• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. SEMANGAT PEWARTAAN AMOS BAGI EVANGELISASI

A. Semangat Pewartaan Amos

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan permasalahan yang diungkapkan di atas, maka skripsi ini mempunyai tujuan, yaitu:

1. Untuk mengetahui pokok-pokok pewartaan pada zaman Amos. 2. Menguraikan gagasan mengenai evangelisasi baru.

3. Sebagai upaya menggali semangat pewartaan Amos dan aplikasinya untuk pewartaan zaman sekarang.

4. Untuk memenuhi syarat kelulusan Sarjana Strata Satu (S1) pada Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik (Prodi IPPAK) Universitas Santa Dharma (USD) Yogyakarta.

D. Metode Penulisan

Metode yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah deskriptif analitis. Penulis berusaha menggambarkan latar belakang historis nabi Amos, menguraikan pokok-pokok pewartaan yang diwartakan oleh Amo s, serta menggali semangat pewartaan Amos dan aplikasinya bagi evangelisasi baru dalam Gereja dewasa ini. Dengan deskripsi ini, penulis mencoba untuk memahaminya dengan menginterpretasikan/ menafsirkannya berdasarkan studi mengenai pokok-pokok pewartaan Amos dan evangelisasi kemudian mengembangkan dengan bahasa penulis serta menggunakan pustaka-pustaka yang mendukung penulisan skripsi ini.

E. Sistematika Penulisan

Pada BAB I berisi pendahuluan yang di dalamnya mencakup; latar belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II berisi uraian mengenai latar belakang umat Israel; sejarah singkat raja-raja Israel, situasi zaman Amos, latar belakang pribadi Amos, dan pokok-pokok pewartaan apa saja yang ditekankan Amos pada zamannya.

BAB III berisi uraian mengenai pengertian evangelisasi dan evangelisasi baru, lahirnya evangelisasi baru, apa maksud kebaruan dari evangelisasi: semangat baru, metode baru, ungkapan baru, unsur-unsur pokok apa saja yang ada dalam evangelisasi, apa saja tantangan yang dihadapi, apa syarat evangelisasi, serta upaya-upaya apa saja yang dilakukan dalam mewujudkan evangelisasi baru.

BAB IV akan membahas bagaimana aplikasi semangat pewartaan Amos bagi evangelisasi baru dalam Gereja dewasa ini, kemudian bagaimana mewujudkan evangelisasi dalam sebuah katekese yang sesuai dengan konteks masyarakat.

BAB II

PEWARTAAN NABI AMOS

Dalam bab II ini penulis akan memaparkan mengenai situasi pewartaan pada zaman nabi Amos, di mana telah disinggung sedikit dalam bab I bahwa Amos adalah seorang nabi pejuang keadilan pada zamannya. Penulis akan membagi pembahasan bab II ke dalam dua bagian. Bagian pertama berisi latar belakang historis umat Israel dan bagian kedua dari bab ini berisi pokok-pokok utama pewartaan Amos. Bagian pertama memuat tiga sub pokok bahasan yang mencakup: sejarah singkat raja-raja Israel, situasi zaman Amos, dan latar belakang pribadi nabi Amos. Sejarah singkat raja-raja Israel ini akan dijelaskan melalui beberapa periode, di mana periode ini mencakup periode raja-raja pertama dan periode raja-raja kedua. Untuk situasi zaman Amos penulis akan memaparkan bagaimana pengaruh situasi ekonomi, politik, dan keagamaan dalam masyarakat yang hidup di zaman Amos. Sedangkan untuk latar belakang nabi akan dijelaskan mengenai siapa Amos itu.

Selanjutnya pada bagian kedua dalam bab II ini, penulis akan menjelaskan beberapa hal yang diperjuangkan Amos menyangkut pokok-pokok pewartaannya. Pokok-pokok pewartaan Amos sendiri berisi pewartaan keadilan sosial, Allah hakim segala bangsa, ibadat palsu, hukuman Tuhan, rasa tenteram yang palsu, himbauan untuk bertobat, dan pengharapan.

A. Latar Belakang Umat Israel

Groenen (1980:46) menggambarkan bahwa setiap bangsa tentu mempunyai latar belakang sejarahnya, demikian pula bangsa Israel sebagai bangsa pilihan Allah. Sejarah yang berawal dari pengalaman pahit ketika Israel ditaklukkan oleh orang-orang Filistin dan ketika suku-suku Israel mulai menetap di Pelestina. Israel sebagai suatu bangsa membutuhkan suatu tanah air yaitu tanah sebagai tempat berpijak. Tanah air bagi bangsa Israel ialah Palestina, yang waktu itu disebut Kanaan. Ketika orang-orang Filistin semakin memperluas wilayah kekuasaanya ke pedalaman, timbullah konflik antara Israel dan Palestina. Dengan persenjataan yang melebihi persenjataan orang-orang Israel, orang-orang Filistin berhasil menaklukkan orang Israel.

Dalam keadaan gawat inilah orang-orang Israel menjadi sadar bahwa mereka harus bersatu untuk melawan bangsa Filistin. Dari keadaan ini, Israel merencanakan membuat suatu pemerintah pusat yang kuat untuk mengkoordinir perlawanan bersama terhadap bangsa Filistin. Israel pun kemudian berkenalan dengan kerajaan tetangga dan membentuk bangsanya dengan pemerintahan berbentuk kerajaan. Pemerintahan berbentuk kerajaan harus dipimpin oleh seorang raja untuk memerint ah dan mengatur semua. Tiga raja pertama memerintah Israel yaitu: Saul, Daud, dan Salomo. Dalam masa pemerintahan ketiga raja tersebut, hanya Daud dan Salomo yang telah berhasil membangun kerajaan Israel mencapai jaman keemasannya. Akan tetapi setelah Salomo pergi, kerajaan Israel yang tadinya kokoh, kuat, dan makmur mulai mengalami kemunduran karena kebijaksanaan politik Salomo yang tidak memperdulikan rasa kesukuan dan tidak menghormati

kemerdekaan rakyat yang menjadi warisan suku-suku persatuan (suku badui dan suku setengah petani).

Akhirnya kerajaan terpecah menjadi dua, yakni kerajaan Israel bagian Utara (sepuluh suku) dengan ibu kota Samaria, dan Kerajaan Yehuda (dua suku) di bagian Selatan yang terus diperintah oleh keturunan Daud. Raja-raja yang memerintah di kedua kerajaan itu pada periode-periode berikutnya mengalami kekacauan dalam bidang sosial, politik, budaya, dan keagamaan. Kekacauan ini terus berlanjut sampai pada zaman pemerintahan Yorebeam II di kerajaan Israel ketika nabi Amos tampil dan bernubuat (Groenen,1980:46).

1. Sejarah Singkat Raja-raja Israel a. Periode Raja -Raja Pertama

Sekitar tahun 1050 SM, bangsa Israel menjadi sebuah kerajaan. Kerajaan yang baru didirikan ini ternyata banyak mengalami kendala karena dibentuk dalam situasi peperanga n. Hal ini nampak dalam pemerintahan Saul sebagai raja pertama atas Israel. Saul dikatakan bukan raja dalam arti yang sebenarnya karena tidak punya tahta, karena selalu berada di medan perang. Di dalam satu pertempuran melawan orang Filistin, Saul dan putranya Yonatan tewas. Hal ini menunjukkan bahwa kerajaan yang baru dibentuk itu menghadapi banyak rintangan. Dan pada masa pemerintahan Saul, hanya suku-suku Utara yang ia kuasai.

Pengganti Saul adalah Daud. Daud terkenal dengan julukan “pemimpin militer dan politik” terbesar sejauh yang diceritakan dalam Kitab Suci. Julukan itu pantas diberikan kepada Daud karena pada masa pemerintahannya, ia berhasil mengalahkan orang-orang Filistin, menaklukkan semua penduduk asli, dan

beberapa bangsa tetangga. Sumbangan terbesarnya bagi bangsa Israel ialah Daud berhasil mempersatukan semua suku Israel, dan mempertahankan Yerusalem sebagai ibukota kerajaan, serta pusat keagamaan Yahudi (2Sam 5:6-10). Daud juga mendirikan suatu kerajaan Israel yang luas daerahnya terbentang dari perbatasan dengan Mesir di sebelah barat sampai melampaui Damsyik (Suharyo, 1993 : 57-60). Dengan terbentuknya kerajaan, tata masyarakat Israel sekali lagi mengalami perubahan. Perubahan ini memperlihatkan bagaimana orang Israel berpikir tentang Allah. Orang Israel mempunyai pandangan bahwa raja Israel yang sebenarnya adalah Allah perjanjian yaitu Allah yang menjanjikan keselamatan bagi Israel. Sedangkan raja manusiawi hanyalah wakil Allah. Sebagai wakil Allah, tugas utama seorang raja ialah menjamin pelaksanaan perjanjian dengan Allah. Dalam konteks ini, posisi seorang raja manusiawi selalu terikat oleh kehendak Allah dalam menjalankan tugasnya. Dengan kata lain raja menjalankan tugasnya sejauh mendapat perintah dari Allah perjanjian. Hal ini berarti pula bahwa hanya kuasa dan kekuatan Allahlah yang menjadikan raja sebagai pemenang dalam setiap peperangan. Maka yang dituntut dari seorang raja ialah seorang yang saleh dan menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan kehendak Allah (Groenen, 1980: 44-45).

b. Periode Dua Kerajaan

Periode dua kerajaan ini, (kerajaan Utara dan kerajaan Selatan) berlangsung sekitar dua ratus tahun (922-715 SM) diceritakan dalam 1Raj :12 dan 2Raj :17. Dalam periode ini baik kerajaan Utara maupun kerajaan Selatan mengalami zaman kemunduran. Keduanya silih berganti dijajah oleh bangsa lain,

seperti Mesir, Asyur, dan Babel. Walaupun terjadi kekacauan di dalam negeri dan dijajah bangsa lain, namun Kitab Suci mencatat bahwa baik kerajaan Utara maupun kerajaan Selatan memiliki raja yang dapat membangun kerajaannya mencapai kemakmuran, seperti raja Yerobeam II yang memerintah di kerajaan Israel sekitar tahun 783-743 SM. Ia berhasil membangun kerajaan Israel yang makmur beberapa puluh tahun sebelum kehancurannya. Pada zaman pemerintahan Yerobeam II inilah Amos tampil dan melaksanakan tugas kenabiannya (Am 1:1) di kerajaan Israel (Suharyo, 1993: 58-60).

Perpecahan kerajaan Israel menjadi kerajaan Utara dan kerajaan Selatan terjadi karena kebijaksanaan politik Salomo yang tidak sesuai dengan keadaan masyarakat. Sejarah yang berasal dari keturunan Daud ternyata menimbulkan banyak perpecahan. Perpecahan berawal dari pemberontakan Absalom putra Daud (2Sam 3:3). Ternyata Absalom anak yang paling ia cintai memberontak kepadanya (2Sam 15:13-14). Situasi dalam negeri mulai kacau dan mengisyaratkan adanya bahaya perang saudara. Akhirnya Salomo naik tahta dan memerintah kerajaan Israel dari tahun 961-922 SM. Salomo adalah seorang diplomat dan administrator. Ia mempunyai banyak pegawai untuk memikirkan masalah pajak dan perdagangan. Ia mendirikan kenisah dan istana. Dari satu pihak ia sangat dipuji (1Raj 3:5-15), tetapi dari lain pihak ia dicela karena mengijinkan istiri- istri yang diambil dari bangsa lain menyembah dewa-dewi mereka sendiri di gunung Sio n (Suharyo, 1993: 58).

Untuk memperkokoh kedudukannya, Salomo menjalin kerjasama dengan bangsa-bangsa di sekitarnya. Kerjasama yang meliputi bidang politik dan ekonomi tentu membawa dampak poisitif maupun negatif bagi bangsa Israel. Dampak positifnya bagi Israel dalam bidang ekonomi misalnya, sistem perdagangan yang

saling menguntungkan, sistem pertanian dan bercocok tanam dengan mencontoh cara Mesir. Di bidang politik misalnya, Salomo pandai menjalin relasi dengan raja-raja dan panglima perang di keraja-rajaan-keraja-rajaan besar seperti Mesir, Asyur, dan Babel, sehingga stabilitas negara masing- masing aman. Maka tidak mengherankan jika pada masa pemerintaha nnya Israel mencapai zaman keemasan. Dampak negatifnya antara lain menyusup masuknya budaya asing ke dalam negeri Israel. Orang-orang Israel mulai mempraktekkan pola hidup asing, mengikuti upacara-upacara penyembahan kepada dewa-dewi asing, merendahkan hidup moral dan tata susila (bdk. 1Raja-raja 11). Tetapi pemerintahan Salomo juga tidak bertahan lama, karena raja Salomo yang terkenal dengan raja yang bijaksana itu ternyata menerapkan kebijaksanaan politik yang merugikan bangsanya sendiri. Ia tidak menghormati bangsa Israel yang masih menjunjung tinggi rasa kebersamaan, nilai kekeluargaan, dan yang masih memelihara tradisi dengan tetap berpedoman pada hukum Taurat sebagai Undang-undang Dasar.

Raja juga membebankan macam- macam pajak dan kerja rodi demi kepentingan negara. Penerapan kebijakan politik seperti ini, jelas melukai perasaan suku-suku Israel yang belum siap menerima unsur- unsur baru dari luar, serta sistem-sistemnya yang belum mereka pahami. Akibatnya terjadi pro-kontra antar suku-suku Israel sendiri yang pada akhirnya menimbulkan persaingan untuk tampil berkuasa. Para pembantu dekat Salomo yang tadinya mendukung sistem politiknya, lama kelamaan mulai memanfaatkan kedudukan masing- masing untuk memperkaya diri (Groenen, 1980: 45-46).

2. Situasi Zaman Amos a. Situasi Ekonomi

Ketika Yerobeam II memerintah, ia berhasil membangun banyak kota dan memajukan perekonomian negara. Kesuksesan menggiatkan perdagangan baik di dalam negeri maupun di luar negeri membuat Yerobeam meningkatkan usaha pertanian dan peternakan, sehingga kerajaan Israel boleh dikatakan makmur, begitu pula dengan Yehuda yang diperintah oleh Yosia juga mengalami banyak kemajuan sebelum direbut dan dihancurkan oleh tentara Babel (Groenen, 1980:48).

Kemakmuran yang dicapai kedua kerajaan ini, tidak berarti tidak terjadi kemerosotan tertib sosial di bidang ekonomi, sosial politik, dan keagamaan bagi masyarakat Israel. Khususnya tertib sosial di bidang ekonomi, terjadi pergeseran titik tekanan ekonomi dari daerah pedalaman ke kota-kota di mana terdapat pusat perdagangan. Dengan adanya perubahan tata ekonomi ini, perekonomian dikuasai oleh orang-orang kota, “kalangan atas” yang jumlahnya hanya segelintir orang saja, seperti raja, pegawai istana, pedagang besar, yang semakin hari semakin kaya. Kalangan atas tersebut menyalahgunakan kedudukan dan kekuasaan guna memperkaya diri. Dengan mudah mereka mengambil tana h milik suku (tanah marga) untuk dijadikan hak milik mereka.

Akibatnya, banyak rakyat terutama di desa-desa yang tadinya sebagai pemilik tanah, kini kehilangan hak milik tanah tersebut. Para petani yang semula mengolah tanah milik marga atau milik keluarga dan memetik hasilnya untuk mencukupi kebutuhan keluarga, kini bekerja sebagai buruh (penggarap) di tanah sendiri dengan upah yang minim. Mereka hidup dalam posisi bergantung pada

tuan-tuan tanah. Demikian pula nasib yang dialami oleh para buruh, dan pedagang kecil (Hendriks, 1990: 19-22).

Perubahan baru ini mengakibatkan jurang pemisah antara golongan kaya dan golongan miskin di mana tingkat kedudukan dalam masyarakat diukur menurut status sosialnya. Kenyataan ini berangsur-angsur menghancurkan nilai- nilai kebersamaan (rasa kesukuan, rasa kekeluargaan serta rasa kemerdekaan yang menjadi warisan mereka), dan nilai- nilai keadilan tradisional seperti yang dirumuskan dalam sepuluh perintah Allah. Keadilan tradisional inilah yang mengatur relasi antara Allah dan manusia serta manusia dengan sesamanya. Amos melihat kemakmuran yang dicapai oleh bangsa Israel, ternyata membawa akibat buruk dalam bidang tata masyarakat, khususnya bagi “kaum kecil”, para petani, para buruh, para pedagang kecil yang secara langsung merasakannya. Amos melihat terjadi monopoli dalam bidang perekonomian, di mana hak milik rakyat dirampas oleh para penguasa, ini merupakan contoh praktek ketidakadilan. Untuk itu, Amos juga mengkritik isteri- isteri pejabat yang bergaya hidup mewah (Am 4:1-3), pemuka bangsa dan orang-orang kaya (Am 6:1-14), raja sendiri dan para imamnya (Am 7:9-17).

b. Situasi Politik

Situasi politik, baik di kerajaan Yehuda maupun kerajaan Israel, turut mempengaruhi nubuat- nubuat nabi Amos. Amos melontarkan kritik-kritik tajam berkaitan dengan sistem politik di Israel yang dianggapnya merugikan bangsa itu sendiri. Memang dikatakan raja Yerobeam II berhasil memperluas kerajaannya (Am 6:3), memajukan ekonomi negerinya, dan memanfaatkan keadaan politik luar negeri

yang menguntungkan Israel. Namun, kemakmuran itu ternyata tidak berlangsung lama dan membawa akibat buruk, lebih- lebih di bidang tata masyarakat.

Sistem politik yang dijalankan dalam negeri, terang-terangan hanya menguntungkan pihak tertentu saja. Para pembantu dekat raja mulai menyalahgunakan kedudukan untuk mencari popularitas, kekayaan, dan berpesta pora (Am 4:1; 6:4-6) bahkan tidak segan-segan memberontak menentang raja. Keadaan ini semakin hari semakin menggawat, terlebih setelah pengganti Yerobem II berkuasa. Terjadi perebutan kekuasaan, di mana raja yang satu mengganti raja yang lain dengan membunuh pendahulunya. Dalam waktu dua puluh tahun, enam raja silih berganti naik tahta (Groenen, 252-253 : 1980).

Keadaan politik yang kacau ini memberikan dampak bagi percaturan politik Israel dengan bangsa la in. Bangsa besar seperti Mesir dan Asyur tetap menjadi ancaman dan selalu memanfaatkan kekacauan di dalam negeri untuk menaklukkan dan menjajah Israel. Dan bangsa Israel pada waktu itu selalu mencari dukungan dari bangsa lain apabila melihat posisinya lemah dan dalam bahaya. Nabi Amos melihat keadaan politik yang gawat ini sebagai isyarat bahwa kerajaan Israel akan hancur dan binasa. Maka tidak mengherankan pada awal nubuatnya dengan jelas ia mengingatkan keruntuhan, bahkan kehancuran Israel di bawah serangan Asyur (Am 1:3-2,16).

c. Situasi Keagamaan

Tatacara pertanian tidak dapat dilepaskan dari agama. Agama Kanaan boleh disebut agama dengan ibadah kesuburan. Menurut keyakinan orang-orang Kanaan, kesuburan tanah dipengaruhi oleh tindakan dari dewa-dewi tertentu seperti

Baal, Anath, Astarte, El, Aserah, dan Mot. Orang-orang Kanaan juga percaya bahwa manusia, binatang, tanah, dan dewa-dewi saling berhubungan membentuk lingkaran rahasia kehidupan. Masing- masing mempunyai peranannya sendiri-sendiri dan saling mempengaruhi.

Menurut keyakinan orang Kanaan, ternak dan tanah akan menjadi subur kalau dewa-dewi dapat membuat suatu tindakan tertentu yang menyuburkan, yaitu hubungan seksual antara Baal dan Anath yang merupakan pasangannya. Untuk keperluan itu di tempat-tempat suci selalu ditemukan pelacur-pelacur suci untuk mendukung ibadat kesuburan.

Sebagai bangsa yang dipilih Allah, Israel sungguh melawan praktek keagamaan Kanaan bukan terutama karena alasan kesusilaan akan tetapi karena keyakinan mereka akan Allah. Yahwe Allah Israel bukanlah satu di antara dewa-dewi yang lain. Ia memegang kekuasaan mutlak, dan tidak bisa dipaksa oleh manusia dengan cara apapun untuk melakukan sesuatu (Suharyo, 1993: 79).

Kemerosotan tata sosial di bidang keagamaan memang cukup parah. Kemerosotan ini disebabkan antara lain, menyusup masuknya budaya asing, termasuk kepercayaan asing yang dibawa dari pergaulan Kanaan yang dipengaruhi oleh baalisme. Orang-orang Israel tidak berpegang teguh kepada Allah perjanjian tetapi lebih tertarik pada ritus-ritus penyembahan kepada dewa-dewi. Upacara-upacara yang diwarnai pesta pora dipandang lebih menyenangkan.

Penyebab lainnya adalah politik busuk yang dijalankan oleh raja-raja yang memerintah di kerajaan Israel. Mereka berupaya mendirikan tempat-tempat suci, misalnya di Betel dan di Dan. Tempat-tempat suci ini didirikan dengan maksud agar orang-orang Isarel tidak pergi ke Yerusalem untuk beribadat. Dengan cara

demikian, mereka berharap perpecahan ini tidak hanya terjadi di bidang politik tetapi di bidang keagamaan.

Praktek keagamaan, yang dilakukan di kuil Betel diadakan dengan sangat meriah (Am 7:10-13). Di dalam kuil juga terdapat patung lembu jantan tempat upacara dan korban persembahan diadakan. Ibadat yang mengikuti praktek keagamaan Kanaan jelas menyimpang jauh dari kehendak Allah Perjanjian. Pemujaan dipengaruhi Baalisme Kanaan dilaksanakan dalam ibadat yang sangat kegila-gilaan dan mesum, misalnya sundal bakti (Hosea 14:13-14). Dengan demikian Tuhan, Allah Israel, dianggap sama saja dengan dewa-dewi setempat (Groenen, 1980: 253).

Orang-orang Israel, yang sudah dipengaruhi oleh Baalisme Kanaan memandang sah-sah saja ibadat yang mereka lakukan. Bagi mereka Allah Israel sama saja dengan dewa-dewi yang dipuja oleh orang-orang Kanaan. Nabi Amos memandang penyimpangan ini merupakan kesalahan Israel terbesar, sebab orang Israel tidak setia lagi kepada Allah perjanjian. Menurut Amos, ibadat orang-orang Israel bukan menyenangkan hati Tuhan, melainkan menimbulkan amarah Tuhan. Maka nabi Amos mengecam bahwa bangsa ini akan mengalami nasib buruk, yakni dibuang ke Asyur (Am 5:27).

3. Latar Belakang Pribadi Amos

Amos dipanggil sekitar tahun 760 SM untuk menjadi nabi di kerajaan Utara pada masa pemerintahan Raja Yerobeam II (783-743). Informasi tentang Amos hanya dapat diperoleh secara terbatas pada kitabnya. Di dalamnya tidak tertulis kapan dan di mana ia lahir dan mati serta kapan ia menerima panggilan

kenabian. Namun demikian, di awal kitabnya diberikan petunjuk kapan ia menjalankan karya kenabiannya, yakni pada zaman raja Uzia dari Yehuda dan pada zaman raja Yerobeam II dari Israel (Am 1:1). Inilah saat Israel mencapai keamanan politis dan kesejahteraan ekonomis, karena hilangnya ancaman musuh dari luar dan karena berkembangnya perdagangan dengan negara tetangga. Namun situasi aman sejahtera ini justru menjadi sasaran kritik Amos, karena menyimpan ketimpangan sosial yang menjadikan kaum miskin dan lemah sebagai korban.

Dengan rendah hati Amos menyatakan bahwa dirinya bukan seorang nabi (Am 7:14), tetapi sebagai “seorang peternak domba dari Tekoa” (Am 1:1), “seorang pengembala dan pengumpul buah ara” (Am 7:14). Kendati Amos menolak sebutan itu, bagi kita jelas dia adalah nabi. Para nabi dipercaya sebagai seorang yang menyampaikan Sabda Allah. Mereka yakin bahwa mereka dipanggil untuk tugas itu, maka selalu kita jumpai rumusan “Demikianlah Firman Tuhan”. Kisah-kisah panggilan para nabi berbeda-beda. Panggilan kenabian Amos diambil dari pekerjaannya sehingga latar belakang pekerjaan ini mempengaruhi ungkapan-ungkapan dalam kitabnya yang seringkali menyebutkan keakrabannya dengan padang pengembalaan dan dunia pertanian (Suharyo, 1993: 88)

Hanya semata- mata karena panggilan Tuhanlah, Amos meninggalkan pekerjaannya semula (sebagai petani dan peternak domba) dan menjalankan tugas kenabiannya bagi umat Israel. Dalam konfliknya dengan imam Amazia, Amos sama sekali menolak anggapan Amazia bahwa ia adalah nabi profesional, yang bernubuat demi nafkah (Am 7:14-15). Panggilan dari Tuhan begitu kuat dirasakan Amos, sehingga Amos sendiri tidak kuat untuk menolak panggilan ini. Ia mengkiaskanpengalaman ini dengan pengalamannya menggembala, ketika ia

menghadapi singa yang tentu membuat setiap gembala diliputi ketakutan luar biasa (Am 3:8).

B. Pokok-Pokok Utama Pewartaan Amos

Amos merupakan seorang nabi yang berkarya sebelum masa pembuangan. Walaupun Amos berasal dari kalangan rakyat biasa, ia juga mempunyai keprihatinan terhadap masalah ketidakadilan (Am 1:1; 7:14). Amos juga mengecam ibadat yang curang (ibadat yang tidak mempunyai jiwa, bdk. Am 4:4-5; 5:21-26; 7:9), mencela para kalangan atas yang memperkosa keadilan dalam masyarakat serta melakukan penindasan dan pemerasan terhadap rakyat jelata.

Menurut pandangan Amos memperkosa hak sesama manusia berarti memperkosa perjanjian dengan Tuhan. Sebab Tuhan mengadakan perjanjian-Nya bukan dengan kalangan atas yang berkuasa, tetapi dengan seluruh umat dan masing-masing anggotanya. Keprihatinan tersebut ternyata diilhami suatu misi mengenai “Kerajaan Allah”, yakni masyarakat yang secara nyata mengalami persaudaraan, kebebasan, dan damai sejahtera, keadilan dalam kesadaran bahwa bangsa Israel adalah bangsa pilihan. Akan tetapi, praktek hidup bangsa Israel masih jauh dari cita-cita itu (Groenen, 1980: 254).

Di mana- mana banyak terjadi praktek-praktek ketidakadilan seperti: penindasan, kekerasan, ketamakan, kecurangan, monopoli, nafsu akan kekuasaan dengan memetik keuntungan dari sistem yang ada. Maka melalui kritik-kritik yang

Dokumen terkait