TINJAUAN PUSTAKA Sistiserkosis
BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat penelitian
Pengamatan proses bakar batu dilakukan pada bulan Juni 2011 di Distrik Kurulu, Kabupaten Jayawijaya. Lokasi proses bakar batu dilaksanakan di pekarangan rumah salah satu warga Wamena yang bermarga Kurisi.
Desain penelitian.
Penelitian ini menggunakan kuesioner dengan responden sebanyak 56 orang dan survei, yang menelaah tingkat ketahanan sistiserkus pada daging babi yang diolah dengan metode memasak tradisional secara bakar batu di Kabupaten Jayawijaya. Telaah yang akan dilakukan, yaitu (1) batu dan kayu yang digunakan dalam proses bakar batu, (2) liang bakar batu, (3) daging babi yang dimasak secara bakar batu.
Simulasi bakar batu
Kegiatan simulasi bakar batu ini dilaksanakan di kampus FKH pada bulan Mei 2010. Dalam pelaksanaannya, kegiatan ini dibantu dengan mahasiswa Papua yang berasal dari Biak, Serui dan daerah Pegunungan Tengah (Paniai). Tujuan dari simulasi bakar batu adalah memvalidasi alat yang akan digunakan saat penelitian di lapangan (lampiran 6).
Batu dan kayu yang digunakan dalam proses bakar batu.
Masyarakat Wamena menggunakan batu kali untuk memasak secara tradisional. Peranan batu dalam proses memasak bakar batu sangat penting,oleh sebab itu dalam penelitian ini perlu dihitung jumlah dan ukuran batu yang digunakan saat bakar batu. Saat membakar batu perlu melihat waktu pembakaran batu, suhu batu saat dibakar dan mengukur suhu batu yang diletakkan dalam liang
bakar batu. Untuk mengetahui suhu batu, alat yang digunakan yaitu infrared
thermometer. Penduduk Wamena membakar batu dengan menggunakan kayu. Dalam penelitian ini sangat penting untuk mendapatkan informasi mengenai jenis kayu yang digunakan dan jumlah kayu yang disusun untuk membakar batu.
Liang bakar batu
Liang bakar batu adalah tempat meletakkan rumput, batu, ubi talas (hipere), sayuran dan bahan makanan yang siap dipanaskan secara bakar batu. Ukuran liang dapat menentukan berapa banyak batu yang siap digunakan dan banyaknya bahan makanan yang akan dimasak secara bakar batu. Menghitung jumlah susunan sayuran, batu, hipere, daging babi, daging ayam yang dibakar dalam liang bakar batu.
Daging babi
Bahan utama dalam proses bakar batu adalah daging babi. Dalam penelitian ini yang akan dicermati adalah besaran daging babi yang diletakkan dalam liang, ketebalan daging babi dan suhu daging babi selama proses bakar batu. Mengukur
suhu daging babi selama proses bakar batu dengan menggunakan thermocouple.
Thermocouple ditancapkan dalam daging babi lalu ditutupi sayuran dan bahan makanan.
Analisis data
Penelitian karakterisasi risiko sistiserkosis daging babi bakar batu, merupakan penelitian yang bersifat eksplorasi, sehingga hasil penelitian akan disajikan dalam bentuk gambar dan dianalisis secara deskriptif (Ulin et al. 2005).
50% 43% 7% 1 jam 2 jam Lebih dari 2 jam 7% 93% Ya Tidak HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Persepsi masyarakat mengenai upacara bakar batu
Responden menjawab tempat melakukan bakar batu adalah di sekitar halaman rumah (100%). Ini berarti bahwa prosesi bakar batu sangat dekat dengan kehidupan mereka sehingga jika sekiranya mereka bisa melakukan bakar batu, maka mereka akan melakukan di sekitar halaman rumah mereka. Sebanyak 50% responden menjawab bahwa mereka melakukan bakar batu berkisar satu jam, responden yang menjawab dua jam (43%) dan yang lebih dari dua jam sebesar 7%
(Gambar 8). Responden tidak mencuci daging babi, hipere, sayuran (93%)
sebelum dimasak (Gambar 9). Air yang digunakan untuk mencuci, berasal dari selokan (58%) dan sungai (37%) (Gambar 10).
Gambar 8 Waktu yang digunakan untuk melaksanakan bakar batu.
Gambar 9 Kebiasaan mencuci daging dan makanan sebelum bakar batu.
37%
0% 58%
5% Sungai
Sumur
gali, bor, pompa Selokan lainnya 2% 85% 13% Di dalam wadah logam/plastik Di atas tanah beralas rumput Diatas tanah
Gambar 10 Air yang digunakan untuk mencuci daging babi, hipere dan sayuran.
Gambar 11 Tempat meletakkan makanan hasil bakar batu.
Menurut responden makanan yang sudah matang dapat diletakkan pada wadah logam atau plastik (2%), meletakkan makanan diatas tanah yang beralaskan rumput (85%), di atas tanah (13%) (Gambar 11). Hal ini menunjukkan bahwa penanganan makanan yang sudah masak melalui proses bakar batu tidak pernah diperhatikan oleh responden. Mereka sudah terbiasa untuk meletakkan makanan di atas tanah, baik itu dengan beralaskan daun maupun tidak.
11% 89% Ya Tidak 24% 5% 71% Diletakkan dalam wadah kemudian dimakan bersama Dimakan tanpa diwadahi sebelumnya Dimakan ramai- ramai di tempat pembakaran
Gambar 12 Cara mengonsumsi makanan hasil prosesi bakar batu.
Sebanyak 71% responden mengonsumsi makanan yang telah matang, secara beramai-ramai dari tempat pembakaran, hanya 24% yang menjawab meletakkan makanan mereka di wadah tertentu sebelum dimakan dan 5% dimakan tanpa diwadahi sebelumnya (Gambar 12). Persepsi masyarakat Wamena terhadap daging babi yang sudah matang dan enak untuk dikonsumsi yaitu, sebanyak 100% responden menjawab daging babi yang enak dikonsumsi sudah tidak berdarah, bila daging babi masih berdarah atau setengah matang dan yang gosong sangat tidak diinginkan oleh penduduk Jayawijaya.
Kurangnya perhatian responden terhadap kebersihan diri juga tercermin dari kebiasaan mereka tidak mencuci tangan sebelum makan (89%) dan juga hanya 11% mencuci tangan sebelum makan (Gambar 13).
Gambar 13 Responden yang mencuci tangan sebelum konsumsi makanan hasil bakar batu.
Upacara bakar batu
Hasil observasi lapangan, kegiatan bakar batu terbagi atas tiga tahap (Gambar 14), yaitu; 1) pembakaran batu dan kayu; 2) pemanggangan daging babi beserta hipere dan sayuran; 3) makan bersama.
Pembakaran batu dan kayu
Sebelum proses bakar batu dilaksanakan masyarakat mengumpulkan batu dan kayu yang akan digunakan untuk memasak, lalu diletakkan disatu tempat. Batu yang dibakar disusun menjadi tiga bagian, yaitu; (1) bagian dasar batu berukuran kecil, batang kayu dan rumput kering; (2) bagian tengah, ranting serta kayu; (3) bagian atas adalah batu berukuran besar. Batu yang digunakan adalah batu kali, batu tersebut dicuci terlebih dahulu lalu dipisahkan berdasarkan ukuran.
Gambar 15 Bagian dasar susunan batu dan kayu.
C B
A
Gambar 14 Kegiatan bakar batu. A. Pembakaran batu dan kayu, B.
Pemanggangan daging babi beserta hipere dan sayuran, C.
Gambar 16 Bagian tengah susunan batu dan kayu.
Gambar 17 Bagian atas susunan batu dan kayu.
Pada bagian dasar batu yang digunakan berukuran ± 9x12 cm sebanyak 200 batu yang disusun diatas rumput kering. Batang kayu besar diletakkan membentuk ukuran segiempat, dengan jumlah empat buah (Gambar 15). Kayu yang sering digunakan untuk membakar batu yaitu kayu kasuari dan kayu besi. Pada bagian tengah digunakan delapan buah kayu berukuran sedang dan ranting sebanyak 100 buah kemudian disusun kembali dengan kayu sebanyak 10 buah (Gambar 16). Pada bagian atas, diletakkan batu berukuran besar yaitu ± 17x25 cm sebanyak 133 batu. Ukuran tempat pembakaran yang tersusun dari kayu dan batu tersebut memiliki lebar 138 cm, panjang 157 cm dan tinggi ± 60 cm (Gambar 17).
Pembakaran batu dimulai pada pukul 10.35 WIT. Dua puluh lima menit kemudian sebuah batu terpental. Pada menit ke-35 suhu batu mencapai 235 oC, sesudah lima puluh menit batu terpental kembali. Pukul 11.20 waktu setempat
suhu batu mencapai 250 oC, kemudian suhu meningkat mencapai 285 oC pada
Pemanggangan daging babi beserta hipere dan sayuran
Proses pemanggangan daging babi terdiri dari: (1) penyiapan liang pembakaran, (2) penyiapan daging babi, (3) penyiapan bumbu, ubi, sayuran dan daging ayam, (4) proses bakar batu (barapen).
Liang pembakaran yang akan digunakan berukuran kedalaman 40 cm, lebar diameter permukaan liang 135 x 138 cm. Dasar lubang pemanggangan terlebih dahulu dilapisi rumput kemudian ilalang (Gambar 18).
Gambar 18 Liang pembakaran. A. Penyiapan. B. Liang yang siap digunakan.
Gambar 19 Penyiapan daging babi. A. Memanah babi, B. Babi diletakkan di atas pembakaran, C. Melepaskan bulu babi, D. Mengeluarkan isi perut babi.
A B
B
C D
Gambar 20 Penyiapan bahan. A. Sayuran, B. Pencucian hipere.
Gambar 21 Penyiapan bumbu. A. Proses penyiapan bumbu, B. Bumbu siap digunakan.
Gambar 22 Proses barapen. A. Batu diletakkan di liang pembakaran, B. Susunan hipere, C. Menancapkan thermocouple pada daging
babi, D. Mengikat susunan barapen dengan menggunakan
rotan. B A B C D A B A
Bahan utama yang digunakan dalam upacara bakar batu yaitu daging babi. Babi disembelih dengan cara dipanah (Gambar 19A), lalu didiamkan beberapa saat diatas tanah kemudian diletakkan diatas pembakaran (Gambar 19B) sekitar tiga menit dengan tujuan melepaskan bulu babi (Gambar 19C). Selanjutnya babi dibersihkan dengan cara mengeluarkan isi perut (Gambar 19D). Daging babi yang siap bakar batu memiliki ukuran panjang 48 cm, lebar 15 cm dan tebal ± 4-5 cm,
dimasukkan ke dalam lubang pemanggangan dengan suhu awal 28.3 o
Masyarakat yang datang berkumpul membawa sayuran dan hipere. Sayuran
yang dibawa berupa iprika (daun hipere), tirubug (daun singkong), kopae (daun pepaya) dan nahampun (labu parang) dan diletakkan di dekat liang pembakaran (Gambar 20A). Hipere yang akan digunakan dicuci terlebih dahulu dengan air selokan (Gambar 20B).
C.
Para wanita berkumpul di dapur dan menyiapkan bumbu (Gambar 21A). Campuran bumbu yang digunakan yaitu; bawang merah, bawang putih, batang bawang, kunyit dan garam (Gambar 21B). Saat ini digunakan sebagai sarana untuk berkumpul para anggota keluarga dan kerabat. Mereka menangis mengingat keluarga ataupun kerabat yang telah meninggal.
Pada saat proses pembakaran batu telah selesai, batu siap dipindahkan ke dalam liang pembakaran. Batu dipindahkan ke dalam liang pembakaran pada pukul 11.53 waktu setempat. Dengan menggunakan jepit kayu khusus, yang disebut apando, batu-batu panas diletakkan diatas ilalang. Batu yang berukuran besar diletakkan pada bagian dasar dengan suhu tertinggi 300 °C dan terendah 170 °C, suhu rata-rata semua batu yang diletakkan pada bagian dasar yaitu 236.16 °C (Gambar 22A).
Susunan selanjutnya adalah ilalang dan hipere, diatasnya diletakkan daun pisang, ilalang dan batu, kemudian disusun kembali daun pisang dan sayuran berupa iprika (daun hipere), tirubug (daun singkong), kopae (daun pepaya) dan
nahampun (labu parang) (Gambar 22B). Pukul 12.25 waktu setempat, daging
wam (babi) dan ayam dimasukkan kedalam lubang pembakaran setelah dicampur
dalam bumbu. Bagian ujung dari thermocouple ditancapkan pada daging babi dan pembacaan suhu selama proses bakar batu melalui layar thermocouple (Gambar 22C). Selanjutnya, disusun batu, daging ayam dan sayuran yang diberi bumbu.
Batu disusun kembali pada bagian atas dan pinggiran lubang pemanggangan, lalu ditutupi dengan rumput dan diikat dengan rotan pada pukul 12.50 waktu setempat
(Gambar 22D). Hal ini dimaksudkan agar uap panas dari batu tidak menguap.
Tinggi gundukan bakar batu adalah 70 cm dari permukaan tanah.
Makan bersama
Makan bersama diawali dengan pembongkaran gundukan bakar batu pada pukul 14.20 waktu setempat. Para wanita bersama-sama membongkar gundukan hasil bakar batu (Gambar 23A). Tokoh adat membagi daging babi berdasarkan jumlah kelompok (Gambar 23B). Penduduk setempat terdiri atas anak-anak dan orang tua mulai duduk berkelompok, siap menikmati hidangan bakar batu
(Gambar 23C dan 23D). Pada Gambar 24 tampak hasil barapen berupa sayuran,
hipere, daging babi dan daging ayam hanya diletakkan di atas tanah yang beralaskan rumput. Tidak ada wadah yang disiapkan untuk meletakkan makanan yang sudah masak.
Gambar 23 Makan bersama. A. Pembongkaran susunan barapen, B.
Pembagian daging babi oleh tokoh adat, C. Makan bersama secara berkelompok, D. Kelompok anak-anak.
C D
B A
Gambar 24 Tempat meletakkan makanan yang selesai
dimasak. A. Sayuran, B. Hipere, C. Daging
babi dan sayuran, D. Daging ayam dan sayuran.
Ketahanan sistiserkus daging babi ‘bakar batu’
Suhu daging babi selama pemanggangan diukur dengan menggunakan
thermocouple. Proses pemanggangan dimulai pada pukul 12.50 waktu setempat dengan suhu daging babi 32.7 oC. Dua puluh menit selama proses bakar batu, suhu daging babi dalam lubang pemanggangan naik menjadi 60.7 oC. Pada pukul 13.25 WIT suhu daging babi mencapai 75 oC, satu jam kemudian suhu daging babi menjadi 84.0 oC, suhu tertinggi pada pukul 14.20 WIT yaitu 90.7 oC (Gambar 25). Pemanggangan bakar batu berlangsung hingga satu setengah jam
dengan suhu selama pemanggangan 60-90 oC dan suhu udara pada saat itu
20.6 o
Panas batu yang dikeluarkan dari tempat pemanggangan rata-rata 65.66 C.
o C. Daging babi yang diangkat dari tempat pemanggangan diukur suhunya pada beberapa titik dan memiliki suhu rata-rata 83.33 oC.
B
C D
Gambar 25 Suhu bagian dalam daging babi selama bakar batu (sistiserkus mati pada suhu di atas 60 oC) .
Pembahasan
Bakar batu telah menjadi salah satu identitas daerah Papua. Cara memasak yang unik ini dilakukan masyarakat Papua, yang tinggal di wilayah pegunungan dan pesisir. Penyebutan nama teknik memasak ini berbeda-beda, masyarakat Paniai menyebutnya dengan gapii, di Wamena disebut kit oba isago dan di Biak menggunakan kata barapen. Istilah barapen ini adalah yang paling populer digunakan oleh masyarakat Papua.
Kebudayaan ini erat kaitannya dengan berbagai upacara yang sering dilakukan oleh masyarakat, seperti: upacara kelahiran, upacara perkawinan, upacara kematian serta pembayaran denda bila ada pertikaian antara suku atau keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa bakar batu merupakan bagian yang mendasar bagi masyarakat di Kabupaten Jayawijaya (Koentjaraningrat 1992).
Pada proses bakar batu, jumlah batu dan ukuran batu memiliki peranan yang penting. Saat masyarakat meletakkan hipere dalam jumlah yang banyak, maka para pria menambah batu untuk dibakar. Mereka berpengalaman dalam menentukan jumlah batu yang seharusnya digunakan untuk menjadikan bahan makan bakar batu menjadi masak. Selain itu, batu yang digunakan adalah batu kali karena batu ini bisa menyerap panas.
Berdasarkan hasil diskusi dengan masyarakat, ukuran liang pembakaran tergantung pada besaran daging babi yang akan dibakar. Semakin besar babi yang
0 20 40 60 80 100 1 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Suhu daging bagian dalam ( C)
akan dibakar, maka semakin besar pula liang yang akan dibuat. Persediaan air
bersih sangat minim di Kabupaten Jayawijaya. Oleh sebab itu, hipere yang
disiapkan untuk bakar batu, dicuci dengan air selokan yang berada di sekitar tempat bakar batu.
Masyarakat memiliki teknik agar suhu dalam gundukan bakar batu menjadi panas. Mereka menyelipkan beberapa batu di pinggiran gundukan bagian dalam secara merata sehingga suhu bagian dalam tetap terjaga dalam keadaan seimbang. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa suhu bagian dalam daging babi yang dimasak dengan teknik ini mencapai 60 oC setelah dimasak selama 20 menit dan suhunya terus meningkat sampai mencapai 90.7 oC pada menit ke-90. Hal ini berarti, daging tersebut mengalami proses pemanasan diatas suhu 60 oC selama tidak kurang dari 60 menit. Proses pemanasan ini dapat berlangsung lebih lama karena dari hasil wawancara sebagian besar responden mengemukakan bahwa pemasakan dengan bakar batu berlangsung lebih dari dua jam. Secara teoritis pada kondisi ini daging akan mengalami pematangan dan sistiserkus tidak akan bertahan hidup. Para pakar mengemukakan bahwa pemasakan daging babi sampai matang dengan suhu 60 o
Sanitasi personal yang buruk merupakan salah faktor risiko penularan taeniosis/sistiserkosis (Rajshekhar et al. 2003; Flisser dan Gyorkos 2007). Pengamatan di lapangan menunjukkan makanan dari hasil bakar batu yang telah matang sempurna hanya diletakkan di tanah yang beralaskan rumput atau bahkan tanpa alas sama sekali. Kondisi ini sangat memungkinkan terjadinya kontaminasi
makanan yang telah matang oleh telur telur Taenia yang berada di permukaan
tanah. Studi menunjukkan bahwa telur Taenia dapat bertahan di permukaan tanah selama 150 hari (Riemann dan Cliver 2006).
C dapat membunuh sistiserkus (Kandun 2000; Tsigarida
et al. 2009; EFSA 2004). Dari fakta ini anggapan bahwa cara memasak bakar batu merupakan penyebab penularan Taenia solium di Kabupaten Jayawijaya adalah tidak tepat karena teknik ini mampu membunuh sistiserkus di daging babi.
Dalam prosesi tersebut, orang yang dituakan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu memotong dan membagi-bagikan daging babi yang telah matang kepada kelompok anak-anak, remaja, ibu-ibu dan bapak-bapak. Masyarakat yang
mencuci tangan sebelum makan. Karena kebersihan lingkungan (sanitasi) sangat rendah dan didukung perilaku hidup bersih dan sehat yang kurang maka makanan hasil bakar batu berpeluang tercemar telur Taenia. Kondisi buruk seperti itu memungkinkan masyarakat mengonsumsi telur Taenia solium.
Salah satu upaya untuk mengurangi penularan Taenia adalah makanan yang telah matang dari hasil bakar batu sebaiknya diletakkan dalam wadah atau beralas daun pisang yang bersih agar terhindar dari kontaminasi telur Taenia. Melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan serta Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya harus melakukan pendidikan dan penyuluhan kesehatan untuk membudayakan mencuci tangan sebelum makan sehingga dapat membentuk pola perilaku hidup bersih dan sehat sejak dini.
KESIMPULAN
1. Cara memasak tradisional Papua dengan teknik bakar batu yang
menggunakan batu kali dapat terbakar selama 90 menit sehingga mencapai suhu 300 °C.
2. Suhu daging babi bagian dalam yang dimasak melalui metode bakar batu
dapat mencapai suhu 60-90 °C selama sekurang-kurangnya 60 menit. Secara teoritis kondisi pemaparan panas dengan suhu 60 °C dapat mematikan sistiserkus dalam daging babi.
3. Pola penyajian makanan hasil bakar batu oleh masyarakat Wamena yang
hanya diletakkan diatas tanah dapat memungkinkan terjadinya terkontaminasi makanan dengan telur Taenia.
SARAN
Dalam penelitian ini dapat disarankan metode penyajian makanan hasil bakar batu dengan cara makanan yang telah matang diletakkan dalam wadah atau di atas daun yang bersih dapat memutuskan rantai penularan. Pendidikan kesehatan yang berkelanjutan tentang perilaku hidup bersih dan sehat khususnya berkaitan dengan mencuci tangan sebelum makan dan meletakkan makanan yang telah masak pada tempat yang bersih, dapat mencegah terjadinya penularan sistiserkosis/taeniosis melalui cara yang sederhana.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih diucapkan kepada Agustina Kurisi SKM, Christine, yang telah membantu menerjemahkan dan mengumpulkan masyarakat. Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada dr. I Kadek Swastika M.Kes. yang telah banyak membantu dalam pengambilan gambar.
PENDAHULUAN
Sistiserkosis/taeniosis solium adalah penyakit endemik di berbagai negara berkembang yang memiliki sanitasi rendah dan sistem peternakan babi yang
tradisional (Flisser et al. 2003). Berbagai cara dilakukan untuk dapat
mengendalikan taeniosis dan sistiserkosis. Dorny et al. (2009) mengemukakan
bahwa pengendalian T. solium dilakukan dengan cara pendidikan kesehatan,
peningkatan sistem sanitasi dan sistem peternakan babi, pemeriksaan daging babi dan pemberian obat kepada penduduk secara masal.
Beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa terdapat dua strategi untuk memutuskan siklus hidup T. solium yaitu menjaga agar babi tidak memakan feses manusia, memasak daging babi dan visera dengan baik (Sarti dan Rajshekhar 2003; Gonzales et al. 2003; Sanchez dan Fairfield 2003; Flisser et al.
2003; Suroso et al. 2006; Ngowi et al. 2008). Kedua hal ini dapat dijalankan dengan cara meningkatkan kesehatan masyarakat melalui pendidikan kesehatan (Ito et al. 2005).
Sanchez dan Fairfield (2003) mengemukakan bahwa pendidikan kesehatan memainkan peranan yang penting dalam program pencegahan dan pengendalian penyakit terlebih penyakit infeksi yang berkaitan dengan masalah kemiskinan, sosial dan budaya. Pendidikan kesehatan merupakan faktor yang sangat penting sementara tindakan yang lain secara bersama-sama dapat diimplementasikan. Ngowi et al. (2008) menyatakan bahwa intervensi pendidikan kesehatan memiliki pengaruh yang signifikan untuk menurunkan 20% tingkat konsumsi babi yang terinfeksi pada rumah tangga di Tanzania.
Margono et al. (2006) mengemukakan bahwa pendidikan kesehatan harus
diberikan kepada wanita di suku Dani Papua supaya mereka memiliki pengetahuan mengenai higienis dan sanitasi. Pengetahuan dan informasi yang lebih mendalam sangat penting diberikan kepada wanita di suku Dani untuk mencegah sistiserkosis/taeniosis. Pendidikan kesehatan masyarakat yang dilakukan secara terus-menerus mengenai praktek perilaku yang mencakup higienis individu, sanitasi lingkungan termasuk peningkatan perilaku bersih yang berhubungan dengan peternakan babi harus diberikan kepada masyarakat (Suroso
Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini dilakukan untuk mengkaji tingkat pengetahuan dan perilaku masyarakat Kabupaten Jayawijaya dengan memasukkan intervensi penyuluhan sebagai faktor yang dapat meningkatkan pendidikan dan perilaku kesehatan.
BAHAN DAN METODE