• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Kemandirian pada Remaja yang Berstatus Sebagai Anak Tunggal Ditinjau dari Persepsi Pola Asuh Orangtua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perbedaan Kemandirian pada Remaja yang Berstatus Sebagai Anak Tunggal Ditinjau dari Persepsi Pola Asuh Orangtua"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Sebagai Anak Tunggal Ditinjau dari Persepsi Pola Asuh

Orangtua

Kamelia Dewi Purbasari

Nur Ainy Fardana Nawangsari

Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya

Abstract. This research aims to determine whether there are differences in adolescent independence sta-tus as an only child in terms of parents parenting. The population in this research were adolescents aged of 18 – 21 years old and the status as an only child. The sampling technique used is purposive sampling with the number of the subjects were 62 people. Measuring instrument used is a questionnaire of parenting there are 19 valid items with reliability of 0.918 for the parenting variable based on the theory put forward by Baumrind (1966) with three types, namely parenting: authoritarian, permissive and democratic. Whilst the independence of the measuring instrument there are 26 valid items with reliability of 0.810 for an inde-pendent variable based on the theory advanced by Steinberg (2002). The data analysis was done by using different test One-Way Between Group ANOVA with assistance of SPSS version 16.00 for Windows. The re-sults of the data analysis showed a significance level of 0.152 at F value of 1.942, which means there is no dif-fference in independence of the adolescent as the only child in term of the perception of parents parenting. Keywords: adolescent, only child, parenting, autonomy.

Abstrak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada perbedaan pada kemandirian pada remaja yang berstatus sebagai anak tunggal ditinjau dari pola asuh orangtua. Populasi dalam penelitian ini adalah remaja yang berusia 18-21 tahun dan berstatus sebagai anak tunggal. Teknik sampling yang di-gunakan adalah purposive sampling dengan jumlah subjek sebanyak 62 orang. Alat ukur yang didi-gunakan berupa kuisioner pola asuh yang terdiri dari 19 aitem valid dengan reliabilitas sebesar 0,918 berdasar-kan teori yang dikemukaberdasar-kan oleh Baumrind (1966) dengan tiga tipe pola asuh yaitu: otoriter, permisif, dan demokratis. Sedangkan alat ukur kemandirian terdiri dari 26 aitem valid dengan reliabilitas sebesar 0,810 berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Steinberg (2002). Analisis data dilakukan dengan meng-gunakan teknik uji bedaOne-Way Between Group ANOVA dengan bantuan program SPSS versi 16.00 for Windows.Hasil analisis data menunjukkan nilai F sebesar 1,942 dengan taraf siginifikansi sebesar 0,152 yang artinya tidak ada perbedaankemandirian pada remaja yang berstatus sebagai anak tunggal ditinjau dari persepsi pola asuh orangtua.

Kata kunci: remaja, anak Tunggal, pola asuh, kemandirian.

Koresponensi: Kamelia Dewi Purbasari,Departemen Psikologi Pendidikan dan Perkembangan Fakultas Psikologi Univer-sitas Airlangga Surabaya. Jalan Dharmawangsa Dalam Selatan Surabaya 60286, Telp. (031) 5032770, (031) 5014460, Fax (031) 5025910. Email:pkameliadewi@yahoo.com

(2)

PENDAHULUAN

Keluarga merupakan dua atau lebih individu yang hidup bersama dalam satu rumah dan me-milki hubungan darah, perkawinan, atau adopsi. Individu dalam keluarga saling berinteraksi dan memiliki peran berbeda serta mempertahankan suatu budaya yang dimilikinya (Bailon & Maglaya, 1978 dalam Riadi, 2012). Keluarga dikatakan se-bagai keluarga yang memiliki anak tunggal apa-bila di dalam keluarga tersebut terdiri dari ayah, ibu dan satu orang anak (Landis, 1997; Gunarsa, 2003). Anak tunggal adalah anak yang tidak me-miliki saudara laki-laki maupun perempuan, di-mana ibu mereka hanya melahirkan satu kali dan merupakan anak satu-satunya di dalam sebuah keluarga (Laybourn, 1990 dalam Laybourn, 1994).

Banyak anggapan negatif mengenai anak tunggal yang muncul dari masyarakat umum. Mereka beranggapan bahwa anak tunggal bersi-fat manja, agresif, bossy dan sulit menyesuaikan diri (Anna, 2010). Pandangan negatif terhadap anak tunggal lainnya adalah anak tunggal biasa menuntut dan diberikan orangtua perhatian yang berlebih sehingga memiliki keterbatasan dalam menghadapi lingkungan sosial dan menyesuai-kan diri (Hall dalam Pollit, dkk., 1980). Penelitian yang dilakukan oleh Ara mengenai perbandingan kemandirian remaja anak tunggal dengan tidak tunggal menunjukkan adanya perbedaan pada kemandirian antara remaja anak tunggal dengan remaja tidak tunggal (Ara, 1998).

Kozlowski (dalam penerbitan) dan Laybourn (1994) menyatakan bahwa anak tunggal terbiasa mendapatkan perhatian dan cinta tak terbagi dari orang tua sepanjang hidupnya. Kasih say-ang orsay-angtua pada anak tunggal tidak jarsay-ang di-wujudkan dengan memberikan bantuan secara total kepada anaknya setiap anak mendapatkan kesulitan. Hal tersebut dapat berdampak kurang

baik bagi pertumbuhan dan perkembangan anak karena dapat tumbuh menjadi orang yang tidak mandiri dan kurang bertanggung jawab (Gra-ciana, 2004). Perhatian dan kasih sayang secara berlebihan dan intensif dari orangtua juga dapat berakibat buruk bagi anak yaitu menyebabkan anak menjadi egosentris, manja, dan egois serta mengakibatkan anak tumbuh menjadi individu yang tidak mandiri (Falbo & Polit dalam Papa-lia, 2008). Hal ini juga ditunjukkan oleh pene-litian mengenai kemandirian anak tunggal yang dilakukan oleh Tyas menunjukkan bahwa satu dari tiga partisipan tidak mencapai kemandirian (Tyas, 2008). Namun, penelitian yang dilakukan Laybourn berkata lain yaitu bahwa anak tunggal memiliki tingkat kemandirian yang sama dengan anak yang memiliki saudara (Laybourn, 1994). Laybourn menemukan bahwa anak tunggal me-miliki tingkat kemandirian yang sama seperti anak lainnya (Laybourn, 1994).

Kemandirian merupakan salah satu proses perkembangan yang penting bagi remaja (So-esens, dkk., 2007). Seiring dengan berjalannya waktu maka anak diharapkan akan mampu me-lepaskan diri dari orangtuanya dan belajar men-jadi mandiri. Seorang anak tunggal memiliki be-ban yang lebih besar daripada anak yang memiliki saudara. Harapan orangtua pada anak hanya di-bebankan pada anak mereka satu-satunya sehing-ga anak diharapkan akan menjadi individu yang mandiri dan tegas (Soesens, dkk., 2007). Banyak anak tunggal yang mendapatkan tekanan untuk menjadi sukses di masa depan (Kozwolski, dalam penerbitan).

Faktor-faktor yang mempengaruhi ke-mandirian adalah gen, pola asuh, pendidikan di sekolah, dan kehidupan di masyarakat (Ali & Asrori, 2010). Faktor yang diangkat dalam peneli-tian ini adalah pola asuh orangtua. Pola asuh dari orangtua yang memiliki anak tunggal cenderung

(3)

mengontrol anak mereka sepanjang hidup mer-eka (Eccles, dkk., 1991). Pola asuh tersebut dapat mempengaruhi perkembangan sosial dan intelek-tual anak yang pada akhirnya mempengaruhi ke-mandirian anak mereka apabila anak tidak mam-pu melepaskan diri dari kekuatan otoritas (Eccles, dkk., 1991; Hartono, 2006). Di dalam hubungan keluarga, orangtua yang berperan dalam menga-suh, membimbing dan mengarahkan anak untuk mandiri (Steinberg, 2002). Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan kesempa-tan remaja untuk mengembangkan kemampuan diri dalam bidang akademik maupun lainnya. Kepribadian dan perilaku remaja akan terbentuk berdasarkan apa yang ditanamkan orangtua me-lalui pola asuh. Oleh karena itu, pola asuh yang diberikan orangtua menjadi faktor yang penting dalam membentuk kemandirian remaja baik se-cara emosional, perilaku maupun nilai (Steinberg, 2002).

Kemandirian

Kemandirian menurut Steinberg (2002) adalah kemampuan remaja dalam berpikir, mera-sakan dan membuat keputusan secara pribadi berdasarkan diri sendiri dibandingkan mengikuti apa yang orang lain percayai. Menurut Steinberg (2002), ada tiga macam kemandirian yaitu 1)

Emo-tional autonomy atau kemandirian emosional

adalah dimensi yang berhubungan dengan pe-rubahan keterikatan hubungan emosional rema-ja dengan orang lain. Kemandirian emosional didefinisikan sebagai kemampuan remaja untuk tidak bergantung terhadap dukungan emosional dari orangtua. Silverberg dan Steinberg (dalam Steinberg, 2002) mengungkapkan bahwa terdapat empat aspek kemandirian emosional yaitu sejauh mana remaja mampu untuk tidak memandang orangtua sebagai sosok yang ideal (de-idealized),

sejauh mana remaja mampu memandang orang-tua sebagai orang dewasa pada umunya (parents

as people), sejauh mana remaja bergantung pada

kemampuannya sendiri tanpa mengharapkan bantuan dari orang lain (non dependency) dan sejauh mana remaja mampu melakukan indi-viduasi dalam hubungannya dengan orangtua (Silverberg & Steinberg, dalam Steinberg, 2002), 2) Kemandirian perilaku (behavioral autonomy) adalah kemampuan dalam menentukan pilihan dan mengambil keputusan secara mandiri. Ke-mandirian perilaku mencakup kemampuan un-tuk meminta pendapat orang lain jika diperlukan sebagai dasar pengembangan alternatif pilihan, menimbang berbagai pilihan yang ada dan pada akhirnya mampu mengambil kesimpulan untuk suatu keputusan yang dapat dipertanggungjaw-abkan. Terdapat tiga aspek kemandirian perilaku pada remaja. Pertama, memiliki kemampuan mengambil keputusan yang ditandai dengan menyadari adanya resiko dari tingkah lakunya, memilih alternatif pemecahan masalah yang di-dasarkan atas pertimbangan sendiri dan orang lain, bertanggung jawab terhadap konsekuensi dari keputusan yang diambilnya. Kedua, individu yang memiliki kemandirian perilaku akan memi-liki kekuatan terhadap pengaruh orang lain yang ditandai dengan tidak mudahnya terpengaruh dalam situasi yang menuntut konformitas, tidak mudah terpengaruh tekanan teman sebaya dan orangtua dalam mengambil keputusan, memasu-ki kelompok sosial tanpa tekanan. Ketiga, merasa percaya diri (self reliance) yang ditandai dengan merasa mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari di rumah dan di sekolah, merasa mampu memenuhi tanggung jawab di rumah dan di seko-lah, merasa mampu mengatasi masalahnya sendi-ri, berani dalam mengemukakan ide dan gagasan, dan 3) Rest (dalam Steinberg, 2002) mengung-kapkan bahwa kemandirian nilai berkembang selama masa remaja akhir. Kemandirian nilai

(4)

adalah kemampuan memiliki sikap independen dan keyakinan tentang spiritualitas, politik, dan moral. Steinberg (2002) mengungkapkan tiga as-pek dalam kemandirian nilai yaitu sebagai beri-kut: Kemampuan dalam berpikir abstrak dalam memandang suatu masalah (abstract belief). Perilaku yang dapat dilihat adalah remaja mampu menimbang berbagai kemungkinan dalam bi-dang nilai. Memiliki keyakinan yang berakar pada prinsip-prinsip umum yang memiliki dasar ide-ologi (principled belief). Perilaku yang dapat dili-hat adalah remaja berpikir dan bertindak sesuai dengan prinsip yang dapat dipertanggungjawab-kan dalam bidang nilai. Memiliki keyakinan men-genai nilai-nilainya sendiri, bukan hanya karena sistem nilai yang disampaikan oleh orangtua atau figur otoritas lainnya (independent belief). Perilaku yang dapat dilihat adalah remaja men-gevaluasi kembali keyakinan akan nilainya send-iri, berpikir sesuai dengan keyakinan dan nilainya sendiri, dan bertingkah laku sesuai dengan keya-kinan dan nilainya sendiri.

Persepsi Pola Asuh

Persepsi adalah interpretasi tentang apa yang diindrakan atau dirasakan. Kemampuan mengaitkan dan mengintegrasikan informasi atas dua atau lebih pengalaman sensoris (Santrock, 2002). Persepsi adalah pengalaman mengenai objek, peristiwa atau hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menaf-sirkan pesan. Persepsi adalah pemberian makna pada stimuli inderawi. Walaupun begitu, menaf-sirkan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi, ekspektasi, motivasi, dan memori (Desideranto, 1976 dalam Rakhmat, 2003). Baumrind (1991, dalam Uredi, 2008) mengartikan pola asuh sebagai aktivitas kompleks yang termasuk banyak perilaku

ter-tentu yang secara individu maupun bersama ke-mudian mempengaruhi perkembangan anak. Ba-umrind (1971, 1991, dalam Papalia, 2008; Santrock, 2002; Kopko, 2007) mengidentifikasikan tiga ben-tuk gaya pengasuhan yaitu: 1) Otoriter, yaitu gaya pengasuhan yang membatasi, menghukum dan menuntut anak untuk mengikuti perintah orang-tua, atau cenderung menggunakan disiplin yang keras. Orangtua dengan pengasuhan ini cender-ung lebih mengendalikan, membentuk, mengon-trol dan mengevaluasi sikap dan perilaku anak apakah sesuai dengan standar yang diberikan oleh orangtua atau tidak. Mereka tidak memberikan kesempatan anaknya untuk berdiskusi tentang aturan yang diberikan, melainkan sudah menjadi sebuah standar dan tidak dapat ditentang. Aki-batnya remaja yang terbentuk menjadi memiliki sikap pemberontak, agresif dan bergantung pada orangtuanya, 2) Permisif, yaitu gaya pengasuhan yang sering dinamakan serba boleh, orangtua ja-rang memberikan laja-rangan atas keinginan anak dan orangtua memberikan kebebasan kepada anaknya. Mereka memanjakan dan cenderung pasif dalam hal mengasuh anak. Selain itu, orang-tua juga jarang menuntut dan menghukum anak, kurang menanamkan sikap disiplin pada anak, terlalu membebaskan anak untuk menentukan keinginan dan keputusan apa yang akan dipilih dan dilakukan sehingga orangtua terlihat tidak aktif dalam membantu pembentukan remajanya. Akibatnya adalah anak hanya mengenal sedikit batasan dan aturan, sulit mengontrol dirinya dan memiliki kecenderungan menjadi egosentris yang mungkin akan mengganggu perkembangannya yang berhubungan dengan teman sebaya, dan 3) Demokratis, yaitu gaya pengasuhan yang menga-rahkan kegiatan anak, mendorong anak agar dapat mandiri namun masih menetapkan batasan dan pengendalian atas tindakan mereka serta mendi-dik untuk dapat menjadi pendengar dan bersedia mempertimbangkan apa yang dipikirkan remaja,

(5)

sehingga anak diberikan kesempatan untuk dapat berdiskusi. Akibatnya anak akan cenderung lebih mandiri, bertanggung jawab dan kompeten dalam hal sosial.

METODE PENELITIAN

Tipe penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian dengan menggunakan data kuantitatif. Penelitian kuantitatif menekankan analisisnya pada data yang berupa angka dan diolah dengan menggunakan metode statistika(Neuman, 2007; Azwar, 2011).Menurut tujuannya, penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian explanatory yaitu penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan perbedaan pada variabel tergantung yaitu kemandirian remaja yang berstatus sebagai anak tunggal jiika ditinjau dari persepsinya terhadap pola asuh (Goodwin, 2010). Berdasarkan teknik pengumpulan data yang digunakan, penelitian ini merupakan penelitian survey yaitu mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok dari responden penelitian mengenai keyakinan, perilaku, opini dan karakteristik yang dimiliki (Singarimbun & Effendi, 1992; Neuman, 2007). Berdasarkan tempatnya maka penelitian ini merupakan penelitian lapangan.

Pola asuh yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bagaimana remaja dapat menilai sikap yang diberikan oleh orangtua dalam proses pengasuhan yang diberikan. Pola asuh yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan klasifikasi menurut Baumrind (1991) dalam Papalia (2008) yaitu: 1) Otoriter yang digunakan untuk mengukur gaya pengasuhan yang cenderung memerintah, membatasi dan memberikan hukuman apabila anak tidak mengikuti perintah orangtua, memiliki kontrol yang kuat, sikap yang kaku antara orangtua

dan anak, 2) Permisif yang digunakan untuk mengukur gaya pengasuhan yang cenderung melepaskan anak untuk mengambil keputusan ataupun tindakan sendiri, tidak terlalu banyak larangan dari orangtua, dan jarang memberikan hukuman atau tuntutan kepada anak, dan 3) Demokratis yang digunakan untuk mengukur gaya pengasuhan yang cenderung mendorong anak untuk lebih mandiri namun bertanggung jawab, ada kerjasama antara anak dan orangtua, ada rasa saling enerima satu sama lain, penerapan disiplin, tidak ada tuntutan dari orangtua, dan adanya komunikasi yang terjalin dengan baik.

Definisi kemandirian secara operasional adalah kemampuan individu dalam berpikir, berperilaku dan menentukan tindakan sesuai dengan kemampuannya sendiri tanpa mengandalkan orang lain. Kemandirian pada remaja yang berstatus sebagai anak tunggal akan diungkap dengan menggunakan skala kemandirian yang disusun berdasarkan aspek-aspek kemandirian yang dikemukakan oleh Steinberg (2002) yaitu: 1) Kemandirian emosional digunakan untuk mengukur kemampuan individu dalam memandang orangtua sebagai orang dewasa pada umunya (parents as people), tidak memandang orangtua sebagai sosok yang ideal (de-idealized), bergantung pada kemampuannya sendiri tanpa mengharapkan bantuan dari orang lain (non dependency) dan melakukan individuasi dalam hubungannya dengan orangtua. Skor yang tinggi pada aspek ini menunjukkan semakin tinggi kemampuan individu melakukan

de-idealized terhadap orangtua, kemampuan

memandang orangtua sebagai orang dewasa pada umunya (parents as people), kemampuan bergantung pada kemampuannya sendiri tanpa mengharapkan bantuan dari orang lain (non

dependency) dan kemampuan dalam melakukan

(6)

orangtua, 2) Kemandirian Perilaku digunakan untuk mengukur kemampuan individu dalam mengambil keputusan secara mandiri, memiliki kekuatan terhadap pengaruh orang lain, merasa percaya diri (self reliance). Skor yang tinggi pada aspek ini menunjukkan semakin mampu individu dalam mengambil keputusan secara mandiri, memiliki kekuatan terhadap pengaruh orang lain dan semakin percaya diri, 3) Kemandirian Nilai digunakan untuk kemampuan remaja untuk berpikir abstrak dalam memandang suatu masalah (abstract belief), memiliki keyakinan yang berakar pada prinsip-prinsip umum yang memiliki dasar ideologi (principled belief), memiliki keyakinan mengenai nilai-nilainya sendiri, bukan hanya karena sistem nilai yang disampaikan oleh orangtua atau figur otoritas lainnya (independent belief). Skor yang tinggi dalam aspek ini menunjukkan bahwa individu dalam berpikir abstrak untuk memandang suatu masalah, semakin memiliki keyakinan yang berakar pada prinsip umum yang memiliki dasar ideologi dan semakin tidak terpengaruh mengenai nilai dari figur otoritas namun memiliki nilainya sendiri. Terkait dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini maka peneliti memutuskan beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk menjadi populasi dalam penelitian ini yaitu remaja yang berusia antara 18-21 tahun dan berstatus sebagai anak tunggal.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik survey dengan menggunakan kuesioner yaitu dengan memberikan beberapa pertanyaan maupun pernyataan tertulis pada subjek penelitian

(Sugiyono, 2010). Penulis memilih teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner karena teknik ini dinilai tepat digunakan untuk jumlah subjek penelitian yang besar dan tersebar di wilayah yang cukup luas (Sugiyono, 2010).

Penelitian ini menggunakan dua skala dalam bentuk kuesioner, yaitu skala untuk mengukur persepsi pola asuh berdasarkan teori yang dikemukakan Baumrind (1991) dalam Papalia (2008) yang terdiri dari 19 aitem valid dengan relliabilitas sebesar 0,918 dan skala untuk mengukur kemandirian berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Steinberg (2002) yang terdiri dari 26 aitem valid dengan reliabilitas sebesar 0,810. Teknik analisa yang digunakan dalam penelitian ini merupakan statistik parametrik berupa uji perbedaan One-Way Between Group

ANOVA. Hal ini dikarenakan dalam penelitian ini

data yang digunakan lolos uji asumsi normalitas dan homogenitas.

HASIL DAN BAHASAN

Data yang penulis dapatkkan dengan tahap pengujian perbedaan menunjukkan taraf signifi-kansi sebesar 0,152 dengan nilai F sebesar 1,942. Suatu taraf signifikansi dapat dikatakan memi-liki perbedaan apabila memimemi-liki nilai yang lebih kecil dari 0,05. Maka berdasarkan perhitungan di bawah, dapat dikatakan bahwa tidak ada per-bedaan kemandirian pada remaja yang berstatus sebagai anak tunggal ditinjau dari persepsi pola asuh orangtua.

(7)

Kemandirian

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups 355.091 2 177.546 1.942 0.152

Within Groups 5393.248 59 91.411

Total 5748.339 61

Terdapat asumsi lain terkait dengan hasil yang tidak signifikan dalam uji hipotesis. Per-tama, subjek penelitian yang digunakan oleh penulis adalah remaja akhir yaitu remaja dengan usia mulai dari 18 tahun hingga 21 tahun. Menu-rut Steinberg (2002), perkembangan kemandirian emosional dimulai pada awal masa remaja dan ketergantungan remaja terhadap orangtua akan berkurang pada remaja akhir. Selain itu,

ke-mandirian nilai juga berkembang selama masa remaja akhir. Sesuai dengan teori yang dikemu-kakan oleh Steinberg (2002), maka kemandirian subjek yang peneliti gunakan yaitu remaja akhir cenderung tinggi. Hal ini dapat dilihat pada tabel kategorisasi kemandirian di bawah yaitu seban-yak 53 atau 85,40% subjek memiliki kemandirian yang tinggi sehingga tidak dapat menyatakan per-bedaan kemandirian pada remaja yang berstatus sebagai anak tunggal.

Tabel 2. Kategorisasi Kemandirian pada Remaja yang Berstatus sebagai Anak Tunggal

Kategori Jumlah Subjek Persentase (%)

Rendah 0 0

Sedang 9 14, 52

Tinggi 53 85, 48

Total 62 100

Kedua, sesuai dengan tugas perkemban-gan remaja yang dikemukakan oleh Havighurst dalam Hurlock (1999) dan Ali, dkk., (2010) yaitu mencari kemandirian emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya. Melihat bahwa hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat ke-mandirian sebagian besar subjek adalah tinggi maka subjek berhasil melewati tugas perkemban-gan remaja mereka. Ketiga, selain pola asuh, ke-mandirian juga memiliki faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi, diantaranya kehidupan di sekolah dan kehidupan di masyarakat (Ali, dkk., 2010). Tetapi dalam penelitian ini penulis tidak mengukur bagaimana kehidupan sekolah dan masyarakat seperti teman sebayanya memper-ngaruhi kemandirian subjek, sehingga tidak ada cukup bukti untuk memperkut argumen tersebut.

Selain itu, hasil dari penelitian ini

menun-jukkan bahwa remaja yang berstatus sebagai anak tunggal dan remaja pada umumnya tidak memiliki perbedaan dalam hal kemandirian. Hal ini juga dikemukakan dalam hasil penelitian Laybourn (1994) yaitu bahwa anak tunggal tidak kurang atau lebih baik dibandikan anak yang memiliki saudara dalam tes kepemimpinan, ke-waarganegaraan, kedewasaan, kooperatif, dog-matisme, kemandirian, locus of control, kontrol diri, kecemasan, stabilitas emosi, kepuasaan, dan partisipasi sosial. Laybourn mengatakan bahwa anak tunggal memiliki tingkat kemandirian yang sama seperti anak lainnya. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Lorna (2002), bahwa ketidak-beradaan saudara dalam kehidupan anak tunggal membuat anak tunggal berelasi dengan orang lain dengan intensitas yang tinggi. Intensitas tersebut memunculkan keinginan untuk menjadi mandiri dan tidak bergantung dengan orang lain.

(8)

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil analisis data yang telah di-lakukan dalam penelitian ini, diperoleh jawaban atas pertanyaan penelitian. Berikut merupakan kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian ini: 1) Tidak ada perbedaan pada kemandirian remaja yang berstatus sebagai anak tunggal ditinjau dari pola asuh orangtua dan 2) Kemandirian remaja akhir yang berstatus sebagai anak tunggal cend-erung tinggi.

Berdasarkan keterbatasan penelitian ini, maka penulis mengharapkan pada peneliti selan-jutnya dengan topik penelitian yang serupa dapat mencari jurnal penelitian yang relevan dan ter-baru. Kemudian saran berikutnya adalah untuk dapat menindaklanjuti penelitian ini dengan me-lihat faktor-faktor lainnya yang juga dapat mem-pengaruhi perbedaan kemandirian dan pola asuh. Penulis mengharapkan dengan hal tersebut maka

hasil penelitian yang didapatkan akan lebih aku-rat.

Penulis mengharapkan orangtua yang me-miliki anak tunggal untuk dapat membantu anak remaja mereka dalam meningkatkan kemandiri-annya. Misalnya dengan membantu anak untuk mengurangi ketergantungan terhadap orangtua dan memberikan kesempatan terhadap anak un-tuk mengambil keputusannya sendiri.

Remaja yang berstatus anak tunggal dalam penelitian ini memiliki kemandirian sedang dan tinggi dengan jumlah yang tidak terlalu jauh. Akan lebih baik apabila kemandirian sedang tersebut ditingkatkan lagi. Penulis mengharap-kan remaja yang berstatus sebagai anak tunggal lebih percaya diri terhadap kemampuan yang di-milikinya sendiri, mampu membuat keputusan sendiri tanpa pengaruh dari orang lain dan men-gurangi ketergantungan yang berlebihan terha-dap orangtua.

PUSTAKA ACUAN

Ali, M., & Asrori, M. (2010). Psikologi remaja perkembangan peserta didik. Jakarta: Bumi Aksara.

Anna, L.K. (2010, 18 Agustus). Anak tunggal sulit bergaul?. Kompas [on-line]. Diakses pada tanggal 4 April 2013 dari http://health.kompas.com/read/2010/08/18/10245158/Anak.Tunggal.Sulit.Bergaul. Ara, Z. M. (1998). Perbandingan kemandirian antara anak remaja tunggal dengan anak remaja tidak

tunggal: Studi siswa SMU yang ibunya bekerja dan tidak bekerja (s2535) jakarta: perpustakaan

universitas indonesia.

Azwar, S. (2011). Dasar-dasar psikometri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Eccles, J.S., Buchanan, C.M., Flanagan, C., Fuligni, A., Midgley, C., & Yee, D. (1991). Control versus autonomy during early adolescence. Journal of Social Issues, 4, 53-68.

Goodwin, C.J. (2010). Research in psychology methods and design. USA: John Wiley & Sons, Inc.

Graciana, J. (2004). Mengasuh anak tunggal. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Gunarsa, S.D. (2003). Psikologi perkembangan anak & remaja. Jakarta: Gunung Mulia.

(9)

Kopko, K. (2007). Parenting style and adolescents. United Stade: Cornell Cooperative Extension. Kozlowski, J.F. (dalam penerbitan). Adult implications of being an only child. General Psychology.

Landis, P.H. (1997). Essy on moral development: The psychology of moral development. New York: Haper & Row Publisher, inc.

Laybourn, A. (1994). The only child: Myths and reality. H.M. Stationery Office.

Neuman, W.L. (2007). Basic of social research: Qualitative amd quantitative aproaches (2nd ed.). Bos-ton: Allyn and Bacon.

Papalia, D.E. (2008). Human development (10th ed). New York: McGraw-Hill Companies, Inc.

Pollit, D. F., Nuttall, R.L., & Nuttall, E.V. (1980). The only child grows up: A Look at some characteristics of adult only children. Family Relations, 29, 99-106.

Rakhmat, J. (2003). Psikologi komunikasi (rev.ed). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Riadi, M. (2012, 21 November). Definisi, fungsi dan bentuk keluarga. KajianPustaka [on-line]. Diakses

pada tanggal 4 September 2014 dari

http://www.kajianpustaka.com/2012/11/definisi-fungsi-dan-bentuk-keluarga.html.

Santrock, J.W. (2002). Life-span development: Perkembangan masa hidup. Edisi 5, Jilid I. Jakarta: Erlangga. Singarimbun, M. & Effendi, S. (1992). Metode penelitian survey (rev.ed). Jakarta: LP3ES.

Soesens, B., Vansteenkiste, M., Lens, W., Luyckx, K., Goossens, L., Beyers, W., & Ryan, R.M. (2007). Con-ceptualizing parental autonomy support: Adolescent perceptions of promotion of independence versus promotion of volitional functioning. Developmental Psychology, 43 (3), 633–646.

Steinberg, L. (2002). Adolescence. New York: Mc.Graw Hill Companies, Inc.

Sugiyono. (2010). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan r & d. Bandung: Alfabeta.

Tyas, M. P. (2008). Gambaran kemandirian anak tunggal dewasa muda. Jakarta: Perpustakaan Universi-tas Indonesia.

Uredi, M. E. (2008). The effect of perceived parenting style on sel regulated learning strategies and mo-tivational beliefs. International Journal about Parents in Education. 2 ( 1), 25-34.

Gambar

Tabel 2. Kategorisasi Kemandirian pada Remaja yang Berstatus sebagai Anak Tunggal Kategori Jumlah Subjek Persentase (%)

Referensi

Dokumen terkait

Nilai total skor yang mencerminkan Kekuatan ( Strenght ) dari matrik IFAS di plot ke sumbu X pada bagian yang positif.. Hal yang sama dilakukan terhadap Nilai total

2. Dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam pembelajaran matematika pada pokok bahasan rumus-rumus trigonometri, hasil belajar yang diperoleh siswa

Hal ini berarti p-value lebih kecil dari alpha (5%), sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan perilaku konsumsi minuman beralkohol antara remaja yang memiliki

Penyediaan pemanfaatan dan nilai gizi limbah pertanian sebagai makanan ternak di Sumatera Barat , Pusat Penelitian Universitas Andalas, Padang..

TT 001 TATA LINGKUNGAN Pelaksana Plambing / Pekerjaan Plambing TT 002 TATA LINGKUNGAN Pengawas Plambing / Pekerjaan Plambing TT 003 TATA LINGKUNGAN Juru gambar / Draftman -

Adanya hubungan hubungan antara kemandirian belajar dengan hasil belajar keterampilan dasar praktik klinik mahasiswa semester I prodi D IV bidan pendidik STIKES

Pada tugas akhir ini bangunan akan didesain untuk menahan beban lateral gempa dan gravitasi dengan metode Struktur Rangka Pemikul Momen Khusus (SRPMK) dan

Pengujian dilakukan pada query yang menggunakan 2 tabel dengan indeks pada tahapan akses tabel secara penuh menghasilkan data yang menunjukan bahwa model Scalar memiliki