Prof Mudrajad Kuncoro
Paket Kebijakan Plus Revolusi Mental*
Oleh: Mudrajad Kuncoro**
Laporan Bank Dunia yang berjudul Doing Business 2016 (DB2016) menempatkan Indonesia pada peringkat 109 dari 189 negara. Peringkat ini melonjak 11 tingkat dibanding tahun sebelumnya yang menempati peringkat ke-120. Masalahnya, sudah adakah perubahan iklim investasi pasca 19 bulan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi)? Presiden Jokowi menargetkan agar peringkat Indonesia semakin tinggi hingga Indonesia mampu mencapai peringkat ke-40 di akhir masa jabatannya (2019).
Bagi para pengambil keputusan, DB2016 menyajikan bagaimana kemudahan berbisnis di suatu negara dibanding negara lain. DB2016 bisa dilihat di
http://www.doingbusiness.org/data/exploreeconomies/indonesia. Publikasi tahunan Bank Dunia ini memantau kualitas regulasi berdasarkan 10 indikator: memulai bisnis, mengurus ijin
mendirikan bangunan (IMB), mendapatkan listrik, mendaftarkan properti, mendapatkan kredit, memproteksi investor kecil, membayar pajak, perdagangan lintas negara, melaksanakan kontrak, dan memecahkan masalah insolvensi.
Meski membaik, dibanding negara lain ASEAN dan Asia, peringkat Indonesia boleh dibilang masih rendah. Malaysia melakukan banyak reformasi kebijakan hingga menempati peringkat ke-18, diikuti Thailand peringkat 49, Vietnam peringkat 90, Filipina peringkat 103, dan China peringkat 84. Dengan kata lain, reformasi kebijakan dan perubahan lingkungan bisnis telah terjadi di Indonesia dan mulai terlihat hasilnya. Namun negara tetangga kita telah “berlari” lebih kencang meninggalkan kita. Peringkat Indonesia hanya sedikit lebih tinggi dibanding India (130).
Pertanyaannya, mengapa posisi Indonesia relatif masih rendah meski pemerintah sudah mengeluarkan berbagai paket kebijakan? Indikator apa yang memburuk dan butuh perhatian khusus?
DB2016 mencatat indikator yang peringkatnya memburuk terutama adalah memulai bisnis, melindungi investor minoritas, mendapatkan listrik, perdagangan lintas negara, mengatasi insolvensi. Memulai bisnis di Indonesia masih membutuhkan 13 prosedur, memakan waktu 46,5 hari, memakan biaya hingga 19,4% dari pendapatan per kapita, dan memerlukan modal
minimal yang dibayar 31% dari pendapatan per kapita.
Listrik merupakan infrastruktur vital bagi dunia bisnis. DB2016 menilai Indonesia berada di peringkat 121 karena untuk mendapat akses listrik masih membutuhkan 5 jenis prosedur dan memakan waktu 79 hari, dan harus merogoh biaya yang cukup mahal (383% dari pendapatan per kapita) untuk dapat dialiri listrik. Kebutuhan pasokan listrik dirasakan semakin meningkat, terutama dalam mendukung akselerasi kegiatan produksi dan ekonomi nasional. Fenomena listrik byar pet, sebagai cermin adanya krisis listrik, yang muncul dengan di berbagai provinsi harus segera diatasi. Tanpa merombak manajemen kelistrikan nasional, target pembangunan listrik 35 ribu megawatt (MW) bakal sulit dicapai dan krisis listrik akan merata ke seluruh Indonesia (lihat Mudrajad Kuncoro, ”Mencari Solusi Krisis Listrik”, Kompas, 22/2/2016).
Faktor utama di balik pemadaman listrik yang dialami hampir setiap daerah saat ini disebabkan kurangnya pasokan listrik karena banyak faktor seperti kabut asap, kemarau, dan lambannya pertumbuhan pembangunan pembangkit listrik baru. Krisis listrik adalah akibat lambannya penambahan pasokan listrik dibandingkan permintaannya. Kendala pembebasan lahan dapat diatasi seperti model Floating Regasification Unit (FRU) dan Floating Storage Unit (FSU) terpisah di Benoa Bali. atau Floating Storage Regasification Unit (FSRU) yang menyatu di Lampung atau Banten. Dengan fasilitas terapung berbasis gas terbukti mampu mempercepat proses konstruksi pembangkit listrik.
Temuan DB2016 tersebut sejalan dengan survei yang dilakukan oleh WEF (World Economic Forum). WEF menggunakan 12 pilar utama dalam penentuan daya saing global yaitu institusi (birokrasi), infrastruktur, lingkungan makroekonomi, pendidikan dasar dan kesehatan,
pendidikan lanjutan dan pelatihan, pasar barang yang efisien, pasar tenaga kerja yang efisien, pertumbuhan pasar keuangan, kesiapan teknologi, ukuran pasar. Pada tahun 2016, masalah utama dalam melakukan bisnis/investasi di Indonesia adalah korupsi, birokrasi pemerintah yang tidak efisien, dan suplai infrastruktur yang belum memadai.
Masih rendahnya pelayanan publik, kurangnya kepastian hukum, dan berbagai Peraturan Daerah yang tidak “pro-bisnis” diidentifikasi sebagai bukti iklim bisnis yang tidak kondusif. Pelayanan publik yang dikeluhkan terutama terkait dengan ketidakpastian biaya dan lamanya waktu berurusan dengan perijinan dan birokrasi. Ini diperparah dengan masih berlanjutnya berbagai pungutan, baik resmi maupun liar, serta gratifikasi yang harus dibayar perusahaan kepada para petugas, pejabat, dan preman.
Revolusi mental yang dicanangkan Presiden Jokowi nampaknya belum diikuti oleh para pejabat dari pusat hingga daerah. Revolusi mental bermula dari ajakan Presiden Jokowi sebagai pemimpin bangsa Indonesia untuk mengangkat kembali karakter bangsa yang telah mengalami kemerosotan dengan secepat-cepatnya dan bersama-sama (revolusioner). Revolusi Mental bukan slogan atau jargon tetapi aksi. Setidaknya itu yang dicanangkan dalam situs http://revolusimental.go.id/warta/blog/2015/12/01/kabar-dari-kami. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan masih adanya kesenjangan antara ”yang seharusnya” (das sollen) dengan ”praktik di lapangan” (das sein).
Agar tidak sekedar jargon/slogan, revolusi mental perlu dilakukan dengan: pertama, pemerintah harus menjadi lebih melayani masyarakat daripada minta dilayani. Pejabat dan birokrat harus mengubah kiat ”kenapa harus dipercepat kalau bisa diperlambat dan kenapa harus dipermudah kalau bisa dipersulit”menjadi harus”dipercepat dan dipermudah”.
”Ruh” Paket Kebijakan jilid ke-12 nampaknya sudah menyadari urgensi pentingnya
pengurangan jumlah prosedur dan lama perjinan. Buktinya, untuk meningkatkan peringkat kemudahan berusaha, sejumlah perbaikan dilakukan. Pada indikator memulai bisnis, misalnya,
sebelumnya pelaku usaha harus melalui 13 prosedur yang memakan waktu 47 hari dengan biaya berkisar antara Rp6,8 – Rp7,8 juta. Izin yang harus diurus meliputi Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Akta Pendirian, Izin Tempat Usaha, dan Izin Gangguan. Pasca paket kebijakan ke-12, pelaku usaha hanya akan melalui 7 prosedur selama 10 hari dengan biaya Rp 2,7 juta. Izin yang diperlukan bagi UMKM adalah SIUP dan TDP yang terbit bersamaan, dan Akta Pendirian. Pemerintah telah menerbitkan 16 peraturan yang mencoba menderegulasi berbagai hal dari persyaratan modal pendirian PT, ijin
mendirikan bangunan dll.
Kedua, perlu menerapkan revolusi mental pejabat dari pusat hingga desa dan dusun dari ”predator” menjadi ”stimulator” dunia bisnis. Seorang pengembang waktu berurusan dengan para pejabat daerah, dari level kepala dusun, lurah/kades hingga camat, mengaku para birokrat lokal ini meminta “uang amplop” Rp 2 juta per rumah yang mau dibangun. Pengembang ini menghitung berarti harus mengeluarkan minimal biaya Rp 100 juta sebagai “sunk cost” di awal investasi. Ketika rumah sudah selesai dibangun, tetangga kiri kanan plus ketua RT/RW juga meminta “susu tante”, alias “sumbangan sukarela tanpa tekanan” minimal Rp 6 juta sebagai biaya sosialisasi kepada warga. Di berbagai daerah, bupati atau walikota juga meminta biaya berbagai perijinan, dari ijin gangguan (HO), IMB (Ijin Mendirikan Bangunan), TDP (Tanda Daftar Perusahaan), SIUP dll, yang bervariasi dari Rp 50 juta hingga Rp 2 milyar. Oleh karena itu, tidak mengejutkan bahwa Bank Dunia menghitung bahwa biaya perijinan dan birokrasi di Indonesia mencapai 19,4% dari pendapatan per kapita, dan memerlukan modal minimal yang dibayar 31% dari pendapatan per kapita.
Harus diakui sudah banyak paket kebijakan dan perencanaan, namun yang kurang adalah implementasi, pemantauan, dan sangsi. Tiga hal utama yang diinginkan investor dan pengusaha: penyederhanaan sistem dan perijinan, penurunan berbagai pungutan yang tumpang tindih, dan transparansi biaya perijinan. Tumpang tindih peraturan pusat dan daerah, yang tidak hanya menghambat arus barang dan jasa tapi juga menciptakan iklim bisnis yang tidak sehat. Prioritas perlu diberikan pada deregulasi, debirokratisasi, dan koordinasi berbagai peraturan daerah dan pusat.
Implikasinya, masih banyak “pekerjaan rumah” bagi pemerintah pusat dan daerah yang harus diprioritaskan.
Paket kebijakan perlu diikuti dengan aksi revolusi mental yang terencana, sistemik, dan
mendasar. Paket kebijakan adalah syarat perlu tapi belum mencukupi untuk memperbaiki iklim inverstasi. Hambatan utama dan mendasar adalah para birokrat dan pejabat di pusat maupun daerah masih banyak yang berperilaku sebagai “predator” dan belum menjadi fasilitator bagi
dunia bisnis. Ini tantangan besar bagi pemerintah pusat dan daerah. Sudah 19 bulan pemerintahan Jokowi-JK berjalan, namun dunia usaha masih diwarnai biaya birokrasi yang makin tinggi. Daya saing produk kita menurun, biaya logistik masih mahal, dan defisit neraca transaksi berjalan kita makin membengkak.
*Artikel ini dimuat di Investor Daily, 16 Mei 2016, hal. 4.
**Mudrajad Kuncoro adalah guru besar ilmu ekonomi dan Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Program Doktor FEB UGM.