• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai sosial dalam surah Al-ma'un:penafsiran modern tentang anak yatim

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Nilai sosial dalam surah Al-ma'un:penafsiran modern tentang anak yatim"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)

Oleh: MAGFIROH NIM 1110034000096

PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

NILAI SOSIAL DALAM SÛRAH AL-

MÂ’ÛN: PENAFSIRAN

MODERN TENTANG ANAK YATIM

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)

Oleh:

MAGFIROH NIM 1110034000096

Di bawah Bimbingan

(Dr. Faizah Ali Syibromalisi, M.A) NIP. 195507252000122001

PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)
(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan skripsi ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I (S.Th.I) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN )Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 28 April 2014

Magfiroh

(5)

i

AL-MÂ’ÛN: PENAFSIRAN MODERN TENTANG ANAK YATIM.” Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014.

Al-Qur‟ân mempunyai perhatian khusus terhadap anak yatim. Perhatian terhadap anak yatim ini tampak didalam al-Qur‟ân sûrah al-Ma‟ûn. mereka yang tidak memperhatikan anak yatim di golongkan sebagai pendusta agama. Anak yatim ialah anak yang ditinggal mati oleh orang tuanya sebelum baligh dan hidup dalam keadaan sendirian tanpa pelindung yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidupnya. Nilai Sosial adalah kualitas perilaku, pikiran, dan karakter yang dianggap masyarakat baik dan benar, hasilnya diinginkan, dan layak ditiru oleh orang lain. Konteks Modern yaitu penafsiran Modern mulai dari tahun 1297 sampai tahun 2014 seperti Mahmud Syaltût tahun1297, Ahmad Mustafâ al-Marâgî tahun 1881 dan Syaikh Muhammad „Abduh tahun 1849, mereka merupakan para mufasir modern Timur Tengah dan ada pun para mufasir modern Indonesia yaitu Haji „Abdulmalik „Abdulkarîm Amrullah tahun 1908, M. Quraish Shihab tahun 1944.

Metodologi penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan (Library Research), dimulai dengan mengumpulkan data dan informasi dari berbagai buku-buku dan materi pustaka lainnya. Dalam menulis penelitian ini digunakan metode tafsir tematik yaitu berusaha mencari jawaban al-Qur‟ân tentang suatu masalah tertentu dengan jalan menghimpun seluruh ayat yang dimaksud, termasuk dari munasabah sûrah, asbab an-Nuzul sûrah dan berdasarkan pendapat riwayat. Dalam metode pembahasan, penulis menggunakan metode Deskriptif-Analisis, yaitu mendeskripsikan nilai-nilai sosial yang terdapat dalam sûrah al-Mâ‟ûn dan menganalisa penafsiran dari berbagai mufassir, tentang sûrah al-Mâ‟ûn, kemudian di ambil suatu kesimpulan dengan pemahaman yang komprehensif. Adapun teknik penulisan, penulis menggunakan buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah

(Skripsi, Tesis dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta). Jakarta: CeQD,

2007.”

Penulis berkesimpulan bahwa nilai-nilai sosial yang terdapat dalam sûrah

al-Mâ‟ûn yaitu pertama: Pentingnya memahami agama dengan benar, kedua:

(6)

ii

KATA PENGANTAR

Al-hamdulillahi rabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah Tuhan sekalian alam, ungkapan dan ucapan rasa syukur atas terselesaikannya skripsi ini. Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kehadirat Nabi tercinta, sang pelita kegelapan Muhammad SAW yang dengan petunjuknya telah menghantarkan manusia menuju jalan yang diridhoi Allah SWT.

Proses penyelesaian skripsi ini memakan waktu yang cukup lama berbagai macam kendala telah penulis hadapi baik yang bersifat internal maupun eksternal, bahkan tak jarang penulis juga merasa jenuh dan hampir putus asa. Namun berkat campur tangan Allah melalui bantuan berbagai macam pihak baik berupa dorongan, paksaan, dan sindiran akhirnya penulis bisa mempersembahkan buah karya ilmiah ini. Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah penulis mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. Dengan penuh rasa rendah hati izinkanlah penulis berucap terima kasih kepada :

(7)

iii

bimbingan selama penulis di bawah bimbingannya. Dan juga melalui beliau, tumbuh ide-ide baru, pemikiran baru, sehingga penulis ada gairah semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin yang telah menambah ilmu pengetahuan selama menempuh pendidikan di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Seluruh guru yang telah mengajarkan Ilmu kepada penulis, semoga Rahmat Allah senantiasa bersama beliau.

4. Segenap pimpinan dan karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan FU UIN Syarif Hidayatullah serta Pusat Studi al-Qur‟an (PSQ) Jakarta.

5. Orang tua tersayang ayahanda Bakri (alm), ibunda Sa‟adah (almh), teriring

rasa ta‟dzim penulis haturkan terima kasih atas semua pengorbanan yang

telah diberikan. Tak ada yang bisa penulis berikan, hanya doa semoga Allah SWT mengampuni segala dosa mereka, jadikanlah kuburan mereka taman selayaknya taman-taman surga-Mu, jauhkan mereka dari siksa dan adzb-Mu ya Allah serta tempatkanlah mereka selalu di surga-adzb-Mu.

6. Seluruh pengurus yayasan yatim piatu Daarunnas yang telah mengasuh dan membimbing dengan sabar sehingga penulis dapat menyelesaikan dan meraih pendidikan Perguruan Tinggi yang telah dicita-citakan semenjak kecil.

(8)

iv

Khususnya buat kakak Oman dan kakak Amamah yang telah memberikan sumbangsih besar buat penulis.

8. Teman-teman THC angkatan 2010. Khoirunnisa, Ernik Sulistiawati, Afwan

al-Mutha‟ali, Januri, Shalahuddin al-Faruqi dan semua teman-teman yang

tidak bisa penulis cantumkan satu persatu terimakasih torehan memori yang telah kalian ukir, semoga persahabatan yang kita ukir bukan tetesan embun yang mudah hilang.

9. Teman-teman HMB (Himpunan Mahasiswa Banten) yang dengan gaya khasnya memberikan support dan membantu penulis dalam penyusunan skripsi semoga persahabatan yang telah terjalin akan tetap terjaga.

10.Terakhir pada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, semoga amal baik kalian diterima dan dibalas Allah SWT. teriring ucapan jazakumullah khairan katsiran.

Seberapa maksimal pun penulis mengerjakan skripsi ini tentu tak akan luput dari kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran konstruktif dari mereka yang sudi membaca skripsi ini amat penulis harapkan untuk perbaikan selanjutnya. Semoga karya yang kecil ini bisa bermanfaat bagi semua.

Ciputat, 10 April 2014 Penulis

(9)

v

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

PEDOMAN TRANSLITERASI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Pembatasan Masalah ... 6

D. Perumusan Masalah ... 6

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

F. Tinjauan Pustaka ... 8

G. Metodologi Penelitian ... 10

H. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II PENGERTIAN SEPUTAR SÛRAH AL-MÂ’ÛN ... 12

A. Teks, Terjemah dan Kata Kunci Penting ... 14

B. Tafsir ... 14

1. Asbab an-Nuzul ... 15

2. Munasabah ... 17

3. Gambaran Umum ... 19

4. Tafsir ... 19

a. Mendustakan agama ... 20

(10)

vi

c. Tidak menganjurkan memberi makan orang miskin .... 21

d. Kecelakaan bagi orang-orang yang shalat... 21

e. Lalai terhadap shalatnya ... 21

f. Riya ... 22

g. Enggan memberikan bantuan ... 22

5. Terma yatim ... 35

BAB III NILAI DALAM AL-QUR’ÂN ... 36

A. Nilai ... 37

B. Hubungan nilai dan pesan al-Qur‟ân... 47

BAB IV NILAI-NILAI SOSIAL SÛRAH AL-MÂ’ÛN ... 48

A. Pentingnya memahami agama dengan benar ... 54

B. Pentingnya penanganan dan pengelolaan anak yatim ... 57

C. Menyantuni fakir miskin ... 59

D. Shalat parameter keimanan yang mendalam ... 68

E. Tolong menolong ... 77

BAB V PENUTUP ... 78

A. Kesimpulan ... 79

B. Saran ... 79

(11)

vii

berpedoman pada buku panduan penulisan karya ilmiah, skripsi, tesis, dan disertasi yang disusun oleh tim penulis CeQda UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terbitan Tahun 2007.

Konsonan

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا a tidak dilambangkan

ب b be

ت t te

ث ts te dan es

ج j je

ح h h dengan garis bawah

خ kh ka dan ha

د d de

ذ dz de dan zet

ر r er

ز z zet

س s es

ش sy es dan ye

ص s es dengan garis bawah

(12)

viii

ط t te dengan garis bawah

ظ z zet dengan garis bawah

ع „ koma terbalik keatas, menghadap kekanan

غ gh ge dan ha

ف f f

ق q ki

ك k ka

ل l el

م m em

ن n en

و w ye

ه h a

ء , apostrof

y ye

Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vocal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih aksaranya adalah sebagai berikut :

TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan

a Fathah

i Kasrah

(13)

ix

_______ ai a dan i

_______ au a dan u

Vokal Panjang(Madd)

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut :

TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan

ـــــ

â a dengan topi diatas

ـــــ

î i dengan topi diatas

ــــــ

û u dengan topi diatas

Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara arab dilambangkan dengan huruf, yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /i/ ,baik diikuti oleh huruf

Syamsiyah maupun Qamariyah. Contoh :al-rijal bukan ar-rijal, al-diwan bukan

ad-diwan.

Syaddah (Tashdid).

(14)

x

sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang secara lisan berbunyi ad-daruurah, tidak ditulis “ad-darurah”, melainkan“al-darurah”,

demikian seterusnya.

Ta Marbutah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbutah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialih aksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbutah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbutah tersebut diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebut dialih aksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).

Contoh :

No Kata Arab AlihAksara

1 tarîqah

2 al-jâmi‟ah al-islâmiyyah

3 Wahdat al-wujud

Huruf kapital

(15)

1

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur‟ân merupakan kitab suci yang memberikan petunjuk kepada

jalan yang lebih lurus, memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh. al-Qur‟ân turun dengan membawa segala kebenaran.1 al-Qur‟ân juga sebagai pedoman manusia dalam menata kehidupan mereka agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Agar fungsi tersebut dapat terealisasikan oleh manusia, maka

al-Qur‟ân datang dengan petunjuk-petunjuk, keterangan-keterangan,

aturan-aturan, prinsip-prinsip, dan konsep-konsep, baik yang bersifat global maupun yang terperinci, yang eksplisit maupun yang implisit, dalam berbagai persoalan dan bidang kehidupan.

Ironisnya, tanpa kita sadari al-Qur‟ân bersama ayat-ayatnya seringkali lebih kita jadikan sebagai hiasan dinding belaka dan menjadi lembaran-lembaran tidak bermakna. Padahal di hadapan kita banyak sekali problem yang sudah mengarah pada titik akut dan membutuhkan penyelesain yang bersifat segera. al-Qur‟ân yang menyebut dirinya sebagai petunjuk bagi manusia (hudan li al-nâs) menjadi kabur bersama arogansi manusia.

Agama dan seperangkat doktrin sucinya diturunkan hanya untuk kemaslahatan manusia. Artinya, transformasi dan aktualisasi nilai-nilai dalam

1

(16)

2

beribadah menuntut kesalehan ritual dan mengamalkannya dalam bentuk kesalehan yang aktual, yaitu bentuk kesalehan yang selain menumbuhsuburkan iman dan takwa, juga sebagai penyemai benih-benih tenggang rasa yang akan melahirkan kesetiakawanan dengan misi utama tegaknya wahdah al-aqîdah dengan pendekatan sistem kemasyarakatan pada

wahdah al-gâyah (persamaan tujuan) yang selanjutnya akan melahirkan

wahdah al-syu‟ûr (persamaan rasa). Individu dalam komunitas sosial seperti ini akan lebih banyak memberi manfaat dari pada menuntut dan menghujat, lebih banyak berkorban dari pada menerima pertolongan orang lain, lebih banyak menebar kebajikan dari pada menebar fitnah dan permusuhan.2

Agama sebagai jalan hidup manusia tentunya harus mampu memenuhi kebutuhan, baik yang bersifat material maupun yang bersifat spiritual. Itu artinya disamping mengajarkan hubungan manusia dengan alam sekitarnya, agama juga dituntut mengajari manusia bagaimana cara melakukan hubungan dengan Allah SWT. hubungan dengan Allah SWT inilah yang disebut dengan sisi batin agama atau spiritualitas agama.3

Di dalam Islam, manusia adalah sentral sasaran ajarannya, baik hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan antar sesama manusia, dan antar manusia dengan alam. Yang paling komplek adalah hubungan nomor dua, yaitu hubungan antar sesama manusia. Untuk itu, Islam mengajarkan konsep-konsep mengenai kedudukan, hak dan kewajiban, serta tanggung

2 Robitoh Widi Astuti, “Pendusta Agama dalam al

-Qur‟ân: studi atas sûrah al -Mâ‟ûn,”(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009, h. 1-2.

3

(17)

jawab manusia. Apa yang dilakukan oleh manusia bukan saja mempunyai nilai dan konsekuensi di dunia, namun juga sekaligus di akhirat kelak.4

Untuk menciptakan hubungan harmonis dengan Tuhannya, manusia dituntut untuk dapat benar-benar memahami dan menjiwai makna dari pengabdiannya. Suatu pengabdian yang dibangun bukan atas dasar sekedar rasa takut akan siksaan, sekedar menggugurkan kewajiban, tetapi pengabdian

yang dibangun atas dasar kebutuhan manusia akan “kehadiran” Allah dalam

hatinya.

Permasalahan yang kemudian muncul adalah, apakah orang yang saleh secara ritual-spiritual (dimensi vertikal) benar-benar dapat memaknai arti dari ibadahnya, ataukah hanya sekedar ibadah fisik yang tanpa makna?. Dan apakah kesalehan ritual tersebut juga diiringi dengan kesalehan sosial (dimensi horizontal), sehingga terketuk rasa prihatinnya terhadap umat yang patut mendapat uluran tangan?. Jika tidak, maka ada yang salah dalam memahami ajaran agama.5

Akan tetapi, itulah realita yang terjadi dalam kehidupan kita. Ketidak pedulian terhadap sesama sering kita temukan dalam kehidupan masyarakat, acuh terhadap problematika kehidupan yang dialami kaum lemah khususnya anak yatim yang sangat membutuhkan perhatian, mengingat mereka sebagai generasi penerus bangsa mempunyai posisi yang strategis dalam estafet

perjuangan da‟wah Islam dan perjuangan bangsa, keberadaannya merupakan

aset yang tidak dapat diabaikan begitu saja.

4

A. Qodry Azizy, Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam; Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 160.

5

(18)

4

Ketidak perdulian terhadap kaum lemah masih sangat melekat oleh sebagian orang, mereka hanya memikirkan dirinya sendiri, enggan untuk mendonasikan sebagian hartanya kepada orang yang membutuhkan, mereka lupa bahwasannya setiap harta yang dimilikinya merupakan titipan sementara dari Allah SWT dan dari harta tersebut terdapat hak-hak fakir miskin.

Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan interaksi sosial dengan manusia lain. Interaksi sosial bukan saja hanya dengan menjalin hubungan kemasyarakatan lebih dari itu diperlukan untuk saling perduli terhadap sesama, saling membantu, tidak segan untuk menolong dan menolong orang lain tidak melihat dari strata sosialnya. Dalam al-Qur‟ân pun ditegaskan bahwa kita diharuskan untuk saling tolong menolong terhadap sesama namun dinamikanya berbeda masih banyak orang-orang yang mengabaikan perintah tersebut.

Sebagaimana diimpikan oleh banyak orang bahwa untuk menanggapi persoalan umat, sudah saatnya al-Qur‟ân dan al-Sunnah dijadikan sebagai jawaban atas persoalan umat, al-Qur‟ân sejak semula menegaskan bahwa perlunya pembinaan kualitas manusia di kalangan umat Islam melalui

kreativitas berfikir dan berkarya secara Qur‟ani.

Penataan kualitas umat tentu saja harus dimulai dari kualitas diri yang unggul (insân kâmil),yakni keterpaduan antara iman, ilmu, dan amal. Beriman tidaklah identik dengan pengucapan bentuk rutinisme keagamaan yang tidak mempunyai pantulan dalam kehidupan masyarakat. 6

6

(19)

Demikian pula amal saleh tidak identik dengan bentuk lahiriah keagamaan semata, tetapi seberapa jauh amal itu dapat mengarahkan pelakunya ke dalam kecenderungan individu yang selalu baik dan benar dalam segala tindakan sosialnya sehari-hari, terutama demi mencapai tujuan-tujuan sosial.7

Tindakan menghardik anak yatim, tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, lalai terhadap shalatnya, riya, enggan memberikan bantuan merupakan sifat-sifat rendah yang tengah dibahas dalam sûrah pendek Sûrah al-Mâ‟ûn ini merupakan tanda-tanda kekufuran dan kesia-siaan pada siapapun yang memilikinya. Semua sifat atau karekteristik itu merupakan cabang dari penolakan pada (kebenaran) hari akhirat yakni Hari Pembalasan atau Perhitungan. 8

Sûrah Mâ‟ûn ini diawali dengan kalimat Tanya untuk menarik perhatian pembacanya. Kemudian Allah sendiri yang menjawab pertanyaan tersebut satu per satu. Tujuannya ialah agar pembaca benar-benar memperhatikan dan meresapi makna yang terkandung di dalamnya. Biasanya setiap ayat yang didahului dengan pertanyaan mengandung nilai yang sangat penting untuk segera dipahami dan sekaligus diamalkan.9

Pada akhirnya, penulis merasa tertarik untuk meneliti dan mengkaji

al-Qur‟ân sûrah al-Mâ‟ûn guna untuk menggalih nilai-nilai yang terkandung

7

Umar Syihab, Kontekstualisasi al-Qur‟ân: Kajian Tematik atas ayat-ayat Hukum dalam al-Qur‟ân, h. 42.

8

Allamah Kamal Faqih Imani, Tafsîr Nûrul Qur‟ân: Sebuah Tafsir Sederhana Menuju

Cahaya al-Qur‟ân, vol. XX ( Jakarta: al-Huda, 2006), h. 355.

9

T.H. Thalhas, Tafsîr pase: Kajian Sûrah al-Fâtihah dan Sûrah-sûrah dalam Juz „amma

(20)

6

dalam sûrah tersebut agar dapat diaplikasikan dalam kehidupan. Penulis akan membahasnya dengan lebih dalam dan mendetail.

B. Identifikasi Masalah

1. Apa makna mendustakan agama?

2. Sejauhmana perlakuan yang dianggap meninggalkan anak yatim? 3. Apa batasan tidak menggalakkan pemberian kepada fakir miskin? 4. Apa kaitan riya dengan shalat?

5. Apa nilai-nilai sosial yang terkandung dalam sûrah al-Mâ‟ûn?

C. Pembatasan Masalah

Dari sekian banyak masalah yang dipaparkan karena keterbatasan penulis dalam pengalaman menulis disamping keterbatasan waktu maka penulis membatasi pembahasan skripsi ini pada masalah yang terakhir yaitu apa saja nilai-nilai sosial yang bisa digali dari sûrah al-Mâ‟ûn?

D. Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah skripsi ini adalah “Nilai Sosial dalam Sûrah al-Mâ‟ûn: Penafsiran Modern Tentang Anak Yatim”?

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mempunyai beberapa tujuan

terkait pengambilan tema “Nilai Sosial Dalam Sûrah al-Mâ‟ûn: Penafsiran

(21)

1. Di tengah hedonisme kehidupan masyarakat lewat karya ini semoga dapat menjadi alat penggugah kesadaran antar sesama manusia untuk menanamkan sifat kepedulian sosial dengan memperhatikan nasib kaum lemah khususnya anak yatim

2. Manfaatnya untuk menambah Khazanah keilmuan yang ada di Fakultas Ushuluddin, khususnya dalam bidang Tafsir Hadis

3. Untuk memenuhi tugas akhir perkuliahan jenjang strata I (S I) di jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

F. Tinjauan Pustaka

Mengenai tema ini sudah ada beberapa yang membahasnya. Berikut ini diantara para peneliti yang membahas kajian ini sejauh penulis ketahui, diataranya adalah:

Hasil penelitian skripsi yang dilakukan oleh Robitoh Widi Astuti yang berjudul “Pendusta Agama dalam al-Qur‟ân” studi atas sûrah al-Mâ‟ûn”

Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin Universitas Sunan Kalijaga Yogyakarta Tahun 2009. Skripsi tersebut menjelaskan tentang pengertian pendusta agama dan perbuatan-perbuatan yang menjadi karakteristik pendusta agama.

Hasil penelitian skripsi yang dilakukan oleh Nur Baiti yang berjudul

(22)

8

orang munafik dalam sûrat al-Mâ‟ûn yaitu orang-orang yang tidak perduli terhadap anak yatim dan orang miskin padahal mereka mengetahui bahwasannya kita diperintahkan untuk berbuat baik terhadap mereka.

Hasil penelitian skripsi yang dilakukan oleh Tosin yang berjudul

“Pemeliharaan Anak Yatim dalam al-Qur‟ân” Jurusan Tafsir Hadis Syarif Hidayatullah Jakagrta Tahun 2006. Skripsi tersebut menjelaskan tentang ayat-ayat al-Qur‟an yang berkaitan tentang Pemeliharaan anak yatim dan penulis hanya membahas tentang jaminan bagi orang yang mengasuh anak yatim, larangan memakan harta anak yatim, dan hak wali atas harta anak yatim.

Adapun dalam penelitian ini, buku dan skripsi tersebut yang membedakan dengan penelitian ini, penulis tidak menemukan pembahasan secara khusus tentang nilai-nilai sosial yang terkandung dalam sûrah al-Mâ‟ûn. Agar tidak terjadi duplikasi, penulis ingin mengungkapkan, menganalisa dan mengaplikasikan Nilai Sosial Dalam Sûrah al-Mâ‟ûn: Penafsiran Modern Tentang Anak Yatim

G. Metodologi Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis membagi 3 (tiga) bagian antara lain: 1. Metode Pengumpulan Data

(23)

Sedangkan sumber sekunder yaitu Tafsîr al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟ân,10 Tafsîr al-Azhar,11 Tafsîr al-Qur‟ân Tematik: al-Qur‟ân dan Pemberdayaan Kaum Duafâ‟,12

Tafsîr al-Qur‟ân Tematik: Tanggung jawab sosial,13 Tafsîr al-Marâgî,14 Tafsîr juz „Amma as-Siraju „L Wahhaj (Terang Cahaya Juz „Amma),15 Tafsîr al-Qur‟ânul Karîm pendekatan Syaltut Dalam Menggali Esensi al-Qur‟ân,16 buku Bunga Rampai Islam dan Kesejahteraan Sosial.17 dan buku lainnya yang berhubungan dengan pokok pembahasan.

2. Metode Pembahasan

Penelitian ini dalam metode penafsiran, penulis menggunakan metode tafsir tematik yaitu berusaha mencari jawaban al-Qur‟ân tentang suatu masalah tertentu dengan jalan menghimpun seluruh ayat yang dimaksud, termasuk dari munasabah ayat, asbab al-Nuzul ayat dan berdasarkan pendapat riwayat dalam metode pembahasan, penulis menggunakan metode Deskriptif, analisis, yaitu mendeskripsikan tentang Nilai Sosial Dalam Sûrah al-Mâ‟ûn: Penafsiran Modern Tentang Anak

10

M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟ân, vol..

15 ( Jakarta : Lentera Hati, 2002).

11Haji „Abdulmalik „Abdulkarîm Amrullah,

Tafsîr al-Azhar, vol. XXX (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982).

12

Departemen Agama, Tafsîr al-Qur‟ân Tematik: al-Qur‟ân dan Pemberdayaan Kaum dhu‟afâ‟ (Jakarta : Departemen Agama, 2008).

13

Departemen Agama, Tafsîr al-Qur‟ân Tematik: Tanggun jawab Sosial (Jakarta: Departemen Agama, 2008).

14

Ahmad Mustafâ al-Marâgî, Tafsîr al-Marâgî. Penerjemah Bahrun Abu bakar dkk, vol. XXX (Semarang: Toha Putra Semarang, 1986).

15 M. Yunan Yusuf, Tafsîr juz „Amma as

-Siraju „L Wahhaj: Terang Cahaya Juz „Amma,

vol. XXX(Jakarta: Penamadani, 2010). 16

Mahmud Syaltût, Tafsîr al-Qur‟ânul Karim pendekatan Syaltut Dalam Menggali Esensi al-Qur‟ân (Diponegoro: Diponegoro, 1990).

17

(24)

10

Yatim dan menganalisa penafsiran dari berbagai mufassir, tentang sûrah

al-Mâ‟ûn, kemudian diambil suatu kesimpulan dengan pemahaman yang

komprehensif dan diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat. 3. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan, penulis menggunakan buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta). Jakarta: CeQD, 2007.18

H. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terdiri dari empat bab, Dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab Pertama; Pendahuluan, membahas latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan Pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

Bab Kedua; Teks, Terjemah dan Kata Kunci Penting, Mendiskusikan

Asbab al-Nuzul, Munasabah, Gambaran umum, tafsir terdiri dari: mendustakan agama, menghardik anak yatim, tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, kecelakaan bagi orang-orang yang shalat, lalai terhadap shalatnya, riya, enggan memberikan bantuan, terma yatim.

Bab Ketiga; nilai dalam al-Qur‟ân terdiri dari: nilai, hubungan nilai dengan pesan al-Qur‟ân.

18

(25)

Bab Keempat; nilai-nilai sosial surah al-Mâ‟ûn terdiri dari: pentingnya memahami agama dengan benar, pentingnya penanganan dan pengelolaan anak yatim, menyantuni fakir miskin, shalat parameter keimanan yang mendalam, tolong-menolong.

(26)

12

BAB II

PENGERTIAN SEPUTAR SÛRAH AL-MÂ’ÛN

A. Teks, Terjemah dan Kata Kunci Penting

Al-Qur‟ân sûrah al- Mâ‟ûn [107]: 1-7 :



















































































Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?. Maka Itulah orang yang menghardik anak yatim. dan tidak mendorong memberi Makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap shalatnya. yang berbuat riya. dan enggan (memberikan) bantuan. (Q.S. al- Mâ‟ûn: 1-7).

Kata ( كي ) di dalam Q.S. al-Mâ‟ûn ayat 1 populer diartikan dengan

“(orang) yang mendustakan agama”, atau dengan kata lain “pendusta agama”.

Mendustakan secara bahasa berarti menganggap bohong.19 menyangkal adanya pembalasan karena mengingkari pembangkitan.20 mendustakan pahala dan siksa karena tidak menaati Allah.21

Kata عدي yadu‟-„u mengandung arti menghardik dengan rasa benci yang amat sangat. Sikap ini muncul dari orang-orang yang pembenci, sombong, kikir dan bakhil. Orang yang tidak mau sedikitpun mengasuh dan

19

W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1985), h. 64.

20

Hasanain Muhammad Makhluf, Kamus al-Qur‟ân. Penerjemah Hery Noer Aly

(Bandung: Gema Risalah Press Bandung, 1987), h. 400. 21

(27)

memberi bantuan kepada anak yatim. Kalau ada anak yatim yang datang kepadanya, bukan saja tidak diperdulikan, tetapi juga diusir mentah-mentah.22

Kata ( ميتيلا ) al-yatîm terambil dari kata

متي

yutm yang berarti

kesendirian atau dapat diartikan dengan anak yang belum dewasa yang ayahnya telah wafat. Kematian ayah, bagi seorang yang belum dewasa, menjadikannya kehilangan pelindung, ia seakan-akan menjadi sendirian, sebatang kara, karena itu ia dinamai yatim.23

kata ( ضحي) “yahuddu” (menganjurkan) mengisyaratkan bahwa mereka yang tidak memilki kelebihan apapun tetap dituntut paling sedikit

berperan sebagai “penganjur pemberi pangan”..24

kata ) يكسم) diartikan dengan serba kekurangan (berpenghasilan sangat rendah). Maka yang disebut miskin adalah kelompok orang yang sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak. Oleh karena itu mereka harus diperhatikan dan ditolong bukan sebaliknya.25

Kata ) يلصم ) dapat diartikan dengan shalat yang tidak sempurna, tidak

khusyu‟, tidak pula memperhatikan syarat dan rukun-rukunnya, atau tidak

menghayati arti dan tujuan hakiki dari ibadah tersebut.26

22

M. Yunan Yusuf, Tafsîr juz „Amma as-Siraju „L Wahhaj: Terang Cahaya Juz „Amma,

vol. XXX, h. 779-780. 23

M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟ân, vol.

15, h. 547. 24

Shihab, Tafsîr al-Mishbah, h. 547. 25

Departemen Agama, Tafsîr al-Qur‟ân Tematik: al-Qur‟ân dan Pemberdayaan Kaum Dhuafâ‟, h. 46-47.

26

M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟ân, vol.

(28)

14

Kata ) ه س (dapat diartikan dengan orang-orang yang meninggalkan shalat, dan dapat diartikan dengan orang-orang yang bershalat yang tidak memahami dan memiliki apa rahasia ucapan dan perbuatan yang mereka lakukan itu.27

Kata ( وءا ي) yurâ‟ûn terambil dari kata ( ا ) ra‟â yang berarti

melihat. Dari akar kata yang sama lahir kata riyâ‟ yakni melakukan pekerjaannya sambil melihat manusia, sehingga jika tak ada yang melihatnya mereka tidak melakukannya.28

kata ع لا diartikan barang-barang kecil atau kebutuhan sehari-hari yang berguna.29

B. Tafsir

1. Asbab an-Nuzul

Riwayat yang menyebutkan tentang latar belakang turun sûrah al-

Mâ‟ûn yang mulia ini berkaitan dengan orang-orang munafik, seperti

dalam riwayat berikut:

Diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir dari Tharif bin Abi Thalhah

yang bersumber dari Ibnu „Abbâs yaitu sehubungan dengan firman-Nya :

“Maka neraka Weil lah bagi orang-orang yang shalat.” Ibnu „Abbâs telah

menceritakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang munafik karena mereka selalu memamerkan shalat mereka di hadapan

27

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, al-Bayân: Tafsîr Penjelas al-Qur‟ânul Karîm (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002), h. 1617.

28

M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishba: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟ân,vol.

15, h. 550-551. 29

(29)

orang-orang mukmin secara riya, sewaktu orang-orang mukmin berada di antara mereka. Tetapi jika orang-orang mukmin tidak ada, mereka meninggalkan shalat, juga mereka tidak mau memberikan pinjaman barang-barang miliknya kepada orang-orang mukmin.30

2. Munasabah antar sûrah:

Dalam kandungan sûrah Quraisy kita dapatkan perintah untuk

ikhlas beribadah kepada Allah SWT yang telah mendirikan ka‟bah sebagai

simbol pemersatu arah sholat. Yaitu tuhan yang disembah itu adalah Allah yang memberi makan orang-orang yang lapar dan memberi mereka perasaan aman dan damai bukan seperti tuhan-tuhan berhala yang mereka sembah yang tidak bisa memberi manfaat maupun mudharat bagi penyembahnya dalam sûrah al- Mâ‟ûn Allah memberi stigma kepada orang-orang yang tidak peduli kepada anak yatim dan tidak mau memberi makan orang miskin karena mereka hanya mengerjakan sholat mengharapkan pujian hingga mereka diancam api neraka wail.31

Dan ada pula yang menyebutkan bahwa munasabahnya yakni : Anak-anak yatim dan faqir miskin adalah bagian dari kelompok masyarakat yang sangat dicintai oleh Rasulullah SWT, bahkan dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa beliau (Rasulullah) sangat dekat dengan mereka. Perhatian terhadap mereka sangat diutamakan, sebagaimana tersebut dalam sebuah ayat :

30 M. Yunan Yusuf, Tafsîr Juz „Amma

as-Siraju‟l Wahhaj: Terang Cahaya Juz „Amma,

vol. XXX, h. 777. 31

(30)

16

































Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah: mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, Maka mereka adalah saudaramu. (Q.S. al-Baqarah: 220).

Shalat adalah ibadah yang paling utama yang diperintahkan dalam syari‟at Islam. Dengan melaksanakannya secara baik dan benar akan menimbulkan pengaruh positif yang sangat besar dalam aspek kehidupan. Di akhirat pun merupakan amaliah yang paling pertama memperoleh penilaian dan menjadi parameter semua amal perbuatan. Agar kita bisa memahami nilai-nilai yang terkandung di dalam shalat sehingga timbul implikasi positif, hendaknya kita mengkaji wahyu Allah di dalam al-Qur‟ân.































































Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-kitab (al- Qur‟ân) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Ankabût : 45).

Sebaliknya essensi shalat yang sebenarnya tidak akan tercapai bilamana kita enggan mempelajari dan mendalami wahyu Allah dalam

al-Qur‟ân. Sebagaimana digambarkan karakter orang-orang munafik yang

(31)

Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. (Q.S. al-Nisâ‟: 142).32

3. Gambaran Umum

Nama surah al-mâ‟ûn tidak tunggal, tetapi sangat beragam. Ada yang menamainya sûrah ini dengan sûrah al-Dîn, sûrah al-Takdzîb, surah al-Yatîm,

sûrah Ara‟aita, sûrah Ara‟aita alladzî, dan yang paling populer adalah sûrah

al-mâ‟ûn.33

Nama sûrah al-mâ‟ûn ini diambil dari kata al-mâ‟ûn yang terdapat pada ayat ke 7 yang berarti barang-barang yang berguna.34

Sûrah ini menurut mayoritas ulama adalah sûrah Makiyyah.35 Sebagian menyatakan Madaniyyah, dan ada lagi yang berpendapat bahwa ayat pertama sampai dengan ayat ketiga turun di Mekkah dan sisanya di Madinah. Ini dengan alasan bahwa yang dikecam oleh ayat keempat dan seterusnya adalah orang-orang munafik yang baru dikenal keberadaannya setelah hijrah Nabi Muhammad saw ke Madinah.36

Sûrah al-Mâ‟ûn diturunan kepada Nabi Muhammad SAW Ketika beliau masih bertempat tinggal di Mekkah. Demikian pendapat banyak ulama. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa awal sûrah ini turun di Mekkah,

32

T.H. Thalhas, Tafsîr pase: Kajian Sûrah al-Fâtihah dan Sûrah-sûrah dalam Juz

„amma, h. 134-135. 33

M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟ân, vol.

15 ( Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 543. 34

Darwis Abu Ubaidah, Tafsîr al-Asâs, vol. 12 (Jakarta: al-Kautsar, 2012), h. 408. 35

Surah Makiyyah adalah wahyu yang diturunkan sebelum hijrah, meskipun itu turunnya di Makkah ataupun Madinah.

36

M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟ân,vol.

(32)

18

sebelum Nabi saw. Berhijrah, sedangkan akhirnya yang berbicara tentang mereka yang riya (tidak ikhlas) dalam shalatnya turun di Madinah.37

Jumlah ayat sûrah ini menurut Ibnu Abbas, ada 7, jumlah katanya ada 25 dan jumlah hurufnya ada 111 huruf.38 Dan ada juga yang mengatakan bahwa jumlah ayatnya ada 7.39 Dan jumlah ayat-ayatnya menurut cara perhitungan mayoritas ulama sebanyak 6 ayat.40

Penulis tidak menemukan alasan-alasan kenapa sûrah al-Mâ‟ûn dihitung tujuh ayat atau enam ayat. Sehingga bila ada yang bersikukuh bahwa ayat di dalam sûrah al-Mâ‟ûn ini berjumlah enam, maka tidak harus dianggap melawan al-Qur‟ân. Dan bagi yang menyatakan tujuh ayat, tidak harus dianggap mengada-ada. Yang terbaik adalah saling menghormati, karena

al-Qur‟ân sendiri tidak pernah menyatakan soal jumlah ayat di dalam sûrah al-

Mâ‟ûn ini.

Urgensi Mengetahui Sûrah al-Mâ’ûn

1. Kecaman yang sangat keras ditujukan kepada orang-orang yang dikatakan mendustakan agama. Yakni orang-orang yang tidak perduli terhadap kehidupan anak yatim dan orang miskin. Anak yatim dan orang-orang miskin karena mereka adalah anggota masyarakat yang harus mendapat santunan bantuan agar mereka bisa merasakan adanya ukhuwah islamiyah walaupun mereka adalah bagian dari masyaraka lemah dengan

37

M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟ân,vol.

15, h. 543.

38 M. Yunan Yusuf, Tafsîr juz „Amma as

-Siraju „L Wahhaj: Terang Cahaya Juz „Amma,

vol. XXX(Jakarta: Penamadani, 2010), h. 777. 39

Ibrâhîm Alî as-Sayyid Alî „Isa, hadis-hadis dan atsar yang berkaitan dengan Keutamaan sûrah-sûrah al-Qur‟ân (Jakarta: Sahara 2010), h. 427.

40

M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟ân, vol..

(33)

ukhuwah yang kuat kegiatan tatanan masyarakat berjalan secara berkeadilan dan sejahtera.41

2. sûrah ini mengandung ajakan supaya sholat dimana Syarat pokok dan tanda utama dari pemenuhan hakikat shalat adalah keikhlasan melakukannya demi karena Allah yang dimana maknanya tali kasih sayang kepada sesama makhluk sehingga merasakan kebutuhan kaum lemah yang membutuhkan dengan demikian ibadah ritual harus menghasilkan dampak sosial. Lupa dalam shalat yang menyangkut kegiatan formalnya seperti bilangan rakaat, atau bacaannya, dapat ditoleransi, tetapi lengah terhadap substansinya akan mengundang murka Allah.42

4. Tafsir

a. Mendustakan agama

Kata al-dîn dalam Q.S. al-Mâ‟ûn ayat 1 sangat populer diartikan dengan agama, tetapi dapat juga berarti pembalasan. Kemudian jika makna kedua ini dikaitkan dengan sikap mereka yang enggan membantu anak yatim atau orang miskin karena menduga bahwa bantuannya itu tidak menghasilkan apa-apa, maka berarti bahwa pada hakikatnya sikap mereka itu adalah sikap orang-orang yang tidak percaya akan adanya (hari) pembalasan. Sikap yang demikian merupakan pengingkaran serta pendustaan al-dîn. Bukankah yang percaya dan meyakini bahwa kalaulah

41 M. Yunan Yusuf, Tafsîr juz „Amma as

-Siraju „L Wahhaj: Terang Cahaya Juz „Amma,

vol. XXX,h.786-787. 42

M. Quraish Shihab, al-Lubâb makna, tujuan, Dan Pelajaran dari al-Fâtihah dan juz

(34)

20

bantuan yang diberikannya tidak menghasilkan sesuatu di dunia, namun yang pasti ganjaran serta balasan perbuatannya itu akan diperoleh di akhirat kelak.43

b. Menghardik anak yatim

Menurut Muhammad „Abduh, bahwa “yadu‟u al-yatîm”,

menghardik anak yatim yakni mengusir anak yatim, atau mengeluarkan ucapan-ucapan keras ketika ia datang kepadanya meminta sesuatu yang diperlukan semata-mata karena meremehkan kondisinya yang lemah dan tiadanya orang tua yang mampu membelanya dan memenuhi keperluannya. Juga terdorong oleh kesombongannya karena menganggap dirinya lebih kuat dan lebih mulia. Sedangkan menurut kebiasaan, kondisi seorang anak yatim merupakan gambaran tentang kelemahan dan keperluan kepada pertolongan. Maka siapa saja yang menghinanya, maka ia telah menghina setiap manusia yang lemah, dan meremehkan setiap yang memerlukan pertolongan.44

c. Tidak menganjurkan memberi makan orang miskin

Orang yang tidak mau mengajak orang supaya memberi makan orang miskin adalah orang yang termasuk mendustakan agama. Karena dia mengaku menyembah Tuhan, padahal hamba Tuhan tidak diberinya pertolongan dan tidak diperdulikannya. Dengan ayat ini jelaslah bahwa sesama manusia harus saling ajak- mengajak supaya menolong anak

43

M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟ân, vol.

15, h. 546. 44

(35)

yatim dan fakir miskin itu menjadi perasaan bersama, menjadi budipekerti yang umum.

d. Kecelakaan bagi orang-orang yang shalat

Orang-orang yang shalat, yang secara lahiriah melaksanakan

gerakan dan ucapan yang mereka namakan “shalat”. Sementara mereka

tetap lalai akan shalat mereka. Yakni, hati mereka lalai akan apa yang mereka baca dan mereka kerjakan.45

e. Lalai terhadap shalatnya

Orang yang melalaikan shalat adalah orang yang mengerjakan shalat, akan tetapi hatinya menuju kepada sesuatu yang lain, sehingga pada akhirnya ia melalaikan tujuan pokoknya.46

f. Riya

Orang yang bersifat riya kadang-kadang dia bermuka manis kepada anak yatim. Kadang-kadang dia menganjurkan memberi makan fakir miskin, kadang-kadang kelihatan dia khusyu‟ sembahyang tetapi semuanya itu dikerjakannya karen riya. Yaitu karena ingin dilihat, dijadikan reklame. Karena ingin dipuji orang. Hidupnya penuh dengan kebohongan dan kepalsuan.47

g. Enggan memberikan bantuan

Melarang orang berbuat kebajikan karena tidak tergerak sedikitpun hatinya untuk membantu orang lain, untuk meringankan kesulitan orang

45

Syaikh Muhammad „Abduh, Tafsîr al-Qur‟ân al-Karîm (juz „Amma), h. 333.

46

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur‟an al-Karim Tafsir atas Surah-surah pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), h. 622.

47Haji „Abdulmalik „Abdulkarîm Amrullah,

(36)

22

lain. Dia menghalang-halangi kalau ada orang yang akan melakukan pertolongan tersebut. Dengan berbagai cara dan dalih dia berusaha agar pertolongan dan bantuan tidak terjadi. Dalam hatinya hanya ada kebencian terhadap orang-orang yang lemah dan melarat.48

5. Terma Yatim

Kata yatîm jamaknya aitâm atau yatâmâ dalam al-Qur‟ân disebut sebanyak 23 kali. Dalam bentuk mufrad sebanyak 8 kali, musannâ 2 kali, dan bentuk jamak sebanyak 14 kali.49

Anak yatim adalah anak yang tidak mempunyai ayah. Anak yang tidak mempunyai ayah adalah symbol dari kelemahan, karena tidak ada lagi yang memberinya nafkah, tidak ada lagi yang mendidiknya dan tidak ada tempat hidupnya bergantung. Inilah bentuk pertama dari orang-orang yang lemah.50

Ada dua persoalan penting yang dihadapi oleh anak-anak yatim yakni dimensi psikologis dan dimensi ekonomis. Secara psikologis, anak-anak yatim adalah anak-anak yang kehilangan orang tua, bapak dan ibu, yang memberikan perlindungan, rasa aman, cinta dan kasih sayang. Sementara secara ekonomis, anak-anak yatim adalah anak-anak yang kehilangan orang tua yang memberikan nafkah untuk kelangsungan hidup, kesehatan dan pendidikan. Anak-anak yatim dari kalangan kaum dhu‟afâ kehilangan dua-duanya sekaligus, kehilangan dimensi psikologis maupun dimensi ekonomis.

48 M. Yunan Yusuf, Tafsîr juz „Amma as

-Siraju „L Wahhaj: Terang Cahaya Juz „Amma,

vol. XXX. h. 781. 49

Departemen Agama, Tafsîr al-Qur‟ân Tematik: al-Qur‟ân dan Pemberdayaan Kaum Dhuafâ‟, h. 219.

50 M. Yunan Yusuf, Tafsîr juz „Amma

as-Siraju „L Wahhaj: Terang Cahaya Juz „Amma,

(37)

Sementara anak-anak yatim dari kalangan aghniyâ, yakni orang-orang berkecukupan secara materi, hanya kehilangan dimensi psikologis saja sedangkan dari segi ekonomis, mereka memiliki kekayaan peninggalan orang tua yang dapat menopang kehidupan selanjutnya. bagaimana al-Qur‟ân menegaskan keharusan orang beriman untuk memberikan perlindungan terhadap anak-anak yatim berkenaan dengan diri, kehormatan, harta dan hak-hak mereka, kelangsungan pendidikan mereka, serta masalah-masalah sosial yang muncul karena mereka kehilangan orang tua, sebelum mereka mencapai usia dewasa.51

Dalam permasalahan anak yatim. al-Qur‟ân mempunyai perhatian khusus terhadap anak yatim, karena kecilnya dan ketidakmampuannya untuk menjalankan kemaslahatan yang menjamin kebaikan hidupnya di masa depan. Dengan perhatian ini, umat dapat menghindarkan kejahatan bahaya yang mengepung mereka, yaitu mereka tidak mengecap pendidikan karena kehilangan orang tua yang mengasuh, mendidik dan memeliharanya.52

Perhatian ini tampak di dalam al-Qur‟ân semenjak tenggang waktu pertama wahyu dimulai, hingga tenggang waktu terakhir, yaitu ketika wahyu hampir selesai dan sempurna. Tampak di dalam salah satu sûrah, ketika wahyu turun kembali kepada Rasulullah saw. Setelah sekian lama Rasul menanti turunnya wahyu itu, sehingga terbetik di dalam hatinya bahwa Allah telah meninggalkan dan membiarkan beliau. Kemudian turunlah wahyu kepada beliau untuk menjelaskan, bahwa Allah memperhatikan dan tidak

51

PIC UIN Jakarta, Bunga Rampai Islam dan Kesejahteraan Sosial, h. 130. 52

(38)

24

meninggalkannya atau membiarkannya. Wahyu segera memantapkan keadaan itu di dalam diri beliau dan mengingatkannya akan perhatian Allah terhadapnya, sebelum masa kenabian, yaitu sewaktu beliau seorang yatim piatu yang sangat membutuhkan kasih sayang dan perlindungan:53

Sebagaimana dalam firamn-Nya:















Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu.(Q.S. al-Dluha [93]: 6).

Dengan demikain, sejak dini wahyu telah memberikan perasaan ke dalam hati beliau, bahwa pahitnya keyatiman yang beliau rasakan hendaknya menjadi pendorong kepada beliau untuk memberikan kasih sayang kepada anak yatim, memandangnya dengan mata kasih sayang dan melindungi serta memuliakannya. Beliau diminta untuk mensyukuri nikmat yang dilimpahkan oleh Allah kepada beliau, ketika Dia mendapatinya sebagai seorang yatim. lalu melindunginya. Nikmat semacam ini hendaknya beliau syukuri dengan memberikan kasih sayang kepada anak yatim, sebagaimana Allah telah memberikan nikmat kasih sayang kepada beliau ketika yatim.54

a. Beberapa Tuntunan al-Qur’ân menyangkut anak yatim

Tuntunan al-Qur‟ân menyangkut anak yatim, dari sisi waktu hadirnya tuntunan tersebut, dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah .55

53

Mahmud Syaltût, Tafsîr al-Qurânul Karîm pendekatan Syaltut Dalam Menggali Esensi al-Qur‟ân, h. 349.

54

Syaltût, Tafsîr al-Qurânul Karîm, h. 349. 55

(39)

Perlu diketahui bahwa periode Mekkah adalah periode peletakan dasar tuntunan agama dan uraian menyangkut akidah, sedang periode Madinah lebih banyak merupakan penerapan syariat agama, karena itu uraian-uraian pada periode Mekkah sangat esensial dan sangat penting untuk diperhatikan.56

Ayat pertama yang Nabi saw. Terima dalam konteks uraian tentang anak-anak yatim dan yang merupakan wahyu kesepuluh yang beliau terima adalah firmannya-Nya dalam sûrah al-Fajr [89]: 17, yang mengecam mereka yang tidak memberi perhatian terhadap anak-anak yatim:















.

sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim.

Allah telah menganugerahi mereka dengan harta benda yang banyak, tetapi mereka tidak mau melakukan kewajiban menolong anak yatim dan memperlakukan mereka dengan perlakuan yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa mereka telah terkena racun dunia.57

Setelah wahyu kesepuluh ini, wahyu tidak kunjung turun kepada Nabi saw. Namun, setelah selang beberapa waktu, wahyu kesebelas turun, yakni surah adh-Dhuha [93]: 9 yang merupakan tuntunan kedua yang berkaitan dengan anak-anak yatim.

56

M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟ân jilid 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2011), h.

182. 57

(40)

26

















.

Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?

Janganlah kamu berlaku sewenang-wenang terhadap anak yatim dengan menindas dan menghinanya. Tetapi angkatlah dirinya dengan budi pekerti yang santun dan didiklah ia dengan akhlak mulia, agar ia menjadi anggota masyarakat yang baik dan bermanfaat. Sehingga ia tidak akan menjadi sampah masyarakat yang menularkan penyakit pada lingkungannya.58

Selanjutnya, wahyu ketiga yang dalam konteks anak yatim adalah firman-Nya dalam Q.S. al-Balad [90]: 11-16.













.













.







.













.











.













.

Tetapi Dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. tahukah kamu Apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?. (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan. atau memberi Makan pada hari kelaparan,. (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat. atau kepada orang miskin yang sangat fakir.

Pada ayat-ayat selanjutnya Allah menjelaskan bahwa seharusnya mereka bersyukur atas segala karunia tersebut. Kemudian memilih jalan yang baik dan lebih mengutamakan jalan yang bisa mengantarkannya kepada kebahagiaan. Dengan demikian mereka bisa memanfaatkan kelebihan karunia nikmat tersebut untuk membebaskan budak-budak belian,

58

(41)

agar perbudakan bisa dihapuskan. Atau untuk menyantuni anak-anak yatim yang membutuhkan makanan dan pakaian karena ditinggal mati oleh orang tuanya. Atau memberi makan para fakir miskin yang tidak mampu lagi berusaha mencari sesuap nasi karena faktor ketuaan atau invalid.59

Wahyu berikut tentang anak yatim yang diterima Nabi saw. Di Mekkah adalah firman-Nya: (Q.S. al-An‟âm [6]: 152).



































































































.

dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu Berlaku adil, Kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.

Dan peringatan serupa ditemukan dalam (Q.S. al-Isrâ‟ [17]: 34).

























































dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.

59

(42)

28

Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim apabila kamu mengelola urusannya atau bermuamalat dengannya, sekalipun dengan perantaraan wali atau orang yang menerima wasiat darinya, kecuali dengan perlakuan yang sebaik-baiknya dalam memelihara harta dan mengembangkannya, serta lebih mementingkan kemaslahatan dan membelanjakan harta itu untuk kepentingan pendidikan dan pengajarannya. Dengan itu diharapkan akan dapat memperbaiki kehidupannya di dunia maupun di akhirat.60

Ar-Arsyud, adalah masa seseorang mencapai pengalaman dan pengetahuan. Untuk mencapai masa balignya, ada dua batasan, minimal jika dia telah bermimpi keluar mani yang merupakan permulaan umur dewasa, ketika itu ia menjadi kuat, sehingga keluar dari keadaannya sebagai anak yatim, atau ia termasuk safih (tidak sempurna akal) atau da‟if (lemah). Maksimal, adalah umur empat puluh tahun. Namun yang dimaksud di sini ialah yang pertama. Yaitu batas minimal, sebagimana dikatakan oleh

Asy-Sya‟bi, Malik dan lainnya hal itu biasanya antara umur 15 sampai 18

tahun.61

larangan “mendekati” semacam ini hanya ada dalam larangan tentang harta anak yatim dan dalam wasiat larangan mengerjakan perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Sedangkan selain dua masalah tersebut, larangan itu langsung ditujukan kepada perbuatan yang dimaksud, bahkan larangan menyekutukan Allah. Umpamanya: lâ tusyriku,

60

Ahmad Mustafâ al-Marâgî, Tafsîr al-Marâgî. Penerjemah Bahrun Abu bakar dkk, vol. XXX (Semarang: Toha Putra Semarang, 1986), h. 329.

61

(43)

lâ taqtulû aulâdakum, wa lâ taqtulû nafsal latî harramallâhu dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan tingkat perhatian Allah terhadap anak yatim dan perkaranya. menganiaya yatim setarap dengan melakukan perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.62

Namun demikian Allah swt memberikan pengecualian, yaitu apabila untuk pemeliharaan harta itu diperlukan biaya, atau dengan maksud untuk mengembangkan dan memberdayakannya, maka diperbolehkan bagi orang yang mengurus anak yatim untuk mengambilnya sebagian dengan cara yang wajar. Oleh sebab itu, diperlukan orang yang bertanggung jawab untuk mengurus harta anak yatim. Wali atau lembaga sangat diperlukan untuk mengurusi harta anak yatim dan hendaknya diawasi aktivitasnya oleh pemerintah, agar tidak terjadi penyalahgunaan atau penyelewengan terhadap harta anak yatim tersebut.63

Selanjutnya, sûrah al-Kahfi [18]: 82 berbicara tentang dua anak yatim yang dipelihara Allah harta peninggalan ayahnya, karena sang ayah merupakan orang saleh.64









































































































62

Mahmud Syaltût, Tafsîr al-Qur‟ânul Karîm pendekatan Syaltut Dalam Menggali Esensi al-Qur‟ân, h. 350.

63

Departemen Agama, Tafsîr al-Qur‟ân Tematik: al-Qur‟ân dan Pemberdayaan Kaum Dhuafâ‟, h. 227-228.

64

M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟ân jilid 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2011), h.

(44)

30

Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang Ayahnya adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya".

Perode Madinah. Tuntunan al-Qur‟ân dalam periode ini sangat rinci. Pada periode Madinah ditemukan juga penekanan tentang perlunya menjaga perasaan anak-anak yatim dan kaum lemah lainnya. Q.S. al-Nisâ‟ [4]: 8













































.

dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang baik

Dalam periode ini juga turun tuntunan kepada para wali atau pengurus harta anak yatim agar mengembangkan harta siapa pun yang belum mampu mengurusnya, antara lain anak-anak yatim dan yang berada di tangan para wali atau pengurus itu. Q.S. al-Nisâ [4]: 5.





















































.

dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.

(45)

menuntut agar belanja anak yatim diambil dari hasil pengembangan hartanya, bukan dari harta itu sendiri. Harta-harta itu harus tetap ada. Segala keperluan anak yatim seperti pakain, makanan, pendidikan, pengobatan dan sebagainya dapat diambil dari keuntungan harta itu apabila harta tersebut diusahakan (diinvestasikan). Dan hendaklah mereka berkata lemah lembut penuh kasih sayang dan memperlakukan mereka seperti anak sendiri.65

Tuntunan lain menyangkut anak yatim ditemukan juga sebelum ayat diatas, yakni firman-Nya dalam Q.S al-Nisâ‟ [4]: 3.















<

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Pan Mohammad Faiz, S.H dalam jurnal hukum yang berjudul Menabur Benih Constitutional complaint, berpendapat bahwa constitutional complaint sangat dimungkinkan menjadi

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkah, rahmat, nikmat, karunia, kesehatan dan kemudahanNya dalam pelaksanaan skripsi serta penyusunan laporan

&#34;Mungkin lebih baik aku tidak bersama lagi dengan kalian karena aku juga ingin punya teman lain yang lebih. banyak lagi.&#34; Jawab Ririn

Lemak abdomen sapi {tallow) merupakan limbah yang belum termanfaatkan dengan baik dan hanya dibuang begitu saja di rumah potong hewan (RPH) yang keberadaannya sering

Luna Haningsih,SE,ME selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan pengarahan yang bermanfaat kepada

Apakah persepsi kemudahan pengguna berpengaruh terhadap persepsi kegunaan mahasiswa yang menggunakan e-learning di STIE Perbanas Surabaya4. Apakah persepsi kegunaan

10 Memiliki ketrampilan menerapkan peran PMR Wira dalam pelayanan Pertolongan Pertama Kesehatan dan Sanitasi 1 Memiliki ketrampilan menerapkan kebersihan diri, keluarga, sekolah,