• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 3 METODE PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 3 METODE PENELITIAN"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Desain penelitian adalah penelitian diagnostik untuk melihat sensitivitas dari TTNA dengan tuntunan USG Toraks dalam membantu menegakkan diagnosis kanker paru.

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi di Instalasi Diagnosis Terpadu (IDT) di RSUP H. Adam Malik Medan. Penelitian ini akan dilaksanakan selama satu tahun dimulai dari bulan Februari 2015 s/d Februari 2016.

3.3. Populasi, sampel dan besar sampel

3.3.1. Populasi

Populasi penelitan ini adalah semua pasien rawat inap di RSUP H. Adam Malik dengan gejala klinis dan faktor risiko untuk kanker paru.

3.3.2. Sampel

Sampel penelitian ini adalah bagian dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi.

3.3.3. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

a. Kriteria Inklusi

1. Pasien terduga kanker paru saat masuk RSUP HAM

2. Gambaran radiologi toraks dengan jarak lesi dari dinding toraks dapat dijangkau oleh jarum TTNA

3. Lesi dekat ke dinding dada,

4. Bersedia untuk mengikuti penelitian yang dinyatakan secara tertulis setelah mendapatkan penjelasan atau informed consent.

b. Kriteria eksklusi

(2)

3.3.4. Besar Sampel

Besar sampel dihitung menggunakan rumus besar sampel untuk penelitian diagnostik, dengan rumus sbb:

Sensitivitas metode TTNA dengan tuntunan ultrasonografi yang diharapkan adalah 90%. Bila dapat diterima penyimpangan (d) untuk sensitivitas sebesar 10%. Interval kepercayaan 95% (α=0.05; z=1,96). Untuk uji sensitivitas diperlukan sampel minimal:

Dimana:

N = besar sampel penelitian

sen = sensitivitas alat yang diinginkan, yaitu = 90% (0,9)

1-sen = 1-sen, yaitu 0,1

d = presisi penelitian yaitu 20%

= derivat baku alpha, yaitu 1,96

P = prevalensi kanker paru yang di opname di RSUP HAM 2014, yaitu 0,21

Sehingga,

N = (1,96)2 x 0,9 x 0.1

Jadi besar sampel minimal yang dibutuhkan adalah sebesar subyek yang didiagnosis positif kanker paru dengan pemeriksaan sitologi diagnostik, histopatologi,

 N = 41 orang

(3)

3.4 Definisi Operasional

1. Kanker paru adalah penyakit keganasan pada paru baik yang berasal dari jaringan paru sendiri (kanker primer) atau yang berasal dari organ lain yang bermetastasis ke paru (kanker sekunder) yang ditegakkan berdasarkan gejala klinis intrapulmonal (batuk, batuk darah, nyeri dada, sesak napas), dengan faktor risiko untuk kanker paru dengan adanya riwayat paparan inhalasi jangka panjang dari bahan karsinogenik, pemeriksaan foto toraks, CT-scan toraks. 2. Umur penderita adalah lamanya hidup penderita sampai dengan datang ke

bagian paru RSUP H. Adam Malik sesuai dengan gelang tangan pasien.

3. Jenis kelamin adalah jenis kelamin yang membedakan pasien atas laki-laki dan perempuan sesuai dengan gelang pasien.

4. Jumlah konsumsi rokok dinyatakan dengan indeks brinkman (IB), yaitu rerata konsumsi rokok per hari dikalikan dengan lamanya merokok dalam tahun, diklasifikasikan menjadi:

a. IB < 200 : ringan b. IB 200 – 600 : sedang c. > 600 : berat

5. Transthoracic needle aspiration (TTNA) adalah tindakan diagnsotik dengan teknik pengambilan sampel secara perkutan dari tumor yang melalui dinding dada, parenkim paru, dan mediastinum untuk keperluan pemeriksaan sitologi, histopatologi, dan mikrobiologi.

6. Interpretasi sitologi TTNA adalah hasil sitologi yang dibacakan oleh ahli

patologi anatomi dimana pembagiannya: C1 (tidak representatif), C2 (benign), C3(atypical), C4(suspicious of malignancy), C5(malignant).

7. Sensitivitas adalah kemampuan suatu pemeriksaan untuk menghasilkan hasil

positif pada pasien yang positif menderita suatu penyakit

8. Spesifisitas adalah kemampuan suatu pemeriksaan untuk menghasilkan hasil

negatif pada pasien yang tidak menderita suatu penyakit

9. Positive predictive value (PPV) adalah besarnya kemungkinan hasil pemeriksaan

yang positif adalah benar-benar positif menderita suatu penyakit

10. Negative predictive value (NPV) adalah besarnya kemungkinan hasil pemeriksaan yang negatif adalah benar-benar tidak menderita suatu penyakit.

(4)

11. Variabel prediktor pada penelitian ini adalah hasil pemeriksaan TTNA dengan

tuntunan USG dengan skala variabel nominal.

12. Variabel outcome dari penelitian ini adalah reference standard yaitu hasil

pemeriksaan sitologi diagnostik atau histopatologi atau clinical and radiological follow up dengan variabel nominal. Setiap sampel pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan foto toraks, CT scan toraks, Bronkoskopi (bilasan, BAL dan sikatan), sitologi sputum, biopsi aspirasi jarum halus KGB (kelenjar getah bening), TTNA dengan tuntunan USG toraks, dalam upaya penegakan diagnosis akhir sampel tersebut.

13. Komplikasi adalah penyakit yang baru timbul sebagai akibat tindakan TTNA.

Komplikasi yang dinilai pada penelitian ini adalah pneumotoraks dan hemoptisis

3.5 Standar Operasional Prosedur Pelaksanaan TTNA dengan tuntunan USG di RSUP HAM Medan

3.5.1 Persiapan alat

1. Alat tulis untuk mencatat data dan komputer untuk mengolah dan memroses data

2. Spinocaine no.25 gauge 3. USG dengan tipe Sonix 01

Merek: Ultrasonix Medical Corporation S/N: SX1.1-0809.1841 Kalibrasi ulang: Februari 2015

4. Aparatus instilasi lidokain.

5. Asesori tindakan TTNA dengan tuntunan USG 6. Mikroskop merek Olympus BX51

7. Objek glass

8. Pewarnaan Papanicolaou. 9. Pulse oxymeter merek Elitech

10. Sumber O2 dan aparatusnya (nasal kanul)

11. Obat–obat emergensi: adrenalin inj, dexamethasone inj, SA inj 12. Alat–alat infus.

(5)

3.5.2 Persiapan Pasien

1. Persetujuan dan ijin tindakan TTNA dari pasien dan diketahui keluarga terdekat dengan saksi petugas paramedis/medis, setelah diberi penjelasan tentang tindakan dan tujuan pemeriksaan serta komplikasinya.

2. Foto toraks PA dan lateral (terbaru), CT-scan toraks, 3. Pemeriksaan spirometri

4. EKG terbaru

5. Laboratorium (darah rutin, faal hemostasis, analisa gas darah arteri).

3.5.3. Cara Kerja pelaksanaan TTNA dengan tuntunan USG Toraks dan pemeriksaan sitologi

1. Pasien yang dipersiapkan merupakan pasien dengan gejala kanker paru dan pemeriksaan penunjang foto toraks dan CT-scan toraks mengarah ke kanker paru

2. Tindakan TTNA dilakukan oleh dokter spesialis paru konsultan onkologi 3. USG toraks sebagai tuntunan untuk tindakan TTNA dilakukan oleh

dokter spesialis radiologi konsultan radiologi toraks

4. Persiapan pasien dilakukan di ruang persiapan dengan memeriksa keadaan umum pasien serta tanda–tanda vital pasien.

5. Oksimeter ditempelkan pada jari telunjuk kanan/kiri, oksigen kanula nasal dengan arus 3 – 4 liter/menit menit

6. Dilakukan tindakan TTNA dengan tuntunan USG dengan spinocaine 25 gauge ke target sambil keadaan umum pasien dan tanda-tanda vital tetap diamati.

7. Dilakukan pemeriksaan sitologi dan penilaian aspirat TTNA

8. Dilakukan evaluasi ada tidaknya pneumotoraks segera setelah tindakan TTNA dengan USG toraks

(6)

3.6 Alur Penelitian

3.7 Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan secara manual. Data disusun ke dalam data induk, kemudian dibuat tabel pengelompokan sesuai dengan tujuan penelitian. Perhitungan tabel juga dilakukan secara manual.

Penilaian hasil aspirat oleh ahli patologi anatomi

Konfirmasi keganasan

Pasien dengan gambaran klinis kanker paru (batuk, batuk darah, nyeri dada, sesak napas),ada riwayat paparan karsinogenik,

Pemeriksaan penunjang foto toraks dengan gambaran masa paru, CT-scan toraks dengan

masa paru

Indikasi untuk TTNA dengan tuntunan USG Toraks

Informed consent kepada pasien dan

Prosedur TTNA dengan tuntunan USG Toraks dengan menggunakan jarum spinocaine no 25 gauge

(7)

3.8 Analisis data

Data hasil pemeriksaan TTNA dengan tuntunan USG dan reference standard yang telah terkumpul ditabulasi dan dimasukkan ke tabel 2x2. Dari tabel 2x2 kemudian dilakukan penghitungan untuk mencari sensitivitas, spesifisitas, positive predictive value, dan negative predictive value dari pemeriksaan TTNA dengan tuntunan USG dalam mendiagnosis kanker paru.

Tabel . Tabel 2x2 Reference standard (+) kanker paru (-) kanker paru Hasil pemeriksaan TTNA dengan tuntunan USG (+) Kanker paru (-) Kanker paru Rumus perhitungan: - Sensitivitas = a / (a+c) - Spesifitas = d / (b+d)

- Positive predictive value = a /(a+b) - Negative predictive value = d/(c+d)

(8)

3.9 Etika Penelitian

Sebelum dilakukan pengumpulan data terhadap subyek penelitian, peneliti mengajukan ethical clearance terlebih dahulu kepada Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) Fakultas Kedokteran USU, Medan.

3.10 Jadual Penelitian Jadual penelitian Feb 15 Mar 15 Apr 15 Mei 15 Jun 15 Jul 15 Agt 15 Spt 15 Okt 15 Nov 15 Des 15 Jan 16 Feb 16 Pembuatan proposal Ujian proposal Ethical Clearance Sampling Mengumpulkan data Pengolahan data Analisis data Menulis laporan Menulis artikel

(9)

3.11 Perkiraan Biaya Penelitian

a. Pengumpulan kepustakaan Rp. 1.000.000,- b. Pembuatan proposal Rp. 1.000.000,- c. Seminar proposal Rp. 1.000.000,- d. Bahan dan alat pendukung penelitian Rp. 30.000.000,- e. Seminar hasil penelitian

Jumlah Rp. 34.000.000,-

(10)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Pengumpulan data penelitian ini dilakukan selama satu tahun (Februari 2015 s/d Februari 2016), melibatkan 46 sampel yang diambil secara consecutive dengan rerata umur 54,76 serta mayoritas laki-laki 35 orang (76,1%). Kelompok umur terbanyak adalah 51-60 tahun yaitu sebanyak 32,6%, diikuti oleh kelompok umur 61-70 tahun sebanyak 30,4%. Diagnosis akhir sampel didominasi oleh kanker paru sebanyak 33 orang (71,7%) (Tabel 4.1).

Tabel 4.1 Karakteristik sampel

Variabel Frekuensi % Jenis kelamin Laki-laki 35 76,1 Perempuan 11 23,9 Umur 18-30 tahun 4 8,7 31-40 tahun 1 2,2 41-50 tahun 10 21,7 51-60 tahun 15 32,6 61-70 tahun 14 30,4 71-80 tahun 2 4,3

Rerata umur (tahun) 54,76

Diagnosis akhir

Kanker paru 33 71,7

Bukan kanker paru 13 28,3

Tumor mediastinum 12 26,1

Tumor dinding dada 1 2,2

Riwayat merokok

Tidak merokok 9 19,6

(11)

Riwayat merokok pada sampel penelitian ini dikategorikan sesuai dengan Indeks Brinkman dan diperoleh yang tidak merokok ada sembilan orang (19.6%), sementara sampel dengan Indeks Brinkman ringan, sedang, dan berat adalah 4 (8.7%), 13 (28.3%), dan 20 (43.5%) secara berturut-turut (Tabel 4.2).

Tabel 4.2 Indeks Brinkman

Indeks Brinkman Frekuensi %

Ringan 4 8.7

Sedang 13 28.3

Berat 20 43.5

Hasil aspirat dari tindakan TTNA dengan tuntunan USG toraks yang diperiksakan ke Patologi Anatomi diklasifikasikan menurut WHO menjadi inadekuat (C1), benign (C2), atypical (C3), kecurigaan maligna (C4), dan malignansi (C5). Pada penelitian ini dijumpai C1, C2, C3, C4, dan C5 adalah 7 (15,2%), 6 (13%), 1 (2,2), 2 (4,3%), dan 30 (65,2%) secara berturut-turut (Tabel 4.3).

(12)

Tabel 4.3 Kategori sitologi TTNA pada seluruh sampel

Kategori sitologi TTNA Frekuensi %

C1 Inadekuat 7 7 15,2 15,2 C2 Benign smear Inflammatory smear Abses Kista jinak Timoma Teratoma 6 1 1 1 1 1 1 13 2,2 2,2 2,2 2,2 2,2 2,2 C3 Atipikal 1 1 2,2 2,2 C4 Adenokarsinoma Suspicious Malignant 2 1 1 4,3 2,2 2,2 C5 Malignant smear Adenokarsinoma

Karsinoma sel skuamosa Neuroendocrine tumor Non Hodgkin Lymphoma Germ Cell Tumor

Hodgkin Lymphoma Seminoma 30 3 17 5 1 1 1 1 1 65,2 6,5 37 10,9 2,2 2,2 2,2 2,2 2,2 Total 46 100

(13)

Hasil aspirat dari tindakan TTNA dengan tuntunan USG toraks pada sampel dengan diagnosis akhir kanker paru (33 dari 46 sampel) adalah 6 (18,2%), 3 (9,1%), 1 (3%), 2 (6,1%), dan 21 (63,6%) untuk C1, C2, C3, C4, dan C5 secara berturut-turut (Tabel 4.4).

Tabel 4.4 Kategori sitologi TTNA pada sampel kanker paru

Kategori sitologi TTNA pada

sampel kanker paru Frekuensi %

C1 Inadekuat 6 6 18,2 18,2 C2 Benign smear Inflammatory smear Abses 3 1 1 1 9,1 3,0 3,0 3,0 C3 Atipikal 1 1 3,0 3,0 C4 Adenokarsinoma Suspicious Malignant 2 1 1 6,1 3,0 3,0 C5 Adenokarsinoma

Karsinoma sel skuamosa Neuroendocrine tumor 21 15 5 1 63,6 45,4 15,1 3,0 Total 33 100

(14)

Pada sampel diagnosis akhir kanker paru (33 dari 46 sampel), jenis sel yang didapatkan adalah adenokarsinoma sebanyak 22 kasus (66,7%), karsinoma sel skuamosa 8 kasus (24,2%), tumor neuroendokrin 2 kasus (6,1%), sementara pada satu sampel jenis selnya belum dapat ditentukan. (Tabel 4.5).

Tabel 4.5 Jenis sel pada sampel dengan diagnosis akhir kanker paru

Jenis sel Frekuensi

N %

Adenokarsinoma 22 66,7

Karsinoma sel skuamosa 8 24,2

Tumor neuroendokrin 2 6,1

Belum dapat ditentukan 1 3

Total 33 100

Staging pada sampel kanker paru ditentukan berdasarkan TNM Classification Seventh Edition dan pada penelitian ini yang terbanyak yaitu sebanyak 23 sampel (69,7%) adalah stage IV, stage IIIB sebanyak 4 sampel (12,1%), dan stage IIIA sejumlah 6 sampel (18,2%) (Tabel 4.6).

Tabel 4.6 Staging pada sampel diagnosis akhir kanker paru

Staging Frekuensi (n, %)

IIIA 6 18,2

IIIB 4 12,1

IV 23 69,7

(15)

Pada penelitian ini dilakukan USG toraks untuk membantu menentukan gambaran lesi dan menentukan lokasi insersi, dari 46 sampel tampilan lesinya adalah berupa lesi solid pada 35 sampel (54.3%), berupa lesi heterogen pada 9 sampel (19.6%), berupa lesi anekoik pada 2 sampel (4.3%). (gambar 4.1 s/d 4.5)

Gambar 4.1 Contoh lesi solid hasil USG di dinding dada anterior kiri

Gambar 4.2 Contoh lesi hipoekoik (solid) hasil USG di dinding dada anterior kanan, LMKD ICS 4

Gambar 4.3 Contoh lesi heterogen hasil USG di dinding dada anterior kiri parasternal

Gambar 4.4 Contoh lesi anekoik (kistik) hasil USG di dinding dada anterior kanan parasternal

Gambar 4.5 Contoh lesi isoekoik (solid) hasil USG di dinding dada sisi kanan (pasien dimiringkan ke kiri)

(16)

Saat dilakukan insersi jarum TTNA, dilakukan pengukuran kedalaman insersi jarum dari dinding dada menggunakan USG dan diperoleh reratanya adalah 3.58 cm dengan jarak terpendek adalah 1.4 cm dan jarak terpanjang adalah 6 cm.

Lokasi dan posisi pasien saat dilakukan insersi jarum TTNA dengan tuntunan USG toraks disesuaikan dengan letak lesi intra torakal. Pada penelitian ini, pada tiga sampel posisi tidur dimiringkan ke kanan dan jarum diinsersikan di dinding dada lateral kiri; pada dua sampel posisi tidur dimiringkan ke kiri dan jarum diinsersikan ke dinding dada lateral kanan; pada tiga sampel posisi telungkup (prone) dan jarum diinsersikan subskapula; serta pada 38 sampel posisi telentang (supine) dan jarum diinsersikan ke dinding anterior dada.

Data hasil pemeriksaan TTNA dengan tuntunan USG dan reference standard yang telah terkumpul ditabulasi dan dimasukkan ke tabel 2x2. Dari tabel 2x2 kemudian dilakukan penghitungan untuk mencari sensitivitas, spesifitas, positive predictive value, dan negative predictive value dari pemeriksaan TTNA dengan tuntunan USG dalam mendiagnosis kanker paru.

Dari 46 sampel yang dilakukan TTNA dengan tuntunan USG toraks, hanya 33 sampel yang diikutkan ke dalam tabel 2x2, sementara 13 sampel tidak diikutkan dalam analisis tabel 2x2 dengan beberapa alasan yaitu: hasil TTNA tidak adekuat (C1) sebanyak 7 sampel, atypical smear (C3) 1 sampel, C4 tanpa jenis sel 1 sampel, dan C5 tanpa jenis sel 3 sampel, serta jenis sel diagnosis akhir kanker paru belum dapat ditentukan pada 1 sampel. (Tabel 4.7)

Pada 33 sampel yang diikutkan ke dalam tabel 2x2, terdapat 24 sampel dengan diagnosis akhir kanker paru dan sisanya 9 sampel bukan kanker paru. Pada 24 sampel kanker paru dasar penentuan diagnosis akhirnya adalah: 9 sampel berdasarkan CT Scan Toraks didukung sitologi dari BAL dan atau Brushing serta TTNA (no. 2, 16, 19, 22, 24, 30, 36, 38, 39, dan 41); 4 sampel berdasarkan CT Scan Toraks didukung sitologi BAL dan atau Brushing (no. 10, 13, 18, dan 20); 2 sampel berdasarkan CT Scan Toraks didukung dengan tampak massa pada pemeriksaan Bronkoskopi, serta TTNA (no 5, dan 26); 8 sampel berdasarkan CT Scan Toraks dan sitologi TTNA (no. 8, 14, 21, 25, 28, 29, 31, dan 40) (Tabel 4.7)

(17)

Dari 33 sampel yang diikutkan ke dalam tabel 2x2, 9 sampel didiagnosis akhir sebagai bukan kanker paru, dan seluruhnya adalah tumor mediastinum, dasar penentuan diagnosis akhirnya adalah: 6 sampel berdasarkan CT Scan Toraks didukung sitologi TTNA (no. 6, 11, 23, 27, 37, 45); 3 sampel berdasarkan CT Scan Toraks dan tampilan bronkoskopi serta clinical and radiological follow up (no. 32, 34, dan 43).

Tabel 4.7 Dasar penegakan diagnosis akhir seluruh sampel

No Diagnosis Akhir Dasar Diagnosis Akhir Ikut 2x2

Alasan tidak diikutkan di tabel 2x2

1 tumor mediastinum

CT Scan Toraks tidak ikut TTNA C5 malignant

smear 2 kanker paru CT Scan Toraks + Brushing C5 SCC ikut

3 tumor dinding dada

CT Scan toraks tidak ikut TTNA C1

4 kanker paru CT Scan Toraks + BAL C4 Adeno tidak ikut TTNA C4 malignant smear

5 kanker paru CT Scan Toraks + Massa di LAKA & LMKA + TTNA C5 Adeno

ikut

6 tumor mediastinum

CT Scan Toraks + TTNA C2 Teratoma ikut

7 kanker paru CT Scan Toraks + Brushing C4 Adeno tidak ikut TTNA C1 8 kanker paru CT Scan Toraks + Stenosis infiltratif dan mudah berdarah

yg menutupi hampir total buka + TTNA C5 Adeno

ikut

9 kanker paru CT Scan Toraks + Brushing C5 Adeno tidak ikut TTNA C1 10 kanker paru CT Scan Toraks + massa infiltratif menutupi total B2

kanan + Brushing C4 Adeno

ikut 11 tumor

mediastinum

CT Scan Toraks + Bronkoskopi stenosis kompresif + TTNA C5 NHL

ikut

12 kanker paru CT Scan Toraks + Brushing C5 Adeno tidak ikut TTNA C1 13 kanker paru CT Scan Toraks + BAL C5 SCC + Brushing C5 SCC ikut

14 kanker paru CT Scan Toraks + TTNA C5 Adeno ikut

15 kanker paru CT Scan Toraks + Brushing C5 SCC tidak ikut TTNA C1 16 kanker paru CT Scan Toraks + massa nekrotik menutup total B8,9,10

+ BAL C5 SCC + TTNA C5 SCC

ikut

17 kanker paru CT Scan Toraks + Brushing C5 Adeno tidak ikut TTNA C1 18 kanker paru CT Scan Toraks + BAL C5 Adeno + Brushing C5 Adeno ikut

19 kanker paru CT Scan Toraks + Brushing C5 Adeno + TTNA C5 Adeno ikut

20 kanker paru CT Scan Toraks + massa infiltratif menutupi total laki + BAL C5 SCC + Brushing C5 SCC

ikut 21 kanker paru CT Scan Toraks + TTNA C5 Neuroendocrine tumor ikut 22 kanker paru CT Scan Toraks + massa infiltratif dengan mukosa

compang-camping di upper div dan stenosis infiltratif di lbki + BAL C5 Adeno + Brushing C5 Adeno + TTNA C5 Adeno

ikut

23 tumor mediastinum

CT Scan Toraks + Bronkoskopi stenosis kompresif + TTNA C5 GCT

ikut

24 kanker paru CT Scan Toraks + Brushing C5 Adeno + TTNA C5 Adeno ikut

25 kanker paru CT Scan Toraks + TTNA C5 Adeno ikut 26 kanker paru CT Scan Toraks + massa infiltratif yang menutupi total

lingula + TTNA C5 Adeno

ikut 27 tumor CT Scan Toraks + FNAB C5 HL + TTNA C5 HL ikut

(18)

mediastinum

28 kanker paru CT Scan Toraks + TTNA C5 SCC ikut 29 kanker paru CT Scan Toraks + TTNA C5 SCC ikut 30 kanker paru CT Scan Toraks + massa nekrotik yang menutupi total orif

LAKA + Brushing C5 Adeno + TTNA C5 Adeno

ikut 31 kanker paru CT Scan Toraks + TTNA C4 Adeno ikut 32 tumor

mediastinum

CT Scan Toraks + Bronkoskopi stenosis kompresif ikut 33 tumor

mediastinum

CT Scan Toraks + Bronkoskopi stenosis kompresif tidak ikut TTNA C5 malignant smear

34 tumor mediastinum

CT Scan Toraks + Bronkoskopi stenosis kompresif ikut

35 kanker paru CT Scan Toraks + Clinical and radiological follow-up tidak ikut Diagnosis akhir kanker paru tidak ada jenis sel

36 kanker paru CT Scan Toraks + massa di bronkus utama kanan + Brushing C5 Adeno + TTNA C5 Adeno

ikut 37 tumor

mediastinum

CT Scan Toraks + Bronkoskopi stenosis kompresif + TTNA C5 Seminoma

ikut

38 kanker paru CT Scan Toraks + Brushing C5 Adeno + TTNA C5 Adeno ikut

39 kanker paru CT Scan Toraks + Brushing C5 Adeno + TTNA C5 Adeno ikut

40 kanker paru CT Scan Toraks + TTNA C5 SCC ikut 41 kanker paru CT Scan Toraks + Brushing C5 Adeno + TTNA C5 Adeno ikut

42 kanker paru CT Scan Toraks + FNAB Sup. C5 Adeno tidak ikut Sitologi TTNA C3 43 tumor

mediastinum

CT Scan Toraks + Bronkoskopi stenosis kompresif ikut 44 tumor

mediastinum

CT Scan Toraks + Bronkoskopi stenosis kompresif tidak ikut TTNA C5 malignant smear

45 tumor mediastinum

CT Scan Toraks + Bronkoskopi stenosis kompresif + TTNA C2 Timoma

ikut

46 kanker paru CT Scan Toraks + Brushing C5 Adeno tidak ikut TTNA C1

(19)

Tabel 4.7 Tabel 2x2 Diagnosis akhir TTNA Kanker paru Bukan kanker paru Total Kanker paru 22 2 24

Bukan kanker paru 2 7 9

Total 24 9 33

Sensitivitas 91,6%

Spesifisitas 77,7%

PPV 91,6%

NPV 77,7%

Dari 33 sampel yang diikutkan dalam tabel 2x2, didapatkan sensitivitas dan spesifisitas TTNA dengan tuntunan USG adalah 91,6% dan 77,7%. Dijumpai positif palsu pada 2 dari 33 kasus (6,06%).

Dari seluruh sampel yang dilakukan TTNA dengan tuntunan USG, tidak dijumpai komplikasi pasca tindakan, seperti pneumotoraks ataupun hemoptisis.

4.2 Pembahasan

Penelitian ini melibatkan 46 sampel penelitian. Semua sampel penelitian terlebih dahulu menyetujui informed consent yang diberikan. Dari seluruh sampel didapat jumlah laki-laki adalah mayoritas, yakni 35 orang (76.1%). Beberapa penelitian sejenis sebelumnya (Prasad et al, 1994; Sheth et al, 1999; Kalhan et al, 2012; Ferretti et al, 2013) (Tabel 4.8), pada pasien yang dilakukan TTNA, juga mendapatkan jumlah laki-laki lebih banyak dari pada perempuan. Prasad R et al (1994) melakukan penelitian pada 58 pasien yang dilakukan tindakan TTNA, dan didapati sampel laki-laki adalah mayoritas, yakni sejumlah 48 orang (82.75%). Shet S et al (1999) meneliti pasien-pasien yang dilakukan TTNA dengan tuntunan USG, dari 84 pasien-pasien yang diteliti, 46 orang (54.76%) diantaranya adalah laki-laki. Kalhan S et al (2012) melakukan TTNA dengan tuntunan USG pada 113 pasien dan 61 orang (53.98%) adalah laki-laki. Ferretti

(20)

GR et al (2013) meneliti 91 pasien yang dilakukan TTNA dan 63 orang (69.23%) diantaranya adalah laki-laki.

Tabel 4.8 Penelitian TTNA sebelumnya

Peneliti Persentase sampel

laki-laki

Prasad R et al 82.75%

Shet S et al 54.76%

Kalhan S et al 53.98%

Farretti GR et al 69.23%

Berdasarkan data Surveillance, Epidemiology, and End Results (SEER) (2009-2013), insidens kanker paru yang terjadi di seluruh ras atau etnis di dunia lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan, yaitu 67,9 per 100.000 pada laki-laki dan 49,4 per 100.000 pada perempuan (National Cancer Institute, 2016). Data dari Rumah Sakit Kanker Dharmais (RSKD) Jakarta (1993-2007) juga menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda dimana laki-laki (79,65%) lebih banyak dari pada perempuan (20,35%). (Ramadhaniah, Rahayu, dan Suzanna, 2015). Karena banyaknya populasi penderita kanker paru pada laki-laki sehingga laki-laki yang terindikasi untuk dilakukan TTNA lebih besar dibandingkan dengan perempuan.

Selain jenis kelamin laki-laki, faktor lain yang telah teridentifikasi meningkatkan risiko terjadinya kanker paru adalah usia lebih dari 40 tahun dan perokok.(Jusuf et al, 2016) Pada penelitian ini rerata umur seluruh sampel adalah 54.76 ± 12.89 tahun dan rerata umur pada kelompok kanker paru adalah 60.13 ± 7.42 tahun.

Hasil ini tidak berbeda jauh dengan penelitian sejenis sebelumnya. Solak et al (2001) melakukan TTNA pada lesi di toraks dan mendapatkan dari 102 sampel rerata umurnya adalah 50 ± 6.5 tahun. Hassan (2010) juga mendapatkan hasil yang hampir sama dimana rerata umur sampel dalam penelitiannya adalah 60.14 tahun. Artinya bahwa usia tua merupakan salah satu faktor risiko terjadi kanker paru, risiko mendapat kanker paru meningkat seiring dengan bertambahnya usia.

(21)

Tabel 4.9 menunjukkan hubungan antara risiko mendapat kanker paru dan bertambahnya usia. (Howlader et al, 2015)

Tabel 4.9 Hubungan antara usia dengan risiko kanker paru

Usia sekarang 10 tahun 20 tahun 30 tahun 30 0.02 0.16 0.82 40 0.14 0.81 2.58 50 0.69 2.51 5.34 60 1.96 5.01 7.04 70 3.57 5.93 N/A

(Sumber: Howlader et al, 2015)

Dari tabel di atas ditampilkan bahwa risiko mendapat kanker paru meningkat dengan bertambahnya usia. Sebagai contoh, jika usia seseorang sekarang adalah 60 tahun, tabel menunjukkan angka 1,96 %, itu bermakna bahwa dalam rentang waktu 10 tahun ke depan, 1,96% dari populasi yang berusia 60 tahun akan menderita kanker paru. (Howlader et al, 2015)

Faktor risiko yang sering dikaitkan dengan kejadian kanker paru adalah merokok. Konsumsi merokok diklasifikasikan dengan Indeks Brinkman. Dijumpai Indeks Brinkman (IB) pada sampel penelitian ini adalah berat (43.5%), sedang (28.3%), ringan (8.7%), dan tidak merokok (19.6%). Berbagai literatur (American Lung Association, 2016; CDC, 2015) telah menunjukkan bahwa berbagai jenis bahan yang dikandung asap rokok itu bersifat karsinogen. Secara epidemiologis juga terlihat kaitan kuat antara kebiasaan merokok dengan insidens kanker paru. Dimana diperkirakan seorang perokok memiliki risiko 15 sampai 25 kali lebih besar untuk mendapat kanker paru dibandingkan dengan yang tidak pernah merokok. (CDC, 2015) Keterkaitan rokok dengan kasus kanker paru diperkuat dengan data bahwa risiko seorang perempuan perokok pasif akan terkena kanker paru lebih tinggi daripada mereka yang tidak terpajan asap rokok. (Jusuf et al, 2016)

(22)

Hasil aspirat dari tindakan TTNA dengan tuntunan USG toraks yang diperiksakan ke Patologi Anatomi diklasifikasikan menurut WHO menjadi inadekuat (C1), benign (C2), atypical (C3), kecurigaan maligna (C4), dan malignansi (C5). Pada penelitian ini dijumpai C1, C2, C3, C4, dan C5 adalah 7 (15,2%), 6 (13%), 1 (2,2), 2 (4,3%), dan 30 (65,2%) secara berturut-turut. Persentase hasil aspirat dengan kategori inadekuat (C1) pada penelitian ini yang sejumlah 7 sampel (15,2%) relatif lebih besar dibandingkan dengan penelitian sejenis. Seperti yang dilakukan oleh Solak et al (2001) melakukan tindakan TTNA pada 102 kasus, dan dijumpai sediaan tidak representatif hanya pada 3 sampel (0.02%). Keberhasilan mendapatkan sediaan yang representatif dipengaruhi oleh banyak faktor seperti: diameter jarum, penuntun tindakan TTNA (USG, CT Scan, atau Fluoroskopi), diameter lesi, adanya nekrosis atau fibrosis atau peradangan di lesi, dan faktor operator tindakan TTNA. (Prasad et al, 1994; Sheth et al, 1999; Kalhan et al, 2012)

Pada kelompok kanker paru, TTNA menghasilkan jenis sel pada 22 dari 33 sampel. Dari 22 sampel tersebut, 16 orang (72,7%) adalah adenokarsinoma, 5 orang (22,7%) adalah karsinoma sel skuamosa, dan satu orang (4,5%) adalah tumor neuroendokrin. Penelitian ini mendapatkan bahwa jenis sel kanker paru yang terbanyak adalah adenokarsinoma. Penelitian sejenis yang mendapatkan adenokarsinoma sebagai jenis sel kanker paru terbanyak adalah Tan et al (2002) melakukan tindakan TTNA dan diperoleh hasil adenokarsinoma 49.4%, karsinoma sel skuamosa 16%, karsinoma sel besar 2.7%, dan adenokarsinoma metastasis 4%. Hasil ini berbeda dengan penelitian Saha A et al (2009) yang melakukan TTNA terhadap 57 orang dan mendapatkan mayoritas adalah karsinoma sel skuamosa 42.6% diikuti oleh adenokarsinoma sebanyak 29.6%. Sementara Sing, Garg, dan Setia (2004) mendapatkan hasil dengan jumlah yang sama kedua jenis sel, yakni adenokarsinoma 22.2% dan karsinoma sel skuamosa juga 22.2%. Penelitian ini mendapatkan bahwa jenis sel kanker paru yang terbanyak adalah adenokarsinoma. Hal ini dapat dikaitkan dengan pemilihan sampel penelitian ini yakni pada lesi di foto toraks maupun CT scan toraks yang tampak sebagai lesi di perifer. Kanker paru jenis adeno karsinoma mayoritas dijumpai pada lesi perifer (Litzky, 2008; Heighway, 2004 ).

(23)

Dalam berbagai literatur,(Taviad et al, 2014; Pedersen, Aasen, dan Gulsiva, 1986; Kalhan et al, 2012; Begum et al, 2010; Knudsen et al, 1996) dilaporkan metode TTNA memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang cukup baik dalam menegakkan diagnosis lesi torakal, angkanya bervariasi dengan sensitivitas 62 – 95% dan spesifisitas 95 – 100%. Pada penelitian ini, diperoleh sensitivitas TTNA adalah 91,6% dan spesifisitas sebesar 77,7%. Nilai duga positif 91,6% dan nilai duga negatif 77,7%. Taviad et al (2014) melakukan transthoracic FNAC dengan tuntunan USG memakai lumbar puncture needle nomor 20 terhadap 31 pasien yang diduga menderita lesi toraks maligna dari klinis dan radiologis. Hasilnya, 28 kasus adalah kanker paru, dua kasus adalah lesi inflamasi, dan satu kasus sampelnya tidak adekuat. Didapatkan akurasinya 95%, sensitivitasnya 96,55%, dan spesifisitasnya 100%. Pedersen, Aasen, dan Gulsiva (1986) melakukan fine needle aspiration biopsy dengan tuntunan USG memakai ultrathin 0,6 mm thick needle terhadap 42 pasien yang diduga menderita massa intra toraks yang menempel ke dinding dada berdasarkan klinis dan radiologis. Diperoleh success rate pada 18 dari 23 lesi paru dan 16 dari 19 lesi mediastinal. Kalhan et al (2012) melakukan transthoracic fine needle aspiration cytology dengan tuntunan USG memakai lumbar punture needle nomor 23 terhadap pasien yang diduga menderita lesi di intra torakal. Didapatkan akurasinya 66,7%, sensitivitas 91,3%, dan spesifisitas 100%. Begum et al (2010) melakukan transthoracic FNAC dengan tuntunan USG memakai jarum spinal no 20 panjang 8 cm terhadap 98 pasien yang diduga menderita lesi intra torakal. Diperoleh akurasinya 93,8% dan sensitivitas 92,7%. Knudsen et al (1996) melakukan percutaneous fine-needle aspiration dengan tuntunan USG memakai jarum jenis aspiration needle terhadap 128 pasien yang mempunyai lesi intra torakal. Didapatkan sensitivitasnya 95% dan spesifisitasnya juga 95%. Yang et al (1992) melakukan transthoracic fine-needle aspiration dengan tuntunan USG menggunakan jarum jenis aspiration needle terhadap 120 pasien yang mempunyai lesi intra torakal. Diperoleh sensitivitasnya 62% dan spesifisitasnya 100%. Targhetta et al (1993) melakukan transthoracic biopsy dengan tuntunan USG memakai jarum jenis aspiration biopsy needle terhadap 64 pasien yang mempunyai lesi intra torakal. Didapatkan sensitivitasnya 91% dan spesifisitasnya 100%. Nilai sensitivitas dan spesifisitas pada penelitian ini relatif lebih rendah dibandingkan dengan penelitian sejenis sebelumnya. Salah satu faktor yang dapat berpengaruh adalah diameter jarum yang digunakan untuk

(24)

TTNA. Dalam penelitian ini digunakan spinocaine 25 gauge dimana jenis jarum ini lebih kecil diameternya dibandingkan dengan jarum yang digunakan pada penelitian yang lain dimana ini dapat berpengaruh terhadap adekuasi aspirat untuk pemeriksaan sitologi. Faktor lain mungkin berpengaruh adalah penuntun tindakan TTNA (USG, CT Scan, atau Fluoroskopi), diameter lesi, adanya nekrosis atau fibrosis atau peradangan di lesi, dan faktor operator tindakan TTNA. (Prasad et al, 1994; Sheth et al, 1999; Kalhan et al, 2012)

Komplikasi pasca tindakan TTNA yang mungkin terjadi antara lain pneumotoraks dan hemoptisis. Dilaporkan kejadian pneumotoraks pasca tindakan TTNA sekitar 20-35%, walaupun hanya 5% pasien yang membutuhkan pemasangan selang dada. (Hoffmann, Mauer, dan Vokes, 2000). Solak et al (2001) mendapatkan komplikasi terbanyak pasca tindakan TTNA menggunakan jarum nomor 18-22 gauge Chiba adalah pneumotoraks, dimana hal ini terjadi pada 10 kasus (9,8%), dan hanya empat kasus yang membutuhkan pemasangan selang dada. Komplikasi lain adalah hemoptisis pada 9 kasus (8,8%) dan perdarahan pada satu kasus (0,9%). Knudsen et al (1996) melaporkan kejadian pneumotoraks pasca tindakan TTNA dengan tuntunan USG sebesar 3,7%. Yang et al (1992) melaporkan kejadian pneumotoraks pasca tindakan TTNA dengan tuntunan USG menggunakan jarum nomor 22 gauge sebanyak dua dari 149 pasien (1,3%). Namun tidak ada yang membutuhkan tindakan aspirasi ataupun pemasangan selang dada. Tidak dijumpai kejadian hemoptisis. Targhetta et al (1993) melaporkan kejadian pneumotoraks pasca tindakan TTNA dengan tuntunan USG sebanyak dua dari 64 kasus. Pada penelitian ini tidak dijumpai kejadian pneumotoraks ataupun hemoptisis. Hal ini mungkin berkaitan dengan pemilihan jarum nomor 25 gauge yang lebih kecil dari penelitian-penelitian sebelumnya dan seluruh lesi menempel ke pleura parietal.

Kelemahan penelitian ini adalah bahwa tuntunan USG toraks tidak menampilkan secara langsung apakah jarum untuk tindakan TTNA telah berada di dalam lesi dan tepat berada di lokasi yang diinginkan. Hal ini dikarenakan tidak tersedianya peralatan USG toraks yang diperlengkapi dengan paket peralatan melakukan tindakan TTNA.

(25)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

1. Jenis kelamin terbanyak dalam penelitian ini adalah laki-laki (76,1%)

2. Rerata umur sampel adalah 54,76 tahun dan terbanyak pada rentang 51-60 tahun (32,6%)

3. Kategori sitologi terbanyak hasil TTNA dengan tuntunan USG toraks adalah C5 (malignansi) sebanyak 65,2%

4. Nilai akurasi pemeriksaan TTNA dengan tuntunan USG toraks dalam mendiagnosis kanker paru adalah 87,87%

5. Nilai sensitivitas pemeriksaan TTNA dengan tuntunan USG toraks dalam mendiagnosis kanker paru adalah 91,6%

6. Nilai spesifisitas pemeriksaan TTNA dengan tuntunan USG toraks dalam mendiagnosis kanker paru adalah 77,7%

7. Positive predictive value pemeriksaan TTNA dengan tuntunan USG toraks dalam mendiagnosis kanker paru adalah 91,6%

8. Negative predictive value pemeriksaan TTNA dengan tuntunan USG toraks

dalam mendiagnosis kanker paru adalah 77,7%

9. Tidak dijumpai komplikasi seperti pneumotoraks ataupun hemoptisis pasca tindakan.

(26)

5.2 Saran

1. Melakukan penelitian sejenis menggunakan USG toraks yang telah diperlengkapi dengan paket peralatan melakukan tindakan TTNA, sehingga visualisasi insersi dapat dilakukan secara langsung.

2. Perlu dipertimbangkan penggunaan jarum dengan diameter yang lebih besar serta pemilihan sampel yang tidak terbatas pada lesi intra torakal yang menempel ke pleura parietal.

3. Evaluasi pneumotoraks pasca tindakan TTNA dengan tuntunan USG toraks menggunakan foto toraks

Gambar

Tabel . Tabel 2x2  Reference standard  (+) kanker  paru  (-) kanker paru  Hasil  pemeriksaan  TTNA dengan  tuntunan USG  (+)  Kanker paru  (-) Kanker paru  Rumus perhitungan:  -  Sensitivitas = a / (a+c)  -  Spesifitas = d / (b+d)
Tabel 4.5 Jenis sel pada sampel dengan diagnosis akhir kanker paru
Gambar 4.3 Contoh lesi  heterogen hasil USG di  dinding dada anterior kiri  parasternal
Tabel 4.9  menunjukkan hubungan antara risiko mendapat kanker paru dan  bertambahnya usia

Referensi

Dokumen terkait

Dengan adanya hal tersebut banyak para ilmuwan mencari solusi untuk menciptakan berbagai teknologi yang mampu mengurangi pencemaran udara yang ada, mulai dari

Sub DAS Belik telah beberapa kali terjadi banjir setiap hujan deras akibat dari luapan Kali Belik, bahkan pada akhir tahun 2012 terjadi luapan yang menggenangi rumah warga di

(1) Ijazah yang diperoleh PNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 21 huruf e adalah Surat Tanda Tamat Belajar atau ijazah yang diperoleh dari lembaga pendidikan negeri

1) Sumbangan kelincahan terhadap keterampilan dribbling pada permainan sepakbola. Kelincahan merupakan gerak dasar yang harus dimiliki oleh pemain sepakbola, kelincahan

Kearifan lokal yang terkandung pada rumah tradisional Sumatera Selatan masih relevan dengan kondisi saat ini dan dapat dipergunakan dalam pembangunan lingkungan

Worsening renal function in patients hospitalized for acute heart failure: clinical implications and prognostic significance.. EJHF [serial on

Jadi bisa anda lihat bahwa pada soal nomor 5 dan 7 me mpunyai hasil yang sama, sehingga dapat di simpulkan bahwa vie w dapat mena mpilkan ke mbali data yang sama dengan

o Hot Link Protection memungkinkan Anda untuk menentukan file dengan extension apa (misalnya .jpg) yang tidak dapat di-Direct Link oleh website lain (Direct Link = file