dokter

menggunakan istilah transeksual sejati atau "true transeksua/" untuk

(48)

khas yang diramalkan merupakan peningkatan dari rentetan perawatan yang

puncaknya adalah operasi kelamin.

Transeksual sejati diduga memiliki :

1. ldentifikasi cross-gender yang secara terus-menerus (konsistens) di

tunjukkan dalam tingkah laku pada masa kanak-kanak, remaja, dan

dewasa.

2. Sedikit atau bahkan tidak adanya rangsangan seksual yang muncul dari

cross-dressing yang di lakukan.

3. Tidak ada rasa tertarik pada lawan jenis (heterosexual interest),

tergantung dari anatomi jenis kelaminnya.

lstilah "gender dysphoria syndrome" kemudian diangkat untuk menunjuk

pada adanya masalah gender pada anggota salah satu jenis kelamin yang

ada sampai akhirnya psikiatri mengembangkan tatanama yang baku.

Pada tahun 1994, komite DSM IV mengubah diagnosa untuk transeksualisme

dengan gender identity disorder. Tergantung dari umurnya, individu dengan

identifikasi cross-gender yang kuat dan terus-menerus dan ketidaknyamanan

yang menetap dengan jenis kelaminnya atau memiliki rasa ketidak cocokan

dalam peran gender dari jenis kelaminnya di diagnosa sebagai gender

identity disorder pada anak-anak, remaja, dan dewasa. Bagi orang-orang

(49)

yang tidak tergolongkan (GIDNOS-Gender identity disorder not otherwise

specified). lndividu yang rnasuk ke dalarn kategori ini adalah individu yang

hanya rnenginginkan kastrasi atau panectomy (pengangkatan penis) tanpa

adanya keinginan untuk rnernbesarkan payudara, individu yang

rnenginginkan terapi horrnon dan mastectomy (pengangkatan payudara)

tanpa rekonstruksi alat kelarnin, individu yang terlahir dalarn keadaan

intersex, individu dengan keadaan cross-dress yang berhubungan dengan

stress dan bersifat sernentara, dan individu yang rnasih rnerasa ragu dengan

status gendernya. Pasien yang didiagnosa dengan GID dan GIDNOS di bagi

lagi rnenurut orientasi seksualnya, yaitu pasien yang tertarik dengan laki-laki,

tertarik dengan perernpuan, tertarik dengan keduanya, tidak tertarik dengan

keduanya. Pembagian ini digunakan untuk mengetahui apakah individu

dengan satu orientasi seksual dengan yang lainnya mengalarni hasil yang

lebih baik dalam menggunakan pendekatan terapi tertentu.

lstilah "transgender' mulai digunakan pada masa antara penggunaan DSM Ill

dan DSM IV. Thom dan More, seperti di kutip oleh Ekins dan King

menggunankan istilah transgender untuk menggambarkan komunitas dari

seluruh orang-orang dengan identitas cross-gender terlepas dari apakah

mereka adalah intersex, transeksual laki-/aki dan perempuan, cross-dresses,

drag king, dan drag Queen, transgenderis, androgini, bi-gender, gender

(50)

untuk merujuk pada seseorang yang memiliki identitas gender yang tidak

biasa dalam konteks bebas nilai, artinya istilah ini digunakan tanpa ada

konotasi psikopatologi. Beberapa orang menggunakan istilah ini secara

informal untuk menunjuk pada seseorang yang memiliki masalah identitas

gender dalam bentuk apapun. Transgender bukanlah diagnosa formal, tetapi

para professional dan masyarakat awam merasa lebih mudah

menggunankan istilah ini daripada

GIDNOS, yang merupakan diagnosa formal.

2.4.2 Definisi Transseksual

Menurut Atikson dalam buku pengantar psikologi menjelaskan, transseksual

adalah orang-orang (biasanya laki-laki) yang merasa bahwa mereka

dilahirkan dengan bentuk tubuh yang salah. Berbeda dengan homoseksual,

yang merasa puas dengan anatomi tubuhnya dan menganggap dirinya

benar-benar laki-laki atau wanita, mereka hanya menyukai kaum dari jenis

kelaminnya sendiri. Sedangkan transseksual menganggap dirinya sebagai

anggota dari lawan jenisnya. (seringkali terjadi sejak masa kanak-kanak) dan

bisa merasa sanfat tidak puas terhadap penampilan fisiknya sehingga

mereka menginginkan pengobatan dan operasi hormonal untuk mengubah

(51)

Dari definisi-definisi di atas, dapat disirnpulkan transekssual yaitu seseorang

yang percaya bahwa ia rnerniliki psikis dan jenis kelarnin yang berlawanan

dai fisiknya, yaitu seorang pria yang percaya dirinya adalah wanita dan

seorang wanita yang rnernpercayai bahwa dirinya adalah laki-laki. Tingkah

laku yang ditunjukkan dalarn sehari-haripun rnenarnpilkan perbedaan dari

yang biasanya, rnisalnya saja seorang pria yang berdandan, berpakaian,

berjalan, dan berbicara seperti seorang wanita.

2.4.3 Ciri-Ciri Transseksual

Kriteria diagnostik untuk gangguan identitas kelarnin dari DSM IV dalarn

synopsis psikiatri sebagai berikut:

A. ldentifikasi kepada jenis kelarnin (cross-gender') yang kuat dan presisten

(bukan sernata-rnata keinginan rnendapatkan sesuatu keuntungan kultural

karena rnerniliki jenis kelarnin lain.

Pada anak-anak,dirnanifestasikan oleh ernpat (atau lebih) berikut:

(1) Pernyataan keinginan yang berulang kali untuk rnenjadi,atau

keteguhan bahwa ia, adalah berjenis kelarnin lain.

(2) Pada anak laki-laki, lebih rnenyukai berpakaian atau meniru gava

perernpuan; pada anak perrnpuan, ketguhan untuk hanya

(52)

memiliki payudara atau mengalmi mensturasi, atau keengganan yang

jelas terhadap pakaian feminine yang normatif.

Pada remaja dan dewasa, gangguan dimanifestasikan olah gejala

preokupasi menghilangkan karakteristik seks primer dan sekunder

(misalnya, meminta hormon, pembedahan, atau proseduur lain untuk

secara fisik mengubah karakter seksual untuk menyerpai jenis kelamin

lain) atau keyakinan bahwa ia lahirdengan jenis kelamin yang salah.

C. Gangguan tidak bersamaan kondisi interseks fisik.

D. Ganguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau

gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.

2.4.4 Penyebab Transeksual

Ada banyak teori yang menjelaskan penyebab terjadinya transeksual antara

lain teori yang mengatakan bahwa transeksual disebabkan karena faktor

bawaan, faktor lingkungan, dampak dari zat kimia, dan lain-lain. Namun

begitu, tidak ada penjelasan yang pasti yang bisa menjelaskan penyebab dari

transeksualisme:

a. Teori bawaan

1) Faktor genetik

Teori ini menyatakan bahwa identitas gender, bersamaan dengan

karakteristik fisik lain, bermula dari konsep pemasangan kromosom seks

(53)

ldentitas gender, diantara faktor-faktor lain yang bergantung bukan hanya

pada hormon yang tepat, tetapi juga pada level hormon yang tepat. Pada

bayi laki-laki yang dilahirkan dengan sebuah otak man-coded,

pertumbuhan otak dan perkembangan corpus collosum dan hypothalamus

hanya akan terjadi dengan adanya 'lingkungan' hormonal laki-laki yang

tepat. Untuk bayi perempuan yang dilahirkan dengan otak woman-coded,

perkembangan ini harus terjadi dalam 'lingkungan' feminism yang ditandai

oleh pengurangan level hormone laki-laki secara besar-besaran.

Moir dan Jessel seperti di kutip oleh Yash menjelaskan eksperimen pada

kera Resis yang menunjukkan akibat jika hormone-hormon masa

pra-natal mengalami gangguan. Seperti halnya pada kera, pengaturan waktu

dan level dari hormone pada manusia yang terjadi dalam rahim dapat

mempenagruhi pembentukan pola-pola gender tertentu pada otak. Hal ini

seperti yang diamati terjadi pada anak-anak perempuan dengan cacat

lahir seperti syndrome turner atau sindrom adrenogenital. Pada sindrom

turner sama sekali tidak terdapat produksihormon steroid, yang

mengakibatkan perilaku faminim yang berlebihan, sementara pada

sindrom androgenital, kelenjar-kelenjar adrenal meproduksi steroid yang

(54)

2) Faktor hormonal

Selain teori yang menyatakan bahwa transeksual kemungkinan di

sebabkan oleh faktor genetik, ada juga yang menyatakan bahwa

transeksual di pengaruhi oleh faktor hormon, khususnya hormon yang ada

dalam tubuh ibu ketika bayi masih berada dalam kandungan.

Menurut Sarlito Wirawan S. yang di kutip oleh Ora. Uke Rasal Wati, dan

kawan-kawan, salah satu faktor penyebab terjadinya waria selain faktor

psikologenik dan sosigenik adalah faktor biogenik. Faktor biogenik adalah

faktor biologis atau badaniah yang menyebabkan kelainan perilaku. Hal ini

disebabkan sedikit atau banyaknya hormon dan kesehatan badan.

3) Faktor kondisi otak

Penelitian yang dilakukan oleh Zhou, Hofman, Gooren, dan Swaab

menyatakan bahwa laki-laki yang ingin menjadi perempuan di sebabkan

oleh otak mereka yang berbeda.

Ada suatu bagian di otak yang disebut bed nucleus of the stria terminalis

(BSTc) yang penting bagi tingkah laku seksual. Pria memiliki ukuran BSTc

yang lebh besar daripada wanita dan menurut hasil penelitian ini BSTc

dengan ukuran wanita di temukan pada seorang transeksual laki-laki ke

perempuan.

b). Faktor lingkungan

Ada yang mengatakan bahwa penyebab dari transeksual adalah pengalaman

(55)

mengembangkan hubungan yang dekat dan mengidentifikasikan dirinya

dengan orang tua dari lawan jenisnya yang mungkin didukung oleh reaksi

dari orang dewasa.

Menurut Josephine Esthy dan Srisiuni Sugoto, faktor penyebab seseorang

menjadi waria diantaranya adalah lingkungan dan cara mendidik yang salah.

josephine mengutip dari Atmojo, Freud mengatakan bahwa sebagian besar

penyebab waria adalah pengaruh dari luar atau sesudah di lahirkan. Tokoh

identifikasi juga memegang peranan penting dalam perkembangannya,

termasuk perkembangan seksual.

Para tokoh psikoanalisa telah memfokuskan pada hubungan awal orang tua

dan anak. Male transsexual, di duga memiliki hubungan yang sangat dekat

dengan sang ibu (close binding mothers), dan atau tidak memiliki hubungan

dengan sang ayah (detached-hostile fathers). Sedangkan female transsexual

mungkin memiliki hubungan yang secara ekstrem sangat dekat dengan ayah.

Dengan mangacu pada teori Freud, Dra.Sawitri Supardi melihat celah yang

memungkinkan timbulnya gangguan pada proses identifikasi dari seorang

anak. Menurutnya, pada fase phalik (phaliae), misalnya jika seorang ayah

terlalu otoriter maka anak akan lebih dekat pada ibunya. Jika si anak itu pria,

maka akhirnya ia akan menyerap sifat-sifat kewanitaan ibunya. Anak

(56)

diharuskan memakai bra dan mengalami haid. Terkadang subyek masih

mengenakan pakaian perempuan. Memiliki ketakutan akan penolakan

dari lingkungan dan menyimpan kemarahan, serta mulai memiliki

keinginan atau melakukan usaha bunuh diri.

c. Tahap Ill (usia 19 tahun - seterusnya)

Subyek sudah menjalani hidup dan mengambil peran lawan jenisnya.

Subyek berusaha mendapatkan bantuan medis untuk operasi ganti jenis

kelamin. Subyek sudah secara total mengenakan pakaian laki-laki dan

bekerja dibidang non kewanitaan, serta menginginkan dianggap dan

diperlakukan sebagai karyawan laki-laki. Subyek menginginkan identitas

kelamin pada kartu identitas dan dokumen- dokumen dapat diganti

dengan identitas kelamin laki-laki. Dalam hubungan wanita, subyek

cenderung memiliki rasa cemburu yang besar akibat rasa tidak yaikin

yang mereka miliki bahwa keadaan mereka yang transseksual mampu

menciptakan hubungan yang dapat bertahan lama.

2.5

Gambaran waria di Yayasan Srikandi Sejati

Sesuai dengan visi dan misi di Yayasan Srikandi tersebut yaitu

mengembanngkan kepercayaan diri pada kaum waria melalui pemberdayaan

kelompok waria itu agar dapat bersosialisasi secara baik di masyarakat

(57)

orang lain & berjalan bersama menuju masyarakat yang adil & makmur. Misi

dari Yayasan tersebut memberikan pelayanan sosial kepada kaum waria

(khususnya para waria yang menyandang permasalahan sosial) dalam

meningkatkan & mengembangkan kemampuannya untuk dapat bertanggung

jawab pada dirinya sendiri melalui pemberdayaan kelompok waria &

melibatkan terutama para waria, masyarakat dan pemerintah dalam arti kata

yang seluas-luasnya. Jadi para waria di Yayasan Srikandi Sejati tersebut

dibina sebaik mungkin dan diarahkan agar mereka dapat dihargai di

tengah-tengah masyarakat umunya, selain itu mereka sering kali melakukan kegiatan

sosial yaitu penyuluhan HIV dan AIDS dengan bekerja sama dengan pihak

terkait. Yayasan Srikandi Sejati memiliki koordinator dari masing-masing

wilayah yaitu untuk mengarahkan masing-masing anggota dari wilayahnya itu

sendiri seperti di Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Jakarta

Utara, dan Jakarta Timur.

2.6 Fenomena Terdahulu Terkait Dengan Waria Yang

Akhirnya Berganti Kelamin Menjadi Transseksual

Menurut Bambang Suwarno (dalam Kompas, 27/7/2003) benarkah Mbak

Dorce Gamalama melawan kodrat?. Pertanyaan ini mungkin timbul dalam

(58)

yang sama, Suara Pembaruan Minggu mengetengahkan kisah Liz Riley,

seorang ayah yang berubah menjadi ibu.

Ada orang yang terlahir lelaki namun sejak kecil merasa dirinya perempuan

sehingga mereka hidup layaknya perempuan. Contohnya, dalam wawancara

dengan Kompas, Mbak Dorce mengungkapkan bahwa ia sejak kecil me

Gambar

Blue Tabel 3.3 Print Item Pengambilan Keputusan (pilot test)
Tabel 3.4 Blue Print Item Skala Citra Tubuh {pilot test)
Table 4.1 Komposisi subjek berdasarkan Usia
Table 4.2 Komposisi subjek berdasarkan ukuran tinggi badan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada dasarnya UU mengenai OJK hanya mengatur mengenai pengorganisasian dan tata pelaksanaan kegiatan keuangan dari lembaga yang memiliki otoritas pengaturan

daerah beriklim tropis dengan udara yang panas dan tingkat kelembaban tinggi, diperlukan usaha untuk mendapatkan udara segar baik udara segar dari alam dan aliran udaran buatan..

[r]

Pengajaran mikro merupakan mata kuliah yang wajib ditempuh dan wajib lulus bagi mahasiswa program studi kependidikan terutama menjelang PPL. Mata kuliah ini dilaksanakan satu

ANALISIS BIT ERROR RATE (BER) UNTUK MODULASI BPSK DAN QPSK PADA KINERJA JARINGAN WIMAX 802.16e.. Diajukan untuk

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan penelitian ini dirumuskan dalam bentuk kalimat tanya, “Bagaimana pembelajaran seni baca

Sebagai kelanjutan proses pengumuman ini, pemenang sebagaimana tersebut diatas akan ditunjuk sebagai pelaksana pekerjaan dengan surat penunjukan oleh Pengguna

Kriteria penunjukan LPTK sebagai penyelenggara program PPG ditentukan berdasarkan pemenuhan persyaratan yang terkait dengan peringkat akreditasi Badan Akreditasi