• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menggali semangat pewartaan amos yang menekankan keadilan sosial serta aplikasinya bagi evangelisasi baru dalam gereja dewasa ini - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Menggali semangat pewartaan amos yang menekankan keadilan sosial serta aplikasinya bagi evangelisasi baru dalam gereja dewasa ini - USD Repository"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh: Mathilda Eivalig K.

NIM: 031124017

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

Skripsi ini ku persembahkan kepada :

mereka semua yang mencintai perdamaian, para pejuang keadilan di manapun mereka berada

dan

Keluarga ku tercinta: Ibu, Ayah, Kak Nona, Din, Welly dan Ciara

(5)

v

(6)

vi

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Mathilda Eivalig K.

Nomor Mahasiswa : 031124017

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

MENGGALI SEMANGAT PEWARTAAN AMOS YANG MENEKANKAN KEADILAN SOSIAL SERTA APLIKASINYA BAGI EVANGELISASI BARU DALAM GEREJA DEWASA INI

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupaun memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyatan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 15 Maret 2008 Yang menyatakan

(7)

vii

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta 26 Januari 2008 Penulis

(8)

viii

Judul skripsi MENGGALI SEMANGAT PEWARTAAN AMOS YANG MENEKANKAN KEADILAN SOSIAL SERTA APLIKASINYA BAGI EVANGELISASI BARU DALAM GEREJA DEWASA INI diangkat berdasarkan keprihatinan sosial dalam wujud ketidakadilan yang melanda dunia tempat Gereja hidup dan berkarya. Dunia, kshususnya negara Indonesia, menjadi semakin terpuruk karena masalah ketidakadilan. Oleh karena itu Gereja harus bersuara dan menjadi pelopor dalam menegakkan keadilan sehingga nilai- nilai kerajaan Allah dapat terwujud. Keprihatinan tentang ketidakadilan sebenarnya sudah lama diserukan oleh para nabi melalui protes-protes dan kritik sosial yang tajam untuk memperjuangkan keadilan. Amos merupakan contoh nabi yang menegakkan keadilan pada zamannya. Pewartaan kehendak Allah yang disampaikan Amos akan menjadi kabar gembira bagi mereka yang tertindas jika kabar gembira dinyatakan dalam perjuangan demi keadilan. Berangkat dari keprihatinan tersebut, maka skripsi ini ditulis sebaga i sumbangan pemikiran bagi Evangelisasi Baru yang mengambil semangat pewartaan Amos sebagai inspirasinya.

Permasalahan pokok dalam skripsi ini adalah bagaimana semangat pewartaan Amos yang menekankan keadilan sosial dapat menjadi inspirasi bagi Evangelisasi Baru dalam Gereja dewasa ini. Untuk menganalisis permasalahan ini diperlukan deskripsi yang cukup memadai mengenai pokok pewartaan Amos dan Evangelisasi Baru. Deskripsi ini diharapkan dapat memberi inspirasi baru bagi para petugas pewartaan dalam Gereja (imam, katekis, dan kita semua umat beriman) untuk terus mencari kebaruan dari evangelisasi, sehingga pewartaan terasa lebih aktual karena berbicara sesuai dengan kebutuhan dan konteks umat. Dengan semangat Amos Gereja diharapkan dapat merefleksikan kembali tugas dan tanggungjawabnya dalam mewartakan keadilan.

(9)

ix

The thesis entitled TO ESCAVATE THE AMOS’ PREACHING SPIRIT WHICH EMPHASIZE SOCIAL JUSTICE WITH ITS APPLICATION FOR NEW EVANGELIZATION IN THE CHURCH TODAY is presented based on social anxiety in the form of injustice that penetrates trough out the word where the Church lives and ministers. The world, especially Indonesia, is going to be sunk away because of injustice. The Church, there for, must voice out and become the forerunner to keep the justice up so that the values of the Kingdom of God may be realized. The anxiety on the injustice, actually, has been shouted by prophet long time ago trough their sharp protests and social criticisms to figh for justice. Amos was the example among prophet who fought for justice in his time. The preaching on the will God preached by Amos would be the good news for they who were oppressed if it was revealed in fighting for justice. Based on the axienty, the thesis was written as a contribution for the new evangelization, which takes the Amos’ preaching spirit as the inspiration.

The main issue of this thesis is how the Amos’ preaching spirit, which emphasizes the social justice, can be inspiration for the new evangelization in the Church today. To analyze this issue we need adequate description on the core of the Amos’ preaching and the new evangelization. The description, hopefully, can give a new inspiration for preaching ministers in the Church (priests, catechist, and laity) to continue to search the newness of evangelization, so that the preaching can be felt more actual since the preaching tells according to the needs and people’s context. By the Amos’ spirit, the Church is requested to reflect on her tasks and responsibilities in preaching the justice.

(10)

x

Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan kasihNya yang melimpah, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “MENGGALI SEMANGAT PEWARTAAN AMOS YANG MENEKANKAN KEADILAN SOSIAL SERTA APLIKASINYA BAGI EVANGELISASI DALAM GEREJA DEWASA INI”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu prasyarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, tuntunan, dukungan dan perhatian, serta bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa syukur dan terimakasih yang sebesar-besarnya dan sedalam-dalamnya kepada:

1. Romo Drs. F.X. Heryatno Wono Wulung, S.J., M.Ed., sebagai dosen pembimbing akademik dan pembimbing utama yang telah bersedia meluangkan waktu, pikiran, tenaga, penuh kesabaran, setia dan teliti dalam membimbing, memotivasi, dan mengoreksi seluruh skripsi ini. Terimakasih romo untuk cinta dan perhatiannya selama ini.

(11)

xi

penguji tiga dan memberikan perhatian kepada penulis sapaan serta ilmu- ilmu yang diberikan selama penulis belajar di IPPAK.

4. Segenap staf dosen, staf sekeretariat, staf perpustakaan dan karyawan/wati Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik Jurusan Ilmu Pendidikan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, yang telah mendidik, menuntun, dan membimbing penulis selama studi di kampus ini.

5. Ibu, Ayah, kakak dan adikku yang dengan seluruh cinta mendukung, mendampingi, memotivasi penulis di dalam menghadapi proses hidup.

6. Seluruh staf perpustakaan Kolsani yang dengan ramah dan setia melayani dan menyediakan buku-buku referensi bagi penulis. Terimakasih atas kemurahan hati dan pelayanannya selama ini.

7. Sahabat-sahabat terbaik penulis: Bibit Nugroho, Sara Lea, Paulina Rahayu, Anton Puji Nugroho, Widi Agung Nugroho, M.M Nining Wijayanti, Nurul Farida yang dengan tulus memberikan perhatian dan cinta selama ini. Terimakasih untuk persahabatan yang indah ini.

8. Rekan-rekan angkatan 2003 yang telah memberi dinamika hidup dan semangat dalam menjalin dan merajut tali persaudaraan dan kekeluargaan dalam membentuk pribadi penulis.

(12)

xii

dengan ketulusan hati telah memberikan bantuan dan dorongan hingga terselesaikannya skripsi ini.

Akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempur na. Oleh sebab itu penulis mengharapkan saran maupun kritik yang membangun guna semakin sempurnanya penulisan ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.

Yogyakarta 26 Januari 2008 Penulis

(13)

xiii

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN... iv

MOTTO... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi

ABSTRAK... vii

ABSTRACT... viii

KATA PENGANTAR... ix

DAFTAR ISI... xii

DAFTAR SINGKATAN... xv

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Permasalahan... 6

C. Tujuan Penulisan... 7

D. Metode Penulisan... 7

E. Sistematika Penulisan... 7

BAB II. PEWARTAAN NABI AMOS... 9

A. Latar Belakang Umat Israel... 10

1. Sejarah Singkat Raja-raja Israel... 11

a. Periode Raja Pertama... 11

b. Periode Dua Kerajaan... 12

2. Situasi Zaman Amos... 15

a. Situasi Ekonomi... 15

b. Situasi Politik... 16

c. Situasi Keagamaan... 17

(14)

xiv

1. Keadilan Sosial ... 22

2. Allah Hakim Segala Bangsa... 26

3. Kritik Terhadap Ibadat Palsu... 26

4. Hukuman Tuhan... 28

5. Kritik Terhadap Rasa Tenteram yang Palsu... 29

6. Himbauan untuk Bertobat... 32

7. Pengharapan... 33

BAB III. EVANGELISASI BARU... 35

A. Beberapa Pengertian Evangelisasi Baru... 36

B. Lahirnya Evangelisasi Baru... ... 40

1. Semangat Baru... 43

2. Metode Baru... ... 44

3. Ungkapan Baru... 46

C. Unsur- unsur Pokok Evangelisasi Baru... 48

1. Subyek Evangelisasi Baru... 49

2. Tujuan Evangelisasi Baru... 49

3. Tantangan Terhadap Evangelisasi Baru... 50

4. Pokok-pokok Evangelisasi Baru... 53

5. Syarat-syarat Evangelisasi Baru... 54

6. Upaya Mewujudkan Evangelisasi Baru... 55

BAB IV. SEMANGAT PEWARTAAN AMOS BAGI EVANGELISASI BARU DALAM GEREJA DEWASA INI... 57

A. Semangat Pewartaan Amos... 58

1. Semangat Mencari Kebenaran... 59

2. Pejuang Keadilan... 60

B. Evangelisasi Baru Sebagai Salah Satu Jalan Mewujudkan Keadilan Sosial dalam Gereja Dewasa ini... 62

1. Evangelisasi Baru Peka Terhadap Situasi Umat dan Masyarakat.. 65

2. Evangelisasi Baru Peduli Terhadap Masalah Sosial Umat... 66

(15)

xv

1. Pengertian Katekese Sosial... 70

2. Metode Katekese Sosial... 73

3. Contoh Persiapan Katekese Sosial... 74

BAB V. PENUTUP... 87

A. Kesimpulan... 87

B. Saran... 88

DAFTAR PUSTAKA... 91

LAMPIRAN... 93

Lampiran 1: Teks Kitab Suci (Amos 5:7-13)... (1)

(16)

xvi A. Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat. (Dipersembahkan kepada Umat Katolik Indonesia oleh Ditjen Bimas Katolik Departemen Agama Republik Indonesia dalam rangka PELITA IV). Ende: Arnoldus, 1984/1985, h. 8. B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

AA : Apostolicam Actuositatem, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Kerasulan Awam, 7 Desember 1965.

AG : Ad Gentes, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Kegiatan Misioner Gereja, 7 Desember 1965.

CA : Centesimus Annus, Seri Dokumen Ajaran Sosial Gereja, Tinjauan terhadap Kenangan Ulang tahun Rerum Novarum (seratus tahun), 1 Mei 1991.

CD : Christus Dominus, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Tugas Pastoral Para Uskup dalam Gereja, 28 Oktober 1965.

CT : Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II kepada para uskup, klerus, dan segenap umat beriman tentang katekese masa kini, 16 Oktober 1979.

(17)

xvii

di Dunia Dewasa ini, 7 Desember 1965.

LG : Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatik Konsili Vatikan II tentang Gereja, 21 November 1964.

PO : Presbyterorum Ordinis, Dekrit Konsili vatikan II tentang Pelayanan dan Kehidupan Para Imam, 7 Desember 1965.

RM : Redemptoris Missio, Seri Dokumen Gerejani, Ensiklik (Surat Edaran) Bapa Suci Yohanes Paulus II tentang Amanat Misioner Gereja, 7 Desember 1990.

SRS : Sollicitudo Rei Socialis, Seri Dokumen Ajaran Sosial Gereja tentang Keprihatinan Sosial Gereja, 27 Januari 1987.

C. Singkatan Lain

Ansos : Analisis Sosial Art. : Artikel

ASG : Ajaran Sosial Gereja Bdk : Bandingkan

HAM : Hak Asasi Manusia KBG : Komunitas Basis Gerejani

KWI : Konferensi Waligereja Indonesia PAK : Pendidikan Agama Katolik

(18)

A. Latar Belakang Penulisan

Amos adalah seorang nabi yang aktif di kerajaan Utara, Israel, selama pemerintahan raja Yorebeam II (783-743 SM). Tak lama setelah Amos menyampaikan nubuat-nubuatnya, nubuat itu pun mulai dikumpulkan dalam sebuah kitab yang berjudul sesuai dengan namanya. Tetapi kitab ini bukan begitu saja ditulis oleh Amos sendiri dan bukan pula kitab yang segera dibukukan sesudah Amos mengucapkan nubuatnya. Ada sangkaan bahwa beberapa bagian kitab ini ditulis oleh Amos sendiri (yang melukiskan penglihatan-penglihatan Amos) serta bagian lain yang ditulis oleh murid- muridnya, jurutulis Amos dan mereka yang sengaja mengha falkan perkataan Amos kemudian mengumpulkannya dalam satu kitab (Boland, 1966: 4).

Amos adalah contoh khas tentang seorang nabi yang enggan bernubuat. Tentang dirinya sendiri ia berkata: “Aku bukan seorang nabi” (Am 7:14), maksudnya ialah ia bukan seorang nabi profesional, tetapi hanya seorang nabi penggal waktu. Sebelum Allah memanggilnya, ia adalah seorang petani- gembala di kerajaan Selatan, Yehuda. Panggilan itu tentu saja memerlukan suatu tanda yang sangat meyakinkan tentang kehendak Allah agar ia meninggalkan kawanan domba serta pohon aranya, lalu pergi ke utara, ke Israel sebagai nabi Allah.

(19)

pedagang menjadi lebih kaya. Kemewahan semakin bertambah di kota Samaria dan di kota-kota lainnya; bangunan-bangunan baru didirikan di mana- mana; perayaan ibadat menjadi mewah dan hari- hari raya dirayakan secara besar-besaran. Gejala-gejala awal dari masyarakat kapitalis timbul di Israel dan selama periode pemerintahan raja Yerobeam mengalami perkembangan yang paling besar.

Perkembangan ini membawa sejumlah akibat yang negatif: orang kaya menjadi semakin kaya, orang miskin semakin miskin. Suatu kemakmuran yang merata seperti dalam masyarakat petani kecil dari periode sebelumya menjadi tidak ada lagi; banyak petani yang kehilanga n tanah pusakanya karena hutang, penindasan, perbudakan, dan terutama penyelewengan dalam pengadilan bertambah terus. Periode Yorebeam II ditandai oleh kombinasi: kemewahan tak terbatas dan ketidakadilan yang merajalela.

(20)

Fenomena seperti yang telah diungkapkan di atas merupakan suatu masalah sosial yaitu ketidakadilan yang semakin sering kita dengar. Yang kaya menjadi semakin kaya dan yang miskin menjadi sangat terpuruk oleh kejahatan sosial yang dibuat manusia sendiri. Bertambahnya jumlah pengangguran, rendahnya upah buruh, perkosaan hak- hak kaum miskin oleh pihak yang memegang kekuasaan ekonomi dan politis, pemutlakkan hak-hak milik pribadi yang menguasai hidup banyak orang adalah beberapa wajah dari ketidakadilan tersebut. Sampai sekarang manusia terus merasakan kejahatan sosial (ketidakadilan sosial) yang terus hadir sesuai dengan situasi dan konteks zamannya. Manusia tidak lagi menganggap manusia lain sebagai sesama makhluk Tuhan yang perlu diperjuangkan sebagai manusia seutuhnya.

(21)

Keadilan adalah tema yang sentral yang dibicarakan dalam ASG (Ajaran Sosial Gereja). Di mana ada ketidakadilan, di sanalah Gereja hadir sebagai yang menyuarakannya. Bahkan Paus Yohanes Paulus II terus bersemangat melanjutkan gagasan Paulus VI, setelah pemilihannya pada bulan Januari 1979, ia menerima identifikasi evangelisasi dengan perutusan Gereja yang dirumuskan Paulus VI. Dalam amanat pembukaanya ia mengutip Evangelii Nutiandi, dan menandaskan bahwa perutusan evangelisasi Gereja “terdiri dari karya demi keadilan dan perkembangan manusia” (Piet GO O, 1991: 4). Istilah evangelisasi (=evangelium) diartikan sebagai pewartaan Kabar Gembira (Injil) mengenai Yesus Kristus (Mrk 1:1) kepada semua bangsa (Mat 28:19-20) dan kebudayaan bahwa kerahiman Allah dianugerahkan dengan perantaraan Kristus kepada semua orang yang percaya (O’ Collinns, G. 1996: 76). Oleh sebab itu, evangelisasi sesungguhnya adalah rahmat dan kekhasan dari Gereja sebagai jati diri yang paling mendasar untuk menyebarluaskan kabar keselamatan tentang Yesus Kristus. Evangelisasi juga diartikan sebagai usaha mewartakan kabar gembira tentang Yesus Kristus kepada umat manusia dalam seluruh aspek kehidupannya (EN 14:18). Pewartaan menjadi alasan mengapa Gereja ada dan hadir di dunia. Pewartaan sebagai keharusan yang mutlak dilakukan oleh Gereja yang hidup di tengah umat, merupakan rahmat dari Allah sendiri.

(22)

dalam semangat, metode, dan ungkapan maupun tujuannya. Kebaruan dalam semangat dapat dilihat dari spiritualitas yang menghidupinya: kebaruan dalam metode terlihat dari bagaimana sikap dan kesaksian untuk menyampaikan visi baru: dan kebaruan dalam ungkapan terlihat dari praktek realitas transparan dan menampakkan kehadiran Allah (Mester, 1992: 32). Begitu pula dalam penerapannya di tengah Gereja dewasa ini, evangelisasi perlu diperbaharui terus menerus sesuai dengan harapan dan juga kecemasannya.

Pewartaan Sabda Allah yang telah lama dilakukan oleh para nabi, membawa kita pada suatu masa di mana Allah sendiri yang mewartakan diriNya dengan perantaraan Yesus putraNya. Dan sampai sekarang pun Allah tak pernah lelah untuk mewartakan diriNya (Kabar Gembira) kepada semua orang yang percaya. Oleh karena itu, Allah selalu mengajak manusia untuk ikut serta dalam karya keselamatan yang telah berlangsung lama dan terus diperbaharui selama kehidupan dunia berlangsung.

(23)

merupakan suatu dimensi pokok di dalam mewartakan Injil. Dan keadilan ini tidak hanya keadilan untuk hidup sebagai ma khluk sosial, tetapi keadilan sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Memperjuangkan keadilan bukan hanya tugas Gereja sebagai aktualisasi sakramen keselamatan yang ada di dunia, tetapi tugas kita semua sebagai makhluk Tuhan yang beriman. Maka dari itu dalam skripsi ini penulis mengambil judul “MENGGALI SEMANGAT PEWARTAAN AMOS YANG MENEKANKAN KEADILAN SOSIAL SERTA APLIKASINYA BAGI EVANGELISASI BARU DALAM GEREJA DEWAS A INI”. Penulis berharap tulisan ini mampu memberikan sumbangan dan inspirasi baru bagi kita semua para petugas karya pewartaan dalam Gereja (Imam, awam maupun katekis yang terlibat di dalamnya) sehingga bisa mencari terus kebaruan dari evangelisasi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penulisan yang telah diuraikan di atas, maka penulis merumuskan beberapa masalah yang akan diungkapkan dalam skripsi ini, yaitu:

1. Pokok-pokok pewartaan apa saja yang ditekankan oleh Amos pada zamannya?

2. Apa yang dimaksud dengan evangelisasi baru ?

(24)

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan permasalahan yang diungkapkan di atas, maka skripsi ini mempunyai tujuan, yaitu:

1. Untuk mengetahui pokok-pokok pewartaan pada zaman Amos. 2. Menguraikan gagasan mengenai evangelisasi baru.

3. Sebagai upaya menggali semangat pewartaan Amos dan aplikasinya untuk pewartaan zaman sekarang.

4. Untuk memenuhi syarat kelulusan Sarjana Strata Satu (S1) pada Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik (Prodi IPPAK) Universitas Santa Dharma (USD) Yogyakarta.

D. Metode Penulisan

(25)

E. Sistematika Penulisan

Pada BAB I berisi pendahuluan yang di dalamnya mencakup; latar belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II berisi uraian mengenai latar belakang umat Israel; sejarah singkat raja-raja Israel, situasi zaman Amos, latar belakang pribadi Amos, dan pokok-pokok pewartaan apa saja yang ditekankan Amos pada zamannya.

BAB III berisi uraian mengenai pengertian evangelisasi dan evangelisasi baru, lahirnya evangelisasi baru, apa maksud kebaruan dari evangelisasi: semangat baru, metode baru, ungkapan baru, unsur-unsur pokok apa saja yang ada dalam evangelisasi, apa saja tantangan yang dihadapi, apa syarat evangelisasi, serta upaya-upaya apa saja yang dilakukan dalam mewujudkan evangelisasi baru.

BAB IV akan membahas bagaimana aplikasi semangat pewartaan Amos bagi evangelisasi baru dalam Gereja dewasa ini, kemudian bagaimana mewujudkan evangelisasi dalam sebuah katekese yang sesuai dengan konteks masyarakat.

(26)

BAB II

PEWARTAAN NABI AMOS

Dalam bab II ini penulis akan memaparkan mengenai situasi pewartaan pada zaman nabi Amos, di mana telah disinggung sedikit dalam bab I bahwa Amos adalah seorang nabi pejuang keadilan pada zamannya. Penulis akan membagi pembahasan bab II ke dalam dua bagian. Bagian pertama berisi latar belakang historis umat Israel dan bagian kedua dari bab ini berisi pokok-pokok utama pewartaan Amos. Bagian pertama memuat tiga sub pokok bahasan yang mencakup: sejarah singkat raja-raja Israel, situasi zaman Amos, dan latar belakang pribadi nabi Amos. Sejarah singkat raja-raja Israel ini akan dijelaskan melalui beberapa periode, di mana periode ini mencakup periode raja-raja pertama dan periode raja-raja kedua. Untuk situasi zaman Amos penulis akan memaparkan bagaimana pengaruh situasi ekonomi, politik, dan keagamaan dalam masyarakat yang hidup di zaman Amos. Sedangkan untuk latar belakang nabi akan dijelaskan mengenai siapa Amos itu.

(27)

A. Latar Belakang Umat Israel

Groenen (1980:46) menggambarkan bahwa setiap bangsa tentu mempunyai latar belakang sejarahnya, demikian pula bangsa Israel sebagai bangsa pilihan Allah. Sejarah yang berawal dari pengalaman pahit ketika Israel ditaklukkan oleh orang-orang Filistin dan ketika suku-suku Israel mulai menetap di Pelestina. Israel sebagai suatu bangsa membutuhkan suatu tanah air yaitu tanah sebagai tempat berpijak. Tanah air bagi bangsa Israel ialah Palestina, yang waktu itu disebut Kanaan. Ketika orang-orang Filistin semakin memperluas wilayah kekuasaanya ke pedalaman, timbullah konflik antara Israel dan Palestina. Dengan persenjataan yang melebihi persenjataan orang-orang Israel, orang-orang Filistin berhasil menaklukkan orang Israel.

(28)

kemerdekaan rakyat yang menjadi warisan suku-suku persatuan (suku badui dan suku setengah petani).

Akhirnya kerajaan terpecah menjadi dua, yakni kerajaan Israel bagian Utara (sepuluh suku) dengan ibu kota Samaria, dan Kerajaan Yehuda (dua suku) di bagian Selatan yang terus diperintah oleh keturunan Daud. Raja-raja yang memerintah di kedua kerajaan itu pada periode-periode berikutnya mengalami kekacauan dalam bidang sosial, politik, budaya, dan keagamaan. Kekacauan ini terus berlanjut sampai pada zaman pemerintahan Yorebeam II di kerajaan Israel ketika nabi Amos tampil dan bernubuat (Groenen,1980:46).

1. Sejarah Singkat Raja-raja Israel a. Periode Raja -Raja Pertama

Sekitar tahun 1050 SM, bangsa Israel menjadi sebuah kerajaan. Kerajaan yang baru didirikan ini ternyata banyak mengalami kendala karena dibentuk dalam situasi peperanga n. Hal ini nampak dalam pemerintahan Saul sebagai raja pertama atas Israel. Saul dikatakan bukan raja dalam arti yang sebenarnya karena tidak punya tahta, karena selalu berada di medan perang. Di dalam satu pertempuran melawan orang Filistin, Saul dan putranya Yonatan tewas. Hal ini menunjukkan bahwa kerajaan yang baru dibentuk itu menghadapi banyak rintangan. Dan pada masa pemerintahan Saul, hanya suku-suku Utara yang ia kuasai.

(29)

beberapa bangsa tetangga. Sumbangan terbesarnya bagi bangsa Israel ialah Daud berhasil mempersatukan semua suku Israel, dan mempertahankan Yerusalem sebagai ibukota kerajaan, serta pusat keagamaan Yahudi (2Sam 5:6-10). Daud juga mendirikan suatu kerajaan Israel yang luas daerahnya terbentang dari perbatasan dengan Mesir di sebelah barat sampai melampaui Damsyik (Suharyo, 1993 : 57-60). Dengan terbentuknya kerajaan, tata masyarakat Israel sekali lagi mengalami perubahan. Perubahan ini memperlihatkan bagaimana orang Israel berpikir tentang Allah. Orang Israel mempunyai pandangan bahwa raja Israel yang sebenarnya adalah Allah perjanjian yaitu Allah yang menjanjikan keselamatan bagi Israel. Sedangkan raja manusiawi hanyalah wakil Allah. Sebagai wakil Allah, tugas utama seorang raja ialah menjamin pelaksanaan perjanjian dengan Allah. Dalam konteks ini, posisi seorang raja manusiawi selalu terikat oleh kehendak Allah dalam menjalankan tugasnya. Dengan kata lain raja menjalankan tugasnya sejauh mendapat perintah dari Allah perjanjian. Hal ini berarti pula bahwa hanya kuasa dan kekuatan Allahlah yang menjadikan raja sebagai pemenang dalam setiap peperangan. Maka yang dituntut dari seorang raja ialah seorang yang saleh dan menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan kehendak Allah (Groenen, 1980: 44-45).

b. Periode Dua Kerajaan

(30)

seperti Mesir, Asyur, dan Babel. Walaupun terjadi kekacauan di dalam negeri dan dijajah bangsa lain, namun Kitab Suci mencatat bahwa baik kerajaan Utara maupun kerajaan Selatan memiliki raja yang dapat membangun kerajaannya mencapai kemakmuran, seperti raja Yerobeam II yang memerintah di kerajaan Israel sekitar tahun 783-743 SM. Ia berhasil membangun kerajaan Israel yang makmur beberapa puluh tahun sebelum kehancurannya. Pada zaman pemerintahan Yerobeam II inilah Amos tampil dan melaksanakan tugas kenabiannya (Am 1:1) di kerajaan Israel (Suharyo, 1993: 58-60).

Perpecahan kerajaan Israel menjadi kerajaan Utara dan kerajaan Selatan terjadi karena kebijaksanaan politik Salomo yang tidak sesuai dengan keadaan masyarakat. Sejarah yang berasal dari keturunan Daud ternyata menimbulkan banyak perpecahan. Perpecahan berawal dari pemberontakan Absalom putra Daud (2Sam 3:3). Ternyata Absalom anak yang paling ia cintai memberontak kepadanya (2Sam 15:13-14). Situasi dalam negeri mulai kacau dan mengisyaratkan adanya bahaya perang saudara. Akhirnya Salomo naik tahta dan memerintah kerajaan Israel dari tahun 961-922 SM. Salomo adalah seorang diplomat dan administrator. Ia mempunyai banyak pegawai untuk memikirkan masalah pajak dan perdagangan. Ia mendirikan kenisah dan istana. Dari satu pihak ia sangat dipuji (1Raj 3:5-15), tetapi dari lain pihak ia dicela karena mengijinkan istiri- istri yang diambil dari bangsa lain menyembah dewa-dewi mereka sendiri di gunung Sio n (Suharyo, 1993: 58).

(31)

saling menguntungkan, sistem pertanian dan bercocok tanam dengan mencontoh cara Mesir. Di bidang politik misalnya, Salomo pandai menjalin relasi dengan raja-raja dan panglima perang di keraja-rajaan-keraja-rajaan besar seperti Mesir, Asyur, dan Babel, sehingga stabilitas negara masing- masing aman. Maka tidak mengherankan jika pada masa pemerintaha nnya Israel mencapai zaman keemasan. Dampak negatifnya antara lain menyusup masuknya budaya asing ke dalam negeri Israel. Orang-orang Israel mulai mempraktekkan pola hidup asing, mengikuti upacara-upacara penyembahan kepada dewa-dewi asing, merendahkan hidup moral dan tata susila (bdk. 1Raja-raja 11). Tetapi pemerintahan Salomo juga tidak bertahan lama, karena raja Salomo yang terkenal dengan raja yang bijaksana itu ternyata menerapkan kebijaksanaan politik yang merugikan bangsanya sendiri. Ia tidak menghormati bangsa Israel yang masih menjunjung tinggi rasa kebersamaan, nilai kekeluargaan, dan yang masih memelihara tradisi dengan tetap berpedoman pada hukum Taurat sebagai Undang-undang Dasar.

(32)

2. Situasi Zaman Amos a. Situasi Ekonomi

Ketika Yerobeam II memerintah, ia berhasil membangun banyak kota dan memajukan perekonomian negara. Kesuksesan menggiatkan perdagangan baik di dalam negeri maupun di luar negeri membuat Yerobeam meningkatkan usaha pertanian dan peternakan, sehingga kerajaan Israel boleh dikatakan makmur, begitu pula dengan Yehuda yang diperintah oleh Yosia juga mengalami banyak kemajuan sebelum direbut dan dihancurkan oleh tentara Babel (Groenen, 1980:48).

Kemakmuran yang dicapai kedua kerajaan ini, tidak berarti tidak terjadi kemerosotan tertib sosial di bidang ekonomi, sosial politik, dan keagamaan bagi masyarakat Israel. Khususnya tertib sosial di bidang ekonomi, terjadi pergeseran titik tekanan ekonomi dari daerah pedalaman ke kota-kota di mana terdapat pusat perdagangan. Dengan adanya perubahan tata ekonomi ini, perekonomian dikuasai oleh orang-orang kota, “kalangan atas” yang jumlahnya hanya segelintir orang saja, seperti raja, pegawai istana, pedagang besar, yang semakin hari semakin kaya. Kalangan atas tersebut menyalahgunakan kedudukan dan kekuasaan guna memperkaya diri. Dengan mudah mereka mengambil tana h milik suku (tanah marga) untuk dijadikan hak milik mereka.

(33)

tuan-tuan tanah. Demikian pula nasib yang dialami oleh para buruh, dan pedagang kecil (Hendriks, 1990: 19-22).

Perubahan baru ini mengakibatkan jurang pemisah antara golongan kaya dan golongan miskin di mana tingkat kedudukan dalam masyarakat diukur menurut status sosialnya. Kenyataan ini berangsur-angsur menghancurkan nilai- nilai kebersamaan (rasa kesukuan, rasa kekeluargaan serta rasa kemerdekaan yang menjadi warisan mereka), dan nilai- nilai keadilan tradisional seperti yang dirumuskan dalam sepuluh perintah Allah. Keadilan tradisional inilah yang mengatur relasi antara Allah dan manusia serta manusia dengan sesamanya. Amos melihat kemakmuran yang dicapai oleh bangsa Israel, ternyata membawa akibat buruk dalam bidang tata masyarakat, khususnya bagi “kaum kecil”, para petani, para buruh, para pedagang kecil yang secara langsung merasakannya. Amos melihat terjadi monopoli dalam bidang perekonomian, di mana hak milik rakyat dirampas oleh para penguasa, ini merupakan contoh praktek ketidakadilan. Untuk itu, Amos juga mengkritik isteri- isteri pejabat yang bergaya hidup mewah (Am 4:1-3), pemuka bangsa dan orang-orang kaya (Am 6:1-14), raja sendiri dan para imamnya (Am 7:9-17).

b. Situasi Politik

(34)

yang menguntungkan Israel. Namun, kemakmuran itu ternyata tidak berlangsung lama dan membawa akibat buruk, lebih- lebih di bidang tata masyarakat.

Sistem politik yang dijalankan dalam negeri, terang-terangan hanya menguntungkan pihak tertentu saja. Para pembantu dekat raja mulai menyalahgunakan kedudukan untuk mencari popularitas, kekayaan, dan berpesta pora (Am 4:1; 6:4-6) bahkan tidak segan-segan memberontak menentang raja. Keadaan ini semakin hari semakin menggawat, terlebih setelah pengganti Yerobem II berkuasa. Terjadi perebutan kekuasaan, di mana raja yang satu mengganti raja yang lain dengan membunuh pendahulunya. Dalam waktu dua puluh tahun, enam raja silih berganti naik tahta (Groenen, 252-253 : 1980).

Keadaan politik yang kacau ini memberikan dampak bagi percaturan politik Israel dengan bangsa la in. Bangsa besar seperti Mesir dan Asyur tetap menjadi ancaman dan selalu memanfaatkan kekacauan di dalam negeri untuk menaklukkan dan menjajah Israel. Dan bangsa Israel pada waktu itu selalu mencari dukungan dari bangsa lain apabila melihat posisinya lemah dan dalam bahaya. Nabi Amos melihat keadaan politik yang gawat ini sebagai isyarat bahwa kerajaan Israel akan hancur dan binasa. Maka tidak mengherankan pada awal nubuatnya dengan jelas ia mengingatkan keruntuhan, bahkan kehancuran Israel di bawah serangan Asyur (Am 1:3-2,16).

c. Situasi Keagamaan

(35)

Baal, Anath, Astarte, El, Aserah, dan Mot. Orang-orang Kanaan juga percaya bahwa manusia, binatang, tanah, dan dewa-dewi saling berhubungan membentuk lingkaran rahasia kehidupan. Masing- masing mempunyai peranannya sendiri-sendiri dan saling mempengaruhi.

Menurut keyakinan orang Kanaan, ternak dan tanah akan menjadi subur kalau dewa-dewi dapat membuat suatu tindakan tertentu yang menyuburkan, yaitu hubungan seksual antara Baal dan Anath yang merupakan pasangannya. Untuk keperluan itu di tempat-tempat suci selalu ditemukan pelacur-pelacur suci untuk mendukung ibadat kesuburan.

Sebagai bangsa yang dipilih Allah, Israel sungguh melawan praktek keagamaan Kanaan bukan terutama karena alasan kesusilaan akan tetapi karena keyakinan mereka akan Allah. Yahwe Allah Israel bukanlah satu di antara dewa-dewi yang lain. Ia memegang kekuasaan mutlak, dan tidak bisa dipaksa oleh manusia dengan cara apapun untuk melakukan sesuatu (Suharyo, 1993: 79).

Kemerosotan tata sosial di bidang keagamaan memang cukup parah. Kemerosotan ini disebabkan antara lain, menyusup masuknya budaya asing, termasuk kepercayaan asing yang dibawa dari pergaulan Kanaan yang dipengaruhi oleh baalisme. Orang-orang Israel tidak berpegang teguh kepada Allah perjanjian tetapi lebih tertarik pada ritus-ritus penyembahan kepada dewa-dewi. Upacara-upacara yang diwarnai pesta pora dipandang lebih menyenangkan.

(36)

demikian, mereka berharap perpecahan ini tidak hanya terjadi di bidang politik tetapi di bidang keagamaan.

Praktek keagamaan, yang dilakukan di kuil Betel diadakan dengan sangat meriah (Am 7:10-13). Di dalam kuil juga terdapat patung lembu jantan tempat upacara dan korban persembahan diadakan. Ibadat yang mengikuti praktek keagamaan Kanaan jelas menyimpang jauh dari kehendak Allah Perjanjian. Pemujaan dipengaruhi Baalisme Kanaan dilaksanakan dalam ibadat yang sangat kegila-gilaan dan mesum, misalnya sundal bakti (Hosea 14:13-14). Dengan demikian Tuhan, Allah Israel, dianggap sama saja dengan dewa-dewi setempat (Groenen, 1980: 253).

Orang-orang Israel, yang sudah dipengaruhi oleh Baalisme Kanaan memandang sah-sah saja ibadat yang mereka lakukan. Bagi mereka Allah Israel sama saja dengan dewa-dewi yang dipuja oleh orang-orang Kanaan. Nabi Amos memandang penyimpangan ini merupakan kesalahan Israel terbesar, sebab orang Israel tidak setia lagi kepada Allah perjanjian. Menurut Amos, ibadat orang-orang Israel bukan menyenangkan hati Tuhan, melainkan menimbulkan amarah Tuhan. Maka nabi Amos mengecam bahwa bangsa ini akan mengalami nasib buruk, yakni dibuang ke Asyur (Am 5:27).

3. Latar Belakang Pribadi Amos

(37)

kenabian. Namun demikian, di awal kitabnya diberikan petunjuk kapan ia menjalankan karya kenabiannya, yakni pada zaman raja Uzia dari Yehuda dan pada zaman raja Yerobeam II dari Israel (Am 1:1). Inilah saat Israel mencapai keamanan politis dan kesejahteraan ekonomis, karena hilangnya ancaman musuh dari luar dan karena berkembangnya perdagangan dengan negara tetangga. Namun situasi aman sejahtera ini justru menjadi sasaran kritik Amos, karena menyimpan ketimpangan sosial yang menjadikan kaum miskin dan lemah sebagai korban.

Dengan rendah hati Amos menyatakan bahwa dirinya bukan seorang nabi (Am 7:14), tetapi sebagai “seorang peternak domba dari Tekoa” (Am 1:1), “seorang pengembala dan pengumpul buah ara” (Am 7:14). Kendati Amos menolak sebutan itu, bagi kita jelas dia adalah nabi. Para nabi dipercaya sebagai seorang yang menyampaikan Sabda Allah. Mereka yakin bahwa mereka dipanggil untuk tugas itu, maka selalu kita jumpai rumusan “Demikianlah Firman Tuhan”. Kisah-kisah panggilan para nabi berbeda-beda. Panggilan kenabian Amos diambil dari pekerjaannya sehingga latar belakang pekerjaan ini mempengaruhi ungkapan-ungkapan dalam kitabnya yang seringkali menyebutkan keakrabannya dengan padang pengembalaan dan dunia pertanian (Suharyo, 1993: 88)

(38)

menghadapi singa yang tentu membuat setiap gembala diliputi ketakutan luar biasa (Am 3:8).

B. Pokok-Pokok Utama Pewartaan Amos

Amos merupakan seorang nabi yang berkarya sebelum masa pembuangan. Walaupun Amos berasal dari kalangan rakyat biasa, ia juga mempunyai keprihatinan terhadap masalah ketidakadilan (Am 1:1; 7:14). Amos juga mengecam ibadat yang curang (ibadat yang tidak mempunyai jiwa, bdk. Am 4:4-5; 5:21-26; 7:9), mencela para kalangan atas yang memperkosa keadilan dalam masyarakat serta melakukan penindasan dan pemerasan terhadap rakyat jelata.

Menurut pandangan Amos memperkosa hak sesama manusia berarti memperkosa perjanjian dengan Tuhan. Sebab Tuhan mengadakan perjanjian-Nya bukan dengan kalangan atas yang berkuasa, tetapi dengan seluruh umat dan masing-masing anggotanya. Keprihatinan tersebut ternyata diilhami suatu misi mengenai “Kerajaan Allah”, yakni masyarakat yang secara nyata mengalami persaudaraan, kebebasan, dan damai sejahtera, keadilan dalam kesadaran bahwa bangsa Israel adalah bangsa pilihan. Akan tetapi, praktek hidup bangsa Israel masih jauh dari cita-cita itu (Groenen, 1980: 254).

(39)

yang berupa kecaman yang banyak dilakukan oleh Amos ternyata tetap menaruh pengharapan juga (Am 8:2).

Karena pengharapan itu, nabi Amos terus mengajak umat supaya kembali ke jalan yang lurus. Katanya: “Carilah Tuhan, maka kamu akan hidup” (Am 5:6). “Carilah yang baik ... supaya kamu hidup” (5:14). Mencari Tuhan menurut Amos tidak hanya berarti beribadat kepada-Nya, tetapi terlebih “mencintai yang baik, menegakkan keadilan dalam pintu gerbang” (Am 5:15), artinya dalam masyarakat manusia. Di bawah ini akan diuraikan secara umum pokok-pokok pewartaan apa saja yang diwartakan Amos sejauh dibicarakan dalam Kitab Suci, antara lain:

1. Keadilan Sosial

(40)
(41)

rendah perikemanusiaan, Moab juga tidak tidak mempunyai rasa hormat terhadap mayat seseorang dan terhadap ketenangan jiwa orang yang mati itu. Dan kemudian Yehuda karena mereka telah menolak hukum Tuhan (Am 2:4c). Maksudnya di sini ialah bangsa Yehuda tidak lagi memperdulikan kesepuluh Firman yang telah ditetapkan Allah lewat perantaraan Musa. Bangsa Yehuda semakin jauh dari Allah dengan membiarkan diri menyembah dewa-dewa yang sama sekali tidak ada artinya apabila dibandingkan dengan Allah (Boland, 1966: 7-18).

Alasan-alasan di atas semuanya berkaitan dengan kejahatan yang dilakukan oleh bangsa lain terhadap bangsa-bangsa tetangga. Tetapi di samping itu, alasan ini bukanlah alasan utama mengapa Amos mengecam bangsa Israel. Kini alasan itu bukan lagi soal kejahatan perang terhadap bangsa lain, melainkan kejahatan perang terhadap bangsanya sendiri! Israel akan menghadapi hukuman Tuhan karena melakukan penindasan kepada saudara-saudara sebangsanya sendiri yang miskin dan lemah.

(42)

Tema keadilan sosial ini selanjutnya diperkembangkan secara tersebar di dalam kitab Amos. Hal ini dapat dilihat dalam kecaman Amos terhadap wanita-wanita kaya Samaria yang diibaratkan “lembu- lembu basan” mereka dikecam dengan gaya hidup mereka, yakni berpesta dengan hasil pemerasan orang lemah dan miskin yang dilakukan oleh “tuan-tuan” atau suami-suami mereka (Am 4:1-3). Amos juga mengkritik mereka yang mengubah keadilan menjadi “racun” dengan tindakan-tindakan tidak suka proses pengadilan yang dilakukan di pintu gerbang kota, dengan pemerasan dan penindasan orang lemah (Am 5:7-13). Dengan nada yang sama pula, Amos mengecam mereka yang mempraktekkan ketidakadilan pada orang lemah, sengsara dan miskin dengan berlaku tidak jujur dalam perdagangan demi keuntungan diri sendiri (Am 8:4-8).

(43)

2. Allah Hakim Segala Bangsa

Dari urutan nubuat- nubuat melawan bangsa-bangsa yang telah dipaparkan di atas (Damsyik, Gaza, Tirus, Edom, Amon, Moab, dan Yehuda) bisa disimpulkan hal lain, yakni universalisme pemahaman akan Tuhan. Tuhan yang digambarkan sebagai Allah orang Israel saja, ternyata juga merupakan Allah bagi bangsa-bangsa tetangga Israel. Ia menghakimi bangsa-bangsa dengan ukuran yang sama dengan ukuran yang Ia pakai ketika menghakimi Israel. Allah tidak tinggal diam ketika bangsa-bangsa itu melakukan kejahatan perang terhadap bangsa lain. Ia bertindak dengan menghukum mereka dalam bentuk api yang membakar pemukiman mereka. Ukuran yang sama ini dipakai Allah untuk menghukum Israel, justru karena Israel mengikat perjanjian khusus dengan Allah, maka hukuman mereka menjadi lebih berat. Ikatan kesetian kepada Yahwe ini harus diwujudkan dengan perlakuan yang benar dan adil kepada seluruh umat-Nya. Namun Israel justru tid ak peduli akan hal ini dan malah memperlakukan saudara sebangsanya sendiri dengan buruk. Karena kejahatan moral inilah, Tuhan juga akan menghukum Israel.

Konsep akan Tuhan sebagai hakim segala bangsa ini tersirat dari kesukaan Amos memanggil Tuhan sebagai “Allah semesta alam” (Am 3:13, 4:13, 5:14-16.25, 6:8.14, 9:5). Dialah yang menciptakan alam semesta dan seisinya (Am 4:13) dan akan bertindak ketika ciptaannya ini melakukan hal yang tidak berkenan kepada-Nya.

3. Kritik Terhadap Ibadat Palsu

(44)

ke Betel dan lakukanlah perbuatan jahat ke Gilgal dan perhebatlah perbuatan jahat” (Am 4:4ab). Dalam nubuat-nubuatnya melawan bangsa-bangsa, kata “kejahatan” dipakai dalam konteks hubungan antar manusia. Ungkapan “perbuatan jahat” menunjukkan suatu arti bahwa manusia tidak taat pada Tuhan. Di sini Amos sama sekali tidak mengecam orang Israel karena korban persembahan mereka yang najis atau kerena mereka melakukan penyembahan berhala. Yang dikatakan Amos adalah, bahwa mereka semakin gencar beribadat di kedua tempat ibadat ini, semakin hebatlah mereka berbuat jahat kepada Tuhan.

Di sinilah Amos memeperkenalkan segi baru bagi kehidupan beragama Israel. Ketidakadilan sosial yang merajalela dalam hidup bersama hanya membuat ibadat mereka sia-sia. Yang dituntut oleh Allah pada hakekatnya adalah kehidupan moral yang baik. Ibadat justru harus membantu agar tujuan keadilan dan kebenaran dalam masyarakat tercapai, tidak menjadi silih bagi kejahatan sehari- hari.

(45)

4. Hukuman Tuhan

Bagi kejahatan Israel yang menindas bangsanya sendiri, Amos menubuatkan hukuman Tuhan: “Sesungguhnya Aku akan mengguncangkan tempat kamu berpijak seperi goncangan kereta yang sarat dengan berkas gandum” (Am 2:13). Ancaman hukuman ini mengacu pada gambaran gempa bumi. Dalam awal kitabnya sendiri Amos menyebutkan adanya gempa bumi dan banyak dari bagian kitabnya menyebutkan berbagai macam hukuman di masa mendatang sebagai konsekuensi dari tingkah laku yang jahat orang Israel: dikalahkan musuh dan dibantai (Am 3:11), penghancuran tempat ibadat dan rumah mewah (Am 3:14-15; 6:6:11), “hari Tuhan” yang merupakan hari kegelapan bagi Israel ( Am 5:18-20), hari perkabungan (Am 8:9-10), kelaparan dan kehausan (Am 8:11-14).

(46)

kata-kata yang diucapkan nabi berasal dari Allah, kata-kata itu tidak hanya benar tetapi juga mempunyai daya dan berkuasa untuk melaksanakan apa yang dikatakan. Jika Allah menyatakan sesuatu melalui nabi, yang dikatakan pastilah terjadi (Suharyo, 1993: 88).

Meskipun demikian Israel tetaplah umat pilihan Allah (Am 2:10;3:2). Namun Amo s meremehkan keterpilihannya itu (Am 9:7), sebab hal ini tidak menjamin bahwa bangsa Israel akan luput dari hukuman yang ditimpakan Tuhan kepada bangsa-bangsa lain yang juga memperkosa hak sesamanya (Am 1:2;2:3). Malah sebaliknya, perjanjian dan keterpilihan yang tidak ditanggapi oleh umat Israel (Am 2:6-16;3:2) akan menjadi dasar untuk hukuman yang lebih berat (Groenen, 1980: 254).

5. Kritik Terhadap Rasa Tenteram Yang Palsu

Ketentraman dalam hidup seseorang kerapkali diukur dengan banyaknya kekayaan yang diperoleh. Dengan kekayaan orang bisa menikmati semua hal yang berkaitan dengan kenikmatan duniawi sehingga kenikmatan menjadi tolok ukur keberhasilan hidup. Ketentraman yang sejati menurut Amos tak lain ketika kedamaian dan kenyamanan dapat dirasakan oleh semua orang tanpa terkecuali. Berikut akan disajikan gambaran yang dapat menjelaskan rasa tenteram yang palsu palsu menurut Amos:

Dalam beberapa contoh seperti Amos 4:1-3 :

(47)

keluar melalui belahan tembok, masing- masing lurus ke depan, dan kamu akan diseret kearah Hermon, demikianlah firman Tuhan. (Am 4:1-3). Amos ingin menunjukkan bahwa ia tidak menyapa perempuan-perempuan itu dengan sapaan “nyonya-nyonya yang terhormat” tetapi dengan “lembu- lembu Basan”. Mengapa? Lembu Basan yang disimbolkan dengan sesuatu yang subur (daerah Basan adalah daerah yang sangat subur dan ternak gemuknya yang bagus). Demikia n pula dengan perempuan Samaria, bentuknya indah dan bagus karena cukup makan seperti lembu Basan yang termasyur itu. Perempuan-perempuan inilah yang memaksa suami-suami mereka untuk menjadi pelayan dan pencoleng. Karena ingin hidup mewah, mereka mendorong suami-suami mereka melakukan korupsi (ay.1). Karena perbuatan jahat yang dilakukan oleh perempua n-perempuan itu, Amos mengecam bahwa mereka akan diikat dengan tali dan dikait seperti ikan layaknya orang tertawan (Ay.2), mereka juga akan diseret melalui belahan tembok menuju kepada kebinasaan mereka (Ay.3). Masa depan mereka akan lebih buruk dari pada sekedar penderitaan orang miskin yang ada sekarang ini (Hendriks, 1990: 47-48).

Contoh lain juga terungkap dalam Amos 6:1-3:

¹Celakalah atas orang-orang yang merasa aman di Sion, atas orang-orang yang merasa aman di Samaria, atas orang-orang terkemuka dari bangsa yang utama, orang-orang yang kepada mereka kaum Israel biasa datang!

²Menyebranglah ke Kalne, dan lihat- lihatlah: berjalanlah dari sana ke Hamat yang besar itu, dan pergilah ke Gat orang Filistin! Adakah mereka lebih baik dari Kerajaan-kerajaan ini, atau lebih besarkah daerah mereka dari daerahmu? ³Hai kamu, yang menganggap jauh hari malapetaka, tetapi mendekatkan pemerintahan kekerasan. (Am 6:1-3)

(48)

Samaria terus berpesta dan sibuk mencari makan, minum, kosmetik dan penghiburan. Mereka merasa aman dan tenteram, karena situasi politik dan militer sekarang aman: kewajiban keagamaan mereka lakukan dengan ziarah dan perayaan besar-besaran di tempat kudus; mereka yakin akan perlindungan Allah yang menjadi akibat pemilihan dan perjanjian.

Bagi Amos sudah menjadi jelas, bahwa sebagian dari orang kaya memperkaya diri melalui penindasan terhadap saudara-saudara mereka dan melalui praktik-praktik yang tidak adil, bagi mereka tidak ada pengampunan. Bahkan mereka, yang tidak bersalah dalam hal itu dan telah memperoleh kekayaan dengan cara yang halal, toh tidak bisa dimaafkan, karena mereka begitu mabuk kemewahan, sehingga tidak melihat lagi, betapa rusaknya situasi Israel (Gratiana, 2006: 47)

Dengan kata-kata “Celakalah atas orang-orang yang merasa aman di Sion, atas orang-orang yang merasa tenteram di gunung Samaria ... ” ( Am 6:1,3), Amos melakukan kecamannya kepada orang-orang yang sudah hilang kepekaan sosial dan religiusnya. Mereka kemungkinan besar terlalu sadar akan status mereka sebagai anggota bangsa terpilih, yang mempunyai hubungan kesetiaan dengan Yahwe. Ia dipahami sebagai Allah yang berpihak pada mereka. Bahwa mereka menikmati kemakmuran ekonomis dan kejayaan politis, dianggap sebagai tanda bahwa Tuhan memberikan perhatia nNya pada mereka tanpa syarat. Itulah sebabnya mereka merasa aman dan tenteram akan saat ini dan yakin akan masa depan.

(49)

5:11). Orang-orang ini tidak mempersoalkan apakah kenikmatan mereka diperoleh dengan jalan bermoral atau tidak. Maka tidak masuk akal bahwa rasa aman dan tenteram ini bisa muncul, kendati kehidupan sehari- hari mereka diwarnai oleh hal-hal yang berlawanan dengan keadilan dan kejujuran. Mereka mengubah “keadilan menjadi ipuh dan hasil kebenaran dihempaskan ke tanah” (Am 5:7) tetapi tetap bisa hidup aman dan tenteram, karena kejaha tan mereka, dan mereka mengangap sebagai sesuatu yang wajar. Memutarbalikkan keadilan dan kebenaran adalah hal yang merusak tatanan hidup bersama dan akan membawa masyarakat pada ketidakteraturan. Bahwa mereka bisa hidup tenteram, sungguh melawan hakekat moral kehidupan bersama (Subagya, 1996: 13).

6. Himbauan Untuk Bertobat

Amos sadar akan nilai- nilai luhur yang akan membawa umat Israel pada kehidupan. Ia mengajarkan kepada mereka agar umat jangan hanya asyik dengan ibadat dan pergi kesana-kemari ke tempat ibadat dan berhenti pada kemeriahan tempat ibadat saja. Ibadat adalah sarana agar orang dapat menghayati hubungannya dengan Tuhan. Amos menandaskan hal ini dengan berkata “Carilah Aku, maka kamu akan hidup!” (Am 5:4), “Carilah Tuhan maka kamu akan hidup!” (Am 5:6).

(50)

dengan demikian Tuhan, Allah semesta alam, akan menyertai kamu, seperti yang kamu katakan” (Am 5:14).

Nasehat-nasehat di atas me ngisyaratkan keinginan Amos agar para pendengarnya melakukan pertobatan. Cinta akan Allah dan kebaikan akan membuat orang menjahui kejahatan, penindasan, keserakahan dan sikap beragama yang keliru. Namun demikian himbauan untuk bertobat ini rupanya tidak ditanggapi oleh orang-orang Israel. Dalam Amos 4:6-12 ditampilkan banyak tanda yang membawa bencana pada tanaman (ayat 6-9) dan manusia serta binatang (ayat 10). Tanda-tanda ini harusnya menyadarkan mereka untuk berbalik kepada Allah dan bertobat. Tetapi hati mereka bebal dan menolak pertobatan dan tampaknya dalam kitab Amos jalan bagi pertobatan telah tertutup. Hal inilah yang menghantarkan umat Israel pada hukuman Tuhan (Subagya, 1996 : 13).

7. Pengharapan

Meskipun kitab Amos berbicara mengenai hukuman Allah yang tidak terelakkan dan ketidakmauan umat untuk bertobat, bagian akhir memberi warna baru dengan menyatakan janji Allah untuk memulihkan kembali dinasti Daud dan juga kehidupan umat.

(51)

dikuasainya dulu. Kesejahteraan umat akan terwujud saat alam memberikan hasil yang baik bagi manusia dan saat manusia menemukan tempat tinggal yang aman (Subagya, 1996: 13).

(52)

BAB III

EVANGELISASI BARU

Dalam bab II telah dipaparkan secara umum bagaimana dan seperti apa pewartaan Sabda Allah seperti yang disampaikan oleh Amos. Dan yang lebih ditekankan di sini adalah pewartaan Amos sebagai salah satu nabi yang memperjuangkan keadilan sosial pada waktu itu. Di sini Amos sebagai penyambung lidah Allah berusaha menyuarakan apa yang menjadi kehendak Allah. Kehendak Allah yang tak lain dan tak bukan adalah keselamatan untuk semua manusia. Keselamatan yang dijanjikan Allah adalah keselamatan yang bersifat sosial, jadi semua manusia berhak mendapatkan keselamatan dari Allah.

Misi pewartaan sabda Allah yang dibawa Amos dan nabi- nabi lain jauh sebelum Yesus datang ke dunia, sungguh membawa dampak besar untuk perkembangan misi sekarang. Pewartaan sebelumnya memperlihatkan kepada kita semua bagaimana Allah sendiri yang berkarya lewat perantaraan nabi- nabi. Pewartaan para nabi adalah fenomena yang paling menggetarkan dalam seluruh Israel. Mereka adalah pembawa Evangelisasi Baru yang paling terasa terutama karena bentuk penyampaiannya yang langsung, yang memperhadapkan seluruh bangsa dan karena keterlibatannya yang meyakinkan dalam pewartaan itu sendiri. Mereka mewartakan firman Tuhan dengan segenap dirinya, dengan kata dan perbuatan (Hadiwiyata, 1993:35).

(53)

Putra-Nya ke dalam dunia dan Rohnya ke dalam hati kita. Untuk mendalami lebih jauh apa yang dimaksud dengan evangelisasi dan Evangelisasi Baru, pada bab III ini penulis mencoba untuk memaparkannya.

Dalam bab III, penulis membagi pembahasan dalam tiga bagian utama. Bagian pertama dalam bab III berisi uraian mengenai beberapa pengertian evangelisasi dan Evangelisasi Baru. Untuk bagian kedua penulis akan menguraikan secara singkat lahirnya Evangelisasi Baru. Dalam bagian kedua ini juga, penulis akan memaparkan secara umum point-point apa saja yang ada dalam Evangelisasi Baru. Evangelisasi Baru tersebut akan tercermin dalam semangat baru, metode baru dan ungkapan baru. Selanjutnya, bagian ketiga dalam bab III ini penulis akan memaparkan unsur-unsur pokok yang ada dalam Evangelisasi Baru. Unsur-unsur pokok ini mencakup; subjek, tujuan, isi, dan syarat-syarat, dan upaya-upaya mewujudkan Evangelisasi Baru.

A. Beberapa Pengertian Evangelisasi

Dalam Kamus Teologi (1996: 76) istilah evangelisasi (evangelization) diartikan sebagai pewartaan Kabar Gembira (Injil) mengenai Yesus Kristus (Mrk 1:1) kepada semua bangsa (Mat 28:19-20; Rm 10:12-18) dan kebudayaan me lalui kuasa Roh Kudus (Kis 1:8). Injil diwartakan baik kepada orang-orang Kristiani maupun bukan Kristiani (O’Collins, 1996:76).

(54)

harus dihadapi dengan pewartaan yang mendasar dan meyakinkan mengenai keselamatan dalam Yesus Kristus. Para misiolog pada masa itu berpikir bahwa inisiasi ke dalam iman dibedakan dalam tiga tahap: pra-evangelisasi, evangelisasi dan katekese. Pra-evangelisasi adalah usaha untuk menumbuhkan minat terhadap masalah- masalah hidup dan iman sebagai persiapan untuk mendengarkan warta Kristiani. Sedangkan evangelisasi adalah pewartaan iman Kristiani yang mendasar. Dan akhirnya katekese sebagai pengajaran mengenai pokok-pokok iman (Hadiwiyata, 1993: 12)

Dalam Konsili Vatikan II istilah evangelisasi banyak dipakai. Vatikan I, yang mencerminkan mentalitas abad ke-19, hanya satu kali menggunakan kata Injil (= evangelium) dan tidak satu katapun mengenai “evangelisasi”. Konsili Vatikan II menggunakan kata Injil sebanyak 157 kali. “Mewartakan Injil” sebanyak 18 kali dan evangelisasi sebanyak 31 kali. Yang dimaksudkan dengan evangelisasi biasanya adalah pemakluman pewartaan Kristiani yang paling dasar kepada orang-orang yang belum percaya kepada Kristus (Suharyo, 1993: 12).

Sejalan dengan semangat Konsili Vatikan II, Paus Paulus VI (1963-1979) lebih memberi tekanan kepada evangelisasi. Dengan lebih memberi orientasi yang lebih jelas kepada perutusan Gereja, Paus Paulus VI memilih tema “Evangelisasi Dalam Dunia Modern” dalam sinode para Uskup tahun 1974. Atas dasar bahan-bahan yang dihasilkan sinode itu, pada tahun 1975 ia menulis amanat apostolis Evangelii Nuntiandi. Dalam dokumen itu termuat paham yang sangat kaya:

(55)

Secara tersirat dokumen ini mengisyaratkan bahwa jati diri sesungguhnya dari Gereja adalah mewartakan Injil. Panggilan untuk mewartakan Injil bagi Gereja adalah suatu rahmat yang mulia. Gereja juga berkewajiban untuk menyalurkan rahmat tersebut kepada semua umat. Rahmat ini dapat diperoleh dari pengenangan akan kurban Kristus dalam Ekaristi. Selain itu, Gereja juga dapat mewartakan Injil dengan memaklumkan dan mengajar, terlebih mendamaikan semua orang yang berdosa dengan Allah, sehingga keselamatan yang telah dijanjikan oleh Allah dapat terwujud.

Menurut Prior (1992: 47), evangelisasi dimengerti sebagai upaya untuk “memberitakan Injil Allah” (Mrk 1: 15). Evangelisasi merupakan pertemuan antara tawaran Injil dan situasi aktual serta menyangkut hubungan tata masyarakat dengan Injil yang menyangkut hubungan ekonomi (orang kecil), dengan dunia sosio-budaya dan sosio-keagamaan (agama mayoritas).

Pewartaan Injil bermaksud membaharui dunia dengan segala pertentangan yang menantang dan segala daya kemampuan yang siap dikembangkan. Evangelisasi akan berha sil bila dunia lebih manusiawi dengan menjadi manusia lebih merdeka sehingga dapat berkembang sesuai dengan kehendak Allah dan selaras dengan alam ciptaannya.

(56)

Gereja untuk mewartakan injil kepada semua mahluk” (art.1 dan Mrk16:15). Mewartakan Injil adalah tugas setiap orang Kristen (LG, art. 16-17; AG. Art. 23;35). Para uskup dalam kesatuan dengan Paus adalah penanggung jawab utama usaha ini (LG, art. 23; CD, art. 6; AG, art. 29; 30); para imam harus mendorong usaha pewartaan Injil ke seluruh dunia (PO, art. 4; AG, art 39), dan seluruh orang beriman diharapkan bekerja sama dalam karya pewartaan injil khususnya dalam lingkungan karya dan kehidupan keluarga mereka (LG, art. 35; AA, art. 2-3; 6; AG, art. 41). Tanpa mengecilkan pelayanan sakramental dan pastoral, Vatikan II jelas memberi tempat utama kepada pewartaan sabda dalam tugas para Uskup (LG, art. 25) dan para imam (PO, art. 4). Kesadaran tentang perutusan dan maknanya, dengan sangat bagus terdapat dalam AG, art. 9; “Karya Misioner tidak lain tidak kurang dari manifestasi rencana Allah, penampakan serta realisasinya di dunia dan dalam sejarah. Di dalamnya Allah, melalui karya misi secara nyata menyelesaikan sejarah penyelamatan” (Hadiwiyata, 1993: 12-13).

Kemudian dalam perkembangannya, muncul gaga san baru mengenai Evangelisasi Baru yang pertama kali diperkenalkan oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 19 Maret 1983 di Haiti. Berikut akan penulis uraikan beberapa pengertian Evangelisasi Baru menurut para ahli. Evangelisasi Baru dapat diartikan sebagai berikut:

(57)

semua orang menjadi percaya. Percaya pada Kerajaan Allah yang sudah berkarya dalam diri mereka.

Dalam konteks Indonesia Evangelisasi Baru menurut Prior ialah upaya membawa Firman Allah ke dalam semua lapisan umat. Melalui pewartaan kaum tersisih itu masyarakat beriman diubah dari dalam, baik dalam sikap dan tata nilai maupun dalam struktur dan tata sosialnya. Dengan demikian masyarakat Kristen dengan seluruh suasana hidupnya mendapat pembaharuan dalam Roh Allah; baru dalam semangat, dalam metode, dan dalam pengungkapan imannya (Prior, 1992: 47).

Sedangkan menurut Pidyarto, Evagelisasi Baru berarti pewartaan Sabda Allah dengan semangat, metode, dan ungkapan baru. Memang pada hakekatnya evangelisasi itu harus selalu baru; dahulu sekarang dan di masa depan. Mengapa? Sebab Allah selalu menyapa manusia dalam situasi dan kondisi yang konkret. Di samping kita mengulangi kembali kebenaran lama, kita juga harus menerapkan kebenaran lama itu dalam situasi baru. Banyak hal yang berlaku untuk uma t Allah dahulu, pada hakekatnya masih (tetap) berlaku juga untuk kita sekarang, meskipun bentuk dan ungkapannya bisa berbeda-beda. Tugas kitalah untuk mengaktualkan pewartaan Alkitab. Inilah salah satu makna Evangelisasi Baru, yakni mengaktualkan Sabda Allah dengan memberinya ungkapan baru yang lebih berbicara bagi manusia zaman sekarang (Pidyarto, 1994: 20).

B. Lahirnya Evangelisasi Baru

(58)

kepada uskup Amerika Latin di Port-au-Prience, Haiti, ketika Paus menyampaikan sambutan kepada sidang paripurna ke-19 Konperensi Para Uskup Amerika Latin. Sri Paus Yohanes Paulus II mendorong supaya dirintis suatu Evangelisasi Baru bagi Amerika Latin. Sembari mengingatkan, dalam waktu dekat mereka akan merayakan 500 tahun penemuan benua Amerika oleh Christoforus Columbus (1942) dan bersamaan dengan itu pula terjadi peringatan 500 tahun warta Injil pertama kali di benua itu, Budi Purnomo mengutip pesan Sri Paus :

Peringatan 500 tahun evangelisasi hanya akan mempunyai makna yang sepenuhnya, apabila perayaan tersebut disertai dengan komitmen Anda, para Uskup, bersama dengan kaum klerus dan awam, suatu komitmen bukan kepada evangelisasi kembali (re-evangelisasi) melainkan kepada suatu Evangelisasi Baru. Baru dalam semangat, metode, dan ungkapan- ungkapannya (Budi Purnomo, 1994: 20).

Bapa Suci begitu bersemangat menghimbau agar seluruh Gereja mengadakan Evangelisasi Baru. Himbauan ini bukan hanya ditujukan kepada Gereja lokal Amerika Latin, melainkan juga kepada seluruh Gereja. Setelah pencanangan di Haiti tersebut, Bapa Suci mencanangkan gagasan Evangelisasi Baru dalam berbagai kesempatan, dari tahun ke tahun.

(59)

diajarkan oleh Injil. Tidak hanya orang yang kehilangan rasa iman yang hidup, juga untuk kaum religius perlulah Evangelisasi Baru. Bukan dalam arti ajaran atau pewartaan baru, tetapi dalam perwujudan dan penghayatan baru. Itulah yang

dibutuhkan oleh seluruh Gereja, dan semua lapisannya (Jacobs, 1994: 2 ). Istilah Evangelisasi Baru sering dikaitkan dengan pewartaan Injil dalam

dunia modern. Mengapa? Karena pertumbuhan dan perubahan besar dalam dunia terutama dalam perkembangan terakhir ini menghadapkan Gereja pada situasi yang sama sekali baru. Dalam dunia yang baru ini Gereja membutuhkan semangat baru, metode- metode baru dan bentuk-bentuk atau ungkapan-ungkapan baru dalam penginjilan. Di samping itu pula evangelisasi sangat berkaitan dengan keberadaan Gereja yang hidup di dunia, di mana evangelisasi merupakan tugas dan perutusan Gereja sebagai sakramen keselamatan.

(60)

1. Semangat Baru

Ketika evangelisasi menjadi pembicaraan dan persoalan pastoral seluruh Gereja, perubahan dunia akhir-akhir ini pun menghadapkan Gereja pada situasi yang baru. Gereja memerlukan semangat baru, metode baru, dan bentuk pengungkapan baru dalam penginjilan. Apa yang dapat dikerjakan? Kita harus mencari jalan baru dan memiliki semangat baru, agar dunia dapat menerima Kristus, dipenuhi oleh-Nya dan bertumbuh serta berkembang mencapai kedewasaan dalam Dia (Ef 4:1-16).

Persoalan mendasar yang dihadapi Gereja di Indonesia adalah bagaimana membuat Injil menjadi budaya bangsa, bagaimana berdialog dengan agama-agama bukan Kristen, sehingga Gereja dapat bertumbuh dalam imannya, dapat melihat kehadiran Kristus dan Roh-Nya dalam agama-agama tersebut: bagaimana melihat kehendak Allah dalam perubahan-perubahan dan peristiwa-peristiwa besar sosial-politik dewasa ini.

Evangelisasi Baru sesuai dengan harapannya hendak menghayati semangat Injili secara baru. Gereja mewartakan kabar gembira memerlukan semangat yang selalu diperbaharui. Dengan semangat yang terus diperbaharui, iman akan dihayati lebih dalam lagi. Manusia akan semakin menemukan Allah dalam penghayatan imannya dan dapat memberikan kesaksian iman pada orang lain. Hal ini berkaitan bahwa dalam evangelisasi yang terutama adalah suatu kesaksian hidup berimannya. Semangat yang baru yang dimaksudkan adalah “dorongan atau tekad

yang diperbaharui untuk mewartakan kabar gembira” (Sudaryatna, 1999: 45). Tekad yang ada tentu harus disertai dengan kerelaan dan kesiapsediaan

(61)

ini, tidaklah cukup orang hanya mencari informasi baru atau sistem pengajaran baru. Hal yang perlu diperhatikan dalam semangat baru ini ialah komunikasi penuh kegembiraan yang muncul dari kehadiran kasih Allah yang hendak membangun.

Jelas yang dikatakan oleh Sri Paus bahwa ciri evangelisasi yang pertama adalah semangat baru. Baru dalam semangat nampak tatkala Kitab Suci masuk ke dalam jemaat basis dan orang kecil. Mereka mulai bebas berbicara dan turut angkat suara dalam soal iman dan situasi sosial. Semangat baru yang bersumber pada firman Allah menjawab kepasifan mental dan struktur ketergantungan seperti masa sebelumnya.

Baru dalam semangat berarti bahwa kita telah menemukan suatu maksud luhur yang patut diperjuangkan: bahwa kita menghadapi segala tantangan dan kesulitan dengan hati yang ringan. Baru dalam semangat berarti ada keberanian untuk memperjuangkan nilai- nilai biblis dalam setiap dimensi kehidupan dengan menegakkan dan memperjuangkan cita-cita kerajaan Allah di bumi seperti di surga (bdk. Mat 6:10). Semangat baru nampak dalam ketekunan dalam menganalisis situasi dan keberanian menggali ma salah- masalah masyarakat sampai ke akar-akarnya. Manusia yang baru dalam semangat baru terwujud dalam kerelaan untuk mengorbankan diri demi masyarakat bahwa kaum tersisih atau tertindas adalah anak-anak dari satu Abba di surga. Baru dalam semangat dinyatakan dalam jemaat kaum martir (Prior, 1994: 11).

2. Metode Baru

(62)

perhatian umat dan mengikuti kebutuhan umat. Melalui metode yang baru evangelisasi pada akhirnya dapat menyentuh dan menyapa jati diri manusia yang amat pribadi. Mencari bentuk sarana-sarana yang paling sesuai dan efektif untuk menyampaikan pesan injil kepada semua orang amatlah penting dengan tetap setia kepada isi evangelisasi itu sendiri (EN, art. 40). Metode-metode yang tersedia memang cukup banyak seperti: kesaksian hidup, berkotbah, berkatekese, liturgi sabda, penggunaan media massa dan berpastoral. Tetapi pewarta kabar gembira haruslah pandai menggunakan metode- metode tersebut sesuai kebutuhan umat dan mengikuti perkembangan zaman.

Penggunaan bahasa dan ungkapan yang cocok dalam berevangelisasi juga diperlukan sehingga dapat membuat Injil menjadi lebih hidup. Namun hal yang paling penting dalam penggunaan metode tersebut adalah dapat mengantar setiap orang pada pengalaman Roh Allah yang membaharui kehidupan manusia dan mencoba menyapa inti pribadi yang disapa. Selain itu, ciri lain adalah kegembiraan. Cara menyampaikan kegembiraan yaitu spontan dan tulus, tanpa bertele-tele. Maka kesaksian hidup penuh pengharapan, dengan membuka pelbagai alternatif bagi kehidupan ini menjadi amat penting dalam berevangelisasi.

(63)

lembaga agama sebagai kekuatan ekonomi, budaya, politik dan menjadi lembaga

pelayana n dan persahabatan (Prior, 1994:12).

3. Ungkapan Baru

Prior menilai bahwa semakin kita mendekati rakyat tersisih, semakin kita sadar bahwa Gereja memang asing bagi mereka. Istilah kita memang terlampau abstrak, teologi kita bernada akademis dan ibadat kita kurang mengena dengan kebudayaan setempat. Kesenjangan budaya menyangkut bentuk dan bahasa, dan juga soal penekanan (tema) dalam pewartaan (Prior, 1994: 12).

(64)

Baru dalam pengungkapan berarti bahwa ungkapan-ungkapan yang pernah dibawa dari luar diperbaharui oleh ungkapan- ungkapan lokal. Baru dalam pengungkapan berarti bahwa jemaat-jemaat Indonesia bukan cuma Gereja-gereja tiruan, melainkan Gereja-gereja otentik yang mengungkapkan imannya dalam bahasa, budaya, nilai, serta tata organisasi setempat, baru dalam ungkapan terwujud dalam liturgi pribumi, teologi lokal dan hukum partikular. Baru dalam ungkapan iman berarti bahwa jemaat-jemaat lokal Indonesia mengharga i bahasa, nilai, bentuk kebudayaan sendiri, dan menjadikannya milik sendiri. Baru dalam pengungkapan iman terlihat dalam suatu Gereja yang berwajah inkulturatif. Di mana Gereja mengkontekstualisasikan warta dan hidup Kristiani dalam pelbagai kebudayaan manusia yang berbeda-beda.

(65)

Inkulturasi dalam evangelisasi pada jaman sekarang ini memang sangat diperlukan. Hal tersebut dapat membantu umat dalam menghayati imannya dan mampu mewujudkannya dalam hidup mereka sehari- hari. Setiap orang akan dengan senang hati menghayati injil sebagai sesuatu yang tidak asing bagi mereka dan merupakan bagian dari hid up mereka sendiri. Dapat dikatakan bahwa “masalah inkulturasi bukanlah masalah menerapkan kebenaran-kebenaran umum dan abstrak pada situasi yang konkret dalam setiap kebudayaan, melainkan kenyataan bahwa peristiwa Yesus Kristus yang konkret sungguh berarti bagi semua orang dan semua kebudayaan” (Banawiratma, 1986:90). Masalah inkulturasi adalah masalah umat yang berusaha setia pada Sang Guru yang mereka yakini. Umat berusaha mengerti dan menjalankan Injil dalam setiap situasi hidup ma syarakat, sehingga umat merasakan kehadiran Allah dalam setiap hidup mereka. Yesus Kristus adalah bagian hidup mereka.

C. Unsur-unsur Pokok Evangelisasi Baru

(66)

1. Subyek Evangelisasi Baru

a. Dalam ensiklik Redemptoris Missio (1990) sebagaimana dirumuskan oleh Hardawiryana dikatakan bahwa pelaku pewartaan Injil secara baru dengan semangat baru ialah Gereja (RM. art. 16). Komunitas Basis Kristiani juga menjadi subyek Evangelisasi Baru (RM art. 17), begitu juga keluarga sebagai Gereja-rumah (RM, art. 18).

b. Dalam anjuran apostolik Christifideles Laici (1988), Paus Yohanes Paulus II menekankan tanggungjawab khas kaum awam: diuraikan bagaimana iman kristiani merupakan satu-satunya jawaban yang bulat terhadap masalah-masalah dan harapan- harapan yang ada di setiap hati manusia; di mana kaum awam ikut ambil bagian dalam misi kenabian Kristus, dan mereka harus menjadikan hidup mereka sehari- hari sebagai kesaksian yang meyakinkan akan Injil (Pernyataan Sidang Pleno FABC IV di Tokyo, September 1986).

2. Tujuan Evangelisasi Baru

a. Dalam surat yang ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II kepada para religius Amerika Latin tertanggal 29 Juni 1990 dengan jelas diperlihatkan tujuan dari Evangelisasi Baru yakni menunjang proses interiorisasi iman pada umat kristiani, mengembangkan kebudayaan baru yang terbuka bagi pesan Injil dan mendorong transformasi sosial.

(67)

mendasar dengan membongkar akar-akar sistem politik dan ekonomi yang tidak adil (CA, art. 55, RM, art. 51).

c. Yang paling penting dalam Evangelisasi Baru adalah kasih Allah yang menyelamatkan, yang menjadi nyata dalam diri Yesus Kristus, yang mampu mengintegrasikan nilai- nilai Injil ke dalam kebudayaan baru dengan semangat, metode, dan ungkapan yang baru sehingga terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah.

3. Tantangan-tantangan terhadap Evangelisasi Baru

Evangelisasi Baru harus melayani tantangan sekula risme dan ateisme praktis (CL art. 34), gaya hidup modern dan mewah, konsumerisme, hedonisme, dampak media massa yang sudah menjadi kebudayaan baru; juga menanggapi ketidak-bebasan beragama, dan kemiskinan yang merendahkan martabat manusia. Untuk itu, Evangelisasi Baru ditantang untuk menumbuhkan benih-benih sabda yang terdapat di berbagai macam keadaan, yang kadang saling bertentangan (RM art. 2, 38).

Segala usaha dan pendekatan yang dilakukan oleh Gereja untuk mewartakan kabar gembira kepada semua lapisan umat, memang tidak terlepas dari tantangan atau pun kesulitan yang dihadapi. Tantangan yang dihadapi dalam pewartaan tidak hanya datang dari luar Gereja tetapi dalam Gereja sendiri juga ditemukan.

(68)

keprihatinan akan hal yang sama. Sebagai sakramen keselamatan di dunia, Gereja harus membedakan antara karya minioner dan karya pastoral, yaitu karya yang yang diusahakan oleh umat beriman sendiri, dan karya ekumenis, yaitu karya yang diusahakan untuk memulihkan kembali kesatuan umat Kristen, serta diaolg yang berarti menghargai nilai- nilai keselamatan yang ada pada agama-agama bukan Kristen. Dari segi teologi agak sulit untuk menghubungkan dan mendamaikan antara tujuan misi untuk pertobatan ke arah baptisan demi keselamatan dan penghargaan terhadap nilai keselamatan yang ada pada agama lain.

Menurut Darmawijaya (Darmawijaya, 1989: 53) , dalam pelbagai bidang pasti akan muncul tantangan-tantangan baru baik dalam bidang ekonomi, sosial, politik dan budaya. Pertama, dalam hubungannya dengan bidang ekonomi. Dunia ekonomi diwarnai oleh beberapa usaha me ningkatkan mutu kesejahteraan hidup, di antaranya dengan meningkatkan protein bagi pengembangan hidup; mekanisme produksi barang-barang, yang pada mulanya untuk meningkatkan arus barang, tetapi kerap kali juga menimbulkan pengangguran; dunia semakin komsumtif, sehingga orang tidak lagi memperhatikan mutu, melainkan gengsi dan kebutuhan sementara. Pengusaha-pengusaha kecil acap kali tergencet oleh modal raksasa.

(69)

antar negara juga akan berubah, karena kekuatan sosial dan militer berbeda. Negara- negara berkembang akan menjadi lebih mandiri dan akan menjalin hubungan dengan negara lain menjadi semakin berblok-blok.

Ketiga, dalam hubungannya dengan bidang politik. Kesadaran yang semakin tajam akan hak dan kewajiban manusia sebagai pribadi dan dalam hubungan sosial akan membuat politik berwarna dan berbias tertentu dalam menentukan kewajiban antar bangsa. Otoritas yang terstruktur rasanya akan menjadi kendor, dan usaha bersama akan menjadi lebih kuat. Perlombaan senjata dan polusi akan menimbulkan hasrat menjaga agar lingkungan hidup lebih baik, dan semangat damai lebih menonjol.

Keempat, dalam hubungannya dengan bidang budaya. Budaya pikir ya

Referensi

Dokumen terkait