• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP DIRI REMAJA YANG BERASAL DARI KELUARGA BROKEN HOME (Studi Deskriptif di SMP Negeri 1 Pantai Cermin Kabupaten Solok) Oleh:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONSEP DIRI REMAJA YANG BERASAL DARI KELUARGA BROKEN HOME (Studi Deskriptif di SMP Negeri 1 Pantai Cermin Kabupaten Solok) Oleh:"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP DIRI REMAJA YANG BERASAL DARI

KELUARGA BROKEN HOME

(Studi Deskriptif di SMP Negeri 1 Pantai Cermin Kabupaten Solok)

Oleh:

Melda Fauziah *

Fitria Kasih **

Hengki Yandri **

*Mahasiswa

**Dosen Pembimbing

Mahasiswa Bimbingan dan Konseling, STKIP PGRI Sumatera Barat

ABSTRACK

Research was motivated by the numbers of divorce without thinking about the impact on adolescents. The purpose of this research is to investigate and describe the self-concept teenagers who came from a broken home visits of: (1) knowledge aspect, (2) hope aspect and (3) assessment aspect. This research is a qualitative descriptive study. Informants in this research were young 5 people, informants supporting as many as 12 people (5 friends, 5 the mother and 2 teenage counseling teacher). The technique of collecting data through interviews and documentation studies. The accuracy of the data was tested by using triangulation of data, the data were analyzed with an interactive model that consists of data collection, data reduction, data display and conclusion. The research found that adolescents who self-concept comes from a broken home visits of: (1) knowledge aspect, in general adolescents can not accept her family situation and feel hopeless. The tendency is done often aloof, taciturn and morose, also affect daily activities and learning teens, (2) hope aspect, in general, adolescents have good expectations, (3) assessment aspect, low self-esteem of teenage friends others.

Key word: Self-concept, adolescents, and families broken home Pendahuluan

Keluarga merupakan konsep yang bersifat multidimensi. Menurut Murdock (Lestari, 2012: 4) keluarga merupakan kelompok sosial yang memiliki karakteristik tinggal bersama, terdapat kerjasama ekonomi, dan terjadi proses reproduksi. Sementara menurut Reiss (Lestari, 2012: 4) keluarga merupakan suatu kelompok kecil yang terstruktur dalam pertalian keluarga dan memiliki fungsi utama berupa sosialisasi pemeliharaan terhadap generasi baru.

Banyak keluarga yang berantakan ketika terjadi kegagalan dalam relasi suami istri. Kunci bagi kelanggengan perkawinan adalah keberhasilan melakukan penyesuaian diantara pasangan, penyesuaian ini bersifat dinamis, memerlukan sikap dan cara berpikir yang luwes. Penyesuaian adalah interaksi yang kontinu dengan diri sendiri, orang lain dan lingkungan Calhoun & Acocella (Lestari, 2012: 9).

Sementara menurut Willis (2005: 105) sebuah keluarga dikatakan harmonis apabila struktur keluarga itu utuh dan

interaksi diantara anggota keluarga berjalan dengan baik, artinya hubungan psikologis diantara mereka cukup memuaskan dirasakan oleh setiap anggota keluarga. Apabila struktur keluarga itu tidak utuh lagi, misalnya karena kematian salah satu orang tua atau perceraian, kehidupan keluarga bisa jadi tidak harmonis lagi. Keadaan seperti itu disebut keluarga pecah atau broken home. Padahal perceraian hanyalah salah satu faktor penyebab terjadinya kondisi keluarga

broken home.

Menurut Dagun (2002: 113) peristiwa perceraian sering dianggap suatu peristiwa tersendiri dan menegangkan dalam kehidupan berkeluarga. Tetapi peristiwa ini sudah menjadi bagian kehidupan dalam masyarakat. Peristiwa perceraian dalam keluarga senantiasa membawa dampak yang mendalam. Kasus ini menimbulkan stres, tekanan, dan menimbulkan perubahan fisik dan mental. Keadaan ini dialami oleh semua anggota keluarga, ayah, ibu dan anak.

Data faktual yang diperoleh dari Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Solok pada tahun

(2)

2012 angka perceraian naik 50% dari tahun sebelumnya, pada tahun 2011 angka perceraian yang terdaftar hanya 8 kasus perceraian dan pada tahun 2012 terdapat 16 kasus perceraian.

Berdasarkan data tersebut kasus perceraian umumnya terjadi pada kisaran usia perkawinan sekitar dua hingga lima belas tahun, dengan kisaran jumlah anak dua hingga empat orang. Data ini merupakan salah satu gambaran kuantitas dari Kantor Urusan Agama (KUA) saja, belum termasuk kasus perceraian yang berpisah begitu saja tanpa ada legalisasinya.

Perceraian dalam keluarga biasanya berawal dari suatu konflik anggota keluarga. Bila konflik ini sampai titik kritis maka peristiwa perceraian itu berada diambang pintu. Peristiwa ini selalu mendatangkan ketidak tenangan berpikir dan ketegangan itu memakan waktu lama. Pada saat kemelut ini, biasanya masing-masing pihak mencari jalan keluar untuk mengatasi berbagai rintangan dan berusaha menyesuaikan diri dengan hidup baru.

Menjelang gentingnya konflik ini biasanya sang ayah kurang memikirkan resiko yang bakal terjadi dalam mengasuh anak. Sementara Ibu paling memikirkan resiko akibat perceraian. Bagaimanapun juga kasus perceraian tersebut jelas-jelas membawa resiko yang berantai dan yang paling dipersoalkan adalah dampaknya dalam diri anak, salah satunya konsep diri yang negatif.

Desmita (2009: 172) mengemukakan konsep diri bukanlah dibawa sejak lahir. Bahkan ketika kita lahir, kita tidak memiliki konsep diri, tidak memiliki pengetahuan tentang diri, dan tidak memiliki pengharapan bagi diri kita sendiri, serta tidak memiliki penilaian apapun terhadap diri kita sendiri. Akan tetapi, konsep diri terbentuk melalui proses belajar yang berlangsung sejak masa pertumbuhan hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman, dan pola asuh orang tua turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan konsep diri seseorang.

Menurut Hutagalung (2007: 23) konsep diri meliputi: “(1) siapa saya menurut pikiran saya, (2) dalam posisi mana saya berada, (3) apa yang boleh dan tidak boleh saya lakukan”. Sementara itu Cawagas (Desmita, 2009: 164) menjelaskan bahwa konsep diri mencakup seluruh pandangan individu akan dimensi fisiknya, karakteristik pribadinya, motivasinya, kelemahannya,

kelebihannya atau kecakapannya, kegagalan-nya dan sebagaikegagalan-nya.

Dimensi Konsep Diri

Calhoun dan Acocella (Desmita, 2009:166) menyebutkan tiga dimensi utama konsep diri, yaitu: dimensi pengetahuan, dimensi pengharapan dan dimensi penilaian. a. Pengetahuan

Dimensi pertama dari konsep diri adalah apa yang kita ketahui tentang diri sendiri atau penjelasan dari”siapa saya” yang akan memberi gambaran tentang diri sendiri. Gambaran diri tersebut gilirannya akan membentuk citra diri. Gambaran diri tersebut merupakan kesimpulan dari: 1) Pandangan kita dalam berbagai peran

yang kita pegang seperti sebagai orang tua, suami, istri, pelajar dan seterusnya. 2) Pandangan seseorang tentang watak kepribadian yang dirasakan pada diri sendiri, seperti jujur, setia, gembira, bersahabat, aktif dan sebagainya. 3) Pandangan seseorang tentang sikap

yang ada pada dirinya, kemampuan yang dimiliki, kecakapan yang dikuasai dan berbagai karakteristik lainnya yang kita lihat melekat pada diri sendiri.

Singkatnya pengetahuan (kognitif) dari konsep diri mencakup segala sesuatu yang dipikirkan tentang diri sendiri sebagai pribadi, seperti saya pintar, saya cantik, saya anak baik dan seterusnya. b. Harapan

Dimensi harapan atau diri yang dicita-citakan di masa depan. Ketika kita mempunyai sejumlah pandangan tentang siapa kita sebenarnya, pada saat yang sama kita juga mempunyai sejumlah pandangan lain tentang kemungkinan menjadi apa diri kita di masa mendatang. Singkatnya, kita juga mempunyai pengharapan bagi diri kita sendiri. Pengharapan ini merupakan diri ideal (self-ideal) atau diri yang dicita-citakan.

Cita-cita diri terdiri atas dambaan, aspirasi, harapan, keinginan bagi diri sendiri. Tetapi, perlu diingat bahwa cita-cita diri belum tentu sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya dimiliki seseorang. Meskipun demikian, cita-cita diri akan menentukan konsep diri dan menjadi faktor paling penting dalam menentukan perilaku.

c. Penilaian

Penilaian diri sendiri merupakan pandangan kita tentang harga atau

(3)

kewajaran kita sebagai pribadi. Menurut Calhoun dan Acocella (Desmita, 2009:168) setiap hari kita berperan sebagai penilai tentang diri kita sendiri, menilai apakah kita bertentangan: 1) pengharapan bagi diri sendiri (saya dapat menjadi apa), 2) standar yang ditetapkan bagi diri sendiri (saya seharusnya menjdi apa). Hasil dari penilaian tersebut membentuk apa yang disebut dengan rasa harga diri, yaitu seberapa besar kita menyukai diri sendiri.

Berdasarkan keterangan sebelumnya yang menyatakan bahwa lingkungan, pengalaman, dan pola asuh orang tua turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan konsep diri seseorang. Maka dengan terjadinya perceraian dalam keluarga juga akan berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri anak. Jadi, remaja yang berasal dari keluarga yang bercerai akan berpengaruh terhadap perkembangan konsep dirinya.

Berdasarkan hasil wawancara peneliti pada bulan September 2012 dengan beberapa guru mata pelajaran di sekolah ditemukan bahwa remaja yang orang tuanya bercerai lebih cenderung menyendiri selain itu remaja juga sulit menerima kritikan dari orang lain dan juga berpengaruh terhadap hasil belajar remaja. Sementara menurut pengakuan dari salah satu remaja yang orang tuanya bercerai bahwa remaja merasa malu dan juga sedih sama teman-teman yang lainnya apabila mereka membicarakan tentang orang tua mereka dan menyinggung masalah perceraian orang tuanya, jadi remaja lebih memilih untuk menyendiri dari pada berkumpul dengan teman-temannya yang lain. Remaja mengakui mengalami kesulitan dalam berbicara dengan orang lain. Selain itu remaja juga lebih memilih diam dari pada melakukan sesuatu.

Remaja adalah masa transisi dari periode anak ke dewasa. Secara psikologis, kedewasaan tentu bukan hanya tercapainya usia tertentu misalnya dalam ilmu hukum. Secara psikologis kedewasaan adalah keadaan dimana sudah ada ciri-ciri psikologis tertentu pada seesorang. Ciri-ciri psikologis itu menurut Allport (Sarwono 2010:81) adalah sebagai berikut: (a). pemekaran diri sendiri, (b). kemampuan untuk melihat diri sendiri secara utuh, (c). memiliki falsafah hidup tertentu.

Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara tersebut, terindikasi bahwa

perceraian yang terjadi dalam kelurga akan memberi dampak yang kurang baik terhadap konsep diri remaja. Jadi, penulis sangat tertarik untuk mengetahui lebih jelas mengenai gambaran konsep diri yang dimiliki oleh remaja yang berasal dari keluarga broken home khususnya pada perceraian orang tua remaja.

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan konsep diri remaja yang berasal dari keluarga broken home di SMP Negeri 1 Pantai cermin Kabupaten Solok.

.

Metodologi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang akan menggambar-kan tentang konsep diri remaja yang berasal dari keluarga broken home di SMP Negeri 1 Pantai Cermin Kabupaten Solok.

Teknik penunjukan informan menggunakan teknik bola salju. Menurut Lee dan Berg (Iskandar, 2009: 220) strategi dasar teknik bola salju (snowball) ini dimulai dengan menetapkan satu atau beberapa orang informan kunci (key

informants) dan melakukan interview

terhadap mereka secara bertahap atau berproses, dalam pelaksanaan penelitian ini peneliti akan menetapkan satu atau dua beberapa orang informan kunci (key

informants) dan mengadakan interview atau

wawancara terhadap mereka, kepada mereka kemudian diminta arahan, saran, petunjuk siapa sebaiknya yang menjadi informan berikutnya yang menurut mereka memiliki pengetahuan, pengalaman, informasi yang dicari, selanjutnya penentuan informan berikutnya dilakukan dengan teknik yang sama sehingga akan diperolaleh jumlah informan yang semakin lama semakin besar.

Informan ditentukan berdasarkan pertimbangan bahwa informan tersebut memiliki pengalaman yang banyak mengenai latar penelitian dan benar-benar terkait dengan permasalahan yang akan diteliti yaitu konsep diri remaja yang berasal dari keluarga broken home.

Alat pengumpul data dalam penelitian ini menggunakan instrumen wawancara, dengan teknik analisis data kualitatif deskriptif, adapun proses analisis data yaitu: reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

(4)

Hasil dan Pembahasan

1. Konsep Diri Remaja yang Berasal dari Keluarga Broken Home Dilihat dari Aspek Pengetahuan.

a. Pandangan sebagai Remaja

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan kunci dan informan tambahan pandangan remaja terhadap dirinya sendiri setelah orang tuanya bercerai adalah pada umumnya remaja merasa putus asa dengan keadaan terkadang remaja merasa tidak berguna menjalani kehidupan yang sekarang tanpa keluarga yang utuh dan juga remaja merasa malu dengan teman-temannya yang lain, yang menyatakan seperti itu kelima informan. Informan kedua juga menyatakan bahwa remaja merasa iri sama teman-teman yang lain, remaja berpandangan bahwa sahabatnya bahagia dengan keadaan keluarganya sementara remaja tidak dan remaja ingin merasakan kasih sayang dari orang tuanya seperti sebelumnya. Pernyataan dari informan tambahan mendukung pernyataan dari informan kunci.

b. Pandangan tentang Watak dan Kepribadian yang Dirasakan pada Diri Sendiri

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan kunci dan informan tambahan pandangan remaja tentang watak dan kepribadian yang dirasakan pada dirinya sendiri adalah pada umumnya kecenderungan remaja sejak orang tuanya bercerai seperti sering menyendiri, pendiam, kelihatan murung dan pemalu.

Perceraian orang tua remaja juga berpengaruh terhadap kegiatan sehari-harinya, remaja merasa kurang tertarik dalam melakukan suatu kegiatan, semangatnya selalu berkurang saat ingat keluarga dan pengaruhnya terhadap kegiatan belajar remaja adalah remaja sering tidak konsentrasi dalam mengikuti pelajaran karena ingat keluarga, remaja merasa tidak ada gunanya mengikuti pelajaran dengan keadaan keluarganya sekarang, sebab remaja merasa malu dan minder dengan teman-temannya yang lain. Nilai remaja juga menurun dari sebelumnya. Dari lima orang informan hanya dua informan yang

menyatakan sedikit pengaruh perceraian orang tuanya terhadap kegiatan belajar dan kegiatan sehari-harinya sedangkan yang tiga orang lagi menyatakan sangat berpengaruh. c. Pandangan tentang Sikap yang Ada

pada Diri Sendiri

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan kunci dan informan tambahan pandangan remaja tentang sikap yang ada pada dirinya sendiri setelah orang tuanya bercerai pada umumnya remaja belum bisa menerima perceraian orang tuanya remaja kecewa dengan keputusan kedua orang tuanya. Saat orang lain menanyakan atau membahas masalah perceraian kedua orang tuanya pada umumnya remaja merasa malu, sakit hati, dan tidak suka ketika ada orang lain menanyakan perceraian orang tuanya terkadang remaja tidak menanggapi pertanyaan-pertanyaan dari orang lain yang membahas tentang keluarganya.

Jadi, berdasarkan hasil wawancara dengan subjek, sahabat subjek, guru BK dan orang tua subjek maka dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep diri remaja yang berasal dari keluarga broken home dilihat dari aspek pengetahuan adalah remaja belum bisa menerima perceraian orang tuanya dan remaja cenderung merasa putus asa. Kecendrungan yang biasa dilakukan remaja bermenung, menyendiri, sedih, pemalu dan kurang semangat. Perceraian orang tua remaja juga berpengaruh terhadap kegiatan sehari-hari dan kegiatan belajarnya.

Hal ini senada dengan pernyataan Holden (2005: 89) mengatakan pengetahuan tentang diri merupakan sistem referensi utama bagi setiap jenis kecerdasan dan kearifan yang lain. Maksudnya, semakin kita mengenali diri sendiri, semakin baik bisa hidup dan bekerja dengan autentik dan otoritatif. Pengetahuan diri dapat membedakan antara tujuan yang ingin dicapai dan sasaran yang tidak berfaedah. Semakin baik mengenali diri sendiri maka semakin baik pula bisa mempercayai kearifan diri, mengikuti minat dan membebaskan bakat.

(5)

2. Konsep Diri Remaja yang Berasal dari Keluarga Broken Home Dilihat dari Aspek Harapan

a. Harapan terhadap Diri Sendiri Berdasarkan hasil wawancara dengan informan kunci dan informan tambahan harapan remaja terhadap dirinya sendiri setelah orang tuanya bercerai adalah harapan remaja pada umunya ingin membahagiakan Ibunya dengan upaya berusaha menerima perceraian orang tuanya dengan berusaha melupakan masalah keluarga dan fokus kemasa depan, menggapai cita-cita agar bisa membahagiakan Ibunya, berusaha membuat Ibunya bangga, kasihan sama Ibunya karena sudah susah payah memenuhi kebutuhan sehari-hari. Upaya yang dilakukan remaja untuk menggapai harapan tersebut dengan rajin belajar, tidak mengecewakan Ibu dan berdoa.

Harapan remaja terhadap pendidikan selanjutnya setelah orang tuanya bercerai pada umumnya remaja ingin melanjutkan pendidikan sampai keperguruan tinggi agar bisa membahagiakan Ibu. Upaya yang dilakukan remaja untuk mencapai harapan tersebut adalah dengan rajin belajar dan berdoa. Pernyataan informan kunci didukung oleh pernyataan informan tambahan. b. Harapan terhadap keluarga

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan kunci dan informan tambahan ditemukan bahwa harapan remaja terhadap keluarga selanjutnya setelah orang tua bercerai remaja ingin Ibunya bahagia walaupun tanpa Ayah, adanya remaja yang ingin Ibu bahagia dengan keluarga barunya bagi Ibunya yang sudah menikah kembali, remaja tidak mengizinkan Ibunya menikah kembali bagi yang belum menikah setelah bercerai dengan Ayahnya. Salah satu informan yang tinggal dengan familinya ingin tinggal dengan Ibu seperti sebelumnya. Diantara lima orang informan, empat orang tidak menginginkan Ayahnya kembali sementara informan yang satu lagi sangat menginginkan Ayahnya kembali dan informan sangat ingin kelurganya kembali seperti

sebelumnya. Upaya yang dilakukan remaja untuk menggapai harapan tersebut adalah dengan rajin belajar, selalu membuat Ibu bangga, tidak mengizinkan Ibu menikah kembali, berusaha menerima Ayah tiri, mengatakan apa yang diharapkan pada Ibu.

Jadi, berdasarkan hasil wawancara dengan subjek, sahabat subjek, Ibu subjek dan guru BK maka dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep diri remaja yang berasal dari keluarga broken home dilihat dari aspek harapan adalah remaja pada umumnya ingin membahagiakan Ibunya, baik harapan terhadap diri sendiri, harapan terhadap pendidikan maupun harapan terhadap keluarga. Upaya yang telah dilakukan untuk menggapai harapan tersebut adalah rajin belajar dan berdoa.

Sesuai dengan pernyataan dari Ghufron dan Risnawita (2011: 19) bahwa konsep diri seseorang penentu pengharapan individu. Konsep diri merupakan seperangkat harapan dan penilaian perilaku yang menunjuk pada harapan tersebut. Sikap dan pandangan negatif terhadap kemampuan diri menyebabkan individu menitik beratkan titik harapan yang rendah.

3. Konsep Diri Remaja yang Berasal dari Keluarga Broken Home Dilihat dari Aspek Penilaian

a. Penilaian Pertentangan Penghara-pan bagi Diri Sendiri

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan kunci dan informan tambahan penilaian pertentangan pengharapan remaja bagi diri sendiri setelah orang tuanya bercerai adalah remaja menilai dirinya setelah perceraian orang tuanya merasa rendah diri dari teman-teman yang lain dan terkadang remaja merasa tidak berguna menjalani kehidupan untuk selanjutnya. Remaja menetapkan keinginan selanjutnya karena termotivasi oleh perceraian kedua orang tuanya remaja merasa kasihan sama Ibunya. Jadi remaja sangat ingin membahagiakan ibunya, ada juga remaja yang berpedoman kepada teman-teman lain yang mempunyai keluarga utuh, remaja

(6)

sangat ingin seperti tema-temannya yang mempunyai keluarga utuh. b. Penilaian Pertentangan Standar yang

Ditetapkan Bagi Diri Sendiri

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan kunci dan informan tambahan penilaian pertentangan standar yang ditetapkan bagi remaja terhadap dirinya sendiri adalah keinginan remaja selama ini yang menginginkan Ibunya bahagia ternyata belum terwujud diantara lima orang informan menyatakan harapannya selama bertentangan dengan yang sebenarnya, pada umumnya Ibu remaja kecewa dengan mereka.

Jadi, berdasarkan hasil wawancara dengan subjek, sahabat subjek, Ibu subjek dan guru BK maka dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep diri remaja yang berasal dari keluarga broken home dilihat dari aspek penilaian adalah pada umumnya remaja merasa rendah diri dari teman-temannya yang lain. Perceraian orang tuanya menjadi motivasi bagi remaja untuk menetapkan harapan selanjutnya. Harapan subjek bertentangan dengan yang diharapkan, upaya yang dilakukan remaja agar harapannya tidak bertentangan adalah mengubah perilaku.

Hal ini sesuai dengan pendapat Sarwono (2007: 20) yang menyatakan pandangan dan pengalaman hidup menunjukkan bahwa keberhasilan hidup manusia banyak ditentukan oleh kemampuannya mengelola diri dan kemampuan mengelola hubungan dengan orang lain. Manusia sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial dalam bersikap dan berperilaku tidak akan lepas dari konsep diri yang dimilikinya. Individu akan berkembang dan mengalami perubahan-perubahan baik secara fisik maupun psikis sesuai dengan konsep dirinya.

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan hasil penelitian tentang konsep diri remaja yang berasal dari keluarga broken home, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Konsep diri remaja yang berasal dari keluarga broken home dilihat dari aspek pengetahuan adalah remaja pada umumnya tidak bisa menerima keadaan keluarga dan merasa putus asa dengan keadaan. Kecenderungan yang dilakukan suka menyendiri, pendiam dan kelihatan murung. Perceraian orang tua juga mempengaruhi kegiatan sehari-hari dan kegiatan belajar remaja.

2. Konsep diri remaja yang berasal dari keluarga broken home dilihat dari aspek harapan yaitu remaja sangat mengharapkan kebahagiaan Ibunya, baik harapan terhadap diri sendiri, harapan terhadap pendidikan maupun harapan terhadap keluarga.

3. Konsep diri remaja yang berasal dari keluarga broken home dilihat dari aspek penilaian adalah remaja merasa rendah diri dari teman-teman lainnya. Selain itu remaja juga menilai perceraian orang tuanya sebagai motivasi untuk menetapkan harapan selanjutnya.

Berdasarkan kesimpulan maka penelitian ini menyarankan kepada berbagai pihak yang terkait sebagai berikut:

1. Remaja yang berasal dari keluarga

broken home agar lebih mengetahui dan

memahami diri sendiri sehingga bisa menerima dan menilai perceraian orang tuanya secara positif. Supaya tidak berpengaruh terhadap pengembangan potensi dan fitrah yang dimiliki, sehingga nantinya dapat menghasilkan konsep diri yang positif dalam kehidupan dan dapat menjalani kehidupan dengan penuh rasa percaya diri, optimis, dan bersemangat. Dengan begitu remaja akan terhindar dari kecenderungan memiliki konsep diri negatif dan perilaku yang negatif juga. 2. Orang tua remaja, diharapkan agar lebih

meningkatkan lagi peran serta dalam perkembangan anak baik dari segi pengetahuan, harapan dan penilaiannya. Seperti memberikan dorongan untuk bisa lebih giat dalam belajar, memperhatikan anak dalam bergaul dan kecenderungan yang dilakukan anak sehari-hari. Membantu anak mewujudkan keinginan dan harapan-harapannya dengan berkomunikasi yang baik dengan anak. Namun ketetapan dan peraturan yang diberikan orang tua pun harus tetap ada dan bersifat bijaksana agar tidak menimbulkan konsep diri yang negatif.

(7)

3. Guru BK, agar bisa mengarahkan dan memberi pemahaman kepada remaja untuk bisa lebih mengetahui dan memahami diri sendiri sehingga remaja bisa menerima dan menilai perceraian orang tuanya secara positif. Supaya tidak berpengaruh terhadap pengembangan potensi dan fitrah yang dimiliki remaja, sehingga dapat menghasilkan konsep diri yang positif dalam kehidupan dan dapat menjalani kehidupan dengan penuh rasa percaya diri, optimis, dan bersemangat. 4. Kepala Sekolah, agar menyarankan

guru-guru mata pelajaran, wali kelas, guru-guru BK, dan pihak-pihak lainnya yang bisa membangun kepribadian anak untuk lebih memperhatikan dan mengarahkan remaja supaya bisa mengetahui dan memahami diri sendiri dan membentuk konsep diri yang positif pada remaja walaupun memiliki keluarga yang broken

home.

5. Pengelola Program Studi Bimbingan dan Konseling, agar dapat meningkatkan sistem perkuliahan khususnya dibidang konsep diri.

6. Peneliti Selanjutnya, agar melakukan penelitian lanjutan dibidang konsep diri remaja yang berasal dari keluarga broken

home dalam aspek lain misalnya

hubungan konsep diri remaja berasal dari keluarga broken home dengan perilaku menyimpang atau upaya-upaya yang dilakukan untuk mengembangkan konsep diri remaja yang berasal dari keluarga

broken home.

Kepustakaan

Dagun, S. M. 2002: Psikologi Keluarga. Jakarta: Rineka Cipta.

Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan

Peserta Didik. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Ghufron, M. N dan Risnawita R. 2011.

Teori-teori Psikologi. Jogjakarta:

Ar-Ruzz Media.

Holden, R. 2005. Success Intelligence. Penerjemah, Yuliani Liputo. Bandung: PT Mizan Pustaka. Hutagalung, I. 2007. Pengembangan

Kepribadian (Tinjauan Praktis Menuju Pribadi Positif). Jakarta:

INDEKS.

Iskandar, 2009. Metode Penelitian

Pendidikan dan Sosial

(Kuantitatif dan Kualitatif).

Jakarta: Gaung Persada Press. Lestari, S. 2012. Psikologi Keluarga

(Penanaman Nilai dan

Penanganan Konflik dalam

Keluarga). Jakarta: Kencana.

Sarwono, S. W. 2007. Psikologi Remaja. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Sarwono, S. W. 2010. Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali PRES.

Willis, S. S. 2005. Remaja dan Masalahnya. Bandung: Alfabeta.

Referensi

Dokumen terkait

Hal yang diutamakan terutama masalah: peran guru PAI dalam menumbuhkembangkan Konsep Cerdas, Energik, Religius, Ilmiah Amaliah (CERIA) pada Peserta Didik.. Subiyantoro,

Dengan demikian dibutuhkan suatu sistem pertahanan didalam server itu sendiri yang bisa menganalisa langsung apakah setiap paket yang masuk tersebut adalah yang diharapkan

Selain sebagai indikator pelayanan yang menunjukkan seberapa cepat dan tanggap petugas kesehatan dalam menangani masalah dan memberikan pertolongan medis kepada

Sebab-sebab ketidakpuasan itu dapat beraneka ragam seperti penghasilan rendah atau dirasakan kurang memadai, kondisi kerja yang kurang memuaskan, hubungan yang tidak

Teramati dengan jelas bahwa tegangan tidak berubah atau konstan dengan perubahan nilai volume elektrolit ekstrak buah nanas baik tanpa (sampel A) maupun melalui penyaringan

Kotler & Nancy (2005) berpendapat bahwa terdapat enam (6) aktifitas sosial sebagai wujud dari CSR yakni; Pertama, Cause Promotion, pada aktifitas ini perusahaan

Berdasarkan tujuan awal penelitian tindakan kelas ini, maka hasil pelaksanaan dan observasi pada pra tindakan ini bertujuan untuk: 1) mendeskripsikan bagaimana aktifitas

Dari hasil analisis data diperolah hasil yang pertama menerangkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara persepsi siswa tentang layanan konseling individu terhadap minat