• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan IAA dan BAP untuk Menstimulasi Organogenesis Tanaman Anthurium anderanum dalam Kultur In Vitro

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penggunaan IAA dan BAP untuk Menstimulasi Organogenesis Tanaman Anthurium anderanum dalam Kultur In Vitro"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGUNAAN IAA DAN BAP

UNTUK MENSTIMULASI ORGANOGENESIS

TANAMAN

Anthurium andreanum

DALAM KULTUR

IN VITRO

Oleh :

SITI SYARA

A34301027

PROGRAM STUDI HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

PENGGUNAAN IAA DAN BAP

UNTUK MENSTIMULASI ORGANOGENESIS

TANAMAN

Anthurium andreanum

DALAM KULTUR

IN VITRO

Skripsi sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

SITI SYARA

A34301027

PROGRAM STUDI HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

(3)

RINGKASAN

SITI SYARA. Penggunaan IAA dan BAP Untuk Menstimulasi Organogenesis Tanaman Anthurium andreanum Dalam Kultur In Vitro.

Dibimbing oleh NURHAJATI ANSORI MATTJIK.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisa pengaruh

kombinasi zat pengatur tumbuh IAA dan BAP terhadap pembentukan planlet

Anthurium andreanum dalam kultur in vitro. Pelaksanaan penelitian dilakukan

pada bulan Juni hingga November 2005 yang bertempat di Laboratorium

Bioteknologi Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian, IPB.

Penelitian ini menggunakan rancangan perlakuan faktorial dengan dua

faktor yang disusun dalam Rancangan Lingkungan Acak Lengkap.

Faktor-faktornya adalah konsentrasi IAA yang terdiri dari 5 taraf, yaitu 0.0 ppm (A0), 0.1

ppm (A1), 0.2 ppm (A2), 0.3 ppm (A3) dan 0.4 ppm (A4) serta konsentrasi BAP

yang terdiri dari 4 taraf yaitu 0.0 ppm (B0), 1.0 ppm (B1), 2.0 ppm (B2) dan 3.0

ppm (B3). Dua faktor tersebut menghasilkan 20 kombinasi perlakuan yang

masing-masing diulang sebanyak 10 kali, sehingga terdapat 200 satuan percobaan.

Setiap ulangan terdiri dari 1 botol yang berisi 1 eksplan.

Pelaksanaan penelitian terdiri dari persiapan dan sterilisasi alat, persiapan

air kelapa, pembuatan media, sterilisasi dan penanaman bahan tanam, penanaman

eksplan dan pengamatan. Eksplan yang digunakan adalah potongan batang

Anthurium sepanjang 0.5 cm dengan memiliki satu buku yang diperoleh dari

proses perkecambahan secara in vitro. Peubah-peubah yang diamati yaitu, tinggi

tanaman, jumlah tunas, jumlah daun, jumlah akar serta panjang akar terpanjang.

Interaksi antara IAA dan BAP pada beberapa kultur menunjukkan

pertumbuhan kalus. Pertumbuhan kalus mulai terlihat pada pengamatan minggu

ke-2 setelah tanam. Pada awal kemunculannya, kalus berwarna hijau kekuningan

yang kemudian berubah menjadi hijau tua. Perlakuan air kelapa 15% (v/v) + 0.2

ppm IAA + 2.0 ppm BAP cenderung membentuk kalus lebih cepat.

Interaksi antara IAA dan BAP tidak memberikan pengaruh nyata terhadap

peubah tinggi tanaman, serta jumlah organ daun dan akar yang terbentuk.

(4)

kelapa 15%(v/v) cenderung mendorong pertumbuhan tinggi tanaman serta

pembentukan organ daun dan akar. Diduga bahwa 0.3 ppm IAA serta 2.0 ppm dan

1.0 ppm BAP secara efektif mampu mendorong sel-sel membesar membentuk

kalus hingga akhirnya sel-sel kalus kemudian berdiferensiasi membentuk organ

daun dan akar. Interaksi antara air kelapa 15%(v/v), 0.2 ppm IAA dan 2.0 ppm

BAP memberikan pengaruh nyata terhadap pembentukan tunas. Hal ini diduga

bahwa kombinasi tersebut secara efektif mampu meningkatkan kemampuan

sel-sel berdiferensiasi membentuk tunas-tunas baru. Interaksi antara 0.4 ppm IAA dan

1.0 ppm BAP disertai penambahan air kelapa 15%(v/v) memberikan pengaruh

nyata terhadap perkembangan sistem perakaran dengan menghasilkan panjang

akar terpanjang tertinggi (2.09 mm). Sedangkan interaksi air kelapa 15%(v/v)+0.2

ppm IAA+3.0 ppm BAP dan air kelapa 15%(v/v)+0.3 ppm IAA+3.0 ppm BAP

menghasilkan panjang akar terpanjang terendah (1.22 mm). Diduga bahwa auksin

yang terkandung pada jaringan tanaman tidak hanya berasal dari auksin sintetik

tapi juga berasal dari auksin endogen. Hal ini menyebabkan konsentrasi auksin

menjadi terlalu tinggi sehingga menghambat proses pemanjangan akar.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah eksplan memberikan respon

pertumbuhan berupa pembentukan kalus, tunas, daun serta akar. Perlakuan 0.3

ppm IAA serta 2.0 ppm dan 1.0 ppm BAP cenderung mendorong pertumbuhan

tinggi tanaman serta pembentukan organ daun dan akar. Interaksi antara 0.2 ppm

IAA dan 2.0 ppm BAP memberikan pengaruh nyata terhadap pembentukan tunas

dengan menghasilkan jumlah tunas terbanyak. Interaksi antara 0.4 ppm IAA dan

1.0 ppm BAP memberikan pengaruh nyata terhadap perkembangan sistem

(5)

Judul : PENGGUNAAN IAA dan BAP UNTUK MENSTIMULASI ORGANOGENESIS TANAMAN Anthurium andreanum

DALAM KULTUR IN VITRO

Nama : Siti Syara Nrp : A34301027

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Nurhajati Ansori Mattjik, MS NIP 130 367 074

Mengetahui,

Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. H. Supiandi Sabiham, M.Agr NIP 130 422 698

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 18 Oktober 1982.

Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Mukhlis

Iskandar dan Imas Mahdiati.

Pendidikan formal penulis dimulai di TK Kesatuan Bogor pada tahun 1987

dan SD Negeri Polisi 1 pada tahun 1989. Tahun 1995 penulis melanjutkan

pendidikan ke SMP Negeri 2 Bogor. Penulis melanjutkan pendidikan ke SMU

Negeri 3 Bogor pada tahun 1998 dan lulus tahun 2001.

Tahun 2001 penulis diterima di Program Studi Hortikultura Departemen

Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor melalui

jalur USMI. Selama masa perkuliahan, penulis pernah melakukan magang di

kebun hidroponik PD Grace Lembang (2003) dan menjadi asisten pada mata

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT sebagai

pemilik alam semesta ini karena atas segala rahmat dan karunia-Nya penulis dapat

menyelesaikan penelitian yang berjudul “Penggunaan IAA dan BAP Untuk

Menstimulasi Organogenesis Tanaman Anthurium andreanum Dalam Kultur In

Vitro”.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada

1. Yang tercinta Mama, Papa, ‘Mbu, ‘Mbah dan ‘Mak (alm) untuk cinta, doa dan

dukungan yang tidak pernah putus. Semoga penulis diberi kesempatan untuk

bisa membahagiakan mereka.

2. Prof. Dr. Ir. Nurhajati Ansori Mattjik, MS selaku dosen pembimbing yang

telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penelitian dan penulisan

skripsi ini.

3. Dr. Ir. Agus Purwito, MSc dan Ir. Megayani Sri Rahayu, MS yang telah

bersedia menjadi dosen penguji.

4. Dr. Ir. Winarso D. Widodo, MS selaku dosen pembimbing akademik yang

telah memberikan bimbingan kepada penulis selama masa perkuliahan.

5. Dr. Ir. Diny Dinarti, MSi selaku Pimpinan Laboratorium Bioteknologi

Departemen Agronomi dan Hortikultura untuk masukan-masukan yang sangat

membantu dalam kelancaran penelitian dan penulisan skripsi.

6. Pak Ulih Ciapus, Pak Yus INLITHI, Bu Umi SMUNTI, Pak Iip, rekan-rekan

dan seluruh staff Laboratorium Bioteknologi Departemen Agronomi dan

Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB.

7. Teh Isti, de Eil, a Keni, a Wahyu dan seluruh keluarga besar yang telah

banyak membantu dan mendoakan penulis.

8. Yang tersayang Thury, ‘Na, Le, Noey, Tsuqo, Winna, Puri, Ali, Ayu dan

Windy untuk persahabatan, doa dan dukungannya dari jauh.

9. Batara Setiadi untuk waktu, pengertian, kesabaran, dukungan dan doanya

selama ini. Terima kasih karena kamu selalu ada.

(8)

11.Anto, Encep, Fajar, Mono, Rully, Aldi, Maya, Surya dan seluruh Hortiez’ 38

untuk tahun-tahunnya selama masa perkuliahan.

12.Lesa Ilma Grenti dan Asep Yanuar Arifin yang telah banyak membantu

penulis dalam pelaksanaan penelitian.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan.

Bogor, Mei 2006

(9)

DAFTAR ISI

Syarat Tumbuh dan Budidaya Anthurium andreanum ... 5

Kultur Jaringan Tanaman ... 6

Eksplan ... 6

Media ... 7

Zat Pengatur Tumbuh ... 8

Air Kelapa ... 9

Kultur Jaringan Anthurium andreanum ... 10

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Teks

1. Pengaruh Interaksi IAA dan BAP Terhadap Jumlah Tunas Pada 12

MST ... 22

2. Pengaruh Interaksi IAA dan BAP Terhadap Panjang Akar Terpanjang Pada 12 MST ... 27

Nomor Halaman Lampiran 3. Komposisi Larutan Stok Media Murashige and Skoog (MS) ... 33

4. Data Produksi Tanaman Hias di Indonesia Tahun 2003 ... 34

5. Daftar Harga Bunga Potong Segar ... 35

6. Sidik Ragam Tinggi Tanaman ... 36

7. Sidik Ragam Jumlah Tunas ... 37

8. Sidik Ragam Jumlah Daun ... 39

9. Sidik Ragam Jumlah Akar ... 40

(11)

PENGGUNAAN IAA DAN BAP

UNTUK MENSTIMULASI ORGANOGENESIS

TANAMAN

Anthurium andreanum

DALAM KULTUR

IN VITRO

Oleh :

SITI SYARA

A34301027

PROGRAM STUDI HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

(12)

PENGGUNAAN IAA DAN BAP

UNTUK MENSTIMULASI ORGANOGENESIS

TANAMAN

Anthurium andreanum

DALAM KULTUR

IN VITRO

Skripsi sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

SITI SYARA

A34301027

PROGRAM STUDI HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

(13)

RINGKASAN

SITI SYARA. Penggunaan IAA dan BAP Untuk Menstimulasi Organogenesis Tanaman Anthurium andreanum Dalam Kultur In Vitro.

Dibimbing oleh NURHAJATI ANSORI MATTJIK.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisa pengaruh

kombinasi zat pengatur tumbuh IAA dan BAP terhadap pembentukan planlet

Anthurium andreanum dalam kultur in vitro. Pelaksanaan penelitian dilakukan

pada bulan Juni hingga November 2005 yang bertempat di Laboratorium

Bioteknologi Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian, IPB.

Penelitian ini menggunakan rancangan perlakuan faktorial dengan dua

faktor yang disusun dalam Rancangan Lingkungan Acak Lengkap.

Faktor-faktornya adalah konsentrasi IAA yang terdiri dari 5 taraf, yaitu 0.0 ppm (A0), 0.1

ppm (A1), 0.2 ppm (A2), 0.3 ppm (A3) dan 0.4 ppm (A4) serta konsentrasi BAP

yang terdiri dari 4 taraf yaitu 0.0 ppm (B0), 1.0 ppm (B1), 2.0 ppm (B2) dan 3.0

ppm (B3). Dua faktor tersebut menghasilkan 20 kombinasi perlakuan yang

masing-masing diulang sebanyak 10 kali, sehingga terdapat 200 satuan percobaan.

Setiap ulangan terdiri dari 1 botol yang berisi 1 eksplan.

Pelaksanaan penelitian terdiri dari persiapan dan sterilisasi alat, persiapan

air kelapa, pembuatan media, sterilisasi dan penanaman bahan tanam, penanaman

eksplan dan pengamatan. Eksplan yang digunakan adalah potongan batang

Anthurium sepanjang 0.5 cm dengan memiliki satu buku yang diperoleh dari

proses perkecambahan secara in vitro. Peubah-peubah yang diamati yaitu, tinggi

tanaman, jumlah tunas, jumlah daun, jumlah akar serta panjang akar terpanjang.

Interaksi antara IAA dan BAP pada beberapa kultur menunjukkan

pertumbuhan kalus. Pertumbuhan kalus mulai terlihat pada pengamatan minggu

ke-2 setelah tanam. Pada awal kemunculannya, kalus berwarna hijau kekuningan

yang kemudian berubah menjadi hijau tua. Perlakuan air kelapa 15% (v/v) + 0.2

ppm IAA + 2.0 ppm BAP cenderung membentuk kalus lebih cepat.

Interaksi antara IAA dan BAP tidak memberikan pengaruh nyata terhadap

peubah tinggi tanaman, serta jumlah organ daun dan akar yang terbentuk.

(14)

kelapa 15%(v/v) cenderung mendorong pertumbuhan tinggi tanaman serta

pembentukan organ daun dan akar. Diduga bahwa 0.3 ppm IAA serta 2.0 ppm dan

1.0 ppm BAP secara efektif mampu mendorong sel-sel membesar membentuk

kalus hingga akhirnya sel-sel kalus kemudian berdiferensiasi membentuk organ

daun dan akar. Interaksi antara air kelapa 15%(v/v), 0.2 ppm IAA dan 2.0 ppm

BAP memberikan pengaruh nyata terhadap pembentukan tunas. Hal ini diduga

bahwa kombinasi tersebut secara efektif mampu meningkatkan kemampuan

sel-sel berdiferensiasi membentuk tunas-tunas baru. Interaksi antara 0.4 ppm IAA dan

1.0 ppm BAP disertai penambahan air kelapa 15%(v/v) memberikan pengaruh

nyata terhadap perkembangan sistem perakaran dengan menghasilkan panjang

akar terpanjang tertinggi (2.09 mm). Sedangkan interaksi air kelapa 15%(v/v)+0.2

ppm IAA+3.0 ppm BAP dan air kelapa 15%(v/v)+0.3 ppm IAA+3.0 ppm BAP

menghasilkan panjang akar terpanjang terendah (1.22 mm). Diduga bahwa auksin

yang terkandung pada jaringan tanaman tidak hanya berasal dari auksin sintetik

tapi juga berasal dari auksin endogen. Hal ini menyebabkan konsentrasi auksin

menjadi terlalu tinggi sehingga menghambat proses pemanjangan akar.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah eksplan memberikan respon

pertumbuhan berupa pembentukan kalus, tunas, daun serta akar. Perlakuan 0.3

ppm IAA serta 2.0 ppm dan 1.0 ppm BAP cenderung mendorong pertumbuhan

tinggi tanaman serta pembentukan organ daun dan akar. Interaksi antara 0.2 ppm

IAA dan 2.0 ppm BAP memberikan pengaruh nyata terhadap pembentukan tunas

dengan menghasilkan jumlah tunas terbanyak. Interaksi antara 0.4 ppm IAA dan

1.0 ppm BAP memberikan pengaruh nyata terhadap perkembangan sistem

(15)

Judul : PENGGUNAAN IAA dan BAP UNTUK MENSTIMULASI ORGANOGENESIS TANAMAN Anthurium andreanum

DALAM KULTUR IN VITRO

Nama : Siti Syara Nrp : A34301027

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Nurhajati Ansori Mattjik, MS NIP 130 367 074

Mengetahui,

Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. H. Supiandi Sabiham, M.Agr NIP 130 422 698

(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 18 Oktober 1982.

Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Mukhlis

Iskandar dan Imas Mahdiati.

Pendidikan formal penulis dimulai di TK Kesatuan Bogor pada tahun 1987

dan SD Negeri Polisi 1 pada tahun 1989. Tahun 1995 penulis melanjutkan

pendidikan ke SMP Negeri 2 Bogor. Penulis melanjutkan pendidikan ke SMU

Negeri 3 Bogor pada tahun 1998 dan lulus tahun 2001.

Tahun 2001 penulis diterima di Program Studi Hortikultura Departemen

Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor melalui

jalur USMI. Selama masa perkuliahan, penulis pernah melakukan magang di

kebun hidroponik PD Grace Lembang (2003) dan menjadi asisten pada mata

(17)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT sebagai

pemilik alam semesta ini karena atas segala rahmat dan karunia-Nya penulis dapat

menyelesaikan penelitian yang berjudul “Penggunaan IAA dan BAP Untuk

Menstimulasi Organogenesis Tanaman Anthurium andreanum Dalam Kultur In

Vitro”.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada

1. Yang tercinta Mama, Papa, ‘Mbu, ‘Mbah dan ‘Mak (alm) untuk cinta, doa dan

dukungan yang tidak pernah putus. Semoga penulis diberi kesempatan untuk

bisa membahagiakan mereka.

2. Prof. Dr. Ir. Nurhajati Ansori Mattjik, MS selaku dosen pembimbing yang

telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penelitian dan penulisan

skripsi ini.

3. Dr. Ir. Agus Purwito, MSc dan Ir. Megayani Sri Rahayu, MS yang telah

bersedia menjadi dosen penguji.

4. Dr. Ir. Winarso D. Widodo, MS selaku dosen pembimbing akademik yang

telah memberikan bimbingan kepada penulis selama masa perkuliahan.

5. Dr. Ir. Diny Dinarti, MSi selaku Pimpinan Laboratorium Bioteknologi

Departemen Agronomi dan Hortikultura untuk masukan-masukan yang sangat

membantu dalam kelancaran penelitian dan penulisan skripsi.

6. Pak Ulih Ciapus, Pak Yus INLITHI, Bu Umi SMUNTI, Pak Iip, rekan-rekan

dan seluruh staff Laboratorium Bioteknologi Departemen Agronomi dan

Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB.

7. Teh Isti, de Eil, a Keni, a Wahyu dan seluruh keluarga besar yang telah

banyak membantu dan mendoakan penulis.

8. Yang tersayang Thury, ‘Na, Le, Noey, Tsuqo, Winna, Puri, Ali, Ayu dan

Windy untuk persahabatan, doa dan dukungannya dari jauh.

9. Batara Setiadi untuk waktu, pengertian, kesabaran, dukungan dan doanya

selama ini. Terima kasih karena kamu selalu ada.

(18)

11.Anto, Encep, Fajar, Mono, Rully, Aldi, Maya, Surya dan seluruh Hortiez’ 38

untuk tahun-tahunnya selama masa perkuliahan.

12.Lesa Ilma Grenti dan Asep Yanuar Arifin yang telah banyak membantu

penulis dalam pelaksanaan penelitian.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan.

Bogor, Mei 2006

(19)

DAFTAR ISI

Syarat Tumbuh dan Budidaya Anthurium andreanum ... 5

Kultur Jaringan Tanaman ... 6

Eksplan ... 6

Media ... 7

Zat Pengatur Tumbuh ... 8

Air Kelapa ... 9

Kultur Jaringan Anthurium andreanum ... 10

(20)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Teks

1. Pengaruh Interaksi IAA dan BAP Terhadap Jumlah Tunas Pada 12

MST ... 22

2. Pengaruh Interaksi IAA dan BAP Terhadap Panjang Akar Terpanjang Pada 12 MST ... 27

Nomor Halaman Lampiran 3. Komposisi Larutan Stok Media Murashige and Skoog (MS) ... 33

4. Data Produksi Tanaman Hias di Indonesia Tahun 2003 ... 34

5. Daftar Harga Bunga Potong Segar ... 35

6. Sidik Ragam Tinggi Tanaman ... 36

7. Sidik Ragam Jumlah Tunas ... 37

8. Sidik Ragam Jumlah Daun ... 39

9. Sidik Ragam Jumlah Akar ... 40

(21)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Teks

1. Kondisi Serangan Cendawan ... 17

2. Kondisi Pertumbuhan Kalus ... 19

3. Tinggi Planlet Pada Beberapa Taraf Konsentrasi IAA ... 20

4. Tinggi Planlet Pada Beberapa Taraf Konsentrasi BAP ... 20

5. Kultur dengan perlakuan air kelapa 15%(v/v) + 0.2 ppm IAA + 2.0 ppm BAP ... 21

6. Kultur dengan perlakuan air kelapa 15%(v/v) + 0.0 ppm IAA + 0.0 ppm BAP ... 21

7. Jumlah Daun Pada Beberapa Taraf Konsentrasi IAA ... 23

8. Jumlah Daun Pada Beberapa Taraf Konsentrasi BAP ... 23

9. Jumlah Akar Pada Beberapa Taraf Konsentrasi IAA ... 25

10. Jumlah Akar Pada Beberapa Taraf Konsentrasi BAP ... 26

(22)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia sebagai daerah yang terletak di wilayah tropis memiliki

keunggulan dalam keanekaragaman tanaman. Hal tersebut ditunjukkan dengan

beraneka macamnya tanaman hias, baik itu tanaman hias bunga maupun tanaman

hias daun. Tanaman-tanaman hias tersebut memiliki penampilan yang menjadi ciri

khas masing-masing.

Dengan semakin meningkatnya permintaan akan tanaman hias baik dalam

pot maupun bunga potong di dalam negeri khususnya kota-kota besar, maka hal

ini mendorong para produsen untuk terus meningkatkan perkembangan produksi

tanaman hias. Konsumen terbesar berasal dari hotel, restoran dan perkantoran.

Umumnya permintaan mengalami peningkatan pada saat perayaan hari besar

keagamaan, kemerdekaan serta pernikahan. Dari sekian banyak bunga potong

yang dihasilkan, Anthurium merupakan salah satu jenis bunga yang juga dicari

oleh konsumen.

Anthurium diminati oleh konsumen karena memiliki bentuk yang unik dan

warna yang menarik. Hal-hal tersebut memberikan manfaat ganda pada

Anthurium itu sendiri, yaitu sebagai tanaman hias daun dan tanaman hias bunga.

Spesies Anthurium yang cocok digunakan sebagai tanaman hias terdiri dari tiga

macam, yaitu Anthurium andreanum, A.scherzerianum dan A.crystallinum.

A.andreanum merupakan salah satu jenis tanaman hias yang juga populer sebagai

bunga potong. Seludang bunganya yang berbentuk jantung dan memiliki beraneka

macam warna seperti merah, putih, merah muda atau hijau muda memberikan

nilai tambah pada Anthurium itu sendiri.

Bunga Anthurium memiliki lama kesegaran yang panjang yaitu sekitar 14

hari. Karena bunga ini begitu menonjol penampilannya, maka yang terdapat di

pasaran telah bebas dari hama penyakit tetapi masih dapat dijumpai cacat akibat

kerusakan fisik dan bentuk tangkai yang tidak lurus. Bunga Anthurium jenis hibrid

dijual individual per tangakai dan setiap kuntum dibungkus dengan plastik. Hal ini

dilakukan karena ukuran bunga yang cukup besar dan harga pertangkainya yang

(23)

Untuk perbanyakan A.andreanum dapat dilakukan dengan menggunakan

biji maupun pemisahan anakan. Namun cara-cara tersebut memiliki kelemahan

yaitu memakan waktu lama. Biji-biji Anthurium dapat dihasilkan dari proses

penyilangan. Penyerbukan sendiri bunga Anthurium jarang bisa terjadi, sebab

waktu matangnya bunga jantan dan betina tidak bersamaan (Prihmantoro, 1992).

Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, maka perbanyakan

A.andreanum dapat dilakukan dengan cara teknik kultur jaringan. Kultur jaringan

merupakan suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplas,

sel, sekelompok sel, jaringan dan organ serta menumbuhkannya dalam kondisi

aseptik sehingga bagian-bagian tersebut dapat me mperbanyak diri dan

beregenerasi menjadi tanaman utuh kembali. Tujuan pokok dari perbanyakan

mikro ini adalah dapat memproduksi tanaman dalam jumlah besar dalam waktu

yang singkat (Gunawan, 1992).

Dalam perbanyakan secara kultur jaringan, peranan zat pengatur tumbuh

sangatlah besar. Zat pengatur tumbuh yang dihasilkan oleh tanaman disebut

fitohormon, sedangkan yang sintetik disebut zat pengatur tumbuh tanaman sintetik

(Wattimena, 1988). Auksin dan Sitokinin merupakan dua golongan zat pengatur

tumbuh yang sering dipergunakan untuk mempengaruhi pertumbuhan dan

morfogenesis dalam kultur sel, jaringan dan organ (Gunawan, 1992).

Gunawan (1992) menyatakan bahwa selain zat pengatur tumbuh sering

pula ditambahkan bahan organik lainnya kedalam media kultur jaringa n, dalam

hal ini air kelapa merupakan salah satu bahan organik yang biasa digunakan. Air

kelapa dapat memberikan efek yang lebih baik pada pertumbuhan kalus bila

dalam media juga diberikan auksin. Bahan-bahan yang terkandung dalam air

kelapa antara lain, asam amino, asam-asam organik, asam nukleat, purin, gula,

gula alkohol, vitamin, mineral dan zat pengatur tumbuh.

Perbanyakan A. andreanum secara kultur jaringan ini telah banyak

dilakukan oleh para peneliti karena masalah yang dihadapi yaitu dalam hal

budidaya. Oleh karena itu Kunisaki pada tahun 1980 melakukan penelitian

perbanyakan Anthurium secara in vitro pada media MS cair yang telah ditambah

dengan bahan-bahan kimia, zat pengatur tumbuh serta air kelapa. Berdasarkan

(24)

ternyata mampu meningkatkan proliferasi tunas-tunas. Proses ini merupakan alat

yang efektif untuk mendapatkan tanaman secara cepat (Hennen, 1983).

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisa pengaruh

kombinasi zat pengatur tumbuh IAA dan BAP terhadap pembentukan planlet

Anthurium andreanum dalam kultur in vitro

Hipotesis

1. Konsentrasi yang tepat dari IAA akan berpengaruh baik terhadap

pembentukan organ eksplan Anthurium andreanum.

2. Konsentrasi yang tepat dari BAP akan berpengaruh baik terhadap

pembentukan organ eksplan Anthurium andreanum.

3. Terdapat interaksi konsentrasi yang tepat antara IAA dengan BAP untuk

(25)

TINJAUAN PUSTAKA

Anthurium andreanum merupakan tanaman hias famili Araceae yang

berkerabat dekat dengan Spathiphyllum, Calla lilly, Aglonema, Caladium,

Dieffenbachia dan Philodendron. Tanaman ini berasal dari Colombia, Peru,

Brazil, Venezuela, Amerika Selatan dan Tengah. Anthurium sendiri termasuk

kedalam kelompok tanaman epifit.

Anthurium berasal dari kosakata Yunani yang berarti ‘bunga ekor’.

Disebut begitu karena seludang bunga berbentuk jantung, kemudian muncul

tongkol menyerupai ekor (www.minggupagi.com).

Kelebihan lain bunga Anthurium adalah kesegaran bunga ini yang bisa

bertahan lama. Bila berada di pohon, bunga bisa tetap segar selama sekitar 25

hari. Tapi bila dipotong, bisa bertahan kurang lebih 15 hari. Anthurium juga

diminati oleh konsumen karena keindahan warnanya yang terdiri dari berbagai

macam. Karena kelebihan-kelebihannya ini, Anthurium lebih tepat dijadikan

sebagai tanaman hias in door (www.minggupagi.com).

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Direktorat Bina Produksi

Hortikultura, perkembangan produksi tanaman hias tahun 1996-2002 mengalami

perubahan yang signifikan. Total produksi tanaman hias tertinggi diperoleh pada

tahun 1996 sebesar 226 549 581 dan terendah sebesar 51 030 043 terjadi pada

tahun 1999. Pada tahun 2000, produksi tanaman hias mulai mengalami

peningkatan kembali dan pada tahun 2002 total produksi tanamana hias diperoleh

sebesar 118 855 089. Produksi bunga potong Anthurium sendiri menurut

Departemen Pertanian cenderung mengalami peningkatan pada beberapa tahun

belakangan. Tahun 2004 total produksi Anthurium diperoleh sekitar 1 285 061.

Botani Anthurium andreanum

Tanaman hias A. andreanum L. yang termasuk kedalam famili Araceae

merupakan tanaman herba perdu dengan ketinggian 0.7-1.5 m dan memiliki akar

rimpang. Tangkai daun berwarna hijau dengan panjang 35-60 cm dengan pangkal

daun berbentuk pelepah. Helaian daun berukuran 25-40 cm x 14-30 cm dengan

(26)

Menurut Steenis (1978), bunga pada A. andreanum berkumpul dalam

suatu tongkol (spadix) yang memiliki daun pelindung (seludang) pada bagian

pangkalnya. Selanjutnya Madison (1980) menambahkan bahwa tongkol (spadix)

pada A. andreanum memiliki ujung yang runcing.

Daun pelindung Anthurium memiliki bentuk menyerupai jantung atau

bulat telur dengan ujung meruncing dan pangkal yang memeluk tangkai. Beberapa

tulang daun yang berkumpul pada pangkal berwarna merah mengkilat kemudian

kehijau-hijauan (Steenis, 1978). A. andreanum memiliki tongkol yang lurus dan

daun pelindung yang berbentuk jantung (Swithinbank, 1991).

Syarat Tumbuh dan Budidaya Anthurium andreanum

Menurut Prihmantoro (1992), agar pertumbuhannya baik tanaman ini

membutuhkan tempat terbuka (ventilasi cukup) tapi tidak terkena sinar matahari

langsung (ternaungi) dengan intensitas cahayanya sekitar 40-60%. Daunnya akan

hangus terbakar bila cahaya matahari langsung mengenainya. Selain suhu,

kelembaban yang diperlukan yaitu sekitar 80-90% minimal 60%, demikian pula

dengan kelembaban tanah.

A. andreanum merupakan tanaman yang cocok berada di lingkungan

dengan suhu sekitar 18-28o C (Swithinbank, 1991 dan Davidson and Bland, 1993).

Suhu pada malam hari sekitar 4-10o C dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman

ini menjadi lambat dan daunnya akan berubah menjadi kuning. Tanaman ini tidak

toleran pada suhu yang beku (www.oglesbytc.com) .

Menurut Prihmantoro (1992), A. andreanum cocok ditanam didataran

dengan ketinggian 600-900 m dpl. Selanjutnya Davidson and Bland (1993)

menambahkan bahwa untuk pertumbuhannya yang optimal, A. andreanum

membutuhkan media tanam yang porous, mengandung kompos, basah sepanjang

waktu namun tidak boleh tergenang air serta memerlukan tanah yang kaya akan

bahan organik.

Perbanyakan Anthurium dapat dilakukan dengan biji maupun pemisahan

anakan. Biji-biji tersebut diperoleh dari proses persilangan dengan bantuan

manusia. Penyerbukan sendiri bunga Anthurium jarang bisa terjadi, sebab waktu

(27)

dalam media pasir atau spagnum moss. Kecambah dapat dipindahkan ke tempat

pembesaran 2 bulan kemudian dan baru bisa ditanam ke lahan setelah daunnya

berjumlah 5-7 helai serta memiliki ketinggian sekitar 20-25 cm. Bibit ditanam di

lahan dengan jarak tanam 15 cm x 25 cm, 25 cm x 25 cm atau 40 cm x 40 cm

tergantung pada ukuran varietas tanamannya (Prihmantoro, 1992).

Kultur Jaringan Tanaman

Menurut Hennen (1983), kultur jaringan tanaman merupakan suatu metode

untuk memproduksi tanaman yang berasal dari potongan kecil suatu jaringan atau

sel individu. Gunawan (1992) menyatakan bahwa kultur jaringan adalah suatu

metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel,

kelompok sel, jaringan dan organ, yang ditumbuhkan dalam kondisi aseptik

sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi

menjadi tanaman yang utuh.

Eksplan

Menurut Conger (1980), eksplan adalah potongan dari jaringan atau organ

suatu tanaman untuk tujuan perbanyakan. Faktor-faktor yang mempengaruhi

keberhasilan perbanyakan dengan eksplan yaitu genotipe eksplan, ukuran eksplan,

jaringan asal eksplan dan umur fisiologi eksplan. Jaringan muda memiliki

kemampuan morfogenesis yang lebih tinggi dibandingkan jaringan yang tua.

Pernyataan diatas didukung oleh Wetherell (1982) dan Collin and Edwards (1998)

yang menyatakan bahwa untuk keberhasilan perbanyakan secara in vitro

sebaiknya tanaman yang dijadikan sebagai sumber eksplan merupakan tanaman

yang sehat dan tumbuh kuat serta menggunakan jaringan yang muda dan ukuran

eksplan yang cukup besar.

Jaringan yang berasal dari eksplan yang berbeda tapi memiliki spesies

yang sama dapat menunjukkan variasi morfologi (Thomas and Davey, 1975).

Tidak semua jaringan tana man memiliki kemampuan yang sama untuk

berdiferensiasi. Eksplan yang berukuran sangat kecil memiliki daya tahan yang

rendah untuk dikulturkan. Banyak sedikitnya tunas yang dihasilkan dipengaruhi

(28)

berukuran 0.5 – 1.55 cm mampu memproduksi tunas yang lebih banyak (Conger,

1980).

Menurut Conger (1980), eksplan yang digunakan dapat berasal dari daun,

petiol, umbi, petal dan anther. Gunawan (1992) menambahkan bahwa eksplan

yang akan digunakan dalam perbanyakan kultur jaringan harus dalam keadaan

aseptik.

Media

Menurut Paul (1972), media merupakan faktor penting untuk

mengkulturkan sel dan jaringan. Selanjutnya Thomas and Davey (1975)

menambahkan bahwa pertumbuhan dan morfologi suatu jaringan berhubungan

dengan komposisi media kultur, taraf konsentrasi hormon pertumbuhan, eksplan

yang digunakan serta spesies tanaman tersebut.

Komposisi suatu media adalah salah satu faktor yang memiliki peranan

penting untuk pertumbuhan dan morfogenesis jaringan tanaman di dalam

perbanyakan (Conger, 1980). Media kultur jaringan tanaman menyediakan tidak

hanya unsur-unsur hara makro dan mikro, tetapi juga karbohidrat yang pada

umumnya berupa gula untuk menggantikan karbon yang biasanya didapatkan dari

atmosfer melalui fotosintesis (Gunawan, 1992).

Berdasarkan hasil penelitian Harijadi dan Pamenang (1982), penggunaan

sukrosa 2% dan 15% (v/v) air kelapa muda pada media padat menyebabkan

eksplan anggrek Dendrobium pompadour dapat tumbuh dan berkembang dengan

baik. Sedangkan untuk mempercepat perbanyakan plb yang terbentuk dapat

menggunakan medium padat tanpa sukrosa dengan penambahan air kelapa 20%.

Hal ini didukung oleh pernyataan Hennen (1983) bahwa penambahan sukrosa

sebagai sumber energi pada media kultur dapat membantu pertumbuhan eksplan.

Sukrosa tersebut diserap oleh jaringan tanaman dan digunakan jika tanaman

(29)

Zat Pengatur Tumbuh

Dalam perbanyakan secara kultur jaringan, peranan Zat Pengatur Tumbuh

(ZPT) sangatlah besar. ZPT yang dihasilkan oleh tanaman disebut fitohormon,

sedangkan yang sintetik disebut zat pengatur tumbuh tanaman sintetik

(Wattimena, 1988).

Menurut Moore (1979), hormon merupakan faktor penting dalam proses

perkembangan tanaman. Wattimena (1988) dan Salisbury and Ross (1992)

menyatakan bahwa hormon tanaman didefinisikan sebagai senyawa organik yang

aktif dalam jumlah kecil (konsentrasi yang rendah) yang disintesiskan pada bagian

tertentu dari tanaman dan dipindahkan ke bagian lain dimana zat tersebut

menimbulkan respon secara biokimia, fisiologi dan morfologi.

Zat pengatur tumbuh adalah bahan organik bukan nutrient yang dalam

konsentrasi yang rendah dapat mempengaruhi dan menghambat pertumbuhan

serta perkembangan tanaman (Moore, 1979). Penggunaan zat pengatur tumbuh

pada konsentrasi yang rendah efektif dalam mengatur inisiasi dan perkembangan

tunas dan akar pada eksplan serta embrio pada media padat maupun cair (Beyl,

2000).

Auksin, sitokinin dan giberellin adalah hormon-hormon yang memiliki

peran ganda. Dalam propagasi secara in vitro, hormon-hormon ini sering

digunakan karena memiliki kemampuan untuk merangsang pertumbuhan eksplan

dan mempengaruhi pertumbuhan akar (Wareing and Phillips, 1970 dan Wetherell,

1982).

Menurut Wetherell (1982) dan Janick (1986), sitokinin dan auksin

memiliki pengaruh yang berlawanan oleh karena itu dalam pemakaian kedua ZPT

tersebut harus mempertimbangkan perbandingannya dalam media. Perbandingan

sitokinin-auksin yang tinggi baik untuk pembentukan tunas, sedangkan

perbandingan sitokinin-auksin yang rendah baik untuk pembentukan akar. Beyl

(2000) menyatakan bahwa auksin dan sitokinin adalah ZPT yang paling penting

dan sering digunakan pada kultur jaringan.

Thimann (1969) dan Wetherell (1982) menyatakan bahwa auksin

mendorong dalam pembesaran sel. Beyl (2000) menambahkan bahwa auksin

(30)

dan pembengkakan jaringan, dominasi apikal, pembentukan akar adventif dan

morfogenesis somatik.

Auksin merupakan ZPT yang efektif digunakan pada konsentrasi rendah

(Thimann, 1969 dan Moore, 1979). Pada konsentrasi yang rendah, auksin mampu

mendorong inisiasi akar dan pada konsentrasi yang tinggi menyebabkan terjadinya

pembentukan kalus (Beyl, 2000).

Wareing and Phillips (1981) dan Wattimena (1988) menyatakan bahwa

sitokinin memiliki peranan penting dalam proses pembelahan sel, selain itu

sitokinin juga berperan dalam proses senesen dan dominasi apikal. Wattimena

(1988) menambahkan bahwa selain memberikan beberapa efek fisiologis lainnya,

sitokinin juga mempengaruhi perkembangan embrio dan memperlambat proses

penghancuran butir-butir klorofil.

Menurut Wetherell (1982) dan Beyl (2000), selain pembelahan sel,

sitokinin mampu menstimulasi pertumbuhan tunas dalam kultur in vitro. Beyl

(2000) menambahkan bahwa pada konsentrasi yang tinggi (1 – 10 mg/l) sitokinin

dapat menginduksi pembentukan tunas.

Air Kelapa

Air kelapa merupakan salah satu persenyawaan organik kompleks yang

biasa ditambahkan kedalam media kultur jaringan. Air kelapa dapat memberikan

efek yang lebih baik pada pertumbuhan kalus bila dalam media juga diberikan

auksin (Gunawan, 1992).

Hasil penelitian Widiastoety dan Syafril (1993) menunjukkan bahwa

pembentukan akar terbanyak pada planlet anggrek Dendrobium terdapat pada

perlakuan penambahan air kelapa 15% pada medium padat namun terjadi

penurunan pertumbuhan planlet pada penambahan air kelapa 30%. Sedangkan

Wigati (2001) menunjukkan bahwa 100% eksplan tanaman snapdragon

mengalami multiplikasi pada perlakuan air kelapa 25% yang dikombinasikan

dengan BAP 0.5 mg/l dan IAA 0.1 mg/l.

Conger (1980) menyatakan bahwa dari semua bahan organik kompleks

yang ditambahkan pada media kultur jaringan, air kelapa merupakan yang terbaik.

(31)

air kelapa baik digunakan dalam kultur jaringan. Air kelapa muda menghasilkan

kualitas produk yang lebih baik sementara itu air dari kelapa yang tua justru dapat

menghambat pertumbuhan jaringan. Menurut Gunawan (1992), bahan-bahan yang

terkandung dalam air kelapa antara lain, asam amino, asam-asam organik, asam

nukleat, purin, gula, gula alkohol, vitamin, mineral dan zat pengatur tumbuh.

Kultur Jaringan Anthurium andreanum

Teknik perbanyakan secara kultur jaringan telah dilakukan pada

tanaman-tanaman famili Araceae yaitu, Anthurium sp, Spathiphyllum sp. dan Zantedeschia

sp. Pada tahun 1980, Kunisaki melakukan penelitian pada tanaman Anthurium

andreranum Cv. Kaumana secara in vitro. Eksplan yang digunakan adalah tunas

vegetatif yang diperoleh dari tanaman dewasa. Eksplan dikulturkan pada media

MS cair yang telah ditambah dengan 0.4 mg/l thiamine-HCl, 0.5 mg/l Nicotinic

acid, 0.5 mg/l pyridoxine-HCl, 20 g/l sukrosa dan 15%(v/v) air kelapa serta BA

pada beberapa taraf konsentrasi. Berdasarkan hasil penelitian, 0.2-1.0 mg/l BA

mampu meningkatkan proliferasi tunas. Penggunaaan 0.2 mg/l BA merupakan

taraf yang optimum karena pada konsentrasi yang semakin tinggi dapat

meningkatkan pembentukan kalus dan tunas-tunas yang terbentuk akan berukuran

kecil (kerdil).

Kuehnle dan Sugii pada tahun 1991 melakukan dua percobaan pada

Anthurium. Percobaan pertama yaitu antara jaringan asal eksplan (daun dan petiol)

pada tujuh kultivar A. Andreanum dengan beberapa jenis media (me dia P, media

Pmod, media F&vS, media Cmod, media Dmod dan media D). Pada percobaan

pertama menunjukkan bahwa eksplan daun pada media Pmod memberikan

pengaruh nyata dengan menghasilkan persentase pembentukan kalus yang paling

tinggi. Media Pmod memberikan respon terbaik pada jaringan eksplan daun.

Eksplan petiol tidak memberikan pengaruh pada media P, media Pmod dan media

F&vS namun pada media Cmod dan D mampu menghasilkan kalus yang

terbanyak. Percobaan Kuehnle dan Sugii yang kedua yaitu antara beberapa jenis

media (media D, media Cmod dan Dmod) dengan tiga tanaman Anthurium hasil

persilangan (UH965, UH1060 dan UH1003). Berdasarkan hasil percobaan

(32)

terbanyak (32%). Selain itu dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan

kemampuan beregenerasi pada genotipe yang sama yang ditanam pada media

yang berbeda.

Penelitian pada A. andreanum kembali dilakukan oleh Whei pada tahun

1997. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis media dan ukuran

inokulum terhadap regenerasi tunas adventif. Berdasarkan hasil penelitian,

diketahui bahwa ukuran inokulum sangat mempengaruhi jumlah tunas yang

beregenerasi. Inokulum yang lebih besar memiliki kemampuan beregenerasi yang

lebih baik.

Prihatmanti (2002) melakukan penelitian pada A. andreanum dengan

perlakuan BAP, NAA dan air kelapa pada beberapa taraf konsentrasi. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa eksplan Anthurium dengan perlakuan NAA 0.2

mg/l memberikan respon berupa pembentukan kalus. Perlakuan BAP 1.0 mg/l dan

2.0 mg/l menunjukkan kecenderungan warna kalus menjadi hijau yang

selanjutnya diikuti organogenesis tunas. Penggunaan air kelapa 0% dan 10% yang

dikombinasikan dengan NAA 0.2 mg/l dan BAP 1.0 mg/l dan 2.0 mg/l

menunjukkan kecenderungan pertumbuhan eksplan yang lebih baik mulai dari

(33)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni hingga November 2005

bertempat di Laboratorium Bioteknologi Departemen Agronomi dan Hortikultura

Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan adalah biji tanaman Anthurium andreanum,

media dasar MS, agar-agar, gula, air steril dan spirtus. ZPT berupa IAA, BAP dan

air kelapa 15%(v/v). Deterjen, Alkohol 70%, Bethadine, Dithane, Agreep dan

Clorox 10%, 20% dan 30% sebagai desinfektan.

Peralatan yang digunakan adalah timbangan analitik, pH meter, cawan

petri, erlenmeyer, gelas ukur, pipet, pengaduk gelas, hand sprayer, autoklaf,

Laminar Airflow Cabinet (LAC), alat-alat tanam (gunting dan pinset), botol

kultur, plastik, karet gelang, lampu UV, rak kultur dan alat tulis.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan perlakuan faktorial dengan dua

faktor yang disusun dalam Rancangan Lingkungan Acak Lengkap. Faktor pertama

adalah pemberian IAA dengan 5 taraf konsentrasi, yaitu 0.0 ppm (A0), 0.1 ppm

(A1), 0.2 ppm (A2), 0.3 ppm (A3) dan 0.4 ppm (A4). Faktor kedua adalah

pemberian BAP dengan 4 taraf konsentrasi, yaitu 0.0 ppm (B0), 1.0 ppm (B1), 2.0

ppm (B2) dan 3.0 ppm (B3). Kombinasi dua faktor tersebut akan menghasilkan 20

perlakuan yang masing-masing diulang sebanyak 10 kali, sehingga terdapat 200

(34)

Model matematika yang digunakan adalah :

berpengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji lanjut DMRT taraf 5%.

Pelaksanaan Penelitian Persiapan dan Sterilisasi Alat

Alat-alat yang digunakan untuk kegiatan penanaman harus dalam keadaan

steril. Botol kultur, cawan petri, alat-alat tanam (gunting dan pinset) dicuci

terlebih dahulu kemudian dikeringkan. Setelah itu peralatan-peralatan tersebut

dibungkus dengan kertas lalu disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121oC dan

pada tekanan 17.5 psi (pound per square inch) selama satu jam. Penghitungan

waktu sterilisasi dimulai setelah tekanan yang diinginkan tercapai.

Persiapan Air Kelapa

Air kelapa diperoleh dari buah kelapa yang masih muda dan segar yang

kemudian disaring dengan saringan dan disimpan didalam lemari es selama satu

malam. Air kelapa kemudian ditambahkan kedalam media MS sebanyak 15%

(v/v) untuk semua perlakuan.

Pembuatan Media

Media dibuat dengan mencampur larutan stok makro, mikro A, mikro B,

CaCl2, Myo-inositol, stok Fe dan vitamin. Campur larutan stok tersebut dengan air

kelapa yang telah disaring sebanyak 15%(v/v) serta IAA dan BAP sesuai dengan

(35)

Tambahkan KOH/NaOH atau HCl hingga diperoleh pH 5.7. Masukan 30 g/l gula

dan 7 g/l agar-agar, aduk dan didihkan. Setelah mendidih tuang 25 ml larutan

kedalam botol kultur yang telah disterilisasi, tutup botol dengan plastik dan karet

gelang. Botol-botol yang berisi media disterilisasi dengan autoklaf pada suhu

121°C dan bertekanan 17.5 psi selama 30 menit. Penghitungan waktu sterilisasi

dimulai setelah tekanan yang diinginkan tercapai.

Sterilisasi dan Penanaman Bahan Tanaman

Sterilisasi bahan tanaman dilakukan diluar dan didalam Laminar Airflow

Cabinet (LAC). Biji-biji Anthurium yang diperoleh dilapang dicuci terlebih

dahulu dengan deterjen dibawah air mengalir kemudian direndam dalam larutan

Dithane dan Agreep selama 2 jam. Biji yang telah direndam kemudian dicuci

kembali dibawah air mengalir untuk menghilangkan sisa-sisa Dithane dan Agreep.

Setelah dibersihkan, biji direndam dan dikocok dalam alkohol 70% selama 1

menit, angkat serta tiriskan kemudian dimasukkan kedalam LAC untuk proses

sterilisasi selanjutnya. Biji direndam dan dikocok dalam larutan clorox 30%

selama 10 menit, kemudian bilas dengan air steril sebanyak tiga kali. Biji

direndam kembali dalam larutan clorox 20% dan dikocok selama 15 menit, bilas

dengan air steril sebanyak tiga kali. Rendam kembali biji dalam larutan clorox

10% dan kocok selama 20 menit, bilas dengan air steril sebanyak tiga kali. Biji

yang sudah disterilisasi ditaruh pada cawan petri berisi air steril yang telah

ditambah tiga tetes betadine dan siap dikecambahkan pada media MS0 (tanpa

penambahan ZPT dan bahan organik). Botol kultur yang telah berisi biji disimpan

di rak kultur selama 12 minggu untuk proses perkecambahan.

Penanaman Eksplan

Penanaman eksplan dilakukan didalam LAC yang telah disterilkan dengan

alkohol 70%. Pada saat kegiatan penanaman akan dilakukan, peralatan-peralatan

yang akan dimasukan kedalam LAC disemprot terlebih dahulu dengan alkohol

70%. Gunting dan pinset yang digunakan untuk memindahkan bahan tanaman

dibakar dahulu kemudian dimasukan kedalam air steril. Eksplan yang digunakan

(36)

buku yang diperoleh dari proses perkecambahan secara kultur in vitro. Batang

yang telah dipotong dikeluarkan dari botol kultur kemudian diletakan pada cawan

petri yang berisi air steril dan telah ditambahkan betadine sebanyak 3 tetes.

Eksplan kemudian ditanam pada media yang telah diberi penambahan ZPT sesuai

dengan perlakuan dan pada setiap botol kultur terdapat 1 eksplan. Setelah eksplan

ditanam, botol ditutup dengan plastik dan ikat rapat dengan karet gelang. Botol

kultur siap dipindah ke ruang kultur.

Pengamatan

Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah tinggi tanaman, jumlah

tunas, jumlah daun, jumlah akar serta panjang akar terpanjang. Kegiatan

pengamatan dilakukan pada saat 1 MST hingga 12 MST.

Tinggi tanaman

Tinggi tanaman diukur mulai dari minggu pertama setelah eksplan ditanam

pada media perlakuan hingga 12 MST. Proses pengukuran menggunakan

penggaris yang ditempel pada dinding botol kultur, dimana tanaman tidak

dikeluarkan dari botol kultur. Diukur mulai dari batas media hingga permukaan

atas tanaman.

Jumlah tunas

Jumlah tunas dihitung mulai dari tunas yang telah terbentuk muncul

pertama kali, dihitung setiap minggu hingga 12 MST.

Jumlah daun

Jumlah daun dihitung mulai dari daun yang telah terbuka penuh muncul

pertama kali, dihitung setiap minggu hingga 12 MST.

Jumlah akar

Jumlah akar dihitung mulai dari akar yang muncul pertama kali, dihitung

(37)

Panjang akar Terpanjang

Panjang akar diukur pada akhir pengamatan (12 MST). Proses pengukuran

(38)

HASIL dan PEMBAHASAN

Keadaan Umum

Eksplan yang ditanam pada setiap kombinasi IAA dan BAP disertai

penambahan 15% (v/v) air kelapa untuk semua perlakuan menunjukkan

kemampuan beregenerasi. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya pertambahan

tinggi tanaman, jumlah tunas, jumlah daun dan jumlah akar pada setiap

minggunya serta kondisi perakaran berupa panjang akar terpanjang yang hanya

diamati pada minggu akhir pengamatan.

Kondisi bahan tanaman, sterilisasi alat tanam dan lingkungan pada saat

proses penanaman dilakukan sangat mempengaruhi tahap pertumbuhan dan

perkembangan hingga tanaman siap dipindahkan ke lapang. Selama proses

percobaan berlangsung, kontaminasi hanya disebabkan oleh cendawan sebesar 3%

dari total populasi yang pada akhirnya menyebabkan kematian eksplan. Selain

kontaminasi oleh cendawan, kematian eksplan juga disebabkan oleh proses

pencokelatan (browning) sebesar 3.5 % dari total populasi. Tidak terjadi

kontaminasi oleh bakteri, diduga bahwa eksplan yang ditanam pada media

perlakuan steril karena eksplan berasal dari proses perkecambahan secara in vitro

terlebih dahulu.

Serangan cendawan mulai terlihat pada 2 MST, cendawan bukan berasal

dari bahan tanam melainkan muncul pada media yang kontak langsung dengan

tepi botol kultur (Gambar 1). Hal ini diduga bahwa cendawan berasal dari botol

kultur yang tidak bersih pada saat proses pencucian, alat tanam yang tidak bersih

atau terbawa oleh sirkulasi udara didalam laminar pada saat proses penanaman

dilakukan.

(39)

Browning mulai terlihat pada 6 MST yang ditandai dengan perubahan

warna pada eksplan dari hijau menjadi cokelat dimulai dari tepi yang mengalami

pelukaan hingga akhirnya menyebar keseluruh bagian eksplan. Hal ini diakibatkan

oleh senyawa fenolik yang berasal dari bagian tanaman yang luka dan dapat

menyebabkan kematian. Menurut Wetherell (1982), browning merupakan

terjadinya warna cokelat pada jaringan yang baru dipotong. Hal ini disebabkan

karena terjadinya reaksi antara senyawa fenolik yang diproduksi jaringan dengan

oksigen. Collin dan Edwards (1998) menambahkan bahwa senyawa fenolik

diproduksi sebagai respon atas kondisi stress yang dialami oleh tanaman.

Senyawa ini bersifat racun dan dapat menyebabkan kematian pada jaringan

tanaman.

Selama 12 minggu pengamatan, terdapat eksplan yang belum

menunjukkan respon pertumbuhan berupa pembentukan kalus dan organ-organ

tanaman. Meskipun demikian eksplan masih tetap berwarna hijau seperti pada saat

penanaman dilakukan. Hal ini diduga bahwa walaupun eksplan belum

menunjukkan respon pertumbuhan, sel-sel jaringan tanaman masih memiliki

kemampuan untuk berorganogenesis pada waktu selanjutnya.

Menurut Conger (1980), terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi

keberhasilan perbanyakan dengan eksplan yaitu genotip eksplan, ukuran eksplan,

jaringan asal eksplan dan umur fisiologi eksplan. Tidak semua jaringan tanaman

memiliki kemampuan yang sama untuk berdiferensiasi. Wetherell (1982)

menambahkan bahwa tanaman yang memiliki hubungan kekerabatan yang dekat

pun belum tentu menunjukkan respon in vitro yang sama.

Interaksi antara IAA dan BAP pada beberapa kultur menunjukkan

pertumbuhan kalus. Pertumbuhan kalus mulai terlihat pada pengamatan minggu

ke-2 setelah tanam. Pada awal kemunculannya, kalus berwarna hijau kekuningan

yang kemudian berubah menjadi hijau tua. Hal ini diduga bahwa sitokinin secara

efektif mampu mempertahankan warna hijau butir-butir klorofil. Wattimena

(1988) menyatakan bahwa sitokinin memiliki kemampuan memperlambat proses

penghancuran butir-butir klorofil.

Terlihat pada gambar 2 bahwa kalus yang dihasilkan oleh kultur berwarna

(40)

kalus akan muncul tunas-tunas kecil dengan ujung berwarna kemerahan. Ukuran

diameter kalus mengalami penambahan tiap minggunya. Umumnya kalus

berdiameter 0.5-2.5 cm pada akhir pengamatan.

Gambar 2. Kondisi Pertumbuhan Kalus

Selama masa pengamatan, kombinasi air kelapa 15%(v/v) + 0.2 ppm IAA

+ 2.0 ppm BAP cenderung membentuk kalus lebih cepat. Diduga bahwa interaksi

antara 0.2 ppm IAA, 2.0 ppm BAP disertai penambahan air kelapa 15%(v/v)

cenderung mampu mendorong sel-sel membelah dan membesar sehingga

membentuk kalus lebih cepat. Menurut Steward dan Krikorian (1971),

pembelahan sel selalu diikuti oleh pembesaran sel. Wetherell (1982)

menambahkan bahwa sel-sel pada jaringan tanaman mengalami proses

pembelahan dan pembesaran karena adanya pengaruh dari auksin. Penambahan

auksin dalam jumlah yang lebih cenderung menyebabkan terjadinya pertumbuhan

kalus dari eksplan.

Tinggi Tanaman

Interaksi antara IAA dan BAP tidak memberikan pengaruh nyata terhadap

tinggi tanaman namun perlakuan IAA sendiri mulai memberikan pengaruh nyata

terhadap tinggi tanaman pada minggu akhir pengamatan (12 MST). Terlihat pada

gambar 3 bahwa 0.3 ppm IAA cenderung menghasilkan tinggi tanaman tertinggi

yaitu 1.02 cm dan media tanpa pemberian IAA menghasilkan tinggi tanaman

terendah (0.69 cm). Pada minggu ke-9 hingga ke-12, eksplan mengalami

peningkatan tinggi tanaman untuk setiap taraf konsentrasi IAA namun pada

(41)

0

Gambar 3. Tinggi Planlet Pada Beberapa Taraf Konsentrasi IAA

Perlakuan BAP memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman

hingga minggu akhir pengamatan. Dapat terlihat pada gambar 4 bahwa 0.0 ppm

BAP cenderung menghasilkan tinggi tanaman terendah dan BAP 2.0 ppm

menghasilkan tinggi tanaman tertinggi pada tiap minggunya. Pada 12 MST, 2.0

ppm BAP menghasilkan tinggi tanaman tertinggi yaitu 1.03 cm dan 0.0 ppm

menghasilkan tinggi tanaman terendah yaitu 0.89 cm. Hal ini diduga bahwa

auksin dan sitokinin secara efektif mampu mendorong pembesaran dan

pembelahan sel-sel jaringan sehingga terjadi penambahan ukuran eksplan.

0

(42)

Menurut Wattimena (1988), sitokinin mempengaruhi berbagai proses

fisiologi di dalam tanaman, salah satunya adalah mendorong pembelahan sel. Hal

ini dibuktikan oleh penelitian Mirzada (1994) yang menemukan bahwa

penggunaan BAP pada konsentrasi yang lebih tinggi (4.0 mg/l) pada perbanyakan

calla lily menyebabkan pemanjangan tunas-tunas tertekan.

Pada gambar 5 dan 6 terlihat bahwa terjadi perbedaan tinggi tanaman pada

akhir pengamatan. Secara keseluruhan dari kombinasi yang ada, perlakuan air

kelapa 15%(v/v) + 0.2 ppm IAA + 2.0 ppm BAP menunjukkan tinggi tanaman

tertinggi dan perlakuan air kelapa 15%(v/v) + 0.0 ppm IAA + 0.0 ppm BAP

menunjukkan tinggi tanaman terendah.

Gambar 5. Kultur dengan perlakuan air Gambar 6. Kultur dengan perlakuan air

kelapa 15%+0.2 ppm IAA+ ke1apa 15%+0.0 ppm IAA+

2.0 pm BAP 0.0 ppm BAP

Jumlah Tunas

Pada 12 MST, interaksi antara IAA dan BAP memberikan pengaruh nyata

terhadap peubah jumlah tunas. Pada tabel 1 dapat terlihat bahwa kombinasi antara

0.2 ppm IAA dan 2.0 ppm BAP berbeda nyata dengan seluruh kombinasi IAA

dan BAP. Pada kombinasi tersebut menghasilkan jumlah tunas terbanyak yaitu

2.66. Jumlah tunas pada media tanpa penambahan IAA dan BAP hanya

menghasilkan jumlah tunas sebanyak 1.29. Diduga bahwa kombinasi tersebut

secara efektif mampu meningkatkan kemampuan sel-sel berdiferensiasi

membentuk tunas-tunas baru, sedangkan pada media tanpa penambahan IAA dan

BAP eksplan masih memiliki kemampuan membentuk tunas karena adanya

(43)

Tabel 1. Pengaruh Interaksi IAA dan BAP Terhadap Jumlah Tunas Pada 12 MST

Hasil penelitian De Guzman (1983) pada beberapa varietas padi

menunjukkan bahwa terjadi perbanyakan tunas pada media MS yang hanya

ditambah dengan air kelapa. Selanjutnya Nurwahyuni (1993) menemukan bahwa

sitokinin yang terkandung dalam air kelapa mampu mendorong proliferasi sel-sel

kalus.

Wareing dan Phillips (1981) menyatakan bahwa sitokinin yang

dikombinasikan dengan auksin mampu menstimulasi pembelahan sel tanaman dan

interaksinya dengan auksin mendorong sel-sel untuk berdiferensiasi. Hartmann et

al (1997) menambahkan bahwa penggunaan sitokinin dengan konsentrasi yang

tinggi dan auksin yang rendah sangat penting dalam pembentukan tunas.

Peningkatan konsentrasi sitokinin selain mampu merangsang prolifaerasi tunas

lateral ternyata dapat menghambat pemanjangan tunas.

Jumlah Daun

Perlakuan IAA, BAP dan interaksi keduanya tidak memberikan pengaruh

nyata terhadap jumlah daun selama 12 minggu pengamatan. Meskipun IAA tidak

memberikan pengaruh nyata namun pada gambar 7 dapat terlihat bahwa terjadi

peningkatan jumlah daun tiap minggunya hingga akhir pengamatan. Umumnya

cenderung terjadi peningkatan jumlah daun mulai dari 0.0 ppm hingga 0.3 ppm

dan pada konsentrasi IAA yang lebih tinggi (0.4 ppm) terjadi penurunan jumlah

(44)

0

Gambar 7. Jumlah Daun Pada Beberapa Taraf Konsentrasi IAA

Eksplan mengalami peningkatan jumlah daun seiring dengan semakin

tingginya konsentrasi BAP, namun pada konsentrasi yang lebih tinggi (3.0 ppm)

cenderung mengalami penurunan jumlah daun. Berdasarkan hasil penelitian

Mirzada (1994), perlakuan BAP 1.0 mg/l pada calla lilly membentuk persentase

daun terbanyak sebesar 83.33% sedangkan terendah 33.33% pada perlakuan BAP

3.0 mg/l.

(45)

Selama pengamatan, terjadi peningkatan jumlah daun pada tiap minggunya

namun ada pula beberapa kultur yang tidak mengalami penambahan jumlah daun.

Hal ini diduga adanya pengaruh auksin endogen yang diproduksi secara alami

oleh pucuk-pucuk tanaman sehingga mempengaruhi pembentukan daun-daun

baru. Meskipun tidak terjadi interaksi yang nyata antara IAA dan BAP, namun

kombinasi antara 0.2 ppm IAA dan 2.0 ppm BAP cenderung menghasilkan

jumlah daun terbanyak dibandingkan seluruh kombinasi dan media tanpa

penambahan IAA dan BAP menghasilkan jumlah daun terendah. Wareing dan

Phillips (1970) menyatakan bahwa konsentrasi dari auksin dan sitokinin pada

media kultur menunjukkan bahwa hormon-hormon tersebut memiliki peranan

penting dalam pembentukan organ.

Jumlah Akar

Pertumbuhan akar mulai terlihat pada 2 MST. Perlakuan IAA serta

interaksi antara IAA dan BAP tidak memberikan pengaruh nyata pada setiap

minggunya hingga akhir pengamatan. Terjadi peningkatan jumlah akar yang

dihasilkan dengan semakin tingginya taraf konsentrasi IAA, namun pada taraf

yang lebih tinggi (0.4 ppm) eksplan cenderung mengalami penurunan jumlah

akar. Diduga bahwa meskipun auksin berperan dalam pembentukan akar namun

pada konsentrasi yang tinggi justru dapat menghambat sel-sel dalam membentuk

akar. Menurut Moore (1979), auksin aktif pada konsentrasi yang rendah.

Wetherell (1982) menambahkan bahwa auksin dalam konsentrasi yang lebih

(46)

0

Gambar 9 . Jumlah Akar Pada Beberapa Taraf Konsentrasi IAA

BAP mulai memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah akar pada 7-12

MST. Pada minggu ke-12, BAP memberikan pengaruh nyata dengan

menghasilkan jumlah akar terbanyak yaitu 1.06 dan tidak berbeda nyata dengan

perlakuan tanpa BAP (0.99). Jumlah akar terendah diperoleh pada taraf 3.0 ppm,

yaitu 0.75. Pada media tanpa penambahan BAP, eksplan masih memiliki

kemampuan membentuk akar. Diduga bahwa sel-sel jaringan masih memiliki

kemampuan berdiferensiasi membentuk akar karena adanya pengaruh auksin

endogen. Hal ini didukung oleh pernyataan Wetherell (1982) yang menyatakan

bahwa akar dapat tumbuh pada media tanpa penambahan hormon apabila pucuk

tanaman tumbuh dengan baik sehingga mampu memproduksi auksin alami yang

(47)

0

Gambar 10 . Jumlah Akar Pada Beberapa Taraf Konsentrasi BAP

Selama 12 minggu pengamatan, dari seluruh kombinasi perlakuan terdapat

beberapa kultur yang belum menghasilkan akar, yaitu air kelapa 15%(v/v) + 0.2

ppm IAA + 3.0 pp BAP dan air kelapa 15%(v/v) + 0.3 ppm IAA + 3.0 ppm BAP.

Namun jika daun-daun pada planlet tumbuh dengan baik, maka ada kemungkinan

akan terbentuk akar karena adanya auksin yang diproduksi alami oleh

pucuk-pucuk tanaman. Menurut Salisbury dan Ross (1992), cara kalus membentuk

tumbuhan baru cukup beragam. Jika nisbah sitokinin-auksin cukup tinggi, sering

hanya sistem tajuk yang mula-mula berkembang kemudian akar-akar liar

terbentuk secara spontan dari batang. Altman (1998) menambahkan bahwa pada

proses organogenesis, eksplan akan menghasilkan tunas dan akar. Namun

keduanya tidak akan muncul bersamaan, biasanya tunas yang akan terbentuk

pertama kali.

Menurut Wetherell (1982), auksin sering digunakan dalam propagasi

secara in vitro karena selain memiliki kemampuan untuk merangsang

pertumbuhan eksplan juga mempengaruhi pertumbuhan akar. Agar terjadi

pertumbuhan akar komposisi hormon dalam media kultur harus dirubah, hormon

(48)

Panjang Akar Terpanjang

Interaksi antara IAA dan BAP menunjukkan pengaruh nyata pada panjang

akar terpanjang. Pada tabel 2 terlihat bahwa panjang akar terpanjang tertinggi

dihasilkan oleh interaksi antara 0.4 ppm IAA+1.0 ppm BAP yaitu 2.09 mm. Pada

interaksi antara air kelapa 0.2 ppm IAA+3.0 ppm BAP dan 0.3 ppm IAA +3.0

ppm BAP menghasilkan panjang akar terpanjang terendah yang sama yaitu 1.22

mm.

Interaksi antara 0.2 ppm IAA+3.0 ppm BAP dan 0.3 ppm IAA+3.0 ppm

BAP menghasilkan panjang akar terpanjang terendah. Diduga bahwa auksin yang

terkandung pada jaringan tanaman tidak hanya berasal dari auksin sintetik tapi

juga berasal dari auksin yang diproduksi alami oleh tanaman. Hal ini

menyebabkan konsentrasi auksin menjadi terlalu tinggi sehingga menghambat

proses pemanjangan akar. Leopold (1964) menyatakan bahwa akar sangat

dipengaruhi oleh auksin. Wetherell (1982) menamb ahkan bahwa kadar auksin

yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan berupa pemanjangan akar itu sendiri.

Kedua pernyataan tersebut didukung oleh Beyl (2000) yang menyatakan bahwa

auksin berperan dalam proses-proses perkembangan, salah satunya adalah

pemanjangan akar.

(49)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Eksplan memberikan respon pertumbuhan berupa pembentukan kalus, tunas,

daun serta akar.

2. Perlakuan IAA 0.3 ppm cenderung mendorong pertumbuhan tinggi tanaman

dan pembentukan organ daun dan akar.

3. Perlakuan BAP 2.0 ppm dan 1.0 ppm cenderung mendorong pertumbuhan

tinggi tanaman dan pembentukan organ daun dan akar.

4. Interaksi antara 0.2 ppm IAA dan 2.0 ppm BAP memberikan pengaruh nyata

terhadap pembentukan tunas dengan menghasilkan jumlah tunas terbanyak.

5. Interaksi antara 0.4 ppm IAA dan 1.0 ppm BAP memberikan pengaruh nyata

terhadap perkembangan sistem perakaran dengan menghasilkan panjang akar

terpanjang tertinggi.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dalam mendorong pembentuk

organ-organ. Dalam hal ini dapat dilakukan dengan penggunaan bahan organik

lain seperti ekstrak touge, pepaya ataupun pisang, Selain itu perlu dicoba

menggunakan Anthurium andreanum dengan varietas tertentu.

Untuk pembentukan akar, perlu dilakukan tahap pengakaran yang

dilakukan pada media terpisah dengan hanya penambahan zat pengatur tumbuh

(50)

DAFTAR PUSTAKA

Altman, A. And B. Loberant. 1998. Micropropagation : Clonal Plant Propagation In Vitro. p.19-42. In Arie Altman (Ed). In Agricultural Biotechnology. Marcel Dekker Inc. New York.

Beyl, C. A. 2000. Getting Started With Tissue Culture, Media Preparation, Sterile Technique and Laboratory Equipment. p.21-38. In Robert N. Trigiano and Dennis J. Gray (Eds.). Plant Tissue Culture Concepts and Laboratory Exercise Second Edition. CRC Press. New York.

Collin, H. A. and Edwards. 1998. Plant Cell Culture. BIOS Sci.Publ.Ltd. Singapore.158 p.

Conger, B. V. 1980. Cloning Agricultural Plants Via In Vitro Technique. CRC Press Inc. Florida. 11-22 p.

Davidson, W and J. Bland. 1993. The Complete Book Of Conservatory Plants. Ward Lock Ltd. England. p.130-131.

De Guzman, E. V. 1983. Recent Progress in Rice Embryo Culture at IRRI. Proc Cell and Tissue Culture Technique For Cereal Crops Improvement. The Institute of Genetic Academia Sinica and The International Rice Research Institute. Beijing. p.215-228.

Departemen Pertanian. 2004. Data Produksi Tanaman Hias di Indonesia Tahun 2003. Departemen Pertanian. Jakarta. www.deptan.go.id. (21 Juli 2005).

---. 2005. Data Produksi Bunga Potong Anthurium di Indonesia. Departemen Pertanian. Jakarta. www.deptan.go.id. (3 April 2006).

Direktorat Bina Produksi Hortikultura. 2003. Laporan Perkembangan Produksi Tanaman Hias Tahun 1996-2002. Departemen Pertanian. Jakarta.

www.deptan.go.id. (28 Februari 2005).

Gunawan, L.W. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor. Bogor. 158 hal.

(51)

Hartmann, H. T., D. E. Kester, F. T. Davies Jr and R. L. Geneve. 1997. Plant Propagation Principles and Practices Sixth Edition. Prentice Hall Inc. New Jersey. 647 p.

Hennen, G. 1983. The basic of plant tissue culture. Aroideana. 6(2):43-48.

Janick, J. 1986. Horticultural Science Fourth Edition. W.H.Freeman and Co. New York. 746 p.

Kristina, D., D. Herlina dan S. Wuryaningsih. 1994. Inventarisasi dan karakterisasi beberapa jenis bunga potong komersial di pasaran bunga Cipanas, Lembang, Bandung dan Jakarta. Bul.Pen.Tan.Hias. 2(1):7-19.

Kuehnle, A. R and N. Sugii. 1991. Callus induction and planlet regeneration in tissue cultures of hawaiian Anthuriums. HortSci. 26(7):919-921.

Kunisaki, J. T. 1980. In vitro propagation of Anthurium andreanum L. HortSci. 15(4):508.

Leopold, A. C. 1964. Plant Growth and Development. McGraw-Hill Book Co. New York. 466 p.

Madison, M. 1980. Aroid profile no.6: Anthurium andreanum. Aroideana.

3(2):58-60.

Mirzada, C. D. 1994. Pengaruh Beberapa Taraf BAP dan IBA Terhadap Perbanyakan Calla Lily Secara In Vitro. Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Departemen Budidaya Pertanian. 55 hal. [Tidak Dipublikasikan]

Moore, T. C. 1979. Biochemistry and Physiology of Plant Hormones. Springer-Verlag. New York. 274 p.

Nurwahyuni, I. 1993. Induksi Kalus dan Regenerasi Tanaman Dioscorea

composita Hemi. Laporan Penelitian IPB. Bogor. 15 hal.

Paul, J. 1972. Cell and Tissue Culture. Livingtone Ltd. London. 430 p.

Prihatmanti, D. 2002. Penggunaan Zat Pengatur Tumbuh NAA dan BAP Serta Air

Kelapa Untuk Menginduksi Organogenesis Tanaman Anthurium

(52)

Institut Pertanian Bogor. Departemen Budidaya Pertanian. 32 hal. [Tidak Dipublikasikan]

Prihmantoro, H. 1992. Menanam Anthurium. Trubus. XXXIII(270) : 38-39.

Salisbury, F. B. and C. W. Ross. 1992. Fisiologi Tumbuhan Jilid 3. Perkembangan Tumbuhan dan Fisiologi Lingkungan Edisi Keempat. Institut Teknologi Bandung. Bandung. 343 hal.

Steenis, C.G.G.J. 1978. Flora. Pradnya Paramita. Jakarta. 141-144 hal.

Steward, F. C. and A. D. Krikorian. 1971. Plants, Chemicals and Growth. Academic Press Inc. New York.232 p.

Swithinbank, A. 1991. Gardeners’s World Book Of House Plants. BCC Enterprises Ltd. London. 29-30 p.

Thimann, K. V. 1969. The Auxins. p.3-37. In Malcolm B. Wilkins (Ed).

Physiology of Plant Growth and Development. McGraw-Hill Publ.Co. London.

Thomas, E. and M. R. Davey. 1975. From Single Cells o Plants. Wykeham Publ. Ltd. London. 171 p.

Wareing, P. F. and I. D. J. Phillips. 1970. The Control of Growth and Differentiation in Plants. Pergamon Press Ltd. England. 303 p.

---. 1981. Growth Differentiation in Plants Third Edition. Pergamon Press Ltd. England. 343 p.

Wattimena, G.A. 1988. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor. Bogor. 1-93 hal.

Wetherell, D. F. 1982. Pengantar Propagasi Tanaman Secara In Vitro Seri Terjemahan Oleh Dra. Koensoemardiyah Seri Kultur Jaringan Tanaman. Avery Publ.Group Inc. New Jersey. 110 p.

(53)

Widiastoety, D. dan Syafril. 1993. Pengaruh air kelapa terhadap pertumbuhan protocorm like bodies anggrek Dendrobium dalam medium padat. Bul Pen.Tan.Hias. 1(1):7-12.

Wigati, S. 2001. Penggunaan Zat Pengatur Tumbuh BAP dan IAA Serta Air Kelapa Untuk Menstimulasi Organogenesis Tanaman Snapdragon (Antirrhinum majus) Secara In Vitro. Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Departemen Budidaya Pertanian. 55 hal. [Tidak Dipublikasikan]

Minggu pagi. 2002. Anthurium, Simbol Martabat Pemilik. www.minggupagi.com

(14 Februari 2005).

(54)
(55)

Lampiran 1

Tabel 3. Komposisi Larutan Stok Media Murashige and Skoog (MS)

Stok Bahan Kimia Konsentrasi

(56)

Lampiran 2

Tabel 4. Data Produksi Tanaman Hias di Indonesia Tahun 2003

No Jenis Tanaman

Hias

Luas Panen

(m2)

Produksi

(Tangkai)

Produktivitas

(Tangkai/m2)

1 Anggrek 1 237 685 6 904 109 5.59

2 Anthurium 263 703 1 263 770 4.79

3 Gladiol 783 507 7 114 382 9.08

4 Heliconia 185 192 681 920 3.68

5 Krisan 2 089 780 27 406 464 13.11

6 Mawar 3 042 020 50 766 656 16.69

7 Sedap Malam 3 617 081 16 139 563 4.46

8 Melati 12 443 287 15 740 955 1.27

9 Anyelir 254 735 2 391 113 9.38

10 Gerbera 339 395 3 071 903 9.05

(57)

Lampiran 3

Tabel 5. Daftar Harga Bunga Potong Segar

No Komoditi Harga (Rp) Keterangan

1. Mawar 10 000.- 1 tangkai

Sumber : Indra Florist Gift and Flower Gallery, November 2005

Gambar

Gambar 1. Kondisi Serangan Cendawan
Gambar 2. Kondisi Pertumbuhan Kalus
Gambar 3. Tinggi Planlet Pada Beberapa Taraf Konsentrasi IAA
Tabel 1. Pengaruh Interaksi IAA dan BAP Terhadap Jumlah Tunas Pada 12 MST
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah tekanan waktu dan risiko audit berpengaruh terhadap perilaku menyimpang auditor atas prosedur audit yang dilakukan

Namun tetap saja bahwa sebagian besar perpustakaan perguruan tinggi masih harus mengatasi berbagai masalah dengan koleksi yang masih kurang untuk memberikan pelayanan yang baik

Berdirinya Unit Rehabilitasi Sosial “Pucang Gading” Semarang ini adalah prakarsa Gubernur Propinsi Jawa Tengah Bapak Suwardi untuk membangun panti lanjut usia

Kemampuan sosial anak di Taman Kanak-Kanak ABA IV Mangli sesuai dengan Standar Tingkat Percapaian Perkembangan Anak (STPPA) aspek sosial pada anak usia 4 sampai 6 tahun...

Masjuwita binti Mohd Laza (Penyelaras Tahun 1).. ANGGARAN PERBELANJAAN

Pasar Tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh pemerintah, Pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah

18 GANESH Universitas Pendidikan Ganesha 19 WISANGGENI_USRC Universitas Negeri Malang 20 ETAM – X2 Institut Teknologi Kalimantan 21 KING PHOENIX Universitas Ahmad Dahlan 22

Sasaran Renstra : Diperoleh hasil litbangyasa energi nuklir, isotop dan radiasi di bidang daur bahan bakar nuklir dan rekayasa untuk energi, industri, kesehatan, dan