PENGARUH KAFEIN TERHADAP FUNGSI KOGNITIF
MAHASISWA INSTITUT PERGURUAN DARUL AMAN
(IPDA) BERDASARKAN
MENTAL SERIAL SUBTRACTION
Oleh :
AKMARULHAIL AMAR BIN MAHZAN
080100311
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PENGARUH KAFEIN TERHADAP FUNGSI KOGNITIF
MAHASISWA INSTITUT PERGURUAN DARUL AMAN
(IPDA) BERDASARKAN
MENTAL SERIAL SUBTRACTION
KARYA TULIS ILMIAH
Oleh :
AKMARULHAIL AMAR BIN MAHZAN
080100311
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
LEMBAR PENGESAHAN
Pengaruh Kafein Terhadap Fungsi Kognitif Mahasiswa Institut Perguruan Darul
Aman (IPDA) berdasarkan
Mental Serial SubtractionNama: Akmarulhail Amar bin Mahzan
NIM: 080100311
Pembimbing Penguji
……….. …..………
(Prof. dr. Aznan Lelo, PhD, SpFK)
(dr. Arlinda Sari W, M.Kes)
.….………
ABSTRAK
Kafein merupakan zat psikostimulansia yang paling sering dikonsumsi di
seluruh dunia, namun pengaruhnya terhadap fungsi kognitif dalam sehari-hari
masih tidak dapat dipastikan. Zat ini sering diambil oleh mahasiswa sebagai upaya
untuk meningkatkan performa kognitif.
Penelitian eksperimental ini menggunakan desain
randomized pretest-postest with control group. Sebanyak 59 orang mahasiswa berusia antar 19 sampai 22
tahun berpartisipasi dalam eksperimen ini yang bertujuan untuk meneliti pengaruh
kafein ( dalam minuman kopi 150 ml) terhadap fungsi kognitif. Tes yang
digunakan adalah
mental serial subtra ctiondan diukur total jawaban, jawaban
benar dan persentase skor sebagai analogi fungsi kognitif.
Hasil penelitian menunjukkan peningkatan bermakna fungsi kognitif pada
kelompok kafein (kecepatan mental: p< 0,000, ketepatan mental: p< 0,000, kinerja
mental< 0,002). Namun, fungsi kognitif kelompok kontrol turut meningkat dengan
bermakna. Peningkatan total jawaban dan jawaban benar adalah lebih tinggi pada
kelompok kontrol sedangkan peningkatan persentase skor adalah lebih tinggi pada
kelompok kafein.
Kata Kunci: kafein, kopi, kognitif, mental serial subtraction
ABSTRACT
Caffeine has become the most prevalently consumed psychostimulant in the
world, but its influences on daily real-world cognitive functioning are relatively unconfirmed. Caffeinated substances are regularly used for cognitive enhancement especially among students to improve learning quality.
The present work investigates the effect of caffeine (a s contained in one 150 ml cup of coffee) on cognitive function among students aged 19 to 22 year-old. Cognitive function wa s evaluated by determining total attempts, correct answers and score percentage obtained by subjects in a mental serial subtraction test. 56 undergraduate students participated in this ra ndomized pretest-postest with control group study.
Caffeine intake improve cognitive function in caffeine group with increa se in mental speed (p< 0,000), mental accuracy (p< 0,000) and overall mental performance (p< 0,002). However, cognitive function in control group also demonstrated significant improvement. The increase in both total attempts and correct answers were higher in control group while caffeine group achieved better improvement in score percentage.
Keyword: caffeine, coffee, cognitive, mental serial subtraction
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas
karuniaNya penulis dapat menyelesaikan laporan hasil penelitian Karya Tulis
Ilmiah ini. Adapun judul penelitian ini adalah „Pengaruh Kafein terhadap Fungsi
Kognitif Mahasiswa Institut Perguruan Darul Aman (IPDA) berdasarkan
Mental Serial Subtraction‟.
Penulis menyadari bahwa isi maupun susunan laporan hasil penelitian ini
masih jauh dari kesempurnaan oleh karena keterbatasan yang ada pada penulis.
Oleh karena itu penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran demi
kesempurnaan skripsi ini.
Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan
setinggi-tingginya kepada Prof. dr. Aznan Lelo, PhD, SpFK, yang telah
memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini. Selanjutnya ucapan terima
kasih penulis sampaikan kepada:
1.
Keluarga penulis terutama ibu yang tercinta, Puan Suraya Bai yang telah
banyak memberikan dukungan dan doa selama menyiapkan laporan ini.
2.
Seluruh dosen, staf Program Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
3.
Teman-teman seperjuangan penulis yang telah banyak memberikan bantuan
dan dukungan selama penulis menyiapkan laporan penelitian Karya Tulis
Ilmiah ini.
4.
Pihak manajemen IPDA dan responden mahasiswa IPDA yang memberikan
kerjasama yang sangat baik terhadap penulis.
5.
Semua pihak yang terlibat secara langsung atau tidak langsung dalam proses
penyiapan laporan penelitian Karya Tulis Ilmiah ini.
Semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat dan makna tersendiri bagi para
pembaca.
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN………..
i
ABSTRAK
………
ii
ABSTRACT………..
iii
KATA PENGANTAR
……….
iv
DAFTAR ISI………. v
DAFTAR TABEL ………... viii
DAFTAR GAMBAR……… ix
DAFTAR LAMPIRAN……….... x
BAB 1.
PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 3
1.3. Tujuan Penelitian ... 3
1.4. Manfaat Penelitian ... 4
BAB 2.
TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1. Kognitif ... 5
2.1.1. Definisi Kognitif ... 5
2.1.2.
EnhancerKognitif ... 6
2.1.3. Nootropik... 7
2.2. Kafein ... 9
2.2.1. Sejarah Istilah Kafein ... 9
2.2.2. Sifat kafein... 10
2.2.3. Sumber dan Konsumsi Kafein ... 11
2.2.4. Farmakologi Kafein ... 11
2.2.5. Mekanisme Kerja ... 12
2.2.6. Efek Fisiologis Kafein... .. 14
2.2.7. Kafein dan Dampak terhadap Sistem Saraf Pusat... 14
2.2.8. Kafein dan Fungsi Kognitif ... 15
3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 17
3.2. Variabel Penelitian ... 18
3.3. Definisi Operasional... 18
3.4. Hipotesis... ... 19
3.4.1. Hipotesis Nol ... 19
3.4.2. Hipotesis Alternatif ... 19
BAB 4.
METODE PENELITIAN... 20
4.1. Jenis Penelitian ... 20
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 20
4.3. Populasi dan Sampel... 20
4.3.1. Populasi ... 20
4.3.2. Sampel ... 21
4.3.3. Kriteria Sampel ... 21
4.4. Teknik Pengumpulan Data ... 21
4.4.1. Instrumen Eksperimen... 21
4.4.2. Prosedur Eksperimen... 22
4.5. Pengolahan dan Analisis Data ... 25
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………
26
5.1. Hasil Penelitian………... 26
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian………... 26
5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden……….. 26
5.1.3. Perbandingan Total Jawaban, Jawaban Benar
dan Persentase Skor
Mental Serial SubtractionKelompok Kafein & Kelompok Kontrol... 28
5.1.4. Analisis “Kecepatan Mental” Kelompok Kafein &
Kelompok Kontrol………. 29
5.1.6. Analisis “Kinerja Mental” Kelompok Kafein &
Kelompok Kontr
ol……….
. 31
5.2. Pembahasan………... 32
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN………. 36
6.1. Kesimpulan……… 36
6.2. Saran……….. 36
DAFTAR TABEL
Nomor
Judul
Halaman
Tabel 3.1.
Defenisi Operasional………. 19
Tabel 5.1. Distribusi Karakteristik Responden Kelompok Kafein
berdasarkan Jenis Kelamin dan Umur
………...
27
Tabel 5.2. Distribusi Karakteristik Responden Kelompok Berdasarkan
Jenis Kelamin dan Umur
……… 27
Tabel 5.3. Distribusi Rerata (
±SD) Total Jawaban, Jawaban Benar,
dan Persentase Skor
Mental Serial SubtractionKelompok Kafein
dan Kelompok Kontrol Sebelum (Pre) dan Sesudah (Pos) Minum
Kopi
……… 28
Tabel 5.4. Analisis Rerata (
±SD) Total Jawaban Responden Kelompok
Kafein dan Kelompok Kontrol Sebelum (Pre) dan Sesudah (Pos)
Minum
Kopi
………. 29
Tabel 5.5. Analisis Rerata (
±SD) Jawaban Benar Kelompok Kafein dan
Kelompok Kontrol Sebelum (Pre) dan Sesudah (Pos) Minum
Kopi
………..30
Tabel 5.6. Analisis Rerata (
±SD) Persentase Skor Responden Kelompok
Kafein dan Kelompok Kontrol Sebelum (Pre) dan Sesudah (Pos)
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Judul
Halaman
Gambar 2.1.
Struktur Kimia Kafein ... 10
Gambar 3.1.
Kerangka Konsep Penelitian... 17
Gambar 4.1.
Ilustrasi
serial subtraction task... 23
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 (Riwayat Hidup)
Lampiran 2 (Penjelasan Mengenai Penelitian)
Lampiran 3 (Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan)
Lampiran 4 (Daftar Sumber Kafein)
Lampiran 5 (Data SPSS)
Lampiran 6 (Surat Keterangan Penelitian)
ABSTRAK
Kafein merupakan zat psikostimulansia yang paling sering dikonsumsi di
seluruh dunia, namun pengaruhnya terhadap fungsi kognitif dalam sehari-hari
masih tidak dapat dipastikan. Zat ini sering diambil oleh mahasiswa sebagai upaya
untuk meningkatkan performa kognitif.
Penelitian eksperimental ini menggunakan desain
randomized pretest-postest with control group. Sebanyak 59 orang mahasiswa berusia antar 19 sampai 22
tahun berpartisipasi dalam eksperimen ini yang bertujuan untuk meneliti pengaruh
kafein ( dalam minuman kopi 150 ml) terhadap fungsi kognitif. Tes yang
digunakan adalah
mental serial subtra ctiondan diukur total jawaban, jawaban
benar dan persentase skor sebagai analogi fungsi kognitif.
Hasil penelitian menunjukkan peningkatan bermakna fungsi kognitif pada
kelompok kafein (kecepatan mental: p< 0,000, ketepatan mental: p< 0,000, kinerja
mental< 0,002). Namun, fungsi kognitif kelompok kontrol turut meningkat dengan
bermakna. Peningkatan total jawaban dan jawaban benar adalah lebih tinggi pada
kelompok kontrol sedangkan peningkatan persentase skor adalah lebih tinggi pada
kelompok kafein.
Kata Kunci: kafein, kopi, kognitif, mental serial subtraction
ABSTRACT
Caffeine has become the most prevalently consumed psychostimulant in the
world, but its influences on daily real-world cognitive functioning are relatively unconfirmed. Caffeinated substances are regularly used for cognitive enhancement especially among students to improve learning quality.
The present work investigates the effect of caffeine (a s contained in one 150 ml cup of coffee) on cognitive function among students aged 19 to 22 year-old. Cognitive function wa s evaluated by determining total attempts, correct answers and score percentage obtained by subjects in a mental serial subtraction test. 56 undergraduate students participated in this ra ndomized pretest-postest with control group study.
Caffeine intake improve cognitive function in caffeine group with increa se in mental speed (p< 0,000), mental accuracy (p< 0,000) and overall mental performance (p< 0,002). However, cognitive function in control group also demonstrated significant improvement. The increase in both total attempts and correct answers were higher in control group while caffeine group achieved better improvement in score percentage.
Keyword: caffeine, coffee, cognitive, mental serial subtraction
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kafein merupakan obat psikoaktif yang paling banyak dikonsumsi dan
disalahgunakan di seluruh dunia. Zat stimulansia ini banyak terkandung dalam
minuman, makanan, obat yang diresepkan, serta obat bebas. Diperkirakan lebih
dari 80 persen orang dewasa di Amerika Serikat mengonsumsi kafein secara
teratur, dan di seluruh dunia, konsumsi kafein terintegrasi dengan baik dalam
praktik kebudayaan harian. Seorang dewasa di Amerika Serikat mengomsumsi
sekitar rata-rata 200 mg kafein per hari, meski 20 sampai 30 persen
mengomsumsi lebih dari 500 mg per hari. (Sadock, 2004).
Kebiasaan ini tidak hanya terbatas kepada golongan dewasa. Perilaku
konsumsi kafein semakin banyak ditemukan pada remaja dan dewasa muda. Hal
ini berhubungan dengan meningkatnya popularitas minuman berenergi dan
minuman ringan yang mengandung kafein (McIlvain,2008). Whalen et al (2008)
menyatakan bahwa 75-98% golongan muda berusia hingga 18 tahun
mengonsumsi minimal satu minuman berkafein setiap hari (Morgan, Stults, &
Zabnick, 1982; National Sleep Foundation, 2006), dengan 31% melaporkan lebih
dari dua per hari. Selain itu, kafein terdapat dalam 1057 jenis makanan yang
sering dikonsumsi anak-anak berusia 6 hingga 10 tahun (Dragger & Dixit, 2010).
Konsumsi kafein semakin populer terutama dalam kalangan mahasiswa
karena efek stimulannya membantu siswa untuk belajar dalam periode waktu yang
panjang, terutama pada saat beban kerja meningkat seperti sebelum tes atau ujian.
minuman berenergi adalah bertujuan untuk meningkatkan kewaspadaan dan
mengurangkan lelah untuk belajar.
Kebiasaan ini menjadi kontroversi dengan banyak pro dan kontra yang
dibahaskan tentang perilaku addiktif ini.. Menurut hasil penelitian
American Academy of Sleep Medicineyang ditampilkan pada bulan Juni di LEEP 2007 21
st Annual Meeting of the Associated Professional Sleep Societies, kafein
memberikan dampak negatif pada pola tidur dan prestasi akademik pelajar
sekolah. Apabila dikonsumsi pada dosis tinggi, kafein dapat menimbulkan gejala
fisik dan psikologis seperti peningkatan tekanan darah dan denyut jantung, sakit
kepala, kejang, anxietas, insomnia ,iritabilitas dan lain-lain (McIlvain, 2008).
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk meneliti pengaruh kafein terhadap
berbagai aspek psikologis. Kafein yang dikonsumsi dalam dosis kecil mungkin
mempunyai efek positif. Brice dan Smith (2002) menemukan bahwa dosis kafein
(baik 65 mg diambil 4 kali selama jam lima atau dosis yang lebih besar dari
200mg diambil sekaligus) diambil dari waktu ke waktu atau sekaligus memiliki
dampak positif terhadap kewaspadaan, peningkatan performa kognitif. Selain itu,
penelitian secara radiologi oleh
Innsbruck Medical University(2005) telah
menemukan bahawa kafein meningkatkan aktifitas regio otak di lobus frontalis
yang berkaitan dengan memori, dan juga anterior cingulum yang berhubungan
dengan pemusatan perhatian. Koppelstaetter et al (2007) melaporkan bahawa
dosis kafein sekecil 100 mg dapat meningkatkan kinerja otak depan di mana
jaringan memori berada.
Dengan demikian, walaupun konsumsi kafein yang berlebihan menimbulkan
banyak efek negatif tetapi ia turut memberikan dampak positif karena efek
stimulannya terhadap otak.
eksperimental terkontrol yang dilakukan untuk menguji dampak kafein ini
terutama dalam kalangan sampel mahasiswa yang sering mengomsumsi kafein
untuk tujuan akademik. Oleh sebab itu, peneliti ingin melakukan penelitian
eksperimental tentang efek kafein terhadap fungsi kognitif.
1.2. Rumusan Masalah:
Berdasarkan latar belakang diatas maka masalah penelitian adalah, apakah efek
kafein terhadap fungsi kognitif?
1.3. Tujuan Penelitian:
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara konsumsi kafein dan fungsi kognitif.
1.3.2. Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh akut kafein terhadap berbagai aspek fungsi kognitif (kecepatan mental,
ketepatan mental, kinerja mental)
1.4. Manfaat penelitian:
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk :
a)
Memberikan dampak positif terhadap dunia edukasi dan pembelajaran dengan
penggunaan
kafein sebagai „obat pintar‟.
b)
Memberikan informasi kepada siswa sekolah agar dapat mempertimbangkan
konsumsi kafein dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran.
c)
Memberikan informasi kepada masyarakat umum yang sering mengonsumsi
kafein tentang manfaat yang mungkin diperoleh.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Fungsi Kognitif
2.1.1. Definisi Kognitif
Konsep kognitif (dari bahasa Latin cognosere, u tuk e getahui atau u tuk e ge ali erujuk kepada ke a pua u tuk e proses i for asi, e erapka ilmu, dan mengubah kecenderungan (Nehlig, 2010). Kognisi juga mengacu pada suatu
lingkup fungsi otak tingkat tinggi, termasuk kemampuan belajar dan mengingat;
mengatur merencana dan memecahkan masalah; fokus, memelihara dan mengalihkan
perhatian seperlunya; memahami dan menggunakan bahasa; akurat dalam memahami
lingkungan, dan melakukan perhitungan (National Multiple Sclerosis Society, n.d.). Menurut Kamus Kedokteran Stedman (2002), kognitif adalah fakultas mental yang
berhubungan dengan pengetahuan, mencakup persepsi, menalar, mengenali,
memahami, menilai, dan membayangkan.
Kognisi adalah suatu konsep yang kompleks yang melibatkan sekurang-kurangnya
aspek memori, perhatian, fungsi eksekutif, persepsi, bahasa dan fungsi psikomotor.
Malah, setiap aspek ini sendiri adalah kompleks. Bahkan, memori sendiri meliputi proses
encoding, penyimpanan dan pengambilan informasi serta dapat dibagikan menjadi ingatan jangka pendek, ingatan jangka panjang dan working memory. Perhatian dapat secara selektif, terfokus, terbagi atau terus-menerus, dan persepsi meliputi beberapa
tingkatan proses untuk mengenal objek yang didapatkan dari rangsangan indera yang
berlainan (visual, auditori, perabaan, penciuman). Fungsi eksekutif melibatkan
penalaran, perencanaan, evaluasi, strategi berpikir, dan lain-lain. Pada sisi lain, aspek
kognitif bahasa adalah mengenai ekspresi verbal, perbendaharaan kata, kefasihan dan
pemahaman bahasa. Fungsi psikomotor adalah berhubungan dengan pemrograman dan
eksekusi motorik. Tambahan pula, semua fungsi kognitif di atas ini dipengaruhi oleh
berbagai faktor, seperti suasana hati (sedih atau gembira), tingkat kewaspadaan dan
Kognisi sangat sulit untuk diartikan secara definitif karena konsep ini digunakan
secara meluas dalam berbagai konteks (neurokognitif, sains kognitif, psikologi kognitif,
dan sebagainya) yang memberikan beberapa definisi yang khusus tetapi tidak ada satu
pun yang umum.
Oleh sebab itu, secara sederhananya fungsi kognitif ini dapat disimpulkan sebagai
semua proses mental yang digunakan oleh organisme untuk mengatur informasi seperti
memperoleh input dari lingkungan (persepsi), memilih (perhatian), mewakili
(pemahaman) dan menyimpan (memori) informasi dan akhirnya menggunakan
pengetahuan ini untuk menuntun perilaku (penalaran dan koordinasi output motorik)
(Bostrom & Sandberg, 2009).
2.1.2. Enhancer kognitif
Konsep peningkatan kognitif atau cognitive enhancement dapat didefinisikan sebagai amplifikasi atau ekstensi dari kapasitas berpikir melalui augmentasi sistem memproses
maklumat interna atau eksterna. Enhancement atau perbaikan merupakan suatu intervensi yang dilakukan untuk memperbaiki suatu subsistem dan hal ini bukan
bertujuan untuk membetuli atau mengoreksi suatu kelainan fungsi. Individu yang
meningkatkan fungsi kognitifnya adalah seorang yang memperoleh manfaat dari
intervensi untuk meningkatkan prestasi dari sebagian aspek kognitifnya tanpa
mengobati kelainan patologi yang spesifik (Bostrom & Sandberg, 2009).
Terdapat berbagai metode untuk meningkatkan fungsi kognitif apakah secara
farmakologi atau nonfarmakologi. Pendekatan nonfarmakologi merupakan intervensi
konvensional yang telah diamalkan sejak ribuan tahun. Hal ini termasuklah proses
edukasi dan latihan di mana tujuan utama bukanlah hanya untuk menguasai suatu
informasi atau ketrampilan yang khusus, bahkan untuk meningkatkan kapasitas umum
fakultas mental seperti konsentrasi, memori, dan pemikiran kritis. Latihan mental yang
Belajar membaca dapat mengubah cara pemrosesan bahasa di otak (Petersson,
2000). Selain itu, lingkungan masa kanak-kanak yang kaya dengan rangsangan mungkin
dapat meningkatkan kognisi melalui neurogenesis dan penambahan jumlah percabangan
dendritik karena hal ini telah terbukti pada hewan (Nillson et al, 1999). Selain itu,
lingkungan yang kaya dengan stimulasi dapat memproteksi otak dari stress dan
neurotoxin (Schneider et al, 2001) sehingga fungsi kognitif dapat meningkat.
Sebenarnya, kognisi individu akan berkurang apabila dipengaruhi oleh masalah
kesehatan. Oleh sebab itu, fungsi kognitif dapat ditingkatkan dengan memperbaiki tidur,
fungsi imun dan kesejahteraan fisik secara umumnya. Sudah tidak dapat dinafikan
bahwa olahraga dapat secara sementara meningkatkan berbagai aspek kognitif, efeknya
tergantung pada jenis dan intensitas olahraga (Tomporowski, 2003). Olahraga yang
dilakukan dalam jangka masa yang panjang dapat mempengaruhi kognisi, mungkin
melalui kombinasi efek peningkatan suplai darah dan pelepasan nerve growth factors
(Vaynman & Gomez-Pinilla, 2005). Pada masa yang sama, intervensi yang lain adalah
latihan mental dan teknik visualisai yang sering digunakan oleh atlet untuk
meningkatkan kemahiran. Formulir klasik yang digunakan untuk meningkatkan fungsi
kog itif adalah strategi khusus u tuk e ghafalka i for asi seperti etode loci di mana pemakainya akan membayangkan bagian interior suatu bangunan untuk
diasosiasikan dengan subjek yang hendak dihafalnya. Selain itu, ada berbagai lagi teknik
mental yang digunakan seperti metode speed reading dan peta berpikir (Bostrom & Sandberg, 2009).
2.1.3. Nootropik
Nootropik yang juga dikenal sebagai obat pintar merupakan obat, suplemen, dan
makanan yang dikatakan mampu meningkatkan fungsi kognitif seperti memori,
kecerdasan, motivasi, perhatian dan konsentrasi. Konsumsi obat pintar ini mempunyai
efek fisiologis langsung terhadap otak seperti mengubah bioavailabilitas suplai
neurokimiawi otak (neurotransmitter, enzim, dan hormon), selain meningkatkan
aktivitas neuronal, dan menstimulasi pelepasan neuromodulator (Bostrom & Sandberg,
Intervensi farmakologi untuk meningkatkan fungsi kognitif sudah lama digunakan
oleh masyarakat. Obat stimulans seperti nikotin dan kafein dikonsumsi untuk
meningkatkan perhatian dan memori di samping mengurangkan kelelahan. Selain itu,
ekstrak herba seperti Ginko Biloba adalah sangat populer, dengan penjualan herba ini
sahaja menghasilkan keuntungan ratusan juta dollar setiap tahun di Amerika Serikat
(Bostrom & Sandberg, 2009).
Dewasa ini, penggunaan obat pintar ini semakin meluas digunakan di dalam lingkup
akademik seperti Adderall, Ritalin dan Modafinil (Provigil) serta obat penambah
kecerdasan lainnya, untuk meningkatkan produktivitas. Kira-kira 7% mahasiswa di AS
mengonsumsi stimula s o edik sekura g-kurangnya sekali, berdasarkan satu studi
pada tahun 2005 yang melibatkan 11 000 siswa (Szalavitz, 2009).
Pada tahun 2008, satu survei yang melibatkan 2,087 pelajar perguruan tinggi telah
melaporkan penggunaan methylphenidate (di bawah nama dagang Ritalin dan Concerta)
secara nonmedik sebanyak 5,3%. Satu penelitian yang lain turut menemukan 6,9%
pelajar perguruan tinggi mengonsumsi stimulan termasuk Ritalin dan Adderal bukan
untuk tujuan medis (Goodman, 2010). Jelasnya, penggunaan nootropik adalah sangat
sering untuk tujuan akademik.
Kafein merupakan stimulans yang paling meluas digunakan oleh golongan akademik
karena murah dan mudah didapatkan. Menurut McIlvain (2008), penelitian yang
dilakukan oleh Pele (1989) menemukan bahwa obat yang sering digunakan oleh
mahasiswa di Benin City, Nigeria adalah kafein di mana 95% pelajar dilaporkan
menggunakan kafein di tempat sosial. Penelitian ini didukung oleh Egdochuku dan
Akrele (2007). Mereka melaporkan bahwa mahasiswa Nigeria paling sering
menyalahgunakan kafein berbanding stimulans yang lain. Kafein juga merupakan obat
Berdasarkan penelitian oleh Lee K-H et al (2009), konsumsi kafein untuk tujuan
akademik meningkat apabila mahasiswa kedokteran melanjutkan kuliah dari tahun
pertama hingga tahun ketiga. Ternyata, kafein adalah obat stimulans yang paling sering
dikonsumsi untuk tujuan akademik karena lebih praktis dan dipercaya mempunyai efek
nootropik yang signifikan.
2.2. Kafein
Kafein adalah zat psikoaktif yang paling meluas dikonsumsi sehingga
kadang-kadang dianggap sebagai obat yang disalahgunakan. Konsumsi kafein diperkirakan
sebanyak 76 mg/hari per orang, sehingga ada yang melebihi 230 mg/hari di Amerika
Serikat, Kanada, dan Australia. Penggunaan kafein yang tersebar luas ini telah
menjadikannya sebagai fokus kepada banyak penelitian dalam dekade ini (Peeling &
Dawson,2007).
2.2.1. Sejarah Istilah Kafein
Sejarah zat ini kembali ke sekitar tahun 4700 SM ketika teh sangat populer di China.
Kafein pertama kali di isolasi di Jerman pada tahun 1820 oleh Runge. Selain itu, zat ini
juga dilaporkan telah disolasi oleh Robiquete pada tahun 1823 dan Pelletier pada tahun
1826. Terdapat banyak istilah lai ya g erujuk kepada kafei seperti cofeina .
guaranin da coffein , da pada tahu , istilah thein digu aka oleh Oudry. Pada tahun 1838 dan akhirnya tahun 1840, zat yang berbeda namanya ini baru
disadari sebenarnya adalah sa a da istilah caffeine eluas digu aka . Istilah i i
mula diperkenalkan oleh Pelletier yang telah mengisolasi zat ini dari kopi dan memberi
2.2.2. Sifat Kafein
Gambar 2.1. Struktur kimia kafein
Kafein merupakan sejenis alkaloid heterosiklik dalam golongan methylxanthine, yang menurut definisi berarti senyawa organik yang mengandung nirogen dengan struktur
dua-cincin atau dual-siklik. Molekul ini secara alami terjadi dalam banyak jenis tanaman
sebagi metabolik sekunder. Fungsinya dalam tumbuhan adalah sebagai antibiotik dan
antijamur selain dapat menyebabkan paralisis dan kematian kepada serangga (Allsbrook,
2008). Zat ini dihasilkan secara eksklusif dalam daun, kacang-kacangan dan buah-buahan
lebih dari 60 tanaman, termasuk daun teh biasa (Camellia sinensis), kopi (Coffea arabica), kacang koko (Theobroma cacao),kacang kola (Cola acuminata) dan berbagai macam berry (Reinhardt, 2009).
Zat ini dalam bentuk murni muncul sebagai bedak kristal putih yang pahit dan tidak
berbau. Rumus kimianya adalah C8H10N4O2 dan memiliki nama kimia
1,3,7-trimethylxanthine. Nama IUPAC untuk kafein adalah 1 ,3,7-trimethyl-1H-purine-2,6(3H,7H)-dione, 3,7-dihydro-1,3,7-trimethyl-1H-purine-2,6-dione.
Beberapa sifat fisik kafein adalah:
Titik didih: 178 C
Titik lebur: 238 C
Kepadatan: 1,2 g / cm ^ 3
pH: 6.9
2.2.3. Sumber dan Konsumsi Kafein
Kafein terkandung dalam sejumlah sumber makanan yang dikonsumsi di seluruh dunia
yaitu, teh, kopi, minuman coklat, bar coklat, dan minuman ringan. Rentang kandungan
kafein untuk berbagai jenis makanan ini adalah 40-180 mg/150 ml untuk kopi, 24-50
mg/150 ml untuk teh, 15-29 mg/180 ml untuk kola, 2 sampai 7 mg/150 ml untuk koko,
dan 1 sampai 36 mg/28 g untuk coklat. Konsumsi kopi dari semua sumber diestimasikan
sebanyak 70 sampai 76 mg/orang/hari di seluruh dunia tetapi mencapai 210 sampai 238
mg/hari di AS dan Kanada serta melebihi 400 mg/orang/hari di Swedia dan Finlandia, di
mana 80 hingga 100% sumber kafein adalah dari kopi sahaja. Di Ingris, konsumsinya
adalah setinggi Swedia dan Finlandia tetapi 55% didapatkan dari teh, 43% dari kopi, dan
2% dari kola (Fredholm et al, 1999). Konsumsi kafein terintegrasi dengan sangat baik
dalam kebudayaan sosial seperti waktu rehat kopi di Amerika Serikat, budaya minum teh
di Inggris dan mengunyah kacang kola di Nigeria (Strain & Griffith, 1995). Selain itu, pada
anak-anak berusia 7 hingga 10 tahun, konsumsi harian kafein adalah dalam rentang 0,5
sampai 1,8 mg/kg dengan minuman ringan mewakili 26 hingga 55%, makanan dan
minuman bercoklat sebanyak 17 hingga 40%, teh 6 hingga 34% dan kopi sebanyak 0
hingga 22% dari keseluruhan asupan kafein (Fredholm et al, 1999). Hal ini membuktikan
betapa meluasnya penggunaan kafein di seluruh dunia.
2.2.4. Farmakologi Kafein
Absorbsi kafein di salur pencernaan adalah sangat cepat dan mencapai 99% pada
manusia sekitar 45 menit setelah diingesi. Penyerapannya tidak sempurna apabila
diambil sebagai kopi dengan 90% kafein dalam secangkir kopi akan diabsorbsi dalam
waktu 20 menit setelah diminum, dengan efeknya bermula dalam satu jam dan bertahan
selama 3 hingga 4 jam.
Konsentrasi plasma memuncak setelah 40 hingga 60 menit dengan waktu paruh
Bagaimanapun, waktu paruhnya berkurang pada individu yang merokok dan
meningkat sehingga 2 kali lipat pada wanita hamil atau yang menggunakan kontrasepsi
oral dalam jangka waktu panjang (Lee K-H et al, 2009). Kafein bersifat hidrofobik
sehingga dapat melewati semua membran biologis seperti sawar darah otak dan
plasenta (Fredholm et al, 1999).
Zat ini dimetabolisir secara demethylation dan oxidation. Jalur metabolisme mayor akan menghasilkan paraxanthine (1,7-dimethylxanthine), dan metabolit urin yang utama adalah l-methylxanthine, 1-methyluric acid, dan aceylated uracyl derivative. Jalur degradasi yang minor melibatkan pembentukan dan metabolime theophylline dan
theobromine. Kadar eliminasi methylxanthine bervariasi di antara individu karena pengaruh genetik dan lingkungan, sehingga perbedaan yang mencapai empat kali lipat
adalah tidak mengherankan. Metabolisme zat ini juga dipengaruhi oleh agen lain atau
penyakit khusus. Misalnya, merokok dan kontrasepsi oral menyebabkan peningkatan
yang kecil tapi nyata terhadap eliminasi methylxanthine. Waktu paruh theophylline
dapat meningkat dengan signifikan pada penderita sirosis hati, payah jantung, atau
edema paru akut, dengan nilai melebihi 60 jam pernah dilaporkan (Chawla & Suleman,
2008).
2.2.4. Mekanisme Kerja
Efek fisiologis kafein yang beraneka ragam mungkin disebabkan oleh tiga mekanisme
kerjanya, (1) mobilisasi kalsium intrasellular, (2) peningkatan akumulasi nukleotida siklik
karena hambatan phosphodiesterase., dan (3) antagonisme reseptor adenosine (Nehlig, 1999).
Mobilisasi kalsium intasellular dan inhibisi phosphodiesterase khusus hanya berlaku pada konsentrasi kafein yang sangat tinggi dan tidak fisiologis. Oleh sebab itu,
mekanisme kerja yang paling relevan adalah antagonisme reseptor adenosine.
Adenosine berfungsi untuk mengurangkan kadar ledakan neuron selain menghambat
Terdapat empat reseptor adenosine yang dikenal: A1, A2(A dan B) dan A3. Reseptor
A1 dan A2 merupakan subtipe utama yang terlibat dengan efek kafein karena dapat
berikatan dengan kafein pada dosis kecil, A2B pula berikatan pada dosis yang tinggi dan
A3 tidak sensitif terhadap kafein.
Reseptor A1 banyak terdistribusi di seluruh otak dengan densitas yang tinggi di
hipokampus, korteks dan serebelum manakala A2 banyak terdapat di striatum, nukleus
akumbens, tuberkulum olfaktorius dan amygdala serta mempunyai ekspresi yang lemah
di globus pallidus dan nukleus traktus solitarius. Tidak seperti A1, reseptor A2
berpasangan dengan G protein stimulatorik dan berhubungan dengan receptor D2
dopamin. Administrasi A2 agonis akan mengurangkan afinitas ikatan dopamin di
reseptor D2 yang terletak di membran striatal (Chawla & Suleman, 2008).
Selain memberi efek terhadap tidur dan kewaspadaan melalui aktivasi neuron
kolinergik mesopontin oleh antagonisme receptor A1 (Dixit, Vaney & Tandon, 2006),
kafein juga berinteraksi dengan sistem dopamin untuk memberikan efeknya terhadap
perilaku. Hal ini dicapai melalui penghambatan reseptor adenosine A2 sehingga kafein
dapat mempotensiasi neurotansmisi dopamin, dengan demikian dapat memodulasi
reward system. Selain itu, konsumsi kafein, toleransi dan ketergantungan mempunyai komponen genetika berdasarkan beberapa penelitian yang melaporkan adanya
hubungan antara polimorfisme gen A2A dengan sensisitivitas terhadap efek kafein
(Temple, 2010). Antagonisme reseptor adenosin mungkin dapat mempengaruhi proses
kognisi antara lainnya dengan mengaktivasi reseptor D1 dan D2. Penelitian yang
dilakukan pada monyet telah membuktikan bahwa aktivasi reseptor D1 dan D2 dapat
meningkatkan prestasi tugas yang menggunakan memori kerja (Dixit, Vaney & Tandon,
2.2.5. Efek Fisiologis Kafein
Seperti yang telah dijelaskan, mekanisme kerja utama kafein adalah menghambat
reseptor adenosine yang secara normalnya berikatan dengan adenosine, juga
merupakan sejenis alkaloid heterosiklik.
Adenosin merupakan neurotransmitter yang efeknya mengurangkan aktivitas sel
terutama sel saraf. Oleh sebab itu, apabila reseptor adenosine berikatan dengan kafein,
efek yang berlawanan dihasilkan, lantas menjelaskan efek stimulans kafein (Allsbrook,
2008). Walaupun mekanisme utama kafein adalah antagonisme reseptor adenosine, hal
ini akan menjurus ke efek sekunder dari berbagai jenis neurotransmitter seperti
norepinefrin, dopamine, asetilkolin, glutamate dan GABA sehingga akan mempengaruhi
fungsi fisiologis tubuh yang berbeda. Efek fisiologis kafein termasuklah peningkatan
denyut jantung, dilatasi pembuluh darah, peningkatan sistem renin, tremor, kejang dan
urticaria.
Selain itu, dapat menyebabkan dilatasi arteri koroner, nyeri kepala, gangguan tidur
dan peningkatan suhu tubuh (McIlvain, 2008). Kafein juga dapat meningkatkan proses
lipolisis, mengurangkan glikogenolisis dan meningkatkan glukosa darah serta konsumsi
oksigen. Hal yang menjadi fokus utama di sini adalah dampak kafein terhadap sistem
saraf pusat sehingga memungkinkan terjadinya peningkatan fungsi kognitif.
2.2.6. Kafein dan Dampak terhadap Sistem Saraf Pusat
Banyak penelitian telah dilakukan untuk menilai efek neurologik kafein terhadap sistem
saraf pusat. Bukti dari Magnetic Imaging Resonance (MRI) menunjukkan aliran darah serebral berbanding lurus dengan asupan kafein. Konsumsi akut 400 mg kafein dapat
secara signifikan meningkatkan aliran darah di arteri serebralis anterior dan media. Hal
Selain itu, kafein secara akut dapat meningkatkan efisiensi kerja jaringan neuron di
kortek serebral manusia. Sebagai contoh, 20 menit setelah konsumsi 100 mg kafein
sambil mengerjakan tugas yang menggunakan memori kerja, subyek memperlihatkan
pada MRI bahwa adanya peningkatan aktivitas neuronal di jaringan daerah otak yang
berhubungan dengan aspek perhatian dari fungsi kognitif. Dengan demikian, kafein
dapat e i gkatka ’e ergi e tal’ sehi gga pe i gkata kewaspadaa da ti gkat
konsentrasi ini berupaya untuk meningkatkan fungsi kognitif secara keseluruhannya
(Glade, 2010).
2.2.7. Kafein dan Fungsi Kognitif
Penelitian menunjukkan bahwa pelepasan katekolamin norepinefrin (NE) di sistem saraf
pusat yang optimum dapat secara signifikan meningkatkan perhatian, pembelajaran dan
kewaspadaan. Menurut Berkowitz et al, zat kafein berperan dalam peningkatan
pelepasan NE di sistem saraf pusat (Peeling & Dawson, 2007) dan hal ini mungkin
merupakan salah satu mekanisme kafein dalam mempengaruhi fungsi kognitif selain
aktivasi reseptor dopamine di otak.
Banyak penelitian telah dijalankan untuk membuktikan efek neurologik kafein.
Konsumsi bolus tunggal kafein sekecil 30 sampai 50 mg dapat merangsang kewaspadaan
dengan bermakna dan dapat meningkatkan konsentrasi untuk sekurang-kurangnya 20
menit (Lieberman et al, 1987). Rentang dosis sekecil ini terkandung dalam satu kaleng
minuman ringan dan obat analgesik dan ternyata dapat memberikan efek stimulans.
Di samping itu, dibandingkan dengan plasebo, konsumsi 100 mg kafein 1 jam
sebelum mengikuti kuliah universitas selama 75 menit secara signifikan meningkatkan
konsentrasi, kewaspadaan, perhatian, dan keterjagaan mental (Peeling & Dawson,
2007). Selain itu, menurut Frewer dan Lader (1991), dosis kafein sedang (250mg) adalah
efektif untuk meningkatkan prestasi kerja yang memerlukan perhatian. Namun
demikian, pada dosis yang terlalu tinggi (500mg), terjadi overstimulasi tingkat
Dengan demikian, diduga konsumsi kafein pada dosis sedang dapat meningkatkan
proses kognisi yang penting untuk proses pembelajaran. Malah menurut laporan
definitif tahun 2001 (Caffeine for the Sustainment of Mental Test Performance. Formulations for Military Operations), Institute of Medicine Food and Nutrition Board Committee on Military Nutrition Research telah menyimpulkan bahwa konsumsi kafein pada dosis 150 mg dapat meningkatkan prestasi kognitif dan efek ini berlangsung untuk
selama 10 jam setelah konsumsi.
Selain efek kafein yang jelas terhadap kewaspadaan, perhatian dan keterjagaan
mental, kafein mungkin mempunyai dampak terhadap aspek memori dari aspek kognitif.
Riedel et al (1995) menunjukkan bahwa supplemen kafein 250 mg dapat
meningkatkan prestasi pada tugas belajar kata. Riedal dan kawan-kawan mengusulkan
bahwa kafein merangsang stimulasi kolinergik pada sistem saraf pusat, akhirnya
mengurangkan efek pelemahan skopolamin terhadap daya ingat jangka pendek dan
jangka panjang. Oleh sebab itu, adalah masuk akal untuk diusulkan bahwa perbaikan
memori yang diinduksi kafein dapat meningkatkan kemampuan pelajar untuk mengingat
dam mengasosiasi materi kuliah sewaktu pembelajaran di dalam kelas. Namun
demikian, terdapat juga penelitian yang menyatakan bahwa kafein hanya dapat bekerja
sebagai enhancer kognitif yang signifikan jika terdapat disfungsi kolinergik seperti pada
pasien Alzheimer (Johnson-Kozlow et al, 2002). Oleh sebab itu, disimpulkan bahwa efek
kafein lebih bermakna hanya terhadap terhadap pasien yang berusia lanjut yang telah
mengalami penurun fungsi kognitif secara alami karena usia (Nehlig, 2010).
Dengan demikian, terdapat banyak penelitian dan laporan yang telah dihasilkan
berhubungan dengan efek dan dosis kafein terhadap fungsi fisiologis dan kognitif, yang
semuanya dapat memberi impak terhadap edukasi dan pembelajaran. Meskipun
demikian, tidak banyak penelitian sebelumnya yang menyelidiki efek konsumsi kafein
terhadap fungsi kognitif mahasiswa sedangkan kafein adalah sangat popular dalam
BAB 3
KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah
[image:30.596.111.474.240.679.2]Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 3.1. Kerangka Teori Penelitian Berikatan dengan
reseptor adenosin di system saraf pusat
Penghambatan reseptor adenosin memicu pelepasan neurotransmitter stimulatorik:
- dopamin
- norepinefrin
Dampak terhadap fungsi kognitif
Zat kafein dalam darah melewati sawar darah otak
Terjadi perubahan struktural dan biokimiawi di dalam otak:
- peningkatan aliran darah serebral
- peningkatan aktivitas neuronal
3.2. Variabel Penelitian
3.2.1. Variabel Bebas
Pada penelitian ini yang ditetapkan sebagai variabel bebas adalah pemberian kafein
dalam bentuk minuman kopi berkafein atau tidak diberikan kafein sebagai minuman
kopi decaffeinated.
3.2.2. Variabel Tergantung
Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah dampak terhadap fungsi kognitif dan
parameter yang diukur adalah total jawaban, jawaban benar dan persentase skor pada
mental serial subtraction
3.3. Defenisi Operasional
Kafein adalah zat stimulans dari golongan methylxantin yang banyak terkandung di
dalam minuman kopi, teh, coklat, obat-obatan, minuman ringan dan minuman energi.
Pemberian kafein adalah dalam bentuk satu cangkir minuman kopi panas 150 ml karena
lebih praktis dan merupakan sumber kafein yang paling sering dikonsumsi khususnya
oleh mahasiswa.
Fungsi kognitif secara dasarnya merupakan keseluruhan proses pemikiran yang
melibatkan kemampuan belajar dan mengingat; mengatur, merencana dan
memecahkan masalah; fokus, memelihara dan mengalihkan perhatian seperlunya;
memahami dan menggunakan bahasa; akurat dalam memahami lingkungan, dan
melakukan perhitungan. Kenyataannya, adalah mustahil untuk menguji semua aspek
dari fungsi kognitif. Metode eksperimental yang dipilih untuk mahasiswa adalah mental serial subtraction karena melibatkan memori kerja, kemampuan memproses informasi, visualisasi, perhitungan, pemusatan perhatian dan konsentrasi. Aspek-aspek ini sangat
relevan dalam lingkup akademik mahasiswa. Pada penelitian ini, fungsi kognitif
Tabel 3.1. Defenisi Operasional
Kecepatan Mental Ketepatan Mental Kinerja Mental
Cara Pengukuran Menghitung total
jawaban yang
dihasilkan dalam
waktu 10 menit
Menentukan jumlah
jawaban yang benar
dalam waktu 10
menit
Menghitung
persentase skor:
Alat Ukur Mental Serial Subtraction
Mental Serial Subtraction
Mental Serial Subtraction
Hasil Ukur Total Jawaban Jawaban Benar Persentase Skor
Skala Ukur Numerik Numerik Numerik
3.4. Hipotesis
3.4.1. Hipotesis Nol (Ho)
Pemberian kafein tidak berpengaruh terhadap fungsi kognitif mahasiswa.
3.4.2. Hipotesis Alternatif (Ha)
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah eksperimen murni (true experiment design) yang menguji efek kafein terhadap fungsi kognitif. Pendekatan yang digunakan pada desain penelitian ini
adalah pretest-posttest with control group. Pada tahap awal, peserta penelitian telah dikelompokkan secara acak ke dalam kelompok kafein dan kelompok kontrol. Kedua-dua
kelompok telah diminta untuk melakukan perhintungan mental untuk menilai fungsi
kognitifnya, kemudian kelompok kafein diberikan intervensi kopi berkafein manakala
kelompok kontrol diberikan kopi decaffeinated, dan sesudah 1 jam, dilakukan kembali perhitungan mental untuk membandingkan fungsi kognitif.
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini telah dilakukan pada tanggal 25 Juli 2011 di Institut Perguruan Darul Aman
(IPDA), Kedah, Malaysia. Lokasi ini telah dipilih karena populasi yang relevan dan
memberikan kerjasama. Eksperimen dilaksanakan di Bilik Serbaguna 1 di perpustakaan
kampus karena dapat memuatkan subyek penelitian dengan nyaman.
4.3. Populasi dan Sampel
4.3.1 Populasi
Populasi penelitian adalah seluruh mahasiswa IPDA setambuk 2008, 2009, dan 2010
4.3.2. Sampel
Pemilihan sampel adalah dengan cara non probability sample (selected sample) dengan cara purposive sampling. Pengambilan sample dilakukan atas dasar pertimbangan peneliti yang menganggap kriteria yang dikehendaki telah ada dalam anggota sampel
yang diambil. Sebanyak 56 sampel telah diambil untuk penelitian ini.
4.3.3. Kriteria Sampel
Kriteria inklusi adalah semua mahasiswa IPDA setambuk 2008, 2009 dan 2010 dalam
rentang usia 19 sampai 22 tahun yang sehat secara fisik dan mental dan pernah
mengonsumsi kafein serta tidak alergi. Kriteria eksklusi adalah merokok, menderita
penyakit kronis (misalnya, sirosis hati) atau penyakit jiwa, memakai kontrasepsi oral,
menggunakan obat-obatan dan intoleransi terhadap kafein.
4.4. Metode Pengumpulan Data 4.4.1. Instrumen eksperimen
Materi yang telah digunakan dalam eksperimen ini adalah:
1. Ruang makan dan ruang eksperimen.
2. Sarapan pagi untuk peserta
3. 56 cangkir kopi dan 56 cangkir untuk kertas jawaban
4. Kopi berkafein
6. Kopi decaffeinated
7. Sejumlah kertas A4 yang banyak
4.4.2. Prosedur Eksperimen
Responden yang bersetuju untuk mengikuti eksperimen telah diminta untuk berpuasa
dari mengonsumsi kafein dari semua sumber selama 24 jam sebelum eksperimen. Hal ini
adalah untuk memastikan bahwa tidak ada zat kafein dalam darah peserta sebelum
penelitian. Mereka telah diberikan satu daftar makanan dan minuman yang
mengandung kafein dan diminta untuk tidak mengonsumsi semua sumber tersebut.
Peserta juga telah diminta untuk tidak bersarapan sebelum eksperimen. Pada hari
eksperimen, semua responden telah ditanyakan apakah mereka mematuhi aturan ini
sebelum layak untuk mengikuti eksperimen.
Eksperimen telah dilakukan pada jam 8 pagi dan responden diberikan sarapan yang
sama oleh peneliti yaitu nasi lemak dan air putih. Hal ini untuk mengurangkan faktor
confounding seperti faktor sarapan pagi dan jenis sarapan yang dapat mempengaruhi hasil eksperimen. Selain itu, sarapan penting untuk menghindari kemungkinan efek mual
akibat konsumsi kafein ketika perut kosong. Kesemua responden bersarapan di ruang
makan di depan perpustakaan.
Setelah selesai bersarapan, responden dibawa ke Bilik Serbaguna 1 perpustakaan
kampus dan dibagikan secara acak ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok kafein dan
kelompok kontrol. Kelompok kafein terdiri dari 29 responden manakala kelompok
kontrol terdiri dari 27 orang. Kemudian , peserta diberikan penjelasan tentang tes yang
akan dijalankan berserta contoh-contohnya. Setelah semua responden memahami tes
yang digunakan, eksperimen dimulai dan responden diminta untuk menjalani tes mental serial subtraction termodifikasi selama 10 menit. Serial subtraction adalah bagian perhitungan aritmatika dari Trier Social Stress Test (Kase, Ritter & Schoelles, 2009). Tes ini sering digunakan untuk menguji fungsi kognitif, misalnya di dalam Mini-Mental State Examination untuk pasien demensia. Selain itu, tes ini digunakan untuk menilai gangguan kognitif pada saat hipoglikemi dan pernah digunakan untuk mengkaji
hubungan antara peningkatan kadar glukosa darah dan prestasi kognitif (Tildesley et al,
2005). Pada versi tes ini yang asal, peserta diberikan satu nomor dan diminta untuk
melakukan perhitungan pengurangan angka secara mental. Peserta diminta untuk
jawaban yang salah diberikan oleh peserta, peserta diminta untuk mengulangi
perhitungan dari jawaban terakhir yang benar (Kase, Ritter & Schoelles, 2009). Tes yang
digunakan dalam eksperimen ini adalah mental serial subtraction yang telah dimodifikasi.
Peserta telah diberikan sejumlah kertas kosong yang bertanda untuk menuliskan
jawaban. Peneliti memberikan satu nomor 4 angka dan peserta diminta untuk
mengurangi angka 19 dari nomor itu secara mental dengan cepat. Ditekankan di sini
agar peserta menjawab dengan cepat untuk menguji kemampuan memproses informasi.
Peserta hanya boleh menuliskan jawaban di atas kertas tetapi dilarang untuk
mencatatkan perhitungan. Setiap kali selesai menuliskan jawaban, peserta meletakkan
kertas jawaban ke dalam cangkir yang disediakan dan seterusnya melanjutkan
perhitungan mental. Hal ini dilakukan berterusan selama 10 menit. Jawaban yang tepat
[image:36.596.150.526.400.610.2]adalah nomor yang dikurangi 19 dengan betul berdasarkan nomor yang sebelumnya.
Setelah selesai mengerjakan tugas ini, kelompok kafein telah diberikan secangkir
kopi berkafein kira-kira 150 ml manakala kelompok kontrol diberikan kopi decaffeinated
150 ml. Kandungan kafein adalah kira-kira 40 sampai 180 mg per 150 ml untuk kopi
berkafein dan kopi decaffeinated mempunyai kira-kira 3 mg per 150 ml.
Kadar kafein dalam kopi decaffeinated adalah terlalu kecil untuk menimbulkan efek dan dapat diabaikan. Kedua-dua jenis kopi yang diberikan adalah daripada merek
yang sama serta bentuk dan penampilannya juga adalah sama.
Setelah pemberian kafein, ditunggu selama 60 menit karena terdapat usulan bahwa
kadar konsentrasi darah puncak kafein tercapai setelah 1 jam administrasi kafein
(Peeling & Dawson, 2007). Sesudah 1 jam, peserta telah diminta untuk mengulangi tes
yang sama tetapi diberikan nomor awal yang berbeda. Kertas jawaban dikutip oleh
peneliti dan skor peserta dihitung.
Responden berpuasa dari semua sumber kafein selama 24 jam
Sarapan disediakan pada waktu pagi tanggal penelitian
Responden dibagikan secara acak ke dalam kelompok kafein dan kelompok kontrol
Responden melakukan tes mental serial subtraction selama 10 menit
Kelompok kafein diberikan secangkir Nescafe panas,
Gambar 4.2. Kerangka Prosedur Eksperimen
4.5.Metode Pengolahan dan Analisis Data
Untuk mengetahui pengaruh efek pemberian kafein terhadap fungsi kognitif, analisa
data dilakukan dengan menggunakan SPSS 17.00 for windows. Data pretes dan postes dalam kelompok kafein dan kelompok kontrol telah dianalisisdengan Uji T Berpasangan.
Perbedaan hasil tes antar kelompok kafein dan kelompok kontrol dianalisis dengan Uji T
Tidak Berpasangan.
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian telah dijalankan pada tanggal 25 Juli 2011 di Institut Pendidikan Guru
Kampus Darul Aman (IPDA) yang beralamat di Bandar Darul Aman, 06000 Jitra, Kedah,
Malaysia. Eksperimen telah dijalankan di dalam Bilik Serbaguna 1 di perpustakaan
kampus. Ruang ini dipilih karena luas dan selesa untuk melakukan penelitian. Selain itu,
ruang ini memiliki kemudahan komputer, projektor dan sistem suara yang digunakan
untuk menjelaskan penelitian secara rinci kepada peserta.
5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden
Pada penelitian ini, jumlah jenis kelamin laki-laki dan perempuan tidak dibatasi
namun umur mahasiswa berada dalam rentang 19 sampai 22 tahun. Peneliti hanya
ingin melihat dampak kafein terhadap fungsi kognitif tanpa membandingkannya
berdasarkan jenis kelamin dan umur. Peserta penelitian merupakan mahasiswa IPDA
yang berjumlah 56 orang dan dibagikan secara acak ke dalam dua kelompok yaitu
kelompok kafein dan kelompok kontrol.
A. Kelompok Kafein
Kelompok kafein terdiri dari 29 responden. Distribusi karakteristik responden di dalam
Tabel 5.1. Distribusi Karakteristik Responden Kelompok Kafein berdasarkan Jenis Kelamin dan Umur
.
Variabel Frekuensi (n) Persen (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 12 41,4
Perempuan 17 58,6
Umur
19 1 3,4
20 13 44,8
21 12 41,4
22 3 10,3
Total 29 100,0
Berdasarkan Tabel 5.1 di atas diketahui bahwa responden perempuan lebih banyak
yaitu 17 orang (58,6%) berbanding laki-laki, 12 orang (41,4%). Seterusnya, responden
dalam kelompok kafein berusia antara 19 hingga 22 tahun dengan mayoritas berumur 20
tahun yaitu 44,8%. Dari data diatas, hanya seorang responden yang berusia 19 tahun.
B. Kelompok Kontrol
27 orang responden telah berpartisipasi sebagai kelompok kontrol. Distribusi
karakteristik responden di dalam kelompok kontrol berdasarkan jenis kelamin dan
Tabel 5.2. Distribusi Karakteristik Responden Kelompok Berdasarkan Jenis Kelamin dan Umur
Variabel Frekuensi (n) Persen (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 16 59,3
Perempuan 11 40,7
Umur
20 17 63,0
21 10 37,0
Total 27 100,0
Berdasarkan Tabel 5.2, responden laki-laki lebih banyak dalam kelompok kontrol
yaitu berjumlah 16 orang (59,3%). Responden dalam kelompok kontrol berusia antara
20 dan 21 tahun dengan mayoritasnya berumur 20 tahun yaitu sebanyak 17 orang
(63,0%). Tidak ada responden dalam kelompok kontrol yang berusia 19 dan 22 tahun.
5.1.3. Perbandingan Total Jawaban, Jawaban Benar dan Persentase Skor Mental Serial
Subtraction Kelompok Kafein dan Kelompok Kontrol
Skor responden kelompok kafein dan kelompok kontrol dapat dilihat pada Tabel 5.3 di
bawah. Pada tabel dapat dilihat total jawaban, jumlah jawaban benar dan persentase
skor responden sebelum dan sesudah diberikan minuman kopi. Persentase skor dihitung
dengan menggunakan rumus . Total jawaban responden dianalogikan
Tabel 5.3. Distribusi Rerata (±SD) Total Jawaban, Jawaban Benar dan Persentase Skor
Mental Serial Subtraction Kelompok Kafein dan Kelompok Kontrol Sebelum (Pre) dan
Sesudah (Pos) Minum Kopi
B
Berdasarkan Tabel 5.3, rerata total jawaban responden kelompok kafein meningkat dari
15,7 jawaban ke 22,3 jawaban sesudah diberikan minuman kopi berkafein.
Seterusnya, rerata jawaban benar responden dalam kelompok kafein meningkat dari 12,1
jawaban ke 19,3 jawaban. Rerata skor responden kelompok kafein mengalami
peningkatan dari 74,9% ke 86,1%.
Pada kelompok kontrol, dilihat terjadi peningkatan rerata total jawaban dari 21,5
jawaban menjadi 34,1 jawaban sesudah diberikan minuman kopi decaffeinated. Selain itu, rerata jawaban benar meningkat dari 18,0 jawaban ke 30,2 jawaban. Seterusnya, skor
responden dalam kelompok kontrol mengalami peningkatan dari 82,2% ke 89,2% .
Pre Pos
Total 15,7± 5,6 22,3± 8,0
Kafein Benar 12,1± 4,9 19,3± 7,6
Skor (%) 74,9± 21,5 86,1± 13,0
Total 21,5± 8,8 34,1± 12,4
Kontrol Benar 18,0± 9,8 30,2± 13,0
5.1.4. A alisis Kecepata Me tal Kelo pok Kafei da Kelo pok Ko trol
Kecepata e tal erupaka para eter ya g e ilai fu gsi e tal se ara kua titatif
berdasarkan total jawaban responden dalam waktu 10 menit. Hal ini menunjukkan
kemampuan mental responden untuk melakukan perhitungan mental dengan cepat dan
berterusan dalam jangka waktu yang ditetapkan.
Analisis kecepatan mental responden kedua-dua kelompok dilakukan dengan
membandingkan rerata total jawaban sebelum dan sesudah meminum kopi seperti yang
ditunjukkan dalam Tabel 5.4.
Tabel 5.4. Analisis Rerata (±SD) Total Jawaban Responden Kelompok Kafein dan Kelompok Kontrol Sebelum (Pre) dan Sesudah (Pos) Minum Kopi
Pre Pos ∆ ∆% Nilai p
Kafein 15,7± 5,6 22,3± 8,0 6,6 42,0 0,000
Kontrol 21,5± 8,8 34,1± 12,4 12,6 58,6 0,000
∆ 5,8 11.8
∆% 36,9 52,9
Nilai p 0,004 0,000
Berdasarkan Tabel 5.4, kecepatan mental kelompok kafein kafein dalam melakukan
perhitungan meningkat sebanyak 42,0% sedangkan peningkatan kecepatan mental
kelompok kontrol adalah lebih tinggi yaitu sebanyak 58,6%.
Uji T Berpasangan digunakan untuk membandingkan rerata total jawaban sebelum
dan sesudah minum kopi untuk menilai apakah terdapat perbedaan yang signifikan di
dalam setiap kelompok. Ternyata hasil yang didapatkan pada kelompok kafein; t(28)=
[image:43.596.130.457.395.565.2]menunjukkan pemberian kopi decaffeinated turut memberikan peningkatan yang signifikan terhadap kecepatan mental responden.
Selain itu, peneliti ingin melihat apakah perbedaan kecepatan mental kelompok
kafein berbeda dengan kelompok kontrol. Berdasarkan Uji T Tidak Berpasangan,
terdapat perbedaan kecepatan yang signifikan antara kelompok kafein dan kontrol
sebelum minum kopi; t(54)= 2,981, P= 0,004 dan sesudah minum kopi; t(43,928)=
-4,197, P= 0,000.
.1. A alisis Ketepata e tal Kelo pok Kafei da Kelo pok Ko trol
Ketepata e tal erupaka pe ilaia fu gsi e tal se ara kualitatif yaitu kemampuan mental untuk melakukan perhitungan dengan akurat. Hal ini dinilai dengan
membandingkan jumlah jawaban yang benar dalam waktu 10 menit seperti yang
ditunjukkan dalam Tabel 5.5.
Tabel 5.5. Analisis Rerata (±SD) Jawaban Benar Kelompok Kafein dan Kelompok Kontrol Sebelum dan Sesudah Minum Kopi
Pre Pos ∆ ∆% Nilai p
Kafein 12,1± 4,9 19,3± 7,6 7,2 59,5 0,000
Kontrol 18,0± 9,8 30,2± 13,0 12,1 67,2 0,000
∆ 5,9 10,9
∆% 48,8 56,5
Nilai p 0,008 0,000
Berdasarkan Tabel 5.5, dapat dilihat ketepatan mental kelompok kafein meningkat
sebanyak 59,5% sedangkan peningkatan ketepatan mental kelompok kontrol adalah
[image:44.596.131.458.532.682.2]Berdasarkan Uji T Berpasangan, peningkatan ketepatan mental pada kelompok kafein sesudah minum kopi adalah signifikan dengan t(28)= -6,775, P< 0,000. Ketepatan mental
kelompok kontrol juga meningkat dengan signifikan berdasarkan nilai t(26)= -7,493, P<
0,000.
Sebelum pemberian kopi, terdapat perbedaan ketepatan mental yang signifikan
antar kelompok kafein dan kontrol; t(37,781)= -2,815, P= 0,008. Ketepatan mental antar
keduadua kelompok ini juga berbeda sesudah minum kopi dengan nilai t(41,446)=
-3,798, P= 0,000.
.1. A alisis Ki erja e tal Kelo pok Kafei da Kelompok Kontrol
Ki erja e tal erupaka pe ilaia prestasi e tal se ara kua titatif da kualitatif yang dicapai oleh responden dalam melaksanakan perhitungan. Hal ini dilihat dari
persentase skor; responden sebelum dan sesudah minum kopi.
Tabel 5.6 menunjukkan persentase skor kedua-dua kelompok kafein dan kontrol.
Tabel 5.6. Analisis Rerata (±SD) Persentase Skor Responden Kelompok Kafein dan Kelompok Kontrol Sebelum (Pre) dan Sesudah (Pos) Minum Kopi
Pre Pos ∆ ∆% Nilai p
Kafein 74,9± 21,6 86,1± 13,1 11,2 15,0 0,002
Kontrol 82,2± 20,2 89,2± 17,0 7,0 8,5 0,017
∆ 7,3 3,1
∆% 9,7 3,6
[image:45.596.132.455.535.693.2]Berdasarkan Tabel 5.6, kinerja mental kelompok kafein meningkat sebanyak 15,0%
sedangkan peningkatan pada kelompok kontrol hanyalah sebanyak 8,5%.
Uji T Berpasangan pada kelompok kafein; t(28)= -3,385, P< 0,002, menunjukkan
peningkatan kinerja mental yang signifikan. Pada kelompok kontrol, kinerja mental juga
meningkat dengan signifikan; t(26)= -2,561, P< 0,017.
Sebelum minum kopi, kinerja mental kelompok kafein tidak berbeda dengan
signifikan dari kelompok kontrol berdasarkan hasil Uji T Tidak Berpasangan; t(54)=
-1,309, P= 0,196. Sesudah minum kopi, kinerja mental antar kedua-dua kelompok juga
tidak berbeda dengan signifikan; t(54)= -0,758, P= 0,452.
5.2. Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh kafein terhadap fungsi kognitif
khususnya dalam kalangan golongan muda. Sebelum ini, penelitian telah membuktikan
bahwa konsumsi kafein memberikan efek positif yang signifikan terhadap prestasi
kognitif golongan berusia lanjut berdasarkan tes-tes kognitif yang dilakukan. Bila prestasi
mental menurun karena faktor tua, alkohol atau keletihan, kafein memberikan efek yang
lebih kuat melalui pelepasan neurotransmitter di jalur kolinergik sistem saraf pusat,
sehingga prestasi mental dapat meningkat (Johnson-Kozlow et al, 2002). Namun dalam
penelitian ini, responden yang dipilih adalah dari golongan muda yang berusia antara 19
sampai 22 tahun yang mempunyai fungsi kognitif yang optimum. Terdapat saran bahwa
efek cognitive enhancement sangat terbatas pada golongan muda karena kondisi mental yang sudah sedia optimum menyisakan sedikit ruang untuk perbaikan. Responden yang
dipilih adalah mahasiswa IPDA yang mempunyai tingkat edukasi yang setaraf sehingga
faktor variasi kecerdasan individu diharapkan tidak terlalu berpengaruh terhadap hasil
penelitian.
responden harus mengurangi nomor dua angka dari nomor empat angka secara mental.
Biarpun aspek kognitif utama yang diuji oleh tes ini adalah aspek perhitungan aritmetik,
namun tes ini juga mencakupi dimensi kognitif yang lain seperti memori kerja,
perhatian, visualisasi dan kewaspadaan sehingga dapat digunakan untuk menganalisis
fungsi kognitif responden secara umum.
Selain itu, dosis kafein dalam penelitian ini tidak diukur secara langsung di laboratorium.
Sebaliknya, peneliti menggunakan minuman kopi merek NESCAFÉ® Classic dan
NESCAFÉ® Decaf yang tidak menyatakan dosis kafein pada labelnya. Namun berdasarkan International Coffee Organization di Inggris, rentang kafein adalah 40 sampai 180 mg per 150 ml untuk kopi berkafein dan kopi decaffeinated mempunyai kira-kira 3 mg per 150 ml. Peneliti mengassumsi minuman kopi yang digunakan mengandung
dosis kafein seperti yang dinyatakan di atas. Selain itu, peneliti juga mengassumsi bahwa
semua responden berpuasa dari mengonsumsi semua sumber kafein 24 jam sebelum
tanggal penelitian karena kadar kafein dalam darah atau saliva responden tidak diukur.
Sebelum diberikan kopi, kelompok kontrol mencapai hasil yang lebih baik pada
mental serial subtraction berdasarkan rerata persentase skor yang lebih tinggi yaitu 82,2% (SD 20,2) berbanding kelompok kafein; 74,9% (SD 21,5). Perbedaan kinerja mental
antar kelompok sebelum diberikan kopi adalah tidak bermakna dengan nilai p= 0,196.
Namun demikian, bila diteliti total jawaban dan jawaban benar pada kedua-dua
kelompok di Tabel 4.4 dan Tabel 5.5, ternyata perbedaan antar kelompok adalah
signifikan untuk kecepatan mental (p=0,004) dan ketepatan mental (p=0,008). Hal ini
membuktikan bahwa fungsi kognitif kelompok kontrol adalah lebih baik berbanding
kelompok kafein karena mereka dapat melakukan lebih banyak perhitungan dalam
waktu 10 menit dan menghasilkan lebih banyak jawaban yang benar.
Sesudah diberikan minuman kopi, ternyata kelompok kafein mengalami
peningkatan kecepatan mental (p<0,000), ketepatan mental (p<0,000) dan kinerja
mental (p<0,002) yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian kafein dapat
meningkatkan prestasi mental dalam melakukan perhitungan. Namun demikian,
dan kinerja mental (p< 0,017) yang signifikan dalam kelompok kontrol meskipun tidak
mengonsumsi kafein.
Hal ini menimbulkan persoalan apakah selain zat kafein, terdapat faktor lain yang
mempengaruhi hasil penelitian ini dengan bermakna? Penjelasan yang mungkin adalah
terjadinya efek testing bias yang sulit dihindarkan dalam desain penelitian ini, di mana pajanan terhadap tes yang pertama menyebabkan hasil yang lebih baik pada tes yang
kedua. Selain itu, hasil mungkin dipengaruhi oleh peningkatan kadar glukosa otak
sesudah sarapan karena semua responden telah diberikan sarapan berupa nasi lemak
beberapa menit sebelum tes yang pertama dijalankan. Pada tes yang kedua, kedua-dua
kelompok memperoleh manfaat kognitif dari suplai glukosa yang mencukupi ke otak.
Selanjutnya, terdapat kemungkinan bahwa responden tidak mematuhi prosedur
penelitian dengan mengambil zat kafein sebelum tanggal eksperimen. Hal ini tidak
terdeteksi karena peneliti tidak mengukur kadar kafein dalam darah atau saliva
respoden sebelum melakukan eksperimen.
Terdapat faktor yang tidak dapat dikontrol oleh peneliti seperti faktor motivasi
responden dalam melakukan perhitungan dan faktor kecerdasan individu. Dalam
penelitian ini, terdapat kemungkinan respoden kelompok kontrol adalah lebih pintar
berbanding kelompok kafein, justeru lebih bermotivasi dalam melakukan perhitungan.
Seperti yang telah dinyatakan, hal ini didasarkan pada hasil ujian pretes di mana
kelompok kontrol mempunyai fungsi kognitif yang lebih baik dari kelompok kafein.
Maka, kelompok kontrol mungkin dapat mencapai hasil yang lebih baik pada tes mental serial subtraction karena fungsi kognitif mereka yang sudah sedia bagus.
Walaupun kecepatan dan ketepatan mental kelompok kontrol meningkat dengan
lebih signifikan dari kelompok kafein, peningkatan kinerja mental adalah lebih signifikan
pada kelompok kafein (p<0,002) berbanding kelompok kontrol (p<0,017). Hal ini
menunjukkan pemberian zat kafein mungkin memberikan efek positif terhadap
Penelitian sebelumnya untuk mengkaji efek kafein terhadap fungsi kognitif telah
memperoleh hasil yang tida