• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. PENGUKURAN KINERJA KEGIATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "A. PENGUKURAN KINERJA KEGIATAN"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

A. PENGUKURAN KINERJA KEGIATAN

Pada tahun 2007 terdapat 57 kegiatan yang mendukung pelaksanaan program di Badan POM. Kelimapuluh tujuh kegiatan tersebut adalah kegiatan yang terdapat di pusat dan 26 Balai Besar / Balai POM, yang indikatornya ditetapkan dalam RKT pada Dokumen Renstra Badan POM Tahun 2005 - 2009. Terhadap kegiatan tersebut kemudian diukur kinerjanya dengan menggunakan indikator input, output dan outcomes. Dari 57 kegiatan yang direncanakan, terdapat 3 (5,26%) kegiatan yang tidak dilaksanakan, yaitu : kegiatan ‘Pengembangan Standardisasi Tanaman Obat Bahan Alam Indonesia’; ‘Sebagai Collaborating Center WHO’; dan ‘Pelaksanaan sistem rujukan’.

Dengan demikian, pada tahun 2007 Badan POM telah melaksanakan 54 kegiatan untuk mendukung pelaksanaan program pengawasan obat dan makanan. Secara lengkap, Rencana Kinerja Tahunan (RKT) dan Pengukuran Kinerja Kegiatan (PKK) Badan POM Tahun 2007 tersebut dituangkan pada Lampiran 1 dan 2.

B. PENGUKURAN PENCAPAIAN SASARAN

Sebagaimana telah dipaparkan pada Bab II, sasaran strategis Badan POM merupakan penjabaran dari misi dan tujuan strategis yang telah ditetapkan, yang menggambarkan sesuatu yang akan dihasilkan selama kurun waktu 5 (lima) tahun dan dialokasikan dalam 5 (lima) periode secara tahunan melalui serangkaian program dan kegiatan.

(2)

Seperti telah diuraikan dalam bab sebelumnya, dalam Rentra Badan POM Tahun 2005 – 2009, telah ditetapkan 9 sasaran strategis dalam mencapai 5 tujuan strategis. Untuk mengukur pencapaian sasaran tersebut, ditentukan 20 indikator sasaran. Beberapa sasaran, yaitu sasaran nomor 1,2,4,6,8 dan 9, masing – masing diukur dengan lebih dari 1 indikator. Untuk itu, dilakukan pembobotan masing – masing indikator, yang ditentukan berdasarkan kontribusi indikator tersebut dalam pencapaian sasaran. Selanjutnya, Nilai Pencapaian sasaran (NPS) dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

Matriks Pengukuran Pencapaian Sasaran (PPS) Badan POM Tahun 2007 pada Lampiran 1 menunjukkan bahwa NPS tahun 2007 bervariasi antara 32,28% hingga 123,89%, di mana nilai terendah terdapat pada pencapaian sasaran nomor 5 dan nilai tertinggi terdapat pada pencapaian sasaran nomor 6. Secara umum pada tahun 2007 terdapat penurunan dalam pencapaian sasaran Badan POM dibandingkan terhadap pencapaian sasaran tahun 2006, kecuali pada sasaran nomor 6 dan 8.

Suatu sasaran dinyatakan telah tercapai jika memiliki NPS 100%. Dari matriks yang sama juga dapat diketahui bahwa terdapat 2 (22%) sasaran yang sudah tercapai, yaitu sasaran nomor 4 dan 6, sedangkan 7 (77,78%) sasaran lainnya, yaitu sasaran nomor 1, 2, 3, 5, 7, 8, 9 belum tercapai. Pencapaian sasaran tersebut bersifat relatif dan merupakan hasil pembobotan dari beberapa indikator sasaran.

Pada tahun 2007, dari 20 indikator sasaran, persentase capaian 8 indikator adalah 100% atau lebih, sedangkan 12 (60%) indikator lainnya masih di bawah 100%, yaitu indikator nomor 1, 3, 4, 5, 6, 7, 10, 11, 12, 15, 19 dan 20.

Mengingat tahun 2007 adalah tahun ke 3 pelaksanaan Renstra 2005 – 2009, maka sasaran yang belum tercapai tersebut dimungkinkan dapat dicapai pada tahun mendatang. Berikut diuraikan capaian masing – masing sasaran :

(3)

1. Terawasinya secara efektif mutu, keamanan dan khasiat produk terapetik, OT, kosmetik, PKRT, PK dan pangan yang beredar di dalam negeri dan yang diekspor.

Terdapat tiga indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan sasaran pertama, yaitu : (a) Proporsi penyelesaian berkas permohonan pendaftaran produk; (b) Proporsi conformance uji klinik, termasuk uji BE sesuai CUKB; serta (c) Rata – rata % Produk Terapetik, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga, Obat Tradisional, Kosmetik, Produk Komplemen dan Pangan yang tidak memenuhi syarat mutu, keamanan dan kemanfaatan/khasiat dari yang diperiksa. Pada tahun 2007, capaian untuk indikator (a), (b), (c) adalah masing – masing 78,62%; 83,93%; dan 17,06%; atau dengan kata lain persentase pencapaian indikator tersebut adalah sebesar 87,36 % untuk indikator pertama, 119,90% untuk indikator kedua dan 87,31% untuk indikator ke tiga.

Pada tahun 2007 persentase pencapaian indikator ”Proporsi penyelesaian berkas permohonan pendaftaran produk” dan ”Rata – rata % Produk Terapetik, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga, Obat Tradisional, Kosmetik, Produk Komplemen dan Pangan yang tidak memenuhi syarat mutu, keamanan dan kemanfaatan/khasiat dari yang diperiksa” belum mencapai 100%. Namun demikian, mengingat tahun 2007 merupakan tahun ke-3 pelaksanaan Renstra 2005-2009, pencapaian sesuai target pada tahun 2009 masih dimungkinkan.

Kegiatan post market vigilance yang paling besar menyumbang angka indikator ”Rata – rata % Produk Terapetik, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga, Obat Tradisional, Kosmetik, Produk Komplemen dan Pangan yang tidak memenuhi syarat mutu, keamanan dan kemanfaatan/khasiat dari yang diperiksa” adalah pengujian laboratorium. Pada tahun 2007, persentase capaian indikator ini adalah 87,31%, atau dengan kata lain, pada tahun 2007 rata – rata % Produk Terapetik, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga, Obat Tradisional, Kosmetik, Produk Komplemen dan Pangan yang tidak memenuhi syarat mutu, keamanan / khasiat dari yang diperiksa adalah sebesar 17,06%, dibandingkan terhadap target pada tahun 2009 sebesar 5%.

Pada indikator ini, persentase capaian adalah berbanding terbalik dengan capaian/realisasinya, artinya semakin rendah jumlah produk yang tidak memenuhi syarat, maka semakin tinggi persentase capaiannya atau dengan kata lain semakin baik kinerjanya, dan sebaliknya. Karena indikator tersebut bersifat unik, maka perhitungan

(4)

persentase capaiannya menggunakan rumus yang berbeda dengan lainnya, yang telah diuji coba pada hal sejenis, yaitu:

Pada tahun 2007, telah diselesaikan pengujian laboratorium terhadap 97.212 sampel sediaan farmasi dan makanan. Dari jumlah tersebut, 17,06% atau 16.585 sampel tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan (TMS), yang terdiri dari 282 (1,74%) sampel obat; 1055 (6,5%) sampel narkotika dan psikotropika; 386 (2,3%) sampel PKRT dan Alkes; 3.089 (18,7%) sampel obat tradisional; 851 (5,1%) sampel kosmetika; 55 (0,33%) sampel suplemen makanan ; serta 10.867 (65,5%) sampel pangan dan garam beryodium.

Terkait dengan sampling dan pengujian laboratorium ini, terdapat beberapa hal yang patut dikaji kembali, antara lain:

• Apakah pengambilan sampel telah sesuai dengan metodologi sampling dan representatif terhadap jumlah dan jenis produk yang beredar di pasar. Selain produk-produk terdaftar, apakah produk-produk yang tidak memiliki nomor registrasi juga tercakup dalam sampling frame, karena tidak dapat dihindari bahwa produk-produk asing telah beredar di Indonesia tanpa dapat kita cegah.

Apakah sampling yang dilakukan sudah didasarkan pada risk based approach. Jumlah sampel dan persentase produk memenuhi syarat yang besar tidak akan mempunyai makna signifikan terhadap perlidungan masyarakat jika produk-produk high risk tidak tercakup dalam sampling frame yang dilakukan Badan POM. Karena itu kebijakan prioritas sampling harus didasarkan pada risk based approach yang menggambarkan jenis dan besaran resiko yang dihadapi/ditanggung masyarakat jika mengkonsumsi produk-produk tersebut. Penerapan risk based approach akan membantu Badan POM agar dapat mengalokasikan sumber daya dan sumber dana dengan lebih baik.

• Apakah semua Balai/Balai Besar POM di Indonesia mempunyai kemampuan uji laboratorium yang sama. Dari peta kemampuan uji kita dapat menarik kesimpulan bahwa kemampuan uji laboratorium di Balai Besar/Balai POM di seluruh Indonesia sangat beragam. Kemampuan uji yang beragam ini mempengaruhi hasil pengujian terhadap suatu produk. Untuk itu Badan POM harus menentukan parameter uji minimum hingga suatu produk bisa dinyatakan memenuhi syarat. Parameter uji

% Capaian = (100% - Capaian) (100% - Target)

(5)

minimum ini hendaknya dicantumkan dalam Standar Minimum Laboratorium yang telah ditetapkan oleh Kepala Badan POM dengan Keputusan Kepala Badan POM Nomor HK.00.05.21.4978 tentang Standar Minimum Laboratorium Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Ketiga indikator sasaran ini menggambarkan kegiatan pengawasan pre-market dan

post-market di bidang obat dan makanan. Dalam hal ini, pengawasan pre-post-market diukur

dengan indikator pertama dan ke dua, yaitu (a) Proporsi penyelesaian berkas permohonan pendaftaran produk; (b) Proporsi conformance uji klinik, termasuk uji BE sesuai CUKB, sedangkan pengawasan post-market diukur dengan inidikator ke tiga, yaitu Rata – rata % Produk Terapetik, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga, Obat Tradisional, Kosmetik, Produk Komplemen dan Pangan yang tidak memenuhi syarat mutu, keamanan dan kemanfaatan/khasiat dari yang diperiksa. Seperti telah disebutkan sebelumnya, kegiatan

post market vigilance yang paling besar menyumbang angka indikator ini adalah

pengujian laboratorium, yang di dalamnya dijumpai beberapa permasalahan, antara lain adalah :

- Jumlah dan jenis baku pembanding kurang memadai

- Jumlah dan jenis peralatan laboratorium canggih kurang memadai - Tidak tersedianya metode analisa untuk produk baru

- Pelatihan pengembangan laboratorium kurang memadai

- Penerapan Quality Management System yang masih kurang memadai

Selain itu, masih tingginya produk yang tidak memenuhi syarat (TMS) tersebut dapat menggambarkan bahwa pengawasan di tingkat produksi dan distribusi masih belum optimal, sehingga belum semua produk yang beredar memenuhi ketentuan. Namun demikian, dalam hal hal ini diperlukan pula kepedulian produsen dan distributor untuk bersama – sama mengawasi mutu produknya.

Nilai Pencapaian Sasaran (NPS) tahun 2007 untuk sasaran pertama adalah 97,10%, yang diperoleh dari pembobotan ketiga indikator tersebut di atas. Angka ini masih relatif lebih rendah dibandingkan tahun 2006 yang mencapai 101,74%.

(6)

2. Dipatuhinya ketentuan peraturan perundang - undangan di bidang produksi, distribusi dan peredaran produk terapetik/ obat, Obat Tradisional, Kosmetik, PKRT, Produk Komplemen dan Pangan.

Terdapat tiga indikator sasaran kedua yaitu : (a) Proporsi sarana produksi dengan temuan cara produksi yang baik; (b) Proporsi sarana distribusi dengan temuan cara distribusi yang baik; serta (c) Proporsi kasus yang memperoleh ketetapan hukum. Sama seperti indikator sebelumnya, ditetapkan pada akhir 2009 dari kurun waktu 2005-2009 proporsi sarana produksi dengan temuan cara produksi yang baik adalah 15 % dari total sarana produksi yang diperiksa sedangkan proporsi sarana distribusi dengan temuan cara distribusi yang baik adalah 10 % dari total sarana distribusi yang diperiksa. Terkait dengan kedua indikator ini, dengan penetapan jumlah sampel sarana yang diperiksa secara proporsional, angka ini diharapkan mampu mewakili populasi sarana di Indonesia. Sedangkan target untuk indikator ke tiga pada tahun 2009, proporsi kasus yang memperoleh ketetapan hukum adalah 90%.

Pada tahun 2007, capaian kinerja sasaran kedua adalah sebesar 56,68% untuk indikator (a); 36,20% untuk indikator (b) serta 4,29% untuk indikator (c). Atau dengan kata lain persentase capaian indikator (a), (b) dan (c) berturut –turut adalah 50,96%; 70,89%; dan 4,77%.

Pada indikator (a) dan (b), persentase capaian adalah berbanding terbalik dengan capaian/realisasinya, artinya semakin rendah jumlah sarana yang tidak memenuhi ketentuan, maka semakin tinggi persentase capaiannya atau dengan kata lain semakin baik kinerjanya, dan sebaliknya. Karena indikator tersebut bersifat unik, maka perhitungan persentase capaiannya menggunakan rumus yang berbeda dengan lainnya, yang telah diuji coba pada hal sejenis, yaitu:

Pada sasaran kedua ini yang paling besar tertimbangnya adalah kegiatan dalam kelompok ”pemeriksaan sarana produksi dan distribusi”. Meskipun persentase capaian untuk indikator ke-1 dan ke-2 adalah jauh lebih besar daripada indikator ke-3, namun

% Capaian = (100% - Capaian) (100% - Target)

(7)

angka tersebut masih tergolong relatif rendah. Hal-hal yang menyebabkan rendahnya capaian kedua indikator sasaran ini adalah :

Sarana produksi masih belum mampu menerapkan GMP (good manufacturing

practices) secara konsisten. Dari 4.007 sarana produksi yang diperiksa, 2.271 (56,68%)

sarana di antaranya tidak memenuhi ketentuan. Temuan terbesar di tingkat sarana produksi adalah pada industri rumah tangga pangan (IRTP), yaitu sebesar 75,91% dari total sarana produksi sediaan farmasi dan makanan yang tidak memenuhi ketentuan.

• Pada sarana distribusi dan pelayanan, persentase temuan terbesar justru dijumpai pada apotek, yaitu 23,7% dari total sarana distribusi sediaan farmasi dan makanan serta pelayanan yang tidak memenuhi ketentuan.

• Terkait dengan kegiatan pemeriksaan sarana produksi dan distribusi tersebut, terdapat beberapa permasalahan dalam pelaksanaannya, antara lain yaitu:

ü Kurangnya SDM di bidang pemeriksaan sarana yang telah mendapat pelatihan, misalnya pelatihan PPNS dasar dan lanjutan serta pelatihan intelejen

ü Database sarana tidak up to date

ü Tindak lanjut temuan hasil pengawasan tidak maksimal ü Koordinasi dengan instansi lain kurang maksimal

ü Luasnya cakupan pengawasan baik dari jumlah sarana maupun kondisi geografis wilayah

ü Kurangnya sarana dan prasarana pengawasan

Terkait dengan indikator ketiga, dalam rangka memberantas dan menertibkan peredaran produk obat dan makanan illegal dan palsu serta obat keras di sarana yang tidak berhak, Badan POM telah melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus tindak pidana di bidang obat dan makanan, serta secara khusus menindaklanjuti kasus pelanggaran di bidang obat dan makanan termasuk yang dilakukan oleh instansi penegak hukum lainnya. Selain itu, setiap tahun Badan POM juga melakukan operasi gebrak kejut gabungan nasional (Opgabnas) dan operasi gabungan daerah (opgabda) dengan melibatkan pihak terkait.

Dari ketiga indikator tersebut, persentase capaian indikator ’Proporsi kasus yang memperoleh ketetapan hukum’ adalah yang paling kecil dibandingkan dua indikator lainnya. Angka tersebut diperoleh dari rasio antara jumlah kasus yang memperoleh putusan pengadilan terhadap jumlah kasus yang ditindaklanjuti dengan pro-justicia. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Badan POM tidak dapat mengendalikan faktor yang berperan dalam pencapaian indikator yang telah ditetapkan karena banyak pihak yang terlibat dalam penetapan putusan pengadilan. Untuk itu, pada masa mendatang indikator

(8)

sejenis, yang pencapaiannya dipengaruhi oleh faktor yang tidak dapat dikendalikan, perlu dikaji kembali keberadaannya sebagai penentu keberhasilan sasaran suatu instansi.

Nilai Pencapaian Sasaran (NPS) tahun 2007 untuk sasaran kedua adalah 44,08%, yang diperoleh dari pembobotan ketiga indikator tersebut di atas. Secara umum, pencapaian sasaran kedua ini masih sangat rendah jika dibandingkan pencapaian tahun 2006, yaitu 65,93%.

3. Terkendalinya penyaluran narkotika, psikotropika dan obat keras yang digunakan untuk pengobatan.

Indikator kinerja sasaran ketiga adalah rata-rata % sarana pengelola narkotika dan psikotropika yang tidak memenuhi ketentuan (TMK) dari yang diperiksa pada kurun waktu 2005 – 2009 adalah 5 %. Makin besar sarana pengelola narkotika dan psikotropika yang TMS, mempunyai arti penyaluran narkotika, psikotropika dan obat keras yang digunakan untuk pengobatan makin tidak terkendali.

Pada tahun 2007, capaian kinerja sasaran ketiga adalah sebesar 45,42%, yang diperoleh dari rasio antara jumlah sarana yang tidak memenuhi ketentuan (TMK) sebanyak 1.280 sarana terhadap jumlah sarana yang diperiksa sebanyak 2.818 sarana, atau dengan kata lain persentase capaian sasaran ke tiga adalah 57,45%.

Pada indikator ini, persentase capaian adalah berbanding terbalik dengan capaian/realisasinya, artinya semakin rendah jumlah sarana yang tidak memenuhi ketentuan, maka semakin tinggi persentase capaiannya atau dengan kata lain semakin baik kinerjanya, dan sebaliknya. Karena indikator tersebut bersifat unik, maka perhitungan persentase capaiannya menggunakan rumus yang berbeda dengan lainnya, yang telah diuji coba pada hal sejenis, yaitu:

Capaian sasaran ke tiga tidak dapat dilepaskaitkan dari kegiatan-kegiatan yang juga dilaksanakan untuk mencapai indikator sasaran kedua, yaitu pemeriksaan sarana distribusi sediaan farmasi. Penyebab ketertinggalan pencapaian sasaran ini adalah :

% Capaian = (100% - Capaian) (100% - Target)

(9)

• Temuan terbesar adalah pelanggaran pencatatan dan pelaporan. Sebagian besar sarana yang dijumpai terdapat temuan tidak mencatat dan atau melaporkan penggunaan dan atau distribusi narkotika dan psikotropika dalam kewenangannya.

• Di samping itu, dimungkinkan adanya akibat tidak langsung dari kegiatan pemeriksaan sarana distribusi narkotika dan psikotropika yang belum dipisahkan dari kegiatan pemeriksaan sarana distribusi obat secara keseluruhan.

Karena sasaran ketiga ini keberhasilannya hanya diukur oleh satu indikator, maka tidak diperlukan pembobotan dalam menentukan Nilai Pencapaian Sasaran (NPS). Nilai Pencapaian Sasaran (NPS) tahun 2007 untuk sasaran ke tiga adalah 57,45%, yang lebih rendah dibandingkan NPS tahun sebelumnya yaitu 70,56%.

4. Tercegahnya penyalahgunaan dan penggunaan yang salah obat keras, narkotika, psikotropika, zat adiktif/rokok dan produk serta Bahan Berbahaya lainnya dan penyimpangan prekursor serta bahaya merokok dan zat adiktif lainnya.

Pencapaian sasaran keempat ditandai dengan tiga indikator yaitu : (a) Proporsi sarana pelayanan obat yang menyalahgunakan penyaluran obat keras dari jumlah sarana yang diperiksa, (b) Proporsi sarana produksi pangan menggunakan bahan kimia yang dilarang untuk pangan dan penggunaan BTP yang melebihi dari batas yang diperbolehkan dari sarana yang diperiksa serta (c) Proporsi produk rokok dengan kadar nikotin dan tar sesuai yang tertera pada label yang diperiksa. Pada kurun waktu 2005 – 2009, ditetapkan target sebesar 25% untuk indikator (a); 12% untuk indikator (b) dan 100% untuk indikator (c).

Pada tahun 2007, capaian kinerja sasaran keempat merupakan komposit dari tiga indikator yang dikemukakan di atas, yaitu indikator (a) 6,42%, indikator (b) 0,67% dan indikator (c) 86,36%. Dengan demikian persentase capaian indikator (a) adalah 124,77%, (b) 112,88 % dan (c) 86,36%.

Pada indikator ini, persentase capaian adalah berbanding terbalik dengan capaian/realisasinya, artinya semakin rendah jumlah sarana pelayanan obat yang menyalahgunakan penyaluran obat keras, maka semakin tinggi persentase capaiannya atau dengan kata lain semakin baik kinerjanya, dan sebaliknya. Serta semakin rendah jumlah sarana produksi pangan menggunakan bahan kimia yang dilarang untuk pangan dan penggunaan BTP yang melebihi dari batas yang diperbolehkan, maka semakin tinggi

(10)

persentase capaiannya atau dengan kata lain semakin baik kinerjanya, dan sebaliknya Karena indikator tersebut bersifat unik, maka perhitungan persentase capaiannya menggunakan rumus yang berbeda dengan lainnya, yang telah diuji coba pada hal sejenis, yaitu:

Kegiatan yang paling berperan dalam pencapaian indikator (a) adalah pemeriksaan sarana distribusi obat. Sedangkan kegiatan yang paling berperan dalam pencapaian indikator (b) adalah pemeriksaan sarana produksi pangan serta indikator (c) adalah pengujian laboratorium. Pencapaian indikator output masing-masing kegiatan adalah :

• Pemeriksaan sarana pelayanan obat adalah 6.522 sarana, dengan 6,42% di antaranya masih dijumpai temuan dalam distribusi obat daftar G.

• Pemeriksaan sarana produksi pangan, termasuk industri rumah tangga pangan (IRTP) dilakukan terhadap 3.282 sarana, 0,67% di antaranya ditemukan mengunakan bahan yang dilarang. Semua temuan tersebut terdapat pada industri rumah tangga pangan (IRTP).

• Dari kegiatan pengujian rokok, diketahui bahwa 86,36% produk yang diuji kadar nikotin dan tarnya telah sesuai yang tertera pada label.

Hal-hal yang berpengaruh pada pencapaian indikator sasaran 4 adalah:

• Masih banyak apotek yang menyalurkan obat keras/ daftar G tanpa resep dokter.

• Pemeriksaan sarana produksi pangan terutama karena penggunaan bahan yang dilarang tidak dapat dilakukan oleh Badan POM secara single player. Terdapat instansi lain yang lebih berwenang terutama pada area distribusi bahan-bahan berbahaya. Kerjasama antar instansi dalam pengawasan tata niaga bahan-bahan tersebut perlu terus diperketat.

• Meskipun sanksi terhadap pelanggaran kandungan tar dan nikotin dalam rokok sudah dicabut oleh otoritas kesehatan, namun Badan POM masih melakukan pengujian rokok ini sebagai upaya perlindungan konsumen.

Karena sasaran ke empat ini keberhasilannya diukur oleh tiga indikator, maka diperlukan pembobotan dalam menentukan Nilai Pencapaian Sasaran (NPS). Nilai Pencapaian

% Capaian = (100% - Capaian) (100% - Target)

(11)

Sasaran (NPS) tahun 2007 untuk sasaran ke empat adalah 109,08%, yang lebih rendah dibandingkan NPS tahun sebelumnya yaitu 111,94%.

5. Meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat sehingga mampu membentengi dirinya dari risiko penggunaan produk yang tidak memenuhi syarat (TMS) mutu, keamanan dan khasiat.

Keberhasilan sasaran kelima diukur dengan indikator kinerja ’Proporsi pengaduan masyarakat umum tentang mutu produk terhadap total kontak pada Badan POM’. Pada kurun waktu 2005 – 2009, ditetapkan target indikator adalah 50 %. Ini berarti terdapat 50 % dari total kontak masyarakat umum dengan ULPK yang mengadukan masalah mutu produk. Semakin besar proporsi pengaduan tentang mutu produk, diharapkan dapat mencerminkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang keamanan, mutu dan khasiatproduk yang dikonsumsinya meningkat.

Pada tahun 2007, capaian indikator sasaran kelima adalah 16,14% atau 32,28% dari target yang ditetapkan.

Kegiatan utama yang berpengaruh pada pencapaian sasaran ini adalah pelayanan pengaduan dan informasi konsumen. Selama tahun 2007, Badan POM telah menerima 8.511 pengaduan/pertanyaan, dengan 1.374 pengaduan/pertanyaan tentang mutu produk. Indikator sasaran kegiatan ini selain sangat tergantung pada peran serta aktif masyarakat juga sangat tergantung pada kemampuan staf Badan POM, ketersediaan bahan informasi serta ketersediaan sarana penunjang misalnya line telpon bebas biaya. Untuk meningkatkan akses masyarakat di wilayah pelosok ke ULPK Badan POM, alternatif media komunikasi dan kerjasama dengan stakeholder terkait harus ditingkatkan.

Karena sasaran ke lima ini keberhasilannya hanya diukur oleh satu indikator, maka tidak diperlukan pembobotan dalam menentukan Nilai Pencapaian Sasaran (NPS). Nilai Pencapaian Sasaran (NPS) tahun 2007 untuk sasaran ke lima adalah 32,28%, yang lebih rendah dibandingkan NPS tahun sebelumnya yaitu 41,60%.

(12)

6. Tersedianya produk bahan alam Indonesia yang bermutu tinggi untuk peningkatan kesehatan masyarakat luas, sekaligus memberdayakan potensi kapasitas industri kecil / rumah tangga OT.

Terdapat tiga indikator capaian sasaran ke enam, yaitu (a) proporsi obat bahan alam yang selesai diteliti dari sasaran penelitian selama 5 tahun; (b) jumlah obat bahan alam yang terstandar (c) Proporsi IKOT yang yang dibina untuk menerapkan CPOTB. Ketiga indikator ini pada kurun waktu 2005 – 2009 berturut-turut ditetapkan 90 %, 15 dan 90 %. Sedangkan persentase capaiannya pada tahun 2007 adalah 66,67% untuk indikator (a); 206,67% untuk indikator (b) serta 111,11% untuk indikator (c).

Pencapaian indikator pertama pada sasaran ini masih relatif rendah dibandingkan pencapaian dua indikator lainnya, hal ini dipengaruhi antara lain oleh tingkat kesulitan penelitian. Indonesia terkenal sebagai mega centre keanekaragaman hayati di dunia. Dari begitu banyak spesies yang tumbuh sebagian merupakan tanaman obat yang dapat dikembangkan. Namun ketersediaan data penelitian tentang tanaman tidak seluruhnya mudah didapat. Dalam hal ini kerjasama dan koordinasi dengan dunia Perguruan Tinggi sangat diperlukan.

Pada tahun 2007, pencapaian indikator ke dua pada sasaran ini sudah melampaui target yang ditetapkan. Jumlah obat bahan alam yang terstandar merupakan gabungan jumlah obat herbal terstandar (OHT) sebanyak 23 dan fitofarmaka sebanyak 8 buah. Pengaruh kesediaan dunia usaha yang menggunakan herbal terstandar untuk mendaftarkan produknya sangat besar dalam pencapaian indikator sasaran ini. Di sisi internal, kemampuan staf Badan POM di bidang standardisasi produk dan bahan alam sangat mendukung pencapaian indikator sasaran ini.

Begitu pula halnya dengan pencapaian indikator ke tiga pada sasaran ini, yang angkanya sudah melampaui target yang telah ditetapkan sampai tahun 2009. Dalam pencapaian ini, peran serta industri kecil obat tradisional sangat besar. Tanpa kesediaan IKOT untuk menerapkan CPOTB secara konsisten, pencapaian akan menjadi kecil. Sementara itu, di sisi internal Badan POM, diperlukan tenaga-tenaga penyuluh atau pembina CPOTB yang handal, selain tenaga pengawas sehingga penerapan CPOTB dapat konsisten dijalankan. Skema reward dan punishment dapat diterapkan.

(13)

Nilai Pencapaian Sasaran (NPS) tahun 2007 untuk sasaran ke enam adalah 123,89%, yang diperoleh dari pembobotan ketiga indikator tersebut di atas. Secara umum, pencapaian sasaran kedua ini lebih tinggi jika dibandingkan pencapaian tahun 2006, yaitu 103,66%.

7. Tersedianya obat generik pertama dengan harga terjangkau dan percepatan introduksi obat baru life saving

Pada sasaran ke tujuh, terdapat indikator proporsi penyelesaian evaluasi obat generik pertama, obat baru dan life saving. Pada kurun 2005 – 2009, target indikator ditetapkan 60 %. Sedangkan pencapaiannya pada tahun 2007 adalah 58,58% atau 97,63% dari target. Kegiatan yang berpengaruh pada pencapaian indikator adalah penilaian pemasukan obat jalur khusus (SAS). Angka pencapaian tersebut merupakan rasio antara jumlah permohonan yang diselesaikan terhadap jumlah permohonan obat baru dan SAS.

Meskipun belum mencapai 100%, pencapaian indikator ini sudah relatif baik. Mengingat tahun 2007 merupakan tahun ke tiga dalam pelaksanaan Renstra 2005-2009, perbaikan di masa mendatang untuk melampaui target yang telah ditetapkan masih dimungkinkan.

Karena sasaran ke tujuh ini keberhasilannya hanya diukur oleh satu indikator, maka tidak diperlukan pembobotan dalam menentukan Nilai Pencapaian Sasaran (NPS). Nilai Pencapaian Sasaran (NPS) tahun 2007 untuk sasaran ke tujuh adalah 97,63%, yang masih lebih rendah dibandingkan NPS tahun sebelumnya yaitu 116,10%.

8. Terakuinya Badan POM sebagai regulator di tingkat internasional.

Pencapaian sasaran ke delapan ditandai dengan komposit dua indikator yaitu : (a) hasil rata-rata assessment Badan Dunia di bidang NRA termasuk akreditasi laboratorium BPOM yang tinggi serta (b) jumlah partisipasi Badan POM dalam fora internasional, regional dan bilateral.

Pada tahun 2007, capaian indikator (a) adalah 101,04% dari target 96 atau dengan kata lain nilai yang dicapai oleh Badan POM adalah 97. Sedangkan capaian indikator (b) adalah 114,71% dari target 34, atau dengan kata lain jumlah partisipasi Badan POM dalam forum internasional, regional dan bilateral adalah sebanyak 39.

(14)

Secara umum, kinerja Badan POM dalam mencapai sasaran nomor 8 ini dapat dikatakan meningkat dibandingkan tahun 2006. Pada tahun 2007, Nilai Pencapaian Sasaran (NPS) untuk sasaran nomor 8 adalah 86,03%, lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu 72,79%.

9. Tersedianya infrastruktur yang memadai

Sasaran ke-sembilan ini, tingkat keberhasilannya ditentukan oleh 3 indikator, yaitu: (a) Jumlah laboratorium pengujian obat dan makanan yang memenuhi ISO 17025; (b) Proporsi SDM dengan kualifikasi pendidikan S2; dan (c) Jumlah Pos POM yang sudah operasional. Target tahun 2005 -2009 untuk masing – masing indikator tersebut secara berurutan adalah 27, 18% dan 20.

Ketiga target indikator ini juga dipengaruhi infrastruktur yang dimiliki Badan POM dalam pelaksanaan kegiatannya untuk mencapai sasaran. Meskipun infrastruktur berpengaruh terhadap semua sasaran, namun sasaran utama adalah sasaran ke sembilan, sehingga seluruh infrastruktur dimasukkan dalam komposit kegiatan yang dapat mencapai sasaran sesuai dengan target indikator.

Pada tahun 2007, dilakukan upaya pemenuhan kebutuhan infrastruktur minimal dalam rangka pengawasan obat dan makanan. Namun upaya pemenuhan tersebut belum sampai pada standar yang ditetapkan baik oleh WHO maupun oleh Badan POM sendiri. Ketersediaan dana menjadi faktor utama ketersediaan infrastruktur selain faktor berubahnya lingkungan eksternal yang menuntut kompetensi yang lebih tinggi dari Badan POM.

Pada tahun 2007, jumlah laboratorium pengujian obat dan makanan yang memenuhi ISO 17025 adalah 27 atau mencapai 100% dari target yang ditetapkan. Sedangkan Jumlah SDM dengan kualifikasi pendidikan S2 pada tahun 2007 adalah 162 orang atau 4,71% dari total jumlah pegawai 3436 orang. Dengan kata lain, persentase capaian indikator ini adalah 26,17% dibandingkan target tahun 2005-2009. Pada tahun 2007, jumlah Pos POM yang sudah operasional adalah 5 atau 25% dibandingkan target tahun 2005-2009.

Dari angka-angka tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk sasaran ke sembilan, terdapat dua indikator yang persentase capaiannya masih jauh di bawah 100%, sedangkan satu

(15)

indikator lainnya, yaitu indikator (a), persentase capaiannya pada tahun 2007 sudah mencapai 100%.

Laboratorium pengujian obat dan makanan merupakan back bone dalam sistem pengawasan obat dan makanan baik pada tahap premarket evaluation dan terlebih lagi pada tahap postmarket surveillance. Karena tugas pokok dan fungsinya yang demikian kompleks, perkuatan laboratorium adalah mutlak dilakukan baik dari segi manajerial, kemampuan teknis, peningkatan kapasitas SDM, pemenuhan kebutuhan peralatan laboratorium, reagensia, baku pembanding, dan pengembangan metoda analisa, dalam rangka mengantisipasi tantangan dan tuntutan Badan POM dalam meningkatkan perlindungan kepada masyarakat,

Pada sasaran kesembilan ini terdapat satu indikator yang terkait dengan SDM, yaitu proporsi SDM dengan kualifikasi pendidikan S2. Capaian indikator ini pada tahun 2007 masih relatif rendah, hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain karena masih minimnya dana yang disediakan untuk program beasiswa S2 bagi pegawai Badan POM.

Pada semua organisasi, Sumber Daya Manusia merupakan intangible asset yang sangat berharga. Sebanyak apapun sumber daya yang dimiliki suatu organisasi jika tidak dikelola dengan profesional akan menyebabkan inefesiensi penggunaan sumber daya. Pengelolaan Sumber Daya Manusia dimulai dengan proses rekruitmen yang tepat, penempatan sesuai kompetensi pendidikan, peremajaan dan peningkatan kompetensi SDM sesuai kebutuhan organisasi, mutasi dan promosi yang transparan dengan memperhatikan azas reward and punishmnet serta pengembangan pola karier yang jelas.Yang tidak kalah penting dalam pengelolaan SDM adalah proyeksi/perkiraan kebutuhan SDM dalam kurun waktu tertentu yang didasarkan pada Institutional

Development Plan.

Peningkatan kapasitas SDM dibutuhkan baik di bidang teknis maupun menajerial. Peningkatan kapasitas teknis dilakukan baik melalui pendidikan berkelanjutan maupun pelatihan-pelatihan teknis terstruktur. Untuk melihat efektifitas pelatihan-pelatihan tersebut perlu dilakukan evaluasi agar tidak terkesan hanya melakukan rutinitas dan pemborosan anggaran. Sedangkan peningkatan kapasitas SDM di bidang manajerial dirasa kurang mendapat perhatian dan belum didasarkan pada kebutuhan perkembangan organisasi dan tuntutan lingkungan strategis.

(16)

Pencapaian kesembilan sasaran tersebut secara lengkap dicantumkan dalam Matriks Pengukuran Pencapaian Sasaran (PPS), pada Lampiran 3 buku ini.

Sebagai perwujudan pelaksanaan UU No.17 Tahun 2004 dan KePres No.42 Tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN, akuntabilitas keuangan Badan POM tahun 2007 telah dilaporkan melalui Laporan Keuangan, berupa Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Neraca dan Catatan atas Laporan Keuangan.

Pada tahun 2007 Badan POM memperoleh anggaran sebesar Rp 456.529.769.000,- termasuk untuk BBPOM/BPOM di seluruh Indonesia, yang terdiri dari Belanja Pegawai Rp 137.063.666.000,-; Belanja Barang Rp 191.964.199.000,-; serta Belanja Modal Rp 127.501.904.000,-. Realisasi dari anggaran tersebut adalah sebesar 82,80%, yang terdiri dari Belanja Pegawai 83,36%; Belanja Barang 74,62% dan Belanja Modal 94,52%.

Dari realisasi belanja pegawai terlihat bahwa terjadi perencanaan kebutuhan pegawai yang kurang tepat dan akurat sehingga terjadi inefisiensi anggaran yang seharusnya bisa dialokasikan ke jenis belanja yang lain. Sedangkan untuk belanja barang, realisasi yang rendah diakibatkan adanya pemotongan belanja barang berdasarkan surat Menteri Keuangan Nomor : S.348/MK.02/2007 tentang Penyesuaian Belanja Perjalanan Dinas Tidak Mengikat TA 2007. Perhitungan realisasi anggaran dihitung terhadap pagu awal sehingga realisasi menjadi rendah. Realisasi belanja modal mendekati maksimal karena perencanaan kebutuhan yang tepat.

(17)

A. EFISIENSI

Fokus pengukuran efisiensi adalah indikator input dan output dari suatu kegiatan. Dalam hal ini, diukur kemampuan suatu kegiatan untuk menggunakan input yang lebih sedikit dalam menghasilkan output yang sama/lebih besar; atau penggunaan input yang sama dapat menghasilkan output yang sama/lebih besar; atau persentase capaian output sama/lebih tinggi daripada persentase capaian input. Efisiensi suatu kegiatan diukur dengan membandingkan indeks efisiensi (IE) terhadap standar efisiensi (SE).

Indeks efisiensi (IE) diperoleh dengan membagi % capaian output terhadap % capaian

input, sesuai rumus berikut:

Sedangkan standar efisiensi (SE) merupakan angka pembanding yang dijadikan dasar dalam menilai efisiensi. Dalam hal ini, SE yang digunakan adalah indeks efisiensi sesuai rencana capaian, yaitu 1, yang diperoleh dengan menggunakan rumus :

Selanjutnya, efisiensi suatu kegiatan ditentukan dengan membandingkan IE terhadap SE, mengikuti formula logika berikut :

IE = % Capaian Output

% Capaian Input

SE = % RencanaCapaian Output

% Rencana Capaian Input

= 100%

100%

= 1

Jika IE > SE, maka kegiatan dianggap efisien

Jika IE < SE, maka kegiatan dianggap tidak efisien

(18)

Kemudian, terhadap kegiatan yang efisien atau tidak efisien tersebut diukur tingkat efisiensi (TE), yang menggambarkan seberapa besar efisiensi / ketidakefisienan yang terjadi pada masing – masing kegiatan, dengan menggunakan rumus berikut:

Pada tahun 2007, dari 54 kegiatan yang dilaksanakan oleh Badan POM, terdapat 8 (14,81%) kegiatan yang tidak efisien, dengan TE yang bervariasi antara 0,01 hingga -0,51. Dalam hal ini, semakin tinggi TE maka semakin rendah ketidakefisienan yang terjadi. Berikut ini adalah kegiatan - kegiatan yang tidak efisien:

No

Nama Kegiatan TE

1 Penilaian permohonan pendaftaran Produk Terapetik/Obat sebelum beredar

-0,50

2 Pelayanan bantuan hukum -0,06

3 Penyusunan peraturan per-UU, standar, dan pedoman -0,14 4 Pemeriksaan sarana produksi pangan dalam rangka

GMP (Good Manufacturing Practices)

-0,04

5 Pengujian kadar Nikotin dan Tar -0,01

6 Stimulasi eksplorasi dan fasilitasi pengembangan dan penelitian teknologi produksi tanaman obat bahan alam Indonesia mulai dari kultivasi, ekstraksi sampai produk jadi

-0,01

7 Penilaian permohonan pendaftaran Produk Terapetik/Obat sebelum beredar

-0,43

8 Pengadaan & Pembinaan SDM -0,51

Dalam konteks ini, tingkat efisiensi adalah bersifat relatif, artinya kegiatan yang dinyatakan efisien dalam buku ini dapat berubah menjadi tidak efisien setelah dievaluasi/diaudit oleh pihak lain, begitu pula sebaliknya. Dalam buku ini, perhitungan efisiensi kegiatan hanya didasarkan pada rasio antara output dan input, yang hanya

berupa dana. Ke depan, pengukuran efisiensi kegiatan perlu juga mempertimbangkan

TE = IE – SE

(19)

input yang lain, dengan dukungan data yang lebih memadai. Pengukuran efisiensi

kegiatan secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 4 buku ini.

B. EFEKTIVITAS

Efektivitas kegiatan diartikan sebagai tingkat kemampuan suatu kegiatan mencapai hasil yang diinginkan. Dalam hal ini, efektivitas ditentukan dari pencapaian indikator outcomes. Efektivitas kegiatan tidak dapat diukur seketika setelah kegiatan tersebut selesai dilaksanakan, namun baru dapat diukur beberapa tahun setelahnya. Untuk itu, salah satu cara untuk mengukur efektivitas kegiatan adalah dengan cara mengadakan survey. Pada tahun 2007, Badan POM belum melakukan survey yang terkait dengan hal tersebut karena keterbatasan anggaran. Ke depan, perlu diprioritaskan survey dan in depth

Referensi

Dokumen terkait

Dalam Laporan ini, pencapaian kinerja diukur dari pencapaian sasaran, yaitu dengan melakukan pengukuran atas indikator-indikator yang dianggap mampu mengukur pencapaian sasaran

&#34;Pengaruh Kualitas Produk, Kualitas Layanan, Nilai Nasabah terhadap Citra Perbankan serta Implikasinya pada Keputusan Nasabah Menabung dengan Karakteristik

10 Hal tersebut yang dialami oleh remaja Batu Gantong Dalam, akibat kurangnya didikan yang baik dari orang tua sehingga membuat merekaterpengaruh dan larut dengan keadaan

pelanggaran HAM Berat dalam suatu negara tanpa adanya permintaan dari negara tersebut. 2) Untuk memperdalam wawasan terkait praktik-praktik hukum tentang hubungan

Dan ini sudah dimulai dengan adanya Program Pasca Sarjana Fakultas Kehutanan Prodi Bisnis Konservasi, sehingga kedepannya para pengambil kebijkanan di DEPHUT

1 Meningkatnya efektifitas pengawasan internal Persentase penurunan jumlah temuan kerugian negara/daerah 27.77 % -127.71 % 0% Opini Pengawasan Eksternal (BPK) WTP WTP

Kegiatan Penyediaan Jasa Kebersihan Kantor/Rumah Dinas Balai Pembibitan Dan Budidaya Ternak Non Ruminansia - Balai Budidaya dan Pembibitan Unggas dan Aneka

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraukan diatas, maka rumusan masalah yang akan dibahas adalah bagaimana cara memperkenalkan dan membangun sebuah sistem