DAFTAR PUSTAKA
Daftar Buku
Atmasasmita, Romli, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2000.
Atmasasmita, Romli, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, Citra Adtya Bakti, Bandung, 1997.
Bareskrim Polri, Tindak Pidana Narkoba dalam Angka dan Gambar (Tahun 2004-2009),
Jakarta, 2009.
Dirdjosisworo, RS. Hari Sasangka, Hukum Narkotika Indonesia, Alumni, Bandung, 1987. Bowett, D.W., Hukum Organisasi Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 1991.
Hamzah, Andi, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986.
Interpol, NCB Indonesia, Kumpulan Naskah Kerjasama antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Kepolisian Negara Asing dan Organisasi Internasional, Jakarta, 2007
Muljono, Eugenia Liliawati, Peraturan Perundang-Undangan Narkotika dan Psikotropika, Harvarindo, Jakarta, 2006.
Parthiana, I Wayan, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional Modern, Yrama Widya, Bandung, 2009.
Parthiana, I Wayan, Hukum Pidana Internasional, Yrama Widya, Bandung,
Sardjono, Kerjasama Internasional di Bidang Kepolisian, National Central Bureau Indonesia, Jakarta, 1996.
Sasangka, RS Hari, Narkotikaa dan Psikotropika dalam Hukum Pidana Untuk Mahasiswa dan praktisi serta Penyuluh Masalah Narkoba, Mandar Maju, Bandung, 2003. Siregar, Hasnil Basri, Hukum Organisasi Internasional, Kelompok Studi Hukum dan
Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 1998.
Suherman, Ade Maman, Organisasi Internasional dan Integrasi Ekonomi Regional dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003.
Starke, J.G, Pengantar Hukum Internasional, Jilid I Edisi Kesepuluh,Sinar Grafika, Jakarta, 1989.
Daftar Media Massa
www.bnn.go.id
www.kompas.com
www.organisasi.org
Daftar Dokumen
Annual Report of Interpol 2009
Badan Narkotika Nasional, Kebijakan, Strategi dan Rencana Program Pembangunan Badan Narkotika Nasional Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Narkoba, Jakarta, 2002.
Interpol Magazine 2006
Interpol Magazine 2007
Tara, Jusrida, Optimalisasi Peranan Departemen Hukum dan HAM pada Tim Koordinasi Interpol dalam Rangka Pencegahan dan penanggulangan Kejahatan Transnasional serta Kendala yang Dihadapi, Jakarta, 2008.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention
Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs 1988.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
UNODC, World Drug Report, 2010
BAB III
PERKEMBANGAN JARINGAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA
A. Pengaturan tentang Narkotika dalam Hukum Internasional
1. Perkembangan Konvensi Internasional tentang Narkotika
Konvensi internasional pertama yang mengatur tentang narkotika adalah The Hague Opium Convention 1912, dan selanjutnya berturut-turut adalah The Geneva Internasional Opium Convention 1925, The Geneva Convention for Limiting the Manufacture and Regulating the Distribution of Narcotic Drugs 1931, The Convention for the Suppression of the Illicit Traffic in Dangerous Drugs 1936, Single Convention on Narcotic Drugs 1961, sebagaimana diubah dan ditambah dengan Protokol 1972 dan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Subtances 1988 atau yang dikenal dengan Konvensi Wina 1988.59
Uraian perkembangan Konvensi Internasional Narkotika dibatasi pada Konvensi
Tunggal Narkotika 1961 dan Konvensi Wina 1988, karena kedua konvensi ini, merupakan
resultante dari konvensi terdahulu mengenai narkotika dan psikotropika serta merupakan
konvensi terpenting dalam sejarah pengaturan internasional di bidang narkotika dan
psikotropika, setelah berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa.60
Konvensi Tunggal Narkotika 1961 merupakan hasil konferensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa yang diselenggarakan di New York, tanggal 24 – 25 Maret 1961, dan
setelah konvensi tersebut berlaku efektif selama 11 tahun, pada tanggal 6 – 24 Maret 1972
di Jenewa, telah diselenggarakan konferensi, United Nations Conference to Consider
59
Romli Atmasasmita, Op. Cit., hal. 52. 60
Amendments to the Single Convention on Narcotic Drugs 1961 yang menghasilkan Protokol yang mengubah Konvensi Tunggal 1961.61
Tujuan dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961 tersebut dijabarkan dalam enam
sub tujuan yaitu :
Konvensi Tunggal Narkotika 1961 menitikberatkan kepada aspek pengaturan dan
pengawasan sedangkan Konvensi Wina 1988 menitikberatkan kepada aspek penegakan
hukum. Konvensi Wina 1988 merupakan pembaharuan secara mendasar terhadap konvensi
internasional narkotika pada umumnya, dan terhadap Konvensi Tunggal Narkotika 1961
khususnya, karena strategi Konvensi Wina 1988 ditujukan untuk meningkatkan penegakan
hukum terhadap tindak pidana narkotika. Kedua konvensi internasional ini memiliki
perbedaan mendasar sejalan dengan perkembangan tindak pidana narkotika pada masanya.
Perbedaan-perbedaan ini meliputi perbedaan dari segi tujuan maupun dari substansinya.
Konvensi Tunggal Narkotika 1961 bertujuan melakukan konsolidasi terhadap
perjanjian-perjanjian terdahulu tentang narkotika dan memudahkan mekanisme
pengawasan terhadap narkotika. Protokol perubahan tahun 1972 terhadap Konvensi
Tunggal Narkotika tersebut di atas, bertujuan menyempurnakan ketentuan-ketentuan
konvensi tersebut sehingga meliputi ketentuan tentang perlakuan dan rehabilitasi
pecandu-pecandu narkotika.
62
1) Kodifikasi perjanjian multilateral tentang narkotika yang telah ada;
2) Menyederhanakan mekanisme pengawasan internasional;
61
Ibid. 62
3) Memperluas sistem pengawasan atas penanaman obat-obatan alamiah narkotika
lain sebagai pelengkap candu dan yang menghasilkan akibat ketergantungan
seperti ganja atau daun koka;
4) Membatasi perdagangan dan impor narkotika;
5) Mengawasi perdagangan narkotika ilegal;
6) Mengambil tindakan-tindakan yang layak untuk perlakuan dan rehabilitasi bagi
pecandu-pecandu narkotika.
Sedangkan lingkup, sasaran dan tujuan Konvensi Wina 1988 adalah meningkatkan
kerjasama penegakan hukum di antara negara peserta terhadap lalu lintas perdagangan
narkotika dan psikotropika ilegal, baik dari aspek legislatif, administratif maupun aspek
teknis operasional. Di dalam menjalankan kewajiban tersebut diharapkan agar peserta
konvensi mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu sesuai dengan hukum
nasional masing-masing negara.
Perwujudan lingkup, sasaran dan tujuan tersebut di atas, tampak dari beberapa
ketentuan yang dimuat dalam Konvensi Wina 1988, antara lain :63
1) Pasal 3, mengatur tentang kejahatan-kejahatan dan sanksi;
2) Pasal 4, mengatur tentang yurisdiksi;
3) Pasal 5, mengatur tentang penyitaan atau confiscation;64 4) Pasal 6, mengatur tentang ekstradisi;
63
Ibid, hal. 56. 64
5) Pasal 7, mengatur tentang perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah
pidana;
6) Pasal 8, mengatur tentang alih prosedur atau transfer of proceedings;65 7) Pasal 9, mengatur tentang bentuk-bentuk lain dan pelatihan;
8) Pasal 10, mengatur tentang kerjasama internasional dan bantuan untuk negara
transit;
9) Pasal 11, mengatur tentang penyerahan yang diawasi atau controlled delivery. Sembilan ketentuan tersebut di atas, merupakan ciri utama yang membedakan
Konvensi Wina 1988 dari konvensi-konvensi internasional narkotika sebelumnya,
sehingga konvensi tersebut merupakan konvensi narkotika yang bersifat represif atau
suppresive convention. Selain itu terdapat konvensi narkotika lain yang memiliki tujuan yang sama, sekalipun belum semaju dan selengkap Konvensi Wina 1988 yaitu The Convention for The Suppression of the Illicit Traffic in Dangerous Drugs 1936. Inisiatif pertama untuk melahirkan suatu konvensi narkotika yang bersifat represif, berasal dari
International Criminal Police Organization (ICPO) atau Interpol yang berpendapat bahwa diperlukan suatu konvensi khusus yang bertujuan menetapkan langkah-langkah preventif
dan represif terhadap peredaran gelap narkotika internasional sehingga diharapkan dapat
mengatasi kesenjangan antara ketentuan konvensi-konvensi sebelumnya.66
65
Transfer of proceedings merupakan suatu pilihan ketika ekstradisi tidak dapat dilakukan. Dalam melakukan alih prosedur harus ada permintaan dari negara yang satu ke negara yang lain untuk melalukan proses hukum atas suatu tindakan yang merupakan pelanggaran baik di negara yang diminta maupun negara yang meminta. Sejumlah konvensi internasional memuat tentang ketentuan transfer of proceedings ini, yaitu
European Convention on Mutual Assistance in Criminal Matters, the European Convention on Extradition
dan the United Nations Convention against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances
1988. 66
Perbedaan lain dan relevan dengan penegakan hukum terhadap tindak pidana
narkotika berdimensi internasional adalah ketentuan mengenai yurisdiksi kriminal.
Konvensi Tunggal Narkotika 1961, tidak mengatur secara khusus masalah ini, sedangkan
Konvensi Wina 1988 telah mengatur dan menetapkan kemungkinan bagi setiap negara
peserta untuk memperluas yurisdiksi kriminal terhadap tindak pidana narkotika
internasional.67 Negara peserta Konvensi Wina 1988 menyadari bahwa apabila penegakan
hukum terhadap lalu lintas perdagangan narkotika tidak dilaksanakan sesuai dengan
prosedur yang ditetapkan hukum internasional, dikhawatirkan akan menimbulkan konflik
yurisdiksi antar negara-negara tersebut.68
Bertitik tolak dari pemikiran tersebut, ketentuan Pasal 2 Konvensi Wina 1988, telah
menetapkan antara lain sebagai berikut :69
a. Para pihak harus melaksanakan kewajibannya berdasarkan konvensi ini dengan
cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip persamaan kedaulatan dan integritas
wilayah negara dan tidak mencampuri urusan dalam negeri dari negara lain;
b. Salah satu pihak tidak akan mengambil tindakan dalam wilayah pihak lain
untuk menerapkan yurisdiksi dan kekuasaannya yang secara khusus dimiliki
oleh pejabat berwenang dari pihak lain berdasarkan hukum nasionalnya.
Wujud penegakan hukum yang sejalan dengan ketentuan tersebut di atas, ialah
pembentukan perjanjian kerjasama antara negara-negara yang berkepentingan. Di dalam
Pasal 17 ayat 1 Konvensi Wina 1988 yang mengatur tentang perdagangan obat-obatan
terlarang, ditetapkan bahwa, setiap peserta konvensi berkewajiban untuk bekerja sama
67
Ibid. 68
Ibid, hal. 59. 69
semaksimal mungkin menanggulangi lalu lintas perdagangan narkotika ilegal melalui laut
sesuai dengan hukum laut internasional.
Kerjasama yang diharapkan dalam konvensi dimaksud ternyata tidak hanya
semata-mata kerjasama dalam bentuk suatu penandatanganan perjanjian bilateral ataupun
multilateral, melainkan suatu bentuk kerjasama yang lebih nyata dalam upaya
menanggulangi atau memberantas lalu lintas perdagangan narkotika ilegal melalui jalur
pelayaran di laut.70
1) Fasilitas ekstradisi dan penuntutan tertuduh dalam kasus lalu lintas perdagangan
narkotika ilegal serta mendorong adanya bantuan kerjasama antara pemerintah
negara-negara peserta dalam kasus-kasus narkotika.
Dalam Pasal 17 ayat 2 ditetapkan bahwa apabila negara yang memiliki alasan untuk
mencurigai bahwa suatu kapal berbendera atau tidak terlibat dalam peredaran gelap
narkotika, maka negara tersebut dapat meminta bantuan kepada negara lain. Negara yang
diminta bantuannya tersebut harus memberikan bantuan semaksimal mungkin. Pasal ini
memberikan kemungkinan kepada negara-negara yang bersangkutan, atas dasar
persangkaan yang kuat dan cukup beralasan meminta bantuan kepada negara lain
mencegah penggunaan kapal laut untuk maksud-maksud perdagangan ilegal tersebut.
Substansi penting lainnya yang diatur dalam Konvensi Wina 1988, adalah sebagai
berikut:
2) Fasilitas pengiriman yang diawasi: penjejakan dan pengintaian terhadap
pengapalan narkotika secara ilegal.
70
3) Meningkatkan kerjasama dengan negara transit atau transit state dan mencegah penyerahan secara ilegal melalui pos.
4) Penegasan tanggung jawab perusahaan pesawat penumpang dan perusahaan
kapal angkutan laut.
5) Mewajibkan pemerintah negara peserta untuk menghapuskan produksi tanaman
ilegal narkotika.
6) Menetapkan suatu sistem monitoring perdagangan internasional obat-obatan yang sering dipergunakan dalam proses lalu lintas narkotika ilegal.
2. Pengaturan tentang Narkotika dalam United Nations Convention Against Illicit
Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropika Subtances 1988.
Didukung oleh rasa keprihatinan yang mendalam atas meningkatnya produksi,
permintaan, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika serta
kenyataan bahwa anak-anak dan remaja digunakan sebagai pasar pemakai narkotika dan
psikotropika secara gelap, serta sebagai sasaran produksi, distribusi dan peredaran gelap
narkotika dan psikotropika, telah mendorong lahirnya Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa menentang Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988.71
Konvensi tersebut secara keseluruhan berisi pokok-pokok pikiran antara lain,
sebagai berikut :72
1) Masyarakat internasional di dunia perlu memberikan perhatian dan prioritas
utama atas masalah pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika.
71
Penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Subtances 1988.
72
2) Pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika merupakan masalah
semua negara yang perlu ditangani secara bersama pula.
3) Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961,
Protokol 1972 tentang Perubahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 perlu
dipertegas dan disempurnakan sebagai sarana hukum untuk mencegah dan
memberantas perdaran gelap narkotika dan psikotropika.
4) Perlunya memperkuat dan meningkatkan saran hukum yang lebih efektif dalam
rangka kerjasama internasional di bidang pidana untuk memberantas organisasi
kejahatan transnasional dalam kegiatan peredaran gelap narkotika.
Yang menjadi pokok-pokok pikiran yang diatur dalam konvensi ini adalah sebagai
berikut :
1) Ruang Lingkup Konvensi 73
Konvensi bertujuan untuk meningkatkan kerjasama internasional yang lebih
efektif terhadap berbagai aspek peredaran gelap narkotika. Untuk tujuan
tersebut, para pihak akan menyelaraskan peraturan perundang-undangan dan
prosedur administrasi masing-masing sesuai dengan konvensi ini dengan tidak
mengabaikan asas kesamaan kedaulatan, keutuhan wilayah negara, serta asas
tidak mencampuri urusan dalam negeri suatu negara.
2) Kejahatan dan Sanksi74
Tanpa mengabaikan prinsip-prinsip hukum masing-masing, negara-negara yang
menjadi peserta dari konvensi ini akan mengambil tindakan yang perlu untuk
menetapkan peredaran gelap narkotika sebagai suatu kejahatan. Pengertian dari
73
Ibid. 74
peredaran mencakup dari berbagai kegiatan yaitu mulai dari penanaman,
produksi, penyaluran, lalu lintas, pengedaran sampai ke pemakaiannya.
Terhadap kejahatan tersebut di atas dapat dikenakan sanksi berupa pidana
penjara atau bentuk perampasan kemerdekaan, denda dan penyitaan aset sejauh
dapat dibuktikan sebagai hasil dari kejahatan. Di samping itu, pelakunya dapat
diberikan pembinaan, rehabilitasi atau reintegrasi sosial.
Para pihak dalam konvensi ini harus dapat menjamin bahwa lembaga peradilan
dan pejabat yang berwenang yang mempunyai yurisdiksi dapat
mempertimbangkan keadaan nyata yang menyebabkan kejahatan yang
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) merupakan kejahatan serius, seperti :
a) Keterlibatan di dalam kejahatan dan kelompok kejahatan terorganisasi yang
pelakunya sebagai anggota;
b) Keterlibatan pelaku dalam kegiatan kejahatan lain yang terorganisasi secara
internasional;
c) Keterlibatan dalam perbuatan melawan hukum lain yang dipermudah oleh
dilakukannya kejahatan tersebut;
d) Penggunaan kekerasan atau senjata api oleh pelaku;
e) Kejahatan dilakukan oleh pegawai negeri dan kejahatan tersebut berkaitan
dengan jabatannya;
f) Menjadikan anak-anak sebagai korban atau menggunakan anak-anak untuk
melakukan kejahatan;
g) Kejahatan dilakukan di dalam atau di sekitar lembaga permasyarakatan,
anak-anak sekolah atau pelajar berkumpul untuk melakukan kegiatan
pendidikan, olahraga dan kegiatan sosial;
h) Sebelum menjatuhkan sanksi pidana, khususnya pengulangan kejahatan
serupa yang dilakukan, baik di dalam maupun di luar negeri sepanjang
kejahatan tersebut dapat dijangkau oleh hukum nasional masing-masing
negara. Kejahatan-kejahatan yang dimaksud dalam konvensi ini adalah
kejahatan yang menurut sistem hukum nasional pigak-pihak dalam
konvensi dianggap sebagai tindakan kejahatan yang dapat dituntut dan
dipidana.
3) Yurisdiksi75
Negara yang menjadi pihak dalam konvensi ini harus mengambil tindakan
terhadap kejahatan yang dilakukan oleh pelaku sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3) konvensi, baik terhadap kejahatan yang dilakukan di
wilayahnya, di atas kapal atau di dalam pesawat udara dari negara yang
bersangkutan, baik kejahatan itu dilakukan oleh warga negaranya maupun
warga negara asing. Masing-masing negara juga harus mengambil tindakan
yang dianggap perlu untuk menetapkan yurisdiksi atas kejahatan sebagaimana
yang dimaksud dalam konvensi ini, jika tersangka berada di dalam wilayah
negaranya dan tidak diekstradisi ke negara lain.
4) Penyitaan76
Negara-negara dapat menyita narkotika serta peralatan lain yang merupakan
hasil dari kejahatan. Lembaga peradilan atau pejabat yang berwenang dapat
75
Ibid, hal. 309. 76
memeriksa atau menyita catatan bank, keuangan atau perdagangan. Petugas
atau badan yang diharuskan menunjukkan catatan tersebut tidak dapat menolak
untuk memberikan informasi dengan alasan kerahasiaan bank. Kekayaan yang
menjadi hasil kejahatan dapat disita, kecuali dapat dibuktikan oleh pelaku
bahwa kekayaan tersebut tidak didapatnya dari hasil kejahatan. Apabila
kekayaan tersebut telah bercampur dengan kekayaan dari sumber yang sah,
maka penyitaan hanya dapat dikenakan sebatas nilai yang ditaksir sebagai hasil
kejahatan. Namun demikian, penyitaan itu hanya dapat dilakukan setelah diatur
oleh hukum nasional dari negara yang bersangkutan.
5) Ekstradisi77
Kejahatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) konvensi ini
termasuk kejahatan yang dapat diekstradisi sesuai dengan perjanjian ekstradisi
yang diadakan antara negara-negara yang bersangkutan. Apabila negara-negara
tidak mempunyai perjanjian ekstradisi, maka konvensi ini dapat digunakan
sebagai dasar hukum dilakukannya penyerahan pelaku bagi kejahatan yang
menjadi ruang lingkup konvensi ini.
6) Bantuan Hukum Timbal Balik78
Negara- negara dapat saling memberikan bantuan hukum timbal balik dalam
penyidikan, penuntutan dan proses acara sidang yang berkaitan dengan
kejahatan sebagaimana yang dimaksud dalam konvensi ini. Bantuan hukum
timbal balik dapat diminta untuk keperluan :
a. Mengambil barang bukti atau pernyataan dari orang;
77
Ibid, hal. 310. 78
b. Memberikan pelayanan dokumen hukum;
c. Melakukan penggeledahan dan penyitaan;
d. Memeriksa benda dan lokasi;
e. Memberikan informasi;
f. Memberikan dokumen asli atau salinan dokumen yang relevan, seperti
cacatan bank atau catatan perusahaan;
g. Mengidentifikasi atau melacak hasil kejahatan, perlengkapan atau benda
lain yang dapat digunakan dalam pembuktian.
7) Pengalihan Proses Acara
Dalam konvensi ini juga diatur mengenai pengalihan proses acara. Hal ini
memungkinkan bagi para pihak dalam konvensi untuk mengalihkan proses
acara dari satu negara ke negara lain, jika pengalihan acara tersebut dianggap
perlu untuk kepentingan pelaksanaan proses pengadilan yang lebih baik.
8) Kerjasama di Bidang Penegakan Hukum
Dalam konvensi ini juga mengatur tentang kerjasama antar negara dalam
pemberantasan peredaran gelap narkotika. Negara dapat saling bekerja sama
sesuai dengan sistem hukum masing-masing dalam rangka meningkatkan
secara efektif penegakan hukum untuk memberantas kejahatan sebagaimana
yang dimaksud dalam konvensi ini. Kerjasama yang dimaksud dapat berupa :
a. Membentuk dan memelihara jalur komunikasi antar lembaga dan dinas
masing-masing yang berwenang, untuk mempermudah pertukaran
b. Kerjasama dalam pemeriksaan kasus berkaitan dengan kejahatan yang
dimaksud dalam konvensi ini.
c. Membentuk tim gabungan.
d. Menyediakan bahan-bahan yang diperlukan untuk analisa atau penyidikan;
e. Mengadakan program latihan khusus bagi personil penegak hukum atau
personil lainnya seperti kepolisian dan pabean yang bertugas memberantas
kejahatan peredaran gelap narkotika.
f. Merencakan dan melaksanakan program penelitian dan pengembangan yang
dirancang untuk meningkatkan keahlian.
9) Kerjasama Organisasi Internasional dan Bantuan bagi Negara Transit.
Negara dapat bekerja sama baik secara langsung maupun melalui organisasi
internasional seperti Interpol atau organisasi regional seperti Aseanpol dan
Europol yang berwenang untuk membantu dan mendukung negara transit ,
khususnya negara-negara berkembang yang membutuhkan bantuan melalui
program teknik guna mencegah kejahatan dan kegiatan lain yang terkait.
10)Penyerahan yang diawasi
Untuk keperluan identifikasi orang-orang yang terlibat dalam kejahatan
sebagaimana yang dimaksud dalam konvensi ini, negara dapat mengambil
berbagai tindakan yang dianggap perlu dalam batas kemampuannya untuk
melakukan penyerahan yang diawasi (controlled delivery) pada tingkat internasional berdasarkan persetujuan atau pengaturan yang disepakati oleh
masing-masing negara, sepanjang tindakan tersebut tidak bertentangan dengan
Keputusan menggunakan penyerahan yang diawasi dilakukan secara kasus
demi kasus. Barang kiriman gelap yang penyerahannya telah disetjui, atas
persetujuan para pihak, dapat diperiksa dan diserahkan kepada negara yang
bersangkutan.
11)Pemberantasan Penanaman Bahan-Bahan Pembuat Narkotika
Dalam konvensi ini ditetapkan para pihak dalm konvensi harus mengambil
tindakan yang tepat untuk mencegah penanaman secara gelap dan memberantas
tanaman yang menjadi bahan pembuat narkotika yang ditanam di wilayah
negaranya masing-masing. Selain itu konvensi ini juga mendorong
dilakukannya kerjasama antar negara untuk meningkatkan efektifitas
pemberantasan meliputi dukungan terhadap pembinaan terpadu yang mengarah
kepada pembinaan alternatif ekonomi yang lebih baik daripada melakukan
penanaman narkotika secara ilegal.
12)Pengangkutan Komersil
Sehubungan dengan pengangkutan komersil, Konvensi Wina 1988 juga
mengharuskan agar para pihak dapat menjamin pengangkutan komersil tidak
digunakan untuk melakukan kejahatan peredaran gelap narkotika.
13)Lalu lintas Gelap Melalui Laut
Di dalam konvensi ini ditetapkan bahwa para pihak harus bekerja sama untuk
memberantas lalu lintas peredaran gelap narkotika melalui laut sesuai dengan
B. Peredaran Gelap Narkotika Sebagai Salah Satu Kejahatan Transnasional
1. Pengertian Narkotika
Masalah penyalahgunaan narkotika merupakan masalah yang sangat kompleks,
yang memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan
kerjasama multisektor dan peran serta masyarakat secara aktif yang dilaksanakan secara
berkesinambungan, konsekuen dan konsisten. Meskipun dalam ilmu kedokteran sebagian
dari narkotika masih bermanfaat bagi pengobatan, namun bila disalahgunakan atau
digunakan tidak menurut indikasi medis atau standar pengobatan terlebih lagi bila disertai
peredaran di jalur ilegal, akan berdampak negatif bagi individu maupun masyarakat luas
khususnya generasi muda.
Narkotika berasal dari bahasa Yunani, narke yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa. Secara umum yang dimaksud dengan narkotika adalah suatu obat atau
zat alami, sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan turunnya kesadaran,
menghilangkan atau mengurangi rasa atau nyeri dan perubahan kesadaran yang
menimbulkan ketergantungnya akan zat tersebut secara terus menerus. 79
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang dimaksud
dengan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik
sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan.80
79
Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hal. 224.
80
WHO sendiri memberikan definisi tentang narkotika sebagai berikut: "Narkotika
merupakan suatu zat yang apabila dimasukkan ke dalam tubuh akan mempegaruhi fungsi
fisik dan/atau psikologi (kecuali makanan, air, atau oksigen)." 81
Defenisi lain dari Biro Bea Cukai Amerika Serikat dalam bukunya “Narcotic Identification Manual” ( 1973) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan narkotika adalah candu, ganja, kokain, zat-zat yang bahan mentahnya diambil dari benda-benda
tersebut yakni morfin, heroin, kodein, hasnish, kokain, dan termasuk juga narkotika
sintetik yang menghasilkan zat-zat, obat-obatan yang tergolong dalam Halusinogen,
Depresan dan Stimulan. 82
81
Jadi, narkotika adalah zat yang memiliki ciri-ciri tertentu, dimana penggunaannya
dapat memberikan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang memasukkannya dalam
tubuh. Pengaruh tersebut dapat berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan
semangat dan halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan. Sifat-sifat tersebut yang
diketahui dan ditemukan dalam dunia medis bertujuan untuk dimanfaatkan bagi
pengobatan dan kepentingan manusia, seperti dalam bidang pembedahan, menghilangkan
rasa sakit dan lain-lain. Namun diketahui bahwa narkotika memiliki daya pencanduan yang
dapat menimbulkan si pemakai bergantung hidupnya kepada narkotika tersebut. Hal
tersebut bisa dihindari apabila penggunaan narkotika diatur berdasarkan dosis yang dapat
dipertanggungjawabkan secara medis.
November 2010
82
2. Jenis-Jenis Narkotika
Narkotika banyak sekali jenisnya, dibawah akan diuraikan jenis-jenis narkotika dan
penggolongannya baik dari segi bahan pembuatnya maupun akibatnya.
Golongan narkotika berdasarkan bahan pembuatnya diklasifikasikan atas 3 yaitu:83
a. Narkotika Alami
Zat atau obat yang langsung bisa dipakai sebagai narkotika tanpa perlu adanya
suatu proses fermentasi, isolasi dan proses lainnya terlebih dahulu karena bisa
langsung dipakai dengan sedikit proses sederhana. Bahan alami tersebut
umumnya tidak boleh digunakan untuk terapi pengobatan secara langsung
karena terlalu beresiko. Contoh narkotika alami yaitu ganja, opium dan daun
koka.
b. Narkotika Sintetis
Narkotika jenis ini memerlukan proses yang bersifat sintetis, digunakan untuk
keperluan medis dan penelitian sebagai penghilang rasa sakit. Contohnya yaitu
amfetamin. Narkotika sintetis dapat menimbulkan dampak sebagai berikut :
1) Membuat pemakai tertidur atau tidak sadarkan diri (depresan);
2) Membuat pemakai bersemangat dalam beraktifitas (stimulan);
3) Membuat pemakai menjadi berhalusinasi sehingga dapat mempengaruhi
perasaan serta pikirannya (halusinogen)
c. Narkotika Semi Sintetis
Yaitu zat atau obat yang diproduksi dengan cara isolasi, ekstraksi dan lain
sebagainya. Contohnya heroin, morfin, kodein dan lain-lain.
83
Penggolongan narkotika dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika dibagi atas 3 golongan, yaitu : 84
1) Narkotika Golongan I
Narkotika golongan ini adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak boleh digunakan dalam
terapi, serta mempunyai potensi tinggi yang dapat mengakibatkan
ketergantungan. Contoh narkotika jenis ini adalah :
a. Ganja
Ganja berasal dari tanaman Cannabis Sativa. Tumbuhan ini mengandung zat narkotika yang memabukkan. Dampaknya menimbulkan euforia
(kegembiraan), menyebabkan ketenangan, tidak peduli pada lingkungan,
dan rasa tenteram. Pemakaian ganja dapat mengakibatkan ketergantungan
serta mampu mengubah struktur fungsi saraf. Tumbuhan ini hidup di daerah
tropis seperti India, Nepal, Thailand, Laos, Kamboja, Indonesia dan juga
dapat tumbuh di negara beriklim subtropis seperti Rusia bagian Selatan dan
Korea.
b. Kokain85
Kokain adalah alkaloida dari tumbuhan erythroxylon coca, yaitu sejenis tumbuhan di lereng Pegunungan Andes Amerika Selatan. Sejak
berabad-abad, suku Indian di Amerika sering mengunyah daun koka dalam upacara
ritual mereka dan untuk menahan lapar serta letih. Kokain adalah narkotika
84
Penjelasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997. 85
yang sangat berbahaya karena dampak ketergantungan kokain sangat kuat
bagi pemakainya.
c. Opioida
Opioida adalah nama sekelompok zat alamiah, semi sintetik atau sintetik
yang mempunyai khasiat mengurangi atau menghilangkan rasa sakit.
Opioida ada 3 jenis, yaitu :
a) Opioida alamiah, yaitu opium, morfin dan codein.
b) Opioida semi sintetik, yaitu hidro morfin dan heroin
c) Opioida sintetik, meliputi meperidin, levalorfan.
d. Heroin atau Putaw
Heroin adalah opioida semi sintetik, berupa serbuk putih dan terasa pahit
yang sering disalahgunakan secara meluas. Di pasar gelap, heroin
dipasarkan dalam berbagai macam warna karena dicampur dengan bahan
lainnya seperti gula, coklat, tepung susu. Pada tahun 1898, Heroin diuji
manfaatnya yang ternyata dapat melegakan batuk (antitusif), melegakan
nafas dan jantung serta memberikan kehangatan dan melancarkan
pencernaan. Namun didapati bahwa bahaya penggunaan heroin jauh lebih
besar dibanding dengan kegunaannya. Heroin dapat mengakibatkan
ketergantungan dan mempunyai efek yang lebih kuat serta halusinasinya
lebih tinggi daripada morfin. Akibatnya penggunaan heroin tidak
e. Opium
Yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman Papaver Somniferum L yang hanya mengalami pengolahan yang sederhana. Opium terdiri dari :86
a) Candu, yaitu hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu
rentetan pengolahan baik pelarutan, pemanasan dan peragian dengan
atau tanpa penambahan bahan-bahan lain dengan maksud untuk
mengubahnya menjadi ekstrak yang cocok untuk pemadatan.
b) Jicing, yaitu sisa-sisa setelah candu dihisap
c) Jicingko, yaitu hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.
2) Narkotika Golongan II
Narkotika golongan II adalah narkotika yang berkhasiat dalam pengobatan,
yang digunakan sebagai pilihan terakhir. Narkotika ini digunakan dalam terapi
dan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh narkotika golongan II, yaitu :
a. Morfin
Morfin adalah bahan analgesik yang kuat khasiatnya, tidak berbau,
berbentuk kristal, berwarna putih, yang dapat berubah warna menjadi
kecoklatan. Morfin berasal dari opium. Opium mentah mengandung 4%
sampai 21% morfin. Khasiat morfin adalah untuk analgesik (penghilang
rasa sakit) yang sangat kuat, misalnya waktu pembedahan atau pasien
menderita luka bakar. Dalam perdagangan gelap, morfin mempunyai
86
banyak nama, misalnya : White Stuff, M, Hard Stuff, Morphe, Unkie, Miss Emma, Hoccus, Morphie Emsel dan lain sebagainya. 87
b. Petidin
Petidin adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dari morfin,
tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama
dengan morfin.
3) Narkotika Golongan III
Narkotika golongan III adalah narkotika yang berkhasiat dalam pengobatan
dan banyak digunakan dalam terapi dan untuk tujuan pegembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.
Contoh narkotika golongan III,yaitu :
a. Codein
Codein adalah alkaloida terkandung dalam opium sebesar 0,7% sampai 2,5
%. Codein merupakan opioida alamiah yang banyak digunakan untuk
keperluan medis. Codein mempunyai dampak analgesik lemah, hanya
sekitar seperduabelas daya analgesik morfin. Codein biasa digunakan
sebagai antitusif (peredam batuk) yang kuat.
b. Garam-garam narkotika dalam golongan-golongan tersebut.
3. Kejahatan Peredaran Gelap Narkotika sebagai Salah Satu Kejahatan Transnasional
Perkembangan kejahatan yang bersifat lintas batas teritorial dalam bentuk dan
lingkup jangkauan, dampaknya serta dilihat dari implikasi hukum yang menyertainya,
dapat dibedakan antara kejahatan transnasional dan kejahatan internasional. 88
87
Perkembangan kejahatan transnasional tersebut berkaitan dengan sejarah
perkembangan peradilan para penjahat Perang Dunia Kedua (Mahkamah Militer
Nuremberg, 1949 dan Peradilan Tokyo, 1948). Sidang Majelis Umum PBB pada tanggal
11 Desember 1946, tiga bulan setelah pembentukan Mahkamah Militer di Nuremberg
tersebut, telah mengesahkan dua resolusi penting, yaitu resolusi pertama, mengakui dan
memperkuat prinsip-prinsip hukum internasional yang dicantumkan di dalam piagam
Mahkamah Militer Nuremberg, dan kemudian menugasi Komisi Hukum Internasional
untuk merumuskan kembali prinsi-prinsip tersebut dalam rangka menyusun suatu
kodefikasi umum mengenai kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia
atau suatu kaidah pidana internasional.89
“The Crimes hereinafter set out are punishable as crimes under international law:
Resolusi kedua, adalah resolusi mengenai genocide yang telah disetujui dalam Sidang Majelis Umum PBB dan merupakan kejahatan menurut hukum internasional.
Komisi Hukum Internasional, pada tahun 1950, telah berhasil menyusun dan mengesahkan
tujuh prinsip hukum internasional. Di antara ketujuh prinsip tersebut, Prinsip VI sangat
relevan dengan perkembangan kejahatan internasional, yang menetapkan antara lain :
90
1) Crimes against peace; 2) War crimes;
3) Crimes against humanity.”
( Kejahatan tersebut selanjutnya dapat dihukum sebagai kejahatan di bawah hukum
internasional :
1) Kejahatan terhadap perdamaian
88
Romli Atmasasmita, Op. Cit., hal. 79. 89
Ibid. 90
2) Kejahatan perang
3) Kejahatan terhadap kemanusiaan)
Di dalam prinsip keenam tersebut, tampak Komisi Hukum Internasional telah
mempergunakan istilah crimes under international law, dan bukan kejahatan internasional atau international crimes, serta hanya menetapkan tiga jenis kejahatan yang termasuk kejahatan internasional.91
Dalam naskah Undang-Undang Pidana Internasional atau The International Criminal Code tahun 1979 yang disusun oleh The International Association of Penal Law, telah dimasukkan jenis tindak pidana lainnya seperti lalu lintas perdagangan narkotika
ilegal (illicit drug trafficking), pemalsuan mata uang (countrerfeiting), penyuapan
(bribery), keikutsertaan dalam perdagangan budak dan pengambilan harta karun suatu negara tanpa izin.92
1) Tumbuhnya bentuk-bentuk kejahatan baru.
Seiring dengan pesatnya perkembangan masyarakat di dunia menuju era
globalisasi, dalam dunia kejahatan dapat dirasakan perkembangan yang demikian cepat.
Oleh karena itu, kejahatan-kejahatan ini memerlukan perhatian khusus dalam
penanggulangannya serta patut diberi kedudukan yang sama dengan ketiga jenis kejahatan
internasional di atas. Pesatnya perkembangan kejahatan tersebut sangat dipengaruhi oleh
kemajuan teknologi dan perkembangan peradaban masyarakat di dunia, yang mencakup
berbagai aspek :
91
Romli Atmasasmita, Op. Cit., hal. 80. 92
2) Semakin kompleknya modus operandi, kejahatan konvensional maupun
dimensi baru.
3) Semakin canggihnya peralatan yang digunakan oleh pelaku kejahatan.
4) Semakin luasnya lingkup wilayah operasi kejahatan, tidak terbatas di suatu
negara tetapi juga lalu lintas negara.
5) Semakin rumitnya penanggulangan kejahatan, karena kelangkaan aturan atau
ketertinggalan peralatan yang dimiliki aparat keamanan dibandingkan dengan
para pelaku kejahatan.
Di satu sisi, maraknya kejahatan telah menimbulkan kekhawatiran masyarakat di
dunia karena menyadari bahwa bila tidak ditanggulangi akan mempercepat kehancuran
dunia ataupun peradaban kehidupan manusia itu sendiri. Di sisi lain perkembangan
kejahatan juga telah mengetuk kesadaran negara-negara di dunia untuk bekerja sama dalam
menanggulangi kejahatan yang berlingkup antar negara dengan perkembangan bahwa :
a. Akibat buruk dari suatu kejahatan yang merajalela di suatu negara, misalnya
peredaran gelap narkotika, terorisme dan lain-lain, bukan hanya akan
merugikan satu negara saja melainkan juga akan berdampak negatif terhadap
negara-negara lainnya.
b. Penanggulangan kejahatan yang lingkup kegiatannya tidak mengenal batas
negara, tentu tidak akan efektif bila hanya dilakukan oleh salah satu negara saja,
sehingga mutlak membutuhkan kerjasama antara negara-negara di dunia.
c. Kepedulian untuk menanggulangi kejahatan harus dipacu dengan semangat
kebersamaan dan harus direspon oleh setiap negara, agar tidak dikucilkan dari
Kejahatan transnasional merupakan ancaman terhadap negara dan masyarakat yang
dapat mengikis human security dan kewajiban dasar negara untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Salah satu bentuk kejahatan transnasional adalah perdagangan gelap narkotika
(illict drug trafficking).
Peredaran dan perdagangan gelap narkotika juga menyebabkan permasalahan yang
sangat kompleks seperti peningkatan penularan HIV/ AIDS melalui pengguna narkotika
yang menggunakan jarum suntik di sejumlah negara. Pada sisi lain, kejahatan perdagangan
orang, khususnya terkait dengan kejahatan eksploitasi seksual sering juga dihubungkan
dengan kejahatan peredaran gelap narkotika.
Dengan melihat besarnya cakupan permasalahan kejahatan transnasional khususnya
kejahatan peredaran gelap narkotika di dunia, terdapat keperluan untuk merumuskan
beberapa upaya dalam memperkuat kerangka hukum dan instrumen hukum internasional
yang ada. Sebagai catatan, sejauh ini terdapat beberapa instrumen yang menjadi tolak ukur,
yakni Konvensi Tunggal Narkotika 1961, Konvensi Wina 1988, Konvensi PBB
menentang Kejahatan Terorganisasi Transnasional Tahun 2000 (Palermo Convention). 93 Walaupun ketiga konvensi di atas merujuk kepada kejahatan-kejahatan tertentu
(dengan pengecualian Konvensi Palermo), pada intinya terdapat tiga hal utama yang diatur
dalam konvensi-konvensi tersebut. Pertama, mengatur langkah-langkah yang perlu diambil
oleh negara untuk mencegah terjadinya kejahatan. Kedua, mengatur perbuatan-perbuatan
yang dianggap sebagai tindak pidana, sebagai bagian dari penegakan hukum. Ketiga,
93
pengefektifan dan penguatan kerjasama internasional melalui lembaga ekstradisi, bantuan
hukum timbal balik dan kerjasama lainnya.
Tak dapat dipungkiri bahwa Konvensi Palermo merupakan terobosan bagi dunia
internasional dalam memberantas secara efektif kejahatan terorganisasi transnasional.
Terobosan tersebut dalam dilihat dalam kesepakatan mengenai defenisi kelompok
terorganisasi (criminal group) dan ruang lingkup kejahatan transnasional.
Dengan lahirnya Konvensi Wina 1988 yang bertujuan untuk memberantas
peredaran gelap narkotika dan psikotropika, maka semakin berkembanglah penegakan
hukum kejahatan transnasional peredaran gelap narkotika. Jika dilihat dari segi substansi
dalam konvensi ini, telah muncul embrio dari upaya internasional yang antara lain dapat
diidentifikasikan dengan aturan-aturan yang menyangkut ekstradisi, bantuan timbal balik,
penanganan perdagangan gelap narkotika melalui laut, controlled delivery, dan penguatan rezim anti pencucian uang (termasuk masalah penyitaan dan perampasan hasil kejahatan
tindak pidana narkotika).
Selain itu, sebagai tindak lanjut dari semangat memerangi kejahatan lintas batas
negara, masyarakat ASEAN menyepakati melalui Deklarasi ASEAN tanggal 20 Desember
1997 di Manila, dimana ASEAN juga menetapkan kejahatan yang termasuk dalam
Transnational Crime, yaitu :94
1) Illicit Drug Trafficking ( perdagangan gelap narkotika); 2) Money Laundering (pencucian uang);
3) Terorism (terorisme);
4) Arm Smuggling (penyelundupan senjata api);
94
5) Trafficking in persons ( perdagangan orang); 6) Sea Piracy (pembajakan di paut);
7) Economic Crime and Currency Counterfeiting (kejahatan di bidang ekonomi dan pemalsuan uang);
8) Cyber Crime (kejahatan di dunia maya).
Dengan ditetapkannya jenis-jenis kejahatan lintas negara yang harus mendapatkan
prioritas dalam penanggulangannya, maka dalam hal pemberantasan peredaran gelap
narkotika, ASEAN membentuk ASOD ( ASEAN Senior Official on Drugs), yaitu forum kerjasama ASEAN di bidang pencegahan, terapi dan rehabilitasi, penegakan hukum dan
penelitian penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.95
Segala upaya yang ditempuh oleh masyarakat internasional dalam pemberantasan
peredaran gelap narkotika dikarenakan peredaran dan perdagangan narkotika secara ilegal
telah melibatkan lebih dari satu negara. Peredaran gelap narkotika selalu melibatkan
negara produsen, negara transit dan negara pemasaran narkotika. Bukanlah hal yang tidak
mungkin mengingat perkembangan teknologi, informasi dan transportasi, suatu jenis
narkotika diproduksi di negara A ,didistribusikan melalui negara B yang kemudian dijual
ke negara C. Oleh karena itu, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh satu negara tetapi
banyak negara di dunia. Untuk dapat memberantas peredaran gelap narkotika secara lebih
efektif, maka negara-negara di dunia harus mau untuk bekerja sama. Apalagi peredaran
dan perdagangan gelap narkotika tidak hanya dilakukan oleh invidu saja, tapi sudah
dilakukan oleh sekelompok orang yang bekerja secara terorganisasi yang mana Forum ini mengadakan
pertemuan setiap tahun sekali secara bergiliran di negara-negara anggota ASEAN.
95
kelompok ini tersebar di negara-negara. Kelompok-kelompok sindikat ini telah memiliki
sumber pendanaan yang membiayai kegiatan ilegal mereka.
Melihat ruang lingkup kegiatan peredaran gelap narkotika telah dilakukan secara
global, maka dapat dikategorikan peredaran gelap narkotika sebagai kejahatan
transnasional yang memerlukan penanggulangan secara efektif dan efisien oleh
negara-negara di dunia.
C. Perkembangan Jaringan Peredaran Gelap Narkotika
Dalam era globalisasi ini, peredaran gelap narkotika tidak lagi dilakukan secara
perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama, bahkan
merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas dan bekerja secara
rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional.
Peningkatan serta meluasnya perdagangan dan peredaran gelap narkotika tersebut
tidak terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya di bidang
transportasi dan telematika yang memungkinkan arus perpindahan dan lalu lintas uang,
orang dan barang secara cepat, sehingga ruang,jarak dan waktu sudah tidak menjadi
hambatan lagi. Dampak dan implikasi batas-batas negara menjadi kabur sehingga
membuka peluang meluasnya jaringan bisnis perdagangan gelap narkotika yang dilakukan
secara terorganisir, meliputi jaringan yang sangat luas, melibatkan lebih dari satu negara,
mobilitas tinggi serta modus operandi yang cenderung berganti-ganti dan semakin sulit
untuk dilacak.
mengkonsumsi narkotika setidaknya sekali di tahun 2009.96 Afganistan merupakan negara
penghasil opium terbesar di dunia, dimana pada tahun 1992 sampai 1993 saja produksinya
diperkirakan mencapai antara 1500 sampai 2000 ton, sedangkan untuk jenis kokain, 75 %
suplai kokain berasal dari Kolombia.97 Di tingkat regional, negara-negara segitiga emas
yaitu Thailand, Laos dan Myanmar merupakan pemasok opium terbesar kedua di dunia
setelah Afganistan. 98
1. Wilayah Asia Barat
Dalam menyelundupkan narkotika ke negara-negara untuk dijual, biasanya
pengedar melalui jaringan kerjasama melalui rute-rute tertentu, beberapa rute yang sering
digunakan jaringan pengedar narkotika adalah :
Perbatasan Afganistan-Pakistan tetap menjadi sumber utama morfin dan heroin
untuk pasar internasional terutama Eropa dengan rute-rute penyelundupan sebagai
berikut:99
a. Jalan darat, yaitu dari perbatasan Pakistan –Iran dan Afganistan-Iran menuju
daerah Turki Tenggara. Dari wilayah ini melalui Istambul dan masuk ke
negara-negara Eropa Barat.
b. Jalan laut, yaitu dari wilayah produksi melalui propinsi Baluchistan menuju
Pakistan (Pantai Makaran) dari wilayah ini dengan kapal-kapal laut menuju
Eropa.
c. Jalan udara, yaitu melalui Kathmandu dan masuk ke New Delhi dan Bombay.
Dari kedua kota ini menuju ke Eropa Barat.
96
d. Dari wilayah perbatasan Afganistan dan Tajikistan menuju negara Eropa
Tengah dan Eropa Timur melalui rute-rute baru di Uzbekistan dan
Turkmenistan.
e. Produksi heroin dari Libanon diselundupkan ke Eropa dan Amerika melalui
pantai-pantai laut tengah disamping melalui rute tradisional yang dikenal
dengan The Balkan Route menuju Eropa. 2. Wilayah Teluk Persia100
Kelompok penyelundup berasal dari Asia Selatan dan Asia Tenggara telah
menggunakan pelabuhan-pelabuhan udara di negara-negara Teluk Persia sebagai
titik transit menuju negara-negara tujuan terutama Eropa. Perkembangan ini
merupakan trend baru dalam upaya penyelundupan morfin dan heroin dari wilayah
sumber menuju negara tujuan.
Penyelundupan narkotika di atas dilakukan dengan metode yang bervariasi dan
sering kali berubah sesuai dengan perkembangan teknologi. Sekalipun teknik-teknik
penyelundupan selalu berkembang, tetapi teknik-teknik yang umumnya dilakukan adalah
menggunakan tas atau koper khusus dengan dasar atau sisi yang dipalsukan, di
sembunyikan ditumit sepatu, diikatkan pada badan, ditelan maupun disembunyikan dalam
barang-barang kerajinan tangan.101
Dari fakta tersebut di atas, Indonesia juga tidak luput dari sasaran perdagangan dan
peredaran gelap narkotika oleh sindikat karena sarana pengawasan yang belum dapat
menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di
dunia dan negara terluas di Asia Tenggara yang terdiri dari kurang lebih 17.508 pulau,
100
Ibid. 101
meliputi area tanah seluas 2.027.087 km² dan luas perairan 3.166.163 km² serta memiliki
panjang pantai lebih dari 85.000 km, dan jumlah penduduk lebih dari 215 juta jiwa, sangat
terbuka kesempatan untuk menjadi jalur peredaran dan perdagangan gelap narkotika.
Di Indonesia sendiri, maraknya peredaran dan perdagangan gelap narkotika dapat
dirasakan dengan melihat kenyataan di lapangan, dimana penyalahgunaan narkotika tidak
hanya dilakukan di wilayah perkotaan saja, tapi sudah sampai di wilayah-wilayah yang
jauh dari kota (desa). Para penyidik menyadari bahwa sindikat peredaran gelap narkotika
menunjukkan kenaikan setiap tahunnya, namun untuk membongkarnya masih sangat sulit
karena kemampuan mereka dengan menggunakan sel-sel sindikat. Jalur perdagangan gelap
narkotika yang paling menonjol yang melalui Indonesia adalah :
1) Narkotika jenis heroin, melalui sindikat yang pelakunya “Black African”, mereka berperan dalam menyelundupkan narkotika jenis heroin ke Indonesia melalui
negara-negara The Golden Triangle ( Thailand, Laos dan Myanmar), dengan menggunakan kurir dari Nepal, Thailand dan bahkan orang Indonesia sendiri.
Heroin ini berasal dari negara-negara Golden Cresent yaitu perbatasan antara negara-negara Iran, Pakistan dan Afganistan. Modus operansi yang biasa digunakan
adalah swallowed (ditelan) ataupun disembunyikan di lapisan koper atau tas. Sebagai contoh, pada tahun 2008, Kepolisian Indonesia berhasil menangkap
jaringan peredaran gelap narkotika yang dilakukan oleh West African Syndicate
yang membawa sebanyak 8,6 kg heroin. Sindikat yang berhasil ditangkap ini
sebanyak 32 orang. Tujuh diantaranya adalah kewarganegaraan Nigeria, 2 orang
warga negara Malaysia, selebihnya adalah warga negara Indonesia.102
102
2) Narkotika jenis kokain, berasal dari Amerika Latin dan beredar di Indonesia dengan
pelaku sindikat “Black African”. Beberapa kasus yang berhasil diungkap salah satunya yaitu tertangkapnya wanita Indonesia di luar negeri yang direkrut untuk
menjadi kurir oleh anggota sindikat dimana ia dinikahi sengaja dan dijadikan alat
untuk melakukan penyelundupan melalui body concealment. 103 Pada tahun 2008 sampai tahun 2009,
Modus peredaran gelap narkotika yang berkembang dalam masyarakat saat ini,
meliputi dua kelompok, yaitu :
1) Kelompok pengedar
Sindikat pelaku peredaran gelap narkotika selalu terkait dengan jaringan yang
luas baik yang ada di perkotaan maupun di daerah-daerah terpencil. Sindikat ini
biasanya menggunakan sistem sel atau “cut”, yaitu terdapat beberapa tingkatan pengedar, dimana masing-masing tingkat tidak saling kenal sehingga jika salah
satu tingkatan pengedar tertangkap, dia tidak bisa menunjukkan jaringan yang
ada diatasnya. Modus operandi peredaran narkotika dari pengedar tingkat
bawah yang langsung berhubungan dengan pengguna biasanya dengan
mempengaruhi kelompok yang rentan, yaitu kelompok masyarakat yang
bermasalah baik secara ekonomi, psikologis maupun sosial, melalui dua cara :
a. Terhadap kelompok bermasalah secara ekonomi, seperti orangtua yang
kurang mampu termasuk ibu-ibu rumah tangga, mereka mempengaruhi
dengan menjanjikan keuntungan ekonomi yang tinggi dengan mengatakan
bahwa saat ini hanya dengan berdagang narkotika saja yang dapat
103
memperoleh keuntungan besar dengan waktu yang relatif singkat sehingga
dapat mengatasi permasalahan ekonomi yang sedang dihadapi.
b. Terhadap kelompok bermasalah lain seperti golongan pelajar atau
mahasiswa, setelah mendekati golongan tersebut maka sindikat akan
mengenalkan dengan memberikan narkotika secara gratis. Setelah korban
ketergantungan dan tidak mempunyai uang untuk membeli lagi, maka
pengedar akan meminta korban untuk mempengaruhi orang lain dan ikut
mengedarkannya.
2) Kelompok pengguna
Modus yang digunakan dalam memesan biasanya melalui handphone untuk
BAB IV
PERAN INTERPOL DALAM PEMBERANTASAN
JARINGAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA INTERNASIONAL
A. Kerjasama Antara Kepolisian Internasional
Kerjasama internasional di bidang kepolisian dalam rangka menanggulangi
kejahatan berdimensi internasional dan bersifat lintas negara telah dilaksanakan sejak
berdirinya ICPC tahun 1923 yang pada tahun 1956 berkembang menjadi ICPO. Salah satu
tujuan kerjasama tersebut adalah untuk memberantas perdagangan gelap narkotika.
Dalam memberantas peredaran gelap narkotika, di dalam Interpol terdapat sebuah
divisi khusus yang bertanggung jawab untuk mengoperasikan suatu sistem laporan
intelijen yang efektif dan menguntungkan negara anggota, menyoroti kasus-kasus
penyitaan narkotika dalam jumlah besar dan melukiskan kecenderungan-kecenderungan
baru dari pengedar, jenis narkotika yang disita, modus operandi yang digunakan dan rute
perjalanan yang dilalui. 104
Aktifitas-aktifitas yang berhubungan dengan peredaran dan perdagangan gelap
narkotika ditangani oleh dua grup. Kedua grup ini bertugas untuk :105
a. Mengumpulkan informasi penyitaan narkotika.
b. Mengkoordinasikan penyelidikan yang bersifat internasional.
c. Mensirkulasikan tentang taktik dan strategi yang digunakan untuk memberantas
peredaran gelap narkotika.
104
Sardjono, Kerjasama Internasional di Bidang Kepolisian, Op. Cit., hal. 30. 105
d. Berkoordinasi dengan badan-badan PBB di bidang narkotika yaitu UNODC.
e. Menyediakan bantuan kepada setiap NCB negara-negara anggota.
f. Mengatur pertemuan untuk membicarakan kasus peredaran gelap narkotika
yang sedang berlangsung.
g. Mengevaluasi secara periodik situasi perdagangan dan peredaran gelap
narkotika di berbagai negara di dunia.
Interpol juga memiliki kantor Perwakilan Pengontrolan Narkotika di Bangkok yang
menitikberatkan perhatiannya serta bertanggung jawab terhadap situasi peredaran
narkotika di Asia Tenggara.
Telah bertahun-tahun Divisi Khusus Narkotika ini melaksanakan program untuk
menangani permasalahan yang berhubungan dengan narkotika. Hingga saat ini
program-program yang menonjol mencakup :106
a. Program strategis penanggulangan perluasan peredaran kokain di Eropa.
b. Sistem Intelijen Strategis (SIS) menyediakan data penyitaan narkotika di
seluruh dunia.
c. Program monitor diversi narkotika dan zat kimia yang penting dari semula yang
bersifat legal kemudian diperdagangkan secara gelap.
d. Program menanggulangi peredaran heroin melalui rute Balkan.
e. Program monitor pengedar-pengedar dari berbagai kebangsaan dan kelompok
etnis.
Divisi Khusus Narkotika ini menyediakan berbagai dokumen untuk membantu
dalam pemberantasan peredaran gelap narkotika. Dokumen-dokumen ini berupa
laporan-106
laporan intelijen yang sangat penting dalam hal penyitaan dan setiap kecenderungan baru
dalam perdagangan gelap narkotika. Dokumen-dokumen ini dikirim ke masing-masing
negara anggota setiap minggu.
Publikasi lainnya adalah mencakup laporan tahunan mengenai peredaran narkotika
internasional dan laporan tahunan statistik mengenai produksi gelap, pemakaian dan
peredaran narkotika. Kedua laporan ini diajukan dalam Sidang Umum Interpol setiap
tahunnya.
Kerjasama kepolisian internasional tidak hanya dibatasi pada pertukaran informasi
tetapi juga mencakup :107
a. Menyiapkan dan mengedarkan studi-studi dan laporan-laporan dalam bidang
hukum narkotika serta permasalahan teknis yang berhubungan dengan aktifitas
kepolisian di negara masing-masing;
b. Mengumpulkan materi referensi yang bersifat umum pada fenomena yang
terjadi dan kedisiplinan yang behrubungan dengan Interpol dan tugas-tugas
kepolisian;
c. Mengatur simposium internasional untuk mempelajari secara lebih mendalam
permasalahan-permasalahan permanen yang menjadi topik bagi penegak hukum
negara anggota.
Selain itu, kerjasama internasional di bidang kepolisian memungkinkan negara
anggota yang merupakan negara maju memberikan bantuan teknis kepada
negara-negara berkembang khususnya dalam hal pelatihan dan spesialisasi petugas kepolisian.
Divisi khusus akan menyusun secara berkala suatu kursus dan pelatihan dimana
negara-negara anggota disiapkan untuk menerima perwira polisi asing.
Salah satu contoh kerjasama internasional di bidang kepolisian dalam hal
pemberian pelatihan dan spesialiasi pertugas kepolisian adalah pendirian JCLEC (Jakarta Centre for Law Enforcement Cooperation), yang bertujuan melatih para penegak hukum yang ingin meningkatkan keahlian operasionalnya dalam menangani kejahatan lintas
negara, Dibangun atas kerjasama pemerintah Indonesia dan Australia, JCLEC dikelola
Kepolisian RI dan Kepolisian Federal Australia (AFP).108
Kerjasama antara Kepolisian RI dan AFP sendiri telah terjalin sejak lama
khususnya dalam membongkar suatu sindikat kejahatan lintas negara yang beroperasi
antara Australia dan Indonesia. Penyidikan ini diberi sandi Operation Kalurra pada waktu
seorang tersangka bernama Petr Petras (seorang warga negara Cekoslovakia) tiba di Bali
dan bertemu dengan seorang warga negara Australia keturunan Turki bernama Mehmet
Seriban.
109
Kedua orang tersebut diketahui berencana untuk mengekspor sejumlah besar
bahan kimia pre-kursor (Ephidrine)110
108
untuk dipakai memproduksi shabu-shabu di
Australia. Berkat kerjasama yang baik melalui pertukaran informasi yang eferktif antara
JCLEC Buah Kerjasama Polri dan AFP ( Australian Federal Police),
diakses pada tanggal 12 November 2010. 109
Berita Acara Pelimpahan Tersangka, Badan Reserse kriminal POLRI Direktorat IV/TP.NARKOBA dan KT.
110
AFP dan Polri maka AFP dapat mengumpulkan bukti-bukti yang memungkinkan AFP
untuk menangkap sindikat ini sebelum bahan kimia tersebut diekspor.
Selain melalui Interpol, negara-negara juga dapat melakukan kerjasama di bidang
kepolisian untuk memberantas peredaran gelap narkotika. Kerjasama ini dapat dilakukan
melalui memorandum of understanding (MoU) maupun agreement.111
a. Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah
Kerajaan Bersatu Britania Raya dan Irlandia Utara tentang Penanggulangan
Kejahatan Lintas Negara dan Pengembangan Kerjasama Kepolisian.
Beberapa contoh
kerjasama yang dilakukan oleh Kepolisian Indonesia dengan negara lain, yaitu :
b. Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Kementrian
Dalam Negeri dan Hubungan Kerajan Belanda tentang Kerjasama Pendidikan
dan Pelatihan.
c. Nota Kesepahaman antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
Kepolisian Nasional Philipina tentang Kerjasama Pencegahan dan
Penanggulangan Kejahatan Transnasional.
d. Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah
Australia tentang Penanggulangan Kejahatan Lintas Negara dan pengembangan
Kerjasama Kepolisian.
e. Agreement on Narcotics Control and Law Enforcement between The Government of The United States of America and The Government of Indonesia.
111
f. Memorandum of Understanding between The Government of The Republic of Indonesia and The Government of The Socialist Republic of Vietnam on Cooperation in Preventing and Combating Crimes.
g. Memorandum of Understanding between The Indonesian National Police and The Royal Malaysia Police on Combating Illicit Trafficking in Narcotic Drugs, Zpsychotropic Subtances, Precursors, Hazardous Materials and Enchanment of Police Cooperation.
h. Arrangement on Cooperation between The National Police Agency of The Republic of Korea and The Indonesian National Police.
i. Agreement on Cooperation between The National Police of The Republic of The Indonesia and The Ministry of Public Security of The People’s Republic of China.
j. Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Romania
tentang Kerjasama Pencegahan dan Pemberantasan Kejahatan Terorganisasi
Transnasional, Terorisme dan Jenis Kejahatan Lainnya.
k. Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik
Polandia tentang Kerjasama Pemberantasan Kejahatan Terorganisasi
Transnasional dan Kejahatan Lainnya.
B. Kerjasama di Bidang Informasi
Salah satu tujuan Interpol adalah pembangunan sistem pengiriman informasi dari
NCB ke NCB negara anggota dan ke Sekretariat Jenderal dengan cepat, tepat, aman dan
permanen. Bentuk-bentuk informasi tersebut dapat berupa :112
112
a. Teks ketikan;
b. Teks grafik, diagram dan tabel;
c. Gambar berupa nota palsu, sidik jari, foto dan lain-lain;
d. Kombinasi antara teks dan gambar;
e. Konsultasi database.
Peralatan media transmisi yang digunakan tergantung pada bentuk dokumen yang
akan dikirim antara lain electronic message, facsimile, phototelegraf, dan melalui pos. Peningkatan kualitas peralatan dan standar teknologi diantara negara-negara anggota
menjadi prioritas utama pada tahun-tahun akan datang, sehingga standar kualitas jaringan
komunikasi Interpol di seluruh negara anggota dapat tercapai. 113
Sebagaimana ketentuan sistem telekomunikasi dalam Interpol, jaringan komunikasi
ada dua, yaitu :
Interpol terdiri 188 negara anggota yang masing-masing memiliki tingkat
perkembangan teknologi yang berbeda. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan dalam
pelaksanaan proses komunikasi dan informasi.
114
a. Jaringan komunikasi mencakup keseluruhan kemampuan NCB melakukan
pengiriman informasi dan dokumen ke NCB negara lain dan ke Sekretariat Jenderal
dengan menggunakan sarana yang ada.
b. Jaringan siaran radio mencakup NCB negara anggota yang dapat menerima siaran
khusus atau umum.
Kemampuan suatu NCB tergantung dari peralatan yang telah dipasang. Jaringan
telekomunikasi Interpol mencakup tiga tingkat struktur, yaitu :115
113
Ibid,hal. 21. 114
a. Level 1, yaitu dari NCB ke NCB lainnya.
NCB suatu negara anggota saling terkait dengan kepolisian negara tersebut,
demikian juga dengan Interpol, ada 188 NCB dan 13 Sub Biro.
b. Level 2, yaitu Stasiun Regional.
Stasiun Regional menjamin pengumpulan dan pengiriman berita di wilayahnya.
Mereka mengatur kelancaran arus berita antara NCB yang langsung berhubungan
dengan Stasiun Regional. Ada tujuh Stasiun Regional :
1) Lyons, merupakan kedudukan Sekretariat Jenderal, yaitu stasiun regional yang
menghubungkan NCB yang berada di Eropa, Laut Tengah, Amerika Utara dan
Timur Tengah.
2) Nairobi, yaitu stasiun regional yang menghubungkan NCB yang berada di
Afrika Timur.
3) Abijan, yaitu stasiun regional yang menghubungkan NCB di Afrika Barat.
4) Buenos Aires, yaitu stasiun regional yang menghubungkan NCB di Afrika
Selatan.
5) Tokyo, yaitu stasiun regional yang menghubungkan NCB di Asia.
6) Puerto Rico, yaitu stasiun regional yang menghubungkan NCB di Amerika
Tengah.
7) Canberra, yaitu stasiun regional yang berada di Pasifik.
c. Level 3, yaitu Stasiun Pusat.
115
Stasiun Pusat mengendalikan arus informasi dari stasiun regional yang berbeda
melalui stasiun regional. Di samping itu stasiun pusat menjadi stasiun regional
untuk zona Eropa, Mediterania, Amerika Utara, dan Timur Tengah.
Di dalam sistem informasi Interpol, dikenal X-400, yaitu suatu standar penerimaan
dan pengiriman berita internasional dalam rangkaian Komite Konsultasi Telegraf dan
Telepon Internasional (CCITT).116
Sistem incriptor Interpol dapat beradaptasi pada semua peralatan micro computer, dengan software X-400 dan identifikasi pengirim dengan memakai sebuah chip-card
Dengan adanya peralatan standar X-400 ini
memungkinkan penyediaan sarana di setiap stasiun regional dengan sebuah Mini-AMSS (
Automatic Message Switching Server ) berdasarkan standar peralatan yang menghemat biaya dan tenaga. Kebijaksanaan strategi modernisasi peralatan ini dputuskan pada tahun
1991. Dengan demikian pelayanan komunikasi informasi secara otomatis di Sekretariat
Jenderal berintegrasi ke dalam jaringan umum. Sebagian besar negara-negara di Eropa dan
Amerika Utara mengikuti Sekretariat Jenderal dalam pemakaian peralatan X-400 yang
disempurnakan di tahun 1993.
Interpol bukan hanya dapat mengirim dan menerima informasi secara tepat dan
tepat, namun juga harus aman dari deteksi pihak luar. Jaringan informasi Interpol terdiri
dari beberapa terminal dan peralatan komunikasi yang disuplai oleh berbagai negara
anggotanya. Ada dua persyaratan yang harus dipenuhi yaitu, pertama sistem yang
mengidentifikasikan pengiriman berita sehingga pihak ketiga tidak mempunyai
kesempatan memperoleh akses dan mengirimkan berita tanpa gangguan. Kedua, peralatan
menjamin bahwa terhadap berita penting tidak akan teridentifikasi oleh pihak lain.
116
sebagai tanda tangan elektronik, semua ini dapat dilaksanakan tanpa harus melakukan
modifikasi terhadap X-400. Sistem ini telah dioperasikan sejak bulan Agustus 1991.
Dalam mempermudah pemberian informasi kepada setiap NCB, Interpol juga
melengkapi saran informasinya dengan The Automated Search Facility ( AFS ) yaitu suatu sarana yang dapat digunakan NCB negara anggota untuk mencari identitas tersangka
secara otomatis.117
Banyak dokumen yang diterbitkan oleh Interpol secara periodik maupun
sewaktu-waktu untuk mengedarkan informasi melalui NCB-NCB kepada kepolisian negara-negara
anggota. Dokumen-dokumen tersebut disiapkan oleh notices group yang berisi informasi yang telah dikumpulkan dari beberapa negara. Dokumen tersebut adalah :
Pencarian identitas tersangka dilakukan dengan beberapa kriteria
termasuk kriteria nama keluarga, nama depan, tanggal lahir, kewarganegaraan, nomor
paspor atau identitas lainnya. Sistem ini juga dapat mengirimkan foto dan sidik jari
seseorang dan international notices dalam bahasa Inggris, Perancis, Spanyol dan Arab. Dengan menggunakan AFS ini, NCB negara anggota dapat mengirimkan serta menerima
informasi dengan mengirimkan gambar secara langsung.
Dengan sarana melalui X-400 dan ASF, maka Interpol memiliki sarana utama
sebagai fondasi mengembangkan dan memperluas jaringan ke seluruh dunia, guna
memberantas kejahatan peredaran gelap narkotika.
118
1. Individual Notices, dokumen ini memberikan data identitas, penjelasan secara fisik dan kemungkinan keberadaan, foto dan sidik jari seseorang. Individual
notices ini sendiri terdiri atas beberapa jenis, yaitu :
117
Ibid.
118
a. Wanted Notices adalah permintaan mengenai orang-orang yang dicari untuk ditangkap dan ditahan dengan kemungkinan ekstradisi. Wanted notices ini berupa data-data lengkap dari orang yang dicari tersebut dan menjelaskan
kejahatan apa yang telah dilakukannya.
b. Enquiry Notices adalah permintaan yang diterbitkan untuk mengumpulkan informasi tambahan tentang orang-orang yang dimaksud yang dapat
digunakan untuk membantu menemukan si tersangka.
c. Warning Notices adalah peringatan atau pemberitahuan kepada beberapa negara mengenai seorang atau sindikat yang sedang melakukan kejahatan di
negara-negara tersebut.
d. Missing Person Notices diterbitkan bila seseorang khususnya orang-orang yang belum dewasa dilaporkan hilang dari kediamannya.
e. Unidentified Body Notices berisi deskripsi mayat yang ditemukan tanpa identitas.
2. Stolen Property Notices yaitu pemberitahuan atas barang-barang hilang atau yang sedang dicari.
3. Surat Edaran, laporan dan brosur-brosur teknik yang memberikan ringkasan,
fakta serta kategori tertentu dari pelaku pengedar gelap narkotika.
Dokumen-dokumen Interpol ini disimpan secara elektronik dalam disk optic
sehingga mempermudah mengidentifikasi para pelaku kejahatan dan menunjukkan apakah