PERANAN RUMPUT LAUT (Gracilaria verrucosa) DALAM
MENJAGA KUALITAS AIR PADA KARAMBA JARING
APUNG KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus)
T E S I S
Oleh
KASTURI MARDI SUPRIHANTO
077004010/PSL
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2011
SE K
O L A
H
P A
S C
A S A R JA
N
PERANAN RUMPUT LAUT (Gracilaria verrucosa) DALAM
MENJAGA KUALITAS AIR PADA KARAMBA JARING
APUNG KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus)
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
KASTURI MARDI SUPRIHANTO
077004010/PSL
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : PERANAN RUMPUT LAUT (Gracilaria verrucosa)
DALAM MENJAGA KUALITAS AIR PADA
KARAMBA JARING APUNG KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus)
Nama Mahasiswa : Kasturi Mardi Suprihanto
Nomor Pokok : 077004010
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)
Menyetujui Komisi Pembimbing :
(Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S) Ketua
(Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc) Anggota
(Drs. Chairuddin, M.Sc) Anggota
Ketua Program Studi,
(Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S)
Direktur,
(Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)
Telah diuji pada
Tanggal: 17 Februari 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S
Anggota : 1. Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc
2. Drs. Chairuddin, M.Sc
3. Prof. Dr. Ir. Ternala A. Barus, M.Sc
PERANAN RUMPUT LAUT (Glacilaria verrucosa) DALAM MENJAGA KUALITAS AIR PADA KARAMBA JARING APUNG
KERAPU MACAN (Epineplhus fuscoguttatus)
ABSTRAK
Adanya penelitian ini diharapkan untuk mengetahui apakah dengan adanya rumput laut jenis (Gracilaria verrucosa) dapat berperan dalam menjaga kualitas air pada karamba jaring apung ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) terhadap parameter fisika dan kimia perairan budidaya yang pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup (survival rate) pada ikan budidaya. Penggunaan rumput laut (Gracilaria verrucosa) sebagai biofilter untuk menjaga kualitas air untuk budidaya ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) telah diteliti. Penelitian dilaksanakan dari 6 September 2010 sampai dengan 10 Nopember 2010 di tambak UD. Sundoro, Belawan, Sumatera Utara sedangkan penelitian kualitas air dilakukan di Laboratotium Pra Panen Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Utara. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif dengan membandingkan sifat fisika, kimia perairan tambak dan tingkat kelangsungan hidup dari ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) pada sistem budidaya monokultur (kontrol) dengan sistem budidaya polikultur (perlakuan). Adapun dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa pada parameter kekeruhan, kecerahan, oksigen terlarut, ammonia, nitrit, pH, fosfat dan besi berbeda nyata, sedangkan parameter suhu, Salinitas dan nitrat berbeda tidak nyata, selain itu juga rumput laut jenis Gracilaria verrucosa mengalami pertambahan berat sebesar 31,2 gram atau 31,2% selama 70 hari pemeliharaan dan rumput laut jenis Glacilaria verrucosa, penambahan kandungan nitrogen sebesar 0,04 ppm (36%), fosfor 0,05 ppm (25%), yang mempunyai arti bahwa rumput laut menggunakan nitrat, fosfat sebagai nutrien/ makanan untuk pertumbuhannya. Sedangkan tingkat kelangsungan hidup (survival rate) pada kontrol sebesar 55% dan pada perlakuan sebesar 72%. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa petak perlakuan lebih baik dan dapat menjaga kualitas air jika dibandingkan dengan petak kontrol baik dari aspek fisika air, kimia air maupun biologi (komoditas yang dibudidayakan).
THE ROLE OF SEAWEED (Gracilaria verrucosa) IN KEEPING THE WATER QUALITY IN THE FLOATING NET FISH RAISING OF THE TIGER
GROUPER (Epinephelus fuscoguttatus)
ABSTRACT
This research is expected to notice whether the seaweed of Gracilaria verrucosa can have a role in keeping the water quality in the floating net fish raising of tiger grouper of Epinephelus fuscoguttatus to physics and chemistry parameter of waters cultivationwhich finally will influence the survival rate on fish raised. The use of seaweed (Gracilaria verrucosa) as biofilter in maintaining water quality for fishery of tiger grouper (Epinephelus fuscoguttatus) has been studied. The research was carried out from September 6th, 2010 up to November 10th, 2010 in the fishpond of UD. Sundoro, Belawan, North Sumatra Province. Meanwhile, the study of water quality was done in Laboratory of Pra Panen Naval Service and Fishery of North Sumatra.The methodology of this research is descriptive and it compares the physic characteristics, chemical fishpond waters and the survival rate of the tiger grouper Epinephelus fuscoguttatus on the cultivation system of monoculture as a control and polyculture cultivation system as a treatment. From the result of the research, it can be comprehended that parameter of turbidity, brightness, dissolved oxygen, ammonia, nitrite, pH, fosfate, and iron, there is clear difference, meanwhile on the parameter of temperature, salinity, and nitrate, there is no clear difference, instead of that the Gracilaria verrucosa seaweed grows 31.2 grams or 31.2% during 70 days of treatment and Gracilaria verrucosa seaweed gets addition of nitrogen 0.04 ppm (36%) and fosfore 0.05 ppm (25%), which means that seaweed consumes nitrate and fosfate as nutrient for its growth, meanwhile the survival rate on the system of monoculture cultivation is 55% and on the polyculture cultivation is 72%. From this research, it can be concluded that polyculture cultivation system is better and it can keep the stability of water quality compared with monoculture cultivation system either from the aspects of physical water, chemical water or biology (commodity cultivated).
KATA PENGANTAR
Penulis senantiasa bersyukur kehadirat Allah SWT, atas selesainya tesis ini.
Selesainya tesis ini merupakan karunia bagi penulis melalui kerja keras, pengorbanan
dan dukungan doa, motivasi dan material dari berbagai pihak.
Oleh karenanya penulis menghaturkan terima kasih secara khusus kepada
yang terhormat Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS, Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc,
Drs. Chairuddin, M.Sc, yang telah banyak memberikan motivasi dan bimbingan
dalam penyusunan tesis ini dengan sabar dan bijaksana.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:
1. Direktur Sekolah Pascasarjana USU dan Ketua Program Bidang Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Universitas Sumatera Utara
Medan, yang telah berkenan menerima penulis untuk belajar di Program Studi
ini.
2. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Utara yang telah
memberikan rekomendasi tugas belajar;
3. Istri dan anak-anakku terkasih, Yunik Supiherti, Erynata Puja Dharmawan
Kasturi, Nikenada Wildha Oktavia Kasturi, Najwa Faranaiga Assyabina
Kasturi yang telah mendukung sepenuhnya, Ayahanda Almarhum S. Tuwuh
dan Ibunda tercinta Kasminah yang telah membesarkan ananda dengan penuh
perjuangan dan kesabaran yang tinggi serta Saudaraku di mana pun berada
yang terus memberikan motivasi demi selesainya tesis ini.
4. Bapak Efendi dan Sdr. Fredy serta rekan di tambak UD. Sundoro yang telah
berkenan menyediakan sarana dan prasarana sehingga penelitian dapat
terlaksana.
5. Rekan-rekan mahasiswa S2 Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam
6. Rekan-rekan pegawai Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Utara
dan berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Sekali lagi
penulis mengucapkan terima kasih.
Di dalam tesis ini penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak
kekurangan, meskipun telah diupayakan dengan cermat dan teliti. Oleh karena itu
penulis akan berterima kasih apabila pembaca berkenan memberi saran dan koreksi
membangun demi sempurnanya tesis ini.
Kendatipun disadari masih banyak kekurangan di dalam tesis ini penulis
sangat berharap semoga penelitian ini dapat memberikan tambahan pengetahuan dan
dapat bermanfaat.
Medan, Februari 2011
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Temanggung Jawa Tengah, pada tanggal 20 Maret 1964,
penulis merupakan anak ke 4 dari 7 bersaudara sebagai putera dari Ayahanda Alm. S.
Tuwuh dan Ibunda Kasminah. Penulis menikah dengan Yunik Supiherti dan telah
dikarunai 3 (tiga) orang anak.
Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis adalah sebagai berikut:
1. Tahun 1970-1975, menempuh pendidikan tingkat dasar di SD Negeri Tomang
Ancak Pagi, Jakarta Barat.
2. Tahun 1976 -1979, menempuh pendidikan tingkat pertama di SMP Negeri
XVI, Jakarta Selatan.
3. Tahun 1979-1982, menempuh pendidikan tingkat atas di SMA Negeri XXXII,
Jakarta Selatan.
4. Tahun 1983-1986, menempuh pendidikan D-III Perikanan di Akademi Usaha
Perikanan, Jakarta.
5. Tahun 1994-1995, menempuh Pendidikan D-IV Perikanan di Sekolah Tinggi
Perikanan, Jakarta.
6. Tahun 2007, memasuki Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.
Penulis pada tahun 1986-1989 bekerja pada PT. Bonecom di Sulawesi Selatan
pada Divisi Penelitian dan Pengembangan, pada tahun 1989 sampai dengan saat ini
sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera
DAFTAR ISI
2.1 Peranan Rumput Laut dalam Tambak dengan Sistem Polikultur ... 7
2.2 Biologi dan Taksonomi Rumput Laut... 8
2.3 Reproduksi Rumput Laut ... 10
2.4 Parameter Kualitas Air untuk Rumput Laut ... 11
2.5 Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) ... 13
2.6 Kualitas Air Bagi Kerapu Macan ... 15
III. METODOLOGI PENELITIAN ... 18
3.1 Tempat dan Waktu ... 18
3.1.1 Tempat ... 18
3.1.2 Waktu ... 18
3.1.3 Bahan dan Alat Penelitian ... 18
3.2.1 Prosedur Penelitian ... 20
3.2.1.1 Persiapan lahan ... 21
3.2.1.2 Penanaman rumput laut dan penebaran ikan Kerapu Macan ... 22
3.2.1.3 Operasional budidaya ... 25
3.2.1.4 Monitoring kualitas air dan tingkat kelangsungan hidup ... 32
4.3.1 Penambahan Berat Rumput Laut (Gracilaria verrucosa) ... 56
4.3.2 Kandungan Nitrogen dalam Rumput Laut ... 57
4.3.3 Kandungan Fosfor dalam Rumput Laut ... 58
4.3.4 Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) ... 59
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 62
5.1 Kesimpulan ... 62
5.2 Saran ... 63
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1. Bahan dan Alat Penelitian Sesuai Jenis Parameter Kualitas Air ... 19
2. Jenis-Jenis Ikan Rucah yang Diberikan pada Benih ... 27
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
1. Kerangka Pikir Penelitian ... 6
2. Gracilaria verrucosa ... 9
3. Bentuk Tubuh (Morfologi) Ikan Kerapu Macan ... 15
4. Persiapan Bibit Gracilaria verrucosa Sebagai Bahan Uji ... 20
5. Pengikatan Gracilaria verrucosa pada Tali Ris di Lahan Tambak ... 23
6. Pengukuran Benih Ikan Kerapu Macan Sebelum Ditebar... 24
7. Penghitungan dan Penebaran Bibit Ikan Kerapu Macan ... 24
8. Penebaran Benih Ikan Kerapu Macan ... 25
9. Proses Aklimatisasi ... 26
10. Ikan Rucah Sebagai Pakan ... 28
11. Perendaman dengan Air Laut yang Dicampur dengan Prefuran ... 31
12. Pengukuran pH Tanah. ... 32
13. Ukuran Panen Ikan Kerapu Macan ... 33
14. Fluktuasi Suhu pada Kolam Pengamatan Budidaya ... 36
15. Fluktuasi Kekeruhan pada Kolam Pengamatan Budidaya ... 38
16. Fluktuasi Kecerahan pada Kolam Pengamatan Budidaya ... 40
17. Fluktuasi Oksigen Terlarut pada Kolam Pengamatan Budidaya ... 41
18. Fluktuasi Ammonia pada Kolam Pengamatan Budidaya ... 43
20. Fluktuasi Nitrat pada Kolam Pengamatan Budidaya ... 48
21. Fluktuasi pH pada Kolam Pengamatan Budidaya ... 50
22. Fluktuasi Salinitas pada Kolam Pengamatan Budidaya ... 52
23. Fluktuasi Fosfat pada Kolam Pengamatan Budidaya ... 53
24. Fluktuasi Kandungan Besi pada Kolam Pengamatan Budidaya ... 55
25. Pertambahan Berat Rumput Laut Gracilaria verrucosa ... 57
26. Fluktuasi Kandungan Nitrat dalam Perairan dan Nitrogen dalam Rumput Laut ... 58
27. Fluktuasi Kandungan Fosfat dalam Perairan dan Fosfor dalam Rumput Laut ... 59
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Denah Lokasi Penelitian UD. Sundoro Belawan ... 68
2. a. Sumber Air Masuk
b. dan Saluran Air Buang ... 69
3. a. Pembersihan Keramba Jaring Apung
b. Penjemuran Keramba Jaring Apung ... 70
4. a. Benih Ikan Kerapu Macan Siap
b. Ikan Kerapu Macan Siap Ekspor ... 71
5. a. Palkah Sebagai Wadah Pengangkutan Ikan
b. Kapal Pengangkutan Benih Ikan Kerapu Macan ... 72
6. Hasil Analisis Parameter Suhu pada Petak Kontrol
dan Petak Perlakuan ... 73
7. Hasil Uji Statistik Parameter Suhu ... 74
8. Hasil Analisis Parameter Kekeruhan pada Petak Kontrol
dan Petak Perlakuan ... 75
9. Hasil Uji Statistik Parameter Kekeruhan ... 76
10. Hasil Analisis Parameter Kecerahan pada Petak Kontrol
dan Petak Perlakuan ... 77
11. Hasil Uji Statistik Parameter Kecerahan ... 78
12. Hasil Analisis Parameter Oksigen Terlarut pada Petak Kontrol
dan Petak Perlakuan ... 79
13. Hasil Uji Statistik Parameter Oksigen Terlarut ... 80
14. Hasil Analisis Parameter Ammonia pada Petak Kontrol
15. Hasil Uji Statistik Parameter Ammonia ... 82
16. Hasil Analisis Parameter Nitrit pada Petak Kontrol
dan Petak Perlakuan ... 83
17. Hasil Uji Statistik Parameter Nitrit ... 84
18. Hasil Analisis Parameter Nitrat pada Petak Kontrol
dan Petak Perlakuan ... 85
19. Hasil Uji Statistik Parameter Nitrat ... 86
20. Hasil Analisis Parameter pH pada Petak Kontrol
dan Petak Perlakuan ... 87
21. Hasil Uji Statistik Parameter pH ... 88
22. Hasil Analisis Parameter Salinitas pada Petak Kontrol
dan Petak Perlakuan ... 89
23. Hasil Uji Statistik Parameter Salinitas ... 90
24. Hasil Analisis Parameter Fosfat pada Petak Kontrol
dan Petak Perlakuan ... 91
25. Hasil Uji Statistik Parameter Fosfat ... 92
26. Hasil Analisis Parameter Besi pada Petak Kontrol
dan Petak Perlakuan ... 93
27. Hasil Uji Statistik Kandungan Parameter Besi ... 94
28. Data Pertumbuhan Rumput Laut (Gracilaria verrucosa) ... 95
29. Hasil Analisis Kandungan Nitrogen pada
Rumput Laut (Gracilaria verrucosa) ... 96
30. Hasil Analisis Kandungan Fosfor pada
PERANAN RUMPUT LAUT (Glacilaria verrucosa) DALAM MENJAGA KUALITAS AIR PADA KARAMBA JARING APUNG
KERAPU MACAN (Epineplhus fuscoguttatus)
ABSTRAK
Adanya penelitian ini diharapkan untuk mengetahui apakah dengan adanya rumput laut jenis (Gracilaria verrucosa) dapat berperan dalam menjaga kualitas air pada karamba jaring apung ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) terhadap parameter fisika dan kimia perairan budidaya yang pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup (survival rate) pada ikan budidaya. Penggunaan rumput laut (Gracilaria verrucosa) sebagai biofilter untuk menjaga kualitas air untuk budidaya ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) telah diteliti. Penelitian dilaksanakan dari 6 September 2010 sampai dengan 10 Nopember 2010 di tambak UD. Sundoro, Belawan, Sumatera Utara sedangkan penelitian kualitas air dilakukan di Laboratotium Pra Panen Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Utara. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif dengan membandingkan sifat fisika, kimia perairan tambak dan tingkat kelangsungan hidup dari ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) pada sistem budidaya monokultur (kontrol) dengan sistem budidaya polikultur (perlakuan). Adapun dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa pada parameter kekeruhan, kecerahan, oksigen terlarut, ammonia, nitrit, pH, fosfat dan besi berbeda nyata, sedangkan parameter suhu, Salinitas dan nitrat berbeda tidak nyata, selain itu juga rumput laut jenis Gracilaria verrucosa mengalami pertambahan berat sebesar 31,2 gram atau 31,2% selama 70 hari pemeliharaan dan rumput laut jenis Glacilaria verrucosa, penambahan kandungan nitrogen sebesar 0,04 ppm (36%), fosfor 0,05 ppm (25%), yang mempunyai arti bahwa rumput laut menggunakan nitrat, fosfat sebagai nutrien/ makanan untuk pertumbuhannya. Sedangkan tingkat kelangsungan hidup (survival rate) pada kontrol sebesar 55% dan pada perlakuan sebesar 72%. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa petak perlakuan lebih baik dan dapat menjaga kualitas air jika dibandingkan dengan petak kontrol baik dari aspek fisika air, kimia air maupun biologi (komoditas yang dibudidayakan).
THE ROLE OF SEAWEED (Gracilaria verrucosa) IN KEEPING THE WATER QUALITY IN THE FLOATING NET FISH RAISING OF THE TIGER
GROUPER (Epinephelus fuscoguttatus)
ABSTRACT
This research is expected to notice whether the seaweed of Gracilaria verrucosa can have a role in keeping the water quality in the floating net fish raising of tiger grouper of Epinephelus fuscoguttatus to physics and chemistry parameter of waters cultivationwhich finally will influence the survival rate on fish raised. The use of seaweed (Gracilaria verrucosa) as biofilter in maintaining water quality for fishery of tiger grouper (Epinephelus fuscoguttatus) has been studied. The research was carried out from September 6th, 2010 up to November 10th, 2010 in the fishpond of UD. Sundoro, Belawan, North Sumatra Province. Meanwhile, the study of water quality was done in Laboratory of Pra Panen Naval Service and Fishery of North Sumatra.The methodology of this research is descriptive and it compares the physic characteristics, chemical fishpond waters and the survival rate of the tiger grouper Epinephelus fuscoguttatus on the cultivation system of monoculture as a control and polyculture cultivation system as a treatment. From the result of the research, it can be comprehended that parameter of turbidity, brightness, dissolved oxygen, ammonia, nitrite, pH, fosfate, and iron, there is clear difference, meanwhile on the parameter of temperature, salinity, and nitrate, there is no clear difference, instead of that the Gracilaria verrucosa seaweed grows 31.2 grams or 31.2% during 70 days of treatment and Gracilaria verrucosa seaweed gets addition of nitrogen 0.04 ppm (36%) and fosfore 0.05 ppm (25%), which means that seaweed consumes nitrate and fosfate as nutrient for its growth, meanwhile the survival rate on the system of monoculture cultivation is 55% and on the polyculture cultivation is 72%. From this research, it can be concluded that polyculture cultivation system is better and it can keep the stability of water quality compared with monoculture cultivation system either from the aspects of physical water, chemical water or biology (commodity cultivated).
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di Indonesia hasil dari sektor budidaya baik udang maupun ikan telah
memberikan konstribusi yang signifikan pada industri perikanan secara keseluruhan
dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2007 (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya,
2008) dan Menteri Kelautan dan Perikanan pada permulaan tahun 2010 telah
mencanangkan program peningkatan produksi dari sektor budidaya sebesar 353%
sampai dengan tahun 2014. Adapun produksi budidaya ikan Kerapu Macan
(Epinephelus fuscoguttatus), di Sumatera Utara mampu mengekspor benih ikan
Kerapu Macan ukuran 5 inchi sebesar 12.783.144 ekor pada tahun 2008, 4.695.000
ekor pada tahun 2009 dan 4.329.920 ekor ekspor sampai dengan 2 Desember 2010
(Departemen Kalautan dan Perikanan, Balai Karantina Ikan Polonia Medan, 2009)
maupun ekspor ukuran ikan konsumsi (di atas 500 Gram) sebesar 1.422,1 ton pada
tahun 2008, 975,6 ton pada tahun 2009 dan 912,1 ton ekspor sampai dengan
September 2010 (Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Sumatera Utara, 2009).
Budidaya perairan merupakan bentuk pembudidayaan organisme air termasuk
ikan, udang, kerang, kepiting dan tumbuhan air (FAO, 1991). Pada dasarnya
budidaya cenderung menguasai ekosistem perairan agar memperoleh produksi yang
lebih tinggi dengan menerapkan teknologi dan pengelolaannya secara terkontrol.
tradisional, semi intensif dan intensif (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya,
2003).
Secara umum budidaya perairan dilakukan melalui ekosistem buatan manusia
“Satuan Budidaya” yang biasanya terdiri dari komponen biotik dan abiotik.
Komponen biotik terdiri dari ikan dan udang yang dibudidayakan, organisme
plankton, organisme lain yang hidup didalam air seperti: parasit, kompetititor,
predator dan mikroba, sedangkan komponen abiotik terdiri dari bahan kimia dan
fisika baik dari tanah maupun air sebagai media pembudidayaan. Seluruh komponen
ekosistem pembudidayaan baik biotik maupun abiotik memberikan fungsi ekoligis
dan hubungan satu sama lain.
Kegiatan budidaya ikan/udang sudah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia
sejak tahun 60an, kemudian berkembang dan menjadi primadona pada era tahun
80an. Berkembangnya teknologi budidaya ikan/udang dari sistem tradisional menjadi
sistem intensif bahkan super intensif mampu meningkatkan produksi, tetapi tanpa
disadari juga merupakan bencana bagi kegiatan budidaya itu sendiri. Terbukti sejak
tahun 90an budidaya ikan/udang mulai mengalami kegagalan demi kegagalan dengan
berkurangnya fungsi imun terhadap penyakit, penurunan pembiakan dan peningkatan
kematian pada biota budidaya sehingga mengakibatkan rendahnya volume panen.
Jika disimak lebih dalam maka kegagalan tersebut disebabkan oleh terbatasnya daya
tampung alam atau lingkungan budidaya untuk menampung beban limbah yang
Kegiatan internal budidaya inilah yang sering kali terlupakan oleh para
praktisi (pembudidaya) padahal dalam sistem teknologi intensif/super intensif
memerlukan input produksi yang sangat tinggi, seperti padat tebar tinggi, pakan
tambahan, pupuk, obat-obatan dan lain-lain. Oleh karena itu pembudidaya seharusnya
selalu memperhatikan dan memperhitungkan daya dukung lahan dan daya tampung
lingkungan agar usaha budidaya ikan dapat berkelanjutan.
Selama ini limbah yang dihasilkan pada kegiatan operasional budidaya
tambak selalu dibuang langsung ke badan air penerima tanpa melalui pengolahan
terlebih dahulu. Padahal dalam kegiatan operasional budidaya terdapat kandungan
bahan organik yang sangat tinggi. Tingginya bahan organik ini terutama dihasilkan
oleh pakan ikan udang yang tidak termakan (uneaten feed) berkisar antara 30-40%
dan hasil ekskresi ikan/udang itu sendiri. Dengan sistem pembuangan air seperti ini,
dapat diprediksi tingginya nilai BOD pada saluran efluent dan berdampak nyata pada
kualitas perairan badan air penerima. dan akan menyebabkan penurunan kualitas
linkungan baik di kolam/tambak sebagai media budidaya maupun di lingkungan
sekitarnya. Hal ini disebabkan limbah air dari sistem pembudidayaan mengalir
langsung ke perairan badan air penerima.
Sejalan dengan tuntutan dunia, melalui gerakan ekolabel (keamanan terhadap
lingkungan dan keamanan makanan) pada produk budidaya ikan/udang, kemudian
pencapaian keberlanjutan produk (sustainable aquaculture) dan gerakan budidaya
ikan/udang berwawasan lingkungan dengan melakukan teknologi yang ramah dan
pembudidaya tambak memikirkan kembali tentang sistem pengelolaan limbah tambak
ikan/udang yang dapat berdampak negatif terhadap kualitas perairan.
Salah satu upaya untuk mengatasi besarnya limbah buangan tambak adalah
penggunaan sistem polikultur antara ikan/udang (Jones, 1999) dan organisme yang
umumnya dikembangkan di air payau adalah biota budidaya (ikan/udang), tanaman
air (ganggang laut), kerang. Tanaman air yang umum digunakan adalah rumput laut
(makro alga) baik Eucheuma spp maupun Gracilaria spp. Oleh karena itu, dengan
menerapkan teknologi budidaya yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan,
sistem budidaya polikultur oleh pembudidaya ikan baik tradisional maupun intensif
dengan menggunakan organisme penyaring (rumput laut) salah satu teknologi yang
menjanjikan, selain akan berdampak ekonomi melalui peningkatan produksi panen.
Rumput laut yang ditanam dapat berfungsi sebagai biofilter yang dapat
menyerap bahan organik/nutrient yang dihasilkan dari sisa-sisa pakan maupun proses
metabolisme biota air tambak serta rumput laut dapat sebagai hasil sampingan secara
ekonomi. Dalam rangka menciptakan tambak ramah lingkungan yang berkelanjutan
dan upaya meminimasi limbah proses budidaya tambak, maka penulis tertarik untuk
meneliti peranan rumput laut (Gracilaria verrucosa) pada kestabilan kualitas air dan
tingkat kehidupan Kerapu Macan dalam karamba jaring apung di tambak. Lebih
lanjut sistem pembudidaya dengan sistem polikultur mempunyai nilai lebih didalam
mengurangi polusi bahan organik dan anorganik serta secara ekonomis dapat
menghasilkan pendapatan tambahan dari organisme sekunder bahkan tersier yang
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan berbagai
permasalahan tentang fungsi ekologis penggunaan rumput laut dalam pembesaran
ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) sebagai berikut:
a. Apakah terdapat perbedaan kualitas air di tambak yang menggunakan rumput
laut (perlakuan) dengan yang tidak menggunakan rumput laut (kontrol)?
b. Bagaimana hubungan antara keberadaan rumput laut (perlakuan) dengan tingkat
kehidupan ikan Kerapu Macan di tambak?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Mengetahui perbedaan kualitas air di tambak yang menggunakan rumput laut
(perlakuan) dengan yang tidak menggunakan rumput laut (kontrol).
b.Mengkaji hubungan antara keberadaan rumput laut (perlakuan) dengan tingkat
kehidupan (survival rate) ikan Kerapu Macan di tambak.
1.4 Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
a. Terdapat perbedaan kualitas air di tambak yang menggunakan rumput laut
(perlakuan) dengan yang tidak menggunakan rumput laut (kontrol).
b. Keberadaan rumput laut (perlakuan) mampu meningkatkan tingkat kehidupan
1.5 Kerangka Pikir Penelitian
Kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini:
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian
1.6 Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:
a. Terciptanya tambak yang ramah lingkungan dan usaha yang berkelanjutan.
b. Berkurangnya limbah dari proses kegiatan budidaya tambak ikan Kerapu
Macan.
PENGGUNAAN RUMPUT LAUT SEBAGAI BIOFILTER
SUSTAINABILITY TRACE ABILITY
FOOD SAFETY
PENGELOLAANKUALITAS AIR
MEMINIMALISASI LIMBAH BUDIDAYA PENGELOLAAN PAKAN
ISU PRODUKSI BUDIDAYA TAMBAK
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Peranan Rumput Laut dalam Tambak dengan Sistem Polikultur
Menurut Djajadiredja dan Yunus dalam Ditjen Perikanan Budidaya (2005),
budidaya Gracillaria verrucosa, dan jenis rumput laut lainnya, dapat dilakukan
secara monokultur dan polikultur bersama ikan (finfish) di tambak. Dengan
menggunakan sistem budidaya polikultur dapat meningkatkan efisiensi penggunaan
lahan tambak dan pendapatan pembudidaya secara berkesinambungan. Budidaya ini
didasari atas prinsip keseimbangan alam. Rumput laut berfungsi sebagai penghasil
oksigen dan tempat berlindung bagi ikan-ikan dan udang dari predator dan sebagai
biological filter. Ikan dan udang membuang kotoran yang dapat dipakai sebagai
nutrien oleh rumput laut. Rumput laut menyerap CO2 terlarut hasil pernapasan ikan
dan udang. Secara umum, kehadiran rumput laut dalam tambak udang/bandeng
berdampak positif.
Selain itu juga menurut Izzati (2004), rumput laut merupakan salah satu
komoditas perikanan yang juga berperan sebagai biofilter, karena dalam
pertumbuhannya rumput laut menyerap nutrien (amonia, nitrat, dan nitrit) dari media
perairan secara difusi melalui dinding thallusnya. Fungsi biofilter pada kawasan
tambak sangat diperlukan terutama yang sumber airnya sangat keruh karena lumpur
atau partikel lainnya. Kegiatan budidaya yang menggunakan biofiltrasi, kandungan
bahan organik dan amonia di dalam petak pemeliharaan relatif lebih rendah
biofiltrasi. Hal ini disebabkan karena rumput laut mampu menyerap ion-ion amonia,
nitrat dan phospat. Selain itu rumput laut juga mempunyai kemampuan mengabsorbsi
unsur atau senyawa lainnya seperti logam berat. Dijelaskan pula oleh Supito et al.,
(2005) dalam Ditjen Perikanan Budidaya (2005), bahwa rumput laut sebagai
tumbuhan air dapat menyerap degradasi bahan organik air yang akan diperlukan
untuk pertumbuhan, sehingga mengurangi resiko meningkatnya bahan organik air
yang akan dipergunakan untuk memelihara Udang Windu.
2.2 Biologi dan Taksonomi Rumput Laut
Salah satu sistem pengenalan suatu organisme adalah penamaan yang lebih
dikenal dengan istilah taksonomi. Makrofitobentik merupakan sekumpulan tumbuhan
alga yang hidup di perairan laut yang termasuk 3 divisio (filum), yaitu Rhodophyta,
Chlorophyta, dan Phaeophyta. Urutan-urutan tingkat taksonomi dari pada algae
menggunakan suatu aturan yang berlaku dan umum dipakai berdasarkan“The
International Code of Botanical Nomenclatur” (Utrech, 1952).
Gracillaria verrucosa (Gambar 2) merupakan algae bentik yaitu algae yang
tumbuh menancap atau melekat pada subtrat. Bentuk thallus menyerupai silinder,
licin, berwarna coklat atau kuning hijau, percabangan tidak beraturan, memusat
di bagian pangkal, cabang-cabang lateral memanjang menyerupai rambut dengan
Rumput laut Gr
Gracilaria verrucosa. dapat diklasifikasikan
ai berikut:
sainosum tetapi tidak
dengan batang-batang
bang-cabang pertama
kearah datangnya sinar matahari. Cabang-cabang ada yang memanjang dan
melengkung (Ditjenkanbud, 2005).
2.3 Reproduksi Rumput Laut
Rumput laut mempunyai dua bentuk umum reproduksi, yaitu aseksual dan
seksual. Produksi aseksual berupa pembentukan individu baru melalui perkembangan
verrucosaora dan fragmentasi. Pembiakan dengan verrucosaora berupa gametatif
tetraverrucosaora yang dihasilkan tetraverrucosaorofit. Tipe pembiakan ini terdapat
pada kebanyakan rumput laut merah. Pada rumput laut multiselular (bersel banyak)
atau digolongkan makroalgae, seperti Eucheuma, Gracillaria, Enteromorpha,
Gelidium dan lain-lain, potongan thallus-nya mempunyai kemampuan untuk
berkembang meneruskan pertumbuhan selanjutnya (Yulianda, 2003). Menurut Aslan
(1991) pada tanaman rumput laut dikenal tiga macam pola reproduksi, yaitu:
Reproduksi generatif (seksual), reproduksi Vegetatif (aseksual).
Reproduksi secara vegetasi menurut Meiyana et al., (2001), proses
perbanyakan secara vegetatif berlangsung tanpa melalui perkawin an, setiap bagian
cabang rumput laut yang dipotong akan tumbuh menjadi tanaman rumput laut yang
mempunyai sifat seperti induknya, atau perkembangbiakannya bisa dilakukan dengan
cara menstek cabang tanaman dengan syarat, potongan cabang-cabang rumput laut
tersebut merupakan thallus yang muda, masih segar, berwarna cerah dan mempunyai
percabangan yang banyak, tidak tercampur lumut atau kotoran, serta bebas atau
verrucosa, umumnya dilakukan dengan penyetekan (pemotongan thallus) yang
nantinya digunakan sebagai bibit untuk dikembangbiakan secara produktif.
Rumpunan thallus algae dipotong dengan ukuran 30-150 g, untuk dijadikan bibit stek
ini ditanam dengan mengikat pada tali-tali nilon atau pada tali utama (ris) di atas
perairan dengan jarak tertentu. Pertumbuhan dapat dilihat dengan bertambah besarnya
berat bibit tanaman rumput laut yang ditanam tersebut. Cepat atau lambat
pertumbuhannya tergantung dari jenis rumput laut yang dibudidaya dan mutu
lingkungan perairan tersebut.
2.4 Parameter Kualitas Air untuk Rumput Laut
a. Suhu
Rumput laut memerlukan sinar matahari untuk proses fotosintesis, karena itu
rumput laut hanya dapat tumbuh pada perairan dengan kedalaman tertentu di mana
sinar matahari dapat sampai ke dasar perairan. Puncak laju fotosintesis terjadi pada
intensitas cahaya yang tinggi dengan suhu antara 20-28 ºC, namun masih ditemukan
tumbuh pada suhu 31 ºC (Ismail, et al., 2002).
b. pH
Dalam memilih lokasi untuk budidaya Gracillaria verrucosa, harus
memperhatikan faktor biologis, fisika dan kimiawi. Salah satu faktor kimiawi tersebut
adalah pH sedangkan pH air yang optimal untuk pertumbuhan rumput laut adalah 7-8
c. Kedalaman Air
Kedalaman perairan yang baik untuk budidaya rumput laut Gracilaria
verrucosa, adalah 0,5-1,0 m pada waktu surut terendah (lokasi yang berarus
kencang), untuk metode lepas dasar, dan 2-15 m untuk metode rakit apung, 5-20 m
untuk metode long line dan sistem jalur. Kondisi ini untuk menghindari rumput laut
mengalami kekeringan dan mengoptimalkan perolehan sinar matahari (Ditjenkanbud,
2006).
d. Kecerahan
Cahaya matahari adalah merupakan sumber energi dalam proses fotosintesis.
Dalam proses fotosintesis terjadi pembentukan bahan organik yang diperlukan bagi
pertumbuhan dan perkembangan yang normal. Kecerahan perairan berhubungan erat
dengan penetrasi cahaya matahari. Kecerahan perairan yang ideal lebih dari 1 m. Air
yang keruh (biasanya mengandung lumpur) dapat menghalangi tembusnya cahaya
matahari di dalam air sehingga proses fotosintesis menjadi terganggu. Di samping itu
kotoran dapat menutupi permukaan thallus dan menyebabkan thallus tersebut
membusuk dan patah. Secara keseluruhan kondisi ini akan mengganggu pertumbuhan
dan perkembangan rumput laut (Ditjenkanbud, 2006).
e. Salinitas
Rumput laut Gracilaria verrucosa, adalah rumput laut yang bersifat
stenohaline. Ia tidak tahan terhadap fluktuasi salinitas yang tinggi. Salinitas yang baik
memperoleh perairan dengan kondisi salinitas tersebut harus dihindari lokasi yang
berdekatan dengan muara sungai (Ditjenkanbud, 2006).
f. Kecepatan Arus
Menurut Ditjenkanbud (2006), rumput laut merupakan organisme yang
memperoleh makanan melalui aliran air yang melewatinya. Nitrat (NO3) adalah
bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi
pertumbuhan rumput laut. Nitrat nitrogen sangat mudah larut dalam air dan bersifat
stabil (Effendi, 2003). Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi amonia menjadi
nitrit dan nitrat adalah proses yang penting dalam siklus nitrogen dan berlangsung
dalam kondisi aerob. Oksidasi ammonia menjadi nitrit dilakukan oleh bakteri
Nitrosomonas, sedangkan oksidasi nitrit menjadi nitrat dilakukan oleh bakteri
Nitrobacter. Kedua jenis bakteri tersebut merupakan bakteri kemotrofik, yaitu bakteri
yang mendapatkan energi dari proses kimiawi. Nitrat dan amonium adalah sumber
utama nitrogen di perairan. Namun amonium lebih disukai oleh tumbuhan. Kadar
nitrat-nitrogen pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1 mg/liter.
Gerakan air yang cukup akan menghindari terkumpulnya kotoran pada thallus,
membantu pengudaraan, dan mencegah adanya fluktuasi yang besar terhadap salinitas
maupun suhu air. Arus dapat disebabkan oleh arus pasang surut, maupun karena
angin dan ombak. Besarnya kecepatan arus yang baik antara 20-40 cm/detik.
Indikator suatu lokasi yang memiliki arus yang baik adanya tumbuhan karang lunak
2.5 Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)
Penyebaran kerapu macan terbesar saat sekarang ini adalah Malaysia dengan
asal benih dari Indonesia. Pasokan dari wilayah Sumatera Utara sendiri bisa mencapai
sekitar lima belas juta ekor benih per tahun (Sisterkarolin, 2008). Sedangkan untuk
ekverrucosaor ikan Kerapu ukuran konsumsi negara tujuan yang selama ini sebagai
pasar adalah Hongkong, Jepang, Singapura, Malaysia, China.
Menurut Randall (1962) dalam Evalawati et al., (2001), klasifikasi ikan
kerapu macan adalah sebagai berikut:
Phylum : Chordata
Sub phylum : Vertebrata
Class : Osteichtyes
Sub class : Actinopterigi
Ordo : Percomorphi
Sub ordo : Percoidea
Family : Serranidae
Genus : Epinephelus
Species : Epinephelus fuscoguttatus
Kerapu Macan (Gambar 3) memiliki sirip dorsal (punggung), sirip anal
(perut), sirip pektorial (sirip dada), sirip garis literal (gurat sisi) dan sirip caudal
(ekor). Sirip dorsal memanjang hampir sepanjang bagian punggung, di mana jari-jari
kerasnya memiliki jumlah yang sama dengan jari-jari lunaknya. Jumlah jari-jari
di sirip ekor adalah 15-17 buah dan bercabang dengan jumlah 13-15 buah. Sisik yang
menutupi seluruh permukaan tubuh terbentuk kecil, mengikat dengan bentuk sikloid.
Warna dasar Kerapu Macan adalah coklat, dengan perut berwarna putih serta bercak
hitam dan putih di sekujur tubuh yang tidak beraturan (Sudradjat, 2008).
Gambar 3. Bentuk Tubuh (Morfologi) Ikan Kerapu Macan
Ikan ini termasuk ikan pemakan aktif dan sensitif terhadap perubahan kualitas
air yang fluktuatif, perlu cahaya tetapi tidak langsung dari matahari, hidup di daerah
karang, berenang di dasar air dengan temperatur optimal 260 C, panjang rata-rata
maksimal 90 cm (Burgess et al., 1990).
Penyebaran Kerapu Macan di Indonesia untuk pembenihan terbesar adalah
di Bali dan Lampung. Wilayah lain seperti Aceh, Batam, Sulawesi Selatan dan
Sumatera Utara adalah merupakan tempat penggelondongan, sedangkan Sumatera
Utara telah berhasil melakukan penggelondongan dengan ukuran 6-8 inci (Diskanla
2.5 Kualitas Air Bagi Kerapu Macan
Menurut Chua dan Teng (1978), kualitas perairan yang optimal untuk
pertumbuhan ikan Kerapu, seperti suhu berkisar antara 24 - 31ºC, salinitas antara
30-33 ppt, oksigen terlarut > 3,5 ppm dan pH berkisar antara 7,8 - 8,0. Sementara itu
Suprakto dan Fahlivi (2007) melaporkan kualitas air pada lokasi budidaya, yaitu
kecepatan arus 15-30 cm/detik, suhu 27-29ºC, salinitas 30-33 ppt, pH 8,0-8,2,
oksigen >5 ppm dan kedalaman > 5 m. Kualitas perairan pada lokasi penangkapan
di Tanimbar Utara, yaitu suhu 27,00-29,62 ºC, salinitas 34,259-34,351 ppt, oksigen
terlarut 3,95-4,28 ml/l, nitrat 1,00-6,00 ìg.at/l dan fosfat berkisar 0,80-1,40 ìg.at/l
(Langkosono, et al., 2003). Parameter ekologis yang cocok untuk pertumbuhan ikan
kerapu, seperti suhu berkisar antara 24-31 º C, salinitas 30-33 ppt, oksigen terlarut >
4,9 ppm, pH antara 7,8-8,0 (Yoshimitsu, et al.,1986).
Menurut Anggadiredja, et al., (2006), dari beberapa jenis marga Gracillaria,
seperti Gracillaria chorda, G.tenuis tipitata, G.edulis, G.verrucosa, G. compressa,
dan G. gigasi, jenis yang paling menonjol yaitu G. verrucosa karena kemampuannya
beradaptasi dengan kisaran kondisi ekologis yang lebar di tambak, dan laju
pertumbuhannya yang tinggi. Menurut Izzati (2004), Gracilaria verrucosa dapat
meningkatkan kualitas air tambak dan produktivitas budidaya. Dikemukakan pula
oleh Bagarinao (1984) dalam Ditjenkanbud (2005), keuntungan ekologis yang
diperoleh dari beberapa sifat biologis biota polikultur tersebut akan dapat
memperbaiki kualitas lingkungan tambak. Salah satunya adalah rumput laut dapat
dari degradasi bahan organik, sehingga mengurangi resiko terjadinya eutrofikasi
akibat penguraian bahan organik yang kurang sempurna.
Budidaya sistem polikultur juga telah dibuktikan oleh Chung, et al., (1997)
pada uji laboratorium, percobaan dengan akuarium (ikan dan sistem kultur
rumput laut) menunjukkan bahwa Gracilaria bisa mengurangi kandungan nutrien
secara efektif. Konsentrasi dari NH4+-N menurun dari 85.53% menjadi 69.45%, dan
konsentrasi dari PO4-P berkurang dari 65.97% menjadi 26.74% di aquaria dengan
Gracilaria setelah 23 hari dan 40 hari, berturut-turut. Hasil ini menunjukkan bahwa
Gracilaria mempunyai potensi untuk mereduksi kelebihan nutrien di kawasan pantai,
dan penanaman besar-besaran dari Gracilaria lemaneiformis merupakan cara yang
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu
3.1.1 Tempat
Penelitian dilaksanakan di lahan pertambakan milik UD. Sundoro di Desa
Paluh Nona Kec. Medan Belawan Sumatera Utara. Pengujian parameter fisika dan
kimia air dilakukan pada Laboratorium Pra Panen Dinas Kelautan dan Perikanan,
Provinsi Sumatera Utara.
3.1.2 Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 23 Agustus 2010 hingga tanggal 10
November 2010.
3.1.3. Bahan dan Alat Penelitian
Bahan dan alat yang digunakan dalam pengamatan adalah disesuaikan dengan
jenis parameter pengamatan. Pada Tabel 1 disajikan bahan dan alat untuk pengujian
Tabel 1. Bahan dan Alat Penelitian Sesuai Jenis Parameter Kualitas Air
1 Biota yang dibudidayakan
a. Pertumbuhan Rumput laut nitrogen dan fosfor
3.2 Metode Pengumpulan Data
Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah: (1) kualitas air
tambak; (2) Tingkat kehidupan ikan Kerapu Macan, dan (3) Pertumbuhan, kandungan
Gambar 4. Persiapan Bibit Gracilaria verrucosa Sebagai Bahan Uji
Metode yang digunakan dalam pengambilan sampel masing-masing data
tersebut akan diuraikan lebih lanjut pada sub bab. Namun secara umum untuk
pengukuran kualitas air aspek fisika, kimia dan biologi akan dilakukan pengukuran
per 5 (lima) hari selama penelitian berlangsung, sedangkan penghitungan tingkat
kelangsungan hidup (Survival Rate) ikan Kerapu Macan akan dilakukan
penghitungan pada awal dan akhir penelitian.
3.2.1 Prosedur Penelitian
Tahapan dari kegiatan penelitian ini meliputi: persiapan lahan, penanaman
rumput laut dan penebaran ikan, operasional budidaya, monitoring kualitas air dan
panen. Akan digunakan 2 tambak yang akan digunakan dalam penelitian ini. Satu
Macan dengan rumput laut, sedangkan 1 petak tambak lainnya digunakan petak
kontrol untuk penggelondongan ikan Kerapu Macan tanpa rumput laut.
3.2.1.1 Persiapan lahan
Persiapan lahan sangat diperlukan untuk menjaga kestabilan dari perubahan
(fluktuasi) parameter fisika dan kimia yang akan mengakibatkan ikan akan mudah
terserang penyakit yang pada akhirnya akan menimbulkan kematian ikan Kerapu
Macan yang dibudidayakan, adapun langkah-langkah yang dijalankan adalah sebagai
berikut:
a. Pembersihan dasar tambak (pencucian) perlakuan dengan cara pengambilan
lumpur yang mempunyai lumpur hitam dan menimbulkan bau yang menyengat
(kandungan H2S tinggi) yang disebabkan sisa pakan yang menumpuk di 4
(empat) sudut tambak sebagai tempat yang disukai oleh bakteri dan virus yang
merugikan budidaya.
b. Pengukuran pH tanah pada petak 3 (tiga) digunakan sebagai petak kontrol yang
menghasilkan rataan sebesar 6,3 dan petak 4 (empat) digunakan sebagai petak
perlakuan yang menghasilkan rataan sebesar 6,5 dari hasil tersebut dibutuhkan
kapur sebanyak 400 Kg untuk petak kontrol dan 300 Kg pada petak perlakuan
yang disebar secara merata keseluruh lahan tambak dan dilakukan penjemuran
lahan tambak sekitar 7 (tujuh) hari, hal ini dilakukan agar kapur dapat terikat
oleh tanah dan dapat menaikkan pH tanah pada petak kontrol maupun petak
c. Pemberantasan hama dan penyakit dengan cara pengisian air setinggi 5 Cm,
pemberian saponin sebanyak 50 Kg pada petakan budidaya untuk mematikan
hama ikan yang dapat sebagai pemangsa dan kompetitor pakan dari ikan
budidaya dan pemberian kaporit 65% sebanyak 10 ppm pada petakan budidaya
untuk menghindari penyaki berupa bakteri dan virus yang masih tertinggal pada
perairan budidaya.
d. Persiapan media perairan budidaya dengan cara pengisian air secara perlahan
setinggi 120 Cm, pemberian probiotik yang berisi bakteri yang menguntungkan
untuk budidaya seperti Bacillus licheniformis, Bacillus subtilis, Saccharomyces
cereviceea yang berfungsi sebagai pengurai bahan organik dari sisa pakan,
plankton yang mati dan kotoran dan dapat menekan bakteri Vibrio sp dalam
perairan budidaya dan bakteri Nitrosomonas, Nitrobacter yang dapat membantu
proses penguraian ammonia menjadi nitrat dan nitrit pada perairan budidaya,
e. Pemasangan karamba jaring apung sebanyak 40 (empat puluh) unit yang
mempunyai ukuran jaring 2,5 X 2,5X 4 meter pada masing-masing petakan dan
penanaman rumput laut dengan metode long line pada petak perlakuan sebagai
petakan yang digunakan sebagai budidaya dengan sistem polikultur.
3.2.1.2 Penanaman rumput laut dan penebaran ikan Kerapu Macan
Jenis rumput laut yang ditanam adalah Gracilaria verrucosa. Bibit Gracilaria
verrucosa yang ditanam, ditimbang seberat 100 gram dan diikatkan pada tali ris
dengan metode long line. Jarak tanam antar bibit adalah 50 cm, sedangkan jarak
Gambar 5. Pengikatan Gracilaria verrucosa pada Tali Ris di Lahan Tambak
Bibit Gracilaria verrucosa yang akan digunakan harus sehat, menurut Gavino
C. Trono Jr. (1990), memiliki kriteria sebagai berikut:
a. Bercabang banyak, rimbun dan elastis.
b. Tidak terdapat bercak dan terkelupas.
c. Warna spesifik cerah.
d. Thallus muda (umur 25-35 hari).
e. Berat bibit 50-100 gram per rumpun.
Benih ikan Kerapu Macan yang ditebar berasal dari hasil pembenihan di Bali
dan berukuran 7-8 Cm (Gambar 6). Adapun benih ikan Kerapu Macan sehat menurut
Sunaryat (2004), dengan ciri sebagai berikut:
1. Warna ikan lebih cerah;
2. Tubuh tidak cacat;
4. Memiliki respon yang tinggi terhadap pakan yang diberikan.
Padat tebar yang digunakan pada masing-masing keramba jaring apung
adalah 500 ekor/keramba dengan ukuran keramba sebesar 2,5 X 2,5 X 4 meter
(Gambar 7).
Gambar 6. Pengukuran Benih Ikan Kerapu Macan Sebelum Ditebar
3.2.1.3 Operasional budidaya
1. Padat tebar
Padat tebar yang dilakukan dalam penggelondongan di lokasi penelitian
adalah 500 ekor/keramba dengan ukuran ikan tebar antara 7-7,5 cm 3 (tiga) inchi
(Gambar 8). Hal ini didasarkan dengan diketahuinya jumlah dan ukuran benih yang
dipesan pada unit pembenihan rakyat yang telah dikembangkan oleh UD. Sundoro.
Penebaran benih dilakukan pada pagi hari tepatnya pada jam 07.00, sebelum
dilakukan penebaran benih di dalam jaring, terlebih dahulu dilakukan penyesuaian
terhadap lingkungan barunya (aklimatisasi). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan
oleh Evalawati et al., (2001), yang menyatakan bahwa sebelum dilakukan penebaran
benih, sebaiknya dilakukan aklimatisasi terlebih dahulu karena adanya perbedaan
suhu dan salinitas antara air yang berada di dalam kantong dengan air yang terdapat
pada keramba.
Adapun tahap-tahap yang dilakukan dalam aklimatisasi yaitu dengan
memasukkan kantong yang berisikan benih ke dalam jaring dan didiamkan selama ±
20 menit, kemudian karet pengikat dilepas dan secara perlahan air yang berada di luar
kantong dimasukkan sedikit demi sedikit sampai kantong benih tersebut terisi dua
kali lebih banyak sebelum dimasukkannya air dari jaring/luar kantong. Kantong yang
berisikan benih dimiringkan hingga semua benih keluar dengan sendirinya, hal ini
sesuai dengan yang dikemukakan oleh Tinggal et al., (2003). Salah satu proses
aklimatisasi disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9. Proses Aklimatisasi
2. Pemberian pakan
Dalam frekuensi pemberian pakan di lokasi penelitian untuk pemeliharaan
gelondongan ini dilakukan 2 kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari dan secara
adlibitum (sekenyang-kenyangnya). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh
penggelondongan dan dilakukan pemberian pakan secara adlibitum. Adapun jenis
pakan yang akan diberikan pada benih yaitu pakan rucah (ikan non ekonomis
penting). Hal ini dikarenakan ikan rucah memiliki harga yang relatif murah, namun
memiliki nilai gizi yang masih mencukupi untuk benih kerapu macan. Hal ini sesuai
dengan yang dikemukakan oleh Tinggal et al. (2003), yang menyatakan bahwa secara
umum untuk jenis pakan yang diberikan pada ikan jenis kerapu berupa ikan rucah
segar karena memiliki harga yang relatif lebih murah dan mempunyai nilai gizi yang
cukup untuk ikan-ikan budidaya dan sesuai juga yang dikemukakan oleh Kast dan
Rosenzweig dalam Komaruddin (1991) seperti yang terlihat pada Gambar 10, yang
menyatakan bahwa dalam suatu kegiatan usaha perlu diadakan penekanan biaya.
Adapun jenis ikan rucah yang diberikan pada benih Kerapu Macan terdiri dari
beberapa jenis, seperti yang disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Jenis-jenis Ikan Rucah yang Diberikan pada Benih
No Nama Lokal Nama Latin
1 Ikan Gendang Saurida sp.
2 Ikan Merah/Jenggot Parupeneus sp.
3 Ikan Mata Besar Priachanthus sp.
4 Ikan Peperek Gazza minuta, Leiognauthus sp.
Gambar 10. Ikan Rucah Sebagai Pakan
Sebelum pemberian pakan dilakukan, pakan dibilas dengan air laut terlebih
dahulu dan dilanjutkan dengan pembuangan sisik kemudian pencincangan. Ukuran
dalam pencincangan pakan ini disesuaikan dengan bukaan mulut benih, penyiapan
pakan untuk diberikan pada benih dilakukan secara bersamaan untuk diberikan pada
pagi dan sore hari. Setelah pakan siap, maka pakan yang akan diberikan pada sore
hari dimasukkan pada box yang telah diberi es, agar pakan tersebut tetap segar sampai
pada saat akan diberikan pada benih pada sore hari.
Teknik yang digunakan dalam pemberian pakan di lokasi penelitian yaitu
dengan pemberian secara sedikit demi sedikit sampai pakan yang akan diberikan
tersebut habis, hal ini dilakukan karena pakan merupakan salah satu faktor eksternal
yang perlu diperhatikan dalam kegiatan budidaya khususnya untuk Kerapu Macan,
sebab pakan memiliki nilai konstribusi yang cukup besar (> 60%) terutama dalam
karena itu teknik pemberian pakan harus diperhatikan agar tidak terjadi pemborosan
pakan sehingga biaya operasional dapat ditekan seminim mungkin, hal ini sesuai
yang dikemukakan oleh Kast dan Rosenzweig dalam Komaruddin (1991), yang
menyatakan bahwa prosedur pengurangan biaya perlu dilakukan untuk menggantikan
metoda yang ada, pemberian pakan yang tidak sesuai juga mengakibatkan terjadinya
proses pembusukan yang akan mengakibatkan salah satu penyebab meningkatnya
kematian ikan budidaya.
Rasio pemberian pakan pada usaha penggelondongan di KJA harus
diperhitungkan secara tepat agar ikan dapat tumbuh dengan baik, mempunyai nilai
tingkat kelulusan hidup yang tinggi (SR) serta secara ekonomis menguntungkan.
Untuk nilai rasio pemberian pakan di lokasi praktek untuk pemeliharaan gelondongan
Kerapu Macan yaitu 7,5-10% berat badan per hari untuk pakan jenis rucah segar,
akan tetapi apabila pada saat pemberian pakan benih sudah kenyang maka pemberian
pakan dihentikan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Puja et al., (2003),
yang menyatakan bahwa rasio pemberian pakan yang baik untuk kegiatan
penggelondongan yaitu 7,5-10% dari berat total benih yang dipelihara.
3. Pencegahan penyakit
Salah satu aspek yang dapat menjadi hambatan dalam suatu kegiatan usaha
budidaya adalah penyakit yang menyerang pada ikan budidaya merupakan hambatan
besar yang ditemui dalam kegiatan budidaya di lokasi penelitian. Adapun untuk
menjadi suatu permasalahan. Langkah-langkah yang ditempuh dalam menanggulangi
hal tersebut dapat dijelaskan di bawah ini:
1) Perendaman air tawar: Perendaman ini dilakukan apabila pada saat
pengontrolan dilakukan terdapat benih yang terserang oleh penyakit.
Perendaman dilakukan selama ± 5 menit secara rutin setiap 5 hari sekali tanpa
menggunakan aerasi.
2) Perendaman dengan air laut: Perendaman ini dilakukan dengan melarutkan
formalin dengan dosis 1 ppm ke dalam air laut.
3) Pemisahan ikan yang sakit: Upaya ini dilakukan dengan adanya kegiatan
monitoring yang dilakukan secara rutin, apabila ditemukan benih yang
menimbulkan gejala terserang penyakit maka segera dilakukan pemisahan
jaring dari benih yang sehat lainnya dan benih yang sakit dimasukkan ke dalam
jaring karantina yang sudah disiapkan dan letaknya cukup jauh terpisah dari
jaring benih yang sehat. Apabila ditemukan benih yang mati maka segera
diserok dan dibawa ke darat untuk dimusnahkan.
4) Mengatur sirkulasi air: Hal ini dilakukan dengan mengatur tata letak jaring
yang digunakan dalam suatu petakan kegiatan budidaya di KJA ataupun dengan
membersihkan jaring dari organisme penempel pada jaring sesering mungkin.
5) Pencampuran pakan dengan obat: Langkah ini merupakan upaya dini yang
dilakukan pada benih dan diberikan saat penebaran sampai ukuran benih
berkisar 100 gram. Sekali sehari pakan rucah dicampur secara merata dengan
Tindakan yang diambil dalam upaya pengobatan pada benih yang terserang
penyakit yaitu dengan melakukan perendaman dengan air laut Gambar 11. Benih
yang terserang penyakit dapat dilihat dari luka yang ditimbulkan. Serangan jenis
bakteri menyebabkan sirip ekor terputus dan lain sebagainya. Adapun
langkah-langkah dalam melakukan perendaman yaitu wadah diisi sampai ukuran maksimal
dengan air laut tanpa pengendapan ataupun penyaringan diselingi dengan menyiapkan
aerasi yang disetel kuat. Penambahan obat berupa prefuran dengan dosis 10mg/liter,
yang berfungsi sebagai pemisah/mengangkat kotoran dari badan air. Setelah obat
merata di dalam air maka benih segera direndam selama ± 15 jam, perendaman ini
dilakukan pada sore hari dan pada pagi harinya benih dapat ditebar lagi ke dalam
jaring.
4. Lama pemeliharaan
Budidaya ikan Kerapu Macan dari ukuran 3 inci sampai panen berukuran 5
inci diperkirakan selama 2 (dua) bulan pemeliharaan.
3.2.1.4 Monitoring kualitas air dan tingkat kelangsungan hidup
Selama operasional pemeliharaan, kedua petak tambak dilakukan pemantauan
kualitas air. Prosedur pengamatan dan pengukurannya adalah sebagai berikut:
a. Pengamatan kualitas air
Parameter kualitas air yang akan diamati meliputi beberapa parameter
lingkungan perairan yang mencakup aspek fisika, kimia, dan biologi yang terdiri dari:
1. Parameter fisika kualitas air yang akan diamati meliputi suhu, kekeruhan.
Kecerahan.
2. Parameter kimia kualitas air yang akan diamati meliputi salinitas, ammonia,
nitrit, nitrat, nitrogen, pH, fosfat, besi (Gambar 12).
3. Parameter Biologi meliputi biota yang dibudidayakan dan rumput laut
meliputi pertumbuhan, kandungan nitrogen, karbon, fosfor dan kelangsungan
hidup ikan Kerapu.
b. Pengamatan tingkat kelangsungan hidup
Pengamatan rumput laut yang mati dan jatuh akan dilakukan 5 (lima) hari
sekali diganti dengan rumput laut baru dan membersihkan rumput laut dari partikel
debu yang menempel atau kotoran yang melekat pada rumput laut sehingga dapat
mengganggu proses metabolisme pada rumput laut dengan cara menggoyang tali ris
utama agar fungsinya dalam tambak sebagai biofilter tetap efektif. Untuk melakukan
sampling tingkat kehidupan (survival rate) ikan Kerapu Macan dilakukan setelah
panen (Gambar 13) yang akan dilaksanakan dengan waktu 70 hari.
3.3 Analisis Data
ganalisis perbedaan kestabilan kualitas air
put laut dengan yang tidak menggunakan rum
-rata dengan rumus sebagai berikut:
t hitung =
(Sudjana, 2002)
gujian adalah: terima H0 jika – t tabel < t hitu
dk) = (n1+n2-2) dan peluang (1-á), di mana:
arameter air dengan perlakuan rumput laut
arameter air tidak dengan perlakuan rumput lau
pel
baku
ta parameter air dengan perlakuan rumput laut
ta parameter air tidak dengan perlakuan rumput
arians data rata-rata parameter air dengan perla
varians data rata-rata parameter air tidak
air di tambak yang
umput laut digunakan
itung < t tabel dengan
laut
ut laut
rlakuan rumput laut
Untuk mengetahui hubungan tingkat kelangsungan hidup ikan Kerapu Macan pada
tambak yang menggunakan rumput laut dan tidak menggunakan rumput laut
digunakan rumus menurut Sunyoto, (1994) sebagai berikut:
Survival rate (SR) =
Keterangan: Nt = Jumlah Kerapu yang hidup pada akhir pemeliharaan (ekor)
N0 = Jumlah Kerapu yang ditebar (ekor) Nt
N0
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Fisika Air
4.1.1 Suhu
Suhu mempunyai peran penting bagi budidaya ikan, untuk tumbuhan seperti
fitoplankton dan rumput laut fotosintesa dapat berjalan optimal sedangkan untuk
zooplankton dan ikan yang dibudidayakan metabolisme dapat maksimal sehingga
pertumbuhan ikan berlangsung secara optimal. Hasil penelitian suhu pada kedua
petak tambak dengan sistem budidaya polikultur dan monokultur didapatkan hasil:
pada petak kontrol dengan sistem budidaya monokultur mempunyai suhu rata-rata
terendah 30 oC dan suhu rata-rata tertinggi 31,7 oC, sedangkan pada petak perlakuan
dengan sistem budidaya polikultur suhu rata-rata terendah 29,5 oC dan suhu rata-rata
tertinggi 31,2 oC.
Dari penelitian didapat bahwa kisaran suhu pada petak kontrol maupun petak
perlakuan masih di dalam kisaran suhu yang disarankan Standar Nasional Indonesia
dalam budidaya ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) yaitu 26 oC sampai
dengan 32 oC, tetapi suhu pada petak perlakuan lebih stabil dibandingkan pada petak
kontrol seperti terlihat pada Gambar 14. Hal tersebut disebabkan pada sistem
polikultur suhu dipergunakan oleh fitoplankton, zooplankton, ikan Kerapu Macan dan
rumput laut (Glacilaria verrucosa) untuk berfotosistesa dan bermetabolisme
sedangkan pada petak kontrol suhu akan cepat menguap sesuai dengan cuaca
berfotosintesa. Pada
,2 oC dan pada petak kontrol terjadi penurunan
a penelitian ke 4 dan ke 5 terjadi curah hujan ya
. Fluktuasi Suhu pada Kolam Pengamatan
Lampiran 7 bahwa perbandingan parameter
uan berbeda tidak nyata. Hal tersebut ditunjuk
T tabel (-2,0555 < 1,1782 < 2,0555), dengan m
lam uji statistik (uji T) maka Ho diterima, artin
hu air pada petak kontrol dan perlakuan. Hal i
engaruhi oleh suhu udara sebagai penyuplai
idaya ikan Kerapu Macan masih dalam kisara
4.1.2 Kekeruhan
Kekeruhan terjadi dikarenakan adanya partikel tersuspensi dan terlarut dalam
air seperti lumpur, jasad renik, zat organik dan zat lainnya yang tidak mudah
mengendap, kekeruhan yang tinggi dapat menimbulkan terganggunya proses respirasi
pada ikan, fotosintesa pada fitoplankton, rumput laut dan produktivitas primer
perairan. Dalam usaha budidaya ikan nilai kekeruhan sebaiknya berkisar antara 2-30
NTU (Nephelometric Turbidity Unit) (Mayunar, 1995). Hasil penelitian dari
kekeruhan seperti terlihat pada Gambar 15 didapat nilai rata-rata kekeruhan pada
petak kontrol adalah 8,42 NTU dengan nilai kekeruhan terkecil 7,6 NTU dan tertinggi
9,4 NTU lebih besar dibandingkan petak perlakuan adalah 7,41 NTU dengan nilai
terkecil 6,4 NTU dan kekeruhan tertinggi 8,6 NTU. Kekeruhan petak perlakuan
mempunyai rataan lebih kecil dibandingkan petak kontrol, hal tersebut disebabkan
rumput laut berfungsi sebagai penyerap partikel lumpur, zat organik yang ada di suatu
perairan dan ini dibuktikan oleh peneliti setiap 10 (sepuluh hari) rumput laut harus
dibersihkan dari partikel lumpur agar pertumbuhan/perkembangan rumput laut dapat
Gambar 15. Flu
Hal tersebut ditunjukkan -T hitung < -T tabel
(-kan kaidah yang diguna(-kan dalam uji statistik
erbeda nyata parameter kekeruhan air antar
kontrol dikarenakan rumput laut dapat mengik
han pada kedua sistem budidaya masih da
m budidaya ikan yaitu 2-30 NTU.
ng mempunyai kecerahan yang tinggi mer
erairan tersebut baik, sedangkan tingkat kece
atan Budidaya
bandingan parameter
dibandingkan dengan
-4,0898 < - 2,0555),
tistik (uji T) maka Ho
tara petak perlakuan
gikat partikel lumpur,
dalam kisaran yang
erupakan salah satu
menunjukkan kandungan partikel lumpur, kandungan bahan organik tinggi yang
menjadi tempat yang subur bagi berkembangnya organisme penempel seperti lumut,
cacing yang dapat mengganggu dan menjadi penyakit bagi ikan Kerapu Macan.
Adapun kecerahan yang disarankan oleh Standar Nasional Indonesia untuk
budidaya ikan di tambak adalah > 30 cm. Hasil penelitian dari rata-rata kecerahan air
seperti terlihat pada Gambar 16. Kecerahan pada petak kontrol adalah 49,8 cm
dengan nilai kecerahan terkecil 46 cm dan kecerahan tertinggi 51 cm sedangkan pada
petak perlakuan didapat rata-rata kecerahan adalah 54,6 cm dengan nilai kecerahan
terkecil 53 cm dan kecerahan tertinggi 56 cm, dari hasil tersebut di atas menandakan
bahwa kecerahan pada petak perlakuan lebih baik dibandingkan petak kontrol, hal
tersebut disebabkan pada petak perlakuan rumput laut menyerap partikel lumpur dan
bahan organik yang terdapat pada perairan sehingga kecerahan lebih tinggi.
Berdasarkan Lampiran 11 bahwa perbandingan parameter kecerahan yang
terdapat pada petak kontrol berbeda nyata jika dibandingkan petak perlakuan,
ditunjukkan dengan -T hitung <-T tabel ( -7,8234 < - 2,0555) dengan menggunakan
kaidah uji statistik (Uji T) maka Ho ditolak artinya parameter kecerahan berbeda
nyata antara petak kontrol dibandingkan petak perlakuan, hal tersebut disebabkan
rumput laut menyerap partikel lumpur dan nutrien yang ada di perairan tambak
sehingga cahaya dapat menembus lebih dalam. Menurut Standar Nasional Indonesia
nilai kecerahan yang disarankan adalah > 30 Cm yang berarti bahwa kecerahan yang