• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PERKEMBANGAN JARINGAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA. A. Pengaturan tentang Narkotika dalam Hukum Internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III PERKEMBANGAN JARINGAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA. A. Pengaturan tentang Narkotika dalam Hukum Internasional"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

PERKEMBANGAN JARINGAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA

A. Pengaturan tentang Narkotika dalam Hukum Internasional

1. Perkembangan Konvensi Internasional tentang Narkotika

Konvensi internasional pertama yang mengatur tentang narkotika adalah The

Hague Opium Convention 1912, dan selanjutnya berturut-turut adalah The Geneva Internasional Opium Convention 1925, The Geneva Convention for Limiting the Manufacture and Regulating the Distribution of Narcotic Drugs 1931, The Convention for the Suppression of the Illicit Traffic in Dangerous Drugs 1936, Single Convention on Narcotic Drugs 1961, sebagaimana diubah dan ditambah dengan Protokol 1972 dan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Subtances 1988 atau yang dikenal dengan Konvensi Wina 1988.59

Uraian perkembangan Konvensi Internasional Narkotika dibatasi pada Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dan Konvensi Wina 1988, karena kedua konvensi ini, merupakan resultante dari konvensi terdahulu mengenai narkotika dan psikotropika serta merupakan konvensi terpenting dalam sejarah pengaturan internasional di bidang narkotika dan psikotropika, setelah berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa.60

Konvensi Tunggal Narkotika 1961 merupakan hasil konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diselenggarakan di New York, tanggal 24 – 25 Maret 1961, dan setelah konvensi tersebut berlaku efektif selama 11 tahun, pada tanggal 6 – 24 Maret 1972 di Jenewa, telah diselenggarakan konferensi, United Nations Conference to Consider

59

Romli Atmasasmita, Op. Cit., hal. 52.

60

(2)

Amendments to the Single Convention on Narcotic Drugs 1961 yang menghasilkan

Protokol yang mengubah Konvensi Tunggal 1961.61

Tujuan dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961 tersebut dijabarkan dalam enam sub tujuan yaitu :

Konvensi Tunggal Narkotika 1961 menitikberatkan kepada aspek pengaturan dan pengawasan sedangkan Konvensi Wina 1988 menitikberatkan kepada aspek penegakan hukum. Konvensi Wina 1988 merupakan pembaharuan secara mendasar terhadap konvensi internasional narkotika pada umumnya, dan terhadap Konvensi Tunggal Narkotika 1961 khususnya, karena strategi Konvensi Wina 1988 ditujukan untuk meningkatkan penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika. Kedua konvensi internasional ini memiliki perbedaan mendasar sejalan dengan perkembangan tindak pidana narkotika pada masanya. Perbedaan-perbedaan ini meliputi perbedaan dari segi tujuan maupun dari substansinya.

Konvensi Tunggal Narkotika 1961 bertujuan melakukan konsolidasi terhadap perjanjian-perjanjian terdahulu tentang narkotika dan memudahkan mekanisme pengawasan terhadap narkotika. Protokol perubahan tahun 1972 terhadap Konvensi Tunggal Narkotika tersebut di atas, bertujuan menyempurnakan ketentuan-ketentuan konvensi tersebut sehingga meliputi ketentuan tentang perlakuan dan rehabilitasi pecandu-pecandu narkotika.

62

1) Kodifikasi perjanjian multilateral tentang narkotika yang telah ada; 2) Menyederhanakan mekanisme pengawasan internasional;

61

Ibid.

62

(3)

3) Memperluas sistem pengawasan atas penanaman obat-obatan alamiah narkotika lain sebagai pelengkap candu dan yang menghasilkan akibat ketergantungan seperti ganja atau daun koka;

4) Membatasi perdagangan dan impor narkotika; 5) Mengawasi perdagangan narkotika ilegal;

6) Mengambil tindakan-tindakan yang layak untuk perlakuan dan rehabilitasi bagi pecandu-pecandu narkotika.

Sedangkan lingkup, sasaran dan tujuan Konvensi Wina 1988 adalah meningkatkan kerjasama penegakan hukum di antara negara peserta terhadap lalu lintas perdagangan narkotika dan psikotropika ilegal, baik dari aspek legislatif, administratif maupun aspek teknis operasional. Di dalam menjalankan kewajiban tersebut diharapkan agar peserta konvensi mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu sesuai dengan hukum nasional masing-masing negara.

Perwujudan lingkup, sasaran dan tujuan tersebut di atas, tampak dari beberapa ketentuan yang dimuat dalam Konvensi Wina 1988, antara lain :63

1) Pasal 3, mengatur tentang kejahatan-kejahatan dan sanksi; 2) Pasal 4, mengatur tentang yurisdiksi;

3) Pasal 5, mengatur tentang penyitaan atau confiscation;64 4) Pasal 6, mengatur tentang ekstradisi;

63

Ibid, hal. 56.

64

Penyitaan dalam Pasal 1 butir 16 KUHAP dirumuskan sebagai serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah pengawasannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana Indonesia dalam Siklus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2009, hal 97.

(4)

5) Pasal 7, mengatur tentang perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana;

6) Pasal 8, mengatur tentang alih prosedur atau transfer of proceedings;65 7) Pasal 9, mengatur tentang bentuk-bentuk lain dan pelatihan;

8) Pasal 10, mengatur tentang kerjasama internasional dan bantuan untuk negara transit;

9) Pasal 11, mengatur tentang penyerahan yang diawasi atau controlled delivery. Sembilan ketentuan tersebut di atas, merupakan ciri utama yang membedakan Konvensi Wina 1988 dari konvensi-konvensi internasional narkotika sebelumnya, sehingga konvensi tersebut merupakan konvensi narkotika yang bersifat represif atau

suppresive convention. Selain itu terdapat konvensi narkotika lain yang memiliki tujuan

yang sama, sekalipun belum semaju dan selengkap Konvensi Wina 1988 yaitu The

Convention for The Suppression of the Illicit Traffic in Dangerous Drugs 1936. Inisiatif

pertama untuk melahirkan suatu konvensi narkotika yang bersifat represif, berasal dari

International Criminal Police Organization (ICPO) atau Interpol yang berpendapat bahwa

diperlukan suatu konvensi khusus yang bertujuan menetapkan langkah-langkah preventif dan represif terhadap peredaran gelap narkotika internasional sehingga diharapkan dapat mengatasi kesenjangan antara ketentuan konvensi-konvensi sebelumnya.66

65

Transfer of proceedings merupakan suatu pilihan ketika ekstradisi tidak dapat dilakukan. Dalam

melakukan alih prosedur harus ada permintaan dari negara yang satu ke negara yang lain untuk melalukan proses hukum atas suatu tindakan yang merupakan pelanggaran baik di negara yang diminta maupun negara yang meminta. Sejumlah konvensi internasional memuat tentang ketentuan transfer of proceedings ini, yaitu

European Convention on Mutual Assistance in Criminal Matters, the European Convention on Extradition

dan the United Nations Convention against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988.

66

(5)

Perbedaan lain dan relevan dengan penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika berdimensi internasional adalah ketentuan mengenai yurisdiksi kriminal. Konvensi Tunggal Narkotika 1961, tidak mengatur secara khusus masalah ini, sedangkan Konvensi Wina 1988 telah mengatur dan menetapkan kemungkinan bagi setiap negara peserta untuk memperluas yurisdiksi kriminal terhadap tindak pidana narkotika internasional.67 Negara peserta Konvensi Wina 1988 menyadari bahwa apabila penegakan hukum terhadap lalu lintas perdagangan narkotika tidak dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan hukum internasional, dikhawatirkan akan menimbulkan konflik yurisdiksi antar negara-negara tersebut.68

Bertitik tolak dari pemikiran tersebut, ketentuan Pasal 2 Konvensi Wina 1988, telah menetapkan antara lain sebagai berikut :69

a. Para pihak harus melaksanakan kewajibannya berdasarkan konvensi ini dengan cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip persamaan kedaulatan dan integritas wilayah negara dan tidak mencampuri urusan dalam negeri dari negara lain; b. Salah satu pihak tidak akan mengambil tindakan dalam wilayah pihak lain

untuk menerapkan yurisdiksi dan kekuasaannya yang secara khusus dimiliki oleh pejabat berwenang dari pihak lain berdasarkan hukum nasionalnya.

Wujud penegakan hukum yang sejalan dengan ketentuan tersebut di atas, ialah pembentukan perjanjian kerjasama antara negara-negara yang berkepentingan. Di dalam Pasal 17 ayat 1 Konvensi Wina 1988 yang mengatur tentang perdagangan obat-obatan terlarang, ditetapkan bahwa, setiap peserta konvensi berkewajiban untuk bekerja sama

67 Ibid. 68 Ibid, hal. 59. 69 Ibid.

(6)

semaksimal mungkin menanggulangi lalu lintas perdagangan narkotika ilegal melalui laut sesuai dengan hukum laut internasional.

Kerjasama yang diharapkan dalam konvensi dimaksud ternyata tidak hanya semata-mata kerjasama dalam bentuk suatu penandatanganan perjanjian bilateral ataupun multilateral, melainkan suatu bentuk kerjasama yang lebih nyata dalam upaya menanggulangi atau memberantas lalu lintas perdagangan narkotika ilegal melalui jalur pelayaran di laut.70

1) Fasilitas ekstradisi dan penuntutan tertuduh dalam kasus lalu lintas perdagangan narkotika ilegal serta mendorong adanya bantuan kerjasama antara pemerintah negara-negara peserta dalam kasus-kasus narkotika.

Dalam Pasal 17 ayat 2 ditetapkan bahwa apabila negara yang memiliki alasan untuk mencurigai bahwa suatu kapal berbendera atau tidak terlibat dalam peredaran gelap narkotika, maka negara tersebut dapat meminta bantuan kepada negara lain. Negara yang diminta bantuannya tersebut harus memberikan bantuan semaksimal mungkin. Pasal ini memberikan kemungkinan kepada negara-negara yang bersangkutan, atas dasar persangkaan yang kuat dan cukup beralasan meminta bantuan kepada negara lain mencegah penggunaan kapal laut untuk maksud-maksud perdagangan ilegal tersebut.

Substansi penting lainnya yang diatur dalam Konvensi Wina 1988, adalah sebagai berikut:

2) Fasilitas pengiriman yang diawasi: penjejakan dan pengintaian terhadap pengapalan narkotika secara ilegal.

70

(7)

3) Meningkatkan kerjasama dengan negara transit atau transit state dan mencegah penyerahan secara ilegal melalui pos.

4) Penegasan tanggung jawab perusahaan pesawat penumpang dan perusahaan kapal angkutan laut.

5) Mewajibkan pemerintah negara peserta untuk menghapuskan produksi tanaman ilegal narkotika.

6) Menetapkan suatu sistem monitoring perdagangan internasional obat-obatan yang sering dipergunakan dalam proses lalu lintas narkotika ilegal.

2. Pengaturan tentang Narkotika dalam United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropika Subtances 1988.

Didukung oleh rasa keprihatinan yang mendalam atas meningkatnya produksi, permintaan, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika serta kenyataan bahwa anak-anak dan remaja digunakan sebagai pasar pemakai narkotika dan psikotropika secara gelap, serta sebagai sasaran produksi, distribusi dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika, telah mendorong lahirnya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa menentang Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988.71

Konvensi tersebut secara keseluruhan berisi pokok-pokok pikiran antara lain, sebagai berikut :72

1) Masyarakat internasional di dunia perlu memberikan perhatian dan prioritas utama atas masalah pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika.

71

Penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations

Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Subtances 1988.

72 Eugenia Liliawati Muljono, Peraturan Perundang-Undangan Narkotika dan Psikotropika,

(8)

2) Pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika merupakan masalah semua negara yang perlu ditangani secara bersama pula.

3) Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961, Protokol 1972 tentang Perubahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 perlu dipertegas dan disempurnakan sebagai sarana hukum untuk mencegah dan memberantas perdaran gelap narkotika dan psikotropika.

4) Perlunya memperkuat dan meningkatkan saran hukum yang lebih efektif dalam rangka kerjasama internasional di bidang pidana untuk memberantas organisasi kejahatan transnasional dalam kegiatan peredaran gelap narkotika.

Yang menjadi pokok-pokok pikiran yang diatur dalam konvensi ini adalah sebagai berikut :

1) Ruang Lingkup Konvensi 73

Konvensi bertujuan untuk meningkatkan kerjasama internasional yang lebih efektif terhadap berbagai aspek peredaran gelap narkotika. Untuk tujuan tersebut, para pihak akan menyelaraskan peraturan perundang-undangan dan prosedur administrasi masing-masing sesuai dengan konvensi ini dengan tidak mengabaikan asas kesamaan kedaulatan, keutuhan wilayah negara, serta asas tidak mencampuri urusan dalam negeri suatu negara.

2) Kejahatan dan Sanksi74

Tanpa mengabaikan prinsip-prinsip hukum masing-masing, negara-negara yang menjadi peserta dari konvensi ini akan mengambil tindakan yang perlu untuk menetapkan peredaran gelap narkotika sebagai suatu kejahatan. Pengertian dari 73

Ibid.

74

(9)

peredaran mencakup dari berbagai kegiatan yaitu mulai dari penanaman, produksi, penyaluran, lalu lintas, pengedaran sampai ke pemakaiannya.

Terhadap kejahatan tersebut di atas dapat dikenakan sanksi berupa pidana penjara atau bentuk perampasan kemerdekaan, denda dan penyitaan aset sejauh dapat dibuktikan sebagai hasil dari kejahatan. Di samping itu, pelakunya dapat diberikan pembinaan, rehabilitasi atau reintegrasi sosial.

Para pihak dalam konvensi ini harus dapat menjamin bahwa lembaga peradilan dan pejabat yang berwenang yang mempunyai yurisdiksi dapat mempertimbangkan keadaan nyata yang menyebabkan kejahatan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) merupakan kejahatan serius, seperti :

a) Keterlibatan di dalam kejahatan dan kelompok kejahatan terorganisasi yang pelakunya sebagai anggota;

b) Keterlibatan pelaku dalam kegiatan kejahatan lain yang terorganisasi secara internasional;

c) Keterlibatan dalam perbuatan melawan hukum lain yang dipermudah oleh dilakukannya kejahatan tersebut;

d) Penggunaan kekerasan atau senjata api oleh pelaku;

e) Kejahatan dilakukan oleh pegawai negeri dan kejahatan tersebut berkaitan dengan jabatannya;

f) Menjadikan anak-anak sebagai korban atau menggunakan anak-anak untuk melakukan kejahatan;

g) Kejahatan dilakukan di dalam atau di sekitar lembaga permasyarakatan, lembaga pendidikan, lembaga pelayanan sosial atau tempat-tempat lain

(10)

anak-anak sekolah atau pelajar berkumpul untuk melakukan kegiatan pendidikan, olahraga dan kegiatan sosial;

h) Sebelum menjatuhkan sanksi pidana, khususnya pengulangan kejahatan serupa yang dilakukan, baik di dalam maupun di luar negeri sepanjang kejahatan tersebut dapat dijangkau oleh hukum nasional masing-masing negara. Kejahatan-kejahatan yang dimaksud dalam konvensi ini adalah kejahatan yang menurut sistem hukum nasional pigak-pihak dalam konvensi dianggap sebagai tindakan kejahatan yang dapat dituntut dan dipidana.

3) Yurisdiksi75

Negara yang menjadi pihak dalam konvensi ini harus mengambil tindakan terhadap kejahatan yang dilakukan oleh pelaku sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) konvensi, baik terhadap kejahatan yang dilakukan di wilayahnya, di atas kapal atau di dalam pesawat udara dari negara yang bersangkutan, baik kejahatan itu dilakukan oleh warga negaranya maupun warga negara asing. Masing-masing negara juga harus mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk menetapkan yurisdiksi atas kejahatan sebagaimana yang dimaksud dalam konvensi ini, jika tersangka berada di dalam wilayah negaranya dan tidak diekstradisi ke negara lain.

4) Penyitaan76

Negara-negara dapat menyita narkotika serta peralatan lain yang merupakan hasil dari kejahatan. Lembaga peradilan atau pejabat yang berwenang dapat 75

Ibid, hal. 309.

76

(11)

memeriksa atau menyita catatan bank, keuangan atau perdagangan. Petugas atau badan yang diharuskan menunjukkan catatan tersebut tidak dapat menolak untuk memberikan informasi dengan alasan kerahasiaan bank. Kekayaan yang menjadi hasil kejahatan dapat disita, kecuali dapat dibuktikan oleh pelaku bahwa kekayaan tersebut tidak didapatnya dari hasil kejahatan. Apabila kekayaan tersebut telah bercampur dengan kekayaan dari sumber yang sah, maka penyitaan hanya dapat dikenakan sebatas nilai yang ditaksir sebagai hasil kejahatan. Namun demikian, penyitaan itu hanya dapat dilakukan setelah diatur oleh hukum nasional dari negara yang bersangkutan.

5) Ekstradisi77

Kejahatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) konvensi ini termasuk kejahatan yang dapat diekstradisi sesuai dengan perjanjian ekstradisi yang diadakan antara negara-negara yang bersangkutan. Apabila negara-negara tidak mempunyai perjanjian ekstradisi, maka konvensi ini dapat digunakan sebagai dasar hukum dilakukannya penyerahan pelaku bagi kejahatan yang menjadi ruang lingkup konvensi ini.

6) Bantuan Hukum Timbal Balik78

Negara- negara dapat saling memberikan bantuan hukum timbal balik dalam penyidikan, penuntutan dan proses acara sidang yang berkaitan dengan kejahatan sebagaimana yang dimaksud dalam konvensi ini. Bantuan hukum timbal balik dapat diminta untuk keperluan :

a. Mengambil barang bukti atau pernyataan dari orang; 77

Ibid, hal. 310.

78

(12)

b. Memberikan pelayanan dokumen hukum; c. Melakukan penggeledahan dan penyitaan; d. Memeriksa benda dan lokasi;

e. Memberikan informasi;

f. Memberikan dokumen asli atau salinan dokumen yang relevan, seperti cacatan bank atau catatan perusahaan;

g. Mengidentifikasi atau melacak hasil kejahatan, perlengkapan atau benda lain yang dapat digunakan dalam pembuktian.

7) Pengalihan Proses Acara

Dalam konvensi ini juga diatur mengenai pengalihan proses acara. Hal ini memungkinkan bagi para pihak dalam konvensi untuk mengalihkan proses acara dari satu negara ke negara lain, jika pengalihan acara tersebut dianggap perlu untuk kepentingan pelaksanaan proses pengadilan yang lebih baik.

8) Kerjasama di Bidang Penegakan Hukum

Dalam konvensi ini juga mengatur tentang kerjasama antar negara dalam pemberantasan peredaran gelap narkotika. Negara dapat saling bekerja sama sesuai dengan sistem hukum masing-masing dalam rangka meningkatkan secara efektif penegakan hukum untuk memberantas kejahatan sebagaimana yang dimaksud dalam konvensi ini. Kerjasama yang dimaksud dapat berupa : a. Membentuk dan memelihara jalur komunikasi antar lembaga dan dinas

masing-masing yang berwenang, untuk mempermudah pertukaran informasi;

(13)

b. Kerjasama dalam pemeriksaan kasus berkaitan dengan kejahatan yang dimaksud dalam konvensi ini.

c. Membentuk tim gabungan.

d. Menyediakan bahan-bahan yang diperlukan untuk analisa atau penyidikan; e. Mengadakan program latihan khusus bagi personil penegak hukum atau

personil lainnya seperti kepolisian dan pabean yang bertugas memberantas kejahatan peredaran gelap narkotika.

f. Merencakan dan melaksanakan program penelitian dan pengembangan yang dirancang untuk meningkatkan keahlian.

9) Kerjasama Organisasi Internasional dan Bantuan bagi Negara Transit.

Negara dapat bekerja sama baik secara langsung maupun melalui organisasi internasional seperti Interpol atau organisasi regional seperti Aseanpol dan Europol yang berwenang untuk membantu dan mendukung negara transit , khususnya negara-negara berkembang yang membutuhkan bantuan melalui program teknik guna mencegah kejahatan dan kegiatan lain yang terkait.

10) Penyerahan yang diawasi

Untuk keperluan identifikasi orang-orang yang terlibat dalam kejahatan sebagaimana yang dimaksud dalam konvensi ini, negara dapat mengambil berbagai tindakan yang dianggap perlu dalam batas kemampuannya untuk melakukan penyerahan yang diawasi (controlled delivery) pada tingkat internasional berdasarkan persetujuan atau pengaturan yang disepakati oleh masing-masing negara, sepanjang tindakan tersebut tidak bertentangan dengan sistem hukum nasionalnya.

(14)

Keputusan menggunakan penyerahan yang diawasi dilakukan secara kasus demi kasus. Barang kiriman gelap yang penyerahannya telah disetjui, atas persetujuan para pihak, dapat diperiksa dan diserahkan kepada negara yang bersangkutan.

11) Pemberantasan Penanaman Bahan-Bahan Pembuat Narkotika

Dalam konvensi ini ditetapkan para pihak dalm konvensi harus mengambil tindakan yang tepat untuk mencegah penanaman secara gelap dan memberantas tanaman yang menjadi bahan pembuat narkotika yang ditanam di wilayah negaranya masing-masing. Selain itu konvensi ini juga mendorong dilakukannya kerjasama antar negara untuk meningkatkan efektifitas pemberantasan meliputi dukungan terhadap pembinaan terpadu yang mengarah kepada pembinaan alternatif ekonomi yang lebih baik daripada melakukan penanaman narkotika secara ilegal.

12) Pengangkutan Komersil

Sehubungan dengan pengangkutan komersil, Konvensi Wina 1988 juga mengharuskan agar para pihak dapat menjamin pengangkutan komersil tidak digunakan untuk melakukan kejahatan peredaran gelap narkotika.

13) Lalu lintas Gelap Melalui Laut

Di dalam konvensi ini ditetapkan bahwa para pihak harus bekerja sama untuk memberantas lalu lintas peredaran gelap narkotika melalui laut sesuai dengan hukum laut internasional.

(15)

B. Peredaran Gelap Narkotika Sebagai Salah Satu Kejahatan Transnasional

1. Pengertian Narkotika

Masalah penyalahgunaan narkotika merupakan masalah yang sangat kompleks, yang memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerjasama multisektor dan peran serta masyarakat secara aktif yang dilaksanakan secara berkesinambungan, konsekuen dan konsisten. Meskipun dalam ilmu kedokteran sebagian dari narkotika masih bermanfaat bagi pengobatan, namun bila disalahgunakan atau digunakan tidak menurut indikasi medis atau standar pengobatan terlebih lagi bila disertai peredaran di jalur ilegal, akan berdampak negatif bagi individu maupun masyarakat luas khususnya generasi muda.

Narkotika berasal dari bahasa Yunani, narke yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa. Secara umum yang dimaksud dengan narkotika adalah suatu obat atau zat alami, sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan turunnya kesadaran, menghilangkan atau mengurangi rasa atau nyeri dan perubahan kesadaran yang menimbulkan ketergantungnya akan zat tersebut secara terus menerus. 79

Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang dimaksud dengan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.80

79

Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hal. 224.

80

(16)

WHO sendiri memberikan definisi tentang narkotika sebagai berikut: "Narkotika merupakan suatu zat yang apabila dimasukkan ke dalam tubuh akan mempegaruhi fungsi fisik dan/atau psikologi (kecuali makanan, air, atau oksigen)." 81

Defenisi lain dari Biro Bea Cukai Amerika Serikat dalam bukunya “Narcotic

Identification Manual” ( 1973) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan narkotika

adalah candu, ganja, kokain, zat-zat yang bahan mentahnya diambil dari benda-benda tersebut yakni morfin, heroin, kodein, hasnish, kokain, dan termasuk juga narkotika sintetik yang menghasilkan zat-zat, obat-obatan yang tergolong dalam Halusinogen, Depresan dan Stimulan. 82

81

Jadi, narkotika adalah zat yang memiliki ciri-ciri tertentu, dimana penggunaannya dapat memberikan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang memasukkannya dalam tubuh. Pengaruh tersebut dapat berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan. Sifat-sifat tersebut yang diketahui dan ditemukan dalam dunia medis bertujuan untuk dimanfaatkan bagi pengobatan dan kepentingan manusia, seperti dalam bidang pembedahan, menghilangkan rasa sakit dan lain-lain. Namun diketahui bahwa narkotika memiliki daya pencanduan yang dapat menimbulkan si pemakai bergantung hidupnya kepada narkotika tersebut. Hal tersebut bisa dihindari apabila penggunaan narkotika diatur berdasarkan dosis yang dapat dipertanggungjawabkan secara medis.

http://lintasberita-ta.blogspot.com/2010/04/pengertian-narkotika.html, diakses pada tanggal 17 November 2010

82

RS. Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana untuk Mahasiswa dan

(17)

2. Jenis-Jenis Narkotika

Narkotika banyak sekali jenisnya, dibawah akan diuraikan jenis-jenis narkotika dan penggolongannya baik dari segi bahan pembuatnya maupun akibatnya.

Golongan narkotika berdasarkan bahan pembuatnya diklasifikasikan atas 3 yaitu:83 a. Narkotika Alami

Zat atau obat yang langsung bisa dipakai sebagai narkotika tanpa perlu adanya suatu proses fermentasi, isolasi dan proses lainnya terlebih dahulu karena bisa langsung dipakai dengan sedikit proses sederhana. Bahan alami tersebut umumnya tidak boleh digunakan untuk terapi pengobatan secara langsung karena terlalu beresiko. Contoh narkotika alami yaitu ganja, opium dan daun koka.

b. Narkotika Sintetis

Narkotika jenis ini memerlukan proses yang bersifat sintetis, digunakan untuk keperluan medis dan penelitian sebagai penghilang rasa sakit. Contohnya yaitu amfetamin. Narkotika sintetis dapat menimbulkan dampak sebagai berikut : 1) Membuat pemakai tertidur atau tidak sadarkan diri (depresan);

2) Membuat pemakai bersemangat dalam beraktifitas (stimulan);

3) Membuat pemakai menjadi berhalusinasi sehingga dapat mempengaruhi perasaan serta pikirannya (halusinogen)

c. Narkotika Semi Sintetis

Yaitu zat atau obat yang diproduksi dengan cara isolasi, ekstraksi dan lain sebagainya. Contohnya heroin, morfin, kodein dan lain-lain.

83

www.organisasi.org, Arti Definisi / Pengertian Narkotika Dan Golongan Jenis Bahan Narkotika Pengetahuan Narkotika Dan Psikotropika Dasar, diakses pada tanggal 15 Oktober 2010.

(18)

Penggolongan narkotika dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dibagi atas 3 golongan, yaitu : 84

1) Narkotika Golongan I

Narkotika golongan ini adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak boleh digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi tinggi yang dapat mengakibatkan ketergantungan. Contoh narkotika jenis ini adalah :

a. Ganja

Ganja berasal dari tanaman Cannabis Sativa. Tumbuhan ini mengandung zat narkotika yang memabukkan. Dampaknya menimbulkan euforia (kegembiraan), menyebabkan ketenangan, tidak peduli pada lingkungan, dan rasa tenteram. Pemakaian ganja dapat mengakibatkan ketergantungan serta mampu mengubah struktur fungsi saraf. Tumbuhan ini hidup di daerah tropis seperti India, Nepal, Thailand, Laos, Kamboja, Indonesia dan juga dapat tumbuh di negara beriklim subtropis seperti Rusia bagian Selatan dan Korea.

b. Kokain85

Kokain adalah alkaloida dari tumbuhan erythroxylon coca, yaitu sejenis tumbuhan di lereng Pegunungan Andes Amerika Selatan. Sejak berabad-abad, suku Indian di Amerika sering mengunyah daun koka dalam upacara ritual mereka dan untuk menahan lapar serta letih. Kokain adalah narkotika

84

Penjelasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997.

85

www.bnkjaksel.com , Jenis dan Efek Penggunaan Narkoba, diakses pada tanggal 16 Oktober 2010.

(19)

yang sangat berbahaya karena dampak ketergantungan kokain sangat kuat bagi pemakainya.

c. Opioida

Opioida adalah nama sekelompok zat alamiah, semi sintetik atau sintetik yang mempunyai khasiat mengurangi atau menghilangkan rasa sakit. Opioida ada 3 jenis, yaitu :

a) Opioida alamiah, yaitu opium, morfin dan codein. b) Opioida semi sintetik, yaitu hidro morfin dan heroin c) Opioida sintetik, meliputi meperidin, levalorfan. d. Heroin atau Putaw

Heroin adalah opioida semi sintetik, berupa serbuk putih dan terasa pahit yang sering disalahgunakan secara meluas. Di pasar gelap, heroin dipasarkan dalam berbagai macam warna karena dicampur dengan bahan lainnya seperti gula, coklat, tepung susu. Pada tahun 1898, Heroin diuji manfaatnya yang ternyata dapat melegakan batuk (antitusif), melegakan nafas dan jantung serta memberikan kehangatan dan melancarkan pencernaan. Namun didapati bahwa bahaya penggunaan heroin jauh lebih besar dibanding dengan kegunaannya. Heroin dapat mengakibatkan ketergantungan dan mempunyai efek yang lebih kuat serta halusinasinya lebih tinggi daripada morfin. Akibatnya penggunaan heroin tidak diperbolehkan dalam dunia kedokteran.

(20)

e. Opium

Yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman Papaver

Somniferum L yang hanya mengalami pengolahan yang sederhana. Opium

terdiri dari :86

a) Candu, yaitu hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan pengolahan baik pelarutan, pemanasan dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain dengan maksud untuk mengubahnya menjadi ekstrak yang cocok untuk pemadatan.

b) Jicing, yaitu sisa-sisa setelah candu dihisap

c) Jicingko, yaitu hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing. 2) Narkotika Golongan II

Narkotika golongan II adalah narkotika yang berkhasiat dalam pengobatan, yang digunakan sebagai pilihan terakhir. Narkotika ini digunakan dalam terapi dan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh narkotika golongan II, yaitu : a. Morfin

Morfin adalah bahan analgesik yang kuat khasiatnya, tidak berbau, berbentuk kristal, berwarna putih, yang dapat berubah warna menjadi kecoklatan. Morfin berasal dari opium. Opium mentah mengandung 4% sampai 21% morfin. Khasiat morfin adalah untuk analgesik (penghilang rasa sakit) yang sangat kuat, misalnya waktu pembedahan atau pasien menderita luka bakar. Dalam perdagangan gelap, morfin mempunyai

86

(21)

banyak nama, misalnya : White Stuff, M, Hard Stuff, Morphe, Unkie, Miss

Emma, Hoccus, Morphie Emsel dan lain sebagainya. 87

b. Petidin

Petidin adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dari morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama dengan morfin.

3) Narkotika Golongan III

Narkotika golongan III adalah narkotika yang berkhasiat dalam pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan untuk tujuan pegembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Contoh narkotika golongan III,yaitu :

a. Codein

Codein adalah alkaloida terkandung dalam opium sebesar 0,7% sampai 2,5 %. Codein merupakan opioida alamiah yang banyak digunakan untuk keperluan medis. Codein mempunyai dampak analgesik lemah, hanya sekitar seperduabelas daya analgesik morfin. Codein biasa digunakan sebagai antitusif (peredam batuk) yang kuat.

b. Garam-garam narkotika dalam golongan-golongan tersebut.

3. Kejahatan Peredaran Gelap Narkotika sebagai Salah Satu Kejahatan Transnasional Perkembangan kejahatan yang bersifat lintas batas teritorial dalam bentuk dan lingkup jangkauan, dampaknya serta dilihat dari implikasi hukum yang menyertainya, dapat dibedakan antara kejahatan transnasional dan kejahatan internasional. 88

87

(22)

Perkembangan kejahatan transnasional tersebut berkaitan dengan sejarah perkembangan peradilan para penjahat Perang Dunia Kedua (Mahkamah Militer Nuremberg, 1949 dan Peradilan Tokyo, 1948). Sidang Majelis Umum PBB pada tanggal 11 Desember 1946, tiga bulan setelah pembentukan Mahkamah Militer di Nuremberg tersebut, telah mengesahkan dua resolusi penting, yaitu resolusi pertama, mengakui dan memperkuat prinsip-prinsip hukum internasional yang dicantumkan di dalam piagam Mahkamah Militer Nuremberg, dan kemudian menugasi Komisi Hukum Internasional untuk merumuskan kembali prinsi-prinsip tersebut dalam rangka menyusun suatu kodefikasi umum mengenai kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia atau suatu kaidah pidana internasional.89

“The Crimes hereinafter set out are punishable as crimes under international law:

Resolusi kedua, adalah resolusi mengenai genocide yang telah disetujui dalam Sidang Majelis Umum PBB dan merupakan kejahatan menurut hukum internasional. Komisi Hukum Internasional, pada tahun 1950, telah berhasil menyusun dan mengesahkan tujuh prinsip hukum internasional. Di antara ketujuh prinsip tersebut, Prinsip VI sangat relevan dengan perkembangan kejahatan internasional, yang menetapkan antara lain :

90

1) Crimes against peace; 2) War crimes;

3) Crimes against humanity.”

( Kejahatan tersebut selanjutnya dapat dihukum sebagai kejahatan di bawah hukum internasional :

1) Kejahatan terhadap perdamaian 88

Romli Atmasasmita, Op. Cit., hal. 79.

89

Ibid.

90

Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Refika Aditama, Bandung, 1994, hal. 41.

(23)

2) Kejahatan perang

3) Kejahatan terhadap kemanusiaan)

Di dalam prinsip keenam tersebut, tampak Komisi Hukum Internasional telah mempergunakan istilah crimes under international law, dan bukan kejahatan internasional atau international crimes, serta hanya menetapkan tiga jenis kejahatan yang termasuk kejahatan internasional.91

Dalam naskah Undang-Undang Pidana Internasional atau The International

Criminal Code tahun 1979 yang disusun oleh The International Association of Penal Law,

telah dimasukkan jenis tindak pidana lainnya seperti lalu lintas perdagangan narkotika ilegal (illicit drug trafficking), pemalsuan mata uang (countrerfeiting), penyuapan

(bribery), keikutsertaan dalam perdagangan budak dan pengambilan harta karun suatu

negara tanpa izin.92

1) Tumbuhnya bentuk-bentuk kejahatan baru.

Seiring dengan pesatnya perkembangan masyarakat di dunia menuju era globalisasi, dalam dunia kejahatan dapat dirasakan perkembangan yang demikian cepat. Oleh karena itu, kejahatan-kejahatan ini memerlukan perhatian khusus dalam penanggulangannya serta patut diberi kedudukan yang sama dengan ketiga jenis kejahatan internasional di atas. Pesatnya perkembangan kejahatan tersebut sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi dan perkembangan peradaban masyarakat di dunia, yang mencakup berbagai aspek :

91

Romli Atmasasmita, Op. Cit., hal. 80.

92

(24)

2) Semakin kompleknya modus operandi, kejahatan konvensional maupun dimensi baru.

3) Semakin canggihnya peralatan yang digunakan oleh pelaku kejahatan.

4) Semakin luasnya lingkup wilayah operasi kejahatan, tidak terbatas di suatu negara tetapi juga lalu lintas negara.

5) Semakin rumitnya penanggulangan kejahatan, karena kelangkaan aturan atau ketertinggalan peralatan yang dimiliki aparat keamanan dibandingkan dengan para pelaku kejahatan.

Di satu sisi, maraknya kejahatan telah menimbulkan kekhawatiran masyarakat di dunia karena menyadari bahwa bila tidak ditanggulangi akan mempercepat kehancuran dunia ataupun peradaban kehidupan manusia itu sendiri. Di sisi lain perkembangan kejahatan juga telah mengetuk kesadaran negara-negara di dunia untuk bekerja sama dalam menanggulangi kejahatan yang berlingkup antar negara dengan perkembangan bahwa :

a. Akibat buruk dari suatu kejahatan yang merajalela di suatu negara, misalnya peredaran gelap narkotika, terorisme dan lain-lain, bukan hanya akan merugikan satu negara saja melainkan juga akan berdampak negatif terhadap negara-negara lainnya.

b. Penanggulangan kejahatan yang lingkup kegiatannya tidak mengenal batas negara, tentu tidak akan efektif bila hanya dilakukan oleh salah satu negara saja, sehingga mutlak membutuhkan kerjasama antara negara-negara di dunia.

c. Kepedulian untuk menanggulangi kejahatan harus dipacu dengan semangat kebersamaan dan harus direspon oleh setiap negara, agar tidak dikucilkan dari negara-negara lain.

(25)

Kejahatan transnasional merupakan ancaman terhadap negara dan masyarakat yang dapat mengikis human security dan kewajiban dasar negara untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Salah satu bentuk kejahatan transnasional adalah perdagangan gelap narkotika (illict drug trafficking).

Peredaran dan perdagangan gelap narkotika juga menyebabkan permasalahan yang sangat kompleks seperti peningkatan penularan HIV/ AIDS melalui pengguna narkotika yang menggunakan jarum suntik di sejumlah negara. Pada sisi lain, kejahatan perdagangan orang, khususnya terkait dengan kejahatan eksploitasi seksual sering juga dihubungkan dengan kejahatan peredaran gelap narkotika.

Dengan melihat besarnya cakupan permasalahan kejahatan transnasional khususnya kejahatan peredaran gelap narkotika di dunia, terdapat keperluan untuk merumuskan beberapa upaya dalam memperkuat kerangka hukum dan instrumen hukum internasional yang ada. Sebagai catatan, sejauh ini terdapat beberapa instrumen yang menjadi tolak ukur, yakni Konvensi Tunggal Narkotika 1961, Konvensi Wina 1988, Konvensi PBB menentang Kejahatan Terorganisasi Transnasional Tahun 2000 (Palermo Convention). 93

Walaupun ketiga konvensi di atas merujuk kepada kejahatan-kejahatan tertentu (dengan pengecualian Konvensi Palermo), pada intinya terdapat tiga hal utama yang diatur dalam konvensi-konvensi tersebut. Pertama, mengatur langkah-langkah yang perlu diambil oleh negara untuk mencegah terjadinya kejahatan. Kedua, mengatur perbuatan-perbuatan yang dianggap sebagai tindak pidana, sebagai bagian dari penegakan hukum. Ketiga,

93

Konvensi Palermo 2000 adalah konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dihasilkan pada konferensi di palermo pada tanggal 15 November 2000, selanjutnya berlaku efektif sejak tanggal 29 September 2003. Konvensi ini merupakan bukti bahwa negara-negara di dunia sangat concern terhadap permasalahan kejahatan lintas negara.

(26)

pengefektifan dan penguatan kerjasama internasional melalui lembaga ekstradisi, bantuan hukum timbal balik dan kerjasama lainnya.

Tak dapat dipungkiri bahwa Konvensi Palermo merupakan terobosan bagi dunia internasional dalam memberantas secara efektif kejahatan terorganisasi transnasional. Terobosan tersebut dalam dilihat dalam kesepakatan mengenai defenisi kelompok terorganisasi (criminal group) dan ruang lingkup kejahatan transnasional.

Dengan lahirnya Konvensi Wina 1988 yang bertujuan untuk memberantas peredaran gelap narkotika dan psikotropika, maka semakin berkembanglah penegakan hukum kejahatan transnasional peredaran gelap narkotika. Jika dilihat dari segi substansi dalam konvensi ini, telah muncul embrio dari upaya internasional yang antara lain dapat diidentifikasikan dengan aturan-aturan yang menyangkut ekstradisi, bantuan timbal balik, penanganan perdagangan gelap narkotika melalui laut, controlled delivery, dan penguatan rezim anti pencucian uang (termasuk masalah penyitaan dan perampasan hasil kejahatan tindak pidana narkotika).

Selain itu, sebagai tindak lanjut dari semangat memerangi kejahatan lintas batas negara, masyarakat ASEAN menyepakati melalui Deklarasi ASEAN tanggal 20 Desember 1997 di Manila, dimana ASEAN juga menetapkan kejahatan yang termasuk dalam Transnational Crime, yaitu :94

1) Illicit Drug Trafficking ( perdagangan gelap narkotika); 2) Money Laundering (pencucian uang);

3) Terorism (terorisme);

4) Arm Smuggling (penyelundupan senjata api); 94

Thomson Siagian, Peranan Kejaksanaan Agung dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan

(27)

5) Trafficking in persons ( perdagangan orang); 6) Sea Piracy (pembajakan di paut);

7) Economic Crime and Currency Counterfeiting (kejahatan di bidang ekonomi dan pemalsuan uang);

8) Cyber Crime (kejahatan di dunia maya).

Dengan ditetapkannya jenis-jenis kejahatan lintas negara yang harus mendapatkan prioritas dalam penanggulangannya, maka dalam hal pemberantasan peredaran gelap narkotika, ASEAN membentuk ASOD ( ASEAN Senior Official on Drugs), yaitu forum kerjasama ASEAN di bidang pencegahan, terapi dan rehabilitasi, penegakan hukum dan penelitian penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.95

Segala upaya yang ditempuh oleh masyarakat internasional dalam pemberantasan peredaran gelap narkotika dikarenakan peredaran dan perdagangan narkotika secara ilegal telah melibatkan lebih dari satu negara. Peredaran gelap narkotika selalu melibatkan negara produsen, negara transit dan negara pemasaran narkotika. Bukanlah hal yang tidak mungkin mengingat perkembangan teknologi, informasi dan transportasi, suatu jenis narkotika diproduksi di negara A ,didistribusikan melalui negara B yang kemudian dijual ke negara C. Oleh karena itu, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh satu negara tetapi banyak negara di dunia. Untuk dapat memberantas peredaran gelap narkotika secara lebih efektif, maka negara-negara di dunia harus mau untuk bekerja sama. Apalagi peredaran dan perdagangan gelap narkotika tidak hanya dilakukan oleh invidu saja, tapi sudah dilakukan oleh sekelompok orang yang bekerja secara terorganisasi yang mana

Forum ini mengadakan pertemuan setiap tahun sekali secara bergiliran di negara-negara anggota ASEAN.

95 www.bnn.go.id, Pertemuan ASEAN Senior Official on Drug Matters dalam hal kerjasama

(28)

kelompok ini tersebar di negara-negara. Kelompok-kelompok sindikat ini telah memiliki sumber pendanaan yang membiayai kegiatan ilegal mereka.

Melihat ruang lingkup kegiatan peredaran gelap narkotika telah dilakukan secara global, maka dapat dikategorikan peredaran gelap narkotika sebagai kejahatan transnasional yang memerlukan penanggulangan secara efektif dan efisien oleh negara-negara di dunia.

C. Perkembangan Jaringan Peredaran Gelap Narkotika

Dalam era globalisasi ini, peredaran gelap narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas dan bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional.

Peningkatan serta meluasnya perdagangan dan peredaran gelap narkotika tersebut tidak terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya di bidang transportasi dan telematika yang memungkinkan arus perpindahan dan lalu lintas uang, orang dan barang secara cepat, sehingga ruang,jarak dan waktu sudah tidak menjadi hambatan lagi. Dampak dan implikasi batas-batas negara menjadi kabur sehingga membuka peluang meluasnya jaringan bisnis perdagangan gelap narkotika yang dilakukan secara terorganisir, meliputi jaringan yang sangat luas, melibatkan lebih dari satu negara, mobilitas tinggi serta modus operandi yang cenderung berganti-ganti dan semakin sulit untuk dilacak.

Menurut data United Nations Office on Drug and Crime ( UNODC), tercatat antara 155 dan 250 juta, 3,5% sampai 5,7% dari penduduk di dunia yang berusia 15-64

(29)

mengkonsumsi narkotika setidaknya sekali di tahun 2009.96 Afganistan merupakan negara penghasil opium terbesar di dunia, dimana pada tahun 1992 sampai 1993 saja produksinya diperkirakan mencapai antara 1500 sampai 2000 ton, sedangkan untuk jenis kokain, 75 % suplai kokain berasal dari Kolombia.97 Di tingkat regional, negara-negara segitiga emas yaitu Thailand, Laos dan Myanmar merupakan pemasok opium terbesar kedua di dunia setelah Afganistan. 98

1. Wilayah Asia Barat

Dalam menyelundupkan narkotika ke negara-negara untuk dijual, biasanya pengedar melalui jaringan kerjasama melalui rute-rute tertentu, beberapa rute yang sering digunakan jaringan pengedar narkotika adalah :

Perbatasan Afganistan-Pakistan tetap menjadi sumber utama morfin dan heroin untuk pasar internasional terutama Eropa dengan rute-rute penyelundupan sebagai berikut:99

a. Jalan darat, yaitu dari perbatasan Pakistan –Iran dan Afganistan-Iran menuju daerah Turki Tenggara. Dari wilayah ini melalui Istambul dan masuk ke negara-negara Eropa Barat.

b. Jalan laut, yaitu dari wilayah produksi melalui propinsi Baluchistan menuju Pakistan (Pantai Makaran) dari wilayah ini dengan kapal-kapal laut menuju Eropa.

c. Jalan udara, yaitu melalui Kathmandu dan masuk ke New Delhi dan Bombay. Dari kedua kota ini menuju ke Eropa Barat.

96

World Drug Report UNODC 2010.

97

Sardjono, Op. Cit.,hal. 113.

98

Ibid.

99

(30)

d. Dari wilayah perbatasan Afganistan dan Tajikistan menuju negara Eropa Tengah dan Eropa Timur melalui rute-rute baru di Uzbekistan dan Turkmenistan.

e. Produksi heroin dari Libanon diselundupkan ke Eropa dan Amerika melalui pantai-pantai laut tengah disamping melalui rute tradisional yang dikenal dengan The Balkan Route menuju Eropa.

2. Wilayah Teluk Persia100

Kelompok penyelundup berasal dari Asia Selatan dan Asia Tenggara telah menggunakan pelabuhan-pelabuhan udara di negara-negara Teluk Persia sebagai titik transit menuju negara-negara tujuan terutama Eropa. Perkembangan ini merupakan trend baru dalam upaya penyelundupan morfin dan heroin dari wilayah sumber menuju negara tujuan.

Penyelundupan narkotika di atas dilakukan dengan metode yang bervariasi dan sering kali berubah sesuai dengan perkembangan teknologi. Sekalipun teknik-teknik penyelundupan selalu berkembang, tetapi teknik-teknik yang umumnya dilakukan adalah menggunakan tas atau koper khusus dengan dasar atau sisi yang dipalsukan, di sembunyikan ditumit sepatu, diikatkan pada badan, ditelan maupun disembunyikan dalam barang-barang kerajinan tangan.101

Dari fakta tersebut di atas, Indonesia juga tidak luput dari sasaran perdagangan dan peredaran gelap narkotika oleh sindikat karena sarana pengawasan yang belum dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan negara terluas di Asia Tenggara yang terdiri dari kurang lebih 17.508 pulau,

100

Ibid.

101

(31)

meliputi area tanah seluas 2.027.087 km² dan luas perairan 3.166.163 km² serta memiliki panjang pantai lebih dari 85.000 km, dan jumlah penduduk lebih dari 215 juta jiwa, sangat terbuka kesempatan untuk menjadi jalur peredaran dan perdagangan gelap narkotika.

Di Indonesia sendiri, maraknya peredaran dan perdagangan gelap narkotika dapat dirasakan dengan melihat kenyataan di lapangan, dimana penyalahgunaan narkotika tidak hanya dilakukan di wilayah perkotaan saja, tapi sudah sampai di wilayah-wilayah yang jauh dari kota (desa). Para penyidik menyadari bahwa sindikat peredaran gelap narkotika menunjukkan kenaikan setiap tahunnya, namun untuk membongkarnya masih sangat sulit karena kemampuan mereka dengan menggunakan sel-sel sindikat. Jalur perdagangan gelap narkotika yang paling menonjol yang melalui Indonesia adalah :

1) Narkotika jenis heroin, melalui sindikat yang pelakunya “Black African”, mereka berperan dalam menyelundupkan narkotika jenis heroin ke Indonesia melalui negara-negara The Golden Triangle ( Thailand, Laos dan Myanmar), dengan menggunakan kurir dari Nepal, Thailand dan bahkan orang Indonesia sendiri. Heroin ini berasal dari negara-negara Golden Cresent yaitu perbatasan antara negara-negara Iran, Pakistan dan Afganistan. Modus operansi yang biasa digunakan adalah swallowed (ditelan) ataupun disembunyikan di lapisan koper atau tas. Sebagai contoh, pada tahun 2008, Kepolisian Indonesia berhasil menangkap jaringan peredaran gelap narkotika yang dilakukan oleh West African Syndicate yang membawa sebanyak 8,6 kg heroin. Sindikat yang berhasil ditangkap ini sebanyak 32 orang. Tujuh diantaranya adalah kewarganegaraan Nigeria, 2 orang warga negara Malaysia, selebihnya adalah warga negara Indonesia.102

102

(32)

2) Narkotika jenis kokain, berasal dari Amerika Latin dan beredar di Indonesia dengan pelaku sindikat “Black African”. Beberapa kasus yang berhasil diungkap salah satunya yaitu tertangkapnya wanita Indonesia di luar negeri yang direkrut untuk menjadi kurir oleh anggota sindikat dimana ia dinikahi sengaja dan dijadikan alat untuk melakukan penyelundupan melalui body concealment. 103

Pada tahun 2008 sampai tahun 2009,

Modus peredaran gelap narkotika yang berkembang dalam masyarakat saat ini, meliputi dua kelompok, yaitu :

1) Kelompok pengedar

Sindikat pelaku peredaran gelap narkotika selalu terkait dengan jaringan yang luas baik yang ada di perkotaan maupun di daerah-daerah terpencil. Sindikat ini biasanya menggunakan sistem sel atau “cut”, yaitu terdapat beberapa tingkatan pengedar, dimana masing-masing tingkat tidak saling kenal sehingga jika salah satu tingkatan pengedar tertangkap, dia tidak bisa menunjukkan jaringan yang ada diatasnya. Modus operandi peredaran narkotika dari pengedar tingkat bawah yang langsung berhubungan dengan pengguna biasanya dengan mempengaruhi kelompok yang rentan, yaitu kelompok masyarakat yang bermasalah baik secara ekonomi, psikologis maupun sosial, melalui dua cara : a. Terhadap kelompok bermasalah secara ekonomi, seperti orangtua yang

kurang mampu termasuk ibu-ibu rumah tangga, mereka mempengaruhi dengan menjanjikan keuntungan ekonomi yang tinggi dengan mengatakan bahwa saat ini hanya dengan berdagang narkotika saja yang dapat

103

(33)

memperoleh keuntungan besar dengan waktu yang relatif singkat sehingga dapat mengatasi permasalahan ekonomi yang sedang dihadapi.

b. Terhadap kelompok bermasalah lain seperti golongan pelajar atau mahasiswa, setelah mendekati golongan tersebut maka sindikat akan mengenalkan dengan memberikan narkotika secara gratis. Setelah korban ketergantungan dan tidak mempunyai uang untuk membeli lagi, maka pengedar akan meminta korban untuk mempengaruhi orang lain dan ikut mengedarkannya.

2) Kelompok pengguna

Modus yang digunakan dalam memesan biasanya melalui handphone untuk diantarkan kurir ke suatu tempat yang sudah ditentukan.

(34)

BAB IV

PERAN INTERPOL DALAM PEMBERANTASAN

JARINGAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA INTERNASIONAL

A. Kerjasama Antara Kepolisian Internasional

Kerjasama internasional di bidang kepolisian dalam rangka menanggulangi kejahatan berdimensi internasional dan bersifat lintas negara telah dilaksanakan sejak berdirinya ICPC tahun 1923 yang pada tahun 1956 berkembang menjadi ICPO. Salah satu tujuan kerjasama tersebut adalah untuk memberantas perdagangan gelap narkotika.

Dalam memberantas peredaran gelap narkotika, di dalam Interpol terdapat sebuah divisi khusus yang bertanggung jawab untuk mengoperasikan suatu sistem laporan intelijen yang efektif dan menguntungkan negara anggota, menyoroti kasus-kasus penyitaan narkotika dalam jumlah besar dan melukiskan kecenderungan-kecenderungan baru dari pengedar, jenis narkotika yang disita, modus operandi yang digunakan dan rute perjalanan yang dilalui. 104

Aktifitas-aktifitas yang berhubungan dengan peredaran dan perdagangan gelap narkotika ditangani oleh dua grup. Kedua grup ini bertugas untuk :105

a. Mengumpulkan informasi penyitaan narkotika.

b. Mengkoordinasikan penyelidikan yang bersifat internasional.

c. Mensirkulasikan tentang taktik dan strategi yang digunakan untuk memberantas peredaran gelap narkotika.

104

Sardjono, Kerjasama Internasional di Bidang Kepolisian, Op. Cit., hal. 30.

105

(35)

d. Berkoordinasi dengan badan-badan PBB di bidang narkotika yaitu UNODC. e. Menyediakan bantuan kepada setiap NCB negara-negara anggota.

f. Mengatur pertemuan untuk membicarakan kasus peredaran gelap narkotika yang sedang berlangsung.

g. Mengevaluasi secara periodik situasi perdagangan dan peredaran gelap narkotika di berbagai negara di dunia.

Interpol juga memiliki kantor Perwakilan Pengontrolan Narkotika di Bangkok yang menitikberatkan perhatiannya serta bertanggung jawab terhadap situasi peredaran narkotika di Asia Tenggara.

Telah bertahun-tahun Divisi Khusus Narkotika ini melaksanakan program untuk menangani permasalahan yang berhubungan dengan narkotika. Hingga saat ini program-program yang menonjol mencakup :106

a. Program strategis penanggulangan perluasan peredaran kokain di Eropa.

b. Sistem Intelijen Strategis (SIS) menyediakan data penyitaan narkotika di seluruh dunia.

c. Program monitor diversi narkotika dan zat kimia yang penting dari semula yang bersifat legal kemudian diperdagangkan secara gelap.

d. Program menanggulangi peredaran heroin melalui rute Balkan.

e. Program monitor pengedar-pengedar dari berbagai kebangsaan dan kelompok etnis.

Divisi Khusus Narkotika ini menyediakan berbagai dokumen untuk membantu dalam pemberantasan peredaran gelap narkotika. Dokumen-dokumen ini berupa

laporan-106

(36)

laporan intelijen yang sangat penting dalam hal penyitaan dan setiap kecenderungan baru dalam perdagangan gelap narkotika. Dokumen-dokumen ini dikirim ke masing-masing negara anggota setiap minggu.

Publikasi lainnya adalah mencakup laporan tahunan mengenai peredaran narkotika internasional dan laporan tahunan statistik mengenai produksi gelap, pemakaian dan peredaran narkotika. Kedua laporan ini diajukan dalam Sidang Umum Interpol setiap tahunnya.

Kerjasama kepolisian internasional tidak hanya dibatasi pada pertukaran informasi tetapi juga mencakup :107

a. Menyiapkan dan mengedarkan studi-studi dan laporan-laporan dalam bidang hukum narkotika serta permasalahan teknis yang berhubungan dengan aktifitas kepolisian di negara masing-masing;

b. Mengumpulkan materi referensi yang bersifat umum pada fenomena yang terjadi dan kedisiplinan yang behrubungan dengan Interpol dan tugas-tugas kepolisian;

c. Mengatur simposium internasional untuk mempelajari secara lebih mendalam permasalahan-permasalahan permanen yang menjadi topik bagi penegak hukum negara anggota.

Selain itu, kerjasama internasional di bidang kepolisian memungkinkan negara anggota yang merupakan negara maju memberikan bantuan teknis kepada negara-negara berkembang khususnya dalam hal pelatihan dan spesialisasi petugas kepolisian.

107

(37)

Divisi khusus akan menyusun secara berkala suatu kursus dan pelatihan dimana negara-negara anggota disiapkan untuk menerima perwira polisi asing.

Salah satu contoh kerjasama internasional di bidang kepolisian dalam hal pemberian pelatihan dan spesialiasi pertugas kepolisian adalah pendirian JCLEC (Jakarta

Centre for Law Enforcement Cooperation), yang bertujuan melatih para penegak hukum

yang ingin meningkatkan keahlian operasionalnya dalam menangani kejahatan lintas negara, Dibangun atas kerjasama pemerintah Indonesia dan Australia, JCLEC dikelola Kepolisian RI dan Kepolisian Federal Australia (AFP).108

Kerjasama antara Kepolisian RI dan AFP sendiri telah terjalin sejak lama khususnya dalam membongkar suatu sindikat kejahatan lintas negara yang beroperasi antara Australia dan Indonesia. Penyidikan ini diberi sandi Operation Kalurra pada waktu seorang tersangka bernama Petr Petras (seorang warga negara Cekoslovakia) tiba di Bali dan bertemu dengan seorang warga negara Australia keturunan Turki bernama Mehmet Seriban.

109

Kedua orang tersebut diketahui berencana untuk mengekspor sejumlah besar bahan kimia pre-kursor (Ephidrine)110

108

untuk dipakai memproduksi shabu-shabu di Australia. Berkat kerjasama yang baik melalui pertukaran informasi yang eferktif antara

www.kompas.com, JCLEC Buah Kerjasama Polri dan AFP ( Australian Federal Police), diakses pada tanggal 12 November 2010.

109

Berita Acara Pelimpahan Tersangka, Badan Reserse kriminal POLRI Direktorat IV/TP.NARKOBA dan KT.

110

Prekursor adalah bahan kimia yang digunakan dalam pembuatan obat yang berada dalam pengawasan. Pada umumnya prekursor digunakan secara sah/resmi dalam proses industri dan sebagian besar diperdagangkan dalam perdagangan Internasional. Bahan kimia tersebut tidak berada dalam pengawasan khusus, namun ekspor dan impor serta pemasokan prekursor kepada perorangan dan perusahaan yang penggunaannya bukan untuk pemakaian dalam industri merupakan suatu petunjuk bahwa ada kemungkinan kegiatan tersebut adalah kegiatan gelap. Istilah pekursor dipakai untuk bahan-bahan yang tidak perlu merupakan narkoba, namun digunakan dalam berbagai cara untuk memproses atau membuat narkotika atau psikotropika. www.bnn.id, Pengawasan Prekursor, diakses pada tanggal 12 November 2010.

(38)

AFP dan Polri maka AFP dapat mengumpulkan bukti-bukti yang memungkinkan AFP untuk menangkap sindikat ini sebelum bahan kimia tersebut diekspor.

Selain melalui Interpol, negara-negara juga dapat melakukan kerjasama di bidang kepolisian untuk memberantas peredaran gelap narkotika. Kerjasama ini dapat dilakukan melalui memorandum of understanding (MoU) maupun agreement.111

a. Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Bersatu Britania Raya dan Irlandia Utara tentang Penanggulangan Kejahatan Lintas Negara dan Pengembangan Kerjasama Kepolisian.

Beberapa contoh kerjasama yang dilakukan oleh Kepolisian Indonesia dengan negara lain, yaitu :

b. Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Kementrian Dalam Negeri dan Hubungan Kerajan Belanda tentang Kerjasama Pendidikan dan Pelatihan.

c. Nota Kesepahaman antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kepolisian Nasional Philipina tentang Kerjasama Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan Transnasional.

d. Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Australia tentang Penanggulangan Kejahatan Lintas Negara dan pengembangan Kerjasama Kepolisian.

e. Agreement on Narcotics Control and Law Enforcement between The

Government of The United States of America and The Government of Indonesia.

111

Kumpulan Naskah Kerjasama Antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Kepolisian

(39)

f. Memorandum of Understanding between The Government of The Republic of

Indonesia and The Government of The Socialist Republic of Vietnam on Cooperation in Preventing and Combating Crimes.

g. Memorandum of Understanding between The Indonesian National Police and The Royal Malaysia Police on Combating Illicit Trafficking in Narcotic Drugs, Zpsychotropic Subtances, Precursors, Hazardous Materials and Enchanment of Police Cooperation.

h. Arrangement on Cooperation between The National Police Agency of The Republic of Korea and The Indonesian National Police.

i. Agreement on Cooperation between The National Police of The Republic of The Indonesia and The Ministry of Public Security of The People’s Republic of China.

j. Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Romania tentang Kerjasama Pencegahan dan Pemberantasan Kejahatan Terorganisasi Transnasional, Terorisme dan Jenis Kejahatan Lainnya.

k. Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Polandia tentang Kerjasama Pemberantasan Kejahatan Terorganisasi Transnasional dan Kejahatan Lainnya.

B. Kerjasama di Bidang Informasi

Salah satu tujuan Interpol adalah pembangunan sistem pengiriman informasi dari NCB ke NCB negara anggota dan ke Sekretariat Jenderal dengan cepat, tepat, aman dan permanen. Bentuk-bentuk informasi tersebut dapat berupa :112

112

(40)

a. Teks ketikan;

b. Teks grafik, diagram dan tabel;

c. Gambar berupa nota palsu, sidik jari, foto dan lain-lain; d. Kombinasi antara teks dan gambar;

e. Konsultasi database.

Peralatan media transmisi yang digunakan tergantung pada bentuk dokumen yang akan dikirim antara lain electronic message, facsimile, phototelegraf, dan melalui pos. Peningkatan kualitas peralatan dan standar teknologi diantara negara-negara anggota menjadi prioritas utama pada tahun-tahun akan datang, sehingga standar kualitas jaringan komunikasi Interpol di seluruh negara anggota dapat tercapai. 113

Sebagaimana ketentuan sistem telekomunikasi dalam Interpol, jaringan komunikasi ada dua, yaitu :

Interpol terdiri 188 negara anggota yang masing-masing memiliki tingkat perkembangan teknologi yang berbeda. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan proses komunikasi dan informasi.

114

a. Jaringan komunikasi mencakup keseluruhan kemampuan NCB melakukan pengiriman informasi dan dokumen ke NCB negara lain dan ke Sekretariat Jenderal dengan menggunakan sarana yang ada.

b. Jaringan siaran radio mencakup NCB negara anggota yang dapat menerima siaran khusus atau umum.

Kemampuan suatu NCB tergantung dari peralatan yang telah dipasang. Jaringan telekomunikasi Interpol mencakup tiga tingkat struktur, yaitu :115

113

Ibid,hal. 21.

114

(41)

a. Level 1, yaitu dari NCB ke NCB lainnya.

NCB suatu negara anggota saling terkait dengan kepolisian negara tersebut, demikian juga dengan Interpol, ada 188 NCB dan 13 Sub Biro.

b. Level 2, yaitu Stasiun Regional.

Stasiun Regional menjamin pengumpulan dan pengiriman berita di wilayahnya. Mereka mengatur kelancaran arus berita antara NCB yang langsung berhubungan dengan Stasiun Regional. Ada tujuh Stasiun Regional :

1) Lyons, merupakan kedudukan Sekretariat Jenderal, yaitu stasiun regional yang menghubungkan NCB yang berada di Eropa, Laut Tengah, Amerika Utara dan Timur Tengah.

2) Nairobi, yaitu stasiun regional yang menghubungkan NCB yang berada di Afrika Timur.

3) Abijan, yaitu stasiun regional yang menghubungkan NCB di Afrika Barat. 4) Buenos Aires, yaitu stasiun regional yang menghubungkan NCB di Afrika

Selatan.

5) Tokyo, yaitu stasiun regional yang menghubungkan NCB di Asia.

6) Puerto Rico, yaitu stasiun regional yang menghubungkan NCB di Amerika Tengah.

7) Canberra, yaitu stasiun regional yang berada di Pasifik. c. Level 3, yaitu Stasiun Pusat.

115

(42)

Stasiun Pusat mengendalikan arus informasi dari stasiun regional yang berbeda melalui stasiun regional. Di samping itu stasiun pusat menjadi stasiun regional untuk zona Eropa, Mediterania, Amerika Utara, dan Timur Tengah.

Di dalam sistem informasi Interpol, dikenal X-400, yaitu suatu standar penerimaan dan pengiriman berita internasional dalam rangkaian Komite Konsultasi Telegraf dan Telepon Internasional (CCITT).116

Sistem incriptor Interpol dapat beradaptasi pada semua peralatan micro computer, dengan software X-400 dan identifikasi pengirim dengan memakai sebuah chip-card

Dengan adanya peralatan standar X-400 ini memungkinkan penyediaan sarana di setiap stasiun regional dengan sebuah Mini-AMSS (

Automatic Message Switching Server ) berdasarkan standar peralatan yang menghemat

biaya dan tenaga. Kebijaksanaan strategi modernisasi peralatan ini dputuskan pada tahun 1991. Dengan demikian pelayanan komunikasi informasi secara otomatis di Sekretariat Jenderal berintegrasi ke dalam jaringan umum. Sebagian besar negara-negara di Eropa dan Amerika Utara mengikuti Sekretariat Jenderal dalam pemakaian peralatan X-400 yang disempurnakan di tahun 1993.

Interpol bukan hanya dapat mengirim dan menerima informasi secara tepat dan tepat, namun juga harus aman dari deteksi pihak luar. Jaringan informasi Interpol terdiri dari beberapa terminal dan peralatan komunikasi yang disuplai oleh berbagai negara anggotanya. Ada dua persyaratan yang harus dipenuhi yaitu, pertama sistem yang mengidentifikasikan pengiriman berita sehingga pihak ketiga tidak mempunyai kesempatan memperoleh akses dan mengirimkan berita tanpa gangguan. Kedua, peralatan menjamin bahwa terhadap berita penting tidak akan teridentifikasi oleh pihak lain.

116

(43)

sebagai tanda tangan elektronik, semua ini dapat dilaksanakan tanpa harus melakukan modifikasi terhadap X-400. Sistem ini telah dioperasikan sejak bulan Agustus 1991.

Dalam mempermudah pemberian informasi kepada setiap NCB, Interpol juga melengkapi saran informasinya dengan The Automated Search Facility ( AFS ) yaitu suatu sarana yang dapat digunakan NCB negara anggota untuk mencari identitas tersangka secara otomatis.117

Banyak dokumen yang diterbitkan oleh Interpol secara periodik maupun sewaktu-waktu untuk mengedarkan informasi melalui NCB-NCB kepada kepolisian negara-negara anggota. Dokumen-dokumen tersebut disiapkan oleh notices group yang berisi informasi yang telah dikumpulkan dari beberapa negara. Dokumen tersebut adalah :

Pencarian identitas tersangka dilakukan dengan beberapa kriteria termasuk kriteria nama keluarga, nama depan, tanggal lahir, kewarganegaraan, nomor paspor atau identitas lainnya. Sistem ini juga dapat mengirimkan foto dan sidik jari seseorang dan international notices dalam bahasa Inggris, Perancis, Spanyol dan Arab. Dengan menggunakan AFS ini, NCB negara anggota dapat mengirimkan serta menerima informasi dengan mengirimkan gambar secara langsung.

Dengan sarana melalui X-400 dan ASF, maka Interpol memiliki sarana utama sebagai fondasi mengembangkan dan memperluas jaringan ke seluruh dunia, guna memberantas kejahatan peredaran gelap narkotika.

118

1. Individual Notices, dokumen ini memberikan data identitas, penjelasan secara fisik dan kemungkinan keberadaan, foto dan sidik jari seseorang. Individual notices ini sendiri terdiri atas beberapa jenis, yaitu :

117

Ibid.

(44)

a. Wanted Notices adalah permintaan mengenai orang-orang yang dicari untuk ditangkap dan ditahan dengan kemungkinan ekstradisi. Wanted notices ini berupa data-data lengkap dari orang yang dicari tersebut dan menjelaskan kejahatan apa yang telah dilakukannya.

b. Enquiry Notices adalah permintaan yang diterbitkan untuk mengumpulkan informasi tambahan tentang orang-orang yang dimaksud yang dapat digunakan untuk membantu menemukan si tersangka.

c. Warning Notices adalah peringatan atau pemberitahuan kepada beberapa negara mengenai seorang atau sindikat yang sedang melakukan kejahatan di negara-negara tersebut.

d. Missing Person Notices diterbitkan bila seseorang khususnya orang-orang yang belum dewasa dilaporkan hilang dari kediamannya.

e. Unidentified Body Notices berisi deskripsi mayat yang ditemukan tanpa identitas.

2. Stolen Property Notices yaitu pemberitahuan atas barang-barang hilang atau yang sedang dicari.

3. Surat Edaran, laporan dan brosur-brosur teknik yang memberikan ringkasan, fakta serta kategori tertentu dari pelaku pengedar gelap narkotika.

Dokumen-dokumen Interpol ini disimpan secara elektronik dalam disk optic sehingga mempermudah mengidentifikasi para pelaku kejahatan dan menunjukkan apakah ada kaitan antara kasus-kasus yang sedang terjadi dengan kasus yang telah lampau.

(45)

C. Permintaan Penerbitan Notices 1. Pengertian dan Jenis-Jenis Notices

Salah satu tugas Interpol yang paling penting adalah untuk membantu kepolisian di negara-negara anggota berbagi informasi yang terkait dengan pemberantasan kejahatan lintas batas negara dengan menggunakan sistem organisasi pemberitahuan internasional. Berdasarkan permintaan dari setiap NCB negara anggota, Sekretariat Jenderal dapat menerbitkan notices atau pemberitahuan dalam semua bahasa resmi yang dipakai oleh organisasi yaitu bahasa Inggris, Perancis, Spanyol dan Arab. Selain itu notices ini dapat digunakan oleh Mahkamah Pengadilan Internasional untuk mencari orang-orang yang diduga melakukan tindak pidana internasional seperti genosida, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.119

1. Individual Notices

Dalam memberantas peredaran gelap narkotika, notices berupa pemberitahuan ini sangatlah penting untuk menangkap pelaku yang lari ke luar negeri maupun untuk membongkar sindikat pengedar yang berada di banyak wilayah negara di dunia.

Penerbitan Interpol notices dapat digolongkan sebagai berikut :

120

a. Red Notice adalah permintaan pencarian tersangka atau terdakwa atau terpidana yang diduga melarikan diri ke negara lain, dengan maksud agar dilakukan pencarian, penangkapan dan penahanan untuk diekstradisi.

b. Blue Notice adalah permintaan pencarian pelaku kejahatan yang diduga melarikan diri ke negara lain bukan untuk tujuan penangkapan, tetapi untuk

119

www.interpol.int, Interpol-United Nations Security Council Special Notices, diakses pada tanggal 12 November 2010

120

(46)

diketahui keberadaannya dan atau kemungkinan adanya catatan kriminal serta jati diri maupu n aktifitas lainnya.

c. Green Notice adalah informasi yang berisi peringatan kepada negara-negara lain agar waspada terhadap residivis atau seseorang atau kelompok yang kemungkinan akan melakukan kejahatan di negara penerima informasi.

d. Yellow Notice adalah permintaan pencarian orang yang diduga hilang atau orang yang mengalami gangguan kejiwaan dan diduga hilang, yang kemungkinan pergi atau berada di wilayah negara lain.

e. Black Notice adalah permintaan informasi tentang penemuan mayat yang tidak diketahui identitasnya dan diduga berkebangsaan asing.

2. Stolen Property Notices adalah permintaan pencarian benda-benda antik termasuk karya-karya seni bernilai tinggi yang dilaporkan hilang atau dicuri orang dan diduga diselundupkan ke negara lain.121

3. Modus operandi Notices adalah informasi tentang suatu modus operandi kejahatan baru yang digunakan dalam melakukan kejahatan, informasi ini sebagai bahan masukan bagi negara lain.122

4. Operational Matter Notice adalah informasi tentang suatu kejahatan yang terjadi di negara-negara anggota interpol dengan ciri-ciri sebagai berikut :123 a. Kejahatan yang dilakukan melalui corporate crime124

121 Ibid, hal. 257. 122 Ibid. 123 Ibid, hal. 260. , computer crime, white collar crime.

(47)

b. Melibatkan negara lain dalam penyelidikannya.

c. Sarana yang dilakukan untuk melakukan kejahatannya adalah berupa dokumen seperti paspor, kartu kredit, traveller cheque, uang palsu dan lain-lain.

Dari sejumlah jenis notices yang telah dujabarkan di atas, maka notice yang paling berperan dan sering digunakan di dalam memberantas peredaran gelap narkotika adalah

red notice, green notice, modus operandi notice. Melalui red notice, negara-negara dapat

mengadakan kerjasama untuk melakukan penangkapan dan penahanan pelaku pengedar yang melarikan diri atau telah menjadi buronan karena melakukan tindak pidana narkotika di negara-negara yang bersangkutan. Apabila para pelaku yang melarikan diri ini telah diketahui keberadaannya, maka negara yang minta penerbitan notice dapat meminta pelaku untuk diekstradisi.

Penerbitan green notice merupakan pencerminan yang nyata dari kerjasama internasional memberantas peredaran gelap narkotika. Negara-negara dapat saling memberikan warning atas seorang atau lebih residivis yang kemungkinan akan menjalankan aksi kejahatannya di negara-negara tertentu. Modus operandi notice menginformasikan modus-modus penyelundupan yang sering digunakan dalam mengedarkan narkotika.

124

Black’s Law Dictionary menyebutkan kejahatan korporasi (corporate crime) adalah tindak

pidana yang dilakukan oleh dan oleh karena itu dapat dibebankan pada suatu korporasi karena aktivitas-aktivitas pegawai atau karyawannya (seperti penetapan harga, pembuangan limbah), sering juga disebut sebagai “kejahatan kerah putih” (white collar crime).

Referensi

Dokumen terkait

Uraikan tentang perencanaan dan pelaksanaan bidang pembangunan desa yang mengacu pada RKP Desa dan RPJMDesa. 2.3 Program Kerja Pelaksanaan Pembinaan Kemasyarakatan Uraikan

grow grew grown tumbuh Abjad H Base Form Past Simple (V-2) Past Participle (V-3) Arti hand-. feed

Adapun tujuannya adalah memberikan arahan Adapun tujuannya adalah memberikan arahan tata cara reklamasi dan pengelolaan tata cara reklamasi dan pengelolaan lingkungan

PENGARUH EKSTRAK Andrographis paniculata (SAMBILOTO) TERHADAP KADAR SERUM GLUTAMAT PIRUVAT TRANSAMINASE (SGPT) TIKUS WISTAR YANG DIBERI PARASETAMOL.. ARTIKEL KARYA

Transportasi merupakan salah satu faktor penting dalam mendirikan industri maupun pemekaran wilayah industri yang erat kaitannya dengan aglomerasi.Salah satu sentra

Hasil penelitian ini sejalan dengan teori dan hasil penelitian terdahulu diatas bahwa, terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat depresi dengan kualitas

Eriksen, Ethnicity and Nationalism; Antropological Perspectives, Secon Edition, Pluto Press London, 2002; 20.. 2 tertentu ada juga yang berakhir dengan nuansa konfrontatif,

Fokus dalam penelitian ini adalah stres yang dimiliki oleh anak Pra TK (3-4 tahun) yang mengikuti les calistung (membaca, menulis, dan berhitung). dana anak yang tidak