• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Kafein Terhadap Fungsi Kognitif Mahasiswa Institut Perguruan Darul Aman (IPDA) berdasarkan Mental Serial Subtraction

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Kafein Terhadap Fungsi Kognitif Mahasiswa Institut Perguruan Darul Aman (IPDA) berdasarkan Mental Serial Subtraction"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KAFEIN TERHADAP FUNGSI KOGNITIF

MAHASISWA INSTITUT PERGURUAN DARUL AMAN

(IPDA) BERDASARKAN

MENTAL SERIAL SUBTRACTION

Oleh :

AKMARULHAIL AMAR BIN MAHZAN

080100311

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PENGARUH KAFEIN TERHADAP FUNGSI KOGNITIF

MAHASISWA INSTITUT PERGURUAN DARUL AMAN

(IPDA) BERDASARKAN

MENTAL SERIAL SUBTRACTION

KARYA TULIS ILMIAH

Oleh :

AKMARULHAIL AMAR BIN MAHZAN

080100311

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Pengaruh Kafein Terhadap Fungsi Kognitif Mahasiswa Institut Perguruan Darul

Aman (IPDA) berdasarkan

Mental Serial Subtraction

Nama: Akmarulhail Amar bin Mahzan

NIM: 080100311

Pembimbing Penguji

……….. …..………

(Prof. dr. Aznan Lelo, PhD, SpFK)

(dr. Arlinda Sari W, M.Kes)

.….………

(4)

ABSTRAK

Kafein merupakan zat psikostimulansia yang paling sering dikonsumsi di

seluruh dunia, namun pengaruhnya terhadap fungsi kognitif dalam sehari-hari

masih tidak dapat dipastikan. Zat ini sering diambil oleh mahasiswa sebagai upaya

untuk meningkatkan performa kognitif.

Penelitian eksperimental ini menggunakan desain

randomized pretest-postest with control group

. Sebanyak 59 orang mahasiswa berusia antar 19 sampai 22

tahun berpartisipasi dalam eksperimen ini yang bertujuan untuk meneliti pengaruh

kafein ( dalam minuman kopi 150 ml) terhadap fungsi kognitif. Tes yang

digunakan adalah

mental serial subtra ction

dan diukur total jawaban, jawaban

benar dan persentase skor sebagai analogi fungsi kognitif.

Hasil penelitian menunjukkan peningkatan bermakna fungsi kognitif pada

kelompok kafein (kecepatan mental: p< 0,000, ketepatan mental: p< 0,000, kinerja

mental< 0,002). Namun, fungsi kognitif kelompok kontrol turut meningkat dengan

bermakna. Peningkatan total jawaban dan jawaban benar adalah lebih tinggi pada

kelompok kontrol sedangkan peningkatan persentase skor adalah lebih tinggi pada

kelompok kafein.

Kata Kunci: kafein, kopi, kognitif, mental serial subtraction

(5)

ABSTRACT

Caffeine has become the most prevalently consumed psychostimulant in the

world, but its influences on daily real-world cognitive functioning are relatively unconfirmed. Caffeinated substances are regularly used for cognitive enhancement especially among students to improve learning quality.

The present work investigates the effect of caffeine (a s contained in one 150 ml cup of coffee) on cognitive function among students aged 19 to 22 year-old. Cognitive function wa s evaluated by determining total attempts, correct answers and score percentage obtained by subjects in a mental serial subtraction test. 56 undergraduate students participated in this ra ndomized pretest-postest with control group study.

Caffeine intake improve cognitive function in caffeine group with increa se in mental speed (p< 0,000), mental accuracy (p< 0,000) and overall mental performance (p< 0,002). However, cognitive function in control group also demonstrated significant improvement. The increase in both total attempts and correct answers were higher in control group while caffeine group achieved better improvement in score percentage.

Keyword: caffeine, coffee, cognitive, mental serial subtraction

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas

karuniaNya penulis dapat menyelesaikan laporan hasil penelitian Karya Tulis

Ilmiah ini. Adapun judul penelitian ini adalah „Pengaruh Kafein terhadap Fungsi

Kognitif Mahasiswa Institut Perguruan Darul Aman (IPDA) berdasarkan

Mental Serial Subtraction

‟.

Penulis menyadari bahwa isi maupun susunan laporan hasil penelitian ini

masih jauh dari kesempurnaan oleh karena keterbatasan yang ada pada penulis.

Oleh karena itu penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran demi

kesempurnaan skripsi ini.

Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan

setinggi-tingginya kepada Prof. dr. Aznan Lelo, PhD, SpFK, yang telah

memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini. Selanjutnya ucapan terima

kasih penulis sampaikan kepada:

1.

Keluarga penulis terutama ibu yang tercinta, Puan Suraya Bai yang telah

banyak memberikan dukungan dan doa selama menyiapkan laporan ini.

2.

Seluruh dosen, staf Program Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara.

3.

Teman-teman seperjuangan penulis yang telah banyak memberikan bantuan

dan dukungan selama penulis menyiapkan laporan penelitian Karya Tulis

Ilmiah ini.

4.

Pihak manajemen IPDA dan responden mahasiswa IPDA yang memberikan

kerjasama yang sangat baik terhadap penulis.

5.

Semua pihak yang terlibat secara langsung atau tidak langsung dalam proses

penyiapan laporan penelitian Karya Tulis Ilmiah ini.

Semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat dan makna tersendiri bagi para

pembaca.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN………..

i

ABSTRAK

………

ii

ABSTRACT………..

iii

KATA PENGANTAR

……….

iv

DAFTAR ISI………. v

DAFTAR TABEL ………... viii

DAFTAR GAMBAR……… ix

DAFTAR LAMPIRAN……….... x

BAB 1.

PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2.

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Kognitif ... 5

2.1.1. Definisi Kognitif ... 5

2.1.2.

Enhancer

Kognitif ... 6

2.1.3. Nootropik... 7

2.2. Kafein ... 9

2.2.1. Sejarah Istilah Kafein ... 9

2.2.2. Sifat kafein... 10

2.2.3. Sumber dan Konsumsi Kafein ... 11

2.2.4. Farmakologi Kafein ... 11

2.2.5. Mekanisme Kerja ... 12

2.2.6. Efek Fisiologis Kafein... .. 14

2.2.7. Kafein dan Dampak terhadap Sistem Saraf Pusat... 14

2.2.8. Kafein dan Fungsi Kognitif ... 15

(8)

3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 17

3.2. Variabel Penelitian ... 18

3.3. Definisi Operasional... 18

3.4. Hipotesis... ... 19

3.4.1. Hipotesis Nol ... 19

3.4.2. Hipotesis Alternatif ... 19

BAB 4.

METODE PENELITIAN... 20

4.1. Jenis Penelitian ... 20

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 20

4.3. Populasi dan Sampel... 20

4.3.1. Populasi ... 20

4.3.2. Sampel ... 21

4.3.3. Kriteria Sampel ... 21

4.4. Teknik Pengumpulan Data ... 21

4.4.1. Instrumen Eksperimen... 21

4.4.2. Prosedur Eksperimen... 22

4.5. Pengolahan dan Analisis Data ... 25

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………

26

5.1. Hasil Penelitian………... 26

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian………... 26

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden……….. 26

5.1.3. Perbandingan Total Jawaban, Jawaban Benar

dan Persentase Skor

Mental Serial Subtraction

Kelompok Kafein & Kelompok Kontrol... 28

5.1.4. Analisis “Kecepatan Mental” Kelompok Kafein &

Kelompok Kontrol………. 29

(9)

5.1.6. Analisis “Kinerja Mental” Kelompok Kafein &

Kelompok Kontr

ol……….

. 31

5.2. Pembahasan………... 32

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN………. 36

6.1. Kesimpulan……… 36

6.2. Saran……….. 36

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor

Judul

Halaman

Tabel 3.1.

Defenisi Operasional………. 19

Tabel 5.1. Distribusi Karakteristik Responden Kelompok Kafein

berdasarkan Jenis Kelamin dan Umur

………...

27

Tabel 5.2. Distribusi Karakteristik Responden Kelompok Berdasarkan

Jenis Kelamin dan Umur

……… 27

Tabel 5.3. Distribusi Rerata (

±SD) Total Jawaban, Jawaban Benar,

dan Persentase Skor

Mental Serial Subtraction

Kelompok Kafein

dan Kelompok Kontrol Sebelum (Pre) dan Sesudah (Pos) Minum

Kopi

……… 28

Tabel 5.4. Analisis Rerata (

±SD) Total Jawaban Responden Kelompok

Kafein dan Kelompok Kontrol Sebelum (Pre) dan Sesudah (Pos)

Minum

Kopi

………. 29

Tabel 5.5. Analisis Rerata (

±SD) Jawaban Benar Kelompok Kafein dan

Kelompok Kontrol Sebelum (Pre) dan Sesudah (Pos) Minum

Kopi

………..30

Tabel 5.6. Analisis Rerata (

±SD) Persentase Skor Responden Kelompok

Kafein dan Kelompok Kontrol Sebelum (Pre) dan Sesudah (Pos)

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Judul

Halaman

Gambar 2.1.

Struktur Kimia Kafein ... 10

Gambar 3.1.

Kerangka Konsep Penelitian... 17

Gambar 4.1.

Ilustrasi

serial subtraction task

... 23

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 (Riwayat Hidup)

Lampiran 2 (Penjelasan Mengenai Penelitian)

Lampiran 3 (Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan)

Lampiran 4 (Daftar Sumber Kafein)

Lampiran 5 (Data SPSS)

Lampiran 6 (Surat Keterangan Penelitian)

(13)

ABSTRAK

Kafein merupakan zat psikostimulansia yang paling sering dikonsumsi di

seluruh dunia, namun pengaruhnya terhadap fungsi kognitif dalam sehari-hari

masih tidak dapat dipastikan. Zat ini sering diambil oleh mahasiswa sebagai upaya

untuk meningkatkan performa kognitif.

Penelitian eksperimental ini menggunakan desain

randomized pretest-postest with control group

. Sebanyak 59 orang mahasiswa berusia antar 19 sampai 22

tahun berpartisipasi dalam eksperimen ini yang bertujuan untuk meneliti pengaruh

kafein ( dalam minuman kopi 150 ml) terhadap fungsi kognitif. Tes yang

digunakan adalah

mental serial subtra ction

dan diukur total jawaban, jawaban

benar dan persentase skor sebagai analogi fungsi kognitif.

Hasil penelitian menunjukkan peningkatan bermakna fungsi kognitif pada

kelompok kafein (kecepatan mental: p< 0,000, ketepatan mental: p< 0,000, kinerja

mental< 0,002). Namun, fungsi kognitif kelompok kontrol turut meningkat dengan

bermakna. Peningkatan total jawaban dan jawaban benar adalah lebih tinggi pada

kelompok kontrol sedangkan peningkatan persentase skor adalah lebih tinggi pada

kelompok kafein.

Kata Kunci: kafein, kopi, kognitif, mental serial subtraction

(14)

ABSTRACT

Caffeine has become the most prevalently consumed psychostimulant in the

world, but its influences on daily real-world cognitive functioning are relatively unconfirmed. Caffeinated substances are regularly used for cognitive enhancement especially among students to improve learning quality.

The present work investigates the effect of caffeine (a s contained in one 150 ml cup of coffee) on cognitive function among students aged 19 to 22 year-old. Cognitive function wa s evaluated by determining total attempts, correct answers and score percentage obtained by subjects in a mental serial subtraction test. 56 undergraduate students participated in this ra ndomized pretest-postest with control group study.

Caffeine intake improve cognitive function in caffeine group with increa se in mental speed (p< 0,000), mental accuracy (p< 0,000) and overall mental performance (p< 0,002). However, cognitive function in control group also demonstrated significant improvement. The increase in both total attempts and correct answers were higher in control group while caffeine group achieved better improvement in score percentage.

Keyword: caffeine, coffee, cognitive, mental serial subtraction

(15)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kafein merupakan obat psikoaktif yang paling banyak dikonsumsi dan

disalahgunakan di seluruh dunia. Zat stimulansia ini banyak terkandung dalam

minuman, makanan, obat yang diresepkan, serta obat bebas. Diperkirakan lebih

dari 80 persen orang dewasa di Amerika Serikat mengonsumsi kafein secara

teratur, dan di seluruh dunia, konsumsi kafein terintegrasi dengan baik dalam

praktik kebudayaan harian. Seorang dewasa di Amerika Serikat mengomsumsi

sekitar rata-rata 200 mg kafein per hari, meski 20 sampai 30 persen

mengomsumsi lebih dari 500 mg per hari. (Sadock, 2004).

Kebiasaan ini tidak hanya terbatas kepada golongan dewasa. Perilaku

konsumsi kafein semakin banyak ditemukan pada remaja dan dewasa muda. Hal

ini berhubungan dengan meningkatnya popularitas minuman berenergi dan

minuman ringan yang mengandung kafein (McIlvain,2008). Whalen et al (2008)

menyatakan bahwa 75-98% golongan muda berusia hingga 18 tahun

mengonsumsi minimal satu minuman berkafein setiap hari (Morgan, Stults, &

Zabnick, 1982; National Sleep Foundation, 2006), dengan 31% melaporkan lebih

dari dua per hari. Selain itu, kafein terdapat dalam 1057 jenis makanan yang

sering dikonsumsi anak-anak berusia 6 hingga 10 tahun (Dragger & Dixit, 2010).

Konsumsi kafein semakin populer terutama dalam kalangan mahasiswa

karena efek stimulannya membantu siswa untuk belajar dalam periode waktu yang

panjang, terutama pada saat beban kerja meningkat seperti sebelum tes atau ujian.

(16)

minuman berenergi adalah bertujuan untuk meningkatkan kewaspadaan dan

mengurangkan lelah untuk belajar.

Kebiasaan ini menjadi kontroversi dengan banyak pro dan kontra yang

dibahaskan tentang perilaku addiktif ini.. Menurut hasil penelitian

American Academy of Sleep Medicine

yang ditampilkan pada bulan Juni di LEEP 2007 21

st Annual Meeting of the Associated Professional Sleep Societies

, kafein

memberikan dampak negatif pada pola tidur dan prestasi akademik pelajar

sekolah. Apabila dikonsumsi pada dosis tinggi, kafein dapat menimbulkan gejala

fisik dan psikologis seperti peningkatan tekanan darah dan denyut jantung, sakit

kepala, kejang, anxietas, insomnia ,iritabilitas dan lain-lain (McIlvain, 2008).

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk meneliti pengaruh kafein terhadap

berbagai aspek psikologis. Kafein yang dikonsumsi dalam dosis kecil mungkin

mempunyai efek positif. Brice dan Smith (2002) menemukan bahwa dosis kafein

(baik 65 mg diambil 4 kali selama jam lima atau dosis yang lebih besar dari

200mg diambil sekaligus) diambil dari waktu ke waktu atau sekaligus memiliki

dampak positif terhadap kewaspadaan, peningkatan performa kognitif. Selain itu,

penelitian secara radiologi oleh

Innsbruck Medical University

(2005) telah

menemukan bahawa kafein meningkatkan aktifitas regio otak di lobus frontalis

yang berkaitan dengan memori, dan juga anterior cingulum yang berhubungan

dengan pemusatan perhatian. Koppelstaetter et al (2007) melaporkan bahawa

dosis kafein sekecil 100 mg dapat meningkatkan kinerja otak depan di mana

jaringan memori berada.

Dengan demikian, walaupun konsumsi kafein yang berlebihan menimbulkan

banyak efek negatif tetapi ia turut memberikan dampak positif karena efek

stimulannya terhadap otak.

(17)

eksperimental terkontrol yang dilakukan untuk menguji dampak kafein ini

terutama dalam kalangan sampel mahasiswa yang sering mengomsumsi kafein

untuk tujuan akademik. Oleh sebab itu, peneliti ingin melakukan penelitian

eksperimental tentang efek kafein terhadap fungsi kognitif.

1.2. Rumusan Masalah:

Berdasarkan latar belakang diatas maka masalah penelitian adalah, apakah efek

kafein terhadap fungsi kognitif?

1.3. Tujuan Penelitian:

1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara konsumsi kafein dan fungsi kognitif.

1.3.2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui

pengaruh akut kafein terhadap berbagai aspek fungsi kognitif (kecepatan mental,

ketepatan mental, kinerja mental)

1.4. Manfaat penelitian:

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk :

a)

Memberikan dampak positif terhadap dunia edukasi dan pembelajaran dengan

penggunaan

kafein sebagai „obat pintar‟.

b)

Memberikan informasi kepada siswa sekolah agar dapat mempertimbangkan

konsumsi kafein dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran.

c)

Memberikan informasi kepada masyarakat umum yang sering mengonsumsi

kafein tentang manfaat yang mungkin diperoleh.

(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fungsi Kognitif

2.1.1. Definisi Kognitif

Konsep kognitif (dari bahasa Latin cognosere, u tuk e getahui atau u tuk e ge ali erujuk kepada ke a pua u tuk e proses i for asi, e erapka ilmu, dan mengubah kecenderungan (Nehlig, 2010). Kognisi juga mengacu pada suatu

lingkup fungsi otak tingkat tinggi, termasuk kemampuan belajar dan mengingat;

mengatur merencana dan memecahkan masalah; fokus, memelihara dan mengalihkan

perhatian seperlunya; memahami dan menggunakan bahasa; akurat dalam memahami

lingkungan, dan melakukan perhitungan (National Multiple Sclerosis Society, n.d.). Menurut Kamus Kedokteran Stedman (2002), kognitif adalah fakultas mental yang

berhubungan dengan pengetahuan, mencakup persepsi, menalar, mengenali,

memahami, menilai, dan membayangkan.

Kognisi adalah suatu konsep yang kompleks yang melibatkan sekurang-kurangnya

aspek memori, perhatian, fungsi eksekutif, persepsi, bahasa dan fungsi psikomotor.

Malah, setiap aspek ini sendiri adalah kompleks. Bahkan, memori sendiri meliputi proses

encoding, penyimpanan dan pengambilan informasi serta dapat dibagikan menjadi ingatan jangka pendek, ingatan jangka panjang dan working memory. Perhatian dapat secara selektif, terfokus, terbagi atau terus-menerus, dan persepsi meliputi beberapa

tingkatan proses untuk mengenal objek yang didapatkan dari rangsangan indera yang

berlainan (visual, auditori, perabaan, penciuman). Fungsi eksekutif melibatkan

penalaran, perencanaan, evaluasi, strategi berpikir, dan lain-lain. Pada sisi lain, aspek

kognitif bahasa adalah mengenai ekspresi verbal, perbendaharaan kata, kefasihan dan

pemahaman bahasa. Fungsi psikomotor adalah berhubungan dengan pemrograman dan

eksekusi motorik. Tambahan pula, semua fungsi kognitif di atas ini dipengaruhi oleh

berbagai faktor, seperti suasana hati (sedih atau gembira), tingkat kewaspadaan dan

(19)

Kognisi sangat sulit untuk diartikan secara definitif karena konsep ini digunakan

secara meluas dalam berbagai konteks (neurokognitif, sains kognitif, psikologi kognitif,

dan sebagainya) yang memberikan beberapa definisi yang khusus tetapi tidak ada satu

pun yang umum.

Oleh sebab itu, secara sederhananya fungsi kognitif ini dapat disimpulkan sebagai

semua proses mental yang digunakan oleh organisme untuk mengatur informasi seperti

memperoleh input dari lingkungan (persepsi), memilih (perhatian), mewakili

(pemahaman) dan menyimpan (memori) informasi dan akhirnya menggunakan

pengetahuan ini untuk menuntun perilaku (penalaran dan koordinasi output motorik)

(Bostrom & Sandberg, 2009).

2.1.2. Enhancer kognitif

Konsep peningkatan kognitif atau cognitive enhancement dapat didefinisikan sebagai amplifikasi atau ekstensi dari kapasitas berpikir melalui augmentasi sistem memproses

maklumat interna atau eksterna. Enhancement atau perbaikan merupakan suatu intervensi yang dilakukan untuk memperbaiki suatu subsistem dan hal ini bukan

bertujuan untuk membetuli atau mengoreksi suatu kelainan fungsi. Individu yang

meningkatkan fungsi kognitifnya adalah seorang yang memperoleh manfaat dari

intervensi untuk meningkatkan prestasi dari sebagian aspek kognitifnya tanpa

mengobati kelainan patologi yang spesifik (Bostrom & Sandberg, 2009).

Terdapat berbagai metode untuk meningkatkan fungsi kognitif apakah secara

farmakologi atau nonfarmakologi. Pendekatan nonfarmakologi merupakan intervensi

konvensional yang telah diamalkan sejak ribuan tahun. Hal ini termasuklah proses

edukasi dan latihan di mana tujuan utama bukanlah hanya untuk menguasai suatu

informasi atau ketrampilan yang khusus, bahkan untuk meningkatkan kapasitas umum

fakultas mental seperti konsentrasi, memori, dan pemikiran kritis. Latihan mental yang

(20)

Belajar membaca dapat mengubah cara pemrosesan bahasa di otak (Petersson,

2000). Selain itu, lingkungan masa kanak-kanak yang kaya dengan rangsangan mungkin

dapat meningkatkan kognisi melalui neurogenesis dan penambahan jumlah percabangan

dendritik karena hal ini telah terbukti pada hewan (Nillson et al, 1999). Selain itu,

lingkungan yang kaya dengan stimulasi dapat memproteksi otak dari stress dan

neurotoxin (Schneider et al, 2001) sehingga fungsi kognitif dapat meningkat.

Sebenarnya, kognisi individu akan berkurang apabila dipengaruhi oleh masalah

kesehatan. Oleh sebab itu, fungsi kognitif dapat ditingkatkan dengan memperbaiki tidur,

fungsi imun dan kesejahteraan fisik secara umumnya. Sudah tidak dapat dinafikan

bahwa olahraga dapat secara sementara meningkatkan berbagai aspek kognitif, efeknya

tergantung pada jenis dan intensitas olahraga (Tomporowski, 2003). Olahraga yang

dilakukan dalam jangka masa yang panjang dapat mempengaruhi kognisi, mungkin

melalui kombinasi efek peningkatan suplai darah dan pelepasan nerve growth factors

(Vaynman & Gomez-Pinilla, 2005). Pada masa yang sama, intervensi yang lain adalah

latihan mental dan teknik visualisai yang sering digunakan oleh atlet untuk

meningkatkan kemahiran. Formulir klasik yang digunakan untuk meningkatkan fungsi

kog itif adalah strategi khusus u tuk e ghafalka i for asi seperti etode loci di mana pemakainya akan membayangkan bagian interior suatu bangunan untuk

diasosiasikan dengan subjek yang hendak dihafalnya. Selain itu, ada berbagai lagi teknik

mental yang digunakan seperti metode speed reading dan peta berpikir (Bostrom & Sandberg, 2009).

2.1.3. Nootropik

Nootropik yang juga dikenal sebagai obat pintar merupakan obat, suplemen, dan

makanan yang dikatakan mampu meningkatkan fungsi kognitif seperti memori,

kecerdasan, motivasi, perhatian dan konsentrasi. Konsumsi obat pintar ini mempunyai

efek fisiologis langsung terhadap otak seperti mengubah bioavailabilitas suplai

neurokimiawi otak (neurotransmitter, enzim, dan hormon), selain meningkatkan

aktivitas neuronal, dan menstimulasi pelepasan neuromodulator (Bostrom & Sandberg,

(21)

Intervensi farmakologi untuk meningkatkan fungsi kognitif sudah lama digunakan

oleh masyarakat. Obat stimulans seperti nikotin dan kafein dikonsumsi untuk

meningkatkan perhatian dan memori di samping mengurangkan kelelahan. Selain itu,

ekstrak herba seperti Ginko Biloba adalah sangat populer, dengan penjualan herba ini

sahaja menghasilkan keuntungan ratusan juta dollar setiap tahun di Amerika Serikat

(Bostrom & Sandberg, 2009).

Dewasa ini, penggunaan obat pintar ini semakin meluas digunakan di dalam lingkup

akademik seperti Adderall, Ritalin dan Modafinil (Provigil) serta obat penambah

kecerdasan lainnya, untuk meningkatkan produktivitas. Kira-kira 7% mahasiswa di AS

mengonsumsi stimula s o edik sekura g-kurangnya sekali, berdasarkan satu studi

pada tahun 2005 yang melibatkan 11 000 siswa (Szalavitz, 2009).

Pada tahun 2008, satu survei yang melibatkan 2,087 pelajar perguruan tinggi telah

melaporkan penggunaan methylphenidate (di bawah nama dagang Ritalin dan Concerta)

secara nonmedik sebanyak 5,3%. Satu penelitian yang lain turut menemukan 6,9%

pelajar perguruan tinggi mengonsumsi stimulan termasuk Ritalin dan Adderal bukan

untuk tujuan medis (Goodman, 2010). Jelasnya, penggunaan nootropik adalah sangat

sering untuk tujuan akademik.

Kafein merupakan stimulans yang paling meluas digunakan oleh golongan akademik

karena murah dan mudah didapatkan. Menurut McIlvain (2008), penelitian yang

dilakukan oleh Pele (1989) menemukan bahwa obat yang sering digunakan oleh

mahasiswa di Benin City, Nigeria adalah kafein di mana 95% pelajar dilaporkan

menggunakan kafein di tempat sosial. Penelitian ini didukung oleh Egdochuku dan

Akrele (2007). Mereka melaporkan bahwa mahasiswa Nigeria paling sering

menyalahgunakan kafein berbanding stimulans yang lain. Kafein juga merupakan obat

(22)

Berdasarkan penelitian oleh Lee K-H et al (2009), konsumsi kafein untuk tujuan

akademik meningkat apabila mahasiswa kedokteran melanjutkan kuliah dari tahun

pertama hingga tahun ketiga. Ternyata, kafein adalah obat stimulans yang paling sering

dikonsumsi untuk tujuan akademik karena lebih praktis dan dipercaya mempunyai efek

nootropik yang signifikan.

2.2. Kafein

Kafein adalah zat psikoaktif yang paling meluas dikonsumsi sehingga

kadang-kadang dianggap sebagai obat yang disalahgunakan. Konsumsi kafein diperkirakan

sebanyak 76 mg/hari per orang, sehingga ada yang melebihi 230 mg/hari di Amerika

Serikat, Kanada, dan Australia. Penggunaan kafein yang tersebar luas ini telah

menjadikannya sebagai fokus kepada banyak penelitian dalam dekade ini (Peeling &

Dawson,2007).

2.2.1. Sejarah Istilah Kafein

Sejarah zat ini kembali ke sekitar tahun 4700 SM ketika teh sangat populer di China.

Kafein pertama kali di isolasi di Jerman pada tahun 1820 oleh Runge. Selain itu, zat ini

juga dilaporkan telah disolasi oleh Robiquete pada tahun 1823 dan Pelletier pada tahun

1826. Terdapat banyak istilah lai ya g erujuk kepada kafei seperti cofeina .

guaranin da coffein , da pada tahu , istilah thein digu aka oleh Oudry. Pada tahun 1838 dan akhirnya tahun 1840, zat yang berbeda namanya ini baru

disadari sebenarnya adalah sa a da istilah caffeine eluas digu aka . Istilah i i

mula diperkenalkan oleh Pelletier yang telah mengisolasi zat ini dari kopi dan memberi

(23)

2.2.2. Sifat Kafein

Gambar 2.1. Struktur kimia kafein

Kafein merupakan sejenis alkaloid heterosiklik dalam golongan methylxanthine, yang menurut definisi berarti senyawa organik yang mengandung nirogen dengan struktur

dua-cincin atau dual-siklik. Molekul ini secara alami terjadi dalam banyak jenis tanaman

sebagi metabolik sekunder. Fungsinya dalam tumbuhan adalah sebagai antibiotik dan

antijamur selain dapat menyebabkan paralisis dan kematian kepada serangga (Allsbrook,

2008). Zat ini dihasilkan secara eksklusif dalam daun, kacang-kacangan dan buah-buahan

lebih dari 60 tanaman, termasuk daun teh biasa (Camellia sinensis), kopi (Coffea arabica), kacang koko (Theobroma cacao),kacang kola (Cola acuminata) dan berbagai macam berry (Reinhardt, 2009).

Zat ini dalam bentuk murni muncul sebagai bedak kristal putih yang pahit dan tidak

berbau. Rumus kimianya adalah C8H10N4O2 dan memiliki nama kimia

1,3,7-trimethylxanthine. Nama IUPAC untuk kafein adalah 1 ,3,7-trimethyl-1H-purine-2,6(3H,7H)-dione, 3,7-dihydro-1,3,7-trimethyl-1H-purine-2,6-dione.

Beberapa sifat fisik kafein adalah:

Titik didih: 178 C

Titik lebur: 238 C

Kepadatan: 1,2 g / cm ^ 3

pH: 6.9

(24)

2.2.3. Sumber dan Konsumsi Kafein

Kafein terkandung dalam sejumlah sumber makanan yang dikonsumsi di seluruh dunia

yaitu, teh, kopi, minuman coklat, bar coklat, dan minuman ringan. Rentang kandungan

kafein untuk berbagai jenis makanan ini adalah 40-180 mg/150 ml untuk kopi, 24-50

mg/150 ml untuk teh, 15-29 mg/180 ml untuk kola, 2 sampai 7 mg/150 ml untuk koko,

dan 1 sampai 36 mg/28 g untuk coklat. Konsumsi kopi dari semua sumber diestimasikan

sebanyak 70 sampai 76 mg/orang/hari di seluruh dunia tetapi mencapai 210 sampai 238

mg/hari di AS dan Kanada serta melebihi 400 mg/orang/hari di Swedia dan Finlandia, di

mana 80 hingga 100% sumber kafein adalah dari kopi sahaja. Di Ingris, konsumsinya

adalah setinggi Swedia dan Finlandia tetapi 55% didapatkan dari teh, 43% dari kopi, dan

2% dari kola (Fredholm et al, 1999). Konsumsi kafein terintegrasi dengan sangat baik

dalam kebudayaan sosial seperti waktu rehat kopi di Amerika Serikat, budaya minum teh

di Inggris dan mengunyah kacang kola di Nigeria (Strain & Griffith, 1995). Selain itu, pada

anak-anak berusia 7 hingga 10 tahun, konsumsi harian kafein adalah dalam rentang 0,5

sampai 1,8 mg/kg dengan minuman ringan mewakili 26 hingga 55%, makanan dan

minuman bercoklat sebanyak 17 hingga 40%, teh 6 hingga 34% dan kopi sebanyak 0

hingga 22% dari keseluruhan asupan kafein (Fredholm et al, 1999). Hal ini membuktikan

betapa meluasnya penggunaan kafein di seluruh dunia.

2.2.4. Farmakologi Kafein

Absorbsi kafein di salur pencernaan adalah sangat cepat dan mencapai 99% pada

manusia sekitar 45 menit setelah diingesi. Penyerapannya tidak sempurna apabila

diambil sebagai kopi dengan 90% kafein dalam secangkir kopi akan diabsorbsi dalam

waktu 20 menit setelah diminum, dengan efeknya bermula dalam satu jam dan bertahan

selama 3 hingga 4 jam.

Konsentrasi plasma memuncak setelah 40 hingga 60 menit dengan waktu paruh

(25)

Bagaimanapun, waktu paruhnya berkurang pada individu yang merokok dan

meningkat sehingga 2 kali lipat pada wanita hamil atau yang menggunakan kontrasepsi

oral dalam jangka waktu panjang (Lee K-H et al, 2009). Kafein bersifat hidrofobik

sehingga dapat melewati semua membran biologis seperti sawar darah otak dan

plasenta (Fredholm et al, 1999).

Zat ini dimetabolisir secara demethylation dan oxidation. Jalur metabolisme mayor akan menghasilkan paraxanthine (1,7-dimethylxanthine), dan metabolit urin yang utama adalah l-methylxanthine, 1-methyluric acid, dan aceylated uracyl derivative. Jalur degradasi yang minor melibatkan pembentukan dan metabolime theophylline dan

theobromine. Kadar eliminasi methylxanthine bervariasi di antara individu karena pengaruh genetik dan lingkungan, sehingga perbedaan yang mencapai empat kali lipat

adalah tidak mengherankan. Metabolisme zat ini juga dipengaruhi oleh agen lain atau

penyakit khusus. Misalnya, merokok dan kontrasepsi oral menyebabkan peningkatan

yang kecil tapi nyata terhadap eliminasi methylxanthine. Waktu paruh theophylline

dapat meningkat dengan signifikan pada penderita sirosis hati, payah jantung, atau

edema paru akut, dengan nilai melebihi 60 jam pernah dilaporkan (Chawla & Suleman,

2008).

2.2.4. Mekanisme Kerja

Efek fisiologis kafein yang beraneka ragam mungkin disebabkan oleh tiga mekanisme

kerjanya, (1) mobilisasi kalsium intrasellular, (2) peningkatan akumulasi nukleotida siklik

karena hambatan phosphodiesterase., dan (3) antagonisme reseptor adenosine (Nehlig, 1999).

Mobilisasi kalsium intasellular dan inhibisi phosphodiesterase khusus hanya berlaku pada konsentrasi kafein yang sangat tinggi dan tidak fisiologis. Oleh sebab itu,

mekanisme kerja yang paling relevan adalah antagonisme reseptor adenosine.

Adenosine berfungsi untuk mengurangkan kadar ledakan neuron selain menghambat

(26)

Terdapat empat reseptor adenosine yang dikenal: A1, A2(A dan B) dan A3. Reseptor

A1 dan A2 merupakan subtipe utama yang terlibat dengan efek kafein karena dapat

berikatan dengan kafein pada dosis kecil, A2B pula berikatan pada dosis yang tinggi dan

A3 tidak sensitif terhadap kafein.

Reseptor A1 banyak terdistribusi di seluruh otak dengan densitas yang tinggi di

hipokampus, korteks dan serebelum manakala A2 banyak terdapat di striatum, nukleus

akumbens, tuberkulum olfaktorius dan amygdala serta mempunyai ekspresi yang lemah

di globus pallidus dan nukleus traktus solitarius. Tidak seperti A1, reseptor A2

berpasangan dengan G protein stimulatorik dan berhubungan dengan receptor D2

dopamin. Administrasi A2 agonis akan mengurangkan afinitas ikatan dopamin di

reseptor D2 yang terletak di membran striatal (Chawla & Suleman, 2008).

Selain memberi efek terhadap tidur dan kewaspadaan melalui aktivasi neuron

kolinergik mesopontin oleh antagonisme receptor A1 (Dixit, Vaney & Tandon, 2006),

kafein juga berinteraksi dengan sistem dopamin untuk memberikan efeknya terhadap

perilaku. Hal ini dicapai melalui penghambatan reseptor adenosine A2 sehingga kafein

dapat mempotensiasi neurotansmisi dopamin, dengan demikian dapat memodulasi

reward system. Selain itu, konsumsi kafein, toleransi dan ketergantungan mempunyai komponen genetika berdasarkan beberapa penelitian yang melaporkan adanya

hubungan antara polimorfisme gen A2A dengan sensisitivitas terhadap efek kafein

(Temple, 2010). Antagonisme reseptor adenosin mungkin dapat mempengaruhi proses

kognisi antara lainnya dengan mengaktivasi reseptor D1 dan D2. Penelitian yang

dilakukan pada monyet telah membuktikan bahwa aktivasi reseptor D1 dan D2 dapat

meningkatkan prestasi tugas yang menggunakan memori kerja (Dixit, Vaney & Tandon,

(27)

2.2.5. Efek Fisiologis Kafein

Seperti yang telah dijelaskan, mekanisme kerja utama kafein adalah menghambat

reseptor adenosine yang secara normalnya berikatan dengan adenosine, juga

merupakan sejenis alkaloid heterosiklik.

Adenosin merupakan neurotransmitter yang efeknya mengurangkan aktivitas sel

terutama sel saraf. Oleh sebab itu, apabila reseptor adenosine berikatan dengan kafein,

efek yang berlawanan dihasilkan, lantas menjelaskan efek stimulans kafein (Allsbrook,

2008). Walaupun mekanisme utama kafein adalah antagonisme reseptor adenosine, hal

ini akan menjurus ke efek sekunder dari berbagai jenis neurotransmitter seperti

norepinefrin, dopamine, asetilkolin, glutamate dan GABA sehingga akan mempengaruhi

fungsi fisiologis tubuh yang berbeda. Efek fisiologis kafein termasuklah peningkatan

denyut jantung, dilatasi pembuluh darah, peningkatan sistem renin, tremor, kejang dan

urticaria.

Selain itu, dapat menyebabkan dilatasi arteri koroner, nyeri kepala, gangguan tidur

dan peningkatan suhu tubuh (McIlvain, 2008). Kafein juga dapat meningkatkan proses

lipolisis, mengurangkan glikogenolisis dan meningkatkan glukosa darah serta konsumsi

oksigen. Hal yang menjadi fokus utama di sini adalah dampak kafein terhadap sistem

saraf pusat sehingga memungkinkan terjadinya peningkatan fungsi kognitif.

2.2.6. Kafein dan Dampak terhadap Sistem Saraf Pusat

Banyak penelitian telah dilakukan untuk menilai efek neurologik kafein terhadap sistem

saraf pusat. Bukti dari Magnetic Imaging Resonance (MRI) menunjukkan aliran darah serebral berbanding lurus dengan asupan kafein. Konsumsi akut 400 mg kafein dapat

secara signifikan meningkatkan aliran darah di arteri serebralis anterior dan media. Hal

(28)

Selain itu, kafein secara akut dapat meningkatkan efisiensi kerja jaringan neuron di

kortek serebral manusia. Sebagai contoh, 20 menit setelah konsumsi 100 mg kafein

sambil mengerjakan tugas yang menggunakan memori kerja, subyek memperlihatkan

pada MRI bahwa adanya peningkatan aktivitas neuronal di jaringan daerah otak yang

berhubungan dengan aspek perhatian dari fungsi kognitif. Dengan demikian, kafein

dapat e i gkatka ’e ergi e tal’ sehi gga pe i gkata kewaspadaa da ti gkat

konsentrasi ini berupaya untuk meningkatkan fungsi kognitif secara keseluruhannya

(Glade, 2010).

2.2.7. Kafein dan Fungsi Kognitif

Penelitian menunjukkan bahwa pelepasan katekolamin norepinefrin (NE) di sistem saraf

pusat yang optimum dapat secara signifikan meningkatkan perhatian, pembelajaran dan

kewaspadaan. Menurut Berkowitz et al, zat kafein berperan dalam peningkatan

pelepasan NE di sistem saraf pusat (Peeling & Dawson, 2007) dan hal ini mungkin

merupakan salah satu mekanisme kafein dalam mempengaruhi fungsi kognitif selain

aktivasi reseptor dopamine di otak.

Banyak penelitian telah dijalankan untuk membuktikan efek neurologik kafein.

Konsumsi bolus tunggal kafein sekecil 30 sampai 50 mg dapat merangsang kewaspadaan

dengan bermakna dan dapat meningkatkan konsentrasi untuk sekurang-kurangnya 20

menit (Lieberman et al, 1987). Rentang dosis sekecil ini terkandung dalam satu kaleng

minuman ringan dan obat analgesik dan ternyata dapat memberikan efek stimulans.

Di samping itu, dibandingkan dengan plasebo, konsumsi 100 mg kafein 1 jam

sebelum mengikuti kuliah universitas selama 75 menit secara signifikan meningkatkan

konsentrasi, kewaspadaan, perhatian, dan keterjagaan mental (Peeling & Dawson,

2007). Selain itu, menurut Frewer dan Lader (1991), dosis kafein sedang (250mg) adalah

efektif untuk meningkatkan prestasi kerja yang memerlukan perhatian. Namun

demikian, pada dosis yang terlalu tinggi (500mg), terjadi overstimulasi tingkat

(29)

Dengan demikian, diduga konsumsi kafein pada dosis sedang dapat meningkatkan

proses kognisi yang penting untuk proses pembelajaran. Malah menurut laporan

definitif tahun 2001 (Caffeine for the Sustainment of Mental Test Performance. Formulations for Military Operations), Institute of Medicine Food and Nutrition Board Committee on Military Nutrition Research telah menyimpulkan bahwa konsumsi kafein pada dosis 150 mg dapat meningkatkan prestasi kognitif dan efek ini berlangsung untuk

selama 10 jam setelah konsumsi.

Selain efek kafein yang jelas terhadap kewaspadaan, perhatian dan keterjagaan

mental, kafein mungkin mempunyai dampak terhadap aspek memori dari aspek kognitif.

Riedel et al (1995) menunjukkan bahwa supplemen kafein 250 mg dapat

meningkatkan prestasi pada tugas belajar kata. Riedal dan kawan-kawan mengusulkan

bahwa kafein merangsang stimulasi kolinergik pada sistem saraf pusat, akhirnya

mengurangkan efek pelemahan skopolamin terhadap daya ingat jangka pendek dan

jangka panjang. Oleh sebab itu, adalah masuk akal untuk diusulkan bahwa perbaikan

memori yang diinduksi kafein dapat meningkatkan kemampuan pelajar untuk mengingat

dam mengasosiasi materi kuliah sewaktu pembelajaran di dalam kelas. Namun

demikian, terdapat juga penelitian yang menyatakan bahwa kafein hanya dapat bekerja

sebagai enhancer kognitif yang signifikan jika terdapat disfungsi kolinergik seperti pada

pasien Alzheimer (Johnson-Kozlow et al, 2002). Oleh sebab itu, disimpulkan bahwa efek

kafein lebih bermakna hanya terhadap terhadap pasien yang berusia lanjut yang telah

mengalami penurun fungsi kognitif secara alami karena usia (Nehlig, 2010).

Dengan demikian, terdapat banyak penelitian dan laporan yang telah dihasilkan

berhubungan dengan efek dan dosis kafein terhadap fungsi fisiologis dan kognitif, yang

semuanya dapat memberi impak terhadap edukasi dan pembelajaran. Meskipun

demikian, tidak banyak penelitian sebelumnya yang menyelidiki efek konsumsi kafein

terhadap fungsi kognitif mahasiswa sedangkan kafein adalah sangat popular dalam

(30)

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah

[image:30.596.111.474.240.679.2]

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 3.1. Kerangka Teori Penelitian Berikatan dengan

reseptor adenosin di system saraf pusat

Penghambatan reseptor adenosin memicu pelepasan neurotransmitter stimulatorik:

- dopamin

- norepinefrin

Dampak terhadap fungsi kognitif

Zat kafein dalam darah melewati sawar darah otak

Terjadi perubahan struktural dan biokimiawi di dalam otak:

- peningkatan aliran darah serebral

- peningkatan aktivitas neuronal

(31)

3.2. Variabel Penelitian

3.2.1. Variabel Bebas

Pada penelitian ini yang ditetapkan sebagai variabel bebas adalah pemberian kafein

dalam bentuk minuman kopi berkafein atau tidak diberikan kafein sebagai minuman

kopi decaffeinated.

3.2.2. Variabel Tergantung

Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah dampak terhadap fungsi kognitif dan

parameter yang diukur adalah total jawaban, jawaban benar dan persentase skor pada

mental serial subtraction

3.3. Defenisi Operasional

Kafein adalah zat stimulans dari golongan methylxantin yang banyak terkandung di

dalam minuman kopi, teh, coklat, obat-obatan, minuman ringan dan minuman energi.

Pemberian kafein adalah dalam bentuk satu cangkir minuman kopi panas 150 ml karena

lebih praktis dan merupakan sumber kafein yang paling sering dikonsumsi khususnya

oleh mahasiswa.

Fungsi kognitif secara dasarnya merupakan keseluruhan proses pemikiran yang

melibatkan kemampuan belajar dan mengingat; mengatur, merencana dan

memecahkan masalah; fokus, memelihara dan mengalihkan perhatian seperlunya;

memahami dan menggunakan bahasa; akurat dalam memahami lingkungan, dan

melakukan perhitungan. Kenyataannya, adalah mustahil untuk menguji semua aspek

dari fungsi kognitif. Metode eksperimental yang dipilih untuk mahasiswa adalah mental serial subtraction karena melibatkan memori kerja, kemampuan memproses informasi, visualisasi, perhitungan, pemusatan perhatian dan konsentrasi. Aspek-aspek ini sangat

relevan dalam lingkup akademik mahasiswa. Pada penelitian ini, fungsi kognitif

(32)
[image:32.596.108.518.141.398.2]

Tabel 3.1. Defenisi Operasional

Kecepatan Mental Ketepatan Mental Kinerja Mental

Cara Pengukuran Menghitung total

jawaban yang

dihasilkan dalam

waktu 10 menit

Menentukan jumlah

jawaban yang benar

dalam waktu 10

menit

Menghitung

persentase skor:

Alat Ukur Mental Serial Subtraction

Mental Serial Subtraction

Mental Serial Subtraction

Hasil Ukur Total Jawaban Jawaban Benar Persentase Skor

Skala Ukur Numerik Numerik Numerik

3.4. Hipotesis

3.4.1. Hipotesis Nol (Ho)

Pemberian kafein tidak berpengaruh terhadap fungsi kognitif mahasiswa.

3.4.2. Hipotesis Alternatif (Ha)

(33)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini adalah eksperimen murni (true experiment design) yang menguji efek kafein terhadap fungsi kognitif. Pendekatan yang digunakan pada desain penelitian ini

adalah pretest-posttest with control group. Pada tahap awal, peserta penelitian telah dikelompokkan secara acak ke dalam kelompok kafein dan kelompok kontrol. Kedua-dua

kelompok telah diminta untuk melakukan perhintungan mental untuk menilai fungsi

kognitifnya, kemudian kelompok kafein diberikan intervensi kopi berkafein manakala

kelompok kontrol diberikan kopi decaffeinated, dan sesudah 1 jam, dilakukan kembali perhitungan mental untuk membandingkan fungsi kognitif.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan pada tanggal 25 Juli 2011 di Institut Perguruan Darul Aman

(IPDA), Kedah, Malaysia. Lokasi ini telah dipilih karena populasi yang relevan dan

memberikan kerjasama. Eksperimen dilaksanakan di Bilik Serbaguna 1 di perpustakaan

kampus karena dapat memuatkan subyek penelitian dengan nyaman.

4.3. Populasi dan Sampel

4.3.1 Populasi

Populasi penelitian adalah seluruh mahasiswa IPDA setambuk 2008, 2009, dan 2010

(34)

4.3.2. Sampel

Pemilihan sampel adalah dengan cara non probability sample (selected sample) dengan cara purposive sampling. Pengambilan sample dilakukan atas dasar pertimbangan peneliti yang menganggap kriteria yang dikehendaki telah ada dalam anggota sampel

yang diambil. Sebanyak 56 sampel telah diambil untuk penelitian ini.

4.3.3. Kriteria Sampel

Kriteria inklusi adalah semua mahasiswa IPDA setambuk 2008, 2009 dan 2010 dalam

rentang usia 19 sampai 22 tahun yang sehat secara fisik dan mental dan pernah

mengonsumsi kafein serta tidak alergi. Kriteria eksklusi adalah merokok, menderita

penyakit kronis (misalnya, sirosis hati) atau penyakit jiwa, memakai kontrasepsi oral,

menggunakan obat-obatan dan intoleransi terhadap kafein.

4.4. Metode Pengumpulan Data 4.4.1. Instrumen eksperimen

Materi yang telah digunakan dalam eksperimen ini adalah:

1. Ruang makan dan ruang eksperimen.

2. Sarapan pagi untuk peserta

3. 56 cangkir kopi dan 56 cangkir untuk kertas jawaban

4. Kopi berkafein

6. Kopi decaffeinated

7. Sejumlah kertas A4 yang banyak

(35)

4.4.2. Prosedur Eksperimen

Responden yang bersetuju untuk mengikuti eksperimen telah diminta untuk berpuasa

dari mengonsumsi kafein dari semua sumber selama 24 jam sebelum eksperimen. Hal ini

adalah untuk memastikan bahwa tidak ada zat kafein dalam darah peserta sebelum

penelitian. Mereka telah diberikan satu daftar makanan dan minuman yang

mengandung kafein dan diminta untuk tidak mengonsumsi semua sumber tersebut.

Peserta juga telah diminta untuk tidak bersarapan sebelum eksperimen. Pada hari

eksperimen, semua responden telah ditanyakan apakah mereka mematuhi aturan ini

sebelum layak untuk mengikuti eksperimen.

Eksperimen telah dilakukan pada jam 8 pagi dan responden diberikan sarapan yang

sama oleh peneliti yaitu nasi lemak dan air putih. Hal ini untuk mengurangkan faktor

confounding seperti faktor sarapan pagi dan jenis sarapan yang dapat mempengaruhi hasil eksperimen. Selain itu, sarapan penting untuk menghindari kemungkinan efek mual

akibat konsumsi kafein ketika perut kosong. Kesemua responden bersarapan di ruang

makan di depan perpustakaan.

Setelah selesai bersarapan, responden dibawa ke Bilik Serbaguna 1 perpustakaan

kampus dan dibagikan secara acak ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok kafein dan

kelompok kontrol. Kelompok kafein terdiri dari 29 responden manakala kelompok

kontrol terdiri dari 27 orang. Kemudian , peserta diberikan penjelasan tentang tes yang

akan dijalankan berserta contoh-contohnya. Setelah semua responden memahami tes

yang digunakan, eksperimen dimulai dan responden diminta untuk menjalani tes mental serial subtraction termodifikasi selama 10 menit. Serial subtraction adalah bagian perhitungan aritmatika dari Trier Social Stress Test (Kase, Ritter & Schoelles, 2009). Tes ini sering digunakan untuk menguji fungsi kognitif, misalnya di dalam Mini-Mental State Examination untuk pasien demensia. Selain itu, tes ini digunakan untuk menilai gangguan kognitif pada saat hipoglikemi dan pernah digunakan untuk mengkaji

hubungan antara peningkatan kadar glukosa darah dan prestasi kognitif (Tildesley et al,

2005). Pada versi tes ini yang asal, peserta diberikan satu nomor dan diminta untuk

melakukan perhitungan pengurangan angka secara mental. Peserta diminta untuk

(36)

jawaban yang salah diberikan oleh peserta, peserta diminta untuk mengulangi

perhitungan dari jawaban terakhir yang benar (Kase, Ritter & Schoelles, 2009). Tes yang

digunakan dalam eksperimen ini adalah mental serial subtraction yang telah dimodifikasi.

Peserta telah diberikan sejumlah kertas kosong yang bertanda untuk menuliskan

jawaban. Peneliti memberikan satu nomor 4 angka dan peserta diminta untuk

mengurangi angka 19 dari nomor itu secara mental dengan cepat. Ditekankan di sini

agar peserta menjawab dengan cepat untuk menguji kemampuan memproses informasi.

Peserta hanya boleh menuliskan jawaban di atas kertas tetapi dilarang untuk

mencatatkan perhitungan. Setiap kali selesai menuliskan jawaban, peserta meletakkan

kertas jawaban ke dalam cangkir yang disediakan dan seterusnya melanjutkan

perhitungan mental. Hal ini dilakukan berterusan selama 10 menit. Jawaban yang tepat

[image:36.596.150.526.400.610.2]

adalah nomor yang dikurangi 19 dengan betul berdasarkan nomor yang sebelumnya.

(37)

Setelah selesai mengerjakan tugas ini, kelompok kafein telah diberikan secangkir

kopi berkafein kira-kira 150 ml manakala kelompok kontrol diberikan kopi decaffeinated

150 ml. Kandungan kafein adalah kira-kira 40 sampai 180 mg per 150 ml untuk kopi

berkafein dan kopi decaffeinated mempunyai kira-kira 3 mg per 150 ml.

Kadar kafein dalam kopi decaffeinated adalah terlalu kecil untuk menimbulkan efek dan dapat diabaikan. Kedua-dua jenis kopi yang diberikan adalah daripada merek

yang sama serta bentuk dan penampilannya juga adalah sama.

Setelah pemberian kafein, ditunggu selama 60 menit karena terdapat usulan bahwa

kadar konsentrasi darah puncak kafein tercapai setelah 1 jam administrasi kafein

(Peeling & Dawson, 2007). Sesudah 1 jam, peserta telah diminta untuk mengulangi tes

yang sama tetapi diberikan nomor awal yang berbeda. Kertas jawaban dikutip oleh

peneliti dan skor peserta dihitung.

Responden berpuasa dari semua sumber kafein selama 24 jam

Sarapan disediakan pada waktu pagi tanggal penelitian

Responden dibagikan secara acak ke dalam kelompok kafein dan kelompok kontrol

Responden melakukan tes mental serial subtraction selama 10 menit

Kelompok kafein diberikan secangkir Nescafe panas,

(38)

Gambar 4.2. Kerangka Prosedur Eksperimen

4.5.Metode Pengolahan dan Analisis Data

Untuk mengetahui pengaruh efek pemberian kafein terhadap fungsi kognitif, analisa

data dilakukan dengan menggunakan SPSS 17.00 for windows. Data pretes dan postes dalam kelompok kafein dan kelompok kontrol telah dianalisisdengan Uji T Berpasangan.

Perbedaan hasil tes antar kelompok kafein dan kelompok kontrol dianalisis dengan Uji T

Tidak Berpasangan.

(39)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian telah dijalankan pada tanggal 25 Juli 2011 di Institut Pendidikan Guru

Kampus Darul Aman (IPDA) yang beralamat di Bandar Darul Aman, 06000 Jitra, Kedah,

Malaysia. Eksperimen telah dijalankan di dalam Bilik Serbaguna 1 di perpustakaan

kampus. Ruang ini dipilih karena luas dan selesa untuk melakukan penelitian. Selain itu,

ruang ini memiliki kemudahan komputer, projektor dan sistem suara yang digunakan

untuk menjelaskan penelitian secara rinci kepada peserta.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden

Pada penelitian ini, jumlah jenis kelamin laki-laki dan perempuan tidak dibatasi

namun umur mahasiswa berada dalam rentang 19 sampai 22 tahun. Peneliti hanya

ingin melihat dampak kafein terhadap fungsi kognitif tanpa membandingkannya

berdasarkan jenis kelamin dan umur. Peserta penelitian merupakan mahasiswa IPDA

yang berjumlah 56 orang dan dibagikan secara acak ke dalam dua kelompok yaitu

kelompok kafein dan kelompok kontrol.

A. Kelompok Kafein

Kelompok kafein terdiri dari 29 responden. Distribusi karakteristik responden di dalam

(40)
[image:40.596.173.468.182.481.2]

Tabel 5.1. Distribusi Karakteristik Responden Kelompok Kafein berdasarkan Jenis Kelamin dan Umur

.

Variabel Frekuensi (n) Persen (%)

Jenis Kelamin

Laki-laki 12 41,4

Perempuan 17 58,6

Umur

19 1 3,4

20 13 44,8

21 12 41,4

22 3 10,3

Total 29 100,0

Berdasarkan Tabel 5.1 di atas diketahui bahwa responden perempuan lebih banyak

yaitu 17 orang (58,6%) berbanding laki-laki, 12 orang (41,4%). Seterusnya, responden

dalam kelompok kafein berusia antara 19 hingga 22 tahun dengan mayoritas berumur 20

tahun yaitu 44,8%. Dari data diatas, hanya seorang responden yang berusia 19 tahun.

B. Kelompok Kontrol

27 orang responden telah berpartisipasi sebagai kelompok kontrol. Distribusi

karakteristik responden di dalam kelompok kontrol berdasarkan jenis kelamin dan

(41)
[image:41.596.179.471.164.372.2]

Tabel 5.2. Distribusi Karakteristik Responden Kelompok Berdasarkan Jenis Kelamin dan Umur

Variabel Frekuensi (n) Persen (%)

Jenis Kelamin

Laki-laki 16 59,3

Perempuan 11 40,7

Umur

20 17 63,0

21 10 37,0

Total 27 100,0

Berdasarkan Tabel 5.2, responden laki-laki lebih banyak dalam kelompok kontrol

yaitu berjumlah 16 orang (59,3%). Responden dalam kelompok kontrol berusia antara

20 dan 21 tahun dengan mayoritasnya berumur 20 tahun yaitu sebanyak 17 orang

(63,0%). Tidak ada responden dalam kelompok kontrol yang berusia 19 dan 22 tahun.

5.1.3. Perbandingan Total Jawaban, Jawaban Benar dan Persentase Skor Mental Serial

Subtraction Kelompok Kafein dan Kelompok Kontrol

Skor responden kelompok kafein dan kelompok kontrol dapat dilihat pada Tabel 5.3 di

bawah. Pada tabel dapat dilihat total jawaban, jumlah jawaban benar dan persentase

skor responden sebelum dan sesudah diberikan minuman kopi. Persentase skor dihitung

dengan menggunakan rumus . Total jawaban responden dianalogikan

(42)
[image:42.596.143.481.206.420.2]

Tabel 5.3. Distribusi Rerata (±SD) Total Jawaban, Jawaban Benar dan Persentase Skor

Mental Serial Subtraction Kelompok Kafein dan Kelompok Kontrol Sebelum (Pre) dan

Sesudah (Pos) Minum Kopi

B

Berdasarkan Tabel 5.3, rerata total jawaban responden kelompok kafein meningkat dari

15,7 jawaban ke 22,3 jawaban sesudah diberikan minuman kopi berkafein.

Seterusnya, rerata jawaban benar responden dalam kelompok kafein meningkat dari 12,1

jawaban ke 19,3 jawaban. Rerata skor responden kelompok kafein mengalami

peningkatan dari 74,9% ke 86,1%.

Pada kelompok kontrol, dilihat terjadi peningkatan rerata total jawaban dari 21,5

jawaban menjadi 34,1 jawaban sesudah diberikan minuman kopi decaffeinated. Selain itu, rerata jawaban benar meningkat dari 18,0 jawaban ke 30,2 jawaban. Seterusnya, skor

responden dalam kelompok kontrol mengalami peningkatan dari 82,2% ke 89,2% .

Pre Pos

Total 15,7± 5,6 22,3± 8,0

Kafein Benar 12,1± 4,9 19,3± 7,6

Skor (%) 74,9± 21,5 86,1± 13,0

Total 21,5± 8,8 34,1± 12,4

Kontrol Benar 18,0± 9,8 30,2± 13,0

(43)

5.1.4. A alisis Kecepata Me tal Kelo pok Kafei da Kelo pok Ko trol

Kecepata e tal erupaka para eter ya g e ilai fu gsi e tal se ara kua titatif

berdasarkan total jawaban responden dalam waktu 10 menit. Hal ini menunjukkan

kemampuan mental responden untuk melakukan perhitungan mental dengan cepat dan

berterusan dalam jangka waktu yang ditetapkan.

Analisis kecepatan mental responden kedua-dua kelompok dilakukan dengan

membandingkan rerata total jawaban sebelum dan sesudah meminum kopi seperti yang

ditunjukkan dalam Tabel 5.4.

Tabel 5.4. Analisis Rerata (±SD) Total Jawaban Responden Kelompok Kafein dan Kelompok Kontrol Sebelum (Pre) dan Sesudah (Pos) Minum Kopi

Pre Pos ∆% Nilai p

Kafein 15,7± 5,6 22,3± 8,0 6,6 42,0 0,000

Kontrol 21,5± 8,8 34,1± 12,4 12,6 58,6 0,000

5,8 11.8

∆% 36,9 52,9

Nilai p 0,004 0,000

Berdasarkan Tabel 5.4, kecepatan mental kelompok kafein kafein dalam melakukan

perhitungan meningkat sebanyak 42,0% sedangkan peningkatan kecepatan mental

kelompok kontrol adalah lebih tinggi yaitu sebanyak 58,6%.

Uji T Berpasangan digunakan untuk membandingkan rerata total jawaban sebelum

dan sesudah minum kopi untuk menilai apakah terdapat perbedaan yang signifikan di

dalam setiap kelompok. Ternyata hasil yang didapatkan pada kelompok kafein; t(28)=

[image:43.596.130.457.395.565.2]
(44)

menunjukkan pemberian kopi decaffeinated turut memberikan peningkatan yang signifikan terhadap kecepatan mental responden.

Selain itu, peneliti ingin melihat apakah perbedaan kecepatan mental kelompok

kafein berbeda dengan kelompok kontrol. Berdasarkan Uji T Tidak Berpasangan,

terdapat perbedaan kecepatan yang signifikan antara kelompok kafein dan kontrol

sebelum minum kopi; t(54)= 2,981, P= 0,004 dan sesudah minum kopi; t(43,928)=

-4,197, P= 0,000.

.1. A alisis Ketepata e tal Kelo pok Kafei da Kelo pok Ko trol

Ketepata e tal erupaka pe ilaia fu gsi e tal se ara kualitatif yaitu kemampuan mental untuk melakukan perhitungan dengan akurat. Hal ini dinilai dengan

membandingkan jumlah jawaban yang benar dalam waktu 10 menit seperti yang

ditunjukkan dalam Tabel 5.5.

Tabel 5.5. Analisis Rerata (±SD) Jawaban Benar Kelompok Kafein dan Kelompok Kontrol Sebelum dan Sesudah Minum Kopi

Pre Pos ∆ ∆% Nilai p

Kafein 12,1± 4,9 19,3± 7,6 7,2 59,5 0,000

Kontrol 18,0± 9,8 30,2± 13,0 12,1 67,2 0,000

5,9 10,9

∆% 48,8 56,5

Nilai p 0,008 0,000

Berdasarkan Tabel 5.5, dapat dilihat ketepatan mental kelompok kafein meningkat

sebanyak 59,5% sedangkan peningkatan ketepatan mental kelompok kontrol adalah

[image:44.596.131.458.532.682.2]
(45)

Berdasarkan Uji T Berpasangan, peningkatan ketepatan mental pada kelompok kafein sesudah minum kopi adalah signifikan dengan t(28)= -6,775, P< 0,000. Ketepatan mental

kelompok kontrol juga meningkat dengan signifikan berdasarkan nilai t(26)= -7,493, P<

0,000.

Sebelum pemberian kopi, terdapat perbedaan ketepatan mental yang signifikan

antar kelompok kafein dan kontrol; t(37,781)= -2,815, P= 0,008. Ketepatan mental antar

keduadua kelompok ini juga berbeda sesudah minum kopi dengan nilai t(41,446)=

-3,798, P= 0,000.

.1. A alisis Ki erja e tal Kelo pok Kafei da Kelompok Kontrol

Ki erja e tal erupaka pe ilaia prestasi e tal se ara kua titatif da kualitatif yang dicapai oleh responden dalam melaksanakan perhitungan. Hal ini dilihat dari

persentase skor; responden sebelum dan sesudah minum kopi.

Tabel 5.6 menunjukkan persentase skor kedua-dua kelompok kafein dan kontrol.

Tabel 5.6. Analisis Rerata (±SD) Persentase Skor Responden Kelompok Kafein dan Kelompok Kontrol Sebelum (Pre) dan Sesudah (Pos) Minum Kopi

Pre Pos ∆ ∆% Nilai p

Kafein 74,9± 21,6 86,1± 13,1 11,2 15,0 0,002

Kontrol 82,2± 20,2 89,2± 17,0 7,0 8,5 0,017

7,3 3,1

∆% 9,7 3,6

[image:45.596.132.455.535.693.2]
(46)

Berdasarkan Tabel 5.6, kinerja mental kelompok kafein meningkat sebanyak 15,0%

sedangkan peningkatan pada kelompok kontrol hanyalah sebanyak 8,5%.

Uji T Berpasangan pada kelompok kafein; t(28)= -3,385, P< 0,002, menunjukkan

peningkatan kinerja mental yang signifikan. Pada kelompok kontrol, kinerja mental juga

meningkat dengan signifikan; t(26)= -2,561, P< 0,017.

Sebelum minum kopi, kinerja mental kelompok kafein tidak berbeda dengan

signifikan dari kelompok kontrol berdasarkan hasil Uji T Tidak Berpasangan; t(54)=

-1,309, P= 0,196. Sesudah minum kopi, kinerja mental antar kedua-dua kelompok juga

tidak berbeda dengan signifikan; t(54)= -0,758, P= 0,452.

5.2. Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh kafein terhadap fungsi kognitif

khususnya dalam kalangan golongan muda. Sebelum ini, penelitian telah membuktikan

bahwa konsumsi kafein memberikan efek positif yang signifikan terhadap prestasi

kognitif golongan berusia lanjut berdasarkan tes-tes kognitif yang dilakukan. Bila prestasi

mental menurun karena faktor tua, alkohol atau keletihan, kafein memberikan efek yang

lebih kuat melalui pelepasan neurotransmitter di jalur kolinergik sistem saraf pusat,

sehingga prestasi mental dapat meningkat (Johnson-Kozlow et al, 2002). Namun dalam

penelitian ini, responden yang dipilih adalah dari golongan muda yang berusia antara 19

sampai 22 tahun yang mempunyai fungsi kognitif yang optimum. Terdapat saran bahwa

efek cognitive enhancement sangat terbatas pada golongan muda karena kondisi mental yang sudah sedia optimum menyisakan sedikit ruang untuk perbaikan. Responden yang

dipilih adalah mahasiswa IPDA yang mempunyai tingkat edukasi yang setaraf sehingga

faktor variasi kecerdasan individu diharapkan tidak terlalu berpengaruh terhadap hasil

penelitian.

(47)

responden harus mengurangi nomor dua angka dari nomor empat angka secara mental.

Biarpun aspek kognitif utama yang diuji oleh tes ini adalah aspek perhitungan aritmetik,

namun tes ini juga mencakupi dimensi kognitif yang lain seperti memori kerja,

perhatian, visualisasi dan kewaspadaan sehingga dapat digunakan untuk menganalisis

fungsi kognitif responden secara umum.

Selain itu, dosis kafein dalam penelitian ini tidak diukur secara langsung di laboratorium.

Sebaliknya, peneliti menggunakan minuman kopi merek NESCAFÉ® Classic dan

NESCAFÉ® Decaf yang tidak menyatakan dosis kafein pada labelnya. Namun berdasarkan International Coffee Organization di Inggris, rentang kafein adalah 40 sampai 180 mg per 150 ml untuk kopi berkafein dan kopi decaffeinated mempunyai kira-kira 3 mg per 150 ml. Peneliti mengassumsi minuman kopi yang digunakan mengandung

dosis kafein seperti yang dinyatakan di atas. Selain itu, peneliti juga mengassumsi bahwa

semua responden berpuasa dari mengonsumsi semua sumber kafein 24 jam sebelum

tanggal penelitian karena kadar kafein dalam darah atau saliva responden tidak diukur.

Sebelum diberikan kopi, kelompok kontrol mencapai hasil yang lebih baik pada

mental serial subtraction berdasarkan rerata persentase skor yang lebih tinggi yaitu 82,2% (SD 20,2) berbanding kelompok kafein; 74,9% (SD 21,5). Perbedaan kinerja mental

antar kelompok sebelum diberikan kopi adalah tidak bermakna dengan nilai p= 0,196.

Namun demikian, bila diteliti total jawaban dan jawaban benar pada kedua-dua

kelompok di Tabel 4.4 dan Tabel 5.5, ternyata perbedaan antar kelompok adalah

signifikan untuk kecepatan mental (p=0,004) dan ketepatan mental (p=0,008). Hal ini

membuktikan bahwa fungsi kognitif kelompok kontrol adalah lebih baik berbanding

kelompok kafein karena mereka dapat melakukan lebih banyak perhitungan dalam

waktu 10 menit dan menghasilkan lebih banyak jawaban yang benar.

Sesudah diberikan minuman kopi, ternyata kelompok kafein mengalami

peningkatan kecepatan mental (p<0,000), ketepatan mental (p<0,000) dan kinerja

mental (p<0,002) yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian kafein dapat

meningkatkan prestasi mental dalam melakukan perhitungan. Namun demikian,

(48)

dan kinerja mental (p< 0,017) yang signifikan dalam kelompok kontrol meskipun tidak

mengonsumsi kafein.

Hal ini menimbulkan persoalan apakah selain zat kafein, terdapat faktor lain yang

mempengaruhi hasil penelitian ini dengan bermakna? Penjelasan yang mungkin adalah

terjadinya efek testing bias yang sulit dihindarkan dalam desain penelitian ini, di mana pajanan terhadap tes yang pertama menyebabkan hasil yang lebih baik pada tes yang

kedua. Selain itu, hasil mungkin dipengaruhi oleh peningkatan kadar glukosa otak

sesudah sarapan karena semua responden telah diberikan sarapan berupa nasi lemak

beberapa menit sebelum tes yang pertama dijalankan. Pada tes yang kedua, kedua-dua

kelompok memperoleh manfaat kognitif dari suplai glukosa yang mencukupi ke otak.

Selanjutnya, terdapat kemungkinan bahwa responden tidak mematuhi prosedur

penelitian dengan mengambil zat kafein sebelum tanggal eksperimen. Hal ini tidak

terdeteksi karena peneliti tidak mengukur kadar kafein dalam darah atau saliva

respoden sebelum melakukan eksperimen.

Terdapat faktor yang tidak dapat dikontrol oleh peneliti seperti faktor motivasi

responden dalam melakukan perhitungan dan faktor kecerdasan individu. Dalam

penelitian ini, terdapat kemungkinan respoden kelompok kontrol adalah lebih pintar

berbanding kelompok kafein, justeru lebih bermotivasi dalam melakukan perhitungan.

Seperti yang telah dinyatakan, hal ini didasarkan pada hasil ujian pretes di mana

kelompok kontrol mempunyai fungsi kognitif yang lebih baik dari kelompok kafein.

Maka, kelompok kontrol mungkin dapat mencapai hasil yang lebih baik pada tes mental serial subtraction karena fungsi kognitif mereka yang sudah sedia bagus.

Walaupun kecepatan dan ketepatan mental kelompok kontrol meningkat dengan

lebih signifikan dari kelompok kafein, peningkatan kinerja mental adalah lebih signifikan

pada kelompok kafein (p<0,002) berbanding kelompok kontrol (p<0,017). Hal ini

menunjukkan pemberian zat kafein mungkin memberikan efek positif terhadap

(49)

Penelitian sebelumnya untuk mengkaji efek kafein terhadap fungsi kognitif telah

memperoleh hasil yang tida

Gambar

Gambar 2.1. Struktur kimia kafein
Gambar 3.1. Kerangka Teori Penelitian
Tabel 3.1. Defenisi Operasional
Gambar 4.1. Ilustrasi dari mental serial subtraction
+7

Referensi

Dokumen terkait