• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Interpol Dalam Pemberantasan Jaringan Peredaran Gelap Narkotika Internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Peran Interpol Dalam Pemberantasan Jaringan Peredaran Gelap Narkotika Internasional"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Daftar Buku

Atmasasmita, Romli, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2000.

Atmasasmita, Romli, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, Citra Adtya Bakti, Bandung, 1997.

Bareskrim Polri, Tindak Pidana Narkoba dalam Angka dan Gambar (Tahun 2004-2009),

Jakarta, 2009.

Dirdjosisworo, RS. Hari Sasangka, Hukum Narkotika Indonesia, Alumni, Bandung, 1987. Bowett, D.W., Hukum Organisasi Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 1991.

Hamzah, Andi, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986.

Interpol, NCB Indonesia, Kumpulan Naskah Kerjasama antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Kepolisian Negara Asing dan Organisasi Internasional, Jakarta, 2007

Muljono, Eugenia Liliawati, Peraturan Perundang-Undangan Narkotika dan Psikotropika, Harvarindo, Jakarta, 2006.

Parthiana, I Wayan, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional Modern, Yrama Widya, Bandung, 2009.

Parthiana, I Wayan, Hukum Pidana Internasional, Yrama Widya, Bandung,

Sardjono, Kerjasama Internasional di Bidang Kepolisian, National Central Bureau Indonesia, Jakarta, 1996.

Sasangka, RS Hari, Narkotikaa dan Psikotropika dalam Hukum Pidana Untuk Mahasiswa dan praktisi serta Penyuluh Masalah Narkoba, Mandar Maju, Bandung, 2003. Siregar, Hasnil Basri, Hukum Organisasi Internasional, Kelompok Studi Hukum dan

Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 1998.

(2)

Suherman, Ade Maman, Organisasi Internasional dan Integrasi Ekonomi Regional dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003.

Starke, J.G, Pengantar Hukum Internasional, Jilid I Edisi Kesepuluh,Sinar Grafika, Jakarta, 1989.

Daftar Media Massa

www.bnn.go.id

www.kompas.com

www.organisasi.org

Daftar Dokumen

Annual Report of Interpol 2009

Badan Narkotika Nasional, Kebijakan, Strategi dan Rencana Program Pembangunan Badan Narkotika Nasional Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Narkoba, Jakarta, 2002.

Interpol Magazine 2006

Interpol Magazine 2007

(3)

Tara, Jusrida, Optimalisasi Peranan Departemen Hukum dan HAM pada Tim Koordinasi Interpol dalam Rangka Pencegahan dan penanggulangan Kejahatan Transnasional serta Kendala yang Dihadapi, Jakarta, 2008.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention

Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs 1988.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

UNODC, World Drug Report, 2010

(4)

BAB III

PERKEMBANGAN JARINGAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA

A. Pengaturan tentang Narkotika dalam Hukum Internasional

1. Perkembangan Konvensi Internasional tentang Narkotika

Konvensi internasional pertama yang mengatur tentang narkotika adalah The Hague Opium Convention 1912, dan selanjutnya berturut-turut adalah The Geneva Internasional Opium Convention 1925, The Geneva Convention for Limiting the Manufacture and Regulating the Distribution of Narcotic Drugs 1931, The Convention for the Suppression of the Illicit Traffic in Dangerous Drugs 1936, Single Convention on Narcotic Drugs 1961, sebagaimana diubah dan ditambah dengan Protokol 1972 dan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Subtances 1988 atau yang dikenal dengan Konvensi Wina 1988.59

Uraian perkembangan Konvensi Internasional Narkotika dibatasi pada Konvensi

Tunggal Narkotika 1961 dan Konvensi Wina 1988, karena kedua konvensi ini, merupakan

resultante dari konvensi terdahulu mengenai narkotika dan psikotropika serta merupakan

konvensi terpenting dalam sejarah pengaturan internasional di bidang narkotika dan

psikotropika, setelah berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa.60

Konvensi Tunggal Narkotika 1961 merupakan hasil konferensi Perserikatan

Bangsa-Bangsa yang diselenggarakan di New York, tanggal 24 – 25 Maret 1961, dan

setelah konvensi tersebut berlaku efektif selama 11 tahun, pada tanggal 6 – 24 Maret 1972

di Jenewa, telah diselenggarakan konferensi, United Nations Conference to Consider

59

Romli Atmasasmita, Op. Cit., hal. 52. 60

(5)

Amendments to the Single Convention on Narcotic Drugs 1961 yang menghasilkan Protokol yang mengubah Konvensi Tunggal 1961.61

Tujuan dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961 tersebut dijabarkan dalam enam

sub tujuan yaitu :

Konvensi Tunggal Narkotika 1961 menitikberatkan kepada aspek pengaturan dan

pengawasan sedangkan Konvensi Wina 1988 menitikberatkan kepada aspek penegakan

hukum. Konvensi Wina 1988 merupakan pembaharuan secara mendasar terhadap konvensi

internasional narkotika pada umumnya, dan terhadap Konvensi Tunggal Narkotika 1961

khususnya, karena strategi Konvensi Wina 1988 ditujukan untuk meningkatkan penegakan

hukum terhadap tindak pidana narkotika. Kedua konvensi internasional ini memiliki

perbedaan mendasar sejalan dengan perkembangan tindak pidana narkotika pada masanya.

Perbedaan-perbedaan ini meliputi perbedaan dari segi tujuan maupun dari substansinya.

Konvensi Tunggal Narkotika 1961 bertujuan melakukan konsolidasi terhadap

perjanjian-perjanjian terdahulu tentang narkotika dan memudahkan mekanisme

pengawasan terhadap narkotika. Protokol perubahan tahun 1972 terhadap Konvensi

Tunggal Narkotika tersebut di atas, bertujuan menyempurnakan ketentuan-ketentuan

konvensi tersebut sehingga meliputi ketentuan tentang perlakuan dan rehabilitasi

pecandu-pecandu narkotika.

62

1) Kodifikasi perjanjian multilateral tentang narkotika yang telah ada;

2) Menyederhanakan mekanisme pengawasan internasional;

61

Ibid. 62

(6)

3) Memperluas sistem pengawasan atas penanaman obat-obatan alamiah narkotika

lain sebagai pelengkap candu dan yang menghasilkan akibat ketergantungan

seperti ganja atau daun koka;

4) Membatasi perdagangan dan impor narkotika;

5) Mengawasi perdagangan narkotika ilegal;

6) Mengambil tindakan-tindakan yang layak untuk perlakuan dan rehabilitasi bagi

pecandu-pecandu narkotika.

Sedangkan lingkup, sasaran dan tujuan Konvensi Wina 1988 adalah meningkatkan

kerjasama penegakan hukum di antara negara peserta terhadap lalu lintas perdagangan

narkotika dan psikotropika ilegal, baik dari aspek legislatif, administratif maupun aspek

teknis operasional. Di dalam menjalankan kewajiban tersebut diharapkan agar peserta

konvensi mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu sesuai dengan hukum

nasional masing-masing negara.

Perwujudan lingkup, sasaran dan tujuan tersebut di atas, tampak dari beberapa

ketentuan yang dimuat dalam Konvensi Wina 1988, antara lain :63

1) Pasal 3, mengatur tentang kejahatan-kejahatan dan sanksi;

2) Pasal 4, mengatur tentang yurisdiksi;

3) Pasal 5, mengatur tentang penyitaan atau confiscation;64 4) Pasal 6, mengatur tentang ekstradisi;

63

Ibid, hal. 56. 64

(7)

5) Pasal 7, mengatur tentang perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah

pidana;

6) Pasal 8, mengatur tentang alih prosedur atau transfer of proceedings;65 7) Pasal 9, mengatur tentang bentuk-bentuk lain dan pelatihan;

8) Pasal 10, mengatur tentang kerjasama internasional dan bantuan untuk negara

transit;

9) Pasal 11, mengatur tentang penyerahan yang diawasi atau controlled delivery. Sembilan ketentuan tersebut di atas, merupakan ciri utama yang membedakan

Konvensi Wina 1988 dari konvensi-konvensi internasional narkotika sebelumnya,

sehingga konvensi tersebut merupakan konvensi narkotika yang bersifat represif atau

suppresive convention. Selain itu terdapat konvensi narkotika lain yang memiliki tujuan yang sama, sekalipun belum semaju dan selengkap Konvensi Wina 1988 yaitu The Convention for The Suppression of the Illicit Traffic in Dangerous Drugs 1936. Inisiatif pertama untuk melahirkan suatu konvensi narkotika yang bersifat represif, berasal dari

International Criminal Police Organization (ICPO) atau Interpol yang berpendapat bahwa diperlukan suatu konvensi khusus yang bertujuan menetapkan langkah-langkah preventif

dan represif terhadap peredaran gelap narkotika internasional sehingga diharapkan dapat

mengatasi kesenjangan antara ketentuan konvensi-konvensi sebelumnya.66

65

Transfer of proceedings merupakan suatu pilihan ketika ekstradisi tidak dapat dilakukan. Dalam melakukan alih prosedur harus ada permintaan dari negara yang satu ke negara yang lain untuk melalukan proses hukum atas suatu tindakan yang merupakan pelanggaran baik di negara yang diminta maupun negara yang meminta. Sejumlah konvensi internasional memuat tentang ketentuan transfer of proceedings ini, yaitu

European Convention on Mutual Assistance in Criminal Matters, the European Convention on Extradition

dan the United Nations Convention against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances

1988. 66

(8)

Perbedaan lain dan relevan dengan penegakan hukum terhadap tindak pidana

narkotika berdimensi internasional adalah ketentuan mengenai yurisdiksi kriminal.

Konvensi Tunggal Narkotika 1961, tidak mengatur secara khusus masalah ini, sedangkan

Konvensi Wina 1988 telah mengatur dan menetapkan kemungkinan bagi setiap negara

peserta untuk memperluas yurisdiksi kriminal terhadap tindak pidana narkotika

internasional.67 Negara peserta Konvensi Wina 1988 menyadari bahwa apabila penegakan

hukum terhadap lalu lintas perdagangan narkotika tidak dilaksanakan sesuai dengan

prosedur yang ditetapkan hukum internasional, dikhawatirkan akan menimbulkan konflik

yurisdiksi antar negara-negara tersebut.68

Bertitik tolak dari pemikiran tersebut, ketentuan Pasal 2 Konvensi Wina 1988, telah

menetapkan antara lain sebagai berikut :69

a. Para pihak harus melaksanakan kewajibannya berdasarkan konvensi ini dengan

cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip persamaan kedaulatan dan integritas

wilayah negara dan tidak mencampuri urusan dalam negeri dari negara lain;

b. Salah satu pihak tidak akan mengambil tindakan dalam wilayah pihak lain

untuk menerapkan yurisdiksi dan kekuasaannya yang secara khusus dimiliki

oleh pejabat berwenang dari pihak lain berdasarkan hukum nasionalnya.

Wujud penegakan hukum yang sejalan dengan ketentuan tersebut di atas, ialah

pembentukan perjanjian kerjasama antara negara-negara yang berkepentingan. Di dalam

Pasal 17 ayat 1 Konvensi Wina 1988 yang mengatur tentang perdagangan obat-obatan

terlarang, ditetapkan bahwa, setiap peserta konvensi berkewajiban untuk bekerja sama

67

Ibid. 68

Ibid, hal. 59. 69

(9)

semaksimal mungkin menanggulangi lalu lintas perdagangan narkotika ilegal melalui laut

sesuai dengan hukum laut internasional.

Kerjasama yang diharapkan dalam konvensi dimaksud ternyata tidak hanya

semata-mata kerjasama dalam bentuk suatu penandatanganan perjanjian bilateral ataupun

multilateral, melainkan suatu bentuk kerjasama yang lebih nyata dalam upaya

menanggulangi atau memberantas lalu lintas perdagangan narkotika ilegal melalui jalur

pelayaran di laut.70

1) Fasilitas ekstradisi dan penuntutan tertuduh dalam kasus lalu lintas perdagangan

narkotika ilegal serta mendorong adanya bantuan kerjasama antara pemerintah

negara-negara peserta dalam kasus-kasus narkotika.

Dalam Pasal 17 ayat 2 ditetapkan bahwa apabila negara yang memiliki alasan untuk

mencurigai bahwa suatu kapal berbendera atau tidak terlibat dalam peredaran gelap

narkotika, maka negara tersebut dapat meminta bantuan kepada negara lain. Negara yang

diminta bantuannya tersebut harus memberikan bantuan semaksimal mungkin. Pasal ini

memberikan kemungkinan kepada negara-negara yang bersangkutan, atas dasar

persangkaan yang kuat dan cukup beralasan meminta bantuan kepada negara lain

mencegah penggunaan kapal laut untuk maksud-maksud perdagangan ilegal tersebut.

Substansi penting lainnya yang diatur dalam Konvensi Wina 1988, adalah sebagai

berikut:

2) Fasilitas pengiriman yang diawasi: penjejakan dan pengintaian terhadap

pengapalan narkotika secara ilegal.

70

(10)

3) Meningkatkan kerjasama dengan negara transit atau transit state dan mencegah penyerahan secara ilegal melalui pos.

4) Penegasan tanggung jawab perusahaan pesawat penumpang dan perusahaan

kapal angkutan laut.

5) Mewajibkan pemerintah negara peserta untuk menghapuskan produksi tanaman

ilegal narkotika.

6) Menetapkan suatu sistem monitoring perdagangan internasional obat-obatan yang sering dipergunakan dalam proses lalu lintas narkotika ilegal.

2. Pengaturan tentang Narkotika dalam United Nations Convention Against Illicit

Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropika Subtances 1988.

Didukung oleh rasa keprihatinan yang mendalam atas meningkatnya produksi,

permintaan, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika serta

kenyataan bahwa anak-anak dan remaja digunakan sebagai pasar pemakai narkotika dan

psikotropika secara gelap, serta sebagai sasaran produksi, distribusi dan peredaran gelap

narkotika dan psikotropika, telah mendorong lahirnya Konvensi Perserikatan

Bangsa-Bangsa menentang Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988.71

Konvensi tersebut secara keseluruhan berisi pokok-pokok pikiran antara lain,

sebagai berikut :72

1) Masyarakat internasional di dunia perlu memberikan perhatian dan prioritas

utama atas masalah pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika.

71

Penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Subtances 1988.

72

(11)

2) Pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika merupakan masalah

semua negara yang perlu ditangani secara bersama pula.

3) Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961,

Protokol 1972 tentang Perubahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 perlu

dipertegas dan disempurnakan sebagai sarana hukum untuk mencegah dan

memberantas perdaran gelap narkotika dan psikotropika.

4) Perlunya memperkuat dan meningkatkan saran hukum yang lebih efektif dalam

rangka kerjasama internasional di bidang pidana untuk memberantas organisasi

kejahatan transnasional dalam kegiatan peredaran gelap narkotika.

Yang menjadi pokok-pokok pikiran yang diatur dalam konvensi ini adalah sebagai

berikut :

1) Ruang Lingkup Konvensi 73

Konvensi bertujuan untuk meningkatkan kerjasama internasional yang lebih

efektif terhadap berbagai aspek peredaran gelap narkotika. Untuk tujuan

tersebut, para pihak akan menyelaraskan peraturan perundang-undangan dan

prosedur administrasi masing-masing sesuai dengan konvensi ini dengan tidak

mengabaikan asas kesamaan kedaulatan, keutuhan wilayah negara, serta asas

tidak mencampuri urusan dalam negeri suatu negara.

2) Kejahatan dan Sanksi74

Tanpa mengabaikan prinsip-prinsip hukum masing-masing, negara-negara yang

menjadi peserta dari konvensi ini akan mengambil tindakan yang perlu untuk

menetapkan peredaran gelap narkotika sebagai suatu kejahatan. Pengertian dari

73

Ibid. 74

(12)

peredaran mencakup dari berbagai kegiatan yaitu mulai dari penanaman,

produksi, penyaluran, lalu lintas, pengedaran sampai ke pemakaiannya.

Terhadap kejahatan tersebut di atas dapat dikenakan sanksi berupa pidana

penjara atau bentuk perampasan kemerdekaan, denda dan penyitaan aset sejauh

dapat dibuktikan sebagai hasil dari kejahatan. Di samping itu, pelakunya dapat

diberikan pembinaan, rehabilitasi atau reintegrasi sosial.

Para pihak dalam konvensi ini harus dapat menjamin bahwa lembaga peradilan

dan pejabat yang berwenang yang mempunyai yurisdiksi dapat

mempertimbangkan keadaan nyata yang menyebabkan kejahatan yang

dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) merupakan kejahatan serius, seperti :

a) Keterlibatan di dalam kejahatan dan kelompok kejahatan terorganisasi yang

pelakunya sebagai anggota;

b) Keterlibatan pelaku dalam kegiatan kejahatan lain yang terorganisasi secara

internasional;

c) Keterlibatan dalam perbuatan melawan hukum lain yang dipermudah oleh

dilakukannya kejahatan tersebut;

d) Penggunaan kekerasan atau senjata api oleh pelaku;

e) Kejahatan dilakukan oleh pegawai negeri dan kejahatan tersebut berkaitan

dengan jabatannya;

f) Menjadikan anak-anak sebagai korban atau menggunakan anak-anak untuk

melakukan kejahatan;

g) Kejahatan dilakukan di dalam atau di sekitar lembaga permasyarakatan,

(13)

anak-anak sekolah atau pelajar berkumpul untuk melakukan kegiatan

pendidikan, olahraga dan kegiatan sosial;

h) Sebelum menjatuhkan sanksi pidana, khususnya pengulangan kejahatan

serupa yang dilakukan, baik di dalam maupun di luar negeri sepanjang

kejahatan tersebut dapat dijangkau oleh hukum nasional masing-masing

negara. Kejahatan-kejahatan yang dimaksud dalam konvensi ini adalah

kejahatan yang menurut sistem hukum nasional pigak-pihak dalam

konvensi dianggap sebagai tindakan kejahatan yang dapat dituntut dan

dipidana.

3) Yurisdiksi75

Negara yang menjadi pihak dalam konvensi ini harus mengambil tindakan

terhadap kejahatan yang dilakukan oleh pelaku sebagaimana yang dimaksud

dalam Pasal 3 ayat (3) konvensi, baik terhadap kejahatan yang dilakukan di

wilayahnya, di atas kapal atau di dalam pesawat udara dari negara yang

bersangkutan, baik kejahatan itu dilakukan oleh warga negaranya maupun

warga negara asing. Masing-masing negara juga harus mengambil tindakan

yang dianggap perlu untuk menetapkan yurisdiksi atas kejahatan sebagaimana

yang dimaksud dalam konvensi ini, jika tersangka berada di dalam wilayah

negaranya dan tidak diekstradisi ke negara lain.

4) Penyitaan76

Negara-negara dapat menyita narkotika serta peralatan lain yang merupakan

hasil dari kejahatan. Lembaga peradilan atau pejabat yang berwenang dapat

75

Ibid, hal. 309. 76

(14)

memeriksa atau menyita catatan bank, keuangan atau perdagangan. Petugas

atau badan yang diharuskan menunjukkan catatan tersebut tidak dapat menolak

untuk memberikan informasi dengan alasan kerahasiaan bank. Kekayaan yang

menjadi hasil kejahatan dapat disita, kecuali dapat dibuktikan oleh pelaku

bahwa kekayaan tersebut tidak didapatnya dari hasil kejahatan. Apabila

kekayaan tersebut telah bercampur dengan kekayaan dari sumber yang sah,

maka penyitaan hanya dapat dikenakan sebatas nilai yang ditaksir sebagai hasil

kejahatan. Namun demikian, penyitaan itu hanya dapat dilakukan setelah diatur

oleh hukum nasional dari negara yang bersangkutan.

5) Ekstradisi77

Kejahatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) konvensi ini

termasuk kejahatan yang dapat diekstradisi sesuai dengan perjanjian ekstradisi

yang diadakan antara negara-negara yang bersangkutan. Apabila negara-negara

tidak mempunyai perjanjian ekstradisi, maka konvensi ini dapat digunakan

sebagai dasar hukum dilakukannya penyerahan pelaku bagi kejahatan yang

menjadi ruang lingkup konvensi ini.

6) Bantuan Hukum Timbal Balik78

Negara- negara dapat saling memberikan bantuan hukum timbal balik dalam

penyidikan, penuntutan dan proses acara sidang yang berkaitan dengan

kejahatan sebagaimana yang dimaksud dalam konvensi ini. Bantuan hukum

timbal balik dapat diminta untuk keperluan :

a. Mengambil barang bukti atau pernyataan dari orang;

77

Ibid, hal. 310. 78

(15)

b. Memberikan pelayanan dokumen hukum;

c. Melakukan penggeledahan dan penyitaan;

d. Memeriksa benda dan lokasi;

e. Memberikan informasi;

f. Memberikan dokumen asli atau salinan dokumen yang relevan, seperti

cacatan bank atau catatan perusahaan;

g. Mengidentifikasi atau melacak hasil kejahatan, perlengkapan atau benda

lain yang dapat digunakan dalam pembuktian.

7) Pengalihan Proses Acara

Dalam konvensi ini juga diatur mengenai pengalihan proses acara. Hal ini

memungkinkan bagi para pihak dalam konvensi untuk mengalihkan proses

acara dari satu negara ke negara lain, jika pengalihan acara tersebut dianggap

perlu untuk kepentingan pelaksanaan proses pengadilan yang lebih baik.

8) Kerjasama di Bidang Penegakan Hukum

Dalam konvensi ini juga mengatur tentang kerjasama antar negara dalam

pemberantasan peredaran gelap narkotika. Negara dapat saling bekerja sama

sesuai dengan sistem hukum masing-masing dalam rangka meningkatkan

secara efektif penegakan hukum untuk memberantas kejahatan sebagaimana

yang dimaksud dalam konvensi ini. Kerjasama yang dimaksud dapat berupa :

a. Membentuk dan memelihara jalur komunikasi antar lembaga dan dinas

masing-masing yang berwenang, untuk mempermudah pertukaran

(16)

b. Kerjasama dalam pemeriksaan kasus berkaitan dengan kejahatan yang

dimaksud dalam konvensi ini.

c. Membentuk tim gabungan.

d. Menyediakan bahan-bahan yang diperlukan untuk analisa atau penyidikan;

e. Mengadakan program latihan khusus bagi personil penegak hukum atau

personil lainnya seperti kepolisian dan pabean yang bertugas memberantas

kejahatan peredaran gelap narkotika.

f. Merencakan dan melaksanakan program penelitian dan pengembangan yang

dirancang untuk meningkatkan keahlian.

9) Kerjasama Organisasi Internasional dan Bantuan bagi Negara Transit.

Negara dapat bekerja sama baik secara langsung maupun melalui organisasi

internasional seperti Interpol atau organisasi regional seperti Aseanpol dan

Europol yang berwenang untuk membantu dan mendukung negara transit ,

khususnya negara-negara berkembang yang membutuhkan bantuan melalui

program teknik guna mencegah kejahatan dan kegiatan lain yang terkait.

10)Penyerahan yang diawasi

Untuk keperluan identifikasi orang-orang yang terlibat dalam kejahatan

sebagaimana yang dimaksud dalam konvensi ini, negara dapat mengambil

berbagai tindakan yang dianggap perlu dalam batas kemampuannya untuk

melakukan penyerahan yang diawasi (controlled delivery) pada tingkat internasional berdasarkan persetujuan atau pengaturan yang disepakati oleh

masing-masing negara, sepanjang tindakan tersebut tidak bertentangan dengan

(17)

Keputusan menggunakan penyerahan yang diawasi dilakukan secara kasus

demi kasus. Barang kiriman gelap yang penyerahannya telah disetjui, atas

persetujuan para pihak, dapat diperiksa dan diserahkan kepada negara yang

bersangkutan.

11)Pemberantasan Penanaman Bahan-Bahan Pembuat Narkotika

Dalam konvensi ini ditetapkan para pihak dalm konvensi harus mengambil

tindakan yang tepat untuk mencegah penanaman secara gelap dan memberantas

tanaman yang menjadi bahan pembuat narkotika yang ditanam di wilayah

negaranya masing-masing. Selain itu konvensi ini juga mendorong

dilakukannya kerjasama antar negara untuk meningkatkan efektifitas

pemberantasan meliputi dukungan terhadap pembinaan terpadu yang mengarah

kepada pembinaan alternatif ekonomi yang lebih baik daripada melakukan

penanaman narkotika secara ilegal.

12)Pengangkutan Komersil

Sehubungan dengan pengangkutan komersil, Konvensi Wina 1988 juga

mengharuskan agar para pihak dapat menjamin pengangkutan komersil tidak

digunakan untuk melakukan kejahatan peredaran gelap narkotika.

13)Lalu lintas Gelap Melalui Laut

Di dalam konvensi ini ditetapkan bahwa para pihak harus bekerja sama untuk

memberantas lalu lintas peredaran gelap narkotika melalui laut sesuai dengan

(18)

B. Peredaran Gelap Narkotika Sebagai Salah Satu Kejahatan Transnasional

1. Pengertian Narkotika

Masalah penyalahgunaan narkotika merupakan masalah yang sangat kompleks,

yang memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan

kerjasama multisektor dan peran serta masyarakat secara aktif yang dilaksanakan secara

berkesinambungan, konsekuen dan konsisten. Meskipun dalam ilmu kedokteran sebagian

dari narkotika masih bermanfaat bagi pengobatan, namun bila disalahgunakan atau

digunakan tidak menurut indikasi medis atau standar pengobatan terlebih lagi bila disertai

peredaran di jalur ilegal, akan berdampak negatif bagi individu maupun masyarakat luas

khususnya generasi muda.

Narkotika berasal dari bahasa Yunani, narke yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa. Secara umum yang dimaksud dengan narkotika adalah suatu obat atau

zat alami, sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan turunnya kesadaran,

menghilangkan atau mengurangi rasa atau nyeri dan perubahan kesadaran yang

menimbulkan ketergantungnya akan zat tersebut secara terus menerus. 79

Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang dimaksud

dengan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik

sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan

kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat

menimbulkan ketergantungan.80

79

Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hal. 224.

80

(19)

WHO sendiri memberikan definisi tentang narkotika sebagai berikut: "Narkotika

merupakan suatu zat yang apabila dimasukkan ke dalam tubuh akan mempegaruhi fungsi

fisik dan/atau psikologi (kecuali makanan, air, atau oksigen)." 81

Defenisi lain dari Biro Bea Cukai Amerika Serikat dalam bukunya “Narcotic Identification Manual” ( 1973) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan narkotika adalah candu, ganja, kokain, zat-zat yang bahan mentahnya diambil dari benda-benda

tersebut yakni morfin, heroin, kodein, hasnish, kokain, dan termasuk juga narkotika

sintetik yang menghasilkan zat-zat, obat-obatan yang tergolong dalam Halusinogen,

Depresan dan Stimulan. 82

81

Jadi, narkotika adalah zat yang memiliki ciri-ciri tertentu, dimana penggunaannya

dapat memberikan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang memasukkannya dalam

tubuh. Pengaruh tersebut dapat berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan

semangat dan halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan. Sifat-sifat tersebut yang

diketahui dan ditemukan dalam dunia medis bertujuan untuk dimanfaatkan bagi

pengobatan dan kepentingan manusia, seperti dalam bidang pembedahan, menghilangkan

rasa sakit dan lain-lain. Namun diketahui bahwa narkotika memiliki daya pencanduan yang

dapat menimbulkan si pemakai bergantung hidupnya kepada narkotika tersebut. Hal

tersebut bisa dihindari apabila penggunaan narkotika diatur berdasarkan dosis yang dapat

dipertanggungjawabkan secara medis.

November 2010

82

(20)

2. Jenis-Jenis Narkotika

Narkotika banyak sekali jenisnya, dibawah akan diuraikan jenis-jenis narkotika dan

penggolongannya baik dari segi bahan pembuatnya maupun akibatnya.

Golongan narkotika berdasarkan bahan pembuatnya diklasifikasikan atas 3 yaitu:83

a. Narkotika Alami

Zat atau obat yang langsung bisa dipakai sebagai narkotika tanpa perlu adanya

suatu proses fermentasi, isolasi dan proses lainnya terlebih dahulu karena bisa

langsung dipakai dengan sedikit proses sederhana. Bahan alami tersebut

umumnya tidak boleh digunakan untuk terapi pengobatan secara langsung

karena terlalu beresiko. Contoh narkotika alami yaitu ganja, opium dan daun

koka.

b. Narkotika Sintetis

Narkotika jenis ini memerlukan proses yang bersifat sintetis, digunakan untuk

keperluan medis dan penelitian sebagai penghilang rasa sakit. Contohnya yaitu

amfetamin. Narkotika sintetis dapat menimbulkan dampak sebagai berikut :

1) Membuat pemakai tertidur atau tidak sadarkan diri (depresan);

2) Membuat pemakai bersemangat dalam beraktifitas (stimulan);

3) Membuat pemakai menjadi berhalusinasi sehingga dapat mempengaruhi

perasaan serta pikirannya (halusinogen)

c. Narkotika Semi Sintetis

Yaitu zat atau obat yang diproduksi dengan cara isolasi, ekstraksi dan lain

sebagainya. Contohnya heroin, morfin, kodein dan lain-lain.

83

(21)

Penggolongan narkotika dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang

Narkotika dibagi atas 3 golongan, yaitu : 84

1) Narkotika Golongan I

Narkotika golongan ini adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk

tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak boleh digunakan dalam

terapi, serta mempunyai potensi tinggi yang dapat mengakibatkan

ketergantungan. Contoh narkotika jenis ini adalah :

a. Ganja

Ganja berasal dari tanaman Cannabis Sativa. Tumbuhan ini mengandung zat narkotika yang memabukkan. Dampaknya menimbulkan euforia

(kegembiraan), menyebabkan ketenangan, tidak peduli pada lingkungan,

dan rasa tenteram. Pemakaian ganja dapat mengakibatkan ketergantungan

serta mampu mengubah struktur fungsi saraf. Tumbuhan ini hidup di daerah

tropis seperti India, Nepal, Thailand, Laos, Kamboja, Indonesia dan juga

dapat tumbuh di negara beriklim subtropis seperti Rusia bagian Selatan dan

Korea.

b. Kokain85

Kokain adalah alkaloida dari tumbuhan erythroxylon coca, yaitu sejenis tumbuhan di lereng Pegunungan Andes Amerika Selatan. Sejak

berabad-abad, suku Indian di Amerika sering mengunyah daun koka dalam upacara

ritual mereka dan untuk menahan lapar serta letih. Kokain adalah narkotika

84

Penjelasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997. 85

(22)

yang sangat berbahaya karena dampak ketergantungan kokain sangat kuat

bagi pemakainya.

c. Opioida

Opioida adalah nama sekelompok zat alamiah, semi sintetik atau sintetik

yang mempunyai khasiat mengurangi atau menghilangkan rasa sakit.

Opioida ada 3 jenis, yaitu :

a) Opioida alamiah, yaitu opium, morfin dan codein.

b) Opioida semi sintetik, yaitu hidro morfin dan heroin

c) Opioida sintetik, meliputi meperidin, levalorfan.

d. Heroin atau Putaw

Heroin adalah opioida semi sintetik, berupa serbuk putih dan terasa pahit

yang sering disalahgunakan secara meluas. Di pasar gelap, heroin

dipasarkan dalam berbagai macam warna karena dicampur dengan bahan

lainnya seperti gula, coklat, tepung susu. Pada tahun 1898, Heroin diuji

manfaatnya yang ternyata dapat melegakan batuk (antitusif), melegakan

nafas dan jantung serta memberikan kehangatan dan melancarkan

pencernaan. Namun didapati bahwa bahaya penggunaan heroin jauh lebih

besar dibanding dengan kegunaannya. Heroin dapat mengakibatkan

ketergantungan dan mempunyai efek yang lebih kuat serta halusinasinya

lebih tinggi daripada morfin. Akibatnya penggunaan heroin tidak

(23)

e. Opium

Yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman Papaver Somniferum L yang hanya mengalami pengolahan yang sederhana. Opium terdiri dari :86

a) Candu, yaitu hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu

rentetan pengolahan baik pelarutan, pemanasan dan peragian dengan

atau tanpa penambahan bahan-bahan lain dengan maksud untuk

mengubahnya menjadi ekstrak yang cocok untuk pemadatan.

b) Jicing, yaitu sisa-sisa setelah candu dihisap

c) Jicingko, yaitu hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.

2) Narkotika Golongan II

Narkotika golongan II adalah narkotika yang berkhasiat dalam pengobatan,

yang digunakan sebagai pilihan terakhir. Narkotika ini digunakan dalam terapi

dan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi

tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh narkotika golongan II, yaitu :

a. Morfin

Morfin adalah bahan analgesik yang kuat khasiatnya, tidak berbau,

berbentuk kristal, berwarna putih, yang dapat berubah warna menjadi

kecoklatan. Morfin berasal dari opium. Opium mentah mengandung 4%

sampai 21% morfin. Khasiat morfin adalah untuk analgesik (penghilang

rasa sakit) yang sangat kuat, misalnya waktu pembedahan atau pasien

menderita luka bakar. Dalam perdagangan gelap, morfin mempunyai

86

(24)

banyak nama, misalnya : White Stuff, M, Hard Stuff, Morphe, Unkie, Miss Emma, Hoccus, Morphie Emsel dan lain sebagainya. 87

b. Petidin

Petidin adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dari morfin,

tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama

dengan morfin.

3) Narkotika Golongan III

Narkotika golongan III adalah narkotika yang berkhasiat dalam pengobatan

dan banyak digunakan dalam terapi dan untuk tujuan pegembangan ilmu

pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

Contoh narkotika golongan III,yaitu :

a. Codein

Codein adalah alkaloida terkandung dalam opium sebesar 0,7% sampai 2,5

%. Codein merupakan opioida alamiah yang banyak digunakan untuk

keperluan medis. Codein mempunyai dampak analgesik lemah, hanya

sekitar seperduabelas daya analgesik morfin. Codein biasa digunakan

sebagai antitusif (peredam batuk) yang kuat.

b. Garam-garam narkotika dalam golongan-golongan tersebut.

3. Kejahatan Peredaran Gelap Narkotika sebagai Salah Satu Kejahatan Transnasional

Perkembangan kejahatan yang bersifat lintas batas teritorial dalam bentuk dan

lingkup jangkauan, dampaknya serta dilihat dari implikasi hukum yang menyertainya,

dapat dibedakan antara kejahatan transnasional dan kejahatan internasional. 88

87

(25)

Perkembangan kejahatan transnasional tersebut berkaitan dengan sejarah

perkembangan peradilan para penjahat Perang Dunia Kedua (Mahkamah Militer

Nuremberg, 1949 dan Peradilan Tokyo, 1948). Sidang Majelis Umum PBB pada tanggal

11 Desember 1946, tiga bulan setelah pembentukan Mahkamah Militer di Nuremberg

tersebut, telah mengesahkan dua resolusi penting, yaitu resolusi pertama, mengakui dan

memperkuat prinsip-prinsip hukum internasional yang dicantumkan di dalam piagam

Mahkamah Militer Nuremberg, dan kemudian menugasi Komisi Hukum Internasional

untuk merumuskan kembali prinsi-prinsip tersebut dalam rangka menyusun suatu

kodefikasi umum mengenai kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia

atau suatu kaidah pidana internasional.89

“The Crimes hereinafter set out are punishable as crimes under international law:

Resolusi kedua, adalah resolusi mengenai genocide yang telah disetujui dalam Sidang Majelis Umum PBB dan merupakan kejahatan menurut hukum internasional.

Komisi Hukum Internasional, pada tahun 1950, telah berhasil menyusun dan mengesahkan

tujuh prinsip hukum internasional. Di antara ketujuh prinsip tersebut, Prinsip VI sangat

relevan dengan perkembangan kejahatan internasional, yang menetapkan antara lain :

90

1) Crimes against peace; 2) War crimes;

3) Crimes against humanity.”

( Kejahatan tersebut selanjutnya dapat dihukum sebagai kejahatan di bawah hukum

internasional :

1) Kejahatan terhadap perdamaian

88

Romli Atmasasmita, Op. Cit., hal. 79. 89

Ibid. 90

(26)

2) Kejahatan perang

3) Kejahatan terhadap kemanusiaan)

Di dalam prinsip keenam tersebut, tampak Komisi Hukum Internasional telah

mempergunakan istilah crimes under international law, dan bukan kejahatan internasional atau international crimes, serta hanya menetapkan tiga jenis kejahatan yang termasuk kejahatan internasional.91

Dalam naskah Undang-Undang Pidana Internasional atau The International Criminal Code tahun 1979 yang disusun oleh The International Association of Penal Law, telah dimasukkan jenis tindak pidana lainnya seperti lalu lintas perdagangan narkotika

ilegal (illicit drug trafficking), pemalsuan mata uang (countrerfeiting), penyuapan

(bribery), keikutsertaan dalam perdagangan budak dan pengambilan harta karun suatu negara tanpa izin.92

1) Tumbuhnya bentuk-bentuk kejahatan baru.

Seiring dengan pesatnya perkembangan masyarakat di dunia menuju era

globalisasi, dalam dunia kejahatan dapat dirasakan perkembangan yang demikian cepat.

Oleh karena itu, kejahatan-kejahatan ini memerlukan perhatian khusus dalam

penanggulangannya serta patut diberi kedudukan yang sama dengan ketiga jenis kejahatan

internasional di atas. Pesatnya perkembangan kejahatan tersebut sangat dipengaruhi oleh

kemajuan teknologi dan perkembangan peradaban masyarakat di dunia, yang mencakup

berbagai aspek :

91

Romli Atmasasmita, Op. Cit., hal. 80. 92

(27)

2) Semakin kompleknya modus operandi, kejahatan konvensional maupun

dimensi baru.

3) Semakin canggihnya peralatan yang digunakan oleh pelaku kejahatan.

4) Semakin luasnya lingkup wilayah operasi kejahatan, tidak terbatas di suatu

negara tetapi juga lalu lintas negara.

5) Semakin rumitnya penanggulangan kejahatan, karena kelangkaan aturan atau

ketertinggalan peralatan yang dimiliki aparat keamanan dibandingkan dengan

para pelaku kejahatan.

Di satu sisi, maraknya kejahatan telah menimbulkan kekhawatiran masyarakat di

dunia karena menyadari bahwa bila tidak ditanggulangi akan mempercepat kehancuran

dunia ataupun peradaban kehidupan manusia itu sendiri. Di sisi lain perkembangan

kejahatan juga telah mengetuk kesadaran negara-negara di dunia untuk bekerja sama dalam

menanggulangi kejahatan yang berlingkup antar negara dengan perkembangan bahwa :

a. Akibat buruk dari suatu kejahatan yang merajalela di suatu negara, misalnya

peredaran gelap narkotika, terorisme dan lain-lain, bukan hanya akan

merugikan satu negara saja melainkan juga akan berdampak negatif terhadap

negara-negara lainnya.

b. Penanggulangan kejahatan yang lingkup kegiatannya tidak mengenal batas

negara, tentu tidak akan efektif bila hanya dilakukan oleh salah satu negara saja,

sehingga mutlak membutuhkan kerjasama antara negara-negara di dunia.

c. Kepedulian untuk menanggulangi kejahatan harus dipacu dengan semangat

kebersamaan dan harus direspon oleh setiap negara, agar tidak dikucilkan dari

(28)

Kejahatan transnasional merupakan ancaman terhadap negara dan masyarakat yang

dapat mengikis human security dan kewajiban dasar negara untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Salah satu bentuk kejahatan transnasional adalah perdagangan gelap narkotika

(illict drug trafficking).

Peredaran dan perdagangan gelap narkotika juga menyebabkan permasalahan yang

sangat kompleks seperti peningkatan penularan HIV/ AIDS melalui pengguna narkotika

yang menggunakan jarum suntik di sejumlah negara. Pada sisi lain, kejahatan perdagangan

orang, khususnya terkait dengan kejahatan eksploitasi seksual sering juga dihubungkan

dengan kejahatan peredaran gelap narkotika.

Dengan melihat besarnya cakupan permasalahan kejahatan transnasional khususnya

kejahatan peredaran gelap narkotika di dunia, terdapat keperluan untuk merumuskan

beberapa upaya dalam memperkuat kerangka hukum dan instrumen hukum internasional

yang ada. Sebagai catatan, sejauh ini terdapat beberapa instrumen yang menjadi tolak ukur,

yakni Konvensi Tunggal Narkotika 1961, Konvensi Wina 1988, Konvensi PBB

menentang Kejahatan Terorganisasi Transnasional Tahun 2000 (Palermo Convention). 93 Walaupun ketiga konvensi di atas merujuk kepada kejahatan-kejahatan tertentu

(dengan pengecualian Konvensi Palermo), pada intinya terdapat tiga hal utama yang diatur

dalam konvensi-konvensi tersebut. Pertama, mengatur langkah-langkah yang perlu diambil

oleh negara untuk mencegah terjadinya kejahatan. Kedua, mengatur perbuatan-perbuatan

yang dianggap sebagai tindak pidana, sebagai bagian dari penegakan hukum. Ketiga,

93

(29)

pengefektifan dan penguatan kerjasama internasional melalui lembaga ekstradisi, bantuan

hukum timbal balik dan kerjasama lainnya.

Tak dapat dipungkiri bahwa Konvensi Palermo merupakan terobosan bagi dunia

internasional dalam memberantas secara efektif kejahatan terorganisasi transnasional.

Terobosan tersebut dalam dilihat dalam kesepakatan mengenai defenisi kelompok

terorganisasi (criminal group) dan ruang lingkup kejahatan transnasional.

Dengan lahirnya Konvensi Wina 1988 yang bertujuan untuk memberantas

peredaran gelap narkotika dan psikotropika, maka semakin berkembanglah penegakan

hukum kejahatan transnasional peredaran gelap narkotika. Jika dilihat dari segi substansi

dalam konvensi ini, telah muncul embrio dari upaya internasional yang antara lain dapat

diidentifikasikan dengan aturan-aturan yang menyangkut ekstradisi, bantuan timbal balik,

penanganan perdagangan gelap narkotika melalui laut, controlled delivery, dan penguatan rezim anti pencucian uang (termasuk masalah penyitaan dan perampasan hasil kejahatan

tindak pidana narkotika).

Selain itu, sebagai tindak lanjut dari semangat memerangi kejahatan lintas batas

negara, masyarakat ASEAN menyepakati melalui Deklarasi ASEAN tanggal 20 Desember

1997 di Manila, dimana ASEAN juga menetapkan kejahatan yang termasuk dalam

Transnational Crime, yaitu :94

1) Illicit Drug Trafficking ( perdagangan gelap narkotika); 2) Money Laundering (pencucian uang);

3) Terorism (terorisme);

4) Arm Smuggling (penyelundupan senjata api);

94

(30)

5) Trafficking in persons ( perdagangan orang); 6) Sea Piracy (pembajakan di paut);

7) Economic Crime and Currency Counterfeiting (kejahatan di bidang ekonomi dan pemalsuan uang);

8) Cyber Crime (kejahatan di dunia maya).

Dengan ditetapkannya jenis-jenis kejahatan lintas negara yang harus mendapatkan

prioritas dalam penanggulangannya, maka dalam hal pemberantasan peredaran gelap

narkotika, ASEAN membentuk ASOD ( ASEAN Senior Official on Drugs), yaitu forum kerjasama ASEAN di bidang pencegahan, terapi dan rehabilitasi, penegakan hukum dan

penelitian penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.95

Segala upaya yang ditempuh oleh masyarakat internasional dalam pemberantasan

peredaran gelap narkotika dikarenakan peredaran dan perdagangan narkotika secara ilegal

telah melibatkan lebih dari satu negara. Peredaran gelap narkotika selalu melibatkan

negara produsen, negara transit dan negara pemasaran narkotika. Bukanlah hal yang tidak

mungkin mengingat perkembangan teknologi, informasi dan transportasi, suatu jenis

narkotika diproduksi di negara A ,didistribusikan melalui negara B yang kemudian dijual

ke negara C. Oleh karena itu, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh satu negara tetapi

banyak negara di dunia. Untuk dapat memberantas peredaran gelap narkotika secara lebih

efektif, maka negara-negara di dunia harus mau untuk bekerja sama. Apalagi peredaran

dan perdagangan gelap narkotika tidak hanya dilakukan oleh invidu saja, tapi sudah

dilakukan oleh sekelompok orang yang bekerja secara terorganisasi yang mana Forum ini mengadakan

pertemuan setiap tahun sekali secara bergiliran di negara-negara anggota ASEAN.

95

(31)

kelompok ini tersebar di negara-negara. Kelompok-kelompok sindikat ini telah memiliki

sumber pendanaan yang membiayai kegiatan ilegal mereka.

Melihat ruang lingkup kegiatan peredaran gelap narkotika telah dilakukan secara

global, maka dapat dikategorikan peredaran gelap narkotika sebagai kejahatan

transnasional yang memerlukan penanggulangan secara efektif dan efisien oleh

negara-negara di dunia.

C. Perkembangan Jaringan Peredaran Gelap Narkotika

Dalam era globalisasi ini, peredaran gelap narkotika tidak lagi dilakukan secara

perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama, bahkan

merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas dan bekerja secara

rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional.

Peningkatan serta meluasnya perdagangan dan peredaran gelap narkotika tersebut

tidak terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya di bidang

transportasi dan telematika yang memungkinkan arus perpindahan dan lalu lintas uang,

orang dan barang secara cepat, sehingga ruang,jarak dan waktu sudah tidak menjadi

hambatan lagi. Dampak dan implikasi batas-batas negara menjadi kabur sehingga

membuka peluang meluasnya jaringan bisnis perdagangan gelap narkotika yang dilakukan

secara terorganisir, meliputi jaringan yang sangat luas, melibatkan lebih dari satu negara,

mobilitas tinggi serta modus operandi yang cenderung berganti-ganti dan semakin sulit

untuk dilacak.

(32)

mengkonsumsi narkotika setidaknya sekali di tahun 2009.96 Afganistan merupakan negara

penghasil opium terbesar di dunia, dimana pada tahun 1992 sampai 1993 saja produksinya

diperkirakan mencapai antara 1500 sampai 2000 ton, sedangkan untuk jenis kokain, 75 %

suplai kokain berasal dari Kolombia.97 Di tingkat regional, negara-negara segitiga emas

yaitu Thailand, Laos dan Myanmar merupakan pemasok opium terbesar kedua di dunia

setelah Afganistan. 98

1. Wilayah Asia Barat

Dalam menyelundupkan narkotika ke negara-negara untuk dijual, biasanya

pengedar melalui jaringan kerjasama melalui rute-rute tertentu, beberapa rute yang sering

digunakan jaringan pengedar narkotika adalah :

Perbatasan Afganistan-Pakistan tetap menjadi sumber utama morfin dan heroin

untuk pasar internasional terutama Eropa dengan rute-rute penyelundupan sebagai

berikut:99

a. Jalan darat, yaitu dari perbatasan Pakistan –Iran dan Afganistan-Iran menuju

daerah Turki Tenggara. Dari wilayah ini melalui Istambul dan masuk ke

negara-negara Eropa Barat.

b. Jalan laut, yaitu dari wilayah produksi melalui propinsi Baluchistan menuju

Pakistan (Pantai Makaran) dari wilayah ini dengan kapal-kapal laut menuju

Eropa.

c. Jalan udara, yaitu melalui Kathmandu dan masuk ke New Delhi dan Bombay.

Dari kedua kota ini menuju ke Eropa Barat.

96

(33)

d. Dari wilayah perbatasan Afganistan dan Tajikistan menuju negara Eropa

Tengah dan Eropa Timur melalui rute-rute baru di Uzbekistan dan

Turkmenistan.

e. Produksi heroin dari Libanon diselundupkan ke Eropa dan Amerika melalui

pantai-pantai laut tengah disamping melalui rute tradisional yang dikenal

dengan The Balkan Route menuju Eropa. 2. Wilayah Teluk Persia100

Kelompok penyelundup berasal dari Asia Selatan dan Asia Tenggara telah

menggunakan pelabuhan-pelabuhan udara di negara-negara Teluk Persia sebagai

titik transit menuju negara-negara tujuan terutama Eropa. Perkembangan ini

merupakan trend baru dalam upaya penyelundupan morfin dan heroin dari wilayah

sumber menuju negara tujuan.

Penyelundupan narkotika di atas dilakukan dengan metode yang bervariasi dan

sering kali berubah sesuai dengan perkembangan teknologi. Sekalipun teknik-teknik

penyelundupan selalu berkembang, tetapi teknik-teknik yang umumnya dilakukan adalah

menggunakan tas atau koper khusus dengan dasar atau sisi yang dipalsukan, di

sembunyikan ditumit sepatu, diikatkan pada badan, ditelan maupun disembunyikan dalam

barang-barang kerajinan tangan.101

Dari fakta tersebut di atas, Indonesia juga tidak luput dari sasaran perdagangan dan

peredaran gelap narkotika oleh sindikat karena sarana pengawasan yang belum dapat

menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di

dunia dan negara terluas di Asia Tenggara yang terdiri dari kurang lebih 17.508 pulau,

100

Ibid. 101

(34)

meliputi area tanah seluas 2.027.087 km² dan luas perairan 3.166.163 km² serta memiliki

panjang pantai lebih dari 85.000 km, dan jumlah penduduk lebih dari 215 juta jiwa, sangat

terbuka kesempatan untuk menjadi jalur peredaran dan perdagangan gelap narkotika.

Di Indonesia sendiri, maraknya peredaran dan perdagangan gelap narkotika dapat

dirasakan dengan melihat kenyataan di lapangan, dimana penyalahgunaan narkotika tidak

hanya dilakukan di wilayah perkotaan saja, tapi sudah sampai di wilayah-wilayah yang

jauh dari kota (desa). Para penyidik menyadari bahwa sindikat peredaran gelap narkotika

menunjukkan kenaikan setiap tahunnya, namun untuk membongkarnya masih sangat sulit

karena kemampuan mereka dengan menggunakan sel-sel sindikat. Jalur perdagangan gelap

narkotika yang paling menonjol yang melalui Indonesia adalah :

1) Narkotika jenis heroin, melalui sindikat yang pelakunya “Black African”, mereka berperan dalam menyelundupkan narkotika jenis heroin ke Indonesia melalui

negara-negara The Golden Triangle ( Thailand, Laos dan Myanmar), dengan menggunakan kurir dari Nepal, Thailand dan bahkan orang Indonesia sendiri.

Heroin ini berasal dari negara-negara Golden Cresent yaitu perbatasan antara negara-negara Iran, Pakistan dan Afganistan. Modus operansi yang biasa digunakan

adalah swallowed (ditelan) ataupun disembunyikan di lapisan koper atau tas. Sebagai contoh, pada tahun 2008, Kepolisian Indonesia berhasil menangkap

jaringan peredaran gelap narkotika yang dilakukan oleh West African Syndicate

yang membawa sebanyak 8,6 kg heroin. Sindikat yang berhasil ditangkap ini

sebanyak 32 orang. Tujuh diantaranya adalah kewarganegaraan Nigeria, 2 orang

warga negara Malaysia, selebihnya adalah warga negara Indonesia.102

102

(35)

2) Narkotika jenis kokain, berasal dari Amerika Latin dan beredar di Indonesia dengan

pelaku sindikat “Black African”. Beberapa kasus yang berhasil diungkap salah satunya yaitu tertangkapnya wanita Indonesia di luar negeri yang direkrut untuk

menjadi kurir oleh anggota sindikat dimana ia dinikahi sengaja dan dijadikan alat

untuk melakukan penyelundupan melalui body concealment. 103 Pada tahun 2008 sampai tahun 2009,

Modus peredaran gelap narkotika yang berkembang dalam masyarakat saat ini,

meliputi dua kelompok, yaitu :

1) Kelompok pengedar

Sindikat pelaku peredaran gelap narkotika selalu terkait dengan jaringan yang

luas baik yang ada di perkotaan maupun di daerah-daerah terpencil. Sindikat ini

biasanya menggunakan sistem sel atau “cut”, yaitu terdapat beberapa tingkatan pengedar, dimana masing-masing tingkat tidak saling kenal sehingga jika salah

satu tingkatan pengedar tertangkap, dia tidak bisa menunjukkan jaringan yang

ada diatasnya. Modus operandi peredaran narkotika dari pengedar tingkat

bawah yang langsung berhubungan dengan pengguna biasanya dengan

mempengaruhi kelompok yang rentan, yaitu kelompok masyarakat yang

bermasalah baik secara ekonomi, psikologis maupun sosial, melalui dua cara :

a. Terhadap kelompok bermasalah secara ekonomi, seperti orangtua yang

kurang mampu termasuk ibu-ibu rumah tangga, mereka mempengaruhi

dengan menjanjikan keuntungan ekonomi yang tinggi dengan mengatakan

bahwa saat ini hanya dengan berdagang narkotika saja yang dapat

103

(36)

memperoleh keuntungan besar dengan waktu yang relatif singkat sehingga

dapat mengatasi permasalahan ekonomi yang sedang dihadapi.

b. Terhadap kelompok bermasalah lain seperti golongan pelajar atau

mahasiswa, setelah mendekati golongan tersebut maka sindikat akan

mengenalkan dengan memberikan narkotika secara gratis. Setelah korban

ketergantungan dan tidak mempunyai uang untuk membeli lagi, maka

pengedar akan meminta korban untuk mempengaruhi orang lain dan ikut

mengedarkannya.

2) Kelompok pengguna

Modus yang digunakan dalam memesan biasanya melalui handphone untuk

(37)

BAB IV

PERAN INTERPOL DALAM PEMBERANTASAN

JARINGAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA INTERNASIONAL

A. Kerjasama Antara Kepolisian Internasional

Kerjasama internasional di bidang kepolisian dalam rangka menanggulangi

kejahatan berdimensi internasional dan bersifat lintas negara telah dilaksanakan sejak

berdirinya ICPC tahun 1923 yang pada tahun 1956 berkembang menjadi ICPO. Salah satu

tujuan kerjasama tersebut adalah untuk memberantas perdagangan gelap narkotika.

Dalam memberantas peredaran gelap narkotika, di dalam Interpol terdapat sebuah

divisi khusus yang bertanggung jawab untuk mengoperasikan suatu sistem laporan

intelijen yang efektif dan menguntungkan negara anggota, menyoroti kasus-kasus

penyitaan narkotika dalam jumlah besar dan melukiskan kecenderungan-kecenderungan

baru dari pengedar, jenis narkotika yang disita, modus operandi yang digunakan dan rute

perjalanan yang dilalui. 104

Aktifitas-aktifitas yang berhubungan dengan peredaran dan perdagangan gelap

narkotika ditangani oleh dua grup. Kedua grup ini bertugas untuk :105

a. Mengumpulkan informasi penyitaan narkotika.

b. Mengkoordinasikan penyelidikan yang bersifat internasional.

c. Mensirkulasikan tentang taktik dan strategi yang digunakan untuk memberantas

peredaran gelap narkotika.

104

Sardjono, Kerjasama Internasional di Bidang Kepolisian, Op. Cit., hal. 30. 105

(38)

d. Berkoordinasi dengan badan-badan PBB di bidang narkotika yaitu UNODC.

e. Menyediakan bantuan kepada setiap NCB negara-negara anggota.

f. Mengatur pertemuan untuk membicarakan kasus peredaran gelap narkotika

yang sedang berlangsung.

g. Mengevaluasi secara periodik situasi perdagangan dan peredaran gelap

narkotika di berbagai negara di dunia.

Interpol juga memiliki kantor Perwakilan Pengontrolan Narkotika di Bangkok yang

menitikberatkan perhatiannya serta bertanggung jawab terhadap situasi peredaran

narkotika di Asia Tenggara.

Telah bertahun-tahun Divisi Khusus Narkotika ini melaksanakan program untuk

menangani permasalahan yang berhubungan dengan narkotika. Hingga saat ini

program-program yang menonjol mencakup :106

a. Program strategis penanggulangan perluasan peredaran kokain di Eropa.

b. Sistem Intelijen Strategis (SIS) menyediakan data penyitaan narkotika di

seluruh dunia.

c. Program monitor diversi narkotika dan zat kimia yang penting dari semula yang

bersifat legal kemudian diperdagangkan secara gelap.

d. Program menanggulangi peredaran heroin melalui rute Balkan.

e. Program monitor pengedar-pengedar dari berbagai kebangsaan dan kelompok

etnis.

Divisi Khusus Narkotika ini menyediakan berbagai dokumen untuk membantu

dalam pemberantasan peredaran gelap narkotika. Dokumen-dokumen ini berupa

laporan-106

(39)

laporan intelijen yang sangat penting dalam hal penyitaan dan setiap kecenderungan baru

dalam perdagangan gelap narkotika. Dokumen-dokumen ini dikirim ke masing-masing

negara anggota setiap minggu.

Publikasi lainnya adalah mencakup laporan tahunan mengenai peredaran narkotika

internasional dan laporan tahunan statistik mengenai produksi gelap, pemakaian dan

peredaran narkotika. Kedua laporan ini diajukan dalam Sidang Umum Interpol setiap

tahunnya.

Kerjasama kepolisian internasional tidak hanya dibatasi pada pertukaran informasi

tetapi juga mencakup :107

a. Menyiapkan dan mengedarkan studi-studi dan laporan-laporan dalam bidang

hukum narkotika serta permasalahan teknis yang berhubungan dengan aktifitas

kepolisian di negara masing-masing;

b. Mengumpulkan materi referensi yang bersifat umum pada fenomena yang

terjadi dan kedisiplinan yang behrubungan dengan Interpol dan tugas-tugas

kepolisian;

c. Mengatur simposium internasional untuk mempelajari secara lebih mendalam

permasalahan-permasalahan permanen yang menjadi topik bagi penegak hukum

negara anggota.

Selain itu, kerjasama internasional di bidang kepolisian memungkinkan negara

anggota yang merupakan negara maju memberikan bantuan teknis kepada

negara-negara berkembang khususnya dalam hal pelatihan dan spesialisasi petugas kepolisian.

(40)

Divisi khusus akan menyusun secara berkala suatu kursus dan pelatihan dimana

negara-negara anggota disiapkan untuk menerima perwira polisi asing.

Salah satu contoh kerjasama internasional di bidang kepolisian dalam hal

pemberian pelatihan dan spesialiasi pertugas kepolisian adalah pendirian JCLEC (Jakarta Centre for Law Enforcement Cooperation), yang bertujuan melatih para penegak hukum yang ingin meningkatkan keahlian operasionalnya dalam menangani kejahatan lintas

negara, Dibangun atas kerjasama pemerintah Indonesia dan Australia, JCLEC dikelola

Kepolisian RI dan Kepolisian Federal Australia (AFP).108

Kerjasama antara Kepolisian RI dan AFP sendiri telah terjalin sejak lama

khususnya dalam membongkar suatu sindikat kejahatan lintas negara yang beroperasi

antara Australia dan Indonesia. Penyidikan ini diberi sandi Operation Kalurra pada waktu

seorang tersangka bernama Petr Petras (seorang warga negara Cekoslovakia) tiba di Bali

dan bertemu dengan seorang warga negara Australia keturunan Turki bernama Mehmet

Seriban.

109

Kedua orang tersebut diketahui berencana untuk mengekspor sejumlah besar

bahan kimia pre-kursor (Ephidrine)110

108

untuk dipakai memproduksi shabu-shabu di

Australia. Berkat kerjasama yang baik melalui pertukaran informasi yang eferktif antara

JCLEC Buah Kerjasama Polri dan AFP ( Australian Federal Police),

diakses pada tanggal 12 November 2010. 109

Berita Acara Pelimpahan Tersangka, Badan Reserse kriminal POLRI Direktorat IV/TP.NARKOBA dan KT.

110

(41)

AFP dan Polri maka AFP dapat mengumpulkan bukti-bukti yang memungkinkan AFP

untuk menangkap sindikat ini sebelum bahan kimia tersebut diekspor.

Selain melalui Interpol, negara-negara juga dapat melakukan kerjasama di bidang

kepolisian untuk memberantas peredaran gelap narkotika. Kerjasama ini dapat dilakukan

melalui memorandum of understanding (MoU) maupun agreement.111

a. Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah

Kerajaan Bersatu Britania Raya dan Irlandia Utara tentang Penanggulangan

Kejahatan Lintas Negara dan Pengembangan Kerjasama Kepolisian.

Beberapa contoh

kerjasama yang dilakukan oleh Kepolisian Indonesia dengan negara lain, yaitu :

b. Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Kementrian

Dalam Negeri dan Hubungan Kerajan Belanda tentang Kerjasama Pendidikan

dan Pelatihan.

c. Nota Kesepahaman antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dan

Kepolisian Nasional Philipina tentang Kerjasama Pencegahan dan

Penanggulangan Kejahatan Transnasional.

d. Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah

Australia tentang Penanggulangan Kejahatan Lintas Negara dan pengembangan

Kerjasama Kepolisian.

e. Agreement on Narcotics Control and Law Enforcement between The Government of The United States of America and The Government of Indonesia.

111

(42)

f. Memorandum of Understanding between The Government of The Republic of Indonesia and The Government of The Socialist Republic of Vietnam on Cooperation in Preventing and Combating Crimes.

g. Memorandum of Understanding between The Indonesian National Police and The Royal Malaysia Police on Combating Illicit Trafficking in Narcotic Drugs, Zpsychotropic Subtances, Precursors, Hazardous Materials and Enchanment of Police Cooperation.

h. Arrangement on Cooperation between The National Police Agency of The Republic of Korea and The Indonesian National Police.

i. Agreement on Cooperation between The National Police of The Republic of The Indonesia and The Ministry of Public Security of The People’s Republic of China.

j. Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Romania

tentang Kerjasama Pencegahan dan Pemberantasan Kejahatan Terorganisasi

Transnasional, Terorisme dan Jenis Kejahatan Lainnya.

k. Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik

Polandia tentang Kerjasama Pemberantasan Kejahatan Terorganisasi

Transnasional dan Kejahatan Lainnya.

B. Kerjasama di Bidang Informasi

Salah satu tujuan Interpol adalah pembangunan sistem pengiriman informasi dari

NCB ke NCB negara anggota dan ke Sekretariat Jenderal dengan cepat, tepat, aman dan

permanen. Bentuk-bentuk informasi tersebut dapat berupa :112

112

(43)

a. Teks ketikan;

b. Teks grafik, diagram dan tabel;

c. Gambar berupa nota palsu, sidik jari, foto dan lain-lain;

d. Kombinasi antara teks dan gambar;

e. Konsultasi database.

Peralatan media transmisi yang digunakan tergantung pada bentuk dokumen yang

akan dikirim antara lain electronic message, facsimile, phototelegraf, dan melalui pos. Peningkatan kualitas peralatan dan standar teknologi diantara negara-negara anggota

menjadi prioritas utama pada tahun-tahun akan datang, sehingga standar kualitas jaringan

komunikasi Interpol di seluruh negara anggota dapat tercapai. 113

Sebagaimana ketentuan sistem telekomunikasi dalam Interpol, jaringan komunikasi

ada dua, yaitu :

Interpol terdiri 188 negara anggota yang masing-masing memiliki tingkat

perkembangan teknologi yang berbeda. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan dalam

pelaksanaan proses komunikasi dan informasi.

114

a. Jaringan komunikasi mencakup keseluruhan kemampuan NCB melakukan

pengiriman informasi dan dokumen ke NCB negara lain dan ke Sekretariat Jenderal

dengan menggunakan sarana yang ada.

b. Jaringan siaran radio mencakup NCB negara anggota yang dapat menerima siaran

khusus atau umum.

Kemampuan suatu NCB tergantung dari peralatan yang telah dipasang. Jaringan

telekomunikasi Interpol mencakup tiga tingkat struktur, yaitu :115

113

Ibid,hal. 21. 114

(44)

a. Level 1, yaitu dari NCB ke NCB lainnya.

NCB suatu negara anggota saling terkait dengan kepolisian negara tersebut,

demikian juga dengan Interpol, ada 188 NCB dan 13 Sub Biro.

b. Level 2, yaitu Stasiun Regional.

Stasiun Regional menjamin pengumpulan dan pengiriman berita di wilayahnya.

Mereka mengatur kelancaran arus berita antara NCB yang langsung berhubungan

dengan Stasiun Regional. Ada tujuh Stasiun Regional :

1) Lyons, merupakan kedudukan Sekretariat Jenderal, yaitu stasiun regional yang

menghubungkan NCB yang berada di Eropa, Laut Tengah, Amerika Utara dan

Timur Tengah.

2) Nairobi, yaitu stasiun regional yang menghubungkan NCB yang berada di

Afrika Timur.

3) Abijan, yaitu stasiun regional yang menghubungkan NCB di Afrika Barat.

4) Buenos Aires, yaitu stasiun regional yang menghubungkan NCB di Afrika

Selatan.

5) Tokyo, yaitu stasiun regional yang menghubungkan NCB di Asia.

6) Puerto Rico, yaitu stasiun regional yang menghubungkan NCB di Amerika

Tengah.

7) Canberra, yaitu stasiun regional yang berada di Pasifik.

c. Level 3, yaitu Stasiun Pusat.

115

(45)

Stasiun Pusat mengendalikan arus informasi dari stasiun regional yang berbeda

melalui stasiun regional. Di samping itu stasiun pusat menjadi stasiun regional

untuk zona Eropa, Mediterania, Amerika Utara, dan Timur Tengah.

Di dalam sistem informasi Interpol, dikenal X-400, yaitu suatu standar penerimaan

dan pengiriman berita internasional dalam rangkaian Komite Konsultasi Telegraf dan

Telepon Internasional (CCITT).116

Sistem incriptor Interpol dapat beradaptasi pada semua peralatan micro computer, dengan software X-400 dan identifikasi pengirim dengan memakai sebuah chip-card

Dengan adanya peralatan standar X-400 ini

memungkinkan penyediaan sarana di setiap stasiun regional dengan sebuah Mini-AMSS (

Automatic Message Switching Server ) berdasarkan standar peralatan yang menghemat biaya dan tenaga. Kebijaksanaan strategi modernisasi peralatan ini dputuskan pada tahun

1991. Dengan demikian pelayanan komunikasi informasi secara otomatis di Sekretariat

Jenderal berintegrasi ke dalam jaringan umum. Sebagian besar negara-negara di Eropa dan

Amerika Utara mengikuti Sekretariat Jenderal dalam pemakaian peralatan X-400 yang

disempurnakan di tahun 1993.

Interpol bukan hanya dapat mengirim dan menerima informasi secara tepat dan

tepat, namun juga harus aman dari deteksi pihak luar. Jaringan informasi Interpol terdiri

dari beberapa terminal dan peralatan komunikasi yang disuplai oleh berbagai negara

anggotanya. Ada dua persyaratan yang harus dipenuhi yaitu, pertama sistem yang

mengidentifikasikan pengiriman berita sehingga pihak ketiga tidak mempunyai

kesempatan memperoleh akses dan mengirimkan berita tanpa gangguan. Kedua, peralatan

menjamin bahwa terhadap berita penting tidak akan teridentifikasi oleh pihak lain.

116

(46)

sebagai tanda tangan elektronik, semua ini dapat dilaksanakan tanpa harus melakukan

modifikasi terhadap X-400. Sistem ini telah dioperasikan sejak bulan Agustus 1991.

Dalam mempermudah pemberian informasi kepada setiap NCB, Interpol juga

melengkapi saran informasinya dengan The Automated Search Facility ( AFS ) yaitu suatu sarana yang dapat digunakan NCB negara anggota untuk mencari identitas tersangka

secara otomatis.117

Banyak dokumen yang diterbitkan oleh Interpol secara periodik maupun

sewaktu-waktu untuk mengedarkan informasi melalui NCB-NCB kepada kepolisian negara-negara

anggota. Dokumen-dokumen tersebut disiapkan oleh notices group yang berisi informasi yang telah dikumpulkan dari beberapa negara. Dokumen tersebut adalah :

Pencarian identitas tersangka dilakukan dengan beberapa kriteria

termasuk kriteria nama keluarga, nama depan, tanggal lahir, kewarganegaraan, nomor

paspor atau identitas lainnya. Sistem ini juga dapat mengirimkan foto dan sidik jari

seseorang dan international notices dalam bahasa Inggris, Perancis, Spanyol dan Arab. Dengan menggunakan AFS ini, NCB negara anggota dapat mengirimkan serta menerima

informasi dengan mengirimkan gambar secara langsung.

Dengan sarana melalui X-400 dan ASF, maka Interpol memiliki sarana utama

sebagai fondasi mengembangkan dan memperluas jaringan ke seluruh dunia, guna

memberantas kejahatan peredaran gelap narkotika.

118

1. Individual Notices, dokumen ini memberikan data identitas, penjelasan secara fisik dan kemungkinan keberadaan, foto dan sidik jari seseorang. Individual

notices ini sendiri terdiri atas beberapa jenis, yaitu :

117

Ibid.

118

(47)

a. Wanted Notices adalah permintaan mengenai orang-orang yang dicari untuk ditangkap dan ditahan dengan kemungkinan ekstradisi. Wanted notices ini berupa data-data lengkap dari orang yang dicari tersebut dan menjelaskan

kejahatan apa yang telah dilakukannya.

b. Enquiry Notices adalah permintaan yang diterbitkan untuk mengumpulkan informasi tambahan tentang orang-orang yang dimaksud yang dapat

digunakan untuk membantu menemukan si tersangka.

c. Warning Notices adalah peringatan atau pemberitahuan kepada beberapa negara mengenai seorang atau sindikat yang sedang melakukan kejahatan di

negara-negara tersebut.

d. Missing Person Notices diterbitkan bila seseorang khususnya orang-orang yang belum dewasa dilaporkan hilang dari kediamannya.

e. Unidentified Body Notices berisi deskripsi mayat yang ditemukan tanpa identitas.

2. Stolen Property Notices yaitu pemberitahuan atas barang-barang hilang atau yang sedang dicari.

3. Surat Edaran, laporan dan brosur-brosur teknik yang memberikan ringkasan,

fakta serta kategori tertentu dari pelaku pengedar gelap narkotika.

Dokumen-dokumen Interpol ini disimpan secara elektronik dalam disk optic

sehingga mempermudah mengidentifikasi para pelaku kejahatan dan menunjukkan apakah

Referensi

Dokumen terkait