• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. sosial individu tersebut (Sarafino 2006). Agolla dan Ongori (2009) juga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. sosial individu tersebut (Sarafino 2006). Agolla dan Ongori (2009) juga"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. STRES AKADEMIK 1. Pengertian Stres

Stres merupakan suatu kondisi yang disebabkan adanya ketidaksesuaian antara situasi yang diinginkan dengan keadaan biologis, psikologis atau sistem sosial individu tersebut (Sarafino 2006). Agolla dan Ongori (2009) juga mendifinisikan stres sebagai persepsi dari kesenjangan antara tuntutan lingkungan dan kemampuan individu untuk memenuhinya. Menurut Santrock (2003) stres merupakan respon individu terhadap keadaan atau kejadian yang memicu stres (stressor), yang mengancam dan mengganggu kemampuan seseorang untuk menanganinya (coping).

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa stres adalah ketidaksesuaian antara situasi yang diinginkan dimana terdapat kesenjangan antara tuntutan lingkungan dan kemampuan individu untuk memenuhinya yang dinilai potensial membahayakan, mengancam, mengganggu dan tidak terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk melakukan coping.

(2)

2. Jenis-Jenis Stres

Selye (dalam Rice, 1992) mengategorikan jenis stres menjadi dua, yaitu: a. Distres (Stres Negatif)

Seyle (1992) menyebutkan distres merupakan stres yang bersifat tidak menyenangkan. Stres dirasakan sebagai suatu keadaan dimana individu mengalami rasa cemas, ketakutan, khawatir, atau gelisah. Sehingga individu mengalami keadaan psikologis yang negatif, menyakitkan, atau timbul keinginan untuk menghindarinya.

b. Eustres (Stres Positif)

Seyle (1992) menyebutkan bahwa eustres bersifat menyenangkan dan merupakan pengalaman yang memuaskan. Eustres dapat meningkatkan kewaspadaan, koginisi, dan performansi individu. Eustres juga dapat meningkatkan motivasi individu untuk menciptakan sesuatu.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jenis stres terbagi menjadi dua, yaitu distres (stres negatif) dan eustres (stres positif).

3. Pengertian Stres Akademik

Stres yang terjadi di lingkungan sekolah atau pendidikan biasanya disebut dengan stres akademik. Olejnik dan Holschuh (2007) mengambarkan stres akademik ialah respon yang muncul karena terlalu banyaknya tuntutan dan tugas yang harus dikerjakan siswa.

Stres akademik adalah stres yang muncul karena adanya tekanan-tekanan untuk menunjukkan prestasi dan keunggulan dalam kondisi persaingan akademik

(3)

yang semakin meningkat sehingga mereka semakin terbebani oleh berbagai tekanan dan tuntutan (Alvin, 2007). Menurut Gusniarti (2002), stres akademik yang dialami siswa merupakan hasil persepsi yang subjektif terhadap adanya ketidaksesuaian antara tuntutan lingkungan dengan sumber daya aktual yang dimiliki siswa.

Berdasarkan berbagai definisi di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa stres akademik adalah suatu kondisi atau keadaan dimana terjadi ketidaksesuaian antara tuntutan lingkungan dengan sumber daya aktual yang dimiliki siswa sehingga mereka semakin terbebani oleh berbagai tekanan dan tuntutan.

4. Stresor Akademik

Stresor akademik diidentifikasi dengan banyaknya tugas, kompetisi dengan siswa lain, kegagalan, kekurangan uang, relasi yang kurang antara sesama siswa dan guru, lingkungan yang bising, sistem semester, dan kekurangan sumber belajar (Agolla dan Ongori, 2009). Selanjutnya, Olejnik dan Holschuh (2007) menyatakan sumber stres akademik atau stresor akademik yang umum antara lain:

a. Ujian, menulis, atau kecemasan berbicara di depan umum

Beberapa siswa merasa stres sebelum ujian atau menulis sesuatu ketika mereka tidak bisa mengingat apa yang mereka pelajari. Telapak tangan mereka berkeringat, dan jantung berdegup kencang. Mereka merasa sakit kepala atau merasa dingin ketika dalam situasi ujian. Biasanya siswa-siswi ini tidak bisa

(4)

melakukan yang terbaik karena mereka terlalu cemas ketika merefleksikan apa yang telah di pelajari.

b. Prokrastinasi

Beberapa guru menganggap bahwa siswa yang melakukan prokrastinasi menunjukkan ketidakpedulian terhadap tugas mereka, tetapi ternyata banyak siswa yang peduli dan tidak dapat melakukan itu secara bersamaan. Siswa tersebut merasa sangat stres terhadap tugas mereka.

c. Standar akademik yang tinggi

Stres akademik terjadi karena siswa ingin menjadi yang terbaik di sekolah mereka dan guru memiliki harapan yang besar terhadap mereka. Hal ini tentu saja membuat siswa merasa tertekan untuk sukses di level yang lebih tinggi.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa stresor akademik yang umum antara lain: ujian, menulis, atau kecemasan berbicara di depan umum, prokrastinasi, standar akademik yang tinggi.

5. Respon terhadap stres akademik

Olejnik dan Holschuh (2007) mengemukakan reaksi terhadap stresor akademik terdiri dari:

a. Pemikiran

Respon yang muncul dari pemikiran, seperti: kehilangan rasa percaya diri, takut gagal, sulit berkonsentrasi, cemas akan masa depan, melupakan sesuatu, dan berfikir terus-menerus mengenai apa yang seharusnya mereka lakukan.

(5)

b. Perilaku

Respon yang muncul dari perilaku, seperti menarik diri, menggunakan obat-obatan dan alkohol, tidur terlalu banyak atau terlalu sedikit, makan terlalu banyak atau terlalu sedikit, dan menangis tanpa alasan.

c. Reaksi tubuh

Respon yang muncul dari reaksi tubuh, seperti: telapak tangan berkeringat, kecepatan jantung meningkat, mulut kering, merasa lelah, sakit kepala, rentan sakit, mual, dan sakit perut.

d. Perasaan

Respon yang muncul dari perasaan, seperti: cemas, mudah marah, murung, dan merasa takut.

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat empat respon terhadap stresor akademik yaitu pemikiran, perasaan, reaksi tubuh, dan perilaku.

6. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Stres Akademik

Alvin (2007) mengemukakan bahwa stres akademik ini diakibatkan oleh dua faktor yaitu internal dan eksternal.

1) Faktor internal yang mengakibatkan stres akademik, yaitu: a. Pola pikir

Individu yang berfikir mereka tidak dapat mengendalikan situasi mereka cenderung mengalami stres lebih besar. Semakin besar kendali yang siswa pikir dapat ia lakukan, semakin kecil kemungkinan stres yang akan siswa alami.

(6)

b. Kepribadian

Kepribadian seorang siswa dapat menentukan tingkat toleransinya terhadap stres. Tingkat stres siswa yang optimis biasanya lebih kecil dibandingkan siswa yang sifatnya pesimis.

c. Keyakinan

Penyebab internal selanjutnya yang turut menentukan tingkat stres siswa adalah keyakinan atau pemikiran terhadap diri. Keyakinan terhadap diri memainkan peranan penting dalam menginterpretasikan situasi-situasi disekitar individu. Penilaian yang diyakini siswa, dapat mengubah cara berfikirnya terhadap suatu hal bahkan dalam jangka panjang dapat membawa stres secara psikologis.

2) Faktor eksternal yang mengakibatkan stres akademik a. Pelajaran lebih padat

Kurikulum dalam sistem pendidikan telah ditambah bobotnya dengan standar lebih tinggi. Akibatnya persaingan semakin ketat, waktu belajar bertambah dan beban pelajar semakin berlipat. Walaupun beberapa alasan tersebut penting bagi perkembangan pendidikan dalam negara, tetapi tidak dapat menutup mata bahwa hal tersebut menjadikan tingkat stres yang dihadapi siswa meningkat pula.

b. Tekanan untuk berprestasi tinggi

Para siswa sangat ditekan untuk berprestasi dengan baik dalam ujian-uijan mereka. Tekanan ini terutama datang dari orang tua, keluarga guru, tetangga, teman sebaya, dan diri sendiri.

(7)

c. Dorongan status sosial

Pendidikan selalu menjadi simbol status sosial. Orang-orang dengan kualifikasi akademik tinggi akan dihormati masyarakat dan yang tidak berpendidikan tinggi akan dipandang rendah. Siswa yang berhasil secara akademik sangat disukai, dikenal, dan dipuji oleh masyarakat. Sebaliknya, siswa yang tidak berprestasi di sekolah disebut lamban, malas atau sulit. Mereka dianggap sebagai pembuat masalah dan cendrung ditolak oleh guru, dimarahi orang tua, dan diabaikan teman-teman sebayanya.

d. Orang tua saling berlomba

Dikalangan orang tua yang lebih terdidik dan kaya informasi, persaingan untuk menghasilkan anak-anak yang memiliki kemampuan dalam berbagai aspek juga lebih keras. Seiring dengan menjamurnya pusat-pusat pendidikan informal, berbagai macam program tambahan, kelas seni rupa, musik, balet, dan drama yang juga menimbulkan persaingan siswa terpandai, terpintar dan serba bisa.

B. SELF-EFFICACY 1. Pengertian Self-Efficacy

Self-efficacy merupakan keyakinan bahwa seseorang dapat menguasai situasi dan memproduksi hasil yang positif (Bandura, 1997). Bandura (dalam Schultz & Schultz, 1994) mengemukakan bahwa self-efficacy merupakan perasaan seseorang terhadap kecukupan, efisiensi, dan kompetensinya dalam menghadapi kehidupan sehari-hari. Menemukan dan mempertahankan standar

(8)

performansi dapat meningkatkan self-efficacy yang dimiliki seseorang dan kegagalan untuk menemukan dan mempertahankan performasi tersebut akan mengurangi self-efficacy yang dimilikinya itu.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa self-efficacy adalah keyakinan bahwa seseorang dapat menguasai situasi dan memproduksi hasil yang positif dan perasaan seseorang terhadap kecukupan, efisiensi, dan kompetensinya dalam menghadapi kehidupan sehari-hari.

2. Dimensi Self-Efficacy

Menurut Bandura (1997), ada beberapa dimensi dari self-efficacy, yaitu: a. Tingkatan (Level)

Level berkaitan dengan tingkat kesulitan tugas yang dihadapi. Keyakinan seeorang terhadap suatu tugas berbeda-beda, mungkin orang hanya terbatas pada tugas yang sederhana, menengah atau sulit. Persepsi setiap individu akan berbeda dalam memandang tingkat kesulitan dari suatu tugas. Ada yang menganggap suatu tugas itu sulit sedangkan orang lain mungkin merasa tidak demikian

Tingkat kesulitan tugas dapat mempengaruhi pilihan tindakan yang dilakukan oleh individu. Individu cenderung akan menolak tugas-tugas yang dirasa tidak mampu untuk ia selesaikan karena di luar batas kemampuannya, dan sebaliknya ia akan cenderung memilih tugas-tugas dimana ia merasa mampu untuk menyelesaikannya.

(9)

b. Keadaan umum (Generality)

Generality sejauh mana individu yakin akan kemampuannya dalam berbagai situasi tugas, mulai dari dalam melakukan suatu aktivitas yang biasa dilakukan atau situasi tertentu yang tidak pernah dilakukan hingga dalam serangkaian tugas atau situasi sulit. Generality merupakan perasaan dimana kemampuan yang ditunjukkan individu pada konteks penyelesaian tugas yang berbeda-beda, baik itu melalui tingkah laku, kognitif dan afektifnya. Generality ini berhubungan dengan sejauh mana self efficacy yang dimiliki dapat digeneralisasi untuk tugas-tugas atau situasi-situasi yang serupa sehingga menimbulkan penguasaan di bidang tertentu.

c. Kekuatan (Strength)

Strength merupakan kuatnya keyakinan seseorang mengenai kemampuan yang dimiliki. Hal ini berkaitan dengan ketahanan dan keuletan individu dalam pemenuhan tugasnya. Individu yang memiliki keyakinan dan kemantapan yang kuat terhadap kemampuannya untuk mengerjakan suatu tugas akan terus bertahan dalam usahannya meskipun banyak mengalami kesulitan dan tantangan.

Pengalaman memiliki pengaruh terhadap self-efficacy yang diyakini sesesorang. Pengalaman yang lemah akan melemahkan keyakinan individu itu pula. Individu yang memiliki keyakinan yang kuat terhadap kemampuan mereka akan teguh dalam usaha untuk menyampaikan kesulitan yang dihadapi.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa self-efficacy pada setiap individu berbeda dalam beberapa dimensi, yaitu tingkat kesulitan tugas,

(10)

keadaan umum dalam menyelesaikan suatu tugas, dan kekuatan dari keyakinan seseorang untuk menyelesaikan suatu tugas.

3. Klasifikasi Self-efficacy

Secara garis besar, efficacy terbagi dalam dua bentuk, yaitu self-efficacy tinggi dan self-self-efficacy rendah. Dalam mengerjakan suatu tugas, individu yang memiliki self-efficacy tinggi cenderung memilih terlibat langsung, sedangkan individu yang memiliki self-efficacy rendah cenderung menghindari tugas tersebut.

Individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi adalah ketika individu tersebut merasa yakin bahwa mereka mampu menangani secara efektif peristiwa dan situasi yang mereka hadapi, tekun dalam menyelesaikan tugas-tugas, percaya pada kemampuan diri yang mereka miliki, memandang kesulitan sebagai tantangan bukan ancaman dan suka mencari situasi baru. Individu dengan self-efficacy yang tinggi juga menetapkan sendiri tujuan yang menantang dan meningkatkan komitmen yang kuat terhadap dirinya, menanamkan usaha yang kuat dalam terhadap apa yang dilakukannya, dan meningkatkan usaha saat menghadapi kegagalan, berfokus pada tugas dan memikirkan strategi dalam menghadapi kesulitan, cepat bangkit ketika mengalami kegagalan, dan menghadapi stressor atau ancaman dengan keyakinan bahwa mereka mampu mengontrolnya (Bandura, 1997).

Individu yang memiliki self-efficacy yang rendah adalah individu yang merasa tidak berdaya, cepat sedih, cemas, menjauhkan diri dari tugas-tugas yang

(11)

sulit, cepat menyerah saat menghadapi rintangan, kemauan yang rendah dan komitmen yang lemah terhadap tujuan yang ingin dicapai. Individu yang memiliki self-efficacy yang rendah dalam situasi sulit cenderung akan memikirkan kekurangan mereka, beratnya tugas tersebut, dan konsekuensi dari kegagalannya, serta lambat untuk memulihkan kembali perasaan mampu setelah mengalami kegagalan (Bandura, 1997).

4. Sumber-Sumber Self-Efficacy

Menurut Bandura (dalam Schultz & Schultz, 1994) sumber-sumber dari self-efficacy yaitu :

a. Pencapaian prestasi (performance attainment)

Pencapaian prestasi merupakan bagian yang paling berpengaruh dalam penentuan self-efficacy. Pengalaman sukses sebelumnya memberikan indikasi langsung dari tingkatan kompetensi individu. Tingkah laku atau hasil sebelumnya menunjukkan kemampuan individu dan menguatkan penilaiannya atas self-efficacy. Khususnya apabila kegagalan sebelumnya diulangi dengan kegagalan lagi, maka hal ini akan menurunkan self-efficacy.

Individu dengan self-efficacy yang tinggi percaya bahwa mereka bisa berdamai secara efektif dengan kejadian yang mereka hadapi dalam kehidupannya. Mereka mengharapkan kesuksesan dalam rintangan yang akan dihadapi, oleh karena itu mereka gigih dalam tugas dan sering melakukan performansi yang baik. Mereka memiliki kepercayaan diri yang baik dalam kemampuan mereka dibandingkan individu dengan self-efficacy yang rendah, dan

(12)

mereka hanya sedikit memperlihatkan keragu-raguan. Individu dengan self-efficacy yang tinggi melihat hal sulit sebagai tantangan dan aktif mencari situasi yang baru.

b. Pengalaman orang lain (vicarious experiences)

Melihat kesuksesan orang lain akan menguatkan perasaan akan self-efficacy, khususnya jika seseorang yang menjadi objek observasi memiliki kemampuan yang sama dengan individu yang melakukan observasi. Sebaliknya jika individu melihat orang lain yang dianggap memiliki kesamaan tersebut mengalami kegagalan, maka hal ini akan menurunkan self-efficacy.

Individu yang memiliki standar penampilan tinggi yang mengambil standar tersebut dari hasil mengobservasi model yang sukses akan memiliki harapan yang tinggi, namun jika kemudian gagal, maka individu tersebut akan menghukum dirinya sendiri dengan perasaan tidak berharga dan depresi.

Seseorang akan berusaha mencari model yang memiliki kompetensi dan kemampuan yang sesuai dengan keinginannya. Dengan mengamati perilaku dan cara berfikir dari model tersebut, maka akan dapat memberi pengetahuan dan pelajaran tentang strategi dalam menghadapi berbagai tuntutan lingkungan (Bandura, 1997).

c. Persuasi Verbal (verbal persuation)

Ketika seseorang mendapatkan dukungan sosial melalui tindakan-tindakan persuasif secara verbal (verbal persuation) bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mencapai sukses atau tingkat kinerja tertentu, maka hal ini juga dapat membentuk keyakinan mengenai efficacy di dalam diri seseorang. Orang yang

(13)

mendapat persuasi secara verbal maka mereka memiliki kemampuan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan akan melakukan usaha yang lebih besar dari pada orang yang tidak mendapatkan persuasi bahwa dirinya mampu pada bidang tersebut. Persuasi lisan ini sering dilakukan oleh orang tua, guru, suami/istri, teman, dan terapis. Agar efektif, persuasi haruslah realistik.

d. Keterbangkitan psikologis (psychological arousal)

Keterbangkitan psikologis ini meliputi perasaan tenang atau ketakutan pada situasi yang membuat stres. Keterbangkitan psikologis ini biasa digunakan untuk melihat kemampuan individu dalam mengatasi masalah.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat empat sumber informasi mengenai tingkatan self-efficacy, yaitu pencapaian prestasi, pengalaman orang lain, persuasi lisan, dan keterbangkitan psikologis.

5. Perkembangan Self-Efficacy

Bandura (1997) menyatakan bahwa self-efficacy berkembang sejak bayi. Bayi mulai mengembangkan self-efficacy sebagai usaha untuk melatih pengaruh lingkungan fisik dan sosial. Mereka mulai belajar mengenai kemampuan dirinya, kecakapan fisik, kemampuan sosial, dan kecakapan berbahasa yang hampir secara tetap digunakan dan ditujukan pada lingkungan. Perubahan sebagai perluasan pengalaman dunia anak dipengaruhi oleh saudara kandung, teman sebaya, dan individu dewasa lainnya.

Pengalaman transisi remaja meliputi tuntutan untuk mengatasi tuntutan dan tekanan baru, dari kesadaran seks sampai memilih bidang pelajaran dan karir.

(14)

Dalam hal ini remaja harus menetapkan kemampuan baru, yaitu penilaian baru terhadap diri mereka. Self-efficacy pada individu dewasa meliputi penyesuaian pada masalah perkawinan dan peningkatan karir. Sedangkan self-efficacy pada individu yang sudah lanjut usia sangat sulit terbentuk sebab pada tahapan perkembangan ini terjadi penurunan mental dan fisik, pensiun kerja, dan penarikan diri dari lingkungan sosial

Berdasarkan penjelasan di atas terlihat bahwa self-efficacy mengalami perkembangan terus-menerus dari bayi hingga dewasa. Self-efficacy berubah seiring dengan perubahan yang dialami oleh individu. Perubahan tersebut meliputi perubahan fisik, lingkungan sosial, kecakapan dan tuntutan tugas yang dihadapi.

6. Proses Psikologis dalam Self-Efficacy

Bandura (1997) mengemukakan empat proses psikologis dalam self-efficacy yang turut berperan dalam diri manusia, yaitu :

a. Proses kognitif

Proses kognitif merupakan proses berfikir, termasuk didalamnya adalah pemerolehan, pengorganisasian, dan penggunaan informasi. Dampak dari self-efficacy pada proses kognitif sangat bervariasi. Seseorang akan membentuk suatu tujuan tertentu sebelum ia melakukan pendekatan untuk mencapai tujuan tersebut.

Bentuk tujuan personal juga dipengaruhi oleh penilaian akan kemampuan diri. Semakin seseorang mempersepsikan dirinya mampu, maka individu akan semakin membentuk usaha-usaha dalam mencapai tujuannya dan semakin kuat komitmen individu terhadap tujuannya (Bandura, 1997). Kebanyakan tindakan

(15)

manusia bermula dari sesuatu yang dipikirkan terlebih dahulu. Individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi lebih senang membayangkan tentang kesuksesan. Sebaliknya individu dengan self-efficacy yang rendah lebih banyak membayangkan kegagalan dan hal-hal yang dapat menghambat tercapainya kesuksesan (Bandura, 1997).

Fungsi utama pikiran adalah memungkinkan individu untuk memprediksi suatu kejadian dan mengembangkan cara untuk mengontrol hal-hal yang dapat mempengaruhi kehidupan mereka. Untuk dapat memprediksi dan mengembangkan cara tersebut diperlukan pemrosesan informasi melalui kognitif. Proses kognitif ini juga dipengaruhi oleh bagaimana kepribadian yang dimiliki oleh seseorang. Bagaimana cara pandangnya, baik itu terhadap dirinya maupun orang lain dan kejadian disekitarnya berhubungan dengan self-efficacy seseorang dalam suatu aktivitas tertentu melalui mekanisme self regulatory (Bandura, 1997).

b. Proses motivasi

Kebanyakan motivasi manusia dibangkitkan melalui kognitif atau pikiran. Individu memberi motivasi atau dorongan bagi diri mereka sendiri dan mengarahkan tindakan melalui tahap-tahap pemikiran sebelumnya. Mereka membentuk suatu keyakinan tentang apa yang dapat mereka lakukan, mengantisipasi hasil dari suatu tindakan, membentuk tujuan bagi diri mereka sendiri dan merencanakan tindakan-tindakan yang diperlukan dalam mencapai tujuan (Bandura, 1997).

(16)

c. Proses afeksi

Proses afeksi merupakan proses pengaturan kondisi emosi dan reaksi emosional. Menurut Bandura (1997), keyakinan individu akan kemampuan coping mereka turut mempengaruhi tingkatan stres dan depresi seseorang saat mereka menghadapi situasi yang sulit.

Individu dengan self-efficacy yang rendah merasa tidak berdaya, tidak bisa memberikan pengaruh dalam kehidupannya. Mereka percaya bahwa usaha mereka sia-sia, mereka seperti akan mengalami peningkatan kesedihan, apatis, dan kecemasan. Mereka cepat menyerah dalam menghadapi masalah dalam hidupnya dan merasa usahanya tidak efektif. Individu dengan self-efficacy yang sangat rendah tidak akan mencoba untuk mengatasi masalahnya, karena mereka percaya apa yang mereka lakukan tidak akan membawa perbedaan (Schultz, 1994).

d. Proses seleksi

Manusia merupakan bagian dari lingkungan tempat dimana mereka berada. Kemampuan individu untuk memilih aktivitas dan situasi tertentu, turut mempengaruhi dampak dari suatu kejadian. Individu cenderung menghindari aktivitas dan situasi yang di luar batas kemampuan mereka. Bila individu merasa yakin bahwa mereka mampu menangani suatu situasi, maka mereka cenderung tidak menghindari situasi tersebut (Bandura, 1997).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat empat proses psikologis dalam self-efficacy seseorang, yaitu proses kognitif yang menggunakan pikiran, proses motivasi yang dapat menguatkan keyakinan individu, proses afeksi

(17)

yang memengaruhi tingkat stres dari suatu tugas dan proses seleksi yang mempengaruhi pemilihan individu terhadap situasi dan perilaku tertentu.

7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self-Efficacy

Menurut Bandura (1997), ada beberapa faktor yang mempengaruhi self-efficacy, yaitu:

a. Jenis kelamin

Orang tua sering kali memiliki pandangan yang berbeda terhadap kemampuan laki-laki dan perempuan. Zimmerman (Bandura, 1997) mengatakan bahwa terdapat perbedaan pada perkembangan kemampuan dan kompetensi pada laki-laki dan perempuan. Ketika laki-laki berusaha untuk sangat membanggakan dirinya, perempuan seringkali meremehkan kemampuan mereka. Hal ini berasal dari pandangan orang tua terhadap anaknya. Orang tua menganggap bahwa waniat lebih sulit untuk mengikuti pelajaran dibandingkan laki-laki, walaupun prestasi akademik mereka tidak terlalu berbeda. Semakin seorang wanita menerima perlakuan streotipe gender ini, maka semakin rendah penilaian terhadap kemampuan dirinya. Pada beberapa bidang pekerjaan tertentu, pria memiliki self-efficacy yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita. Begitu juga sebaliknya self-efficacy wanita unggul dalam beberapa pekerjaan dibandingkan dengan pria. b. Usia

Self-efficacy terbentuk melalui proses belajar sosial yang dapat berlangsung selama kehidupan. Individu yang lebih tua memiliki rentang waktu dan pengalaman yang lebih banyak dalam mengatasi suatu hal jika dibandingkan

(18)

dengan individu yang lebih muda yang mungkin masih memiliki sedikit pengalaman dalam hidupnya. Individu yang lebih tua akan lebih mampu mengatasi rintangan dalam hidupnya dibandingkan dengan individu yang lebih muda, hal ini juga berkaitan dengan pengalaman yang individu miliki sepanjang kehidupannya.

c. Tingkat pendidikan

Self-efficacy terbentuk melalui proses belajar yang dapat diterima individu pada tingkat pendidikan formal. Individu yang memiliki jenjang pendidikan tinggi biasanya memiliki self-efficacy yang lebih tinggi, karena pada dasarnya mereka lebih banyak belajar dan menerima pendidikan formal dan lebih banyak mendapatkan kesempatan untuk belajar dan mengatasi suatu persoalan yang ada dalam hidupnya.

d. Pengalaman

Self-efficacy terbentuk melalui proses belajar yang dapat terjadi pada suatu organisasi maupun perusahaan dimana seorang individu tersebut bekerja. Self-efficacy terbentuk sebagai suatu proses adaptasi dan pembelajaran yang ada dalam situasi kerja tersebut. Semakin lama seseorang bekerja maka semakin tinggi self-efficacy yang dimilikinya dalam bidang pekerjaan tertentu. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan self-efficacy orang tersebut justru cenderung tetap atau menurun. Hal ini tergantung bagaimana individu menghadapi keberhasilan dan kegagalan yang dialami selama melakukan pekerjaan.

(19)

Berdasarkan penjelasan di atas, maka diketahui bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi self-efficacy seseorang, yaitu jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, dan pengalaman kerja.

8. Cara Meningkatkan Self-Efficacy

Menurut Santrock (1999), ada empat cara meningkatkan self-efficacy yang dimiliki, yaitu:

a. Memilih satu tujuan yang diharapkan dapat dicapai, dimana tujuan yang dipilih tentu saja yang sifatnya realistis untuk dicapai.

b. Memisahkan pengalaman masa lalu dengan rencana yang sedang dilakukan. Hal ini penting untuk dilakukan agar pengaruh kegagalan masa lalu tidak mempengaruhi rencana yang sedang dilakukan.

c. Tetap berusaha mempertahankan prestasi yang baik dengan cara berusaha dan tetap fokus dengan keberhasilan yang telah dicapai.

d. Membuat daftar urutan situasi atau kegiatan yang diharapkan dapat di atasi atau dapat dilakukan mulai dari yang paling mudah sampai ke yang paling sulit. Hal ini penting untuk mengingkatkan self-efficacy secara bertahap dalam pengerjaan hal-hal yang sulit.

Berdasarkan penjelasan di atas maka diketahui bahwa tredapat empat cara untuk meningkatkan self-efficacy yaitu: memilih satu tujuan yang secara realistis dapat dicapai, memisahkan masa lalu dengan rencana yang sedang dilakukan, tetap fokus mempertahankan prestasi dan membuat daftar kegiatan dan mengerjakan sesuatu berdasarkan tingkatan kesulitan tugas.

(20)

C. RINTISAN SEKOLAH BERTARAF INTERNASIOAL (RSBI) 1. Pengertian Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI)

Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) adalah sekolah yang sudah memenuhi seluruh Standart Nasional Pendidikan (SNP) yang diperkaya dengan standart pendidikan negara maju yang tujuannya untuk meningkatkan kualitas dan daya saing baik ditingkat nasional maupun internasional. Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang harus dipenuhi sekolah RSBI , yaitu standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan (Kemdikbud, 2009).

2. Tujuan Program Rintisan Sekolah Bertandart Internasional (RSBI) Tujuan Umum

a. Meningkatkan kualitas pendidikan nasional sesuai dengan amanat Tujuan Nasional dalam Pembukaan UUD 1945, pasal 31 UUD 1945, UU No.20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS, PP No.19 tahun 2005 tentang SNP( Standar Nasional Pendidikan), dan UU No.17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional yang menetapkan Tahapan Skala Prioritas Utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah ke-1 tahun 2005-2009 untuk meningkatkan kualitas dan akses masyarakat terhadap pelayanan pendidikan.

b. Memberi peluang pada sekolah yang berpotensi untuk mencapai kualitas bertaraf nasional dan internasional.

(21)

c. Menyiapkan lulusan yang mampu berperan aktif dalam masyarakat global.

Tujuan Khusus

Menyiapkan lulusan yang memiliki kompetensi yang tercantum di dalam Standar Kompetensi Lulusan yang diperkaya dengan standar kompetensi lulusan berciri internasional. RSBI/SBI adalah sekolah yang berbudaya Indonesia, karena Kurikulumnya ditujukan untuk Pencapaian indikator kinerja kunci minimal sebagai berikut:

a. Menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP);

b. Menerapkan sistem satuan kredit semester di SMA/SMK/MA/MAK; c. Memenuhi Standar Isi; dan

d. Memenuhi Standar Kompetensi Lulusan.

Selain itu, keberhasilan tersebut juga ditandai dengan pencapaian indikator kinerja kunci tambahan sebagai berikut:

a. Sistem administrasi akademik berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di mana setiap saat siswa bisa mengakses transkripnya masing-masing;

b. Muatan mata pelajaran setara atau lebih tinggi dari muatan pelajaran yang sama pada sekolah unggul dari salah satu negara anggota OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) dan/ atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan; dan

(22)

c. Menerapkan standar kelulusan sekolah/ madrasah yang lebih tinggi dari Standar Kompetensi Lulusan.

Menurut Ditjen Mandikdasmen (2010) adalah tidak benar kalau guru Bahasa Indonesia harus menggunakan bahasa Inggris dalam memberikan pengantar pelajarannya. Walaupun hal tersebut boleh saja dilakukan, tetapi penggunaan bahasa Inggris adalah untuk pembelajaran mata pelajaran kelompok sains, matematika, dan inti kejuruan saja, sebagaimana dalam bagian proses pembelajaran RSBI/SBI dinyatakan bahwa mutu setiap Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional dijamin dengan keberhasilan melaksanakan proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Proses pembelajaran disesuaikan dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Keberhasilan tersebut ditandai dengan pencapaian indikator kinerja kunci minimal, yaitu memenuhi standar proses. Selain itu, keberhasilan tersebut juga ditandai dengan pencapaian indikator kinerja kunci tambahan sebagai berikut:

a. Proses pembelajaran pada semua mata pelajaran menjadi teladan bagi sekolah/madrasah lainnya dalam pengembangan akhlak mulia, budi pekerti luhur, kepribadian unggul, kepemimpinan, jiwa entrepreneural, jiwa patriot, dan jiwa inovator;

b. Diperkaya dengan model proses pembelajaran sekolah unggul dari salah satu negara anggota OECD dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan;

(23)

d. Pembelajaran mata pelajaran kelompok sains, matematika, dan inti kejuruan menggunakan bahasa Inggris, sementara pembelajaran mata pelajaran lainnya, kecuali pelajaran bahasa asing, harus menggunakan bahasa Indonesia; dan Pembelajaran dengan bahasa Inggris untuk mata pelajaran kelompok sains dan matematika untuk SD/MI baru dapat dimulai pada Kelas IV.

3. Pelaksanaan Kurikulum dan Proses Pembelajaran RSBI

Berdasarkan Ditjen Mandikdasmen (2010) pelaksanaan kurikulum dan proses pembelajaran RSBI menggunakan asas-asas sebagai berikut:

a. Menggunakan kurikulum yang berlaku secara nasional dengan mengadabtasi kurikulum sekolah di negara lain.

b. Mengajarkan bahasa asing, terutama penggunaan bahasa Inggris, secara terintegrasi dengan mata pelajaran lainnya. Metode pengajaran dwi bahasa ini dapat dilaksanakan dengan 2 kategori yakni Subtractive Bilingualism dan Additive Bilingualism, yang menekankan pendekatan Dual Language. c. Pengajaran dengan pendekatan Dual Language menekankan perbedaan adanya bahasa akademis dan bahasa sosial yang pengaturan bahasa pengantarnya dapat dialokasikan berdasarkan subjek maupun waktu. d. Menekankan keseimbangan aspek perkembangan anak meliputi aspek

kognitif (intelektual), aspek sosial dan emosional, dan aspek fisik.

e. Mengintegrasikan kecerdasan majemuk (Multiple Intelligence) termasuk emotional intelligence dan spiritual intelligence ke dalam kurikulum.

(24)

f. Mengembangkan kurikulum terpadu yang berorientasi pada materi, kompetensi, nilai dan sikap serta prilaku (kepribadian ).

g. Mengarahkan siswa untuk mampu berpikir kritis, kreatif dan analitis , memiliki kemampuan belajar (learning how to learn) serta mampu mengambil keputusan dalam belajar. Penyusunan kurikulum ini didasarkan prinsip Understanding by Design yang menekankan pemahaman jangka panjang (Enduring Understanding). Pemahaman (understanding) dilihat dari 6 aspek: explain, interpret, apply, perspective, empathy, self knowledge.

h. Kurikulum tingkatan satuan pendidikan dapat menggunakan sistem paket dan kredit semester.

i. Dapat memberikan program magang untuk siswa SMA, MA dan SMK. j. Menekankan kemampuan pemanfaatan Information and Communication

Technology (ICT) yang terintegrasi dalam setiap mata pelajaran.

4. Penjaminan Mutu Kompetensi Lulusan

a. Standar kelulusan menekankan pada semua aspek seperti spiritual, norma, sosial, emosional selain akademik.

b. Standar akademik menekankan pada pemahaman materi belajar, bukan pada pengumpulan nilai, yang harus didukung oleh berbagai bukti otentik c. Kelulusan berdasarkan pada analisa individu yang menggunakan

(25)

d. Kualitas lulusan dipersiapkan mampu bersaing secara global baik dari segi pengetahuan maupun kompetensi berkomunikasi dengan tetap mempertahankan budaya Indonesia.

e. Terdapat standar minimal pendukung yang harus dipenuhi siswa yang dapat berupa; projek dan makalah/tulisan, Community Service project (pengabdian pada masyarakat), program magang untuk SMA,MA dan SMK, serta kehadiran

f. Kualitas lulusan yang dihasilkan dapat diterima di sekolah-sekolah Internasional di dunia berdasarkan: kemampuan bahasa Inggris yang dimiliki siswa, tipe laporan standar internasional, dapat bekerjasama dengan lembaga internasional.

5. Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) SMP Negeri 1 Medan SMPN 1 Medan merupakan sekolah yang menggunakan kurikulum RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional), dimana sistem pembelajaran di SMPN1 Medan ini menggunakan konsep bilingual, yaitu memadukan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam proses belajarnya. Pada pelajaran-pelajaran tertentu seperti pelajaran MIPA mengunakan bahasa Inggris sepenuhnya, sedangkan pada pelajaran bahasa Indonesia sistem pembelajarannya tetap menggunakan bahasa Indonesia sepenuhnya.

RSBI SMPN 1 Medan memiliki visi dan misi. Visi RSBI SMPN 1 Medan yaitu:

(26)

b. Memahami dan menjalankan hak dan kewajiban untuk berkarya dan kewajiban lingkungan secara bertanggung jawab.

c. Berpikir secara logis, kritis, kreatif, inovatif memecahkan masalah serta berkomunikasi melalui berbagai media.

d. Unggul dalam Penilaian dan Kelulusan berstandar Internasional

Selanjutnya, misi dari RSBI SMPN 1 Medan, yaitu: a. Menyenangi dan menghargai seni.

b. Menjalankan pola hidup bersih, bugar dan sehat.

c. Berpartisipasi dalam kehidupan sebagai cerminan rasa cinta dan bangga terhadap bangsa dan tanah air.

d. Melaksanakan pengembangan Kurikulum pendidikan dan pembelajaran yang berstandar Internasional

Pelajaran yang diajarkan di RSBI SMPN 1 Medan berupa Religion, Social Science, Mandarin, Physics, Bahasa Indonesia, Mathematics, English, Sport, ICT, Biology, BK, Art, Lifeskill, dan Civic Education. SKBM (Standar Ketuntasan Belajar Maksimal) di RSBI SMPN 1 Medan juga berbeda dengam sekolah regular, dimana SKBM di RSBI SMPN 1 Medan adalah masing-masing pelajaran bernilai 8, sedangkan pada sekolah regular SKBM yang ditetapkan adalah 7.

Pembelajaran dengan menggunakan bahasa Inggris tersebut tentunya menuntut siswa untuk lebih menguasai bahasa Inggris, sehingga untuk masuk di RSBI SMPN 1 Medan siswa harus melewati tes bahasa Inggris (TOEFEL). Selain

(27)

itu, untuk masuk di RSBI SMPN 1 Medan ini ada beberapa tes yang harus dilakukan yaitu tes potensi akademik MIPA (Matematika dan IPA), kemudian dilanjutkan dengan tes potensi akademik pengetahuan umum (Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, IPS dan PKN). Selain itu, ada juga tes potensi non akademik yang meliputi tes kemampuan dasar komputer (Ms Word dan operator dasar Komputer). calon siswa juga wajib mengikuti tes wawancara dengan materi tentang pendidikan Matematika, IPA dan Bahasa Inggris.

Dalam proses pembelajaran di kelas para siswa diberikan tugas-tugas setelah para guru selesai menjelaskan pelajaran,tugas tersebut harus diselesaikan murid di dalam kelas. Selanjutnya, guru juga memberikan PR yang harus dikerjakan murid di rumah. Dalam proses pembelajaran juga masih ada siswa yang mengalami kesulitan dalam memahami pembelajaran yang disampaikan guru karena sistem pembelajaran bilingual tersebut.

Buku pelajaran, di sekolah RSBI SMPN 1 Medan juga menggunakan buku cetak bilingual (dua bahasa yaitu Inggris dan Indonesia) yang berguna untuk memperlancar keterampilan berbahasa Inggris siswa-siswinya. Perlengkapan belajar di SMPN 1 Medan ini dilengkapi dengan sarana dan prasaran yang berbasis TIK seperti terdapat TV, komputer, layar OHP sebagai perlengkapan dalam belajar.

Pada tahun ajaran 2011/2012, kelas 1 SMPN 1 Medan terdiri dari sembilan kelas dan terdiri dari 25 siswa tiap kelasnya. Kelas-kelas di SMPN 1 Medan ini dinamai dengan nama-nama ilmuan dunia (seperti: Galileo , Aristotelles, Archimedes dan lainnya).

(28)

Jam belajar yang berlangsung di RSBI SMPN 1 Medan juga berbeda dengan sekolah regular lainnya, dimana RSBI SMPN I Medan memiliki jam belajar 50 jam perminggunya, yaitu pada hari Senin-Kamis berlangsung dari pukul 07.30 dan pulang pukul 15.30 dan pada hari Jumat-Sabtu berlangsung dari pukul 07.30 sampai 12.00. Siswa RSBI SMP Negeri 1 Medan, dipersiapkan untuk bisa bersaing dengan alumni sekolah lain, khususnya sekolah yang berstandar internasional dalam melanjutkan pendidikan ke sekolah tingkat atas.

RSBI SMPN 1 Medan juga memiliki kegiatan-kegiatan ekstrakulikuler yang diikuti oleh para siswanya, yaitu berupa Basket, Sepak bola, Palang Merah Remaja (PMR), Pramuka, Paskibra, Menggambar, Menari, Catur, dan Tenis meja. Selain itu juga sekolah membuat les tambahan bagi siswa yang mau mengikutinya yaitu Mathematics, English, dan Physics. Les tambahan ini diberikan sekolah bagi siswa yang kurang mengerti ketika belajar dikelas, maka siswa tersebut akan mendapatkan penjelasan tambahan agar lebih memahami pembelajaran yang diberikan guru dikelas. Kegiatan ekstrakulikuler dan les tambahan yang diberikan sekolah ini diharapkan dapat membantu siswa untuk mendapatkan tambahan pengetahuannya, agar siswa tersebut dapat lebih yakin dalam menjalani tuntutan yang diberikan sekolah tersebut.

Berdasarkan keterangan di atas, tuntutan-tuntutan seperti tingginya SKBM di SMPN 1 Medan, belajar dengan menggunakan sistem bilingual, buku pelajaran di sekolah RSBI SMPN 1 Medan juga menggunakan buku cetak bilingual (dua bahasa yaitu Inggris dan Indonesia), dan lebih lamanya jam belajar di SMPN 1 medan diperkirakan dapat menimbulkan stres akademik pada siswanya.

(29)

D. PENGARUH SELF-EFFICACY TERHADAP STRES AKADEMIK PADA SISWA KELAS 1 RSBI DI SMPN 1 MEDAN

Salah satu cara yang ditempuh untuk memajukan kualitas SDM adalah melalui jalur pendidikan (Astuti, 2009). Salah satu upaya dalam peningkatan kemampuan dan pengembangan SDM adalah pembangunan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Sebelum menjadi SBI sebuah sekolah harus melalui Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) (Susiani, 2009). Tuntutan tugas siswa di Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) tersebut berat, dan beratnya sistem pembelajaran yang dilakukan di Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dapat menyebabkan stres pada siswa (Dharma, 2010).

Stres telah menjadi masalah nyata dalam kehidupan sekolah anak (Alvin, 2007). Stres pada siswa yang terjadi karena banyaknya harapan dan tuntutan dalam bidang akademik disebut dengan stres akademik.

Menurut Gusniarti (2002), stres akademik yang dialami siswa merupakan hasil persepsi yang subjektif terhadap adanya ketidaksesuaian antara tuntutan lingkungan dengan sumber daya aktual yang dimiliki siswa. Hal ini juga sesuai dengan kondisi siswa kelas 1 RSBI SMPN 1 Medan, dimana diperoleh gambaran mengenai tuntutan yang harus dijalani oleh siswa kelas 1 RSBI di SMPN 1 Medan, mulai dari bahasa pengantar dalam belajar yang menggunakan bahasa Inggris, beban pelajaran yang terlalu banyak dalam sehari, dan tugas ataupun PR yang banyak diberikan kepada siswanya. Kondisi seperti ini dapat menimbulkan stres pada siswa apabila siswa tidak mampu memenuhi tuntutan yang diberikan padanya.

(30)

Efek negatif dari terjadinya stres tersebut dapat mempengaruhi keefektifan performa individu dalam melakukan sebuah tugas, mengganggu fungsi kognitif, dapat menyebabkan burnout, menyebabkan masalah, gangguan psikologis dan fisik. Keadaan ini berpotensi menurunkan prestasi siswa dalam bidang akademik. Selain itu, stres berhubungan langsung dengan prestasi yang rendah di sekolah. Selanjutnya, Stres dapat membuat seorang siswa merasa tidak sanggup untuk belajar (Armacort dalam Rice, 1993). Maka, apabila siswa RSBI tersebut mengalami stres di bidang akademiknya, hal itu dapat berpotensi menurunkan prestasi siswa tersebut dan membuat siswa tersebut merasa tidak sanggup belajar. Jadi untuk mengatasi stres tersebut diperlukannya cara untuk menghadapi stres pada siswa tersebut.

Banyak faktor internal individu yang mempengaruhi individu dalam menghadapi stres. Salah satu faktor internal individu yaitu karakteristik kepribadian. Di dalam karakteristik kepribadian terdapat self-efficacy. Selanjutnya, Untuk melatih kontrol terhadap stresor, self-efficacy yang ada pada diri seseorang sangat berguna (Bandura, 1997).

Keyakinan seseorang mengenai kemampuannya untuk mengontrol perilakunya sangat berpengaruh pada respon individu terhadap kejadian-kejadian yang menyebabkan stres. Ketika individu yakin akan kemampuannya untuk mengahadapi situasi-situasi yang tidak menguntungkan maka tingkat stres yang mereka alami juga cenderung lebih rendah dari pada individu yang merasa tidak berdaya menghadapi situasi yang tidak menguntungkan mereka (Odgen, 2000). Hal ini sesuai kondisi siswa kelas 1 RSBI SMPN 1 Medan, dimana para siswa

(31)

merasa karena adanya tuntutan tugas yang berat di RSBI tersebut beberapa siswa ada yang merasa tidak yakin dengan persaingan (kompetisi) antar siswa di dalam kelasnya, siswa menjadi ragu-ragu untuk mencoba hal yang baru dan kurang memiliki keberanian dalam menghadapi persaingan tersebut, yang mengganggu keyakinan diri siswa sehingga siswa merasa tidak nyaman dan tidak optimal dalam mengembangkan diri mereka. Selain itu beberapa siswa juga merasa ragu dalam mengerjakan suatu tugas yang diberikan guru di kelas dikarenakan terkadang mereka kurang mengerti dengan apa yang telah dipelajari, karena bahasa pengantar yang digunakan di RSBI merupakan bahasa Inggris. Namun, terdapat juga beberapa siswa yang memiliki keyakinan bahwa siswa tersebut dapat menyelesaikan tiap tugas yang diberikan guru dan tidak merasa terbebani dengan tuntutan tugas di RSBI tersebut. Jadi keyakinan diri yang ada dalam diri seorang siswa dapat mempengaruhi bagaimana cara berfikir seorang siswa tersebut apakah kondisi tuntutan tugas yang berat di RSBI tersebut dapat membuat siswa tersebut mengalami stres akademik atau tidak. Selanjutnya dengan adanya kegiatan ekstrakulikuler di sekolah juga diperkirakan dapat meningkatkan self-efficacy pada siswa tersebut, karena siswa tersebut dapat meningkatkan keyakinan dalam diri bahwa siswa mampu dalam menjalani tuntutan tersebut karena mendapatkan tambahan dari kegiatan ekstrakulikuler tersebut.

Ketika seseorang mengalami ketakutan yang tinggi, atau kecemasan yang akut atau tingkat stres yang tinggi, maka biasanya mereka mempunyai self-efficacy yang rendah. Sementara mereka yang memiliki self-self-efficacy yang tinggi merasa mampu dan yakin terhadap kesuksesan dalam mengatasi rintangan dan

(32)

menganggapnya sebagai suatu tantangan yang tidak perlu untuk dihindari (Feist & Feist, 2002). Jadi ketika seorang siswa mengalami stres akademik, maka biasanya siswa tersebut mempunyai self-efficacy yang rendah, sedangkan ketika siswa tersebut memiliki self-efficacy yang tinggi maka mereka akan yakin sukses, seperti hal nya di RSBI tersebut maka, walaupun tugas yang diperoleh di sekolah RSBI tersebut berat, jika siswa tersebut memiliki self-efficacy yang tinggi maka siswa akan percaya bahwa siswa tersebut akan yakin dengan kesuksesan tersebut.

E. HIPOTESIS PENELITIAN

Berdasarkan uraian teoritis di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh self-efficacy terhadap stres akademik pada siswa kelas 1 RSBI di SMPN I Medan.

Referensi

Dokumen terkait

Anak tunagrahita tersebut memiliki sikap atau karakter peduli ligkungan yang masih rendah maka untuk meningkatkan sikap atau perilaku peduli ini dilakukan melalui kegiatan

Jenis sekolah di Indonesia berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 29 tahun 1990 yaitu Sekolah Menengah Umum (SMA) Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Sekolah

Slot Online Uang Asli memiliki banyak sekali keunggulan jika dibandingkan bermain dengan mesin slot, karena judi slot online uang asli bisa dimainkan dimana saja dan

penelitian ini melalui beberapa tahapan yaitu menentukan spesifikasi generator, dilanjutkan desain geometri yang terdiri dari komponen stator dan rotor, merancang

Produk pengembangan ini memiliki beberapa kelebihan sebagai berikut: 1) LKPD yang dikembangkan memberikan wawasan pengetahuan baru kepada peserta didik, baik dalam

Deskripsi Mata kuliah : Mata kuliah ini berisi pengenalan sistem komputer, pengenalan sistem operasi, proses, thread, pendjawalan proses, konkurensi, deadlock, manajemen

Berat jenis lumpur pemboran, prediksi kondisi tekanan bawah permukaan abnormal, kedalaman penempatan casing serta arah sumur pemboran yang tepat dapat ditentukan

Malikiyah membolehkan peralihan barang kepada pihak ketiga dengan cara disewakan tanpa ijin dari al-ra>hin, berbeda dengan pendapat ulam Hanfiyah dan ulama Hanabillah yang