• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Kebijakan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Kebijakan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

(Suatu Studi Pada Pelaksanaan Mediasi)

SKRIPSI

Diajukan untuk menempuh Ujian Sarjana pada

Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia

Oleh,

EKAPUTRI SILVIA. S NIM. 41709026

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA BANDUNG

(2)
(3)
(4)

x

LEMBAR PENGESAHAN... ii

LEMBAR REVISI SKRIPSI... iii

LEMBAR PERSEMBAHAN………. iv

LEMBAR PERNYATAAN... v

ABSTRAK... vi

ABSTRACT... vii

KATA PENGANTAR... viii

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR GAMBAR... xv

DAFTAR DIAGRAM... xvi

DAFTAR BAGAN... xvii

DAFTAR LAMPIRAN... xviii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Rumusan Masalah... 9

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian... 9

1.4 Kegunaan Penelitian... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN... 11

2.1 Tinjauan Pustaka... 11

2.1.1 Evaluasi... 11

2.1.2 Kebijakan... 14

2.1.2.1 Syarat-syarat Pelaksanaan Kebijakan... 17

2.1.3 Evaluasi Kebijakan... 18

2.1.4 UU. Nomor 2 Tahun 2004... 24

2.2 Kerangka Pemikiran... 27

(5)

xi

3.1.2.2 Misi Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung... 38

3.1.3 Struktur Organisasi dan Tupoksi Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung... 38

3.1.3.1 Data Pegawai Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung menurut Pendidikan Tahun 2012... 40

3.1.4 Bidang Pembinaan Hubungan Industrial dan JAMSOSTEK... 41

3.1.4.1 Tugas Pokok dan Fungsi... 41

3.1.4.2 Struktur Organisasi Bidang Pembinaan Hubungan Industrial dan JAMSOSTEK... 42

3.1.4.3 Deskripsi Tugas Bidang Bidang Pembinaan Hubungan Industrial dan JAMSOSTEK... 43

3.1.4.4 Layanan, Perijinan dan Rekomendasi... 46

3.1.4.5 Prosedur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial... 47

3.1.4.6 Data Pegawai Bidang Pembinaan Hubungan Industrial dan JAMSOSTEK... 48

3.2 Metode Penelitian... 49

3.2.1 Desain Penelitian... 49

3.2.2 Teknik Pengumpulan Data... 50

3.2.2.1 Studi Pustaka... 50

3.2.2.2 Studi Lapangan... 50

3.2.3 Teknik Penentuan Informan... 51

3.2.4 Teknik Analisa Data... 53

3.2.5 Lokasi dan Jadwal Penelitian... 56

(6)

xii

4.1.1 Harapan Mayarakat Atas Kebijakan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Di Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung... 60 4.1.2 Realisasi Atas Kebijakan Penyelesaian Perselisihan Hubungan

Industrial Di Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung... 65 4.2 Efisiensi Kebijakan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Di Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung... 69 4.2.1 Sumber Daya Atas Kebijakan Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial Di Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung... 70 4.2.2 Optimalisasi Atas Kebijakan Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial Di Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung... 75 4.3 Kecukupan Kebijakan Penyelesaian Perselisihan Hubungan

Industrial Di Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung... 81 4.3.1 Kinerja Aparatur Atas Kebijakan Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial Di Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung... 83 4.3.2 Kepuasan Masyarakat Atas Kebijakan Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial Di Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung... 87 4.4 Perataan Kebijakan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Di Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung... 92 4.4 .1 Pencapaian Sasaran Atas Kebijakan Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial Di Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung... 93 4.4.2 Transparansi dan Akuntabilitas Publik Atas Kebijakan

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Di Dinas

Tenaga Kerja Kota Bandung... 97 4.5 Responsivitas Kebijakan Penyelesaian Perselisihan Hubungan

(7)

xiii

4.6 Ketepatan Kebijakan Penyelesaian Perselisihan Hubungan

Industrial Di Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung... 111

4.6 1 Dampak Bagi Aparatur Atas Kebijakan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Di Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung... 112

4.6.2 Dampak Bagi Masyarakat Atas Kebijakan Penyelesaia Perselisihan Hubungan Industrial Di Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung... 115

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 118

5.1 Kesimpulan... 118

5.2 Saran... 119

DAFTAR PUSTAKA... 121

LAMPIRAN-LAMPIRAN... 124

(8)

viii

Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunianya, peneliti dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Evaluasi Kebijakan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Dinas

Tenaga Kerja Kota Bandung (Suatu studi pada pelaksanaan mediasi)“.

Peneliti menyadari sepenuhnya akan segala keterbatasaan peneliti sendiri sehingga dalam penulisan Skripsi ini masih banyak kekurangan-kekurangan dan kelemahan. Namun peneliti berusaha semaksimal mungkin agar Skripsi ini dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Dengan hati terbuka dan lapang dada, peneliti mengharapkan kritik yang membangun sebagai masukan yang berharga agar dapat menjadi bahan yang berguna dan bermanfaat bagi peneliti di masa yang akan datang.

Proses penyusunan Skripsi ini, peneliti banyak sekali mendapat bantuan dari berbagai pihak dan memberi bimbingan, dorongan dan segala fasilitas yang bermanfaat. Untuk itu dalam kesempatan yang berharga ini dengan segala kerendahan hati peneliti ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Yth. Prof. Dr. Samugyo Ibnu Redjo, Drs.,MA, Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia

(9)

ix

5. Yth. Dr. Deni Rahayu Drs., M.Si selaku Penguji Sidang Skripsi

6. Yth. Bapak Rino Adibowo,S.IP, selaku Dosen Wali Program Studi Ilmu Pemerintahan Angkatan 2009

7. Yth. Bapak, Ibu Dosen dan Sekretariat Prodi Ilmu Pemerintahan di Lingkungan FISIP Universitas Komputer Indonesia.

8. Aparatur Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung yang telah memberikan informasi serta izin untuk melakukan penelitian.

9. Badan Kesatuan Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat BKPPM yang telah memberikan surat rekomendasi untuk penelitian

10.Para Pekerja serta Para Buruh Maupun LSM yang telah meluangkan waktu untuk menjadi informan peneliti dalam melakukan penelitian

Akhir kata, guna kesempurnaan Skripsi ini maka kritik dan saran yang membangun senantiasa peneliti harapkan, Terima kasih.

Alhamdulillahirrabil’alamin

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Bandung, 27 Agustus 2013

(10)

121

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku:

Abidin, Said Zainal. 2008. Strategi Kebijakan dalam Pembangunan dan Ekonomi Politik. Jakarta: Suara Bebas.

Agustino, Leo. 2006. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: CV. Alfabeta. Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktek),

Jakarta: Rineka Cipta.

Barner, G.James. 2001. Secrets of Costumer Relationship Management: Rahasia Manajemen Hubungan Konsumen. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Budiardjo, Miriam. 2000. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Dunn, William. N. 2003. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

______. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik : Edisi Kedua. Yogyakarta:Gadjah Mada University Press.

Dwijowijoto, Ryant Nugroho. 2003. Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi dan Evaluasi. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Dye, Thomas. 1981. Understanding Public Policy. New Jersey: prentice hall Englewood cliff.

Hamidi. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Malang: UMM Press.

Husni, Usman, dan Purnomo. 2004. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Bumi Aksara.

Islamy, M.irvan. 2000. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara. Jakarta: Sinar Grafika.

Ndraha, Taliziduhu. 1989. Konsep Administrasi dan Administrasi di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.

Rianto, Adi. 2005. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum. Jakarta: Granit.

(11)

Soehartono, Irawan. 2002. Metode Penelitian Sosial (Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial Lainnya). Bandung:PT. Remaja Rosdakarya.

Solichin, Wahab. 2001. Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan. Jakarta: Bumi Aksara.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta.

Subarsono. 2005. Analisis Kebijakan Publik (Konsep, Teori dan Aplikasi). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Syafei, Inu Kencana. 2005. Pengantar Ilmu Pemerintahan. Bandung: Refika Aditama.

Tachjan. 2006. Implementasi Kebijakan Publik. Bandung: Pustaka Primatama. Tangkilisan, Hessel. 2003. Kebijakan Publik. Yogyakarta: Balairung &Co.

Usman, Nurdin. 2002. Konteks Implementasi Berbaisis Kurikulum. Yogyakarta: Bintang Pustaka.

Wibawa, Samodra. dkk. 1994. Evaluasi Kebijakan Publik. Jakarta: Raja Grafindo Press.

Widodo, Joko. 2001. Good Governance telaah dari Dimensi: Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Surabaya: Insan Cendikia.

Winarno, Budi. 2007. Teori Dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo.

Dokumen:

Undang-undang nomor 2 tahun 20004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6. 2004. Jakarta: Cv. Karya Puri Utomo, Himpunan Peraturan Perundang-undangan

Norma Ketenagakerjaan. 2012. Prov. Jawa Barat: Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Rujukan Elektronik:

(12)

http://www.penalaran-unm.org/index.php/artikel-nalar/penelitian/163-penelitian-deskriptif.html. 5/01/2013 Pukul 20.00 WIB.

(13)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sumber daya manusia dibutuhkan dalam menjalankan perusahaan yang dapat mendukung aktivitasnya, yakni tenaga kerja dalam rangka mengelola unsur-unsur pada ruang lingkup manajemen perusahaan, dalam hal ini menyangkut tentang visi dan misi yang telah ditetapkan sebagai usaha demi tercapai tujuan yang dicita-cita kan.

Pencapaian tujuan yang dimaksud adalah untuk mencari keuntungan atau laba yang sebesar-besarnya demi kemajuan perusahaan, kesejahteraan bersama, serta terpelihara eksistensi perusahaan dengan kinerja. Dalam upaya pengoperasian seringkali melibatkan beberapa pihak internal yang mengorganisasikan perusahaan untuk mengelola sumber daya manusia yang ada serta dengan menempatkan pekerja sebagai pihak yang selalu dapat diatur. Hal ini disebut dengan hubungan industrial.

Dalam UU. Nomor 2 Tahun 2004 disebutkan bahwa Hubungan industrial jika diartikan dalam arti sempit adalah hubungan antara manajemen dan pekerja (management employees relationship) atau penempatan dan pengaturan hubungan kerja. Sedangkan jika diartikan dalam arti luas hubungan industrial apabila dikaitkan dengan negara maju, yakni organisasi pekerja, pabrik, pemogokan, dan sejumlah pekerja.

(14)

dengan buruh merupakan suatu partner dalam berproduksi, merupakan satu mitra dalam menanggung kerugian. Oleh karena itu, dalam kehidupan sehari-hari tidak tertutup kemungkinan terjadinya perselisihan hubungan kerja atau sering disebut dengan perselisihan hubungan industrial. Hubungan buruh dan pengusaha telah diatur berbagai hak dan kewajiban, namun itu semua kurang dapat dipenuhi secara efektif sehingga dapat menimbulkan perselisihan.

Perselisihan hubungan industrial yang disebabkan karena pemutusan hubungan kerja merupakan perselisihan yang sering terjadi. Hal tersebut, disebabkan karena hubungan antara pekerja/buruh dengan pengusaha merupakan hubungan yang didasari oleh kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu hubungan kerja. Dalam hal, jika salah satu pihak tidak menghendaki lagi untuk terikat dalam hubungan kerja tersebut, maka sulit bagi para pihak lain untuk tetap mempertahankan hubungan yang harmonis

Walaupun telah diatur sedemikian rupa hubungan antara pekerja/buruh dengan pengusaha, tetapi tetap saja terjadi Perselisihan Hubungan Industrial. Oleh karena itu, diperlukan suatu peraturan yang mengatur mengenai Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial tersebut.

(15)

Proses penyelesaian yang dilakukan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4) sangat rumit dan panjang karena melalui beberapa tahapan sehingga untuk menyelesaikan suatu perselisihan perburuhan memerlukan waktu yang panjang dan tentunya juga memerlukan biaya yang besar.

Dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yang dimaksud Perselisihan Perburuhan adalah “pertentangan antara majikan atau perkumpulan majikan dengan serikat buruh

atau gabungan serikat buruh berhubung dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja,syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan”.

[image:15.610.120.512.565.733.2]

Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang digunakan selama ini ternyata belum dapat mewujudkan penyelesaian secara sederhana, cepat, adil dan murah, bahkan sebaliknya prosedurnya panjang dan tidak ada jaminan kepastian hukum. Seperti dapat dilihat pada tabel data kasus perselisihan hubungan industrial yang terjadi di Kota Bandung berikut:

Tabel. 1.1

Data Kasus Perselisihan Hubungan Industrial di Kota Bandung

NO Tahun Jumlah PHK Jumlah PH/PK/PSP

Jumlah Keseluruhan PHI Kasus Orang Kasus Orang Kasus Orang

1. 2001 150 734 91 4.550 241 5.284

2. 2002 157 4.112 101 3.022 258 7.134

3. 2003 258 5.115 39 517 297 5.632

4. 2004 163 6.187 22 2.531 185 8.718

5. 2005 78 353 3 1.900 81 2.253

6. 2006 231 3.912 7 13 238 3.925

7. 2007 114 1.557 14 1.259 128 2.816

8. 2008 105 2.355 18 320 123 2.675

9. 2009 93 1.534 30 4.181 123 5.715

10. 2010 43 78 12 405 55 483

11. 2011 67 204 7 73 74 277

12. 2012 63 97 27 231 90 328

(16)

Keterangan:

PHK: Pemutusan Hubungan Kerja

PH: Perselisihan Hak

PK: Perselisihan Kepentingan

PSP: Perselisihan Antar Serikat pekerja/Buruh Hanya dalam satu perusahaan

Dilihat dari tabel di atas dapat diketahui perselisihan hubungan industrial yang terjadi sejak tahun 2001-2012 di kota Bandung. Jelas terlihat bahwa kasus perselisihan di tahun 2001-2004 terjadi peningkatan yang sangat pesat. Hal ini terjadi karena UU yang dahulu mengatur mengenai tata cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial sudah tidak efektif lagi dalam menyelesaiakan perselisihan hubungan industrial yang terjadi antara pekerja dengan pengusaha dikarenakan UU yang dahulu digunakan tidak mengatur penyelesaian perselsihan buruh secara perseorangan.

Pemerintah, dalam upayanya untuk memberikan pelayanan khususnya kepada masyarakat pekerja/buruh dan pengusaha, berkewajiban memfasilitasi penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut. Upaya fasilitas tersebut dilakukan dengan membuat kebijakan baru yang dapat membantu dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial yang terjadi diantara pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha.

(17)

“Hubungan Industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para

pelaku dalam proses produksi barang dan/jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja, dan pemerintah didasarkan pada nilai-nilai pancasila dan UUD 1945.

Beranjak dari penjelasan tersebut, seperti dapat dilihat pada tabel data kasus perselisihan hubungan industrial sebelumnya diketahui bahwa pada tahun 2004 ke tahun 2005 terjadi penurunan kasus, namun pada tahun 2006 terjadi kenaikan kasus kembali dikarenakan UU no. 2 Tahun 2004 mulai berlaku dan digunakan sebagai acuan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial pada awal tahun 2006, sehingga pada tahun 2006 masih banyak pihak yang menyesuaikan terhadap peraturan yang berlaku untuk menyelesaiakan peselisihan hubungan industrialnya.

Akhirnya dari tahun 2006 hingga tahun 2012 terjadi penurunan yang cukup pesat terhadap kasus perselisihan hubungan industrial yang terjadi di kota Bandung karena seiring berlakunya UU Nomor 2 tahun 2004 sebagai acuan untuk menyelesaiakan perselisihan hubungan industrial dapat membantu mengurangi kasus perselisihan hubungan industrial yang terjadi antara pekerja serta pengusaha.

(18)

Berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) dapat dilakukan melalui 2 (dua) pilihan, yakni :

1. Pengadilan Hubungan Industrial yang berada dalam lingkungan Pengadilan Negeri.

2. Penyelesaian diluar Pengadilan Hubungan Industrial dan Pengadilan Negeri. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dilakukan di Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung adalah penyelesaian melalui cara mediasi yang dilakukan oleh mediator yang telah ditentukan yang berada di Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung dan untuk penyelesaian melalui konsiliasi dan arbitrase konsiliator atau arbiternya dapat dipilih dan ditentukan oleh para pihak yang berselisih sesuai daftar yang tercatat di Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung, namun nama-nama konsiliator serta arbiter yang akan dipilih adalah nama-nama yang telah ditetapkan oleh Menteri.

Sejauh ini mediasi merupakan proses yang banyak dan seringkali dipilih oleh para pihak yang berselisih baik pekerja maupun pengusaha untuk membantu mereka dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial yang sedang dihadapi. Sedangkan cara penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi dan arbitrase sangat jarang dipilih oleh pekerja atau pengusaha dikarenakan berdasarkan UU Nomor. 2 Tahun 2004 disebutkan bahwa”pada pelaksanaan konsiliasi dan arbitrase para pihak

(19)

Melalui undang-undang PPHI penyelesaian perkara Perselisihan Hubungan Industrial melalui proses mediasi merupakan salah satu bentuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial diluar pengadilan. Mediasi mempertemukan antara pekerja/buruh yang berselisih dengan majikan/pengusaha dengan bantuan mediator yang terdapat di Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung.

Dalam mediasi ini perselisihan antara pekerja/buruh dengan pengusaha biasanya dapat selesai dan berakhir dengan damai, tetapi kadang kala tidak dapat selesaikan dengan adanya proses mediasi saja. Hal ini disebabkan karena salah satu pihak tidak merasa puas dengan keputusan yang di hasilkan dalam proses mediasi. Permasalahan dari segi waktu yang diperlukan untuk dapat menyelesaikan kasus perselisihan hubungan industrial pula yang seringkali menjadi masalah dalam peyelesaian peselisihan hubungan industrial melalui mediasi. Seperti yang peneliti kutip berdasarkan salah satu surat kabar tanggal 06 November 2012 Nomor A-158, menyebutkan bahwa:

“Salah satu pekerja atau buruh mengeluhkan waktu penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cukup alot, karena pada proses mediasi waktu yang seharusnya adalah 30 hari namun pada kenyataannya penyelesaian perselisihan atas kasusnya mencapai waktu 2 tahun” (Pikiran Rakyat, 2012: A-158).

Setelah dibuatnya kebijakan penyelesaian perselisihan hubungan industral oleh pemerintah serta seiring dengan berjalannya kebijakan tersebut sebagai acuan dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, maka yang perlu diketahui selanjutnya adalah bagaimana evaluasi terhadap kebijakan itu sendiri.

(20)

kebjakan tersebut berlangsung. Evaluasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang diharapkan dengan yang benar-benar dihasilkan.

Evaluasi tidak hanya menghasilkan kesimpulan mengenai seberapa jauh masalah telah terselesaikan, tetapi juga menyumbang pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan perumusan kembali masalah. Pertanyaan mengenai evaluasi menyangkut Apa yang terjadi, bagaimana, dan mengapa mengenai suatu kebijakan. Apakah sudah sesuai dengan tujuan awal dibentuknya kebijakan tersebut, serta apa saja hal-hal yang perlu dibenahi/diperbaiki menyangkut kebijakan mengenai penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Seiring berjalannya proses evaluasi tentunya banyak permasalahan yang timbul, baik pro dan kontra. Satu diantaranya yaitu permasalahan seputar efektivitas yang dihasilkan atas adanya kebijakan penyelesaian perselishan hubungan industrial, karena berhasil atau tidaknya suatu kebijakan dapat diukur melalui tingkat efektivitas yang dihasilkan oleh kebijakan itu sendiri. Sementara itu agar dapat mencapai tingkat efektivitas sesuai dengan yang diharapkan maka permasalahan seputar efisiensi dari kebijakan tersebut merupakan faktor yang sangat berpengaruh, karena jika mencapai tingkat efektivitas yang sesuai maka kecukupan terhadap pelaksanaan kebijakan yang dibuat akan sesuai dengan yang diharapkan.

(21)

responsivitas masyarakat khususnya para pelaksana kebijakan tersebut dan berdampak pula terhadap ketepatan kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial, dikarenakan banyaknya perselisihan yang sering terjadi antara pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha, Dan peneliti mengambil judul Usulan Penelitian yaitu: “Evaluasi Kebijakan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Di Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Evaluasi Kebijakan Penyelesaian Perselisian Hubungan Industrial di Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung ?

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, adapun maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana Evaluasi Kebijakan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung.

1.4 Kegunaan Penelitian

(22)

1. Kegunaan bagi peneliti, hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan pemahaman ilmu pengetahuan di bidang Ilmu Pemerintahan dan kebijakan publik.

2. Kegunaan teoritis (guna ilmiah), hasil penelitian ini secara teori diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dari teori mengenai evaluasi kebijakan yang dikemukakan para ahli dan dapat dijadikan pengembangan khususnya bagi Ilmu Pemerintahan sehingga hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan literatur bagi penelitian-penelitian selanjutnya.

(23)

11 2.1Tinjauan Pustaka

2.1.1 Pengertian Evaluasi

Kata evaluasi berasal dari bahasa Inggris yaitu evaluation yang berarti penilaian atau penafsiran. Evaluasi dilakukan untuk mengukur/mengetahui bagaimana hasil terhadap kinerja kebijakan yang telah dibuat.

Evaluasi merupakan tahap akhir dari perumusan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Dengan melakukan evaluasi, maka akan membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan, tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang diharapkan dengan yang benar-benar dihasilkan. Berikut adalah definisi evaluasi menurut beberapa ahli:

Definisi evaluasi yang dikemukakan oleh Budi Winarno dalam bukunya yang berjudul “Teori dan Proses Kebijakan Publik” yaitu:

“Evaluasi dilakukan karena kebijakan publik gagal meraih maksud dan tujuan untuk melihat sebab-sebab kegagalan. Suatu evaluasi dilakukan untuk mengetahui apakah kebijakan publik yang telah dijalankan meraih dampak yang di inginkan. Dalam bahasa yang lebih sempit, evaluasi adalah kegiatan yang bertujuan untuk menilai “manfaat” suatu kebijakan” (Winarno, 2002:165)

(24)

Evaluasi diperlukan untuk mengetahui dampak positif dan negatif atas dikeluarkannya suatu kebijakan, dan evaluasi dilakukan untuk menilai manfaat serta tujuan dibuatnya kebijakan tersebut oleh para pihak yang berkewajiban mengevaluasi kebijakan tersebut.

Sementara itu Suharsimi Arikunto memberikan definisi mengenai pengertian evaluasi, yaitu:

“Evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan. Fungsi utama evaluasi dalam hal ini adalah menyediakan informasi-informasi yang berguna bagi pihak decision maker untuk menentukan kebijakan yang akan diambil berdasarkan evaluasi yang telah dilakukan” (Suharsimi Arikunto, 2004: 1).

Definisi diatas menjelaskan bahwa evaluasi diperlukan untuk menghasilkan suatu informasi yang menyangkut terhadap efektivitas suatu kebijakan yang telah dibuat. Dengan informasi tersebut para pihak yang terlibat dalam proses evaluasi kebijakan tersebut dapat menentukan kebijakan yang akan diambil selanjutnya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dan informasi yang diperoleh dari berbagai pihak.

Worthen dan Sanders mengemukakan pendapatnya mengenai evaluasi, mengatakan bahwa:

“Evaluasi adalah mencari sesuatu yang berharga (worth). Sesuatu yang berharga tersebut dapat berupa informasi tentang suatu program, produksi serta alternatif prosedur tertentu. Karenanya evaluasi bukan merupakan hal baru dalam kehidupan manusia sebab hal tersebut senantiasa mengiringi kehidupan seseorang. Seorang manusia yang telah mengerjakan suatu hal, pasti akan menilai apakah yang dilakukannya tersebut telah sesuai dengan keinginannya semula” (Worthen dan Sanders, 1979: 1).

(25)

dari sesuatu yang telah dilakukan/dibuat. Evaluasi dapat mengukur apakah suatu kebijakan yang telah dibuat telah mencapai tujuan yang diharapkan dan sesuai dengan tujuan awal dibuatnya kebijakan tersebut. Dengan evaluasi kita dapat membenahi suatu kebijakan agar lebih baik dan bermanfaat bagi para pelaksana kebijakan tersebut, sehingga kebijakan tersebut dapat berjalan secara efektif dan efisien.

Riant Nugroho memberikan definisinya mengenai pengertian evaluasi sebagai berikut:

“Evaluasi biasanya ditujukan untuk menilai sejauhmana keefektifan kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan kepada konstituennya. Dalam hal ini evaluasi bukanlah hal untuk menyalah-nyalahkan melainkan untuk melihat seberapa besar kesenjangan sistem pencapaian dan harapan dari suatu kebijakan public” ( Nugroho, 2003:184).

Evaluasi merupakan salah satu aspek yang vital dalam melakukan pengawasan terhadap suatu kebijakan, dengan evaluasi dapat diketahui segala penyimpangan serta kemajuan ataupun hasil dari kegiatan yang telah berjalan.

William N. Dunn dalam bukunya yang berjudul”Pengantar Analisis Kebijakan

Publik” mendefinisikan bahwa:

“Istilah evaluasi dapat disamakan dengan penafsiran (apprasial), pemberian angka (rating), dan penilaian (assessment). Evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai hasil atau manfaat hasil kebijakan.evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan yang telah dicapai” (Dunn, 2003: 608-610).

(26)

klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari kebijakan. Dan membantu dalam penyesuaian dan perumusan kembali masalah.

2.1.2 Pengertian Kebijakan

Kata kebijakan secara etimologis berasal dari bahasa Inggris yaitu dari kata policy sedangkan kebijaksanaan berasal dari kata Wisdom. Kebijakan diciptakan

untuk mengatur kehidupan masyarakat untuk mencapai tujuan yang telah disepakati bersama.

Kebijakan publik memiliki pengertian yang beraneka ragam, namun pada intinya sama yaitu memiliki penekanan pada segala keputusan yang dibuat oleh pemerintah dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat yang beraneka ragam dan terus berkembang akibat dari tingkat pendidikan yang lebih tinggi yang diperoleh dengan adanya perkembangan teknologi.

Menurut Inu Kencana Syafie dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Ilmu Pemerintahan” mengutip pendapat Harold Laswell bahwa kebijakan adalah:

“Tugas intelektual pembuatan keputusan meliputi penjelasan tujuan, penguraian kecenderungan, penganalisaan keadaan, proyeksi pengembangan masa depan dan penelitian, penilaian dan penelitian, serta penilaian dan pemilihan kemungkinan”(Laswell dalam Syafie, 1992: 35).

(27)

seluruh bagian aturan-aturan yang ada termasuk konteks politik, karena pada dasarnya proses pembuatan kebijakan sesungguhnya merupakan suatu proses politik.

M.Irfan Islamy juga mengemukakan pengertian kebijakan dalam bukunya yang berjudul “Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara” adalah: “Kebijakan adalah

suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan tindakan-tindakan yang terarah”(Islamy, 1997: 14).

Menurut Anderson dalam Tachjan mengatakan mengenai kebijakan yakni, bahwa:

“Kebijakan adalah serangkaian kebijakan yang mempunyai maksud atau tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang aktor atau sekelompok aktor yang berhubungan dengan suatu permasalahan atau suatu hal yang diperhatikan” (Anderson dalam Tachjan, 2006: 19).

Sesuai dengan penjelasan diatas maka dapat diketahui bahwa kebijakan merupakan sesuatu yang dibuat untuk mencapai maksud dan tujuan tertentu. Kebijakan dibuat untuk kemudian dilaksanakan oleh pihak-pihak tertentu yang berhubungan dengan isi dari kebijakan yang telah dibuat/dirumuskan.

Sedangkan Menurut Carl Friedrich yang dikutip dalam Wahab mengatakan bahwa:

“Kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang untuk mencapai tujuan yang diinginkan” (Wahab, 2001: 10).

(28)

mulai dari cara yang paling sederhana dan irasional sampai dengan cara-cara yang bersifat kombinasi kuantitatif dan kualitatif sekarang ini.

Said Zainal Abidin, alumni University of Pittsburgh, Pennsylvania, US. Mengatakan Kebijakan merupakan:

“Kebijakan publik biasanya tidak bersifat spesifik dan sempit, tetapi luas dan berada pada strata strategis. Sebab itu kebijakan publik berfungsi sebagai pedoman umum untuk kebijakan dan keputusan-keputusan khusus di bawahnya”( Said Zainal Abidin, 2004: 23).

Suatu kebijakan publik mempunyai sifat yang luas dan berada pada strata strategis. Kebijakan publik mempunyai fungsi sebagai pedoman untuk kebijakan atau keputusan-keputusan khusus yang berada dibawahnya. Suatu efektivitas kebijakan publik dapat dilihat dari sejauhmana suatu kebijakan yang dibuat telah dapat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat, serta dapat menyelesaikan suatu permasalahan dengan mengacu kepada kebijakan tersebut.

Wiliiam N.Dunn menyebut istilah kebijakan publik dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Analisis Kebijakan Publik” adalah:

“Kebijakan publik (public policy) adalah pola ketergantungan yang kompleks dari pilihan-pilihan kolektif yang saling tergantung, termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak yang dibuat oleh badan atau kantor pemerintahan”(Dunn, 2003: 132).

(29)

Dalam perannya untuk pemecahan masalah, William N. Dunn (1990:30) berpendapat bahwa tahap penting dalam pemecahan masalah publik melalui kebijakan adalah:

a. Penetapan Agenda Kebijakan (agenda setting) b. Formulasi Kebijakan ( policy formulation) c. Adopsi Kebijakan ( policy adoption)

d. Implementasi Kebijakan (policy implementation) e. Penilaian Kebijakan (poliy assesment)

(Willdunn, 1990:30).

Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat diketahui bahwa dalam perannya untuk memecahkan suatu permasalahan publik, kebijakan mempunyai beberapa tahapan yang perlu dilalui agar kebijakan tersebut dapat menjadi sebuah acuan yang ditaati dan dipatuhi.

2.1.2.1 Syarat-Syarat Pelaksanaan Kebijakan

Pelaksanaan kebijakan merupakan salah satu bagian dari proses kebijakan. Menurut Hoogerwerf (1990: 47) merumuskan pelaksanaan kebijakan sebagai berikut: “pengunaan sarana-sarana yang dipilih untuk tujuan-tujuan yang dipilih dan pada urutan waktu yang dipilih”.

(30)

1. Isi kebijakan:

Isi kebijakan yang akan dilaksanakan dapat mempersulit pelaksanaannya dengan berbagai cara, pertama-tama samarnya isi kebijakan yaitu tidak terperincinya tujuan-tujuan, sarana-sarana, dan penetapan prioritas program kebijakan terlalu umum atau sama sekali tidak ada.

2. Informasi kebijakan:

Pelaksanaan suatu kebijakan memperkirakan atau yang terlibat langsung mempunyai informasi yang perlu untuk dapat memainkan perannya dengan baik.

3. Dukungan kebijakan:

Pelaksanaan suatu kebijakan akan sangat dipersulit jika para pelaksana tidak cukup dukungan untuk kebijakan, karena disini terkait kepentingan pribadi dan tujuan pelaksana, juga pengharapan-pengharapan tentang efektifitas sarana yang dipilih, keunggulan situasi masalah, latar belakang histories, tradisi dan kebiasaan rutin serta pendapat mengenai cara bagaimana pelaksanaan diorganisasi.

4. Pembagian potensi kebijakan:

Mencakup tingkat diferensiasi tugas dan wewenang, masalah koordinasi, terutama jika kepentingan terwakili sangat berlainan, timbulnya masalah pengawasan ataupun timbulnya pergeseran tujuan, struktur organisasi pelaksana kebijakan, bila pembagian wewenang dan tanggung jawab kurang disesuaikan dengan pembagian tugas, atau ditandai pembatasan-pembatasan yang kurang jelas.

(Islamy, 1992: 98).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat terlihat bahwa syarat-syarat pelaksanaan kebijakan merupakan faktor yang penting dalam melaksanakan kebijakan dalam upaya menghindari kegagalan-kegagalan dalam pelaksanaan kebijakan. Sehingga pelaksana kebijakan dapat melaksanakan tugasnya dapat berrjalan sesuai dengan tujuan yang diharapkan.

2.1.3 Pengertian Evaluasi Kebijakan

(31)

Dalam hal ini, evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalah-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.

Dunn mengemukakan pendapatnya tentang pengertian fungsi evaluasi kebijakan, bahwa:

“Evaluasi memainkan sejumlah fungsi utama dalam analisis kebijakan, dan yang paling penting evaluasi memberikan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dicapai” (Dunn, 2003: 609).

Sesuai dengan pendapat diatas, maka dapat diketahui bahwa evaluasi kebijakan memiliki banyak fungsi dan dengan melakukan evaluasi kebijakan akan dapat diketahui informasi yang sesuai dan dapat di petanggung jawabkan mengenai hasil dari kebijakan yang telah dibuat dan dicapai.

Sementara itu menurut Samodra Wibawa (1994:10-11) mengatakan evaluasi kebijakan publik memiliki 4 (empat) fungsi, yaitu:

1. Eksplanasi. Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program dan dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan antar berbagai dimensi realitas yang diamatinya. Dari evaluasi ini evaluator dapat mengidentifikasi masalah, kondisi, dan aktor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan kebijakan.

2. Kepatuhan. Melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh para pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lainnya, sesuai dengan standar dan prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan.

3. Audit. Melalui evaluasi dapat diketahui, apakah output benar-benar sampai ke tangan kelompok sasaran kebijakan, atau justru ada kebocoran atau penyimpangan.

(32)

Evaluasi implementasi kebijakan dibagi tiga menurut timming evaluasi, yaitu sebelum dilaksanakan, pada waktu pelaksanaan dan setelah dilaksanakan. Evaluasi sebelum pelaksanaan yang disebut “Willam Dunn (1999)” sebagai sumber

summative. Evaluasi pada waktu pelaksanaan biasanya disebut evaluasi

procces.evaluasi setelah kebijakan yang juga disebut evaluasi konsekuensi (output)

kebijakan dan evaluasi pengaruh (outcome) kebijakan.

Terlepas dari berbagai permasalahan seputar fungsi evaluasi kebijakan, pada hakekatnya evaluasi kebijakan ini harus dilakukan dalam konteks organisasi yang menyeluruh dengan tujuan dan target yang jelas, prioritas yang jelas serta sumber daya pendukung yang jelas pula untuk mengetahui dan menilai sejauhmana suatu kinerja kebijakan berjalan.

Hessel Nogi Tangkilisan dalam bukunya “Evaluasi Kebijakan Publik” menjelaskan mengenai pengertian evaluasi kebijakan publik yaitu:

“Evaluasi kebijakan publik merupakan salah satu dari tahapan proses kebijakan yang kritis dan penting, karena proses ini melibatkan bukan hanya evaluator dari kalangan akademisi dan praktisi, namun juga melibatkan komponen masyarakat lainnya, sehingga tercipta kondisi dimana tidak adajarak antara kebijakan publik dengan masyarakat.”(Tangkilisan,2003:7)

Kata evaluasi yang dibicarakan disini adalah evaluasi kebijakan pemerintah, maka kalanga akademis maupun praktisi yang dimaksud diatas adalah pemerintah sebagai pihak yang berwenang dalam menetapkan adanya suatu kebijakan.

(33)

“Evaluasi kebijakan pada prinsipnya adalah “proses yang dilakukan untuk menilai

sebuah kinerja kebijakan yang dihasilkan setelah kebijakan tersebut dibuat dan dilaksanakan” William N. Dunn (2003: 158).

Sesuai dengan pengertian evaluasi kebijakan yang di ungkap oleh William N. Dunn diatas, maka Dunn mengemukakan beberapa hal mengenai kriteria yang diperlukan dalam proses evaluasi kebijakan publik, yaitu:

1. Efektivitas 2. Efisiensi 3. Kecukupan 4. Perataan 5. Responsivitas 6. Ketepatan

(William N. Dunn, 2003: 158).

Kriteria yang pertama adalah Efektivitas (effectiveness) berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil (akibat) yang diharapkan atau mencapai tujuannya dari diadakannya tindakan. Efektivitas, yang secara dekat berhubungan dengan rasionalitas teknis, selalu diukur dari unit produk atau layanan atau nilai moneternya. Kriteria ini memiliki 2 (dua) indikator, yaitu Harapan Masyarakat dan Realisasi Kebijakan.

Harapan masyarakat menurut Conyers (1991:200) adalah “saran, usulan dan keinginan masyarakat setempat atas pembangunan maupun hasil kebijakan yang dibuat”. Sementara itu Realisasi kebijakan adalah “suatu perwujudan nyata yang dilakukan atas ditetapkannya suatu kebijakan publik guna penyelenggaraan pemerintahan”.

(34)

yang merupakan sinonim dengan rasionalitas ekonomi, adalah merupakan hubungan antara efektivitas dan usaha yang terakhir umumnya diukur dari ongkos moneter. Kriteria ini memiliki 2 (dua) indikator yaitu Sumber Daya serta Optimalisasi.

Menurut Edward III “Sumber Daya merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan”. Tanpa sumber daya, implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumber daya tersebut dapat berupa sumber daya manusia, maupun sumber daya finansial. Tanpa sumber daya, kebijakan hanya akan tinggal di kertas menjadi dokumen saja. Sementara itu Optimalisasi menurut Conyers (1991:210) adalah suatu proses untuk mencapai hasil yang ideal atau maksimal (nilai efektif yang dapat dicapai).

Kriteria yang ketiga adalah Kecukupan (adequacy) berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan yang menumbuhkan adanya masalah. Kriteria kecukupan menekankan pada kuatnya hubungan antara alternatif kebijakan dan hasil yang diharapkan. Kriteria ini memiliki 2 (dua) indikator, yaitu Kinerja Aparatur dan Kepuasan Masyarakat.

Menurut Hasibuan (2003: 94) “Kinerja apatur adalah suatu hasil kerja yang dicapai seorang aparatur publik dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu”. Sedangkan Kepuasan masyarakat adalah “Respon, evaluasi dan tingkat emosi masyarakat terhadap pelayanan publik yang telah dinikmati pada tingkat hasil (outcome) sama atau melewati batas penilaian persepsi masyarakat”.

(35)

kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat. Kebijakan yang berorientasi pada perataan adalah kebijakan yang pada akibatnya (misalnya, unit pelayanan atau manfaat moneter) atau usaha (misalnya biaya moneter) secara adil didistribusikan. Kriteria ini memiliki 2 (dua) indikator, yaitu Pencapaian Sasaran serta Transparansi dan Akuntabilitas Publik.

Pencapaian sasaran menurut Branch (1999:85) adalah “pernyataan tentang kehendak yang sudah diidentifikasi, dianalisis, dan diekspresikan secara spesifik untuk menunjukkan bagaimana hal itu dapat dicapai dalam waktu dan sumberdaya yang tersedia”. Sementara itu “Transparansi dan Akuntabilitas Publik adalah Memberikan informasi yang terbuka dan jujur kepada masyarakat dan mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya serta pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepada entitas pelaporan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara periodik.

Kriteria yang kelima adalah Responsivitas (responsiveness) berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, prefensi, atau nilai kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Kriteria responsivitas adalah penting karena analisis yang dapat memuaskan semua kriteria lainnya, yaitu efektivitas, efisiensi, kecukupan, kesamaan. Responsivitas dikatakan masih gagal jika belum menanggapi kebutuan actual dari kelompok yang semestinya diuntungkan dari adanya suatu kebijakan. Kriteria ini memiliki 2 (dua) indikator, yaitu Respon Aparatur dan Respon Masyarakat.

Menurut Sarlito (1987) “Respon merupakan gerakan-gerakan yang

(36)

lingkungan sekitar”. Yang membedakan respon disini adalah Respon aparatur selaku

pelaksana kebijakan serta Respon Masyarakat selaku penerima kebijakan.

Kriteria yang keenam adalah Ketepatan (appropriateness) adalah kriteria ketepatan secara dekat yang berhubungan dengan rasionalitas substantive, karena pertanyaan tentang ketepatan kebijakan tidak berkenaan dengan satuan kriteria individu tetapi dua atau lebih kriteria secara bersama-sama. Ketepatan merujuk pada nilai atau harga dari tujuan-tujuan kebijakan dan kepada kuatnya asumsi yang melandasi tujuan tersebut. Kriteria ini memiliki 2 (dua) indikator, yaitu Dampak bagi Aparatur dan Dampak bagi Masyarakat.

Menurut Hari Sabari, “Dampak adalah sesuatu yang muncul setelah adanya suatu kejadian/tindakan”. Hanya yang membedakannya disini adalah dampak yang timbul dari segi Aparatur selaku pemberi layanan publik dan Masyarakat selaku penerima ayanan publik.

2.1.3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

(37)

Menimbang bahwa Undang-udang nomor 22 tahun 1957 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan dan Undang-undang nomor 12 tahun 1964 tentang pemutusan hubungan kerja di perusahaan swasta sudah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut maka perlu ditetapkan Undang-undang yang mengatur tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Dan akhirnya dengan persetujuan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Dengan Presiden Republik Indonesia memutuskan untuk menetapkan Undang-undang Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Dalam UU. Nomor 2 Tahun 2004 ada 2 cara yang dapat dipilih untuk dapat melakukan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yakni:

1. Pengadilan Hubungan Industrial yang berada dalam lingkungan Pengadilan Negeri.

2. Penyelesaian diluar Pengadilan yang terdiri dari 4 cara yang dapat dipilih oleh para pihak yang berselisih yakni :

a. Perundingan Bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perseliishan hubungan industrialnya hanya dalam satu perusahaan.

(38)

c. Konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dilakukan oleh konsiliator yang terdaftar di setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.

d. Arbitrase adalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dilakukan oleh arbiter yang terdaftar di setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.

Dalam Undang-undang ini mengatur pula mengenai tata cara penyelesaian perselisihan yang terdiri dari:

1. Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepetingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

2. Perselisihan Hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya pebedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peaturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

(39)

4. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.

5. Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah perselisihan antara serikat buruh/serikat pekerja dengan serikat buruh/serikat pekerja lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan.

(Sumber: Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2004 Tentang PPHI)

2.2Kerangka Pemikiran

Dalam penelitian ini peneliti mengikuti dari teori William N. Dunn tentang definisi evaluasi kebijakan yang mengandung makna sejauh mana Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial khususnya yang terjadi di Kota Bandung melalui proses mediasi.

Dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial tentu para pihak yang berselisih membutuhkan suatu kebijakan untuk dijadikan acuan yang dapat membantu mereka dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial yang mereka hadapi. Dengan adanya UU. Nomor 2 tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial, pemerintah berupaya agar dapat menanggulangi permasalahan hubungan industrial khususnya yang ada di Kota Bandung.

(40)

dengan apa yang diharapkan, atau hasil tersebut jauh menyimpang dari harapan yang telah dilaksanakan sebelumnya.

Untuk menilai sejauhmana Evaluasi Kebijakan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat diukur dengan beberapa indikator yang ada. Dengan segala faktor keberhasilan evaluasi maka dapat dipahami bahwa faktor-faktor tersebut saling mempengaruhi dan berkesinambungan untuk tercapainya hasil yang maksimal atas kebijakan penyelesaian perselisihan hubungan industrial di Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung.

Faktor yang pertama adalah Efekivitas. Dalam kebijakan penyelesaian perselisihan hubungan industrial efektivitas berupa perilaku yang dilakukan oleh Aparatur Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung melalui pelaksanaan mediasi untuk mencapai hasil dan tujuan yang diinginkan oleh para pihak yang berselisih yakni pekerja serta pengusaha dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrialnya. Efektivitas dapat berupa rasionalitas teknis yang selalu diukur dari unit produk atau layanan dan nilai moneternya yang kemudian dilihat berdasarkan harapan masyarakat serta realisasi kebijakannya.

(41)

Faktor berikutnya adalah Kecukupan yang berkenaan dengan seberapa jauh tingkat efektifitas kebijakan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam pelaksanaan mediasi dapat memuaskan kebutuhan, nilai serta menekankan pada kuatnya hubungan antara alternatif kebijakan penyelesaian perselisihan hubungan industrial sehingga memperoleh hasil yang diharapkan oleh para pihak yang berselisih khususnya di Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung, dan dapat dilihat melalui kinerja aparatur serta kepuasan masyarakat atas adanya pelaksanaan mediasi sesuai yang tercantum dalam UU. Nomor 2 Tahun 2004.

Selanjutnya adalah Perataan yang erat hubungannya dengan rasionalitas legal dan sosial. Kebijakan yang berorientasi pada perataan merupakan kebijakan yang pada akibatnya atau usahanya secara adil di distribusikan guna menerangkan kepada masyarakat umumnya atau pekerja serta pengusaha khususnya mengenai tata cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi dan dapat dinilai melalui pencapaian sasaran serta transparansi dan akuntabilitas publik atas pelaksanaan kebijakan tersebut.

Responsivitas berkenaan dengan seberapa jauh kebijakan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat memuaskan kebutuhan para pelaksana kebijakan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi. Responsivitas sangat penting karena dapat mempengaruhi dari keseluruhaan hasil kebijakan. Responsivitas dinilai melalui respon aparatur dan respon masyakakt/pekerja serta pengusaha.

(42)

hubungan industrial dan kepada kuatnya asumsi yang melandasi tujuan dibuatnya kebijakan tersebut sehingga dapat berpengaruh terhadap proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi di Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung yang dapat dilihat dari dampak bagi masyarakat serta dampak bagi aparatur.

Oleh karena itu dalam kebijakan penyelesaian perselisihan hubungan industrial di Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung, Evaluasi merupakan salah satu tahapan/proses yang sangat diperlukan, karena berhasil atau tidaknya suatu kebijakan dapat dinilai melalui hasil akhir dari perumusan kebijakan tersebut.

Evaluasi Kebijakan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Di Dinas Tenga Kerja Kota Bandung dilakukan untuk mengetahui sejauhmana kebijakan tersebut dapat berpengaruh pada proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi yang dilakukan di Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung dan untuk mengetahui kinerja aparatur serta hasil dari dibuatnya kebijakan UU nomor 2 tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang di analisis dan dideskripsikan dengan menggunakan enam dimensi evaluasi kebijakan publik yang dikemukakn oleh William N. Dunn diatas.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas, maka peneliti mengemukakan Definisi Operasional sebagai berikut:

(43)

2. Kebijakan adalah aturan yang ditetapkan dan kemudian dilaksanakan oleh Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung yang mempunyai tujuan atau berorientasi bagi kepentingan pekerja serta pengusaha.

3. Evaluasi kebijakan sebagai variabel mandiri yang merupakan suatu usaha untuk mengukur dan membandingkan hasil pelaksanaan kebijakan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dengan sasaran kebijakan secara objektif dilihat dari kriteria sebagai berikut:

1. Efektivitas adalah suatu hal yang berkenaan dengan sejauhmana kebijakan penyelesaian perselisihan hubungan industrial telah mencapai hasil yang diharapkan. Kriteria ini memiliki 2 (dua) indikator, yaitu: a. Harapan Masyarakat adalah usulan dan keinginan pekerja serta

pengusaha terhadap penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui pelaksanaan mediasi.

b. Realisasi adalah tujuan terhadap pelaksanaan kebijakan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi di Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung.

2. Efisiensi adalah usaha yang dilakukan untuk mencapai hasil yang diinginkan dari dibuatnya kebijakan penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Kriteria ini memiliki 2 (dua) indikator, yaitu: a. Sumber Daya adalah sarana dan prasarana yang terdapat di Dinas

(44)

b. Optimalisasi adalah proses untuk mencapai hasil yang paling maksimal dari kebijakan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi.

3. Kecukupan adalah tingkat efektifitas aparatur Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung yang dapat memuaskan kebutuhan pekerja serta pengusaha. Kriteria ini memiliki 2 (dua) indikator, yaitu:

a. Kepuasan Masyarakat adalah tingkat emosi yang merupakan penilaian pekerja serta pengusaha terhadap kebijakan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui pelaksanaan mediasi. b. Kinerja Aparatur adalah hasil kerja yang dicapai aparatur Dinas

Tenaga Kerja Kota Bandung dalam menjalankan kebijakan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui proses mediasi.

4. Perataan adalah rasionalitas legal dan sosial serta menunjuk pada distribusi akibat adanya kebijakan penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Kriteria ini memiliki 2 (dua) indikator, yaitu:

a. Pencapaian Sasaran adalah petunjuk bagaimana pelaksanaan kebijakan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi dapat dicapai dalam waktu dan sumberdaya yang tersedia di Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung.

(45)

kebijakan penyelesaian perselisihan hubungan industrial pada pelaksanaan mediasi secara periodik.

5. Responsivitas adalah seberapa jauh kebijakan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat memuaskan para pelaksana kebijakan. Kriteria ini memiliki 2 (dua) indikator, yaitu:

a. Respon Masyarakat adalah persepsi atau tanggapan pekerja serta pengusaha terhadap kebijakan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi di Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung. b. Respon Aparatur adalah persepsi atau tanggapan aparatur Dinas

Tenaga Kerja Kota Bandung terhadap kebijakan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi.

6. Ketepatan adalah kuatnya asumsi yang melandasi tujuan dibuatnya kebijakan penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Kriteria ini memiliki 2 (dua) indikator, yaitu:

a. Dampak bagi Masyakat adalah sesuatu yang timbul bagi pekerja serta pengusaha setelah adanya penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi.

(46)
[image:46.610.78.573.190.660.2]

Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka peneliti menggambarkan alur pemikiran yang digunakan dalam melakukan penelitan ini dengan model kerangka pemikiran sebagai berikut:

Gambar 2.1

Model Kerangka Pemikiran

Evaluasi Kebijakan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung

Memperbaiki Kinerja aparatur Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung khususnya tenaga mediator agar dapat membantu para

pihak yang berselisih dalam menyelesaiakan perselisihan hubungan industrialnya dan mengurangi kasus perselisihan di

Kota Bandung melalui pelaksanaan mediasi

(47)

35 BAB III

OBJEK DAN METODE PENELITIAN

3.1 Objek Penelitian

3.1.1 Sejarah Singkat Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung

Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung merupakan suatu lembaga Dinas Daerah di lingkungan Pemerintah Kota Bandung yang mengemban tugas di bidang ketenagakerjaan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 05 Tahun 2001 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Dinas Daerah Kota Bandung, dan telah disahkan kembali dengan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 13 Tahun 2007 dengan struktur organisasi lebih ramping tetapi kaya fungsi.

Sejarah berdirinya bidang Ketenagakerjaan tidak terlepas dari sejarah perjuangan bangsa dan tatanan politik yang berkembang sejak proklamasi 17 Agustus 1945. Sejak berdirinya pemerintahan Republik Indonesia sampai sekarang, Departemen atau Kementerian yang diserahi tugas untuk menangani masalah ketenagakerjaan berulangkali mengalami perubahan, baik berupa pembentukan baru, penyesuaian maupun penggabungan. Perubahan organisasi tersebut disebabkan oleh berkembangnya beban kerja yang harus ditangani.

(48)

organisasi Departemen NAKERTRANSKOP mengalami perubahan dengan dipindahkannya urusan koperasi ke Departemen Perdagangan, kemudian disempurnakan kembali setelah masalah urusan transmigrasi dilimpahkan ke Departemen Transmigrasi.

Peninjauan kembali UU No. 25 Tahun 1997, selain itu telah diratifikasi konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 87 ke dalam KEPRES 83 Tahun 1997 tentang kebebasan berserikat bagi para pekerja. Pengesahan Konvensi ILO No. 105 ke dalam UU RI No. 19 tahun 1999 mengenai penghapusan kerja paksa, pengesahan konvensi ILO No. 138 ke dalam UU RI No. 20 Tahun 1999 mengenai Upah Minimum untuk diperbolehkan bekerja dan pengesahan konvensi ILO No. 111 Tahun 1985 ke dalam UU RI no. 21 tahun 1999 mengenai diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan.

Bahkan telah dilakukan penyempurnaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, yaitu:

1. Departemen Tenaga Kerja Kotamadya Bandung.

2. Departemen Transmigrasi Propinsi Dati I Jawa Barat Cabang Kotamadya Bandung.

3. Dinas Tenaga Kerja Propinsi Dati I Jawa Barat Cabang Kotamadya Bandung. 4. Digabung menjadi satu dengan nama DINAS TENAGA KERJA KOTA

(49)

3.1.2 Visi dan Misi Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung 3.1.2.1 Visi Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung

Visi Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung tahun 2009-2013 adalah “Terwujudnya penyelenggaraan ketenagakerjaan terbaik” makna yang terkandung

dalam visi Dinas Tenaga Kerja adalah:

Pertama, bahwa Terwujudnya Penyelenggara Ketenagakerjaan Terbaik ini

mengandung arti bahwa Dinas Tenaga Kerja mempunyai kewajiban untuk dapat memfasilitasi dan memberikan kesempatan kerja bagi masyarakat pencari kerja, mendorong dan memotivasi para pengusaha untuk menciptakan perluasan kerja, serta mengerahkan warga masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan untuk mengikuti program transmigrasi.

Kedua, mengandung arti bahwa Dinas Tenaga Kerja sebagai suatu lembaga

yang harus dapat menyiapkan tenaga kerja terampil dan produktif, peningkatan keterampilan dan produktivitas kerja, membina lembaga-lembaga latihan swasta, melakukan akreditasi lembaga latihan swasta serta sertifikasi kemampuan.Sehingga tenaga-tenaga tersebut diatas dapat berdaya saing tinggi sesuai dengan kebutuhan pasar kerja dan dunia kerja serta memenuhi standar nasional / internasional.

(50)

terhadap pekerja dan pengusaha, dengan melalui program dan kegiatan yang berorientasi terhadap peningkatan keselamatan kerja, kesehatan kerja dan jaminan sosial bagi tenaga kerja serta peningkatan penegakkan hukum ketenagakerjaan.

Keempat, bahwa Dinas Tenaga Kerja mampu memfasilitasi dan meningkatkan

kesejahteraan masyarakat melalui program pengembangan wilayah transmigrasi regional, dengan peningkatan lokasi transmigrasi, pengerahan penempatan transmigran, dan penyuluhan kepada calon transmigran.

3.1.2.2 Misi Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung

1. Peningkatan kualitas sumber daya manusia yang terampil dan produktif sesuai kebutuhan pasar kerja dan dunia kerja.

2. Peningkatan peluang kesempatan kerja, dan perluasan kerja.

3. Peningkatan perlindungan dan pengembangan lembaga ketenagakerjaan, serta pembinaan dan pengembangan hubungan industrial.

4. Peningkatan ketersediaan lokasi transmigrasi dan penempatan transmigran .

3.1.3 Struktur Organisasi dan Tugas Pokok Fungsi (Tupoksi) Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung

(51)

1. Perumusan kebijakan teknis lingkup pelatihan dan produktivitas kerja, penempatan kerja dan transmigrasi, pembinaan hubungan industrial dan jaminan sosial ketenagakerjaan, serta pengawasan ketenagakerjaan.

2. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum di bidang pelatihan dan produktivitas kerja, penempatan kerja dan transmigrasi, pembinaan hubungan industrial dan jaminan sosial ketenagakerjaan, serta pengawasan ketenagakerjaan. 3. Pembinaan dan pelaksanaan di bidang pelatihan dan produktivitas kerja,

penempatan kerja dan transmigrasi, pembinaan hubungan industrial dan jaminan sosial ketenagakerjaan, serta pengawasan ketenagakerjaan.

4. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan Walikota sesuai dengan tugas dan fungsinya.

5. Pembinaan, monitoring, evaluasi dan laporan penyelenggaraan kegiatan Dinas. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 13 Tahun 2007 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Dinas Daerah Kota Bandung, Struktur Organisasi Dinas Tenaga Kerja sebagai berikut :

Bagan 3.1 Struktur Organisasi Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung

(52)

3.1.3.1 Data Pegawai Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung Menurut Pendidikan Tahun 2012

Diagram 3.1

Data Pegawai Dari Segi Pendidikan

(Sumber: DISNAKER Kota Bandung)

Dilihat dari diagram diatas, berdasarkan tingkat pendidikan aparatur Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung yang paling didominasi adalah tingakt pendidikan Strata 1 (S1) yakni berjumlah 46 orang, Bahkan masih ada pegawai yang tingkat pendidikannya sebatas SD dan SLTP yaitu berjumlah 5 orang. Tentunya tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap kinerja yang dihasilkan aparatur itu sendiri, karena tidak dapat dipungkiri semakin tinggi tingkat pendidikannya, maka akan semakin berpengaruh terhadap kinerjanya. Hasil kerja yang baik tentunya didukung oleh sumber daya yang baik. Dari segi sumber daya manusia maupun dari segi sarana dan prasarananya harus saling mendukung satu sama lain agar tercapai hasil yang

SD; 2 SLTP; 3

SLTA; 40

D III; 14

(53)

maksimal dan sesuai dengan harapan masyarakat terhadap pelayanan di bidang ketenagakerjaan. Namun berdasarkan pengamatan peneliti penempatan posisi masing-masing aparatur telah disesuaikan dengan tingkat pendidikan yang mereka miliki.

3.1.4 Bidang Pembinaan Hubungan Industrial dan JAMSOSTEK 3.1.4.1 Tugas Pokok dan Fungsi

Tugas pokok Bidang Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan melaksanakan sebagian tugas Dinas lingkup Pembinaan hubungan industrial dan jaminan sosial ketenagakerjaan, fungsinya sebagai berikut:

1. Penyusunan rencana dan program lingkup Pembinaan dan pengembangan hubungan industrial dan jaminan sosial ketenagakerjaan serta penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

2. Penyusunan petunjuk teknis lingkup Pembinaan dan pengembangan hubungan industrial dan jaminan sosial ketenagakerjaan serta penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

3. Pelaksanaan lingkup Pembinaan dan pengembangan hubungan industrial dan jaminan sosial ketenagakerjaan serta penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

(54)

5. Pembinaan, monitoring, evaluasi dan pelaporan lingkup Pembinaan dan pengembangan hubungan industrial dan jaminan sosial ketenagakerjaan serta penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

3.1.4.2 Struktur Organisasi Bidang Pembinaan Hubungan Industrial dan JAMSOSTEK

Bagan 3.2 Struktur Organisasi Bidang Hubungan Industrial Dan Jamsostek

(Sumber: Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung) KABID

PEMBINAAN HUB,INDUSTRIAL DAN

JAMSOSTEK

Dra. Hj. IRMA NURYANI, MH

KASI PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUB.

INDUSTRIAL R. INDARTRIANNI, SH KASI PEMBINAAN DAN

PENGEMBANGAN HUB. INDUSTRIAL DAN

JAMSOSTEK H. DEDE SUKADIS, SH MEDIATOR HI

YENI HASNAH

Dra. SITI HADIDJAH MAULIDIA

MERRY ANDREANY AMIR. SE

ASEP R. MARDANA PERI JOHARI

IMAS TRI YUNIATI. SE H. SUDARIYATI, SH. M. SI

TEDI RONIMAN, S. PD UNTUNG SISWANTO. ST

FITRIYANI. A. Md Drs. L. MUJI SANCOYO

(55)

Dilihat dari bagan struktur organisasi diatas, nama-nama pegawai yang tercantum adalah Aparatur yang terlibat dalam menjalankan kebijakan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang ada di Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung. Namun dari nama-nama diatas hanya terdapat 4 orang yang aktif dan tercantum sebagai nama mediator secara resmi di Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung, yakni: 1. H. Sudariyati, Sh. M. Si

2. Dra. Siti Hadidjah Maulidia 3. R. Indartrianni, SH

4. Drs. L. Muji Sancoyo

Sampai sejauh ini tenaga mediator yang aktif di Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung berjumlah 4 orang, namun tersedia tenaga mediator pendamping yang bertugas menemani mediator utama untuk dapat menjalankan sidang mediasi agar dapat memberikan masukan serta sarannya dalam menyelesaikan kasus perselisihan antara pekerja serta pengusaha.

3.1.4.3 Deskripsi Tugas Bidang Bidang Pembinaan Hubungan Industrial dan JAMSOSTEK

1. Bidang Pembinaan Hubungan Industrial Dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (1) Bidang Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan

(56)

(2) Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud ayat (1), bidang Pembinaan hubungan industrial dan jaminan sosial ketenagakerjaan mempunyai fungsi:

a. Penyusunan rencana dan program lingkup Pembinaan dan pengembangan hubungan industrial dan jaminan sosial ketenagakerjaan serta penyelesaian perselisihan hubungan industrial;

b. Penyusunan petunjuk teknis lingkup Pembinaan dan pengembangan hubungan industrial dan jaminan sosial ketenagakerjaan serta penyelesaian perselisihan hubungan industrial;

c. Pelaksanaan lingkup Pembinaan dan pengembangan hubungan industrial dan jaminan sosial ketenagakerjaan serta penyelesaian perselisihan hubungan industrial;

d. Pengkajian rekomendasi, pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan hubungan industrial dan jaminan sosial tenaga kerja; dan

e. Pembinaan, monitoring, evaluasi dan pelaporan lingkup Pembinaan dan pengembangan hubungan industrial dan jaminan sosial ketenagakerjaan serta penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

2. Seksi Pembinaan Dan Pengembangan Hubungan Industrial Dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan

(57)

(2) Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimanan pada ayat (1), Seksi pembinaan dan pengembangan hubungan industrial dan jaminan sosial ketenagakerjaan mempunyai fungsi:

a. Pengumpulan dan penganalisaan data lingkup pembinaan dan pengembangan hubungan industrial dan jaminan sosial ketenagakerjaan; b. Penyusunan bahan petunjuk teknis lingkup pembinaan dan

pengembangan hubungan industrial dan jaminan sosial ketenagakerjaan; c. Pelaksanaan lingkup pembinaan dan pengembangan hubungan industrial

dan jaminan sosial ketenagakerjaan yang meliputi fasilitasi penyusunan dan pengesahan peraturan perusahaan, pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dan Perjanjian Pekerjaan, Pencatatan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), pencatatan organisasi pekerja dan pengusaha dan verifikasi keanggotaan Serikat Pekerja pembinaan kepesertaan jaminan sosial serta penyusunan usulan penetapan upah minimum kota; d. Penyuluhan dan pengawasan penyelenggaraan operasional perusahaan

penyedia jasa yang berdomisili di Kota;

e. Evaluasi dan pelaporan pelaksanaan lingkup pembinaan dan pengembangan hubungan industrial dan jaminan sosial ketenagakerjaan. 3. Seksi Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

(58)

(2) Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seksi penyelesaian perselisihan hubungan industrial mempunyai fungsi: a. Pengumpulan dan penganalisaan data lingkup penyelesaian perselisihan

hubungan industrial;

b. Penyusunan bahan petunjuk teknis lingkup penyelesaian perselisihan hubungan industrial;

c. Pelaksanaan lingkup penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang meliputi pembinaan, pencegahan dan fasilitasi penyelesaian perselisihan hubungan industrial, mogok kerja dan penutupan perusahaan, pembinaan sumber daya manusia dan lembaga penyelesaian perselisihan di luar pengadilan, penyusunan, pengusulan formasi dan pembinaan mediator, konsiliator dan arbiter serta penerimaan pendaftaran dan seleksi calon hakim ad-hoc pengadilan hubungan industrial;

d. Evaluasi dan pelaporan pelaksanaan lingkup penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

3.1.4.4 Layanan, perijinan dan rekomendasi

1. Pencatatan Serikat Pekerja / Serikat Buruh ( SP/SB)

2. Pengesahan peraturan perusahaan (PP) dan pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama

Gambar

Tabel. 1.1
Gambar 2.1
Gambar 3.1
Tabel 3.2 Jadwal Penelitian
+2

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan pada Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menyebutkan bahwa: “Mediator Hubungan Industrial yang

Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial merupakan sumber hukum formil atau hukum acara dalam penyelesaian perselisihan

Demikian juga dengan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui lembaga arbitrase, sebelum menentukan penyelesaian perselisihan melalui lembaga arbitrase

Dari hasil penelitian ini menunjukan: (1) Peran Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Bantul dapat menyelesaikan perselisihan hubungan industrial yang sudah di atur

Pada Pasal 1 angka (11) mengatakan bahwa: “Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan

Perselisihan hubungan industrial selama masa pandemi Covid di Kota Yogyakarta mengalami peningkatan. Perselisihan hubung an industrial tersebut diselesaikan sesuai dengan pro-

Seperti yang dimaksud oleh Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, bahwa perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui upaya mediasi di Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan