• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Rumput Laut (Gracilaria verrucosa) Dalam Menjaga Kualitas Air Pada Karamba Jaring Apung Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Peranan Rumput Laut (Gracilaria verrucosa) Dalam Menjaga Kualitas Air Pada Karamba Jaring Apung Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

PERANAN RUMPUT LAUT (Gracilaria verrucosa) DALAM

MENJAGA KUALITAS AIR PADA KARAMBA JARING

APUNG KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus)

T E S I S

Oleh

KASTURI MARDI SUPRIHANTO

077004010/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011

S

E K

O L A

H

P A

S C

A S A R JA

N

(2)

PERANAN RUMPUT LAUT (Gracilaria verrucosa) DALAM

MENJAGA KUALITAS AIR PADA KARAMBA JARING

APUNG KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus)

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

KASTURI MARDI SUPRIHANTO

077004010/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : PERANAN RUMPUT LAUT (Gracilaria verrucosa)

DALAM MENJAGA KUALITAS AIR PADA

KARAMBA JARING APUNG KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus)

Nama Mahasiswa : Kasturi Mardi Suprihanto

Nomor Pokok : 077004010

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)

Menyetujui Komisi Pembimbing :

(Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S) Ketua

(Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc) Anggota

(Drs. Chairuddin, M.Sc) Anggota

Ketua Program Studi,

(Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S)

Direktur,

(Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal: 17 Februari 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S

Anggota : 1. Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc

2. Drs. Chairuddin, M.Sc

3. Prof. Dr. Ir. Ternala A. Barus, M.Sc

(5)

PERANAN RUMPUT LAUT (Glacilaria verrucosa) DALAM MENJAGA KUALITAS AIR PADA KARAMBA JARING APUNG

KERAPU MACAN (Epineplhus fuscoguttatus)

ABSTRAK

Adanya penelitian ini diharapkan untuk mengetahui apakah dengan adanya rumput laut jenis (Gracilaria verrucosa) dapat berperan dalam menjaga kualitas air pada karamba jaring apung ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) terhadap parameter fisika dan kimia perairan budidaya yang pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup (survival rate) pada ikan budidaya. Penggunaan rumput laut (Gracilaria verrucosa) sebagai biofilter untuk menjaga kualitas air untuk budidaya ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) telah diteliti. Penelitian dilaksanakan dari 6 September 2010 sampai dengan 10 Nopember 2010 di tambak UD. Sundoro, Belawan, Sumatera Utara sedangkan penelitian kualitas air dilakukan di Laboratotium Pra Panen Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Utara. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif dengan membandingkan sifat fisika, kimia perairan tambak dan tingkat kelangsungan hidup dari ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) pada sistem budidaya monokultur (kontrol) dengan sistem budidaya polikultur (perlakuan). Adapun dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa pada parameter kekeruhan, kecerahan, oksigen terlarut, ammonia, nitrit, pH, fosfat dan besi berbeda nyata, sedangkan parameter suhu, Salinitas dan nitrat berbeda tidak nyata, selain itu juga rumput laut jenis Gracilaria verrucosa mengalami pertambahan berat sebesar 31,2 gram atau 31,2% selama 70 hari pemeliharaan dan rumput laut jenis Glacilaria verrucosa, penambahan kandungan nitrogen sebesar 0,04 ppm (36%), fosfor 0,05 ppm (25%), yang mempunyai arti bahwa rumput laut menggunakan nitrat, fosfat sebagai nutrien/ makanan untuk pertumbuhannya. Sedangkan tingkat kelangsungan hidup (survival rate) pada kontrol sebesar 55% dan pada perlakuan sebesar 72%. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa petak perlakuan lebih baik dan dapat menjaga kualitas air jika dibandingkan dengan petak kontrol baik dari aspek fisika air, kimia air maupun biologi (komoditas yang dibudidayakan).

(6)

THE ROLE OF SEAWEED (Gracilaria verrucosa) IN KEEPING THE WATER QUALITY IN THE FLOATING NET FISH RAISING OF THE TIGER

GROUPER (Epinephelus fuscoguttatus)

ABSTRACT

This research is expected to notice whether the seaweed of Gracilaria verrucosa can have a role in keeping the water quality in the floating net fish raising of tiger grouper of Epinephelus fuscoguttatus to physics and chemistry parameter of waters cultivationwhich finally will influence the survival rate on fish raised. The use of seaweed (Gracilaria verrucosa) as biofilter in maintaining water quality for fishery of tiger grouper (Epinephelus fuscoguttatus) has been studied. The research was carried out from September 6th, 2010 up to November 10th, 2010 in the fishpond of UD. Sundoro, Belawan, North Sumatra Province. Meanwhile, the study of water quality was done in Laboratory of Pra Panen Naval Service and Fishery of North Sumatra.The methodology of this research is descriptive and it compares the physic characteristics, chemical fishpond waters and the survival rate of the tiger grouper Epinephelus fuscoguttatus on the cultivation system of monoculture as a control and polyculture cultivation system as a treatment. From the result of the research, it can be comprehended that parameter of turbidity, brightness, dissolved oxygen, ammonia, nitrite, pH, fosfate, and iron, there is clear difference, meanwhile on the parameter of temperature, salinity, and nitrate, there is no clear difference, instead of that the Gracilaria verrucosa seaweed grows 31.2 grams or 31.2% during 70 days of treatment and Gracilaria verrucosa seaweed gets addition of nitrogen 0.04 ppm (36%) and fosfore 0.05 ppm (25%), which means that seaweed consumes nitrate and fosfate as nutrient for its growth, meanwhile the survival rate on the system of monoculture cultivation is 55% and on the polyculture cultivation is 72%. From this research, it can be concluded that polyculture cultivation system is better and it can keep the stability of water quality compared with monoculture cultivation system either from the aspects of physical water, chemical water or biology (commodity cultivated).

(7)

KATA PENGANTAR

Penulis senantiasa bersyukur kehadirat Allah SWT, atas selesainya tesis ini.

Selesainya tesis ini merupakan karunia bagi penulis melalui kerja keras, pengorbanan

dan dukungan doa, motivasi dan material dari berbagai pihak.

Oleh karenanya penulis menghaturkan terima kasih secara khusus kepada

yang terhormat Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS, Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc,

Drs. Chairuddin, M.Sc, yang telah banyak memberikan motivasi dan bimbingan

dalam penyusunan tesis ini dengan sabar dan bijaksana.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Direktur Sekolah Pascasarjana USU dan Ketua Program Bidang Studi

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Universitas Sumatera Utara

Medan, yang telah berkenan menerima penulis untuk belajar di Program Studi

ini.

2. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Utara yang telah

memberikan rekomendasi tugas belajar;

3. Istri dan anak-anakku terkasih, Yunik Supiherti, Erynata Puja Dharmawan

Kasturi, Nikenada Wildha Oktavia Kasturi, Najwa Faranaiga Assyabina

Kasturi yang telah mendukung sepenuhnya, Ayahanda Almarhum S. Tuwuh

dan Ibunda tercinta Kasminah yang telah membesarkan ananda dengan penuh

perjuangan dan kesabaran yang tinggi serta Saudaraku di mana pun berada

yang terus memberikan motivasi demi selesainya tesis ini.

4. Bapak Efendi dan Sdr. Fredy serta rekan di tambak UD. Sundoro yang telah

berkenan menyediakan sarana dan prasarana sehingga penelitian dapat

terlaksana.

5. Rekan-rekan mahasiswa S2 Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam

(8)

6. Rekan-rekan pegawai Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Utara

dan berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Sekali lagi

penulis mengucapkan terima kasih.

Di dalam tesis ini penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak

kekurangan, meskipun telah diupayakan dengan cermat dan teliti. Oleh karena itu

penulis akan berterima kasih apabila pembaca berkenan memberi saran dan koreksi

membangun demi sempurnanya tesis ini.

Kendatipun disadari masih banyak kekurangan di dalam tesis ini penulis

sangat berharap semoga penelitian ini dapat memberikan tambahan pengetahuan dan

dapat bermanfaat.

Medan, Februari 2011

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Temanggung Jawa Tengah, pada tanggal 20 Maret 1964,

penulis merupakan anak ke 4 dari 7 bersaudara sebagai putera dari Ayahanda Alm. S.

Tuwuh dan Ibunda Kasminah. Penulis menikah dengan Yunik Supiherti dan telah

dikarunai 3 (tiga) orang anak.

Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis adalah sebagai berikut:

1. Tahun 1970-1975, menempuh pendidikan tingkat dasar di SD Negeri Tomang

Ancak Pagi, Jakarta Barat.

2. Tahun 1976 -1979, menempuh pendidikan tingkat pertama di SMP Negeri

XVI, Jakarta Selatan.

3. Tahun 1979-1982, menempuh pendidikan tingkat atas di SMA Negeri XXXII,

Jakarta Selatan.

4. Tahun 1983-1986, menempuh pendidikan D-III Perikanan di Akademi Usaha

Perikanan, Jakarta.

5. Tahun 1994-1995, menempuh Pendidikan D-IV Perikanan di Sekolah Tinggi

Perikanan, Jakarta.

6. Tahun 2007, memasuki Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.

Penulis pada tahun 1986-1989 bekerja pada PT. Bonecom di Sulawesi Selatan

pada Divisi Penelitian dan Pengembangan, pada tahun 1989 sampai dengan saat ini

sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera

(10)

DAFTAR ISI

2.1 Peranan Rumput Laut dalam Tambak dengan Sistem Polikultur ... 7

2.2 Biologi dan Taksonomi Rumput Laut... 8

2.3 Reproduksi Rumput Laut ... 10

2.4 Parameter Kualitas Air untuk Rumput Laut ... 11

2.5 Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) ... 13

2.6 Kualitas Air Bagi Kerapu Macan ... 15

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 18

3.1 Tempat dan Waktu ... 18

3.1.1 Tempat ... 18

3.1.2 Waktu ... 18

3.1.3 Bahan dan Alat Penelitian ... 18

(11)

3.2.1 Prosedur Penelitian ... 20

3.2.1.1 Persiapan lahan ... 21

3.2.1.2 Penanaman rumput laut dan penebaran ikan Kerapu Macan ... 22

3.2.1.3 Operasional budidaya ... 25

3.2.1.4 Monitoring kualitas air dan tingkat kelangsungan hidup ... 32

4.3.1 Penambahan Berat Rumput Laut (Gracilaria verrucosa) ... 56

4.3.2 Kandungan Nitrogen dalam Rumput Laut ... 57

4.3.3 Kandungan Fosfor dalam Rumput Laut ... 58

4.3.4 Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) ... 59

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 62

5.1 Kesimpulan ... 62

5.2 Saran ... 63

(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Bahan dan Alat Penelitian Sesuai Jenis Parameter Kualitas Air ... 19

2. Jenis-Jenis Ikan Rucah yang Diberikan pada Benih ... 27

(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1. Kerangka Pikir Penelitian ... 6

2. Gracilaria verrucosa ... 9

3. Bentuk Tubuh (Morfologi) Ikan Kerapu Macan ... 15

4. Persiapan Bibit Gracilaria verrucosa Sebagai Bahan Uji ... 20

5. Pengikatan Gracilaria verrucosa pada Tali Ris di Lahan Tambak ... 23

6. Pengukuran Benih Ikan Kerapu Macan Sebelum Ditebar... 24

7. Penghitungan dan Penebaran Bibit Ikan Kerapu Macan ... 24

8. Penebaran Benih Ikan Kerapu Macan ... 25

9. Proses Aklimatisasi ... 26

10. Ikan Rucah Sebagai Pakan ... 28

11. Perendaman dengan Air Laut yang Dicampur dengan Prefuran ... 31

12. Pengukuran pH Tanah. ... 32

13. Ukuran Panen Ikan Kerapu Macan ... 33

14. Fluktuasi Suhu pada Kolam Pengamatan Budidaya ... 36

15. Fluktuasi Kekeruhan pada Kolam Pengamatan Budidaya ... 38

16. Fluktuasi Kecerahan pada Kolam Pengamatan Budidaya ... 40

17. Fluktuasi Oksigen Terlarut pada Kolam Pengamatan Budidaya ... 41

18. Fluktuasi Ammonia pada Kolam Pengamatan Budidaya ... 43

(14)

20. Fluktuasi Nitrat pada Kolam Pengamatan Budidaya ... 48

21. Fluktuasi pH pada Kolam Pengamatan Budidaya ... 50

22. Fluktuasi Salinitas pada Kolam Pengamatan Budidaya ... 52

23. Fluktuasi Fosfat pada Kolam Pengamatan Budidaya ... 53

24. Fluktuasi Kandungan Besi pada Kolam Pengamatan Budidaya ... 55

25. Pertambahan Berat Rumput Laut Gracilaria verrucosa ... 57

26. Fluktuasi Kandungan Nitrat dalam Perairan dan Nitrogen dalam Rumput Laut ... 58

27. Fluktuasi Kandungan Fosfat dalam Perairan dan Fosfor dalam Rumput Laut ... 59

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Denah Lokasi Penelitian UD. Sundoro Belawan ... 68

2. a. Sumber Air Masuk

b. dan Saluran Air Buang ... 69

3. a. Pembersihan Keramba Jaring Apung

b. Penjemuran Keramba Jaring Apung ... 70

4. a. Benih Ikan Kerapu Macan Siap

b. Ikan Kerapu Macan Siap Ekspor ... 71

5. a. Palkah Sebagai Wadah Pengangkutan Ikan

b. Kapal Pengangkutan Benih Ikan Kerapu Macan ... 72

6. Hasil Analisis Parameter Suhu pada Petak Kontrol

dan Petak Perlakuan ... 73

7. Hasil Uji Statistik Parameter Suhu ... 74

8. Hasil Analisis Parameter Kekeruhan pada Petak Kontrol

dan Petak Perlakuan ... 75

9. Hasil Uji Statistik Parameter Kekeruhan ... 76

10. Hasil Analisis Parameter Kecerahan pada Petak Kontrol

dan Petak Perlakuan ... 77

11. Hasil Uji Statistik Parameter Kecerahan ... 78

12. Hasil Analisis Parameter Oksigen Terlarut pada Petak Kontrol

dan Petak Perlakuan ... 79

13. Hasil Uji Statistik Parameter Oksigen Terlarut ... 80

14. Hasil Analisis Parameter Ammonia pada Petak Kontrol

(16)

15. Hasil Uji Statistik Parameter Ammonia ... 82

16. Hasil Analisis Parameter Nitrit pada Petak Kontrol

dan Petak Perlakuan ... 83

17. Hasil Uji Statistik Parameter Nitrit ... 84

18. Hasil Analisis Parameter Nitrat pada Petak Kontrol

dan Petak Perlakuan ... 85

19. Hasil Uji Statistik Parameter Nitrat ... 86

20. Hasil Analisis Parameter pH pada Petak Kontrol

dan Petak Perlakuan ... 87

21. Hasil Uji Statistik Parameter pH ... 88

22. Hasil Analisis Parameter Salinitas pada Petak Kontrol

dan Petak Perlakuan ... 89

23. Hasil Uji Statistik Parameter Salinitas ... 90

24. Hasil Analisis Parameter Fosfat pada Petak Kontrol

dan Petak Perlakuan ... 91

25. Hasil Uji Statistik Parameter Fosfat ... 92

26. Hasil Analisis Parameter Besi pada Petak Kontrol

dan Petak Perlakuan ... 93

27. Hasil Uji Statistik Kandungan Parameter Besi ... 94

28. Data Pertumbuhan Rumput Laut (Gracilaria verrucosa) ... 95

29. Hasil Analisis Kandungan Nitrogen pada

Rumput Laut (Gracilaria verrucosa) ... 96

30. Hasil Analisis Kandungan Fosfor pada

(17)

PERANAN RUMPUT LAUT (Glacilaria verrucosa) DALAM MENJAGA KUALITAS AIR PADA KARAMBA JARING APUNG

KERAPU MACAN (Epineplhus fuscoguttatus)

ABSTRAK

Adanya penelitian ini diharapkan untuk mengetahui apakah dengan adanya rumput laut jenis (Gracilaria verrucosa) dapat berperan dalam menjaga kualitas air pada karamba jaring apung ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) terhadap parameter fisika dan kimia perairan budidaya yang pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup (survival rate) pada ikan budidaya. Penggunaan rumput laut (Gracilaria verrucosa) sebagai biofilter untuk menjaga kualitas air untuk budidaya ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) telah diteliti. Penelitian dilaksanakan dari 6 September 2010 sampai dengan 10 Nopember 2010 di tambak UD. Sundoro, Belawan, Sumatera Utara sedangkan penelitian kualitas air dilakukan di Laboratotium Pra Panen Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Utara. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif dengan membandingkan sifat fisika, kimia perairan tambak dan tingkat kelangsungan hidup dari ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) pada sistem budidaya monokultur (kontrol) dengan sistem budidaya polikultur (perlakuan). Adapun dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa pada parameter kekeruhan, kecerahan, oksigen terlarut, ammonia, nitrit, pH, fosfat dan besi berbeda nyata, sedangkan parameter suhu, Salinitas dan nitrat berbeda tidak nyata, selain itu juga rumput laut jenis Gracilaria verrucosa mengalami pertambahan berat sebesar 31,2 gram atau 31,2% selama 70 hari pemeliharaan dan rumput laut jenis Glacilaria verrucosa, penambahan kandungan nitrogen sebesar 0,04 ppm (36%), fosfor 0,05 ppm (25%), yang mempunyai arti bahwa rumput laut menggunakan nitrat, fosfat sebagai nutrien/ makanan untuk pertumbuhannya. Sedangkan tingkat kelangsungan hidup (survival rate) pada kontrol sebesar 55% dan pada perlakuan sebesar 72%. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa petak perlakuan lebih baik dan dapat menjaga kualitas air jika dibandingkan dengan petak kontrol baik dari aspek fisika air, kimia air maupun biologi (komoditas yang dibudidayakan).

(18)

THE ROLE OF SEAWEED (Gracilaria verrucosa) IN KEEPING THE WATER QUALITY IN THE FLOATING NET FISH RAISING OF THE TIGER

GROUPER (Epinephelus fuscoguttatus)

ABSTRACT

This research is expected to notice whether the seaweed of Gracilaria verrucosa can have a role in keeping the water quality in the floating net fish raising of tiger grouper of Epinephelus fuscoguttatus to physics and chemistry parameter of waters cultivationwhich finally will influence the survival rate on fish raised. The use of seaweed (Gracilaria verrucosa) as biofilter in maintaining water quality for fishery of tiger grouper (Epinephelus fuscoguttatus) has been studied. The research was carried out from September 6th, 2010 up to November 10th, 2010 in the fishpond of UD. Sundoro, Belawan, North Sumatra Province. Meanwhile, the study of water quality was done in Laboratory of Pra Panen Naval Service and Fishery of North Sumatra.The methodology of this research is descriptive and it compares the physic characteristics, chemical fishpond waters and the survival rate of the tiger grouper Epinephelus fuscoguttatus on the cultivation system of monoculture as a control and polyculture cultivation system as a treatment. From the result of the research, it can be comprehended that parameter of turbidity, brightness, dissolved oxygen, ammonia, nitrite, pH, fosfate, and iron, there is clear difference, meanwhile on the parameter of temperature, salinity, and nitrate, there is no clear difference, instead of that the Gracilaria verrucosa seaweed grows 31.2 grams or 31.2% during 70 days of treatment and Gracilaria verrucosa seaweed gets addition of nitrogen 0.04 ppm (36%) and fosfore 0.05 ppm (25%), which means that seaweed consumes nitrate and fosfate as nutrient for its growth, meanwhile the survival rate on the system of monoculture cultivation is 55% and on the polyculture cultivation is 72%. From this research, it can be concluded that polyculture cultivation system is better and it can keep the stability of water quality compared with monoculture cultivation system either from the aspects of physical water, chemical water or biology (commodity cultivated).

(19)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di Indonesia hasil dari sektor budidaya baik udang maupun ikan telah

memberikan konstribusi yang signifikan pada industri perikanan secara keseluruhan

dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2007 (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya,

2008) dan Menteri Kelautan dan Perikanan pada permulaan tahun 2010 telah

mencanangkan program peningkatan produksi dari sektor budidaya sebesar 353%

sampai dengan tahun 2014. Adapun produksi budidaya ikan Kerapu Macan

(Epinephelus fuscoguttatus), di Sumatera Utara mampu mengekspor benih ikan

Kerapu Macan ukuran 5 inchi sebesar 12.783.144 ekor pada tahun 2008, 4.695.000

ekor pada tahun 2009 dan 4.329.920 ekor ekspor sampai dengan 2 Desember 2010

(Departemen Kalautan dan Perikanan, Balai Karantina Ikan Polonia Medan, 2009)

maupun ekspor ukuran ikan konsumsi (di atas 500 Gram) sebesar 1.422,1 ton pada

tahun 2008, 975,6 ton pada tahun 2009 dan 912,1 ton ekspor sampai dengan

September 2010 (Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Sumatera Utara, 2009).

Budidaya perairan merupakan bentuk pembudidayaan organisme air termasuk

ikan, udang, kerang, kepiting dan tumbuhan air (FAO, 1991). Pada dasarnya

budidaya cenderung menguasai ekosistem perairan agar memperoleh produksi yang

lebih tinggi dengan menerapkan teknologi dan pengelolaannya secara terkontrol.

(20)

tradisional, semi intensif dan intensif (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya,

2003).

Secara umum budidaya perairan dilakukan melalui ekosistem buatan manusia

“Satuan Budidaya” yang biasanya terdiri dari komponen biotik dan abiotik.

Komponen biotik terdiri dari ikan dan udang yang dibudidayakan, organisme

plankton, organisme lain yang hidup didalam air seperti: parasit, kompetititor,

predator dan mikroba, sedangkan komponen abiotik terdiri dari bahan kimia dan

fisika baik dari tanah maupun air sebagai media pembudidayaan. Seluruh komponen

ekosistem pembudidayaan baik biotik maupun abiotik memberikan fungsi ekoligis

dan hubungan satu sama lain.

Kegiatan budidaya ikan/udang sudah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia

sejak tahun 60an, kemudian berkembang dan menjadi primadona pada era tahun

80an. Berkembangnya teknologi budidaya ikan/udang dari sistem tradisional menjadi

sistem intensif bahkan super intensif mampu meningkatkan produksi, tetapi tanpa

disadari juga merupakan bencana bagi kegiatan budidaya itu sendiri. Terbukti sejak

tahun 90an budidaya ikan/udang mulai mengalami kegagalan demi kegagalan dengan

berkurangnya fungsi imun terhadap penyakit, penurunan pembiakan dan peningkatan

kematian pada biota budidaya sehingga mengakibatkan rendahnya volume panen.

Jika disimak lebih dalam maka kegagalan tersebut disebabkan oleh terbatasnya daya

tampung alam atau lingkungan budidaya untuk menampung beban limbah yang

(21)

Kegiatan internal budidaya inilah yang sering kali terlupakan oleh para

praktisi (pembudidaya) padahal dalam sistem teknologi intensif/super intensif

memerlukan input produksi yang sangat tinggi, seperti padat tebar tinggi, pakan

tambahan, pupuk, obat-obatan dan lain-lain. Oleh karena itu pembudidaya seharusnya

selalu memperhatikan dan memperhitungkan daya dukung lahan dan daya tampung

lingkungan agar usaha budidaya ikan dapat berkelanjutan.

Selama ini limbah yang dihasilkan pada kegiatan operasional budidaya

tambak selalu dibuang langsung ke badan air penerima tanpa melalui pengolahan

terlebih dahulu. Padahal dalam kegiatan operasional budidaya terdapat kandungan

bahan organik yang sangat tinggi. Tingginya bahan organik ini terutama dihasilkan

oleh pakan ikan udang yang tidak termakan (uneaten feed) berkisar antara 30-40%

dan hasil ekskresi ikan/udang itu sendiri. Dengan sistem pembuangan air seperti ini,

dapat diprediksi tingginya nilai BOD pada saluran efluent dan berdampak nyata pada

kualitas perairan badan air penerima. dan akan menyebabkan penurunan kualitas

linkungan baik di kolam/tambak sebagai media budidaya maupun di lingkungan

sekitarnya. Hal ini disebabkan limbah air dari sistem pembudidayaan mengalir

langsung ke perairan badan air penerima.

Sejalan dengan tuntutan dunia, melalui gerakan ekolabel (keamanan terhadap

lingkungan dan keamanan makanan) pada produk budidaya ikan/udang, kemudian

pencapaian keberlanjutan produk (sustainable aquaculture) dan gerakan budidaya

ikan/udang berwawasan lingkungan dengan melakukan teknologi yang ramah dan

(22)

pembudidaya tambak memikirkan kembali tentang sistem pengelolaan limbah tambak

ikan/udang yang dapat berdampak negatif terhadap kualitas perairan.

Salah satu upaya untuk mengatasi besarnya limbah buangan tambak adalah

penggunaan sistem polikultur antara ikan/udang (Jones, 1999) dan organisme yang

umumnya dikembangkan di air payau adalah biota budidaya (ikan/udang), tanaman

air (ganggang laut), kerang. Tanaman air yang umum digunakan adalah rumput laut

(makro alga) baik Eucheuma spp maupun Gracilaria spp. Oleh karena itu, dengan

menerapkan teknologi budidaya yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan,

sistem budidaya polikultur oleh pembudidaya ikan baik tradisional maupun intensif

dengan menggunakan organisme penyaring (rumput laut) salah satu teknologi yang

menjanjikan, selain akan berdampak ekonomi melalui peningkatan produksi panen.

Rumput laut yang ditanam dapat berfungsi sebagai biofilter yang dapat

menyerap bahan organik/nutrient yang dihasilkan dari sisa-sisa pakan maupun proses

metabolisme biota air tambak serta rumput laut dapat sebagai hasil sampingan secara

ekonomi. Dalam rangka menciptakan tambak ramah lingkungan yang berkelanjutan

dan upaya meminimasi limbah proses budidaya tambak, maka penulis tertarik untuk

meneliti peranan rumput laut (Gracilaria verrucosa) pada kestabilan kualitas air dan

tingkat kehidupan Kerapu Macan dalam karamba jaring apung di tambak. Lebih

lanjut sistem pembudidaya dengan sistem polikultur mempunyai nilai lebih didalam

mengurangi polusi bahan organik dan anorganik serta secara ekonomis dapat

menghasilkan pendapatan tambahan dari organisme sekunder bahkan tersier yang

(23)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan berbagai

permasalahan tentang fungsi ekologis penggunaan rumput laut dalam pembesaran

ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) sebagai berikut:

a. Apakah terdapat perbedaan kualitas air di tambak yang menggunakan rumput

laut (perlakuan) dengan yang tidak menggunakan rumput laut (kontrol)?

b. Bagaimana hubungan antara keberadaan rumput laut (perlakuan) dengan tingkat

kehidupan ikan Kerapu Macan di tambak?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Mengetahui perbedaan kualitas air di tambak yang menggunakan rumput laut

(perlakuan) dengan yang tidak menggunakan rumput laut (kontrol).

b.Mengkaji hubungan antara keberadaan rumput laut (perlakuan) dengan tingkat

kehidupan (survival rate) ikan Kerapu Macan di tambak.

1.4 Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

a. Terdapat perbedaan kualitas air di tambak yang menggunakan rumput laut

(perlakuan) dengan yang tidak menggunakan rumput laut (kontrol).

b. Keberadaan rumput laut (perlakuan) mampu meningkatkan tingkat kehidupan

(24)

1.5 Kerangka Pikir Penelitian

Kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini:

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

1.6 Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:

a. Terciptanya tambak yang ramah lingkungan dan usaha yang berkelanjutan.

b. Berkurangnya limbah dari proses kegiatan budidaya tambak ikan Kerapu

Macan.

PENGGUNAAN RUMPUT LAUT SEBAGAI BIOFILTER

SUSTAINABILITY TRACE ABILITY

FOOD SAFETY

PENGELOLAANKUALITAS AIR

MEMINIMALISASI LIMBAH BUDIDAYA PENGELOLAAN PAKAN

ISU PRODUKSI BUDIDAYA TAMBAK

(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Peranan Rumput Laut dalam Tambak dengan Sistem Polikultur

Menurut Djajadiredja dan Yunus dalam Ditjen Perikanan Budidaya (2005),

budidaya Gracillaria verrucosa, dan jenis rumput laut lainnya, dapat dilakukan

secara monokultur dan polikultur bersama ikan (finfish) di tambak. Dengan

menggunakan sistem budidaya polikultur dapat meningkatkan efisiensi penggunaan

lahan tambak dan pendapatan pembudidaya secara berkesinambungan. Budidaya ini

didasari atas prinsip keseimbangan alam. Rumput laut berfungsi sebagai penghasil

oksigen dan tempat berlindung bagi ikan-ikan dan udang dari predator dan sebagai

biological filter. Ikan dan udang membuang kotoran yang dapat dipakai sebagai

nutrien oleh rumput laut. Rumput laut menyerap CO2 terlarut hasil pernapasan ikan

dan udang. Secara umum, kehadiran rumput laut dalam tambak udang/bandeng

berdampak positif.

Selain itu juga menurut Izzati (2004), rumput laut merupakan salah satu

komoditas perikanan yang juga berperan sebagai biofilter, karena dalam

pertumbuhannya rumput laut menyerap nutrien (amonia, nitrat, dan nitrit) dari media

perairan secara difusi melalui dinding thallusnya. Fungsi biofilter pada kawasan

tambak sangat diperlukan terutama yang sumber airnya sangat keruh karena lumpur

atau partikel lainnya. Kegiatan budidaya yang menggunakan biofiltrasi, kandungan

bahan organik dan amonia di dalam petak pemeliharaan relatif lebih rendah

(26)

biofiltrasi. Hal ini disebabkan karena rumput laut mampu menyerap ion-ion amonia,

nitrat dan phospat. Selain itu rumput laut juga mempunyai kemampuan mengabsorbsi

unsur atau senyawa lainnya seperti logam berat. Dijelaskan pula oleh Supito et al.,

(2005) dalam Ditjen Perikanan Budidaya (2005), bahwa rumput laut sebagai

tumbuhan air dapat menyerap degradasi bahan organik air yang akan diperlukan

untuk pertumbuhan, sehingga mengurangi resiko meningkatnya bahan organik air

yang akan dipergunakan untuk memelihara Udang Windu.

2.2 Biologi dan Taksonomi Rumput Laut

Salah satu sistem pengenalan suatu organisme adalah penamaan yang lebih

dikenal dengan istilah taksonomi. Makrofitobentik merupakan sekumpulan tumbuhan

alga yang hidup di perairan laut yang termasuk 3 divisio (filum), yaitu Rhodophyta,

Chlorophyta, dan Phaeophyta. Urutan-urutan tingkat taksonomi dari pada algae

menggunakan suatu aturan yang berlaku dan umum dipakai berdasarkan“The

International Code of Botanical Nomenclatur” (Utrech, 1952).

Gracillaria verrucosa (Gambar 2) merupakan algae bentik yaitu algae yang

tumbuh menancap atau melekat pada subtrat. Bentuk thallus menyerupai silinder,

licin, berwarna coklat atau kuning hijau, percabangan tidak beraturan, memusat

di bagian pangkal, cabang-cabang lateral memanjang menyerupai rambut dengan

(27)

Rumput laut Gr

Gracilaria verrucosa. dapat diklasifikasikan

ai berikut:

sainosum tetapi tidak

dengan batang-batang

bang-cabang pertama

(28)

kearah datangnya sinar matahari. Cabang-cabang ada yang memanjang dan

melengkung (Ditjenkanbud, 2005).

2.3 Reproduksi Rumput Laut

Rumput laut mempunyai dua bentuk umum reproduksi, yaitu aseksual dan

seksual. Produksi aseksual berupa pembentukan individu baru melalui perkembangan

verrucosaora dan fragmentasi. Pembiakan dengan verrucosaora berupa gametatif

tetraverrucosaora yang dihasilkan tetraverrucosaorofit. Tipe pembiakan ini terdapat

pada kebanyakan rumput laut merah. Pada rumput laut multiselular (bersel banyak)

atau digolongkan makroalgae, seperti Eucheuma, Gracillaria, Enteromorpha,

Gelidium dan lain-lain, potongan thallus-nya mempunyai kemampuan untuk

berkembang meneruskan pertumbuhan selanjutnya (Yulianda, 2003). Menurut Aslan

(1991) pada tanaman rumput laut dikenal tiga macam pola reproduksi, yaitu:

Reproduksi generatif (seksual), reproduksi Vegetatif (aseksual).

Reproduksi secara vegetasi menurut Meiyana et al., (2001), proses

perbanyakan secara vegetatif berlangsung tanpa melalui perkawin an, setiap bagian

cabang rumput laut yang dipotong akan tumbuh menjadi tanaman rumput laut yang

mempunyai sifat seperti induknya, atau perkembangbiakannya bisa dilakukan dengan

cara menstek cabang tanaman dengan syarat, potongan cabang-cabang rumput laut

tersebut merupakan thallus yang muda, masih segar, berwarna cerah dan mempunyai

percabangan yang banyak, tidak tercampur lumut atau kotoran, serta bebas atau

(29)

verrucosa, umumnya dilakukan dengan penyetekan (pemotongan thallus) yang

nantinya digunakan sebagai bibit untuk dikembangbiakan secara produktif.

Rumpunan thallus algae dipotong dengan ukuran 30-150 g, untuk dijadikan bibit stek

ini ditanam dengan mengikat pada tali-tali nilon atau pada tali utama (ris) di atas

perairan dengan jarak tertentu. Pertumbuhan dapat dilihat dengan bertambah besarnya

berat bibit tanaman rumput laut yang ditanam tersebut. Cepat atau lambat

pertumbuhannya tergantung dari jenis rumput laut yang dibudidaya dan mutu

lingkungan perairan tersebut.

2.4 Parameter Kualitas Air untuk Rumput Laut

a. Suhu

Rumput laut memerlukan sinar matahari untuk proses fotosintesis, karena itu

rumput laut hanya dapat tumbuh pada perairan dengan kedalaman tertentu di mana

sinar matahari dapat sampai ke dasar perairan. Puncak laju fotosintesis terjadi pada

intensitas cahaya yang tinggi dengan suhu antara 20-28 ºC, namun masih ditemukan

tumbuh pada suhu 31 ºC (Ismail, et al., 2002).

b. pH

Dalam memilih lokasi untuk budidaya Gracillaria verrucosa, harus

memperhatikan faktor biologis, fisika dan kimiawi. Salah satu faktor kimiawi tersebut

adalah pH sedangkan pH air yang optimal untuk pertumbuhan rumput laut adalah 7-8

(30)

c. Kedalaman Air

Kedalaman perairan yang baik untuk budidaya rumput laut Gracilaria

verrucosa, adalah 0,5-1,0 m pada waktu surut terendah (lokasi yang berarus

kencang), untuk metode lepas dasar, dan 2-15 m untuk metode rakit apung, 5-20 m

untuk metode long line dan sistem jalur. Kondisi ini untuk menghindari rumput laut

mengalami kekeringan dan mengoptimalkan perolehan sinar matahari (Ditjenkanbud,

2006).

d. Kecerahan

Cahaya matahari adalah merupakan sumber energi dalam proses fotosintesis.

Dalam proses fotosintesis terjadi pembentukan bahan organik yang diperlukan bagi

pertumbuhan dan perkembangan yang normal. Kecerahan perairan berhubungan erat

dengan penetrasi cahaya matahari. Kecerahan perairan yang ideal lebih dari 1 m. Air

yang keruh (biasanya mengandung lumpur) dapat menghalangi tembusnya cahaya

matahari di dalam air sehingga proses fotosintesis menjadi terganggu. Di samping itu

kotoran dapat menutupi permukaan thallus dan menyebabkan thallus tersebut

membusuk dan patah. Secara keseluruhan kondisi ini akan mengganggu pertumbuhan

dan perkembangan rumput laut (Ditjenkanbud, 2006).

e. Salinitas

Rumput laut Gracilaria verrucosa, adalah rumput laut yang bersifat

stenohaline. Ia tidak tahan terhadap fluktuasi salinitas yang tinggi. Salinitas yang baik

(31)

memperoleh perairan dengan kondisi salinitas tersebut harus dihindari lokasi yang

berdekatan dengan muara sungai (Ditjenkanbud, 2006).

f. Kecepatan Arus

Menurut Ditjenkanbud (2006), rumput laut merupakan organisme yang

memperoleh makanan melalui aliran air yang melewatinya. Nitrat (NO3) adalah

bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi

pertumbuhan rumput laut. Nitrat nitrogen sangat mudah larut dalam air dan bersifat

stabil (Effendi, 2003). Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi amonia menjadi

nitrit dan nitrat adalah proses yang penting dalam siklus nitrogen dan berlangsung

dalam kondisi aerob. Oksidasi ammonia menjadi nitrit dilakukan oleh bakteri

Nitrosomonas, sedangkan oksidasi nitrit menjadi nitrat dilakukan oleh bakteri

Nitrobacter. Kedua jenis bakteri tersebut merupakan bakteri kemotrofik, yaitu bakteri

yang mendapatkan energi dari proses kimiawi. Nitrat dan amonium adalah sumber

utama nitrogen di perairan. Namun amonium lebih disukai oleh tumbuhan. Kadar

nitrat-nitrogen pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1 mg/liter.

Gerakan air yang cukup akan menghindari terkumpulnya kotoran pada thallus,

membantu pengudaraan, dan mencegah adanya fluktuasi yang besar terhadap salinitas

maupun suhu air. Arus dapat disebabkan oleh arus pasang surut, maupun karena

angin dan ombak. Besarnya kecepatan arus yang baik antara 20-40 cm/detik.

Indikator suatu lokasi yang memiliki arus yang baik adanya tumbuhan karang lunak

(32)

2.5 Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)

Penyebaran kerapu macan terbesar saat sekarang ini adalah Malaysia dengan

asal benih dari Indonesia. Pasokan dari wilayah Sumatera Utara sendiri bisa mencapai

sekitar lima belas juta ekor benih per tahun (Sisterkarolin, 2008). Sedangkan untuk

ekverrucosaor ikan Kerapu ukuran konsumsi negara tujuan yang selama ini sebagai

pasar adalah Hongkong, Jepang, Singapura, Malaysia, China.

Menurut Randall (1962) dalam Evalawati et al., (2001), klasifikasi ikan

kerapu macan adalah sebagai berikut:

Phylum : Chordata

Sub phylum : Vertebrata

Class : Osteichtyes

Sub class : Actinopterigi

Ordo : Percomorphi

Sub ordo : Percoidea

Family : Serranidae

Genus : Epinephelus

Species : Epinephelus fuscoguttatus

Kerapu Macan (Gambar 3) memiliki sirip dorsal (punggung), sirip anal

(perut), sirip pektorial (sirip dada), sirip garis literal (gurat sisi) dan sirip caudal

(ekor). Sirip dorsal memanjang hampir sepanjang bagian punggung, di mana jari-jari

kerasnya memiliki jumlah yang sama dengan jari-jari lunaknya. Jumlah jari-jari

(33)

di sirip ekor adalah 15-17 buah dan bercabang dengan jumlah 13-15 buah. Sisik yang

menutupi seluruh permukaan tubuh terbentuk kecil, mengikat dengan bentuk sikloid.

Warna dasar Kerapu Macan adalah coklat, dengan perut berwarna putih serta bercak

hitam dan putih di sekujur tubuh yang tidak beraturan (Sudradjat, 2008).

Gambar 3. Bentuk Tubuh (Morfologi) Ikan Kerapu Macan

Ikan ini termasuk ikan pemakan aktif dan sensitif terhadap perubahan kualitas

air yang fluktuatif, perlu cahaya tetapi tidak langsung dari matahari, hidup di daerah

karang, berenang di dasar air dengan temperatur optimal 260 C, panjang rata-rata

maksimal 90 cm (Burgess et al., 1990).

Penyebaran Kerapu Macan di Indonesia untuk pembenihan terbesar adalah

di Bali dan Lampung. Wilayah lain seperti Aceh, Batam, Sulawesi Selatan dan

Sumatera Utara adalah merupakan tempat penggelondongan, sedangkan Sumatera

Utara telah berhasil melakukan penggelondongan dengan ukuran 6-8 inci (Diskanla

(34)

2.5 Kualitas Air Bagi Kerapu Macan

Menurut Chua dan Teng (1978), kualitas perairan yang optimal untuk

pertumbuhan ikan Kerapu, seperti suhu berkisar antara 24 - 31ºC, salinitas antara

30-33 ppt, oksigen terlarut > 3,5 ppm dan pH berkisar antara 7,8 - 8,0. Sementara itu

Suprakto dan Fahlivi (2007) melaporkan kualitas air pada lokasi budidaya, yaitu

kecepatan arus 15-30 cm/detik, suhu 27-29ºC, salinitas 30-33 ppt, pH 8,0-8,2,

oksigen >5 ppm dan kedalaman > 5 m. Kualitas perairan pada lokasi penangkapan

di Tanimbar Utara, yaitu suhu 27,00-29,62 ºC, salinitas 34,259-34,351 ppt, oksigen

terlarut 3,95-4,28 ml/l, nitrat 1,00-6,00 ìg.at/l dan fosfat berkisar 0,80-1,40 ìg.at/l

(Langkosono, et al., 2003). Parameter ekologis yang cocok untuk pertumbuhan ikan

kerapu, seperti suhu berkisar antara 24-31 º C, salinitas 30-33 ppt, oksigen terlarut >

4,9 ppm, pH antara 7,8-8,0 (Yoshimitsu, et al.,1986).

Menurut Anggadiredja, et al., (2006), dari beberapa jenis marga Gracillaria,

seperti Gracillaria chorda, G.tenuis tipitata, G.edulis, G.verrucosa, G. compressa,

dan G. gigasi, jenis yang paling menonjol yaitu G. verrucosa karena kemampuannya

beradaptasi dengan kisaran kondisi ekologis yang lebar di tambak, dan laju

pertumbuhannya yang tinggi. Menurut Izzati (2004), Gracilaria verrucosa dapat

meningkatkan kualitas air tambak dan produktivitas budidaya. Dikemukakan pula

oleh Bagarinao (1984) dalam Ditjenkanbud (2005), keuntungan ekologis yang

diperoleh dari beberapa sifat biologis biota polikultur tersebut akan dapat

memperbaiki kualitas lingkungan tambak. Salah satunya adalah rumput laut dapat

(35)

dari degradasi bahan organik, sehingga mengurangi resiko terjadinya eutrofikasi

akibat penguraian bahan organik yang kurang sempurna.

Budidaya sistem polikultur juga telah dibuktikan oleh Chung, et al., (1997)

pada uji laboratorium, percobaan dengan akuarium (ikan dan sistem kultur

rumput laut) menunjukkan bahwa Gracilaria bisa mengurangi kandungan nutrien

secara efektif. Konsentrasi dari NH4+-N menurun dari 85.53% menjadi 69.45%, dan

konsentrasi dari PO4-P berkurang dari 65.97% menjadi 26.74% di aquaria dengan

Gracilaria setelah 23 hari dan 40 hari, berturut-turut. Hasil ini menunjukkan bahwa

Gracilaria mempunyai potensi untuk mereduksi kelebihan nutrien di kawasan pantai,

dan penanaman besar-besaran dari Gracilaria lemaneiformis merupakan cara yang

(36)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu

3.1.1 Tempat

Penelitian dilaksanakan di lahan pertambakan milik UD. Sundoro di Desa

Paluh Nona Kec. Medan Belawan Sumatera Utara. Pengujian parameter fisika dan

kimia air dilakukan pada Laboratorium Pra Panen Dinas Kelautan dan Perikanan,

Provinsi Sumatera Utara.

3.1.2 Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 23 Agustus 2010 hingga tanggal 10

November 2010.

3.1.3. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan dan alat yang digunakan dalam pengamatan adalah disesuaikan dengan

jenis parameter pengamatan. Pada Tabel 1 disajikan bahan dan alat untuk pengujian

(37)

Tabel 1. Bahan dan Alat Penelitian Sesuai Jenis Parameter Kualitas Air

1 Biota yang dibudidayakan

a. Pertumbuhan Rumput laut nitrogen dan fosfor

3.2 Metode Pengumpulan Data

Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah: (1) kualitas air

tambak; (2) Tingkat kehidupan ikan Kerapu Macan, dan (3) Pertumbuhan, kandungan

(38)

Gambar 4. Persiapan Bibit Gracilaria verrucosa Sebagai Bahan Uji

Metode yang digunakan dalam pengambilan sampel masing-masing data

tersebut akan diuraikan lebih lanjut pada sub bab. Namun secara umum untuk

pengukuran kualitas air aspek fisika, kimia dan biologi akan dilakukan pengukuran

per 5 (lima) hari selama penelitian berlangsung, sedangkan penghitungan tingkat

kelangsungan hidup (Survival Rate) ikan Kerapu Macan akan dilakukan

penghitungan pada awal dan akhir penelitian.

3.2.1 Prosedur Penelitian

Tahapan dari kegiatan penelitian ini meliputi: persiapan lahan, penanaman

rumput laut dan penebaran ikan, operasional budidaya, monitoring kualitas air dan

panen. Akan digunakan 2 tambak yang akan digunakan dalam penelitian ini. Satu

(39)

Macan dengan rumput laut, sedangkan 1 petak tambak lainnya digunakan petak

kontrol untuk penggelondongan ikan Kerapu Macan tanpa rumput laut.

3.2.1.1 Persiapan lahan

Persiapan lahan sangat diperlukan untuk menjaga kestabilan dari perubahan

(fluktuasi) parameter fisika dan kimia yang akan mengakibatkan ikan akan mudah

terserang penyakit yang pada akhirnya akan menimbulkan kematian ikan Kerapu

Macan yang dibudidayakan, adapun langkah-langkah yang dijalankan adalah sebagai

berikut:

a. Pembersihan dasar tambak (pencucian) perlakuan dengan cara pengambilan

lumpur yang mempunyai lumpur hitam dan menimbulkan bau yang menyengat

(kandungan H2S tinggi) yang disebabkan sisa pakan yang menumpuk di 4

(empat) sudut tambak sebagai tempat yang disukai oleh bakteri dan virus yang

merugikan budidaya.

b. Pengukuran pH tanah pada petak 3 (tiga) digunakan sebagai petak kontrol yang

menghasilkan rataan sebesar 6,3 dan petak 4 (empat) digunakan sebagai petak

perlakuan yang menghasilkan rataan sebesar 6,5 dari hasil tersebut dibutuhkan

kapur sebanyak 400 Kg untuk petak kontrol dan 300 Kg pada petak perlakuan

yang disebar secara merata keseluruh lahan tambak dan dilakukan penjemuran

lahan tambak sekitar 7 (tujuh) hari, hal ini dilakukan agar kapur dapat terikat

oleh tanah dan dapat menaikkan pH tanah pada petak kontrol maupun petak

(40)

c. Pemberantasan hama dan penyakit dengan cara pengisian air setinggi 5 Cm,

pemberian saponin sebanyak 50 Kg pada petakan budidaya untuk mematikan

hama ikan yang dapat sebagai pemangsa dan kompetitor pakan dari ikan

budidaya dan pemberian kaporit 65% sebanyak 10 ppm pada petakan budidaya

untuk menghindari penyaki berupa bakteri dan virus yang masih tertinggal pada

perairan budidaya.

d. Persiapan media perairan budidaya dengan cara pengisian air secara perlahan

setinggi 120 Cm, pemberian probiotik yang berisi bakteri yang menguntungkan

untuk budidaya seperti Bacillus licheniformis, Bacillus subtilis, Saccharomyces

cereviceea yang berfungsi sebagai pengurai bahan organik dari sisa pakan,

plankton yang mati dan kotoran dan dapat menekan bakteri Vibrio sp dalam

perairan budidaya dan bakteri Nitrosomonas, Nitrobacter yang dapat membantu

proses penguraian ammonia menjadi nitrat dan nitrit pada perairan budidaya,

e. Pemasangan karamba jaring apung sebanyak 40 (empat puluh) unit yang

mempunyai ukuran jaring 2,5 X 2,5X 4 meter pada masing-masing petakan dan

penanaman rumput laut dengan metode long line pada petak perlakuan sebagai

petakan yang digunakan sebagai budidaya dengan sistem polikultur.

3.2.1.2 Penanaman rumput laut dan penebaran ikan Kerapu Macan

Jenis rumput laut yang ditanam adalah Gracilaria verrucosa. Bibit Gracilaria

verrucosa yang ditanam, ditimbang seberat 100 gram dan diikatkan pada tali ris

dengan metode long line. Jarak tanam antar bibit adalah 50 cm, sedangkan jarak

(41)

Gambar 5. Pengikatan Gracilaria verrucosa pada Tali Ris di Lahan Tambak

Bibit Gracilaria verrucosa yang akan digunakan harus sehat, menurut Gavino

C. Trono Jr. (1990), memiliki kriteria sebagai berikut:

a. Bercabang banyak, rimbun dan elastis.

b. Tidak terdapat bercak dan terkelupas.

c. Warna spesifik cerah.

d. Thallus muda (umur 25-35 hari).

e. Berat bibit 50-100 gram per rumpun.

Benih ikan Kerapu Macan yang ditebar berasal dari hasil pembenihan di Bali

dan berukuran 7-8 Cm (Gambar 6). Adapun benih ikan Kerapu Macan sehat menurut

Sunaryat (2004), dengan ciri sebagai berikut:

1. Warna ikan lebih cerah;

2. Tubuh tidak cacat;

(42)

4. Memiliki respon yang tinggi terhadap pakan yang diberikan.

Padat tebar yang digunakan pada masing-masing keramba jaring apung

adalah 500 ekor/keramba dengan ukuran keramba sebesar 2,5 X 2,5 X 4 meter

(Gambar 7).

Gambar 6. Pengukuran Benih Ikan Kerapu Macan Sebelum Ditebar

(43)

3.2.1.3 Operasional budidaya

1. Padat tebar

Padat tebar yang dilakukan dalam penggelondongan di lokasi penelitian

adalah 500 ekor/keramba dengan ukuran ikan tebar antara 7-7,5 cm 3 (tiga) inchi

(Gambar 8). Hal ini didasarkan dengan diketahuinya jumlah dan ukuran benih yang

dipesan pada unit pembenihan rakyat yang telah dikembangkan oleh UD. Sundoro.

Penebaran benih dilakukan pada pagi hari tepatnya pada jam 07.00, sebelum

dilakukan penebaran benih di dalam jaring, terlebih dahulu dilakukan penyesuaian

terhadap lingkungan barunya (aklimatisasi). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan

oleh Evalawati et al., (2001), yang menyatakan bahwa sebelum dilakukan penebaran

benih, sebaiknya dilakukan aklimatisasi terlebih dahulu karena adanya perbedaan

suhu dan salinitas antara air yang berada di dalam kantong dengan air yang terdapat

pada keramba.

(44)

Adapun tahap-tahap yang dilakukan dalam aklimatisasi yaitu dengan

memasukkan kantong yang berisikan benih ke dalam jaring dan didiamkan selama ±

20 menit, kemudian karet pengikat dilepas dan secara perlahan air yang berada di luar

kantong dimasukkan sedikit demi sedikit sampai kantong benih tersebut terisi dua

kali lebih banyak sebelum dimasukkannya air dari jaring/luar kantong. Kantong yang

berisikan benih dimiringkan hingga semua benih keluar dengan sendirinya, hal ini

sesuai dengan yang dikemukakan oleh Tinggal et al., (2003). Salah satu proses

aklimatisasi disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9. Proses Aklimatisasi

2. Pemberian pakan

Dalam frekuensi pemberian pakan di lokasi penelitian untuk pemeliharaan

gelondongan ini dilakukan 2 kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari dan secara

adlibitum (sekenyang-kenyangnya). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh

(45)

penggelondongan dan dilakukan pemberian pakan secara adlibitum. Adapun jenis

pakan yang akan diberikan pada benih yaitu pakan rucah (ikan non ekonomis

penting). Hal ini dikarenakan ikan rucah memiliki harga yang relatif murah, namun

memiliki nilai gizi yang masih mencukupi untuk benih kerapu macan. Hal ini sesuai

dengan yang dikemukakan oleh Tinggal et al. (2003), yang menyatakan bahwa secara

umum untuk jenis pakan yang diberikan pada ikan jenis kerapu berupa ikan rucah

segar karena memiliki harga yang relatif lebih murah dan mempunyai nilai gizi yang

cukup untuk ikan-ikan budidaya dan sesuai juga yang dikemukakan oleh Kast dan

Rosenzweig dalam Komaruddin (1991) seperti yang terlihat pada Gambar 10, yang

menyatakan bahwa dalam suatu kegiatan usaha perlu diadakan penekanan biaya.

Adapun jenis ikan rucah yang diberikan pada benih Kerapu Macan terdiri dari

beberapa jenis, seperti yang disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Jenis-jenis Ikan Rucah yang Diberikan pada Benih

No Nama Lokal Nama Latin

1 Ikan Gendang Saurida sp.

2 Ikan Merah/Jenggot Parupeneus sp.

3 Ikan Mata Besar Priachanthus sp.

4 Ikan Peperek Gazza minuta, Leiognauthus sp.

(46)

Gambar 10. Ikan Rucah Sebagai Pakan

Sebelum pemberian pakan dilakukan, pakan dibilas dengan air laut terlebih

dahulu dan dilanjutkan dengan pembuangan sisik kemudian pencincangan. Ukuran

dalam pencincangan pakan ini disesuaikan dengan bukaan mulut benih, penyiapan

pakan untuk diberikan pada benih dilakukan secara bersamaan untuk diberikan pada

pagi dan sore hari. Setelah pakan siap, maka pakan yang akan diberikan pada sore

hari dimasukkan pada box yang telah diberi es, agar pakan tersebut tetap segar sampai

pada saat akan diberikan pada benih pada sore hari.

Teknik yang digunakan dalam pemberian pakan di lokasi penelitian yaitu

dengan pemberian secara sedikit demi sedikit sampai pakan yang akan diberikan

tersebut habis, hal ini dilakukan karena pakan merupakan salah satu faktor eksternal

yang perlu diperhatikan dalam kegiatan budidaya khususnya untuk Kerapu Macan,

sebab pakan memiliki nilai konstribusi yang cukup besar (> 60%) terutama dalam

(47)

karena itu teknik pemberian pakan harus diperhatikan agar tidak terjadi pemborosan

pakan sehingga biaya operasional dapat ditekan seminim mungkin, hal ini sesuai

yang dikemukakan oleh Kast dan Rosenzweig dalam Komaruddin (1991), yang

menyatakan bahwa prosedur pengurangan biaya perlu dilakukan untuk menggantikan

metoda yang ada, pemberian pakan yang tidak sesuai juga mengakibatkan terjadinya

proses pembusukan yang akan mengakibatkan salah satu penyebab meningkatnya

kematian ikan budidaya.

Rasio pemberian pakan pada usaha penggelondongan di KJA harus

diperhitungkan secara tepat agar ikan dapat tumbuh dengan baik, mempunyai nilai

tingkat kelulusan hidup yang tinggi (SR) serta secara ekonomis menguntungkan.

Untuk nilai rasio pemberian pakan di lokasi praktek untuk pemeliharaan gelondongan

Kerapu Macan yaitu 7,5-10% berat badan per hari untuk pakan jenis rucah segar,

akan tetapi apabila pada saat pemberian pakan benih sudah kenyang maka pemberian

pakan dihentikan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Puja et al., (2003),

yang menyatakan bahwa rasio pemberian pakan yang baik untuk kegiatan

penggelondongan yaitu 7,5-10% dari berat total benih yang dipelihara.

3. Pencegahan penyakit

Salah satu aspek yang dapat menjadi hambatan dalam suatu kegiatan usaha

budidaya adalah penyakit yang menyerang pada ikan budidaya merupakan hambatan

besar yang ditemui dalam kegiatan budidaya di lokasi penelitian. Adapun untuk

(48)

menjadi suatu permasalahan. Langkah-langkah yang ditempuh dalam menanggulangi

hal tersebut dapat dijelaskan di bawah ini:

1) Perendaman air tawar: Perendaman ini dilakukan apabila pada saat

pengontrolan dilakukan terdapat benih yang terserang oleh penyakit.

Perendaman dilakukan selama ± 5 menit secara rutin setiap 5 hari sekali tanpa

menggunakan aerasi.

2) Perendaman dengan air laut: Perendaman ini dilakukan dengan melarutkan

formalin dengan dosis 1 ppm ke dalam air laut.

3) Pemisahan ikan yang sakit: Upaya ini dilakukan dengan adanya kegiatan

monitoring yang dilakukan secara rutin, apabila ditemukan benih yang

menimbulkan gejala terserang penyakit maka segera dilakukan pemisahan

jaring dari benih yang sehat lainnya dan benih yang sakit dimasukkan ke dalam

jaring karantina yang sudah disiapkan dan letaknya cukup jauh terpisah dari

jaring benih yang sehat. Apabila ditemukan benih yang mati maka segera

diserok dan dibawa ke darat untuk dimusnahkan.

4) Mengatur sirkulasi air: Hal ini dilakukan dengan mengatur tata letak jaring

yang digunakan dalam suatu petakan kegiatan budidaya di KJA ataupun dengan

membersihkan jaring dari organisme penempel pada jaring sesering mungkin.

5) Pencampuran pakan dengan obat: Langkah ini merupakan upaya dini yang

dilakukan pada benih dan diberikan saat penebaran sampai ukuran benih

berkisar 100 gram. Sekali sehari pakan rucah dicampur secara merata dengan

(49)

Tindakan yang diambil dalam upaya pengobatan pada benih yang terserang

penyakit yaitu dengan melakukan perendaman dengan air laut Gambar 11. Benih

yang terserang penyakit dapat dilihat dari luka yang ditimbulkan. Serangan jenis

bakteri menyebabkan sirip ekor terputus dan lain sebagainya. Adapun

langkah-langkah dalam melakukan perendaman yaitu wadah diisi sampai ukuran maksimal

dengan air laut tanpa pengendapan ataupun penyaringan diselingi dengan menyiapkan

aerasi yang disetel kuat. Penambahan obat berupa prefuran dengan dosis 10mg/liter,

yang berfungsi sebagai pemisah/mengangkat kotoran dari badan air. Setelah obat

merata di dalam air maka benih segera direndam selama ± 15 jam, perendaman ini

dilakukan pada sore hari dan pada pagi harinya benih dapat ditebar lagi ke dalam

jaring.

(50)

4. Lama pemeliharaan

Budidaya ikan Kerapu Macan dari ukuran 3 inci sampai panen berukuran 5

inci diperkirakan selama 2 (dua) bulan pemeliharaan.

3.2.1.4 Monitoring kualitas air dan tingkat kelangsungan hidup

Selama operasional pemeliharaan, kedua petak tambak dilakukan pemantauan

kualitas air. Prosedur pengamatan dan pengukurannya adalah sebagai berikut:

a. Pengamatan kualitas air

Parameter kualitas air yang akan diamati meliputi beberapa parameter

lingkungan perairan yang mencakup aspek fisika, kimia, dan biologi yang terdiri dari:

1. Parameter fisika kualitas air yang akan diamati meliputi suhu, kekeruhan.

Kecerahan.

2. Parameter kimia kualitas air yang akan diamati meliputi salinitas, ammonia,

nitrit, nitrat, nitrogen, pH, fosfat, besi (Gambar 12).

(51)

3. Parameter Biologi meliputi biota yang dibudidayakan dan rumput laut

meliputi pertumbuhan, kandungan nitrogen, karbon, fosfor dan kelangsungan

hidup ikan Kerapu.

b. Pengamatan tingkat kelangsungan hidup

Pengamatan rumput laut yang mati dan jatuh akan dilakukan 5 (lima) hari

sekali diganti dengan rumput laut baru dan membersihkan rumput laut dari partikel

debu yang menempel atau kotoran yang melekat pada rumput laut sehingga dapat

mengganggu proses metabolisme pada rumput laut dengan cara menggoyang tali ris

utama agar fungsinya dalam tambak sebagai biofilter tetap efektif. Untuk melakukan

sampling tingkat kehidupan (survival rate) ikan Kerapu Macan dilakukan setelah

panen (Gambar 13) yang akan dilaksanakan dengan waktu 70 hari.

(52)

3.3 Analisis Data

ganalisis perbedaan kestabilan kualitas air

put laut dengan yang tidak menggunakan rum

-rata dengan rumus sebagai berikut:

t hitung =

(Sudjana, 2002)

gujian adalah: terima H0 jika – t tabel < t hitu

dk) = (n1+n2-2) dan peluang (1-á), di mana:

arameter air dengan perlakuan rumput laut

arameter air tidak dengan perlakuan rumput lau

pel

baku

ta parameter air dengan perlakuan rumput laut

ta parameter air tidak dengan perlakuan rumput

arians data rata-rata parameter air dengan perla

varians data rata-rata parameter air tidak

air di tambak yang

umput laut digunakan

itung < t tabel dengan

laut

ut laut

rlakuan rumput laut

(53)

Untuk mengetahui hubungan tingkat kelangsungan hidup ikan Kerapu Macan pada

tambak yang menggunakan rumput laut dan tidak menggunakan rumput laut

digunakan rumus menurut Sunyoto, (1994) sebagai berikut:

Survival rate (SR) =

Keterangan: Nt = Jumlah Kerapu yang hidup pada akhir pemeliharaan (ekor)

N0 = Jumlah Kerapu yang ditebar (ekor) Nt

N0

(54)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Fisika Air

4.1.1 Suhu

Suhu mempunyai peran penting bagi budidaya ikan, untuk tumbuhan seperti

fitoplankton dan rumput laut fotosintesa dapat berjalan optimal sedangkan untuk

zooplankton dan ikan yang dibudidayakan metabolisme dapat maksimal sehingga

pertumbuhan ikan berlangsung secara optimal. Hasil penelitian suhu pada kedua

petak tambak dengan sistem budidaya polikultur dan monokultur didapatkan hasil:

pada petak kontrol dengan sistem budidaya monokultur mempunyai suhu rata-rata

terendah 30 oC dan suhu rata-rata tertinggi 31,7 oC, sedangkan pada petak perlakuan

dengan sistem budidaya polikultur suhu rata-rata terendah 29,5 oC dan suhu rata-rata

tertinggi 31,2 oC.

Dari penelitian didapat bahwa kisaran suhu pada petak kontrol maupun petak

perlakuan masih di dalam kisaran suhu yang disarankan Standar Nasional Indonesia

dalam budidaya ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) yaitu 26 oC sampai

dengan 32 oC, tetapi suhu pada petak perlakuan lebih stabil dibandingkan pada petak

kontrol seperti terlihat pada Gambar 14. Hal tersebut disebabkan pada sistem

polikultur suhu dipergunakan oleh fitoplankton, zooplankton, ikan Kerapu Macan dan

rumput laut (Glacilaria verrucosa) untuk berfotosistesa dan bermetabolisme

sedangkan pada petak kontrol suhu akan cepat menguap sesuai dengan cuaca

(55)

berfotosintesa. Pada

,2 oC dan pada petak kontrol terjadi penurunan

a penelitian ke 4 dan ke 5 terjadi curah hujan ya

. Fluktuasi Suhu pada Kolam Pengamatan

Lampiran 7 bahwa perbandingan parameter

uan berbeda tidak nyata. Hal tersebut ditunjuk

T tabel (-2,0555 < 1,1782 < 2,0555), dengan m

lam uji statistik (uji T) maka Ho diterima, artin

hu air pada petak kontrol dan perlakuan. Hal i

engaruhi oleh suhu udara sebagai penyuplai

idaya ikan Kerapu Macan masih dalam kisara

(56)

4.1.2 Kekeruhan

Kekeruhan terjadi dikarenakan adanya partikel tersuspensi dan terlarut dalam

air seperti lumpur, jasad renik, zat organik dan zat lainnya yang tidak mudah

mengendap, kekeruhan yang tinggi dapat menimbulkan terganggunya proses respirasi

pada ikan, fotosintesa pada fitoplankton, rumput laut dan produktivitas primer

perairan. Dalam usaha budidaya ikan nilai kekeruhan sebaiknya berkisar antara 2-30

NTU (Nephelometric Turbidity Unit) (Mayunar, 1995). Hasil penelitian dari

kekeruhan seperti terlihat pada Gambar 15 didapat nilai rata-rata kekeruhan pada

petak kontrol adalah 8,42 NTU dengan nilai kekeruhan terkecil 7,6 NTU dan tertinggi

9,4 NTU lebih besar dibandingkan petak perlakuan adalah 7,41 NTU dengan nilai

terkecil 6,4 NTU dan kekeruhan tertinggi 8,6 NTU. Kekeruhan petak perlakuan

mempunyai rataan lebih kecil dibandingkan petak kontrol, hal tersebut disebabkan

rumput laut berfungsi sebagai penyerap partikel lumpur, zat organik yang ada di suatu

perairan dan ini dibuktikan oleh peneliti setiap 10 (sepuluh hari) rumput laut harus

dibersihkan dari partikel lumpur agar pertumbuhan/perkembangan rumput laut dapat

(57)

Gambar 15. Flu

Hal tersebut ditunjukkan -T hitung < -T tabel

(-kan kaidah yang diguna(-kan dalam uji statistik

erbeda nyata parameter kekeruhan air antar

kontrol dikarenakan rumput laut dapat mengik

han pada kedua sistem budidaya masih da

m budidaya ikan yaitu 2-30 NTU.

ng mempunyai kecerahan yang tinggi mer

erairan tersebut baik, sedangkan tingkat kece

atan Budidaya

bandingan parameter

dibandingkan dengan

-4,0898 < - 2,0555),

tistik (uji T) maka Ho

tara petak perlakuan

gikat partikel lumpur,

dalam kisaran yang

erupakan salah satu

(58)

menunjukkan kandungan partikel lumpur, kandungan bahan organik tinggi yang

menjadi tempat yang subur bagi berkembangnya organisme penempel seperti lumut,

cacing yang dapat mengganggu dan menjadi penyakit bagi ikan Kerapu Macan.

Adapun kecerahan yang disarankan oleh Standar Nasional Indonesia untuk

budidaya ikan di tambak adalah > 30 cm. Hasil penelitian dari rata-rata kecerahan air

seperti terlihat pada Gambar 16. Kecerahan pada petak kontrol adalah 49,8 cm

dengan nilai kecerahan terkecil 46 cm dan kecerahan tertinggi 51 cm sedangkan pada

petak perlakuan didapat rata-rata kecerahan adalah 54,6 cm dengan nilai kecerahan

terkecil 53 cm dan kecerahan tertinggi 56 cm, dari hasil tersebut di atas menandakan

bahwa kecerahan pada petak perlakuan lebih baik dibandingkan petak kontrol, hal

tersebut disebabkan pada petak perlakuan rumput laut menyerap partikel lumpur dan

bahan organik yang terdapat pada perairan sehingga kecerahan lebih tinggi.

Berdasarkan Lampiran 11 bahwa perbandingan parameter kecerahan yang

terdapat pada petak kontrol berbeda nyata jika dibandingkan petak perlakuan,

ditunjukkan dengan -T hitung <-T tabel ( -7,8234 < - 2,0555) dengan menggunakan

kaidah uji statistik (Uji T) maka Ho ditolak artinya parameter kecerahan berbeda

nyata antara petak kontrol dibandingkan petak perlakuan, hal tersebut disebabkan

rumput laut menyerap partikel lumpur dan nutrien yang ada di perairan tambak

sehingga cahaya dapat menembus lebih dalam. Menurut Standar Nasional Indonesia

nilai kecerahan yang disarankan adalah > 30 Cm yang berarti bahwa kecerahan yang

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian
Gambar 2. Gracilaria verrucosa
Gambar 3. Bentuk Tubuh (Morfologi) Ikan Kerapu Macan
Tabel 1. Bahan dan Alat Penelitian Sesuai Jenis Parameter Kualitas Air
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengamatan nilai TAN dilakukan di Lab Ligkungan Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pengambilan air sampel dilakukan

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami berhasil menyelesaikan penyusunan Laporan Prektek