• Tidak ada hasil yang ditemukan

HELENTA BR TARIGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HELENTA BR TARIGAN"

Copied!
169
0
0

Teks penuh

(1)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

UPACARA “NENGGET” di KALANGAN SUKU KARO

(Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat,

Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo)

Skripsi

Oleh:

HELENTA BR TARIGAN

040901011

Guna memenuhi salah satu syarat Untuk memperoleh Gelar Sarjana

Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

(2)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, dimana atas Rahmat dan Karunianya lah sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan sekaligus dalam penyusunan skripsi yang berjudul: “UPACARA NENGGET DI KALANGAN SUKU KARO ( Studi Deskriptif tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran)”. Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini atas izin dan kehendak-Nya. Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana dari Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menghadapi berbagai hambatan. Hal ini disebabkan karena keterbatasan pengetahuan, pengalaman, kepustakaan dan materi penulis. Namun, berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa yang memberi ketabahan, kesabaran, dan kekuatan kepada penulis dan juga motivasi dari keluarga dan teman-teman yang memberi semangat bagi penulis ketika penulis mengalami kesulitan. Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan, kritikan, saran-saran, motivasi serta dukungan dan doa dari berbagai pihak. Disini, penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Arif Nasution, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku ketua Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

3. Salam hormat dan terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Harmona Daulay, S.Sos.,M.Si, yang selalu memberi motivasi dan membimbing penulis dengan sepenuh hati dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih kak…karena tanpa bimbingan yang kakak berikan, aku tak berarti apa-apa, semoga rencana kakak melanjutkan studi untuk mendapat gelar Doktor dapat berjalan dengan baik.

(3)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

4. Drs Sismudjito, M.Si, selaku dosen wali penulis, yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan dalam proses perkuliahan bagi penulis.

5. Ucapan terima kasih tak terhingga penulis sampaikan kepada Ibu Dra Rosmiani, MA, selaku sekertaris Departemen Sosiologi, dan selaku ketua penguji dalam ujian komprehensif penulis, sekaligus yang memberi ide bagi penulis untuk mengkaji permasalahan tentang upacara nengget di kalangan masyarakat Karo ini. Terima kasih buk… atas perhatian yang ibuk berikan kepada penulis dalam proses perkuliahan dan sampai kepada penulisan skripsi ini.

6. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Hendry Sitorus selaku reader dalam ujian komprehensif ini dan kesempatan yang diberikan buat penulis, untuk ikut penelitian lapangan, karena pengalaman penelitian itu menjadi modal bagi penulis untul melakukan penelitian terhadap tugas akhir penulis.

7. Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada seluruh dosen-dosen di FISIP USU, khususnya Dosen Sosiologi yang telah banyak memberikan berbagai materi pelajaran selama penulis menjalani perkuliahan di Departemen Sosiologi, FISIP USU.

8. Terima kasih dan teristimewa kepada kedua orang tuaku yang tercinta, Ayahanda: Alm. Preksa Tarigan. Semoga ayahanda di beri tempat yang terbaik di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa, dan saat ini harapan ayahanda telah terkabul karena ananda sudah menyelesaikan studi di perguruan tinggi sebagaimana yang sering ayahanda ucapkan sewaktu ananda masih kecil dan terima kasih atas curahan kasih sayang yang ayahanda berikan sewaktu anada masih kecil. Ibunda : Rasita Br Ginting, yang telah melahirkan dan membesarkan penulis dengan penuh cinta dan kasih sayang serta selalu memberikan didikan dan perhatian kepada penulis. Terima kasih bunda… buat kasih sayang yang tak bisa ditandingi oleh apapun, ananda bersyukur

(4)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

kepada Allah karena telah dilahirkan dari rahim wanita yang kuat, yang selalu mendoakan dan pemberi motivasi buatku. Skripsi ini ananda persembahkan buat ibunda tercinta.

9. Terima kasih buat abang tuaku: Jhonson Tarigan, yang selalu berdebat dengan penulis…makasih tua...! atas bimbingan dan kasih sayang yang kam berikan selama ini, dan buat kakak iparku Flora Br Saragi di Jambi, moga apa yang kita harapkan dapat terwujud.

10. Buat kakakku Erma Wati Br Tarigan…makasih kak atas semua curahan kasih sayang… perhatian yang tidak pernah terlewatkan…sehingga menambah kedewasaan bagi penulis …dan buat abang iparku Elmedia Kembaren, moga makin sukses aja.

11. Buat abang tengahku Petrus Tarigan, makasih bang atas kerja kerasndu selama ini, aku tahu kam belum memikirkan pernikahan karena aku belum selesai kuliah… dan sekarang saatnya kam harus memikirkan pendamping hidup…supaya ada teman mamak kita.. dan terima kasih buat abangku yang paling kecil Charles Tarigan di Jambi…yang selalu mengkwatirkan penulis, memberi nasehat buat penulis… “ngo danci baba eda ndai bang!” kami setuju-setuju aja kok.

12. Buat kakakku Ester Lina Br Tarigan… yang cerewet sedunia, tapi baik hati dan sering memotivasi penulis dalam proses penulisan skripsi ini. Makasih ya kak!, karena ketegasan yang kakak tanamkan, penulis semakin dewasa dan tidak cengeng, tapi cerewetnya dikurang dikit lagi ya.

13. Terima kasih Buat keluarga besarku, mama tua, mami tua, mama tengahku semua, mami tengahku semua, dan buat mama dan mami udaku. Makasih atas motivasinya selama ini dan penulis bangga berada di tengah-tengah kalian. Terutama buat mami tengah Eli Sabarita Br Sembiring yang tidak pernah lupa memotivasi penulis tiap kali bertemu, dan buat mama tengahku Mejuah-juah Ginting yang selalu membanggakan penulis sehingga penulis semakin termotivasi.

(5)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

14. Buat Pak udaku dan Bik udaku yang cakep dan gaul… yang selalu membela dan mendukung penulis ketika ada yang menyalahkan penulis….dan selalu memperhatikan ibunda penulis…sehingga membuat penulis lebih lega dan fokus dalam mengerjakan skripsi ini.

15. Buat adik-adikku semua….putra, dedi, tanta yang baik hati, minto yang punya semangat tinggi, sri yang cool, oki, joy, ika, vijai, melda, alem yang modis, nova, andre, andi, sara yang pintar, rohit, simanis ide, si kecil febri….karena kenakalan… dan kelucuan kalian membuat hari-hari kakak semakin bewarna dan… jangan lupa rajin belajar ya…karena hadiah tetap ada bagi yang dapat juara. Buat adikku liasta yang mau kuliah…tetap bersemangat dan selalu optimis.

16. Buat sahabatku tina, yanti, ferika, yang selalu memotivasi… menghibur dan selalu siap mendengarkan setiap keluhan penulis. Makasih friend…pertemuan ini akan menjadi sejarah yang indah dalam hidupku… semoga persahabatan kita tetap abadi… juga buat sahabatku anie bersama bang badia dan si kecil zarel…aku selalu merindukan kalian.

17. Buat teman-teman di sosiologi ‘04’…, seninaku jeni dan rosma, mestika, banta, florence, juni, nova,

18. Buat teman-teman IMKA FISIP USU…Barry, adis, meche, herlina, maja, harry, putri, salmen, lia, irma, vina, salsa, hema, eka, via, evi, riko, syahfery, tomy, friska, boby, dan semuanya yang tidak bisa penulis tuliskan satu persatu. …tetap semangat membangun IMKA…kembangkan kebudayaan Karo dan jangan malu jadi orang Karo.

19. Buat rekan-rekan staf pengajar di bimbingan Calon Abdi Negara Wira Bharata Yudha: Pak Ridwan Banjar, Jimmy Situmorang, Yohanna Tobing selaku sekertaris Lembaga, Pak AKBP. Djasihol Sihotang selaku kepala Lembaga, yang telah memberi semangat dan motivasi bagi penulis dan terima kasih juga buat rekan-rekan pengajar yang lain yang tidak bisa penulis tuliskan satu persatu.

(6)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

Penulis

(7)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

Abstraksi

Dalam hal kebudayaan, masyarakat Karo masih memegang teguh adat istiadat yang umumnya dilaksanakan melalui upacara-upacara tradisional. Salah satu upacara tradisional yang masih di yakini oleh masyarakat setempat adalah upacara nengget yaitu upacara yang dilakukan secara rahasia kepada keluarga yang tidak memiliki keturunan, hanya memiliki anak perempuan, atau pun sebaliknya. Peneliti merasa tertarik untuk mengkaji permasalahan ini karena masyarakat umumnya mempersalahkan perempuan (isteri) jika tidak memiliki keturunan. Hal ini disebabkan karena adanya anggapan masyarakat bahwa perempuan adalah pihak yang paling berpengaruh dalam proses reproduksi. Hal ini juga tidak terlepas dari sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat Karo yaitu patrilineal. Dengan berlakunya budaya patriarkhi, menyebabkan adanya diskriminasi gender antara laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki memiliki kekuasaan yang lebih tinggi (dominan), sedangkan perempuan berada di bawah laki-laki (subordinat). Permasalahan perempuan sebagai salah satu isu gender telah menjadi isu yang aktual pada dekade ini. Gugatan terhadap kesetaraan gender yang termaktub dalam inpres no. 9 tahun 2000 telah mengukuhkan permasalahan gender dengan fokus pemberdayaan yang menasional. Tulisan ini mengungkapkan gambaran perempuan (isteri) yang tidak memiliki keturunan dalam masyarakat Karo, yang berhubungan dengan proses upacara nengget yang mereka terima. Permasalahan-permasalahan perempuan terjadi di berbagai lingkup kehidupan, demikian halnya pada masyarakat Karo, khususnya di daerah pedesaan.

Yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :Bagaimana persepsi isteri yang pernah terkena ritual nengget di desa Kuta Rayat. Bagaimana pandangan isteri terhadap makna perkawinan dan budaya patriarkhi di desa Kuta Rayat. Bagaimana nengget di lihat dari perspektif gender dan ketidakadilan gender. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif, dimana jumlah informan yang pernah mengalami ritual nengget dalam penelitian ini sebanyak 10 orang.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa banyak ketidakadilan yang dialami oleh informan, baik berupa stereotipe, misalnya adanya anggapan bahwa perempuan yang tidak memiliki keturunan adalah perempuan nakal, liar, kurang merawat diri dan lain-lain. Dominasi laki-laki (suami), disebabkan karena masyarakat menempatkan laki-laki sebagai pemimpin dan pengambil keputusan. Subordinasi, dimana perempuan (isteri) harus patuh dan mengalah kepada laki-laki (suami). Marginalisasi yang di terima perempuan yang tidak memiliki keturunan, merasa minder karena mendapat cemoohan dari masyarakat dan perempuan tidak berhak atas aksesnya terhadap kekayaan. Kekerasan yang dialami perempuan yang pernah terkena ritual nengget bersifat psikis maupun fisik, disebabkan karena adanya anggapan laki-laki lebih berkuasa dan dapat mengontrol perempuan. Hal ini tidak terlepas dari budaya patriarkhi yang tumbuh subur dalam masyarakat, dan

(8)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

tidak adanya sosialisasi gender terhadap perempuan (istri) membuat mereka beranggapan bahwa gender adalah kodrat yang harus di jalani.

(9)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009 DAFTAR ISI Halaman Halaman Judul Halamam Persetujuan Kata Pengantar Abstraksi Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Matriks BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah……….…..1

1.2. Perumusan Masalah……….…….2

1.3. Tujuan Penelitian………..3

1.4. Manfaat Penelitian……….…...4

1.5. Defenisi Konsep………...………..10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Patriarkhi Dalam Perspejtif Budaya Karo………...…14

2.2. Patriarkhi dan Budaya Karo……….16

2.3. Konsep Gender……….17

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian………..………...27

(10)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

3.2. Lokasi Penelitian……….……….27

3.3. Unit Analisa Data………28

3.4. Teknik Pengumpulan Data………...29

3.5. Teknik Analisa Data……….30

3.6. Jadwal Penelitian………..………31

3.7. Keterbatasan Penelitian………...……….31

BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian……….…….33

4.1.1. Sejarah Terjadinya Kampung Toraja Berneh/Kuta Rayat Jauh sebelum Tahun 1990 ………33

4.1.2. Letak dan Keadaan Wilayah……….35

4.1.3. Komposisi penduduk………37

4.1.4. Sarana dan Prasarana……….40

4.2. Penyajian dan Interpretasi Data………41

4.2.1. Profil Informan Isteri yang Pernah Terkena Ritual Nengget………41

4.2.1.1. J Br Surbakti………..………..……...41

4.2.1.2. J Br Sitepu………..………..………..42

4.2.1.3. K E Br Perangin-angin………..……….………43

4.2.1.4. M Br Sitepu………..……….44

(11)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009 4.2.1.6. T Br Sitepu………..……….…….46 4.2.1.7. B Br Ginting………..…….48 4.2.1.8. J Br Tarigan………49 4.2.1.9. S Br Sitepu……….……50 4.2.1.10. SLN………..51

4.3. Pengalamam Isteri Dalam Upacara Nengget………..…….53

4.3.1. J Br Surbakti ( terkejut bercampur emosi ketika turangkuku menyiramku dan memukulkan kepalaku……….……….……53

4.3.2. J Br Sitepu ( kaget dan sedih) ………..….……54

4.3.3. K E Br Perangin-angin ( malu secara membatin/ mela tendi)…………...…55

4.3.4. M Br Sitepu (pingsan waktu disengget)………….………56

4.3.5. M Br Ginting (bersamaan dengan upacara cabur bulung)………..….……57

4.3.6. T Br Sitepu (disuruh menggendong ayam)………57

4.3.7. B Br Ginting (muncul melalui mimpi)………...………...58

4.3.8. J Br Tarigan (merasa terharu)………59

4.3.9. S Br Sitepu (disuruh merokok)………..……60

4.3.10. SLN (mengaku menyesal berdiri)………...……….61

4.4. Pandangan Isteri tentang Perkawinan dan Budaya Patriarkhi…………..……62

4.4.1. J Br Surbakti………...………...62

(12)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009 4.4.3. K E Br Perangin-angin………..………67 4.4.4. M Br Sitepu………..………69 4.4.5. M Br Ginting……….……….……….70 4.4.6. T Br Sitepu……….………72 4.4.7. B Br Ginting……….……….74 4.4.8. J Br Tarigan………...………76 4.4.9. S Br Sitepu……….77 4.4.10. SLN………..78

4.5. Pandangan Isteri tentang Bias Gender dalam Upacara Nengget………..83

4.5.1. J Br Surbakti………83 4.5.1.1. Stereotipe………83 4.5.1.2. Kekerasan………..……….84 4.5.1.3. Subordinasi……….85 4.5.1.4. Marginalisasi………..…………86 4.5.1.5. Dominasi ………...87 4.5.2. J Br Sitepu………..….87 4.5.2.1. Stereotipe……….……..87 4.5.2.2. Kekerasan……….…….……88 4.5.2.3. Subordinasi………..…..88 4.5.2.4. Marginalisasi……….……89

(13)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009 4.5.2.5. Dominasi ……….……….……89 4.5.3. K E Br Perangin-angin……….….………90 4.5.3.1. Stereotipe………..….…..90 4.5.3.2. Kekerasan……….………91 4.5.3.3. Subordinasi………...……92 4.5.3.4. Marginalisasi……….…...…….93 4.5.3.5. Dominasi……….…..……93 4.5.4. M Br Sitepu……….…..…….94 4.5.4.1. Stereotipe……….………….94 4.5.4.2. Kekerasan………\..…..……95 4.5.4.3. Subordinasi………..….…96 4.5.4.4. Marginalisasi……….…96 4.5.4.5. Dominasi………..….97 4.5.5. M Br Ginting………..……97 4.5.5.1. Stereotipe……….…97 4.5.5.2. Kekerasan……….……98 4.5.5.3. Subordinasi……….…..98 4.5.5.4. Marginalisasi……….99 4.5.5.5. Dominasi………..100 4.5.6. T Br Sitepu………100

(14)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009 4.5.6.1. Stereotipe……….100 4.5.6.2. Kekerasan………101 4.5.6.3. Subordinasi………..101 4.5.6.4. Marginalisasi………...……….102 4.5.6.5. Dominasi………..102 4.5.7. B Br Ginting………...103 4.5.7.1. Stereotipe………..103 4.5.7.2. Kekerasan……….…104 4.5.7.3. Subordinasi………..….104 4.5.7.4. Marginalisasi………...……….105 4.5.7.5. Dominasi………..………106 4.5.8. J Br Tarigan………..……..……..106 4.5.8.1. Stereotipe……….….106 4.5.8.2. Kekerasan………...……….…….107 4.5.8.3. Subordinasi………...………108 4.5.8.4. Marginalisasi………..………..109 4.5.8.5. Dominasi………..………....109 4.5.9. S Br Sitepu………..110 4.5.9.1. Stereotipe……….…….110

(15)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009 4.5.9.2. Kekerasan………...……….…….110 4.5.9.3. Subordinasi……….……..111 4.5.9.4. Marginalisasi………..……….…….112 4.5.9.5. Dominasi………...112 4.5.10. SLN………..….113 4.5.10.1. Stereotipe………..….113 4.5.10.2. Kekerasan……….………..114 4.5.10.3. Subordinasi……….114 4.5.10.4. Marginalisasi………..………115 4.5.10.5. Dominasi………..………..……115

4.6. Analisa Data Isteri yang Pernah Mengalami Upacara Nengget…..………..119

4.6.1. Analisa Nilai-Nilai Patriarkhi dalam Masyarakat Karo…………..………119

4.6.2. Analisa Gender………..……….125

4.6.3. Nengget dalam Struktur Patriarkhi dan Isu Kesetaraan dan Keadilan Gende………...132

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……….136

5.1. Kesimpulan………..………..136

5.2. Saran ……….…….………..137 DAFTAR PUSTAKA

(16)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

DAFTAR TABEL

Judul Halaman

Tabel 1 Jadwal Penelitian 31 Tabel 2 Persentase Penduduk Menurut Suku 39 Tabel 3 Tingkat Pendidikan Penduduk 39

(17)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

DAFTAR MATRIKS

Judul Halaman

Matriks 4.1 Usia informan Isteri yang pernah mengalami ritual nengget 52 Matriks 4.2 Alasan informan di sengget 62 Matriks 4.3 Persepsi isteri tentang perkawinan dan budaya patriarkhi 80 Matriks 4.4 Ketidakadilan gender yang di alami oleh perempuan (isteri) yang pernah mengalami ritual nengget 116

(18)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Aktivitas upacara tradisional merupakan aspek yang sering dibahas oleh para ahli ilmu sosial. Hal ini biasa terjadi karena upacara tradisional terutama yang berkaitan dengan sistem kepercayaan atau religi adalah salah satu unsur kebudayaan paling sulit berubah bila dibandingkan dengan unsur kebudayaan lain. Dalam masyarakat tradisional, kegiatan mengaktifkan kebudayaan itu antara lain diwujudkan dalam pelaksanaan beberapa upacara tradisional yang menjadi sarana sosialisasi bagi kebudayaan dan sudah menjadi tradisi yang bersifat turun temurun.

(19)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

Salah satu bagian dari kebudayaan adalah sistem religi (sistem kepercayaan) yang didalamnya termuat sistem upacara, baik berupa upacara tradisional maupun upacara yang modern. Dalam upacara tradisional tersebut pada umumnya bertujuan untuk menghormati, mensyukuri, memuja, memohon keselamatan pada tuhan melalui mahluk halus dan leluhurnya (Depdikbud 1995:1)

Upacara tradisional merupakan salah satu manifestasi dari kreasi manusia sebagai makluk sosial. Upacara tradisional tersebut dapat berupa selamatan, sesaji, atau ritual yang menyangkut selingkaran hidup, seperti perkawinan, upacara kehamilan, kelahiran dan kematian. Umumya kepercayaan tradisional terdapat pada kalangan masyarakat pedesaan berkaitan dengan peristiwa alam dan kepercayaan mereka. Masyarakat manusia sebagai usaha untuk memenuhi hasratnya untuk melakukan komunikasi dengan kekuatan-kekuatan adi kodrati karena didalamnya termuat simbol-simbol yang berfungsi sebagai alat komunikasi (Koenjaraningrat 1998:203-204).

Demikian juga halnya pada masyarakat Karo masih banyak terdapat upacara-upacara tradisional yang berhubungan dengan kepercayaan religius mereka. Adapun ritual-ritual yang dipercayai oleh masyarakat Karo antara lain: upacara Erlau-lau (upacara yang dilakukan untuk memohon turunnya hujan) , Erpangir Kulau (mandi kembang) , Perumah Begu (memanggil roh orang yang telah meninggal) , Raleng Tendi (memanggil roh orang yang sakit karena dianggap rohnya diganggu makhluk halus) ,Cawir Bulung (upacara penjodohan terhadap dua orang anak kecil disebabkan karena salah satu dari anak tersebut

(20)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

memiliki masalah dalam hal kesehatan), Nengget (upacara yang dilakukan untuk mengejutkan seseorang yang belum memiliki keturunan atau belum sesuai dengan yang diharapkan) dan lain sebagainya. Walaupun suku Karo sudah menganut agama Islam dan agama Kristen, namun konsep-konsep kepercayaan atau religi purba masih hidup terutama di pedesaan (Simanjuntak, 2003:15).

Suku Karo mempunyai konsep bahwa alam ini beserta isinya diciptakan oleh Dibata kaci-kaci. Dibata kaci-kaci adalah Tuhan yang memiliki kuasa kemuliaan di atas langit dan pancaran kekuasaanNya terwujud dalam Tuan Padukah Ni Aji (panggilan untuk tuhan). Sebagai penguasa dunia makluk halus ia bernama Tuan Banuang Holing (panggilan untuk tuhan). Selain Dibata kaci-kaci dan kedua penjelmaannya, orang batak Karo masih mengenal penguasa lain, yaitu: Sinimataniari sebagai penguasa matahari dan Beru Dayang sebagai penguasa bulan pelangi.1

Salah satu upacara tradisional yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah upacara “nengget”. Nengget secara harafiah berarti membuat kejutan atau membuat orang terkejut. Nengget adalah suatu upacara yang dilakukan menurut adat Karo, yaitu dengan membuat kejutan (sengget) ke suatu keluarga tertentu, Pada masyarakat Karo kepercayaan tersebut dinamakan dengan pemena, yaitu kepercayaan suku Karo terhadap benda-benda yang dianggap mempunyai kekuatan gaib, dan perwujudan kepercayaan tersebut dilaksanakan melalui ritual-ritual dan upacara-upacara tradisional.

1 Dikutip dari: Posman Simanjuntak, Berkenalan dengan Antropologi, Jakarta,2003, Erlangga, Hal

(21)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

karena alasan tertentu, dengan tujuan tertentu (Prints, Darwan 2004:157). Adapun alasan diadakannya upacara nengget didasarkan pada beberapa keadaan yang isengget (dikejutkan), misalnya:

• Tidak ada anak

• Tidak ada anak laki-laki

• Tidak ada anak perempuan

• Hanya memiliki satu anak baik laki-laki maupun perempuan.

Pelaku nengget tersebut adalah suami dari saudara perempuan suaminya/ipar (turangku) dari masing-masing yang disengget, yang dalam keadaan sehari-hari mereka rebu ( pantangan untuk berbicara langsung, bersentuhan anggota badan, duduk berhadap-hadapan, dan lain-lain) dan untuk berbicara harus menggunakan perantara atau menggunakan kata nina turangku. Ini menunjukkan rasa hormat, sopan, keseganan yang tinggi diantara mereka yang rebu. Dalam keadaan biasa mereka akan menghindari bertatapan langsung. Menurut cerita orang tua dulu, orang yang rebu tidak bersedia duduk dalam satu papan dalam satu rumah adat, begitulah penghayatan masalah rebu ini pada masyarakat Karo. Namun, dalam upacara nengget hal ini diabaikan sama sekali karena rebunya (turangku) malah memanggil namanya dengan bahasa kasar, seperti menyatakan engko (engkau), padahal untuk halusnya harus menyatakan “kam”.

(22)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

Masyarakat Karo percaya bahwa dengan melakukan upacara nengget tersebut keinginan-keinginannya akan terkabul. Menurut kepercayaan suku Karo, seseorang yang tidak memiliki keturunan ataupun sudah memiliki keturunan namun belum sesuai dengan yang diharapkan disebabkan karena ada pihak-pihak yang mempunyai unek-unek terhadap pasangan tersebut. Misalnya, apabila kalimbubu (pihak pemberi dara) merasa tidak dihormati (tersinggung) akan mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan, misanya, padi tidak tumbuh, tidak ada keturunan, anak sakit dan lain-lain. Sehingga pada masyarakat Karo, kalimbubu harus dihormati dan dijaga perasaannya, karena kalimbubu disebut juga Dibata Ni Idah artinya Tuhan yang dapat dilihat.

Pelaksanaan upacara nengget dilakukan apabila suatu keluarga belum memiliki keturunan dan sudah melangsungkan perkawinan lebih kurang 3 tahun. Ada juga keluarga yang melakukan adat nengget ini pada keluarga yang sudah memiliki keturunan, tetapi mengharapkan anak laki-laki bagi keluarga yang sudah memiliki anak perempuan atau sebaliknya. Namun dari hasil survey sementara pelaksanaan upacara nengget di desa Kuta Rayat ini, lebih cenderung dilakukan untuk keluarga yang belum memiliki anak laki-laki. Anak laki-laki pada masyarakat Karo sangat dianggap penting. Hal ini disebabkan karena suku Karo menganut kekerabatan patrilineal. Garis keturunan patrilineal adalah “…. yang menghitung hubungan kekerabatan melalui orang laki-laki saja dan karena itu mengakibatkan bahwa tiap-tiap individu dalam masyarakat semua kaum kerabat ayahnya masuk dalam batas hubungan kerabatnya, sedangkan semua kaum kerabat

(23)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

ibunya jauh di luar batas itu (Koenjaraningrat,1967:124, dalam Siska hal 4). Garis keturunan laki-laki akan musnah atau hilang kalau tidak ada anak laki-laki yang dilahirkannya. Perhitungan hubungan berdasarkan satu ayah disebut sada bapa.

Dalam proses pelaksanaan upacara nengget, pihak yang disengget adalah suami dan istri, namun pada pelaksanaanya perempuan lah yang menjadi korban dalam upacara nengget tersebut. Alasanya karena perempuan yang dianggap tidak bisa memberikan keturunan. Hal ini dapat dilihat, ketika perempuan disiram, dimaki, diangkat/digendong oleh rebunya , padahal untuk sehari-hari mereka tabu untuk berbicara langsung apalagi bersentuhan anggota badan. Dalam upacara tersebut perempuan (istri) akan disuruh menggendong batu dengan gendongan bayi. Batu yang digendong tersebut memiliki makna simbolik bagi pihak yang melaksanakan upacara nengget, yaitu harapan agar perempuan tersebut dapat memberikan keturunan. Dari proses upacara tersebut dapat dilihat bahwa perempuan menjadi pihak yang dipersalahkan. Bagi masyarakat Karo, anak adalah harta yang paling berharga, sehingga apabila perempuan (istri) tidak dapat memberikan keturunan bukanlah perempuan yang baik untuk ukuran umum.

Adanya anggapan bahwa alam telah melengkapi perempuan untuk melahirkan anak; hanya perempuan yang bisa mengandung , memiliki anak dan menyusui. Akal sehat mengatakan kepada kita menjadi ibu pastilah “alami” (Fakih, 2002:38-39). Konsekuensi selanjutnya, karena menjadi ibu dipandang sebagai keadaan alami, maka tidak menjadi ibu didefenisikan sebagai penyimpangan.

(24)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

Perempuan yang terpaksa tidak mempunyai anak dilihat (dan melihat dirinya sendiri) sebagai orang yang terkutuk. Stigma “mandul” di beberapa Negara membawa stigma terbesar dan diseluruh dunia, perempuan yang tidak bisa memiliki anak melakukan segala cara agar membuat dirinya subur, rela berjalan diatas batu bara yang terbakar di kawasan Asia selatan, pasrah kepada trauma fertilisasi in vitro di kawasan utara (Fakih, 2002:40-41), dan masyarakat Karo mengadakan ritual atau upacara nengget agar memperoleh keturunan.

Bahkan pada zaman dahulu, pada masyarakat Nias, bila seorang wanita tidak sukses di waktu melahirkan maka ia akan dicela atau dicemoohkan dengan istilah sombuyu sumane (yang lemah). Kalau dia mati disaat melahirkan maka dia tidak akan dikubur secara wajar, bahkan tidak akan ditaruh di dalam peti mati. Keluarganya sekedar membuang mayatnya melalui lobang lantai dari atas rumah (rumah suku Nias selalu bertiang), dan mayatnya dibiarkan dimakan babi.2

Menurut laporan change, “tradisi budak dimana perempuan melahirkan anak bersinggungan dengan pengertian baru”. Seorang perempuan yang tidak melahirkan anak merupakan “objek rasa kasihan, kutukan atau cemooh”.melahirkan anak adalah “keperempuanannya”. Tekanan sosial dan emosional untuk membuktikan kesuburannya terjadi sedemikian dahsyat, sampai-sampai seorang perempuan mandul bisa menjadi gila. Anak-anak merupakan

2 Dikutip dari Bambowo Laiya, M.A, Solidaritas kekeluargaan dalam salah satu masyarakat desa di

(25)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

kekayaan seorang perempuan, sekaligus menjadi beban yang mungkin harus diatasinya sendiri (Fakih, 2002:42).

Hal ini disebabkan karena adanya stereotipe yang terbangun bagi perempuan. Streotipe adalah label-label atau cap negatif yang diberikan masyarakat kepada perempuan. Adapun pelabelan ini terjadi karena budaya didalam masyarakat kita mempunyai label-label tertentu terhadap keberadaan eksistensi dan peran perempuan (Daulay, Harmona 2007:108). Hal ini tergambar dalam konteks feminim dan maskulin yang berkorelasi pada perbedaan pemberian penghargaan antara maskulin (laki-laki)dan feminim (perempuan). Adanya perbedaan perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan menyebabkan adanya perbedaan penghargaan sosial yang diterima laki-laki dan perempuan. Perbedaan perlakuan ini biasanya dikonstruksikan secara sosial melalui proses sosialisasi dan lama kelamaan menjadi tradisi yang tumbuh secara turun temurun.

Isu gender akhir-akhir ini menjadi isu yang hangat dibicarakan dalam konteks relasi antara laki-laki dan perempuan, bahkan dewasa ini semakin banyak ilmuan atau peneliti memfokuskan diri pada permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh perempuan. Isu gender di Indonesia termaktub dalam inpres no. 9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender (pug) yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan gender. Peneliti melihat bahwa didalam pelaksanaan upacara nengget yang dilakukan oleh masyarakat Karo tidak terlepas dari kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh perempuan yang tidak memiliki

(26)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

keturunan. Dari hasil survey sementara, ada lebih kurang 10 keluarga yang sudah pernah melaksanakan upacara nengget di desa Kuta Rayat. Oleh sebab itu, peneliti merasa tertarik untuk mengkaji permasalahan-permasalahan perempuan pada masyarakat Karo yang berhubungan dengan ritual atau upacara nengget tersebut, dimana secara umum masyarakat akan menyalahkan perempuan apabila belum memiliki keturunan.

1.2 Perumusan Masalah

Agar penelitian dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya maka penulis harus merumuskan masalah sehingga jelas dari mana harus di mulai, kemana harus pergi, dan dengan apa (Arikanto, 2002:22). Berdasarkan uraian diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana persepsi istri yang pernah terkena “nengget”?

2. Bagaimana pandangan istri terhadap makna perkawinan dan budaya patriarkhi?

3. Bagaimana “nengget” ini dilihat dari perspektif gender dan ketidak adilan gender?

(27)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009 1.3 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah:

• Untuk mengetahui bagaimana persepsi istri yang pernah mengalami ritual nengget.

• Untuk mengetahui bagaimana pandangan istri terhadap makna perkawinan dan budaya patriarkhi.

• Untuk mengetahui bagaimana nengget dilihat dari perspektif gender dan ketidak adilan gender.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat teoritis

• Untuk melatih dan mengembangkan kemampuan peneliti, dalam melakukan penelitian di bidang ilmu sosial, khususnya dalam ilmu sosiologi.

• Hasil diharapkan menjadi sebuah kajian ilmiah dan masukan penting bagi masyarakat, khususnya bagi masyarakat yang peduli akan kesetaraan gender.

(28)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009 1.4.2 Manfaat Praktis

• Untuk memberikan masukan-masukan yang bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan yang terjadi dan dapat menjadi refrensi untuk kajian atau penelitian selanjutnya.

1.4.3 Bagi Penulis

• Penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan serta wawasan penulis mengenai kasus tersebut dan sebagai wadah latihan serta pembentukan pola pikir ilmiah dan rasional dalam menghadapi segala macam persoalan sosial yang ada dalam masyarakat.

1.5. Defenisi Konsep

Dalam sebuah penelitian ilmiah, defenisi konsep sangat diperlukan untuk mempermudah dan memfokuskan penelitian. Konsep adalah defenisi, suatu abstraksi mengenai gejala atau realita atas suatu pengertian yang nantinya akan menjelaskan suatu gejala. Disamping mempermudah dan memfokuskan penelitian konsep juga berfungsi sebagai panduan bagi peneliti untuk menindaklanjuti kasus

(29)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

tersebut serta menghindari timbulnya kekacauan akibat kesalahan penafsiran dalam penelitian.

Konsep-konsep penting dalam penelitian ini adalah:

• Upacara nengget adalah suatu upacara yang dilakukan menurut adat Karo, yaitu dengan membuat kejutan (sengget) ke suatu keluarga tertentu, karena alasan tertentu, dengan tujuan tertentu (Prints: Darwan 2004:157). Alasan nengget ini dilakukan apabila suatu keluarga belum memiliki anak, tidak memiliki anak laki-laki, tidak memiliki anak perempuan, dan hanya memilki satu anak.

• Rebu berarti pantang, tidak pantas, dilarang, tidak dapat, tidak diizinkan, melakukan sesuatu hal atau perbutan. Rebu pada masyarakat Karo dapat di bagi dalam 3 kelompok, yaitu rebu antara mami dengan kela berarti antara ibu mertua dengan menantu laki-lakinya, rebu antara bengkila dan permain berarti ayah mertua dengan menantu perempuannya, dan antara orang yang berturangku. Rebu antara berturangku mamiliki dua pengertian yakni: kalau ego adalah seorang pria, maka turangku berarti istri

(30)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

dari saudara laki-laki istri dan jika ego adalah seorang wanita, maka turangku berarti suami dari saudara perempuan suami.

• Tendi adalah roh yang melekat pada tubuh setiap orang. Masyarakat Karo percaya bahwa tubuh manusia terdiri dari tiga bagian yaitu tendi (roh), begu (roh jahat, hantu), dan tubuh, dimana ketiga bagian ini menyatu menjadi satu kesatuan yang utuh.

• Suku Karo adalah suku bangsa yang berasal dari dataran tinggi tanah Karo. Suku Karo adalah salah satu suku bangsa batak yang mendiami dataran tinggi Karo, dan ada sebagian yang menyebar (merantau) keseluruh pelosok tanah air. Suku Karo yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penduduk Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman, Kabupaten Karo.

• Kalimbubu adalah pihak keluarga laki-laki (ayah saudara dan keturunan) dari perempuan yang dikawini/ pihak pemberi dara.

• Anak beru adalah keluarga pihak laki-laki yang kawin dengan pihak perempuan/ pihak penerima dara.

• Senina/ sembuyak berarti saudara, setingkat dalam satu kelompok marga atau klan.

• Gender adalah perbedaan peran ,perilaku, perangai antara laki-laki dan perempuan oleh budaya/masyarakat melalui interpretasi

(31)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

terhadap perbedaan biologis laki-laki dan perempuan (Daulay, Harmona 2007:4). Dalam konteks ini, perbedaan perlakuan yang di terima oleh laki-laki dan perempuan suku Karo yang berhubungan dengan upacara nengget akibat budaya patriarkhi.

• Budaya Patriarkhi adalah suatu sistem sosial dimana dalam tata kekeluargaan sang Ayah menguasi semua anggota keluarganya, semua harta dan sumber-sumber ekonomi, dan membuat keputusan penting. Dalam konteks ini, laki-laki dalam masyarakat Karo memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan perempuan, sehingga perempuan diasumsikan harus mengalah, mengabdi dan patuh terhadap keputusan-keputusan laki-laki.

• Diskriminasi Gender adalah perbedaan perlakuan terhadap sesama manusia berdasarkan perbedaan jenis kelamin.

• Ketidakadilan gender adalah perbedaan-perbedaan gender yang melahirkan kondisi diskriminasi terhadap laki-laki dan perempuan, khususnya terhadap perempuan.

(32)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Patriarkhi Dalam Perspektif Budaya Karo

Pada masyarakat Karo segala hubungan kekerabatan, baik berdasarkan pertalian darah maupun karena hubungan perkawinan dapat di kelompokkan menjadi 3 (tiga) jenis kekerabatan, yaitu:

• Senina (saudara semarga antara laki-laki dengan laki-laki maupun antara perempuan dengan perempuan)

• Anak beru ( pihak penerima dara)

(33)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

Dalam adat ngeluh (adat orang hidup), suku karo mengenal 5 (lima) jenis merga/klen besar yaitu:

• Ginting

• Tarigan

• Sembiring

• Karo-karo

• Perangin-angin

Kelima jenis klen tersebut memiliki beberapa jenis subklen. Klen terdiri dari klen besar dan klen kecil. Klen kecil adalah kelompok kekerabatan patrilineal sada nini ( satu keturunan/ satu nenek), sedangkan klen besar adalah kelompok kekerabatan patrilineal satu nenek moyang sampai generasi ke-20. Dan di ikat oleh rakut sitelu (senina, kalimbubu, anak beru), serta memiliki 8 jenis tutur3

Etnis Karo merupakan salah satu etnis di dalam masyarakat Indonesia yang menganut sistem patriarkhi. Sebagai etnis yang menganut sistem patriarkhi, etnis Karo mengambil garis keturunan dari pihak laki-laki. Perhitungan hubungan (tutur siwaluh) untuk menentukan dan mengatur panggilan (term of addres) yang harus digunakan seseorang terhadap para kerabatnya sesuai status kekerabatan masing-masing.

(34)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

berdasarkan satu ayah disebut sada bapa. Hal ini sesuai dengan pendapat Juliet Mitchell (1994), yang mendiskripsikan patriarkhi dalam satu term psikoanalisis yaitu “the law of the Father” yang masuk dalam kebudayaan lewat bahasa dan proses simbolik lainnya.

Dalam sistem patriarkhi, keluarga dipandang sebagai institusi otoritas sang “Ayah” dimana laki-laki lebih mendominasi dalam pengambilan keputusan dan perempuan cenderung mengalah pada suami. Ini merupakan tindakan yang dilakukan perempuan untuk mempertahankan keutuhan dan keharmonisan keluarga. Gambaran patriarkhi pada masyarakat karo, juga dapat dilihat ketika perempuan atau istri bekerja keras menyiapkan makanan untuk keluarga atau mengurus anak-anaknya, sementara laki-laki atau suami asyik berkumpul bersama temannya di warung kopi membicarakan masalah dunia.

2.2. Patriarkhi Dan Budaya Karo

Pada mulanya kata “patriarkhi” memiliki pengertian sempit, menunjukkuan pada sistem yang secara historis berasal dari hukum Yunani dan Romawi, dimana kepala rumah tangga laki-laki memiliki kekuasaan hukum dan ekonomi yang mutlak atas anggota keluarga. Yang mutakhir, istilah “patriarkhi”mulai digunakan diseluruh dunia untuk menggambarkan dominasi laki-laki atas perempuan dan anak-anak dalam keluarga dan ini berlanjut kepada dominasi laki-laki dalam semua lingkup kemasyarakatan lainnya. Patriarkhi adalah konsep bahwa laki-laki memegang kekuasaan atas semua peran penting dalam masyarakat, dalam

(35)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

pemerintah, dalam militer, pendidikan, industri, bisnis, perawatan kesehatan, iklan, agama, dan pada dasarnya perempun tercabut dari akses terhadap kekuasaan itu.4

Menurut Heidi Hartman, seorang ahli feminis sosialis, patriarkhi adalah suatu relasi hirarkis dan semacam forum solidaritas antara laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki lebih dominan dan perempuan memempati posisi subordinat. Menurutnya , patriarkhi adalah suatu relasi hirarkis dan semacam forum solidaritas antara laki-laki yang mempunyai landasan material serta memungkinkan mereka untuk mengontrol perempuan. Perbedaan fisik secara sistematis antara laki-laki dan perempuan untuk menolak feminitas dan secara

Sistem kekerabatan pada masyarakat Karo adalah menganut sistem patriarkhi. Sosialisasi patriarkhi yang diberikan tampak dari penarikan garis keturunan yang ditanamkan dalam keluarga, yaitu diambil dari pihak laki-laki. Dimana semua anak dalam keluarga menyandang marga suaminya.

Dalam sistem kebudayaan Karo dapat dilihat bahwa laki-laki merupakan pihak yang diutamakan dan pihak yang dianggap penting. Masyarakat Karo percaya bahwa selain sebagai penerus marga (keturunan), dan sebagai penerima harta warisan, anak laki-laki juga berfungsi sebagai penjaga nama baik keluarga dan sebagai pelindung bagi saudara perempuanya. Hal ini menyebabkan laki-laki mendominasi perempuan.

4 Dikutip dari : Julia cleves Mosse, Gender & Pembangunan, Yogyakarta,2002, Pustaka Pelajar hal.

(36)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

emosional berjarak dari perempuan dan memisahkan laki-laki dan perempuan .5

Gender itu sendiri tidak terlepas dari stereotipe-stereotipe seks yang melekat, misalnya seorang perempuan lebih cocok bekerja di sektor domestik, dikarenakan ia adalah sosok yang lemah dan begitu juga sebaliknya. Untuk memahami konsep gender harus dibedakan antara kata gender dengan kata seks (Fakih,1999:7). Secara umum stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap Konsekwensi sosialnya adalah laki-laki mendominasi perempuan.

2.3. Konsep Gender

Gender berasal dari bahasa Perancis gendre, dan latin dikenal genus, (tipe biologis), yang menunjuk pada perbedaan jenis kelamin antara perempuan dan laki-laki berdasarkan segi anatomi. Laki-laki dan perempuan diasumsikan kepada bentuk yang secara biologis berbeda.

Secara historis, konsep gender pertama sekali digulirkan oleh sosiolog asal Inggris yaitu Ann Oakley, ia membedakan pengertian antara jenis kelamin (sex) dan gender. Perbedaan jenis kelamin (sex) berarti perbedaan atas dasar ciri-ciri biologis yang menyangkut prokreasi (menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui). Peredaan gender adalah perbedaan simbolis atau sosial yang berpangkal pada perbedaan seks tetapi tidak selalu identik dengannya (Daulay, Harmona 2007:108).

5 Efrina Ramli, “ Sosialisasi anak laki-laki dalam system patriarkhi”, skripsi jurusan Sosiologi USU,

(37)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

suatu kelompok tertentu, namun stereotipe cenderung merugikan perempuan. Adapun pelabelan itu terjadi karena budaya didalam masyarakat kita mempunyai label-label terhadap keberadaan eksistensi dan peran perempuan. Hal ini tergambar dalam konteks feminin dan maskulin yang berkorelasi pada pembagian kerja maskulin (laki-laki) dan feminin (perempuan) (Daulay, Harmona 2007:108).

Sejarah perbedaan gender (gender diffrences) manusia jenis laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksikan secara sosial atau kultural, melalui proses ajaran keagamaan maupun kenegaraan (Fakih,1999:9). Dalam masyarakat Karo, proses sosialisasi gender sudah di perkenalkan kepada anak sejak kecil, diarahkan dan dibedakan sesuai dengan keberadaan status kewanitaan dan kelelakian. Anak laki-laki dalam masyarakat Karo mempunyai fungsi sosial yang sangat luas sebagai pelanjut silsilah keluarga, sebagai penerima harta warisan, dan sebagai penentu dalam pengambilan keputusan.

Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender Inequalities). Namun, yang menjadi persoalan ternyata perbedaan gender melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana baik kaum laki-laki dan perempuan

(38)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

menjadi korban dari sistem tersebut. Ketidakadilan gender termanifestasi dalam pelbagai ketidakadilan, yakni: marginalisasi atau pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif. Kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender (Fakih 2004:12-13). Dalam pelaksanaan upacara nengget dapat dilihat ketidakadilan gender yang disosialisasikan secara turun temurun dan perempuan merupakan korban (pihak yang dirugikan).

Berikut merupakan proses pelaksanaan upacara nengget (dikutip dari: Prints, Darwan, Adat Karo, Hal. 160): Yang ikut dalam peserta upacara nengget terdiri dari:

1. Kalimbubu , yaitu pihak pemberi dara, pihak yang harus dihormati. Kalimbubu dalam masyarakat karo disebut sebagai “dibata ni idah” artinya tuhan yang dapat dilihat, sehingga harus dijaga benar-benar agar kalimbubu jangan sampai berkecil hati.

2. Puang kalimbubu, kalimbubu dari kalimbubu ego; jadi termasuk golongan yang harus dihormati dan disegani.

3. Anak beru, yaitu golongan penerima dara atau wife takers.

Adapun proses pelaksanaan nengget ini, dimana secara rahasia kalimbubu dan anak beru musyawarah untuk melakukan nengget apabila anak belum ada atau

(39)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

belum ada anak laki-laki maka inisiatif datang dari kalimbubu. Sebaliknya, bila yang belum ada adalah anak perempuan, maka inisiatif datang dari anak beru. Untuk itu dicarilah hari baik (tik-tik wari) menurut kepercayaan tradisional Karo. Tik-tik wari dapat dilakukan oleh pihak keluarga, dengan melihat kalender Karo dan menyesuaikannya dengan hari yang dianggap baik berdasarkan pentunjuk yang terdapat pada kalender tersebut. Namun, sebagian keluarga meminta bantuan Guru (dukun) untuk melihat hari baik untuk pelaksanaan nengget tersebut. Apabila sudah ditemukan, maka kalimbubu dan anak beru memberitahukan hal itu kepada sanak saudara dan kepada keluarga yang disengget, kecuali pada pihak yang akan disengget.

Rombongan nengget berangkat dari suatu tempat terentu, misalnya dari rumah kalimbubu atau anak beru, dan ada kalanya keluarga-keluarga itu menggabungan diri di tengah perjalanan demi menjaga kerahasiaan upacara nengget. peralatan-peralatan nengget dipersiapkan, tumba beru-beru (sejenis mangkok besar) diisi lau simalem-malem (air suci) dan diserahkan pada turangkunya (suami dari adik/kakak suaminya). Mereka ini dalam kehidupan sehari-hari rebu (pantang berbicara secara langsung ).

Dengan tiba-tiba, pihak yang disengget akan disiram oleh turangkunya dengan lau simalem-malem (air suci), sambil berkata “ e maka, mupus anak (dilaki/diberu) ningku si (anu) adi lang la kita rebu rasa lalap”, yang berarti: itulah maka lahirkanlah anak (laki-laki/perempuan), kalau tidak sampai kapanpun

(40)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

kita tidak rebu. Kemudian istri disuruh mengendong batu dengan gendongan bayi. Selesai acara tersebut, maka pihak yang disengget (suami dan istri) disuruh makan satu piring seperti layaknya pengantin baru, dimana pada masyarakat karo dikenal dengan istilah mukul. Kemudian dilanjutkan dengan musyawarah (runggu) dan ditanyalah unek-unek yang disengget kepada kalimbubu, sembuyak dan anak beru.

Demikianlah proses upacara nengget yang biasa dilakukan oleh masyarakat Karo. Selain dari pelaksanaan nengget diatas ada kalanya upacara tersebut dilaksanakan pada waktu acara nurun-nurun (upacara kematian), ini dikenal dengan istilah lentarken yaitu dengan menggendong atau mengangkat pihak yang disengget oleh rebunya masing-masing. Pelaksanaan lentarken ada dua macam yaitu:

1. Mayat masih ada pada waktu nurun-nurun (upacara kematian) yang mayatnya belum dikuburkan, ketika sedang menari-nari rebunya menangkap dan mengangkat, menggendong pihak yang dilentarken tersebut, sambil berkata “emaka mupus anak (dilaki/diberu) ningen e….(anu), adi lang la kita rebu rasa lalap”. Artinya: itulah maka lahirkanlah anak (laki-laki/perempuan) kalau tidak sampai kapanpun kita tidak rebu.

2. Setelah pulang dari kuburan, menuju ke rumah. Tiba-tiba di tengah jalan pihak yang disengget ditarik, digendong oleh rebunya dan dilanjutkan dengan makian. Pelaksanaannya hampir sama dengan diatas. Sesampainya

(41)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

di rumah suami istri iosei (dipakaikan dengan pakaian adat karo), suami dipakaikan pakaian perempuan dan istri berpakaian laki-laki.

Dari proses pelaksanaan upacara nengget tersebut diatas dapat dilihat bahwa perempuan adalah pihak yang dipersalahkan dan dianggap pihak yang tidak dapat memberikan keturunan. Dalam rangka melihat fenomena perempuan yang tidak bisa melahirkan maka kita dapat melihat analisis dari sisi konsepsi isu perempuan yaitu:

• Stereotipe sosial.

Adanya persepsi bahwa alam telah melengkapi perempuan untuk melahirkan anak, hanya perempuan yang bisa mengandung, memiliki anak dan menyusui. Karena menjadi ibu dipandang sebagai keadaan alami bagi perempuan maka tidak menjadi ibu di defenisikan sebagai penyimpangan. Perempuan yang terpaksa tidak memiliki anak dilihat (dan melihat dirinya sendiri) sebagai orang yang terkutuk.6

6 Dikutip dari Julia cleves mosse, Gender & Pembangunan, Yogyakarta.2002, Rifka Annisa WCC

hal.38-40.

Hal ini membuat perempuan yang tidak bisa melahirkan menganggap dirinya tidak berarti. Adapun stereotipe-stereotipe sosial yang diberikan masyarakat kepada perempuan yang tidak bisa melahirkan antara lain adanya anggapan bahwa perempuan tersebut adalah perempuan nakal, kurang merawat diri, terlalu kurus sehingga tidak subur, terlalu gemuk

(42)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

sehingga peranakannya dikelilingi oleh lemak dan lain sebagainya. Adanya stereotipe-stereotipe tersebut tentu saja merugikan kaum perempuan.

• Kekerasan.

Kekerasaan adalah suatu tindakan yang menyakitkan atau tindakan penyerangan yang menimbulkan luka, trauma, dan penderitaan yang berkepanjangan terhadap korban. Kekerasaan terhadap wanita bisa berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan ekonomi, kekerasan seksual, kekerasan politik dan kekerasan sosial budaya. Kekerasan yang dialami perempuan yang tidak bisa melahirkan biasanya bersifat psikis. Pada psikis dan mental mereka akan mengalami stress dan defresi yang tentu saja berkorelasi pada penyakit fisik seperti sakit kepala, asma, sakit perut, dan lain-lain. Beban mental yang diterima oleh perempuan yang tidak melahirkan akan diremehken oleh masyarakat, sehingga dalam masyarakat Karo dikenal dengan tradisi “nengget”, yang tujuan akhirnya adalah memperoleh keturunan. Dan tidak jarang juga laki-laki pada masyarakat Karo akan melakukan poligami apabila tidak memiliki anak atau hanya memiliki anak perempuan saja. Hal ini disebabkan karena sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat Karo adalah patrilineal.

Berdasarkan jumlah isteri dikenal istilah monogami dan poligami. Perkawinan poligami biasanya terjadi karena: tidak mendapat keturunan, tidak

(43)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

memperoleh keturunan laki-laki, saling mencintai, tidak ada persesuaian dengan istri pertama, meneruskan hubungan kekeluargaan (Prints, Darwan 2004:76).

• Subordinasi

Subordinasi merupakan hubungan kekuasaan antara kelompok superior dengan kelompok yang tersubordinasi. Hubungan ini melukiskan hubungan tuan dan bawahan, dimana sang tuan melakukan eksploitasi.7

7 Harmona Daulay, Perempuan dalam Kemelut Gender, hal.82, USU press, medan, 2007.

Dalam hal ini biasanya perempuanlah menempati posisi subordinat. Anggapan bahwa melahirkan anak adalah keadaan alami bagi perempuan sehingga perempuan yang tidak melahirakan mendapat posisi yang kurang penting. Dalam kondisi ini, tidak jarang laki-laki akan melakukan poligami dengan alasan ingin mendapatkan keturunan. Padahal belum tentu perempuan yang bermasalah dengan hal reproduksi. Dalam masyarakat Karo, suami yang menikah lagi dengan alasan tidak mempunyai keturunan ataupun tidak mempunyai keturunan laki-laki dianggap wajar dan biasanya dimaklumi. Karena dalam masyarakat karo anak laki-laki memiliki kedudukan yang lebih penting dibandingkan perempuan. Hal

(44)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

ini sesuai dengan pepatah India yang menyatakan “ membesarkan seorang anak perempuan sama saja seperti mengairi pohon rindang di halaman orang lain”.8 • Marginalisasi.

Marginalisai merupakan usaha membatasi/ pembatasan, peminggiran yang terjadi terhadap perempuan. Dalam hal ini perempuan yang tidak melahirkan atau belum bisa memberikan keturunan yang diharapkan oleh suaminya, akan merasa minder dengan kondisi yang dialaminya. Marginalisasi dalam bidang ekonomi juga dialami perempuan pada masyarakat Karo, hal ini dapat dilihat dari status kepemilikan harta benda yang umumnya dibuat atas nama suaminya.

• Dominasi

Dominasi adalah kedudukan berkuasa/ menguasai dari kelompok jenis kelamin tertentu (laki-laki) terhadap jenis kelamin lainnya (perempuan). Kedudukan ini diperoleh akibat adanya hal-hal tertentu seperti stereotipe, karakteristik seksual, dan lain-lain yang menyebabkan terjadinya perluasan Kontrol yang dilakukan oleh laki-laki. Dalam masyarakat karo, laki laki umumnya lebih dominan dibandingkan perempuan dalam berbagai hal misalnya, laki-laki sebagai kepala keluarga, laki-laki sebagai pengambil keputusan dalam keluarga, pemilik modal, dan sebagainya. Dalam hal jumlah anak yang diinginkan biasanya ditentukan oleh laki-laki, inilah yang menyebabkan laki laki nomor satu dan perempuan dinomor duakan.

(45)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

Hal ini sesuai dengan pendapat Thomas Aquinas yang memandang perempuan sebagai pribadi sekuler. Perempuan hanya dibutuhkan laki-laki sebagai teman atau menolong penciptaan baru (pro-creation), sebagaimana Aristoteles mengatakan bahwa laki-laki memberikan kontribusi formatif dalam fungsi reproduksi dan perempuan hanya menerima pasif sperma laki-laki.9

Berdasarkan konsepsi isu perempuan tersebut, maka terbangun pula perbedaan peran gender yang diterima oleh laki-laki dan perempuan. Hal ini sesuai dengan pendapat Ward yang merumuskan peran gender dengan pernyataan bahwa peran jenis kelamin yang ditentukan secara budaya mencerminkan perilaku dan sikap yang umumnya disetujui sebagai maskulin dan feminim dalam suatu budaya terentu, peran gender sangat berkaitan dengan stereotipe jenis kelamin yang membedakan secara jelas bahwa peran laki-laki berlawanan dengan perempuan, hal ini sejalan dengan pendapat Ruble yang menjelaskan bahwa peran gender adalah stereotipe jenis kelamin yang mengacu kepada kepercayaan yang dianut masyarakat luas tentang karakter jenis kelamin perempuan.

10

9 A. Nunuk P.Murniati, Getir Gender, hal.XXXIV, Indonesia Tera, Magelang, 2004.

10 Dikutip dari:Sri,supriyantini, “hubungan antara pandangan peran gender dengan keterlibatan

suami dalam kegiatan rumah tangga”, Medan,2002. Digitized by USU digital library.

(46)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis penelitian

Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian studi deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dapat diartikan sebagai pendekatan yang menghasilkan data, tulisan dan tingkah laku yang didapat dari apa yang diamati. Penelitian deskriptif ini digunakan untuk menggambarkan atau melukiskan apa yang diteliti dan berusaha memberi gambaran yang jelas mengenai apa yang menjadi pokok penelitian. Berkenaan dengan ini akan menggambarkan

(47)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

atau mendeskripsikan pandangan perempuan, khususnya yang belum memiliki keturunan terhadap upacara “nengget” yang sering dilakukan pada masyarakat tersebut.

3.2. Lokasi Penelitian

Adapun yang menjadi lokasi penelitian ini adalah desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman , Kabupaten Karo, Propinsi Sumatera utara.

Pemilihan lokasi ini disebabkab karena:

• Peneliti melihat bahwa di desa ini masyarakat masih aktif melaksanakan upacara nengget bagi kelurga yang belum memiliki keturunan ataupun sudah memiliki keturunan, namun tidak sesuai dengan yang diharapkannya.

• Peneliti melihat bahwa masyarakat di desa ini terbuka dan ramah, sehingga memudahkan bagi peneliti mendapat informasi dan data-data yang berhubungan dengan upacara “nengget” ini.

3.3. Unit Analisa Data

Adapun yang menjadi unit analisis dalam subyek penelitian ini adalah seluruh warga Desa Kuta rayat, Kecamatan Naman , Kabupaten Karo. Sedangkan informan dalam penelitian ini adalah kaum perempuan (istri) yang belum mempunyai anak, hanya memiliki anak perempuan, hanya memiliki anak laki-laki,

(48)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

hanya mempunyai satu orang anak baik laki-laki maupun perempuan dan sudah pernah melakukan upacara nengget di desa Kuta Rayat tersebut. Informan dipilih atas pertimbangan dan kriteria tertentu yang telah ditetapkan oleh peneliti.

Adapun kriteria informan dalam penelitian ini adalah :

• Informan Kunci yaitu mereka yang mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian. Perangkat desa dan tokoh masyarakat desa Kuta Rayat, atau warga masyarakat biasa yang mengerti mengenai adat nengget. Informan dipilih yang dianggap mengerti upacara nengget.

• Informan utama yaitu istri yang terlibat langsung dalam adat/ upacara nengget tersebut.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah :

1 Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber data pertama yang diperoleh di lokasi penelitian atau objek penelitian. Adapun langkah-langkah dalam pengumpulan data primer adalah dengan cara:

(49)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

• Observasi langsung adalah pengamatan yang dilakukan secara langsung pada objek yang diobservasi , dalam arti bahwa pengamatan tidak menggunakan “media-media transparan” (Burngin, Burhan 2001:143). Yang dimaksud dalam hal ini bahwa peneliti secara langsung melihat atau mengamati apa yang terjadi pada objek penelitian.

• Wawancara mendalam (depth interview) yaitu dengan menggunakan daftar pertanyaan (interview guide) kepada informan yang telah ditentukan . wawancara mendalam, yaitu peneliti melakukan komunikasi secara langsung dengan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan kepada informan.

2 Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber data kedua atau sumber-sumber dari data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, dan untuk tahap yang mendukung data penelitian ini. Data sekunder diperoleh dengan cara studi kepustakaan, peneliti mendapatkan suatu landasan teori yang kuat untuk mendukung penulisan ini dari berbagai literatur seperti buku-buku, internet, serta dokumen-dokumen yang berhubungan dengan penelitian ini.

(50)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

Analisa data adalah proses pengorganisasian dan mengurutkan data kedalam pola kategori dan satuan uraian, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat di analisa selanjutnya (Moleong, 1993:103).

Analisa data ditandai dengan pengolahan dan penafsiran data yang diperoleh dari setiap informasi baik secara pengamatan, wawancara, ataupun catatan-catatan lapangan, dipelajari dan ditelaah kemudian tahap selanjutnya adalah mengadakan pemeriksaan keabsahan data, setelah itu dilanjutkan dengan pengolahan atau analisa dan penulisan laporan penelitian.

3.6.Jadwal Penelitian

Tabel

Jadwal kegiatan Penelitian

(51)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

ke-1 ke-2 ke-3 ke-4 ke-5 ke-6 ke-7 pra penelitian: -penyusunan proposal -perbaikan proposal X X persiapan: -pengurusan izin X X -persiapan instrument penelitian X Penelitian: -observasi -wawancara X X X X Pasca penelitian: -analisis data X X Penyusunan laporan X 3.7. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan dalam penelitian ini antara lain disebabkan karena terbatasnya kemampuan dan pengalaman yang dimiliki oleh peneliti untuk melakukan kegiatan penelitian ilmiah. Kendala yang dihadapi peneliti adalah terbatasnya waktu yang dimiliki informan untuk melakukan wawancara, hal ini disebabkan karena padatnya aktivitas informan. Masyarakat di desa Kuta Rayat ini pada umumnya bermata pencaharian bertani, sehingga peneliti harus menunggu informan siap untuk diwawancarai dan peneliti harus pintar dalam menentukan waktu yang tepat untuk melakukan wawancara dengan informan.

Selain kendala tersebut dalam proses wawancara, ada beberapa pertanyaan yang diajukan oleh peneliti yang dianggap oleh informan tidak perlu dipertanyakan lagi. Alasan informan mengatakan seperti itu karena menurutnya itu sudah menjadi

(52)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

kodrat bagi perempuan dan informan mengatakan bahwa semua orang juga sudah tahu, misalnya: yang bertanggung jawab mengurus anak adalah perempuan (istri), sebagai istri harus mengabdi kepada suami, istri bertugas dan bertanggung jawab menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah, dan lain-lain. Hal ini disebabkan karena sistem kebudayaan dalam masyarakat karo sangat patriarkhi, sehingga mempersulit peneliti untuk memperdalam pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan hal tersebut.

Walaupun terdapat berbagai keterbatasan, peneliti tetap berusaha semaksimal mungkin dalam mengumpulkan berbagai informasi dari informan, serta informasi yang diperoleh dapat dipertanggung jawabkan validitasnya.

BAB IV

(53)

Helenta Br Tarigan : Upacara “Nengget” Di Kalangan Suku Karo (Studi Tentang Perspektif Gender di Desa Kuta Rayat, Kecamatan Naman Teran, Kab.Karo), 2009.

USU Repository © 2009

4.1. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

4.1.1. Sejarah Terjadinya Kampung Toraja Berneh/ Kuta Rayat Jauh Sebelum Tahun 1900

Menurut cerita orang tua/ nenek moyang pembentukan dan pembangunan kampung Toraja Berneh dilaksanakan oleh 4 golongan yaitu:

• Golongan kalimbubu ( karo mergana/ bermarga karo-karo)

• Golongan kalimbubu puang taneh

• Golongan anak beru

• Golongan guru ( dukun)

Adapun fungsi dari golongan-golongan tersebut diatas adalah sebagai berikut:

1. Golongan kalimbubu/ karo mergana, berfungsi sebagai penanggung jawab terhadap segala peralatan yang diperlukan , termasuk peralatan bidang keamanan dan lain-lain.

2. Golongan kalimbubu puang taneh, berfungsi sebagai hakim tertinggi dan penasehat.

Gambar

Tabel 1             Jadwal Penelitian    31

Referensi

Dokumen terkait