• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian epidemiologi sistiserkosis pada babi dan Karakterisasi Risiko daging babi bakar batu di Kabupaten Jayawijaya Papua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian epidemiologi sistiserkosis pada babi dan Karakterisasi Risiko daging babi bakar batu di Kabupaten Jayawijaya Papua"

Copied!
148
0
0

Teks penuh

(1)

DI KABUPATEN JAYAWIJAYA PAPUA

INRIYANTI ASSA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Kajian Epidemiologi Sistiserkosis pada Babi dan Karakterisasi Risiko Daging Babi Bakar Batu di Kabupaten Jayawijaya Papua adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juli 2012

(3)

INRIYANTI ASSA. Considerable study of epidemiology porcine cysticercosis and risk characterization of pork meat by burning stones at Jayawijaya Regency Papua. Under the supervision of FADJAR SATRIJA, DENNY WIDAYA LUKMAN and NYOMAN SADRA DHARMAWAN.

Jayawijaya Regency is a hyperendemic area of human cysticercosis in Indonesia. Disease caused of metacestoda of Taenia solium. Therefore very limited data of porcine cysticercosis are available. This study was divided into three stages, the first to assess the spread of porcine cysticercosis in Jayawijaya Regency, second to characterize the risk of burning stones (barapen), the last was examined the level of knowledge and behavior about the source of tapeworm infection. A total of 111 pigs were tested serologically to detect the presence of circulating parasite antigen using monoclonal antibody-based sandwich enzyme-linked immunosorbent assay (MoAb-ELISA). Fourty five samples (40.54%) were found positive by MoAb-ELISA, and the highest prevalence occurred from the District of Asolokobal (92.86%), followed by Musatfak (75%), Kurulu (65.22%), Bolakme (33.33%), Asologaima (31.82%), Homhom (18.18%), Hubikosi (14.29%), Jibama market (14.29%), and the lowest prevalence from Wamena Kota (5.88%). Free-range pig husbandry system (OR=4.63; P<0.01) and uncooked pork feed (OR=3.65; P<0.05) were important risk factors for porcine cysticercosis. Asolokobal District are highly vulnerable to cycticercosis. Barapen is one of culture in Jayawijaya. The research was conducted to study the relationship between barapen method and infecting humans with cysticercosis/taeniosis. Field observations indicate a barapen is divided into three parts, namely, stone and wood burning, roasting pork and eat together. The highest hot stones temperature is 300 °C and lowest 170 °C. The roasting pork take more an hour with a temperature of 60 to 90 °C. The temperature of the stone (65.66 °C) and pork (83.33 °C) removed from the barapen process were highly. The pork was cooked only spread on the grass. Opportunity to get cysticercosis in Wamena is currently puting the food that cooked on the grass. Health education were done at 41 housewives in Wamena. Overall there is an increasing public knowledge of cysticercosis after the intervention through counseling about cysticercosis is 75.28% to 100%. Differences in knowledge there is very high at the time of education is given between 58.54% and 76.61%. After one week of the results obtained do counseling is an increase in the knowledge that is not too high (36.59%). Behavioral people after an education increase of 21.39%. Health education is conducted continuously to reduce the prevalence of cysticercosis/taeniosis in Jayawijaya. The needed for counseling regarding methods of handling food hygiene, an anthropology approach about pig husbandry system and pattern of cook pork feed.

(4)

INRIYANTI ASSA. Kajian epidemiologi sistiserkosis pada babi dan karakterisasi risiko daging babi bakar batu di Kabupaten Jayawijaya Papua. Dibimbing oleh FADJAR SATRIJA, DENNY WIDAYA LUKMAN, NYOMAN SADRA DHARMAWAN.

Kabupaten Jayawijaya adalah daerah hiperendemis sistiserkosis. Sistiserkosis yang disebabkan oleh larva T. solium merupakan salah satu zoonosa yang dapat memberikan gejala berat khususnya bila larva terdapat pada otak atau mata. Larva menyebabkan gejala lebih ringan bilamana ditemukan di jaringan subkutan, otot atau organ lain. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji penyebaran sistiserkosis pada babi dan mengkarakterisasi risiko daging babi yang dimasak secara bakar batu serta mengkaji tingkat pengetahuan dan perilaku masyarakat tentang sumber infeksi cacing pita.

Kegiatan penelitian ini terdiri atas tiga bagian besar, yaitu; 1) kajian epidemiologi sistiserkosis pada babi di Kabupaten Jayawijaya, 2) karakterisasi risiko sistiserkosis pada daging babi bakar batu, 3) kaji tindak pengetahuan dan perilaku masyarakat Kabupaten Jayawijaya terhadap sistiserkosis.

Kajian epidemiologi sistiserkosis pada babi di Kabupaten Jayawijaya merupakan penelitian yang menggunakan metode survei yang terdiri tiga tahap, pertama pengambilan serum babi untuk mendapatkan seroprevalensi dan data primer melalui wawancara menggunakan kuesioner, tahap kedua yaitu faktor risiko sistiserkosis pada babi, tahap ketiga pemetaan sistiserkosis di Kabupaten Jayawijaya.

Sebanyak 111 serum yang diambil dari delapan distrik dan pasar Jibama. Sampel serum yang diuji untuk melihat adanya antigen sirkulasi parasit dengan menggunakan monoclonal antibody-based sandwich enzyme-linked immunosorbent assay. Metode sandwich yang digunakan berasal dari Institute of Tropical Medicine (ITM 2009). Hasil reaksi seropositif tertinggi terdapat di Distrik Asolokobal (92.86%), diikuti Musatfak (75%), Kurulu (65.22%), Bolakme (33.3%), Asologaima (31.82%), Homhom (18.18%), Hubikosi (14.29%), pasar Jibama (14.29%) dan prevalensi terendah terdapat di Distrik Wamena Kota sebesar 5.88%.

Tahap selanjutnya yaitu untuk mengetahui faktor risiko sistiserkosis pada babi. Ada enam faktor yang menjadi risiko sistiserkosis yaitu; jenis kelamin babi, cara pemeliharaan babi, struktur kandang, pakan babi, air bersih dekat kandang dan kepemilikan jamban. Cara pemeliharaan babi yang tidak dikandangkan (OR=4.63; P<0.01) dan pakan babi yang tidak dimasak (OR=3.65; P<0.05) merupakan faktor risiko yang penting terhadap terjadinya sistiserkosis pada babi.

(5)

tiga bagian yaitu; tidak rawan, rawan dan sangat rawan. Distrik yang masuk kategori tidak rawan adalah Distrik Wamena Kota dan Homhom, kategori rawan yaitu Distrik Asologaima dan daerah yang masuk kategori sangat rawan adalah Distrik Asolokobal, diikuti dengan Distrik Kurulu, Bolakme, Musatfak dan Distrik Hubikosi.

Penelitian bagian kedua yaitu mengkarakterisasi risiko sistiserkosis pada daging babi bakar batu. Penelitian ini terbagi atas dua tahap yaitu upacara bakar batu dan ketahanan sistiserkus daging babi bakar batu. Hasil observasi lapangan menunjukkan kegiatan upacara bakar batu terbagi atas tiga yaitu; pertama pembakaran batu dan kayu, kedua pemanggangan daging babi beserta hipere, sayuran dan ketiga yaitu makan bersama. Batu yang digunakan adalah batu kali, suhu rata-rata batu saat diletakkan dalam liang bakar batu yaitu 236.16 °C. Babi yang akan dipanggang terlebih dahulu dipanah lalu diletakkan di atas pembakaran sekitar tiga menit dengan tujuan melepaskan bulu babi. Makanan yang telah matang dihamparkan di atas rumput dan siap disantap bersama.

Suhu daging babi selama pemanggangan diukur dengan menggunakan

thermocouple. Pemanggangan bakar batu berlangsung hingga satu setengah jam dengan suhu selama pemanggangan 60-90 °C. Panas batu (65.66 °C) dan daging babi (83.33 °C ) yang dikeluarkan dari tempat pemanggangan tetap masih tinggi.

Penelitian bagian ketiga adalah kaji tindak pengetahuan dan perilaku masyarakat Kabupaten Jayawijaya terhadap sistiserkosis. Desain penelitian terbagi atas dua yaitu, wawancara dan penyuluhan. Tingkat pengetahuan diukur dengan menggunakan kuesioner yang dilakukan sebelum penyuluhan, sesudah penyuluhan dan satu minggu setelah penyuluhan. Perilaku diukur saat sebelum dilakukan penyuluhan dan satu minggu setelah penyuluhan.

Secara keseluruhan terdapat peningkatan pengetahuan masyarakat terhadap sistiserkosis setelah dilakukan intervensi melalui penyuluhan mengenai sistiserkosis yaitu, 75.28% sampai dengan 100%. Perbedaan pengetahuan terjadi sangat tinggi pada saat diberikan penyuluhan yaitu, antara 58.54% sampai dengan 76.61%. Setelah satu minggu dilakukan penyuluhan hasil yang diperoleh adalah terjadi peningkatan pengetahuan yang tidak terlalu tinggi yaitu 36.59%. Perilaku masyarakat setelah dilakukan penyuluhan terjadi peningkatan sebesar 21.39%.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

DI KABUPATEN JAYAWIJAYA PAPUA

INRIYANTI ASSA

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penguji Luar Komisi I. Sidang Tertutup:

1. Prof. Dr. drh. Mirnawati Sudarwanto

(Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet FKH IPB) 2. Dr. drh. Yusuf Ridwan, M.Si.

(Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet FKH IPB)

II. Sidang Terbuka:

1. Prof. dr. Ali Gufron Mukti, M.Sc., Ph.D. (Wakil Menteri Kesehatan Republik Indonesia) 2. Dr. Zakharias Giay, SKM., M.Kes., MM.

(9)

Kabupaten Jayawijaya Papua Nama Mahasiswa : Inriyanti Assa

Nomor Pokok : B261070011

Program Studi : Kesehatan Masyarakat Veteriner

Disetujui: Komisi Pembimbing

Ketua

drh. Fadjar Satrija, M.Sc., Ph.D.

Anggota

Dr. drh. Denny W. Lukman, M.Si.

Anggota

Prof. Dr. drh. Nyoman S. Dharmawan, MS.

Diketahui:

Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr. drh. Denny W. Lukman, M.Si.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc., Agr.

(10)

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan kasihNya serta kesehatan dan lindungan yang diberikan kepada penulis sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Fokus penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah peningkatan kesehatan, perilaku hidup bersih pada masyarakat Papua dalam upaya pencegahan dan menurunkan prevalensi Taenia solium, dengan judul Kajian Epidemiologi Sistiserkosis pada Babi dan Karakterisasi Risiko Daging Babi Bakar Batu di Kabupaten Jayawijaya.

Pada kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat Bapak drh. Fadjar Satrija, MSc, PhD., Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si. dan Prof. Dr. drh. Nyoman Sadra Dharmawan, MS. yang sangat berdedikasi untuk memberikan bimbingan, arahan, sejak perencanaan dan berlangsungnya penelitian hingga selesainya penulisan disertasi ini. Bagi penulis sungguh merupakan suatu kehormatan dan kebahagiaan menjadi mahasiswa bimbingan sehingga dapat menyerap ilmu. Jasa serta pengorbanan dari dosen pembimbing kepada penulis sungguh tidak ternilai dan tak mungkin dapat terlupakan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Prof. Dr. drh. Mirnawati Sudarwanto dan Dr. drh. Yusuf Ridwan, M.Si. sebagai Penguji Luar Komisi pada Sidang Tertutup, serta yang terhormat Prof. dr. Ali Gufron Mukti, M.Sc., Ph.D. dan Dr. Zakharias Giay, SKM, M.Kes., MM. sebagai Penguji Luar Komisi pada Sidang Terbuka Ujian Doktor Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pertanyaan, saran, kritik serta koreksinya sangat berharga dalam menyempurnakan disertasi ini sehingga bobotnya bertambah.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Bapak Prof. Dr. B. Kambuaya, MBA. selaku Rektor Universitas Cenderwasih (periode 2004 sampai 2009) dan Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Drs. A.L Rantetampang, M.Kes. yang memberikan kesempatan bagi penulis untuk mengikuti studi program doktor. Terima kasih yang tulus disampaikan kepada Bapak Rektor Institut Pertanian Bogor dan Dekan Sekolah Pascasarjana beserta staf, atas kesempatan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan studi S3 di Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih atas biaya yang diberikan selama studi, kepada Program Bantuan Pendidikan Pascasarjana (BPPS) Direktorat Pendidikan Tinggi Departeman Pendidikan Nasional Tahun 2007-2010.

(11)

linked immunosorbent (ELISA) di laboratorium Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu (UPMT), Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

Selanjutnya ucapan terima kasih disampaikan kepada drh. Made Putra sebagai Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Jayawijaya Papua, yang telah memberikan bantuan dalam pengambilan serum babi, banyak memberikan kemudahan di lapangan serta mengajarkan penulis untuk bisa mengambil darah babi dan pembuatan serum. Ucapan terima kasih kepada Bapak Agustinus Aronggear selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya, yang telah memberikan ijin dan kerjasama kepada penulis. Penulis ucapkan terima kasih kepada Dwi Ardei Dompas SKM, Rahmat SKM, Agustina Kurisi SKM, Demianus Huby SKM, Jannes STh, Daniel Rumbo-rumbo SKM, Christine, Lukas Logo, Annace Anneke Repi SPd, atas segala bantuan yang telah diberikan saat penulis berada di Wamena.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada drh. Risa Tiuria MS. Ph.D., Dr. drh. Elok B Retnani MS., yang banyak memberikan bantuan kepada penulis. Kepada staf pegawai Laboratorium Helminthologi, Pak Sulaeman, Ibu Irawati, Pak Kosasih dan Staf administrasi Pak Agus Haryanto, Pak Hendra, Ibu Gipra Setiwi yang banyak membantu, penulis ucapkan terima kasih. Secara khusus kepada rekan seperjuangan Dr. drh. Andriani M.Si atas kebersamaan dan dukungannya dalam menempuh pendidikan Pascasarjana.

Akhirnya, ucapan terima kasih disampaikan kepada seluruh keluarga besar Assa-Lampah (ayah, ibu, kakak dan adik) atas doa dan bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan. Kepada suami tercinta, Bill Jones Cuncun Pangayow, SE., MSi. Ak., penulis ucapkan terima kasih banyak atas kasih sayang, kesabaran, yang tentunya banyak berkorban dan telah memberikan bantuan yang tidak ternilai.

Dalam penulisan disertasi ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Kekurangan dalam penelitian maupun penulisan disertasi adalah kesalahan penulis semata. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran membangun untuk perbaikan disertasi. Harapan penulis, disertasi ini bisa bermanfaat bagi semua pihak, bidang veteriner, kesehatan masyarakat, antropologi kesehatan, pengambil kebijakan dan pengembangan serta kemajuan ilmu pengetahuan.

Bogor, Juli 2012

(12)

Penulis adalah anak ke-7 dari sembilan bersaudara, ayah bernama Adolf Assa dan ibu Theresia Lampah. Dilahirkan di Manado pada tanggal 9 April 1977. Menyelesaikan pendidikan SD tahun 1989 di SD Negeri 1 Palu, SMP tahun 1992 di SMP Advent dan SMA Negeri 4 Palu. Tahun 2000 menyelesaikan Sarjana Pertanian dengan Program Studi Hama dan Penyakit Tumbuhan Universitas Sam Ratulangi. Pada tahun 2001 terdaftar sebagai mahasiswa Magister Program Studi Entomologi dengan peminatan Toksikologi Lingkungan dari universitas yang sama. Pendidikan strata-2 ini diselesaikan pada tahun 2003. Tahun 2005, penulis ditetapkan sebagai staf pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Cenderawasih, Papua. Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Doktor diperoleh pada tahun 2007 pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis terlibat dalam berbagai kegiatan penelitian diantaranya, program penelitian yang didanai Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yaitu; Penelitian Dosen Muda (2006) dengan judul Pengaruh Lingkungan terhadap Penyakit Malaria pada Anak-anak di Kabupaten Jayapura; Hibah Bersaing (2007) yang berjudul Penyebaran dan Prevalensi Penyakit Filariasis di Braso Kabupaten Jayapura, Papua; Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional (2009) dengan judul Pemetaan Penyakit Parasit Sisitserkosis dalam Upaya Menurunkan Prevalensi Taenia solium

(13)

Halaman

Pengendalian dan Pencegahan ... 10

Sistem Informasi Geografis ... 12

Kabupaten Jayawijaya ... 13

Gambaran Umum ... 13

Taeniosis dan sistiserkosis pada manusia ... 17

Kebudayaan ... 18

Tempat Tinggal dan Pola Perkampungan ... 20

KAJIAN EPIDEMIOLOGI SISTISERKOSIS PADA BABI DI KABUPATEN JAYAWIJAYA PAPUA

(14)

Abstract ... 58

Abstrak ... 58

Pendahuluan ... 59

Bahan dan Metode ... 60

Hasil dan Pembahasan ... 61

Kesimpulan ... 73

PEMBAHASAN UMUM ... 74

KESIMPULAN UMUM ... 81

SARAN ... 82

DAFTAR PUSTAKA ... 83

(15)

Halaman 1 Karakteristik peternak babi yang tersebar di delapan distrik

Kabupaten Jayawijaya ... 30 2 Seroepidemiologi serum babi di Kabupaten Jayawijaya ... 32 3 Nilai crude-odds ratio (OR) faktor jenis kelamin babi, cara

pemeliharaan, struktur kandang, pengolahan pakan, air bersih dan

ketersediaan jamban bagi pemilik babi ... 33 4 Karakteristik responden berdasarkan umur, pendidikan dan

pekerjaan di empat kampung Kabupaten Jayawijaya ... 62 5 Pengetahuan awal responden tentang sistiserkosis/taeniosis dalam

persen ... 63 6 Tingkat pengetahuan responden sebelum dilakukan intervensi

(Pn0) dan setelah dilakukan intervensi (Pn1) ... 64 7 Tingkat pengetahuan responden setelah dilakukan intervensi (Pn1)

dan satu minggu setelah dilakukan intervensi (Pn2) ... 65 8 Persentase peningkatan pengetahuan responden secara keseluruhan 67 9 Perilaku awal responden terhadap sistiserkosis/taeniosis dalam

persen ... 68 10 Tingkat perilaku responden sebelum dilakukan intervensi (Pn0) dan

setelah satu minggu dilakukan intervensi (Pn1) ... 69 11 Perilaku akhir responden terhadap sistiserkosis/taeniosis dalam

(16)

Halaman

1 Siklus hidup Taenia spp ... 7

2 Denah pola perkampungan pada salah satu kelompok di Kurulu ... 23

3 Cara beternak babi yang baik menurut responden ... 31

4 Peranan pemerintah dalam melakukan penyuluhan mengenai cara beternak babi ... 32

5 Tindakan responden pada ternak babi yang mati ... 32

6 Sebaran sistiserkosis di delapan distrik Kabupaten Jayawijaya ... 34

7 Tingkat kerawanan sistiserkosis di Kabupaten Jayawijaya ... 35

8 Waktu yang digunakan untuk melaksanakan bakar batu ... 44

9 Kebiasaan mencuci daging dan makanan sebelum bakar batu... . 44

10 Air yang digunakan untuk mencuci daging babi, hipere dan sayuran 45 11 Tempat meletakkan makanan hasil bakar batu... ... 45

12 Cara mengonsumsi makanan dalam prosesi bakar batu ... 46

13 Responden yang mencuci tangan saat konsumsi makanan hasil bakar batu... 46

14 Kegiatan bakar batu ... 47

15 Bagian dasar susunan batu dan kayu ... 47

16 Bagian tengah susunan batu dan kayu ... 48

17 Bagian atas susunan batu dan kayu ... 48

18 Liang pembakaran ... 49

19 Penyiapan daging babi ... 49

20 Penyiapan bahan ... 50

21 Penyiapan bumbu... 50

22 Proses barapen ... 50

23 Makan bersama ... 52

24 Tempat meletakkan makanan... ... 53

(17)

Halaman

1 Titik koordinat ... 100

2 Kuesioner penelitian ... 104

3 Surat publikasi ... 115

4 Naskah publikasi ... 116

5 Surat ijin penelitian ... 133

(18)

Abstract

The aims of this study were to determine the prevalence and risk factors of porcine cysticercosis. The survey was carried out in eight district and Jibama trade, between October 2009 and Juni 2011. A total of 111 pigs were tested serologically. Serum samples were tested for the presence of circulating parasite antigen using monoclonal antibody-based sandwich enzyme-linked immunosorbent assay (MoAb-ELISA). Fourty five samples (40.54%) were found positive by MoAb-ELISA and the highest prevalence occurred from the District of Asolokobal (92.86%), followed by Musatfak (75%), Kurulu (65.22%), Bolakme (33.33%), Asologaima (31.82%), Hom-hom (18.18%), Hubikosi (14.29%), Jibama trade (14.29%), and the lowest prevalence from Wamena Kota is 5.88%. Free-range pig husbandry system (OR=4.63; P<0.01) and uncook pork feed (OR=3.65; P<0.05) were important risk factors for porcine cysticercosis. Asolokobal District are highly vulnerable to cycticercosis. It is therefore necessary to anthropology approach about pig husbandry system and pattern of cook pork feed.

Keywords: risk factor, porcine cysticercosis, prevalence

Abstrak

Tujuan penelitian untuk mengetahui prevalensi dan faktor risiko sistiserkosis pada babi. Survei dilakukan pada delapan distrik dan pasar Jibama antara bulan Oktober 2009 dan Juni 2011. Jumlah babi yang diuji serologis adalah 111 ekor. Sampel serum diuji untuk melihat adanya antigen sirkulasi parasit

dengan menggunakan monoclonal antibody-based sandwich enzyme-linked

immunosorbent assay (MoAb-ELISA). Reaksi seropositif terjadi pada 45 sampel (40.54%), distrik dengan prevalensi tertinggi yaitu Asolokobal (92.86%), diikuti Musatfak (75%), Kurulu (65.22%), Bolakme (33.33%), Asologaima (31.82%), Hom-hom (18.18%), Hubikosi (14.29%), pasar Jibama (14.29%), dan prevalensi terendah ditemukan di distrik Wamena Kota sebesar 5.88%. Cara pemeliharaan babi yang tidak dikandangkan (OR=4.63; P<0.01) dan pakan babi yang tidak dimasak (OR=3.65; P<0.05) merupakan faktor risiko yang penting terhadap terjadinya sistiserkosis pada babi. Distrik Asolokobal merupakan daerah yang sangat rawan sistiserkosis. Perlu pendekatan antrolopogi mengenai sistem pemeliharaan babi dengan cara dikandangkan dan pola pemberian pakan babi yang dimasak.

(19)

Abstract

Burning stones (barapen) is one of culture in Jayawijaya. The research was conducted to study the relationship between barapen method and infecting humans with cysticercosis/taeniosis. Field observations indicate barapen is divided into three parts, namely, stone and wood burning, roasting pork and eat together. The temperature of hot stones was between 300 °C and 170 °C. The roasting pork take more than an hour with a temperature of 60 to 90 °C. The temperature of the stone and pork removed from the barapen process average of 65.66 °C and 83.33 °C. The pork was cooked only spread on the grass. Opportunity to get cysticercosis/taeniosis in Wamena is currently puting the food that is cooked on the grass. The needed for counseling regarding methods of handling food hygiene.

Keywords: barapen, pork meat, cysticercosis/taeniosis

Abstrak

Bakar batu (barapen) merupakan salah satu kebudayaan di Kabupaten Jayawijaya. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari hubungan antara barapen dan terinfeksinya manusia dengan sistiserkosis. Hasil observasi lapangan menunjukkan barapen terbagi atas tiga bagian yaitu, pembakaran batu dan kayu, pemanggangan daging babi dan makan bersama. Suhu batu yang tertinggi adalah 300 °C dan terendah 170 °C. Pemanggangan daging babi berlangsung hingga satu setengah jam dengan suhu selama pemanggangan 60-90 °C. Suhu batu yang dikeluarkan dari tempat pemanggangan rata-rata 65.66 °C dan daging babi memiliki suhu 83.33 °C. Daging babi yang telah matang hanya dihamparkan di atas rumput. Peluang terkenanya sistiserkosis/taeniosis pada masyarakat Wamena yaitu saat meletakkan makanan yang sudah matang di atas rumput. Perlunya penyuluhan mengenai metode penanganan makanan yang telah matang untuk diletakkan di wadah yang bersih.

(20)

SISTISERKOSIS

Abstract

The purpose of this study was to assess the level of knowledge and behavior the community of Wamena. This research used questionnaire and health education in Hubikosi village, Yiwika, Milima and Isaima. The rate of knowledge during pre health education was 7.62%. After health education and a week later, the results obtained that knowledge about the causes and prevention of cysticercosis/taeniosis in terms of personal hygiene increase (P <0.001). Behavior of the respondents during pre health education were not washing hands after defecation (6.70%) and duration pork cooking take more than an hour (95.83%). After one week, behavior of respondents were washing hands before meals (69.35%, hand washing after defecation (28.57%), defecation at latrine (13.99 %), boiling water (50.30%), wash the pork before cooked (20.16%), duration of burning stones more an hour (100%) and eat pork contained cysts (91.67%). One week after education, the knowledge (36.59%) and behavior (21.39%) increased.

Health education continuously will reduce the prevalence of

cysticercosis/taeniosis in Jayawijaya.

Keywords: knowledge, behavior, education, cysticercosis/taeniosis

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah mengkaji tingkat pengetahuan dan perilaku masyarakat wamena. Metode yang digunakan yaitu kuesioner serta dilakukannya penyuluhan di Kampung Hubikosi, Yiwika, Milima dan Kampung Isaima. Pengetahuan awal yang diperoleh dari keempat kampung yaitu 7.62%. Tingkat pengetahuan responden setelah dilakukan penyuluhan dan satu minggu sesudahnya, hasil yang diperoleh yaitu pengetahuan mengenai penyebab taeniosis dan cara pencegahan dari segi kebersihan diri (P<0.001). Perilaku awal responden yang terendah adalah tidak mencuci tangan sesudah buang air besar (6.70%) dan yang tertinggi terdapat pada metode memasak daging babi selama satu jam ataupun lebih (95.83%). Perilaku akhir responden terhadap taeniosis/sistiserkosis yaitu cuci tangan sebelum makan (69.35%; P<0.001), mencuci tangan sesudah buang air besar (28.57%), tempat buang air besar (13.99%), memasak air minum (50.30%; P<0.001), mencuci daging babi sebelum dimasak (20.16%), memasak daging babi selama satu jam atau lebih (100%), memakan daging babi yang ada kista/benjolan (91.67%; P<0.001). Setelah dilakukan penyuluhan terjadi peningkatan pengetahuan (36.59%) dan perilaku (21.39%). Pendidikan kesehatan yang dilakukan secara terus menerus dapat menurunkan prevalensi sistiserkosis/taeniosis di Kabupaten Jayawijaya.

(21)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sistiserkosis solium adalah penyakit zoonosa pada babi yang disebabkan

karena babi mengonsumsi pakan yang tercemar telur atau proglotid cacing pita

Taenia solium yang berparasit pada manusia. Selain sebagai inang definitif,

manusia juga dapat menderita sistiserkosis bila secara tidak sengaja menelan telur

T. solium. Sistiserkosis pada manusia sangat berbahaya bila menginfeksi otak dan

sistem saraf pusat (neurosistiserkosis) atau menginfeksi mata (okularsistiserkosis).

Sistiserkosis merupakan penyakit yang dihubungkan dengan kemiskinan, defekasi

sembarangan, serta ternak babi yang hidup berkeliaran tanpa dikandangkan.

Prevalensi sistiserkosis di Asia memiliki variasi tinggi tergantung pada ada

tidaknya faktor risiko dalam setiap wilayah di negara tersebut. Di Jepang dan

Singapura yang memiliki perekonomian kuat, makmur, infrastruktur baik,

penyakit ini hampir tidak ada. Di negara yang penduduknya mayoritas muslim,

seperti Timur Tengah dan Asia Barat, yang melarang mengonsumsi babi, tidak

terdapat sistiserkosis solium (Rajshekhar et al. 2003; Deckers dan Dorny 2010).

Sistiserkosis telah diketahui keberadaannya di Asia lebih dari 40 tahun yang

lalu. Penyakit ini kurang mendapat perhatian dan tidak menjadi prioritas utama

sebagai penyebab penyakit yang menyerang syaraf dan menyebabkan kerugian

ekonomi di negara-negara Asia. Tidak seperti negara-negara Amerika Latin yang

telah memberikan perhatian yang cukup besar terhadap sistiserkosis, penyakit ini

baru menjadi sorotan di Asia pada tiga dekade terakhir. Akibatnya, aspek

epidemiologi sistiserkosis kurang diteliti di negara-negara Asia (Rajshekhar et al.

2003; Ito et al. 2003a; Anantaphruti et al. 2007a).

Di Asia terdapat tiga spesies Taenia yang menginfeksi manusia, yaitu

Taenia solium, T. saginata dan T. asiatica (Ito et al. 2003b; Dharmawan 2004;

Okamoto et al. 2007). Babi merupakan inang antara untuk T. solium dan T.

asiatica. sementara sapi menjadi inang antara T. saginata. Sistiserkosis pada

manusia hanya disebabkan oleh T. solium. Walaupun inang antara T. asiatica

(22)

dengan T. saginata (Puchades dan Fuentes 2000; Anantaphruti et al. 2007b; Ito et

al. 2005; Ito et al. 2006; Ito et al. 2007; Okamoto et al. 2007).

Sistiserkosis/taeniosis yang disebabkan oleh T. solium merupakan masalah

kesehatan masyarakat di daerah endemik, sehingga diperlukannya ketekunan

untuk mempromosikan upaya pengendalian penyakit zoonosa ini melalui

pendekatan kebudayaan, sosial ekonomi dan kebersihan lingkungan. Sistiserkosis

dapat menjadi masalah yang serius bila setiap orang melakukan defekasi di

sembarang tempat yang menyebabkan penyebaran telur parasit serta kontak antara

babi dengan feses manusia. Faktor lainnya yang berhubungan dengan transmisi

penyakit adalah tidak adanya pemeriksaan daging babi di rumah potong hewan,

konsumsi daging babi yang tidak dimasak sempurna, konsumsi sayuran dan air

yang terkontaminasi dengan feses manusia, serta rendahnya tingkat higienis

personal sebagai contoh tidak mencuci tangan sebelum makan dan sesudah

defekasi (Sarti dan Rajshekhar 2003).

Sarti dan Rajshekhar (2003) mengemukakan, ada lima cara strategis untuk

mengendalikan ataupun menurunkan kejadian sistiserkosis/taeniosis, yaitu; (1)

pendidikan kesehatan, (2) perbaikan manajemen peternakan babi, (3) pemeriksaan

post mortem di rumah potong hewan, (4) perbaikan sanitasi lingkungan, (5)

penelitian epidemiologi. Menurut Sanchez dan Fairfield (2003), pendidikan

kesehatan memiliki peran penting dalam program pencegahan dan pengendalian

penyakit. Sebagai langkah awal dalam tindakan pencegahan sistiserkosis,

pendidikan kesehatan menjadi satu-satunya faktor utama yang dapat

mempromosikan terjadinya perubahan. Pendekatan ini adalah pilihan terbaik jika

tidak terdapat rumah potong hewan di suatu wilayah.

Laporan pertama kasus infeksi T. solium di Indonesia terdapat pada warga

keturunan etnis Tionghoa yang tinggal di Samarinda, Kalimantan Timur pada

tahun 1940 (Bonne 1940 dalam Suroso et al. 2006). Margono et al. (2006)

menyatakan di Indonesia sistiserkosis/taeniosis terdapat di beberapa daerah yaitu

Bali, Sumatera Utara, Papua, Nusa Tengara Timur, Lampung, Sulawesi Utara,

Sulawesi Tenggara dan Kalimantan Barat. Provinsi yang merupakan daerah

endemik yaitu Bali (T. solium dan T. saginata), Sumatera Utara (T. asiatica) dan

(23)

Kasus sistiserkosis pertama di Papua dilaporkan di Paniai daerah

Pegunungan Tengah. Pada tahun 1972, beberapa kali ditemukan telur taenia dan

proglotid dari T. solium di rumah sakit Enarotali (Paniai) saat dilakukan

pemeriksaan rutin (Margono et al. 2006). Sejak saat itu infeksi cacing pita (Taenia

solium) menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang serius di

Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua.

Survei seroepidemiologi yang dilakukan Salim et al. (2009) memperlihatkan

bahwa prevalensi sistiserkosis/taeniosis pada manusia di Kabupaten Jayawijaya

cukup tinggi yaitu 20.8% untuk sistiserkosis dan 7% taeniosis. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa prevalensi sistiserkosis dan taeniosis tidak mengalami

perubahan sejak dilaporkan 35 tahun yang lalu, saat terjadinya epidemik penyakit

sistiserkosis/taeniosis di Papua.

Kabupaten Jayawijaya dengan ibukota Wamena, identik dengan bakar batu.

Bakar batu menjadi ciri khas masyarakat Papua memasak daging babi dengan

batu. Bakar batu adalah salah satu acara adat terpenting sebagai wujud

kegembiraan menyambut kelahiran, kematian atau mengumpulkan prajurit untuk

berperang. Bakar batu juga menjadi sarana pemulihan keharmonisan hidup

manusia yang terganggu dendam, peperangan dan kematian. Babi yang dimasak

secara bakar batu biasanya tidak masak sempurna atau setengah matang (Handali

et al. 1997; Suroso et al. 2006; Wandra et al. 2007b).

Di Kabupaten Jayawijaya penelitian sistiserkosis pada babi yang dilakukan

tahun 1998-1999 menunjukkan prevalensi sebesar 70.4% (Margono et al. 2003).

Maitindom et al. (2008) melakukan studi pada babi yang dijual di Pasar Jibama,

Wamena Kabupaten Jayawijaya tingkat prevalensi mencapai 77.1%. Selama ini,

penelitian tentang sistiserkosis/taeniosis di wilayah ini sebagian besar dilakukan

pada manusia (Handali et al. 1997; Simanjuntak 2000; Salwati 2001; Margono et

al. 2006;Salim et al. 2009). Kajian terhadap sistiserkosis pada babi sebagai inang

antara yang menjadi sumber infeksi bagi manusia masih terbatas, sehingga perlu

dilakukan kajian epidemiologi sistiserkosis pada babi, serta karakterisasi risiko

pola masak tradisional (bakar batu) yang selama ini dikaitkan dengan penularan

(24)

untuk meningkatkan perilaku hidup bersih sebagai upaya pengendalian

sistiserkosis/taeniosis di Kabupaten Jayawijaya.

Tujuan

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk:

1. Mengkaji penularan sistiserkosis pada babi yang dipelihara masyarakat

Kabupaten Jayawijaya.

2. Mengidentifikasi faktor risiko yang berhubungan dengan tingkat kejadian

sistiserkosis pada babi.

3. Memetakan daerah yang rawan sistiserkosis di Kabupaten Jayawijaya

4. Mengkarakterisasi risiko penularan sistiserkus pada daging babi yang

diolah dengan metode tradisional (bakar batu).

5. Mengkaji tingkat pengetahuan dan perilaku masyarakat tentang sumber

infeksi cacing pita.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pengambilan kebijakan

dalam pengendalian sistiserkosis/taeniosis dan dapat menemukan metode untuk

(25)

TINJAUAN PUSTAKA

Sistiserkosis

Sistiserkosis solium adalah penyakit zoonosa yang disebabkan oleh infeksi

larva cacing pita (sistiserkus) Taenia solium dalam tubuh manusia dan babi. Induk

semang definitif cacing pita tersebut adalah manusia, sedangkan induk semang

antaranya adalah babi dan manusia. Stadium dewasa dari T. solium yang

menginfeksi manusia juga menyebabkan penyakit yang dinamakan taeniosis (De

Aluja et al. 1999; Garcia-garcia et al. 1999; Eddi et al. 2003; García et al. 2003c;

Conlan et al. 2008; Carabin et al. 2009; Asaava et al. 2009).

Taenia spp. berukuran panjang, bersegmen, dan bersifat parasitik (famili

Taeniidae, subklas Cestoda). Infeksi dengan larva dari Taenia solium, T. saginata,

T. crassiceps, T. ovis, T. taeniaeformis atau T. hydatigena disebut sistiserkosis.

Larva dari organisme ini disebut sistiserkus. Pada satu waktu, pernah

dipertimbangkan larva cacing pita dan dewasa adalah spesies yang berbeda. Untuk

alasan inilah, fase larva seringkali disebut dengan nama berbeda. Fase larva untuk

T. solium disebut dengan Cysticercus cellulosae, fase larva untuk T. saginata

disebut Cysticercus bovis, dan fase larva untuk T. crassiceps disebut Cysticercus

longicollis, Taenia hydatigena disebut Cysticercus tenuicollis. T. solium

seringkali ditemukan pada manusia sedangkan keempat spesies lainnya sangat

jarang. T. solium adalah spesies taenia yang pada manusia dapat menjadi inang

antara maupun inang definitif (Huisa et al. 2005; Boa et al. 2006; Joshi et al.

2007; Myadagsuren et al. 2007; Reyes dan Terrazas 2007; Conlan et al. 2011).

Perkembangan T. solium hampir sama dengan pada inang antaranya (babi

atau manusia), kecuali sistiserkus yang dapat tersebar keseluruh hati, otak, dan

sistem saraf pusat (neurosistiserkosis) (Diop et al. 2003; Chung et al. 2005; Li et

al. 2007; Sikasunge et al. 2008b; Juarez et al. 2008). Penyakit ini meningkat

dengan cepat dan dikenal sebagai masalah kesehatan masyarakat, khususnya pada

negara berkembang. Sistiserkosis/taeniosis jarang terjadi di Amerika Serikat,

Kanada dan Eropa Barat, tetapi prevalensinya di Amerika Latin, China dan Afrika

nampak relatif tinggi. Neurosistiserkosis dilaporkan terdapat di beberapa wilayah

dan menjadi penyebab utama epilepsi (Rai et al. 2000; Zoli et al. 2003; Townes et

(26)

Sejarah

Kasus infeksi cacing pita pertama kali dilaporkan di zaman Mesir kuno

dalam Papyrus Ebers yang diperkirakan ditulis sekitar 1550 SM. Penyakit ini

mungkin disebabkan oleh parasit Taenia saginata karena menurut Herodotus

orang Mesir kuno tidak memakan babi. Cacing pita oleh ilmuwan Yunani seperti

Hippocrates (460-375 SM), Aristotle (384-322 SM), dan Threophrastus (372-286

SM) sebagai Helmins plateia yang berarti flatworm atau Tainia/Taenia. (Grove

1990; Bruschi et al. 2006).

Orang Roma seperti Celsus (20 M), Pliny the Elder (23-79 M) dan Galen

(129-200 M) mengenal cacing pita dan menamai Lumbricus latus. Lumbricus

adalah kelompok istilah yang berarti cacing dan latus berarti lebar/pita. Cacing ini

juga terdapat di berbagai belahan dunia, termasuk di India dan China yang disebut

dalam literatur kuno Asia.

Hippocrates, Aristotle dan Galen menganggap cacing pita ini sebagai

hewan, tetapi Aetius (550 M) dan Paulus Aegineta (640 AD) mempertimbangkan

cacing pita ini sebagai bidang penjelmaan dari lapisan usus. Pada akhir milenium

pertama setelah masehi, beberapa penulis Arab seperti Serapion (800 M)

mempertimbangkan proglotid cacing pita sebagai cacing yang berbeda. Cacing ini

dinamai cucurbitini, karena selain mirip dengan biji labu (spesies Cucurbita), juga

biji labu adalah salah satu obat pertama untuk infeksi cacing pita. Banyak penulis

Arab tidak mempertimbangkan cacing pita sebagai cacing, tetapi percaya bahwa

itu adalah membran yang dibentuk oleh usus untuk memegang cucurbitini,

sedangkan yang lainnya, termasuk Ibnu Sina (981-1037 M) mempertimbangkan

bahwa cucurbitini (cacing biji labu) dan taenia (cacing raksasa) adalah makhluk

yang berbeda. Nama taenia “solium” pertama kali dipublikasi oleh Arnaldo

Villanovani (Grove 1990).

Siklus hidup

Terdapat tiga stadium perkembangan cestoda yaitu telur, larva

(metacestoda) dan cestoda dewasa (Gambar 1). Telur dan proglotid yang keluar

bersama tinja inang definitif dapat bertahan beberapa hari sampai beberapa bulan

(27)

onchosphere dalam usus inang antara. Oncosphere menembus dinding usus

menuju bagian tubuh inang antara, melalui sirkulasi darah atau limfe menuju

bagian jaringan organ inang antara menjadi metacestoda (sistiserkus). Sistiserkus

dapat bertahan hidup untuk beberapa tahun pada inang antara. Metacestoda ditelan

oleh inang definitif yang sesuai maka calon skoleks (protoskoleks) keluar dari

kista lalu menempel pada mukosa usus dengan menggunakan batil hisapnya. Pada

usus manusia, sistiserkus berkembang selama dua bulan sampai menjadi cestoda

dewasa, yang dapat bertahan hidup selama bertahun-tahun. Cacing pita dewasa

menempel pada usus halus dengan menggunakan skoleks. Manusia dapat

terinfeksi dengan memakan daging mentah atau setengah matang yang

mengandung sistiserkus.

Gambar 1 Siklus hidup Taenia sp

(28)

Morfologi

Panjang cacing dewasa biasanya 2-7 meter. Cacing dewasa menghasilkan

proglotid yang mature, menjadi gravid, terlepas dari strobila, dan keluar melalui

tinja. Parasit ini berukuran panjang 24 kaki dan berjumlah 507 proglotid. Rata-rata

diameter telur Taenia solium adalah 38 μm. Telur cacing Taenia solium berisi

embrio yang khas, dengan tiga pasang kait (Noble et al. 1989; Riemann dan

Cliver 2006).

Fase dewasa cacing pita Taenia solium pada usus halus manusia dan disusun

oleh rantai (strobila) dari segmen (proglotid) yang berisi sistem reproduksi jantan

maupun betina. Segmen cacing dewasa yang berisi dengan telur, terlepas dan

melewati anus, baik bebas maupun bercampur tinja. Jangka hidup cacing dewasa

mencapai 30-40 tahun. Jumlah telur yang keluar dari inang per hari sangat tinggi

(500 000 – 1 juta) dan dapat mengkontaminasi lingkungan. Telur taenia dapat

bertahan lama di lingkungan pada temperatur yang rendah yaitu 4-5 °C. Masa

infektif telur selama empat sampai enam bulan, 33 hari di sungai dan lebih dari

150 hari di permukaan tanah (Riemann dan Cliver 2006).

Metode Diagnosis

Taeniosis dapat didiagnosa dengan adanya proglotid atau telur taenia di

feses. Telur dapat juga ditemukan pada adhesive tape preparations yang diambil

dari dekat anus. Pada umumnya, spesies cacing pita ditentukan oleh dasar

morfologi dari proglotid atau skoleks yang ditemukan. Enzyme-linked

immunosorbent assays (ELISAs) dan PCR dapat membedakan telur T. solium dan

T. saginata, morfologi dapat digunakan untuk membedakan proglotidnya (Hubert

et al. 1999; Wilkins et al. 1999; Gonzalez et al. 2000; Verastegui et al. 2003;

Dekumyoy et al. 2004; Kara dan Doganay 2005; Yamasaki et al. 2005; Nunes et

al. 2006; Mayta et al. 2008; Zheng et al. 2008; Deckers et al. 2009; Gasser et al.

2009; Praet et al. 2010b; Allepuz et al. 2011).

Studi penggambaran termasuk scan computed tomography (CT) digunakan

untuk mengidentifikasi sistisersi di dalam otak. Inaktif (calcified) kista pada

berbagai bagian dari tubuh termasuk otot dan otak dapat dilihat dengan sinar x.

(29)

saat pemeriksaan okular (Molinari et al. 2002; Garcia dan Del Brutto 2003; Lucas

et al. 2003; Rodriguez-Hidalgo et al. 2006; Prestes-Carneiro et al. 2006; Machado

et al. 2007; Atluri et al. 2009).

Uji serologi digunakan untuk mendiagnosa sistiserkosis pada manusia

termasuk enzyme-linked immunoelectrotransfer blot (EITB), ELISAs, complement

fixation dan hemagglutination. Antibodi dapat ditemukan dalam serum (Goodman

et al. 1999; Hubert et al. 1999; Allan et al. 2003; Villota et al. 2003; Li et al.

2006; Gomes et al. 2007; Deckers et al. 2008b; Morales et al. 2008; Sahu et al.

2009).

Diagnosis klinis neurosistiserkosis didasarkan pada riwayat pasien,

penemuan radiografik, dan konfirmasi patologi. Gambar Magnetik Resonance

(MR) juga sangat berguna untuk diagnosis. Lebih jauh, diagnosis terakhir

neurosistiserkosis tergantung sepenuhnya pada penemuan histologi (Hellard et al.

1998; Engels et al. 2003; Ishikawa et al. 2007; Prasad et al. 2008; Prasad et al.

2009; Berata et al. 2010).

Di Indonesia, Dharmawan (1995) mendiagnosis serum babi dengan

menggunakan metode Sandwich ELISA untuk mendeteksi adanya antigen yang

bersirkulasi dalam darah. Selain itu, Salwati (2001) mendeteksi sistiserkosis

dengan menggunakan EITB pada manusia. Arimbawa et al. (2004)

mengemukakan bahwa untuk penderita neurosistiserkosis dapat didiagnosis

dengan menggunakan CT scan pada otak.

Gejala Klinis

Taeniosis biasanya asimptomatik, kecuali saat keluarnya proglotid melalui

tinja. Gejala abdominal ringan terjadi pada beberapa kasus; hal ini termasuk sakit

di bagian abdominal, diare atau sembelit, mual, penurunan atau peningkatan selera

makan, dan kehilangan berat badan. Bayi dapat mengalami muntah, diare, demam,

penurunan berat badan (Vilhenia et al. 1999). Gejala non spesifik lain seperti

insomnia, rasa tidak enak badan dan kegelisahan juga terjadi (Meza et al. 2005).

Gejala sistiserkosis bervariasi tergantung dari lokasi dan jumlah larva.

Neurosistiserkosis adalah sistiserkosis yang paling serius. Pada beberapa kasus,

(30)

sebagai akibat dari kejadian seperti terhalangnya cerebrospinal fluid (CSF) oleh

sistiserkosis. Serangan dan sakit kepala kronis adalah gejala yang paling sering

terjadi. Tanda lainnya dapat berupa mual, muntah, vertigo, kehilangan

keseimbangan dan pusing. Beberapa kasus dari neurosistiserkosis adalah fatal

(Alarcon et al. 1992; Bern et al.1999; Bueno et al. 2001; Arimbawa et al. 2004;

Mitre et al. 2007; Tran et al. 2007).

Pengendalian dan Pencegahan

Berbagai pedoman surveilans, pencegahan dan pengendalian taeniosis dan

sistiserkosis telah dipublikasi oleh badan internasional. Inspeksi tempat

pemotongan hewan memiliki beberapa kelemahan. Di beberapa negara, dengan

diam-diam memasarkan daging babi tanpa pemeriksaan. Lebih lanjut, keakuratan

dari prosedur pemeriksaan daging kurang dari 50% untuk inspeksi rendah sampai

menengah. Konsekuensinya, penelitian yang sedang berlangsung dilakukan untuk

mengembangkan teknologi pendeteksian secara lebih cepat dan sensitif. Uji

immunodiagnostik menjadi perhatian khusus, dan beberapa uji sedang dalam

pengembangan (Lekule dan Kyvsgaard 2003; Mukaratirwa et al. 2003; Rimm

2003; Schantz dan Tsang 2003; Somers et al. 2006; Geldhof et al. 2007; Scandrett

et al. 2009; Tsigarida et al. 2009; Assana et al. 2010b; Praet et al. 2010a).

Pengendalian yang efektif akan selalu menjadi capaian yang terbaik dengan

meminimalkan faktor risiko. Pemerintah sebaiknya mengambil langkah yaitu

semua daging sapi dan babi yang dipasarkan harus melakukan prosedur

pemeriksaan daging. Manajemen peternakan harus menjaga agar hewan ternak

tidak dapat memakan feses manusia. Sewaktu-waktu jika memungkinkan, pekerja

peternakan selayaknya diperiksa. Penggunaan tempat kotoran dan air pembuangan

untuk maksud peternakan harus menerima perhatian khusus. Sebagai contoh,

hewan ternak tidak terkena kontak langsung dengan aliran air yang membawa air

pembuangan dan sisa pembuangan kotoran. Legislator juga diperlukan untuk

mengatur penggunaan pertanian dari pembuangan kotoran, khususnya pada

tempat penggembalaan dan padang rumput (Martin et al. 1987; Gonzalez et al.

2001; Cabaret et al. 2002; Joshi et al. 2003; Nash 2003; Jackson dan Miller 2006;

(31)

Pada berbagai negara dimana inspeksi tidak berjalan dengan baik, sangat

direkomendasikan bagi konsumen untuk memasak daging babi paling rendah

dengan suhu 60 °C. Pengendalian sistiserkosis daging babi di negara berkembang

diutamakan. Penghambat pada perubahan adalah kemiskinan, tradisi dan berbagai

kepentingan. Word Health Organization dan Pan American Health Organization

telah mengembangkan dua strategi alternatif untuk pengendalian infeksi T. solium

pada manusia yaitu intervensi yang komprehensif jangka panjang dan intervensi

jangka pendek berdasarkan pada pengobatan massal infeksi cacing dewasa (pada

usus) dan terjadinya penyebaran telur. Strategi pertama termasuk peraturan yang

cukup baik, sistem modernisasi produksi daging babi, peningkatan efisiensi dan

pemenuhan inspeksi daging, ketentuan fasilitas sanitasi yang cukup, dan

pemakaian pengukuran untuk mengidentifikasi dan mengobati penderita cacing

pita. Untuk strategi yang kedua yaitu program mengidentifikasi telur dan

pengobatan kepada semua penderita telah dikembangkan. Prospek pemberantasan

T. solium dianggap baik bila dapat memutuskan siklus hidup dengan

meningkatkan sanitasi, mengandangkan babi, dan inspeksi daging yang ketat dan

teliti (Eichenberger et al. 2011).

Strategi lain untuk mengendalikan sistiserkosis pada daging babi yaitu

vaksinasi untuk babi (Lightowlers 2010; Fonseca-Coronado et al. 2011). Antigen

homolog dari sistisersi mampu untuk mengindusi tingkat tinggi dari kekebalan

protektif (71%) untuk melawan infeksi yang datang. Usaha lain yang dicapai pada

identifikasi antigen protektif yaitu vaksin yang digunakan dapat dihasilkan dan

tidak bergantung pada kompleksitas masalah (Noble et al. 1989; Molinari et al.

1997; Taylor et al. 2001; Toledo et al. 2001; Lightowlers 2003; Sato et al. 2007;

Sciutto et al. 2007; Verastegui et al. 2007; Morales et al. 2008; Rupa et al. 2008;

Sikasunge et al. 2008a; Morales et al. 2011).

Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas sistiserkosis/taeniosis di

Indonesia. Salah satunya adalah dengan membuat petunjuk pemberantasan

sistiserkosis/taeniosis di Indonesia (Kandun 2000). Beberapa pencegahan yang

harus dilakukan adalah:

1. Usaha untuk menghilangkan sumber infeksi dengan mengobati penderita

(32)

2. Pemakaian jamban keluarga, sehingga tinja manusia tidak termakan oleh

babi dan tidak mencemari tanah atau rumput

3. Memelihara sapi atau babi pada tempat yang tidak tercemar atau

dikandangkan sehingga tidak dapat berkeliaran

4. Pemeriksaan daging oleh dokter hewan/mantri hewan di rumah potong

hewan, sehingga daging yang mengandung kista tidak sampai dikonsumsi

masyarakat (kerjasama lintas sektor dengan dinas peternakan)

5. Daging yang mengandung kista tidak boleh dimakan. Masyarakat diberi

gambaran tentang bentuk kista tersebut dalam daging. Hal ini penting di

daerah yang banyak memotong babi untuk upacara-upacara adat seperti di

Sumatera Utara, Bali dan Papua

6. Menghilangkan kebiasaan makan makanan yang mengandung daging

setengah matang atau mentah

7. Memasak daging sampai matang (diatas 57 °C dalam waktu cukup lama)

atau membekukan dibawah 10 °C selama 5 hari. Pendekatan ini ada yang

dapat diterima, tetapi dapat pula tidak dikerjakan, karena perubahan yang

bertentangan dengan adat istiadat setempat akan mengalami hambatan.

Untuk itu kebijaksanaan yang diambil dapat disesuaikan dengan situasi dan

kondisi daerah tersebut.

Sistem Informasi Geografis

Sistem informasi geografi (SIG) merupakan sebuah sistem informasi yang

berbasis spasial. Pada bidang kesehatan masyarakat, analisis spasial dengan SIG

dapat digunakan untuk: 1) Pengendalian penyakit (pemetaan vektor, kasus

penyakit; identifikasi jarak, kluster kasus/sumber penyakit), 2) Perencanaan

program kesehatan, 3) Monitoring dan evaluasi program kesehatan.

SIG mengintegrasikan berbagai macam data seperti data satelit, foto udara,

peta digital, dan data lainnya sehingga akan membentuk informasi baru berupa

peta tematik. Langkah awal yang harus disiapkan dalam membuat peta tematik

adalah menyiapkan data spasial yang bisa menunjukkan lokasi suatu daerah.

Untuk mendapatkan data spasial, kita dapat menggunakan global positioning

(33)

posisi pasti dari suatu lokasi di bumi (Staubach et al. 2001; Jaya 2002; Allepuz et

al. 2009; Martinez-Hernandez et al. 2009; Michelet et al. 2010).

Setelah mendapatkan data spasial dari GPS, maka data tersebut dapat diolah

menggunakan program SIG seperti Epimap, Quantum GIS, ArcView, dsb. Hingga

akhirnya bisa menghasilkan suatu peta lengkap dengan titik – titik lokasi yang

sedang diteliti.

Kabupaten Jayawijaya

Gambaran umum lokasi penelitian

Kabupaten Jayawijaya yang beribukota di Wamena, terletak antara 138°

30’- 139° 40’ bujur timur dan 3° 45’- 4° 20’ lintang selatan. Memiliki luas

wilayah 8496 Km². Sebelah utara kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten

Mamberamo Tengah, Kabupaten Yalimo, dan Kabupaten Tolikara, di sebelah

selatan kabupaten ini adalah Kabupaten Nduga dan Kabupaten Yahukimo,

sedangkan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Yahukimo dan Kabupaten

Yalimo, sebelah barat adalah Kabupaten Nduga dan Kabupaten Lanny Jaya.

Kabupaten ini memiliki 11 distrik /kecamatan. Distrik-distrik tersebut yaitu:

Wamena kota, Asolokobal, Walelagama, Hubikosi, Pelebaga, Asologaima,

Musatfak, Kurulu, Bolakme, Wollo, dan Yalengga. Dari 11 distrik di Kabupaten

Jayawijaya, Distrik Kurulu memiliki wilayah terluas yaitu sekitar 15.54% dan

Distrik Wollo sebagai distrik yang terkecil wilayahnya, yaitu hanya 7.42% dari

keseluruhan wilayah Kabupaten Jayawijaya. Distrik Bolakme merupakan distrik

yang paling jauh jarak tempuhnya dari ibukota kabupaten (Wamena), hampir

mencapai 46 Km. Sedangkan distrik yang terdekat dengan Wamena adalah Distrik

Asolokobal dan Distrik Pelebaga, sekitar sembilan kilometer dari Wamena (BPS

2010).

Berdasarkan hasil pencatatan Badan Meteorologi dan Geofisika Wilayah V

Jayapura, Balai Wamena Tahun 2009, dilaporkan bahwa suhu udara rata-rata di

wilayah Kabupaten Jayawijaya selama tahun 2009 mencapai 19.40 °C dengan

kelembaban udara rata-rata diperkirakan sekitar 79%, dapat dipastikan bahwa di

daerah Kabupaten Jayawijaya termasuk kategori daerah dingin. Ini juga dapat

(34)

sementara suhu maksimum hanya sekitar 26.0 °C. Selanjutnya curah hujan

rata-rata yang terjadi yaitu sekitar 204.9 mm, dimana curah hujan tertinggi tahun 2009

terjadi pada bulan Februari yaitu sebesar 320.9 mm dan curah hujan terendah

terjadi pada bulan Juni yakni sebesar 144.3 mm. Banyaknya hari hujan rata-rata di

Kabupaten Jayawijaya yaitu 23 hari, namun pernah juga hampir mencapai satu

bulan, yaitu pada bulan Maret 2009 hingga 29 hari hujan. Hal ini bisa saja terjadi

karena kondisi topografi yang bergunung-gunung dan masih banyak perbukitan

sehingga sulit membedakan musim secara jelas.

Persentase penduduk miskin di Kabupaten Jayawijaya cenderung

mengalami penurunan dari 50.62% pada tahun 2006 menjadi 35.97% pada tahun

2008. Meskipun demikian, persentase penduduk miskin masih tergolong tinggi

sehingga pemerintah masih harus tetap berusaha untuk menurunkan angka

kemiskinan khususnya di Kabupaten Jayawijaya.

Air merupakan kebutuhan hidup yang sangat penting bagi manusia,

terutama untuk kebutuhan minum dan memasak. Berdasarkan kelayakan

pemakaian air minum, rumah tangga yang menggunakan air minum yang layak

pakai mengalami peningkatan dari 52.48% pada tahun 2007 menjadi 56.54% pada

tahun 2008. Fasilitas sanitasi yang layak adalah fasilitas sanitasi yang memenuhi

syarat kesehatan yaitu tempat buang air besar yang dilengkapi dengan leher angsa

dan tangki septik. Sebagian besar masyarakat di Kabupaten Jayawijaya belum

menggunakan tangki septik sebagai tempat pembuangan tinja (7.45%).

Masyarakat masih belum memahami arti pentingnya kesehatan, hal ini dapat

dilihat dari besarnya persentase rumah tangga yang masih menggunakan kebun

sebagai tempat pembuangan tinja, yaitu sebesar 84.04%, dan masih ada yang

menggunakan kolam/sawah (0.19%) dan lubang tanah (8.15%).

Pada tahun 2009 Kabupaten Jayawijaya memiliki 162 sekolah dengan

perincian 15 sekolah taman kanak-kanak, 105 sekolah dasar, 25 sekolah

menengah pertama (SMP) dan 17 sekolah menengah atas (SMA). Dari 17 SLTA,

12 diantaranya merupakan SMA Umum dan sisanya merupakan Sekolah

Menengah Kejuruan (SMK). Seluruh SD yang ada di Kabupaten Jayawijaya

sudah beroperasi semuanya. Untuk tingkat SD, seluruh distrik memiliki SD

(35)

yaitu Distrik Wollo dan Yalengga, masing-masing sebanyak empat dan tiga SD,

sedangkan yang memiliki sekolah dasar terbanyak adalah Distrik Wamena, yaitu

sebanyak 19 SD. Untuk pendidikan Sekolah Dasar, rasio murid terhadap guru

yakni 22.85, artinya, rata-rata satu orang guru mengajar 23 siswa. Sedangkan ratio

murid terhadap guru di tingkat SMP sebesar 32.57, tingkat SMA sebesar 36.47,

dan tingkat SMK sebesar 88.82. Hal ini menunjukkan bahwa di tingkat SMK

masih kekurangan tenaga pengajar karena rata-rata satu orang guru di SMK

mengajar sebanyak 89 siswa.

Di Kabupaten Jayawijaya terdapat satu rumah sakit umum daerah (RSUD),

12 puskesmas dan 24 buah puskesmas pembantu. RSUD hanya terdapat di Distrik

Wamena sedangkan Puskesmas terdapat di semua distrik. Berdasarkan data yang

bersumber dari Dinas Kesehatan dan Sosial Kabupaten Jayawijaya, terdapat 13

dokter umum, lima dokter gigi, 49 bidan, dua apoteker dan 120 perawat. Jenis

penyakit yang paling banyak diderita oleh penduduk adalah infeksi saluran

pernafaan atas yaitu sebanyak 10 932 kasus, diikuti oleh penyakit malaria klinis

3007 kasus, disentri basiler 2224 kasus dan disentri amuba 1427 kasus. Jumlah

posyandu di Kabupaten Jayawijaya cenderung mengalami peningkatan dari 97

unit (2007) menjadi 111 unit pada tahun 2009. Kelahiran balita sebagian besar

masih dibantu oleh keluarga dan dukun, baik kelahiran pertama maupun terakhir.

Angka kematian bayi per 1000 kelahiran selama periode 2004-2007 cenderung

mengalami penurunan dari 45 menjadi 34. Berdasarkan data dari Komisi

Penanggulangan AIDS Kabupaten Jayawijaya terdapat 175 kasus untuk laki-laki

dan 116 kasus untuk perempuan.

Umbi-umbian merupakan salah satu makanan pokok penduduk Jayawijaya

sehingga tidak mengherankan jika tanaman pangan ini cukup banyak ditanam di

Kabupaten Jayawijaya. Berbagai macam tanaman sayuran banyak ditanam di

daerah Jayawijaya karena iklimnya cocok untuk pertumbuhan tanaman

sayur-sayuran. Produksi tanaman pangan terbesar tahun 2009 adalah ubi jalar yaitu

sebesar 134 414 ton, disusul produksi sayuran 3476 ton dan padi sawah sebesar

2490 ton dengan produktivitas 20.80 ton/ha. Dari beberapa jenis sayuran yang

ditanam, tomat merupakan tanaman yang paling besar produksinya, yaitu 750.38

(36)

terbesar adalah pisang sebanyak 254.71 ton dengan produktivitas 126.08 ton/ha.

Kopi, tembakau, buah merah merupakan tanaman perkebunan yang diusahakan di

Kabupaten Jayawijaya. Luas areal tanaman kopi mengalami peningkatan dari 900

Ha pada 2008 menjadi 1775 Ha pada tahun 2009. Hampir semua distrik di

Kabupaten Jayawijaya terdapat perkebunan kopi dan salah satu distrik yang paling

banyak mengusahakannya adalah Distrik Asologaima.

Populasi ternak babi masih menduduki jumlah yang paling banyak

diusahakan oleh penduduk Jayawijaya. Jenis ternak besar yang diusahakan oleh

masyarakat di Kabupaten Jayawijaya antara lain sapi (4237 ekor), kerbau (110

ekor), dan kuda (26 ekor), sedangkan ternak kecil, antara lain kambing (1137

ekor), babi (45 862 ekor), dan kelinci (3697 ekor). Ternak unggas yang banyak

diusahakan adalah ayam buras (27 745 ekor) dan itik (507 ekor). Produksi daging

babi merupakan produksi yang terbesar yaitu sebanyak 454 857 Kg sedangkan

produksi terkecil adalah kerbau yaitu sebanyak 1406 Kg. Produksi ayam buras

(37)

Taeniosis dan sistiserkosis pada manusia di Papua

Papua dahulu dikenal dengan nama Irian jaya. Kasus pertama dilaporkan

terjadi tahun 1972 di Kecamatan Paniai, Kabupaten Nabire (sebelum pemekaran

kabupaten tahun 1999). Pasien yang berobat di rumah sakit Enarotali (dahulu

adalah ibukota kecamatan, saat ini ibukota kabupaten), diambil 170 sampel feses

dan terdeteksi telur Taenia spp. sebesar 9%, pengambilan kedua (bukan pasien)

dari 74 sampel diperoleh 8% positif untuk telur taenia. Kedua kelompok

pengambilan sampel tadi adalah masyarakat Ekari (Kapauku). Kelompok ketiga,

suku Moni yang tinggal di lembah Dogindora, tidak ditemukan cacing taenia

(Margono et al. 2006).

Selama enam bulan (1972-1973), di rumah sakit Enarotali terdapat 13 kasus,

termasuk delapan pria dan lima wanita dari umur 16-40 tahun didiagnosa

sistiserkosis. Observasi medis menunjukkan tiga orang pasien memiliki nodul

dengan jumlah nodul berkisar antara satu sampai 20, yang mendapat serangan

epilepsi sebanyak dua orang pasien.

Survei yang dilakukan pada tahun 1983 di Kampung Dukopu, Desa

Hubikosi Kecamatan Wamena, ditemukan 11 orang (10.8%) dari 102 orang

penduduk yang menunjukkan gejala sindroma cacing pita dan 10 orang dari

jumlah tersebut mengalami kejang-kejang dan dua diantaranya mempunyai nodul,

sedangkan seorang hanya mempunyai nodul tanpa gejala kejang (Gunawan et al.

1976).

Tahun 1991, laporan Puskesmas Assologaima, dari 13 334 penduduk di

enam kampung ditemukan empat kasus epilepsi dan 217 kasus luka bakar (1.6%),

tahun 1995 meningkat menjadi 145 kasus epilepsi (0.83%), 452 kasus luka bakar

(2.58%) dari 17 493 penduduk dan 50% kasus epilepsi menderita taeniosis dan

sistiserkosis. Tahun 1993, terjadi peristiwa kematian tokoh gereja katolik akibat

tenggelam di sungai saat serangan epilepsi sehingga dilakukan survei

sistiserkosis/taeniosis dan cacing usus lainnya di delapan Paroki (Gereja Katolik)

di seluruh Lembah Baliem. Survei terhadap 537 orang dewasa ditemukan 48%

pernah mengalami epilepsi dan 26.5% merupakan penderita sistiserkosis

(38)

Serangan epilepsi pada penderita sistiserkosis di Jayawijaya biasa terjadi

pada waktu malam hari. Kondisi ini sering mengakibatkan terjadinya luka bakar

karena penderita terguling ke dalam perapian yang terletak di tengah honai (rumah

adat). Survei dari tahun 1973-1976 tercatat 257 kasus luka bakar dalam honai di

Desa Obano dan pada tahun 1991-1995 ditemukan 1120 kasus luka bakar di

Distrik Assologaima yang berpenduduk 15939 jiwa (Wandra et al. 2007b).

Kebudayaan

Masyarakat Kabupaten Jayawijaya terdiri dari beberapa suku yang

mempunyai kebiasaan dan adat yang berbeda. Suku yang besar adalah suku Dani,

Lani dan Yali. Nama Dani dipakai pemerintah untuk menyebut seluruh penduduk

Lembah Besar Balim, yang juga nama sebuah klen (suku). Walaupun demikian, di

lembah-lembah yang berada di bagian barat, Dani juga merupakan nama dari

bahasa mereka. Orang Moni, tetangga sebelah barat orang Dani kadang-kadang

menyebut mereka orang Ndani, atau Lani. Namun orang Dani sendiri sebagai satu

kesatuan manusia, menyebut dirinya sendiri dengan nama perkampungannya atau

kadang-kadang dengan nama dari gabungan perkampungan tempat tinggal

mereka. Beberapa orang yang berpandangan luas menyebut dirinya nit akhuni

Balimmege, yang artinya kami manusia Balim (Koentjaraningrat 1992;

Susanto-Sunario 1994).

Sebagian besar orang Dani berambut keriting, berkulit cokelat tua, dengan

tinggi badan rata-rata 1.60 meter, tetapi ada pula yang tingginya mencapai 1.70

meter. Mata pencarian hidup orang Dani yang utama adalah bercocok tanam. Cara

bercocok tanam orang Dani adalah dengan berpindah-pindah. Tanah digarap

selama beberapa musim, dan apabila tanah itu telah kehabisan zat-zatnya, tanah

itu ditinggalkan kemudian dibuka sebidang tanah yang baru. Di samping bercocok

tanam berpindah-pindah, orang Dani juga memelihara babi. Binatang ini dapat

dimiliki secara pribadi oleh pria maupun wanita, tetapi yang biasanya memelihara

babi adalah wanita dan anak-anak. Pada waktu pagi babi diberi makan ubi, tetapi

sepanjang hari sampai sore binatang-binatang itu dibiarkan berkeliaran di desa

atau di kebun untuk mencari makanannya sendiri. Babi jantan seringkali dikebiri

(39)

Orang Dani umumnya mengonsumsi daging babi pada waktu mereka

mengadakan pesta, berkenaan dengan upacara-upacara sepanjang daur hidup

individu (kelahiran, inisiasi, perkawinan dan sebagainya), pembakaran jenazah,

dan pada pesta-pesta babi. Selain sebagai bahan pangan, babi juga dimiliki untuk

menambah gengsi. Orang-orang yang mempunyai kedudukan penting atau orang

yang berpengaruh tentu memiliki banyak babi. Babi juga merupakan barang

berharga untuk keperluan-keperluan yang bersifat ekonomi dan sosial, dan dapat

dipakai untuk membeli tanah, kapak besi, tetapi juga untuk meredakan suatu

permusuhan, membalas jasa, maupun sebagai unsur mas kawin (Koentjaraningrat

1992; Susanto-Sunario 1994).

Suatu hal yang sangat menarik adalah orang Dani merupakan contoh hidup

dari sekelompok manusia yang masih hidup dengan sistem peralatan gaya

neolitik. Alat-alat batu yang dipakai orang Dani adalah kapak batu berbentuk

bujur sangkar yang diasah sampai licin. Alat rumah tangga orang Dani adalah

berbagai bentuk pisau batu serta alat-alat lain yang terbuat dari tulang yang

berfungsi sebagai sendok, jarum dan sebagainya. Dalam kebudayaan

tradisionalnya orang Dani tidak mengenal periuk belanga, sebagai wadah mereka

membuat piring dari kayu, benda cair biasanya ditempatkan dalam kulit buah labu

yang sudah dikeringkan lalu mereka gunakan sebagai mangkuk. Untuk

menyimpan barang-barang berharga, tembakau dan pinang, mereka membuat

tas-tas anyaman. Orang Dani membuat kantung jaring atau tas-tas yang dirajut dari tali

serat kulit kayu (su-ebe/noken) untuk mengangkut barang-barang, yang mereka

bawa di punggung, yang kadang-kadang menggelantung hingga ke pantat, dengan

melingkarkan talinya di dahi, sehingga berat bebannya ditanggung oleh kepala.

Kantung-kantung seperti itu dapat dipakai untuk mengangkut berbagai hasil

kebun, anak babi, bahkan bayi sekali pun. Menganyam kantung seperti itu adalah

pekerjaan wanita (Koentjaraningrat 1992; Susanto-Sunario1994).

Senjata terpenting orang Dani adalah busur sepanjang 1.40-1.60 meter yang

disebut sikhe. Anak panah ada berbagai bentuk, yang masing-masing mempunyai

sebutan dan fungsinya sendiri-sendiri: ada yang khusus untuk berperang, ada yang

dipakai untuk memanah burung, dan ada yang digunakan untuk memanah babi.

(40)

sehari-hari hanya sebuah penutup alat kelamin (holim) yang berasal dari kulit

labu. Buah labu dibiarkan tumbuh menjadi panjang dengan menggantungkan batu

di ujungnya. Anak laki-laki baru memakainya setelah berumur lima tahun. Wanita

biasanya memakai sali yang terbuat dari beberapa lapis jerami yang diikatkan di

pinggang untuk menutupi bagian depan dan belakang tubuhnya. Pakaian lain yang

khusus dipakai oleh wanita yang telah menikah adalah penutup alat kelamin yang

juga dibuat dari jerami, lebih tipis yang terbuat dari tali serat kulit kayu (yokal),

yang hanya dipakai di bagian depan saja.

Pada waktu pesta, baik pria maupun wanita memakai perhiasan kalung

kerang, kalung manik-manik, atau kalung tulang burung. Lengan dan kaki

memakai gelang-gelang anyaman rotan. Pakaian resmi untuk pria memerlukan

lebih banyak perhiasan daripada wanita, karena mereka juga memakai jambul

warna-warni dari bulu-bulu burung, sedang hidungnya diberi tusuk hidung dari

tulang atau taring babi. Pada waktu pesta kaum pria juga mencemongkan dahinya

dengan arang, sementara akhir-akhir ini mereka juga gemar memakai bahan kimia

yang terdapat dalam batu batere untuk membuat dahi mereka hitam mengkilat

(Koentjaraningrat 1992; Susanto-Sunario1994).

Tempat tinggal dan pola perkampungan

Tempat pemukiman orang Dani terpencar-pencar dalam bentuk

perkampungan-perkampungan permanen yang dinamakan osili/usilimo, letaknya

mempunyai dua pola yaitu di tempat yang tinggi di atas bukit atau lembah. Antara

satu kampung dengan kampung lainnya pada umumnya berjarak beberapa

kilometer, bahkan ada yang terpisah beberapa puluh kilometer dari

kampung-kampung lainnya. Setiap osili terdiri atas beberapa O-ugul (hamlet), yang

biasanya dipagari sekelilingnya dengan menggunakan belahan-belahan kayu yang

sangat rapat seperti dinding, sehingga tidak dapat dimasuki kecuali melalui

gerbang yang tersedia. Masing-masing o-ugul terdiri atas satu atau beberapa

honae/pilamo (rumah laki-laki) dan sejumlah ebe-ae (rumah perempuan atau

rumah keluarga). Setiap o-ugul biasanya mempunyai satu bangunan dapur yang

dipergunakan oleh semua anggota keluarga. Bangunan-bangunan honae maupun

Gambar

Gambar  2  Denah pola perkampungan pada salah satu kelompok di
Tabel 1  Karakteristik peternak babi yang tersebar di delapan distrik Kabupaten Jayawijaya
Tabel 2  Seroepidemiologi serum babi di Kabupaten Jayawijaya
Tabel 3 Nilai crude odds-ratio (OR) faktor jenis kelamin babi, cara
+7

Referensi

Dokumen terkait

The drug online portal was based on 6 main modules that included Drug information, Regulations and Forms, Drug Sharing Communities, Contacts, Drug Tests, and Report and File..

Dalam perpanjangan pengamatan untuk meguji kredibilitas data penelitian ini, sebaiknya difokuskan pada pengujian terhadap data yang telah diperoleh, apakah data

Sebelum melakukan analisis data, langkah pertama yang harus dilakukan peneliti adalah mengumpulkan data atau mengoleksi data yang diperoleh baik dari hasil wawancara,

financial institutions realized the growth potential in China ’ s banking sector by investing in joint- stock and city commercial banks since 2001, most foreign

P ERTUBUllAN Pcladnng Kuwnsnn (PPK ) Kunin Bcrn.ng Tcrcnggnnu mcnjangkn mcmrcrolchl untung bcrslh klra - klra $ 1 ,079 bag sctlap hcktar projck kacang tanah yang

1.1. Mempraktikkan keterampilan bermain salah satu permainan olahraga bola besar lanjutan serta dengan peraturan yang dimodifikasi serta nilai kerjasama, kejujuran,

kualifikasi pendidikan guru-guru di sekolah RSBI itu adalah 10% untuk SD RSBI, guru-. guru yang mengajar di sekolah tersebut harus berpendidikan S2, untuk tingkat

Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa arti dari media adalah alat yang berfungsi sebagai perantara dalam proses pembelajaran