• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISASI KAWASAN PERMUKIMAN PERKOTAAN DAN PERDESAAN DI WILAYAH TANGERANG KUSMALINDA MADJID

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KARAKTERISASI KAWASAN PERMUKIMAN PERKOTAAN DAN PERDESAAN DI WILAYAH TANGERANG KUSMALINDA MADJID"

Copied!
155
0
0

Teks penuh

(1)

KUSMALINDA MADJID

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Karakterisasi Kawasan Permukiman Perkotaan dan Perdesaan di Wilayah Tangerang adalah karya saya dengan arahan Komisi Pembimbing, dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, 16 Januari 2012 Kusmalinda Madjid NIM A353060171

(4)
(5)

KUSMALINDA MADJID. Karakterisasi Kawasan Permukiman Perkotaan dan Perdesaan di Wilayah Tangerang. Under direction of KOMARSA GANDASASMITA and DYAH RETNO PANUJU.

This study aims to characterize housing that growth in urban and rural areas of Tangerang regions. Sprawling is one of the major driving forces of land-use/land-cover change in the Jakarta Metropolitan Areas. The sprawl defines as situation of unauthorized and unplanned development, normally at the fringe areas of cities, especially haphazard construction of homestead, commercial areas, industrial areas and other non-conforming land-uses. It is along the major lines of communications or roads adjacent to city boundaries. The forms of sprawl in Jakarta Metropolitan Areas are pre dominated by unplanned housing development. In this paper we identify factors to determinate four built up area pattern in Tangerang. The research was conducted from June to September 2011. Various methods were employed to characterize the residential growth. Administrative boundaries and physical growth used to classify four category residential patterns. Box plot and t-test were applied to describe four typologies based on several assumed important variables. Factor analysis and discriminant analysis were utilized to characterize the residential pattern. The result shows that sprawl phenomenon was not only found in periphery but also could be found in either urban and rural area. There were six significant factors discriminating spatial pattern of residential development i.e.; land uses, spontaneous development, accessibility, population, facilities and industrial development. Administrative status did not dictate empirical land use pattern, whether being urban or rural one.

(6)
(7)

KUSMALINDA MADJID. Karakterisasi Kawasan Permukiman Perkotaan dan Perdesaan di Wilayah Tangerang. Dibimbing oleh KOMARSA GANDASASMITA dan DYAH RETNO PANUJU.

Perencanaan merupakan salah satu kunci pembangunan. Jika proses perencanaan memberikan kontribusi penting terhadap perubahan, maka perubahan dapat dikatakan sebagai pembangunan. Kenyataannya, pembangunan ada yang direncanakan dan ada yang tidak terencana, demikian pula dengan perkembangan suatu kota.

Pengaruh perkembangan perumahan sangat besar dalam meningkatkan perkembangan kota yang tak terencana. Ketidaksiapan pemerintah menghadapi perkembangan perumahan ternyata mempercepat penurunan kenyamanan dan kualitas hidup penghuni, dan bila dibiarkan kondisi ini akan semakin buruk. Indikator penurunan tingkat kenyamanan dan kualitas hidup dapat dilihat pada kurangnya ketersediaan infrastruktur, meningkatnya kemacetan lalu lintas dan polusi udara.

Pengadaan kebutuhan perumahan tanpa mempertimbangkan perencanaan tidak akan mampu menjaga ketertataan kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan dengan baik. Hanya terfokus pada peningkatan suplai hunian telah memicu terjadinya urban sprawl. Oleh karena itu, penelitian ini bermaksud untuk mengenali pengaruh perkembangan urban sprawl pada empat pola kawasan permukiman. Adapun tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk mengklasifikasi perkembangan permukiman yang tertata dan perkembangan yang tak tertata (sprawl) baik di kota dan di desa, mengidentifikasi faktor berpengaruh pada tiap kategori kawasan permukiman, dan menentukan karakteristik penciri dari tiap tipologi.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan studi kepustakaan, analisis data sekunder, dan ground check. Pendekatan kepustakaan dilakukan terutama untuk memahami definisi yang tepat mengenai apa yang dimaksud dengan kota, perkotaan, perdesaan bagi penelitian ini, serta konsep perkembangan kota yang acak dan tak terencana. Pada penelitian ini digunakan metode klasifikasi dengan pendekatan status administrasi. Pengujian atas hasil klasifikasi tersebut dilakukan dengan menggunakan metode analisis faktor dan analisis diskriminan. Adapun wilayah yang diamati dalam penelitian adalah meliputi tiga wilayah administrasi, yakni Kotamadya Tangerang, Kota Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang, yang selanjutnya disebut sebagai Wilayah Tangerang.

Temuan dari penelitian ini adalah klasifikasi yang menghasilkan empat kelas pola permukiman, yaitu: (1) Permukiman perkotaan tertata, (2) Permukiman perkotaan tidak tertata, (3) Permukiman perdesaan tertata, dan (4) Permukiman perdesaan tidak tertata. Analisis diskriminan menemukan duabelas faktor berpengaruh nyata pada kawasan permukiman di Tangerang, yakni luas lahan terbangun, luas Ruang Terbuka Hijau (RTH), indeks kekumuhan, jarak ke pusat Jakarta, jumlah industri sedang, indeks aksesibilitas ke/dari fasilitas sosial-ekonomi, luas tegalan, indeks aksesibilitas ke pusat, indeks profil rumah tangga,

(8)

pertumbuhan kepala keluarga, indeks aksesibilitas ke fasilitas kesehatan, dan jumlah industri besar. Dengan metode yang sama, analisis menghasilkan enam kelompok penciri yang khas yang membedakan karakteristik satu tipologi kawasan dengan yang lain. Enam kelompok penciri yang khas tersebut adalah komponen penggunaan lahan, kelompok komponen kekumuhan, kelompok komponen aksesibilitas, kelompok komponen populasi, kelompok komponen fasilitas dan kelompok komponen industri.

Pengujian statistik pada metode klasifikasi kawasan secara visual memiliki tingkat ketepatan 82%. Ketidaktepatan klasifikasi ditemukan pada 50 desa dari 279 desa sebagai unit pengamatan. Pengujian kembali tanpa menggunakan status administrasi sebagai kunci penentu klasifikasi menghasilkan klasifikasi empat pola kawasan dengan tingkat ketepatan 98%.

(9)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

(10)
(11)

KUSMALINDA MADJID

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(12)
(13)

Judul Tesis : Karakterisasi Kawasan Permukiman Perkotaan dan Perdesaan di Wilayah Tangerang

Nama : Kusmalinda Madjid

NIM : A353060171

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, MSc. Dyah Retno Panuju, SP,

MSi. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

IPB

Ilmu Perencanaan Wilayah

Profesor Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus Dr. Ir. Dachrul Syah, MSi.

(14)
(15)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhana Wa Ta’alla atas segala karunia-Nya sehingga penyusunan tesis ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2011 ini berjudul Karakterisasi Kawasan Permukiman Perkotaan dan Perdesaan di Wilayah Tangerang diharapkan dapat menjadi masukan bagi pengembangan perumahan khususnya di Jabodetabek.

Penulis memperoleh bantuan, arahan dan bimbingan dari berbagai pihak dalam penyelesaian tesis ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1) Bapak Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, MSc selaku Ketua Komisi Pembimbing yang dengan sabar memberikan pengarahan dan dukungan kepada penulis dalam penyusunan tesis ini.

2) Ibu Dyah Retno Panuju, SP, MSi selaku Anggota Komisi Pembimbing, beserta keluarga, yang telah meluangkan begitu banyak waktu untuk membantu penulis menyelesaikan tesis ini.

3) Bapak Dr. Ir. Baba Barus, MSc selaku penguji luar komisi, penulis ucapkan terima kasih atas saran yang begitu berharga.

4) Bapak Profesor Dr.Ir. Santun R.P. Sitorus selaku Ketua Program Studi, penulis sampaikan rasa terima kasih.

5) Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, MAgr. terima kasih untuk dukungannya.

6) Seluruh dosen dan staf di Program Studi PWL, terima kasih untuk bantuannya.

7) Emma dari Bangwil, Agi dan Mbak Reni dari PPJ serta rekanku Nia, terima kasih untuk data-datanya.

8) Teman-teman terbaik, Ivong, Lina, Lela, Rani dan Mbak Nina, yang telah membantu penulis di saat-saat paling penting. Terima kasih banyak untuk bantuannya.

9) Penulis sampaikan pula terima kasih kepada rekan-rekan di Program Studi PWK untuk seluruh bantuan dan dukungan.

10) Kepada ibu, adik-adikku dan keluarga kecilku, terima kasih atas do’a, kesabaran dan kasih sayangnya.

11) serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang turut membantu dalam penyelesaian karya ilmiah ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna dan untuk itu disampaikan permohonan maaf apabila dalam menjalani proses yang dilalui ada kekurangan dan kekhilafan. Dan dalam kekurangannya, semoga tesis ini dapat diterima dan bermanfaat.

Bogor, 16 Januari 2012 Kusmalinda Madjid

(16)
(17)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 28 Januari 1967 dari ayah (alm) Abdul Madjid dan ibu Kuswinarni. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara, dan telah menikah dengan Oky Adam serta memiliki seorang putra, Panji. Tahun 1996 penulis menamatkan pendidikan di Program Studi Planologi – Institut Teknologi Indonesia di Serpong. Pada tahun 2006 penulis melanjutkan studi di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah – Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif terlibat dalam kegiatan pembelajaran di Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota – Institut Teknologi Indonesia. Di Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota penulis ditugaskan sebagai koordinator kegiatan studio yang diemban sejak tahun 1997-2001 dan 2003-2010.

(18)
(19)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxi

DAFTAR GAMBAR ... xxiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xxv

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 3

Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

TINJAUAN PUSTAKA ... 9

Dinamika Pertumbuhan Kota ... 9

Urban Sprawl ... 11

Kawasan Permukiman dan Karakteristik yang Dimilikinya ... 15

Pola Kawasan Permukiman ... 19

Penelitian-Penelitian Terdahulu Terkait Topik Penelitian ... 21

METODE PENELITIAN ... 25

Kerangka Pemikiran ... 25

Ruang Lingkup Penelitian ... 26

Tempat dan Waktu Penelitian ... 27

Bahan dan Alat ... 28

Identifikasi Jenis Data ... 29

Teknik Pengumpulan Data ... 29

Proses Persiapan dan Tahap Analisis ... 30

Teknik Analisis Data ... 32

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN ... 43

Keadaan Geografis dan Administrasi ... 43

Pola Penggunaan Lahan ... 46

Perkembangan Penduduk ... 47

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 53

Penentuan Klasifikasi Permukiman ... 53

Karakteristik Kelompok Permukiman Berdasarkan Beberapa Variabel Penduga ... 58

Karakterisasi Kawasan Permukiman Perkotaan dan Perdesaan di Wilayah Tangerang Berdasarkan Analisis Multivariabel ... 69

Penyebab Masalah Pada Beberapa Tipologi Permukiman ... 84

Pengujian Desa Salah Klasifikasi ... 87

(20)

Halaman

KESIMPULAN DAN SARAN ... 95

Kesimpulan ... 95

Saran ... 96

DAFTAR PUSTAKA ... 99

LAMPIRAN ... 103

(21)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Beberapa hasil penelitian terdahulu ... 22

2 Jenis dan sumber data, teknik analisis dan hasil yang diharapkan untuk setiap tujuan penelitian ... 29

3 Variabel-variabel yang diperkirakan mempunyai pengaruh kuat terhadap perkembangan ruang ... 35

4 Luas wilayah kecamatan di Tangerang ... 43

5 Keadaan penduduk di Wilayah Tangerang ... 48

6 Keadaan kepala keluarga (KK) di Wilayah Tangerang ... 49

7 Keadaan persebaran penduduk di Wilayah Tangerang tahun 2008 ... 51

8 Klasifikasi permukiman di Wilayah Tangerang ... 54

9 Karakteristik data pada tiap kategori pengamatan ... 68

10 Nilai loading tingkat kekumuhan dan kemiskinan ... 70

11 Nilai loading tingkat aksesibilitas ... 71

12 Hasil pengujian variabel penciri permukiman perkotaan dan perdesaan di Wilayah Tangerang ... 74

13 Karakteristik penciri tiap kategori permukiman perdesaan dan perkotaan di Wilayah Tangerang ... 75

14 Tingkat ketepatan klasifikasi kawasan permukiman perdesaan dan perkotaan Wilayah Tangerang ... 76

15 Nilai peluang posterior desa yang salah klasifikasi ... 82

16 Kategori desa hasil klasifikasi diskriminan ... 83

17 Klasifikasi pengamatan 50 desa ... 88

18 Tingkat ketepatan klasifikasi 50 desa ... 89

(22)
(23)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Kenampakan citra Desa Kosambi Barat Kecamatan Kosambi

yang menunjukkan perkembangan sprawl ... 6 2 Pola morfologi permukiman ... 21 3 Kerangka pemikiran ... 26 4 Orientasi dan letak wilayah studi ... 28 5 Bagan alir penelitian ... 32 6 Batas administratif kecamatan di Wilayah Tangerang ... 45 7 Pola penggunaan lahan di Wilayah Tangerang ... 47 8 Kenampakan visual a) Permukiman perkotaan tertata,

b) Permukiman perkotaan tidak tertata, c) Permukiman desa

tertata, d) Permukiman desa tidak tertata (sprawl) ... 53 9 Klasifikasi permukiman di Wilayah Tangerang ... 55 10 Sebaran klasifikasi permukiman perkotaan tertata (kategori a) ... 56 11 Sebaran klasifikasi permukiman perkotaan tak tertata (kategori b) ... 56 12 Sebaran klasifikasi permukiman perdesaan tertata (kategori c) ... 57 13 Sebaran klasifikasi permukiman perdesaan tak tertata (kategori d) ... 57 14 Boxplot kelompok variabel letak kawasan dan pola penggunaan

lahan ... 59 15 Boxplot pertumbuhan kepala keluarga (KK) ... 60

16 Boxplot kelompok variabel kekumuhan ... 61

17 Boxplot kelompok variabel kemiskinan ... 62

18 Boxplot kelompok variabel fasilitas ... 64

19 Boxplot kelompok variabel industri ... 65

20 Boxplot kelompok variabel aksesibilitas ... 66

21 Sebaran kawasan yang tepat diklasifikasi sebagai kategori

kawasan a, b, c dan d ... 77 22 Kenampakan visual citra Desa Periuk yang mewakili permukiman

perkotaan tertata (a). ... 78 23 Kenampakan visual citra Desa Benda Baru yang mewakili

permukiman perkotaan tidak tertata (b O) ... 79 24 Kenampakan visual citra Desa Situ Gadung Kecamatan Pagedangan

(24)

Halaman 25 Kenampakan visual citra Desa Curug Kulon Kecamatan Curug

yang mewakili permukiman perdesaan tidak tertata (d) ... 80 26 Sebaran kawasan yang tidak tepat diklasifikasi sebagai kategori

kawasan a, b, c dan d ... 81 27 Kenampakan visual citra Desa Kosambi Timur yang diklasifikasi

sebagai kawasan kategori b berdasarkan analisis diskriminan ... 85 28 Kenampakan visual citra Desa Serdang Kulon dan foto lapangan,

(25)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Hasil klasifikasi menjadi empat kategori kawasan ... 105 2 Variabel yang digunakan dalam pengujian ... 111 3 Hasil uji t (t-test) berdasarkan kelompok kategori kawasan ... 117 4 Hasil analisis faktor indeks kekumuhan-kemiskinan dan indeks

aksesibilitas ... 122 5 Hasil analisis diskriminan ... 125 6 Hasil klasifikasi kembali 50 desa ... 131

(26)

Latar Belakang

Pada kota-kota metropolitan, perkembangan sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk yang diikuti dengan meluasnya kegiatan ekonomi perkotaan. Tingginya pertumbuhan penduduk dan meluasnya kegiatan ekonomi di perkotaan, telah meningkatkan kepadatan baik di daerah perkotaan itu sendiri maupun di kawasan pinggiran kota. Pertambahan jumlah penduduk kota tidak hanya diikuti oleh pertambahan akan ruang tempat tinggal, tetapi juga ruang untuk mengakomodasi peningkatan jumlah kegiatan baru. Oleh karena ruang terbuka yang ada di dalam kota terbatas, maka perkembangan membuat perkotaan menjadi lebih padat, dan ekspansi kota ke daerah perdesaan yang berada di pinggiran kota menjadi berkembang, hingga akhirnya daerah pinggiran kota mengalami suburbanisasi (Rustiadi dan Panuju 1999). Ini adalah kondisi yang melatar-belakangi terjadinya pola perkembangan kota yang dalam beberapa literatur disebut sebagai urban sprawl.

Pertumbuhan kota ke arah pinggiran, menunjukkan keterkaitan kuat antara daerah perkotaan dengan perdesaan. Keterkaitan yang kuat ditemukan pada daerah yang mengelilingi pusat kota atau di sepanjang jalur utama yang menghubungkan pusat kota ke arah pinggiran kota (Tacoli 2003). Keterkaitan tersebut adalah terjadinya hubungan saling membutuhkan antara penduduk perdesaan dengan perkotaan. Penduduk perdesaan sangat membutuhkan beberapa layanan kota diantaranya fasilitas pendidikan, perbankan, sarana pertanian, fasilitas kesehatan dan layanan administrasi pemerintahan, sementara penduduk perkotaan membutuhkan ketersediaan bahan baku pangan. Disamping itu, keterkaitan terlihat dari adanya konflik kepentingan perkotaan dengan kepentingan daerah perdesaaan. Daerah perdesaaan yang secara tradisional merupakan daerah pertanian, menjadi terdesak oleh kepentingan-kepentingan ekonomi, rekreasi dan perumahan (Busck 2006).Konflik kepentingan yang muncul akibat konversi lahan pertanian di perdesaan menjadi kawasan perumahan dan industri, menurut Tacoli (2003) menyebabkan perubahan pola mata pencaharian keluarga petani skala

(27)

kecil, yang pada akhirnya meningkatkan jumlah penduduk desa pada aktifitas non pertanian, yang umumnya terletak di pusat kota.

Pertambahan jumlah penduduk selalu diikuti dengan pertambahan kebutuhan rumah/tempat tinggal dan sejumlah kegiatan baru untuk mendukung perikehidupan dan penghidupan, akan selalu diikuti pula dengan kebutuhan tanah/ruang. Di sisi lain, perkotaan memiliki keterbatasan untuk memenuhi kebutuhan tanah perumahan dan seluruh sarana prasarana pendukungnya. Akibat yang dapat terjadi adalah pemadatan ruang di dalam kota (Rindarjono 2010) dan perluasan kota hingga ke daerah pinggiran kota (Yunus 2008).

Pemadatan ruang di dalam kota adalah bentuk pemanfaatan ruang kota secara tidak terencana (Siregar 2011). Menurut Yunus (2008), proses pemadatan di dalam kota merupakan upaya pengisian ruang-ruang kosong antar permukiman yang telah ada sebelumnya. Upaya pengisian ruang kosong/ruang-ruang sisa/marjinal dengan cara ini adalah bentuk pemanfaatan ruang kota secara tidak terencana. Pemadatan ruang kota yang banyak terjadi di kawasan permukiman lama dalam kota membuat kondisi kawasan menjadi tidak teratur, baik segi arsitekturalnya, ukurannya maupun tata letaknya.

Perluasan kota hingga ke daerah pinggiran kota, merupakan pola perkembangan urban sprawl di luar batas kota. Perkembangan seperti ini adalah pola perkembangan yang tidak efisien. Menurut Djunaedi (2002), perluasan kawasan permukiman hingga ke daerah pinggiran kota dengan pola yang acak dan ‘lompat katak’, menyebar keluar dari batas wilayah kota, membuat pemerintah daerah tidak siap menghadapi sprawl. Infrastruktur yang dibangun tidak dapat mengimbangi pesat dan kompleksnya pembangunan yang berlangsung, karena penyediaan tambahan kapasitas prasarana dan fasilitas lingkungan perkotaan serta sejumlah infrastruktur tidak dapat dilakukan. Pola perkembangan kawasan terbangun kota yang acak dan menyebar seperti ini adalah pola perkembangan kawasan terbangun secara tidak terencana (Heripoerwanto 2009).

Dampak dari perkembangan yang tak terencana ini diantaranya muncul berbagai isu fisik, sosial-budaya dan ekonomi. Friedberg (2001); Simon et al. (2003); Briggs 1991 dalam Marshall (2009), menunjukkan isu fisik yang muncul antara lain: pemadatan kawasan permukiman yang telah ada sebelumnya,

(28)

tumbuhnya kantong-kantong permukiman dan bangunan lainnya di daerah pinggiran kota, dan munculnya permukiman kumuh baik di dalam kota maupun di daerah pinggiran kota. Isu lain yang muncul adalah permasalahan infrastruktur, seperti meningkatnya intensitas genangan pada musim hujan, suplai air bersih yang menurun pada musim kemarau, dan terjadinya kemacetan lalu lintas. Pertumbuhan yang sprawl juga menimbulkan permasalahan sosial ekonomi, seperti berkembangnya sektor informal dan daerah kumuh dan meningkatnya jurang kesenjangan antara orang kaya dan miskin antar warga yang berdekatan (Leisch 2002 dalam Winarso 2007), serta munculnya segregasi sosial (Galvin 2002).

Perumusan Masalah

Intensitas pemanfaatan ruang perkotaan dan ekspansi pemanfaatan ruang di daerah perdesaan secara acak (urban sprawl) adalah suatu proses yang tak terencana (Heripoerwanto 2009). Desakan kebutuhan perumahan, yang ditandai dengan tumbuhnya kantong-kantong permukiman di daerah pinggiran Kota Jakarta, menunjukkan ada proses pembangunan kota yang tidak direncanakan. Padahal, pembangunan seharusnya merupakan suatu proses terencana untuk mencapai suatu keadaan kepada kondisi yang lebih baik, dimana proses perencanaan harus memberikan kontribusi penting terhadap perubahan tersebut (Saefulhakim 2008).

Tangerang adalah salah satu wilayah di Kawasan JakartaBogorDepok -Tangerang-Bekasi (Jabodetabek) yang mengalami pertumbuhan cepat sejak awal tahun 1980an. Tangerang meliputi tiga wilayah administratif yakni Kabupaten Tangerang, Kotamadya Tangerang dan Kotamadya Tangerang Selatan, Perembetan pertumbuhan ke arah Tangerang, ditandai dengan tumbuhnya kantong-kantong permukiman di Wilayah Tangerang. Tangerang merupakan daerah pinggiran kota mengalami suburbanisasi (Rustiadi dan Panuju 1999) dan secara alamiah menjadi pilihan alternatif dalam memenuhi kebutuhan ruang untuk tempat tinggal (Yunus 1999 dalam Warsono 2006).

(29)

Perembetan perkembangan kota hingga ke Tangerang memiliki berbagai permasalahan, seperti tumbuhnya permukiman kumuh, kurangnya ketersediaan palayanan infrastruktur atau kurangnya ketersediaan sarana prasarana permukimanan. Keberadaan permukiman kumuh ditemukan di beberapa kecamatan di Kotamadya Tangerang, seperti Kecamatan Neglasari, Benda dan Periuk (BPS 2008), akan membentuk kawasan tidak teratur. Kurangnya ketersediaan pelayanan infrastruktur drainase yang ditunjukkan dengan terjadinya banjir, ditemukan di sejumlah kecamatan di Tangerang Selatan seperti di Kecamatan Pondok Aren dan Ciputat Timur, dapat memperburuk kualitas lingkungan perumahan. Kurangnya ketersediaan sarana prasarana permukiman di wilayah Tangerang ditunjukkan oleh keberadaan fasilitas pendidikan, sosial dan ekonomi yang tidak tersebar merata di tiap desa atau kecamatan (BPS 2003, 2008 dan pengamatan lapangan 2011). Menurut Wiryomartono (2002), kondisi ini disebabkan karena pertumbuhan permukiman tidak diimbangi dengan pembentukan simpul-simpul sistem yaitu infrastruktur dan kegiatan perkotaan. Akibatnya, perkembangan menimbulkan sejumlah permasalahan baru, seperti kemacetan di titik yang berbatasan dengan Kota Jakarta, kurangnya ketersediaan sarana prasarana permukiman dan perkembangan perumahan yang menyebar tak beraturan.

Pola perkembangan yang terbentuk di Wilayah Tangerang berbeda di setiap tempat. Perembetan perkembangan Jakarta ke arah Utara Tangerang, menunjukkan perkembangan didominasi oleh pergudangan dan perumahan. Perkembangan ke arah Selatan menuju Pondok Aren, Ciputat, Serpong, Legok sampai Cikupa didominasi oleh perkembangan perumahan menengah-atas, ke arah Barat Kotamadya Tangerang menuju Jatiuwung, Pasar Kemis, Cikupa sampai Balaraja perkembangan didominasi oleh kegiatan industri. Pola perkembangan daerah pinggiran kota yang berbeda-beda tidak ditemukan di Indonesia saja, tetapi terjadi pula di beberapa negara diantaranya di Asia Timur (Hudalah et al. 2007) seperti di Cina (Leaf 2002), di Asia Tenggara seperti Vietnam (Leaf 2002; Thapa & Murayama 2008) dan Thailand (Winarso et al. 2007), dan di Australia (Buxton & Choy 2007). Kenyataan ini diperkuat dengan pernyataan Tacoli (2003), bahwa pola perkembangan permukiman di perdesaan,

(30)

terutama di pinggiran kota, tidak selalu seragam. Ada kawasan yang didominasi oleh perkembangan kawasan perumahan dan perumahan murah (termasuk rumah-rumah liar) dan ada yang didominasi oleh perkembangan kawasan industri.

Peristiwa perembetan perkembangan yang ditunjukkan dengan perembetan kenampakan fisik kota, memiliki karakteristik dengan arah pemekaran yang beraneka ragam, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Antrop (2000) dalam Busck (2006), mengidentifikasi sejumlah zona urbanisasi mulai dari pusat kota hingga ke perdesaan dimana setiap zonanya memiliki proses dan bentuk yang berbeda-beda. Karakteristik perkembangan daerah pinggiran seperti proses peralihan hak atas lahan pertanian (Bah et al. dalam Tacoli 2003), konflik kepentingan pemanfaatan lahan di daerah peri-peri yang merupakan proses konversi lahan pertanian menjadi kawasan dengan pemanfaatan lahan campuran yang intensif (Sajor 2007), kecepatan pertumbuhan daerah terbangun hampir 30% yang lebih cepat dibanding pertumbuhan populasi penduduk akibat peningkatan kebutuhan konsumtif penduduk kota, seperti kebutuhan akan rumah kedua sebagai investasi, lapangan golf dan fasilitas khusus lainnya sebagai pelengkap kenyamanan (Bourne et al. 2003), menunjukkan karakteristik yang khas dari pemekaran kota.

Tangerang mengalami perkembangan sprawl dari Jakarta yang secara alamiah (Spencer 1979 dalam Warsono 2006) perkembangannya akan sangat dipengaruhi oleh karakteristik pemekaran Kota Jakarta, baik yang kuat pengaruhnya maupun yang lemah pengaruhnya (Bintarto 1983). Akibatnya, perkembangan ini sangat mempengaruhi perbedaan-perbedaan yang terjadi secara keruangan (Koestoer 1997). Di sisi lain, perkembangan sprawl dari Jakarta yang dialami Tangerang memberikan indikasi lemahnya pengendalian tata ruang (Wiryomartono 2002), yang mengakibatkan inefesiensi pengelolaan lahan atau kurangnya ketersediaan pelayanan infrastruktur wilayah (Djunaedi 2002; Webster & Theeratham 2004). Bila perkembangan ini dibiarkan maka sejumlah kawasan termasuk kawasan permukiman yang telah ada, akan mengalami penurunan kenyamanan dan kualitas kehidupan penduduknya (Heripoerwanto 2009).

Kedekatan wilayah Tangerang dengan Jakarta dan tingginya interaksi wilayah Tangerang dengan Jakarta dapat menimbulkan persoalan yang krusial bila

(31)

tak tertangani dengan baik. Berdasarkan hasil observasi lapangan serta pengamatan pada citra wilayah Tangerang ditemukan beberapa kawasan perdesaaan yang mengalami perkembangan acak (sprawl) oleh fungsi perkotaan seperti pada desa-desa yang berada di wilayah Kecamatan Kosambi Kabupaten Tangerang (Gambar 1).

Gambar 1 Kenampakan citra Desa Kosambi Barat Kecamatan Kosambi yang menunjukkan perkembangan sprawl.

Gambar di atas menunjukkan gejala sprawl di Desa Kosambi Barat akibat perubahan guna lahan di Desa Kosambi Timur dan Desa Dadap yang berbatasan langsung dengan Jakarta. Perubahan pemanfaatan lahan di kedua desa disebabkan oleh pengaruh faktor eksternal dari wilayah Jakarta. Pertumbuhan ekonomi Kota Jakarta telah mendorong pertumbuhan pergudangan di Desa Dadap dan Kosambi Timur. Letaknya yang berbatasan langsung dengan Jakarta menjadikan kedua desa memiliki posisi strategis dari simpul-simpul perekonomian Jakarta karena kedekatannya itu membuat kedua desa ini memiliki akses tinggi ke Pelabuhan Tanjung Priok dan Sunda Kelapa. Pertumbuhan kawasan pergudangan mendorong pada percepatan pertumbuhan penduduk serta perumahan di wilayah ini, dengan karakter perkembangan lingkungan perumahan yang tidak teratur.

Perkembangan permukiman yang sprawl berpola ‘memita’ mulai menyebar hingga ke Desa Kosambi Barat. Perkembangan kawasan pergudangan di Desa Dadap dan Kosambi Timur, yang berbatasan langsung dengan Jakarta menyebabkan terjadinya perembetan fisik terbangun hingga ke Kosambi Barat.

Desa Kosambi Barat

Desa Kosambi Timur

Desa Dadap

Perkembangan kawasan pergudangan di Desa Dadap dan Kosambi Timur, telah memicu tumbuhnya permukiman yang sprawl di Desa Kosambi Barat. Perkembangan ini mengisi ruang-ruang kosong antara bangunan pergudangan.

(32)

Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana bentuk/pola perkembangan yang terjadi di Wilayah Tangerang lainnya? Apakah pola perkembangannya berbeda di setiap tempat? Dan apakah di setiap tempat memiliki karakteristik khas dari proses dan pola yang terjadi? Menyikapi perkembangan sprawl hingga ke daerah perdesaan, maka perlu dilakukan penelitian yang dapat menggambarkan pola perkembangan kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan di Wilayah Tangerang. Pemahaman pola perkembangan tersebut dapat digunakan untuk menemukan faktor-faktor berpengaruh pada tiap tipologi/kelompok kawasan permukiman. Dengan demikian maka dapat dikenali faktor penciri yang menjadi karakteristik khas perkembangan pada tiap tipologi. Kajian ini juga menjelaskan tentang faktor-faktor yang diduga dapat menjadi penyebab munculnya permasalahan pada tiap tipologi kawasan, agar dampak dari perkembangan sprawl di Wilayah Tangerang dapat dikendalikan. Pentingnya penelitian ini juga dipertegas oleh pernyataan Soetomo (2008), bahwa ruang sub-urban akan menjadi kumuh atau menjadi kawasan kota di pedesaan yang nyaman, akan sangat tergantung pada bagaimana kita merencanakan tata ruang dengan faktor terkait lainnya. Hasil identifikasi dapat digunakan untuk merencanakan perkembangan dan mengelola perkembangan permukiman di Wilayah Tangerang, serta mengeliminir perkembangan yang tidak diinginkan, secara tepat.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk:

1. mengidentifikasi tipologi permukiman di Wilayah Tangerang. 2. menentukan karakteristik penciri dari tiap tipologi permukiman.

3. mencari faktor-faktor penyebab munculnya masalah tiap tipologi permukiman. Adapun manfaat yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai bahan masukan untuk mengantisipasi perkembangan yang tak terencana.

2. Sebagai bahan untuk perumusan prioritas penanganan hal-hal pokok dari perkembangan wilayah yang tidak direncanakan.

(33)

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat dua pengertian kota, yaitu kota sebagai satuan sebagai satuan administratif dan kota sebagai satuan fungsional. Sebagai satuan administratif, kota adalah unit pemerintah lokal yang otonomi yang disebut Kotamadya dan setara dengan status hukum pemerintahan kota. Secara fungsional, kota didefinisikan sebagai unit pemerintahan terkecil yang memiliki kesetaraan dengan status desa atau kota yang fungsional berdasarkan karakteristiknya, dimana status desa/kelurahan yang dimilikinya dapat berubah sewaktu-waktu seiring dengan bertambah padatnya penduduk, berkurangnya kegiatan pertanian atau meningkatnya fasilitas dan pelayanan kota.

Kota mengalami pertumbuhan yang sangat cepat. Pertumbuhan kota yang cepat telah membuat suatu wilayah mengalami perubahan fisik, sosial dan ekonomi yang cepat pula. Konsekuensi yang selalu mengikuti pertumbuhan kota ini adalah pertambahan jumlah penduduk. Pertambahan jumlah penduduk selalu diikuti dengan pertambahan kebutuhan rumah/tempat tinggal dan dan sejumlah kegiatan-kegiatan baru untuk mendukung perikehidupan dan penghidupan. Pertambahan kebutuhan rumah dan seluruh aktifitas pendukung kehidupan, simultan dengan kebutuhan tanah/ruang. Di sisi lain, terdapat keterbatasan lahan di perkotaan untuk memenuhi kebutuhan perumahan. Yang terjadi adalah proses pemadatan (densifikasi) permukiman di dalam kota (Rindarjono 2010), dan penambahan ruang yang dilakukan di lahan-lahan terbuka hingga ke daerah pinggiran kota atau sering pula disebut sebagai urban fringe atau daerah peri-urban (Yunus 2008).

Perkembangan (fisik) ruang merupakan wujud spasial dari pertambahan penduduk baik sebagai akibat proses urbanisasi maupun proses pertumbuhan penduduk alamiah, yang mendorong terjadinya peningkatan pemanfaatan ruang serta perubahan fungsi lahan. Menurut Yunus (1999) meningkatnya jumlah penduduk perkotaan serta meningkatnya tuntutan kebutuhan kehidupan dalam aspek-aspek politik ekonomi, sosial, budaya, dan teknologi, telah meningkatkan

(34)

kegiatan penduduk perkotaan. Peningkatan itu berakibat pada meningkatnya kebutuhan ruang untuk mengakomodasi fungsi/kegiatan perkotaan yang besar.

Pemadatan pada kawasan permukiman perkotaan terjadi karena adanya upaya pengisian ruang-ruang kosong antar permukiman yang telah ada sebelumnya. Proses ini banyak ditemukan di dalam kota, di kawasan permukiman lama, dengan kondisi yang tidak teratur, baik segi arsitekturalnya, ukurannya maupun tata letaknya (Yunus 2008). Pola pembangunan seperti ini yang menyebar dan dibiarkan tidak beraturan di ruang-ruang kosong/ruang sisa dalam kota, semakin membebani pengelolaan kota. Di dalam proses permukiman informal inilah berlangsung urbanisasi penduduk yang secara terus menerus terakumulasi dan memadat memenuhi ruang-ruang sisa di kota. Oleh karena itu, kota yang banyak menerima dampak permukiman kumuh ini adalah kota yang paling banyak memiliki ruang-ruang sisa/marjinal dan membiarkan pemanfaatannya secara tidak terencana (Siregar 2011).

Dampak pemadatan ruang di dalam kota oleh bangunan permukiman adalah menurunnya kualitas permukiman. Akibatnya di daerah perkotaan akan timbul daerah-daerah permukiman yang kurang layak huni dan padat yang selanjutnya disebut kumuh (Rindarjono 2010). Proses yang terjadi adalah berlangsungnya urbanisasi penduduk yang terus menerus, terakumulasi dan memadat memenuhi permukiman informal ini di ruang-ruang sisa (marjinal) di kota. Oleh karena itu, kota yang menerima dampak permukiman kumuh adalah kota yang paling banyak memiliki ruang-ruang marjinal/sisa dan membiarkan pemanfaatannya secara tidak terencana.

Penambahan ruang di lahan-lahan terbuka hingga ke daerah pinggiran kota mengakibatkan bertambah luasnya lahan (dengan fungsi perkotaan) terbangun

(urban built-up land). Ini merupakan gejala perluasan kota hingga ke daerah

pinggiran kota. Menurut Yunus (2008), gejala ini merupakan pola perkembangan

urban sprawl yang terjadi di luar batas kota (masuk wilayah kabupaten). Gejala

perembetan kota ini dapat terlihat dari kenampakan fisik kota ke arah luar yang ditunjukan oleh terbentuknya zona-zona yang meliputi daerah-daerah: pertama, area yang melingkari sub urban dan merupakan daerah peralihan antara desa kota yang disebut dengan sub urban fringe, kedua area batas luar kota yang

(35)

mempunyai sifat-sifat mirip kota, disebut dengan urban fringe, dan ketiga adalah area terletak antara daerah kota dan desa yang ditandai dengan penggunaan tanah campuran yang disebut sebagai Rural-Urban-Fringe.

Bintarto (1983) menjelaskan bahwa, peristiwa perembetan kenampakan fisik kota ke arah luar sebagai bentuk pemekaran kota memiliki karakteristik dengan arah pemekaran yang beraneka ragam, dan kekuatan pengaruh yang berbeda. Ada karakteristik yang pengaruhnya kuat dan ada pula yang lemah. Pernyataan ini diperkuat oleh Antrop (2000) dalam Busck et al. (2006), bahwa daerah yang mengalami urbanisasi mulai dari pusat kota hingga ke perdesaan, memiliki karakteristik yang berbeda-beda, dan karakteristiknya dapat dibedakan dari proses dan pola yang terbentuk. Sedangkan menurut Tacoli (2003), bahwa sebagai proses urbanisasi yang dinamis, bentuk transformasi di daerah pinggiran kota (peri-urban) tidak bersifat homogen (pola tidak seragam). Ada wilayah yang perkembangannya didominasi oleh perkembangan permukiman penduduk berpenghasilan menengah atas, sementara di wilayah lain ada yang didominasi oleh kawasan industri yang padat, ada juga wilayah yang perkembangannya didominasi oleh perkembangan perumahan murah (perumahan bagi penduduk yang berpenghasilan rendah), atau ada pula kawasan yang dikembangkan menjadi daerah penghasil produk pertanian hortikultura (sayur mayur/buah-buahan).

Urban Sprawl

Sejak pertama kali digulirkan oleh Whyte (1958) dalam Rahman et al. (2008), pengertian dan pemahaman istilah urban sprawl makin berkembang. Saat ini urban sprawl dipahami sebagai pertumbuhan kawasan metropolitan, yang menyebar, ditandai dengan perkembangan berbagai jenis pemanfaatan lahan di perbatasan yang jauh dari perkotaan, diikuti dengan pemadatan pada ruang-ruang kota berpola pemanfaatan yang sama (Rahman et al. 2008). Ewing 1997 dalam Terzi dan Kaya (2008); Downs 1999 dalam Terzi dan Kaya (2008); Galster et al. 2001 dalam Terzi dan Kaya (2008); Malpezzi dan Guo 2001 dalam Terzi dan Kaya (2008) mendefinisikan urban sprawl sebagai bentuk perkembangan perkotaan yang ditandai dengan karakteristik kepadatan yang rendah,

(36)

perkembangan berpola lompat katak, perkembangan kawasan komersial berpola memita dan merupakan perkembangan yang diskontinu.

Pendapat lain dinyatakan oleh Sudhira dan Ramachandra (2007), bahwa

urban sprawl merupakan perkembangan yang tidak tertata yang mengakibatkan

berkurangnya lahan pertanian dan ruang terbuka serta menurunnya kualitas lingkungan baik di dalam maupun di sekeliling kota. Pendapat Sudhira dan Ramachandra (2007) ini menegaskan pernyataan Bosselman (1968) dalam Rahman (2008) bahwa urban sprawl telah menyebabkan terjadinya perkembangan yang tidak efesiensi serta buruknya kualitas lingkungan baik di dalam kota maupun di daerah perdesaan. Sementara itu Angel et al. 2007 mendeskripsikan urban sprawl sebagai suatu: (a) perluasan wilayah kota hingga menjauhi pusat; (b) penurunan kepadatan di perkotaan secara konstan dan sekaligus menunjukkan peningkatan konsumsi lahan oleh penduduk perkotaan; (c) proses suburbanisasi yang terus berlanjut sementara itu tetap menunjukkan peningkatan proporsi penduduk yang menetap dan bekerja di pusat kota metropolitan; (d) menurunnya keteraturan daerah terbangun di perkotaan dan meningkatnya jumlah ruang terbuka dengan luas yang mengecil; dan (e) peningkatan kepadatan perkotaan hingga ke daerah ekspansi perluasan kota.

Urban sprawl ditandai dengan perkembangan pemanfaatan lahan dan

peningkatan areal lahan terbangun yang tidak terkendali, terutama pada daerah marjinal di beberapa wilayah metropolitan (Li 2009). Hal ini dipertegas oleh Rahman et al. (2008) bahwa daerah perkotaan yang mengalami sprawl merupakan daerah yang mengalami perkembangan tak menentu sehingga tidak dapat menunjukkan sifatnya sebagai kawasan perkotaan dan tidak tepat pula menunjukkan sifat-sifat sebagai perdesaan. Menurut Spencer (1979) dalam Warsono (2006) proses perkembangan kota ke arah pinggiran yang cenderung alamiah, daripada terencana, merupakan suatu gejala sub-urbanisasi prematur dan tidak terencana, sehingga menciptakan perluasan kota yang liar dan tidak teratur, serta tidak terkendali, dan dalam literatur pola perkembangan yang demikian disebut sebagai gejala urban sprawl.

Ditinjau dari aspek fisik, sprawl merupakan proses perembetan kenampakan fisik kekotaan ke wilayah pinggiran yang menyebabkan transformasi

(37)

fisik spasial (Yunus 2008). Proses transformasi fisik spasial ini dapat terjadi lebih dahulu dari proses transformasi sosio kultural, dan dapat pula terjadi sesudah terjadinya transformasi sosio kultural kedesaan menjadi bersifat kekotaan.

Pola perkembangan urban sprawl adalah pola perkembangan yang tidak efisien (Djunaedi 2002; Bosselman 1968 dalam Rahman et al. 2008; Bento et al. 2006 dalam Cymerman et al. 2011). Urban sprawl menjelaskan suatu keadaan antara desakan kebutuhan rumah, nilai lokasi yang tinggi, dan lemahnya pengendalian kawasan dari pemerintah (Zulkaidi 2007). Urban sprawl yang terjadi di daerah pinggiran kota merupakan kawasan yang berkembang secara tidak terencana (Korcelli 2008; Heripoerwanto 2009) sehingga pemerintah daerah (kabupaten) tidak siap menghadapi sprawl (Djunaedi 2002). Akibat yang terjadi adalah infrastruktur yang dibangun tidak dapat mengimbangi pesat dan kompleksnya pembangunan yang berlangsung akibat penyediaan tambahan kapasitas prasarana dan fasilitas lingkungan perkotaan serta sejumlah infrastruktur, tidak dapat dilakukan. Situasi yang menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam menyediakan sejumlah prasarana dan fasilitas perkotaan disebabkan karena pengurangan investasi pemerintah pusat, atau gagalnya pemerintah untuk menghasilkan pendapatan di tingkat daerah (Tacoli 2003). Oleh karena itu Li (2009) dalam penelitiannya di Cina, menyimpulkan bahwa fenomena

urban sprawl yang menunjukkan pertumbuhan melompat dan menyebar, bila

tidak dikendalikan akan memperlambat proses perubahan. Dengan demikian pertumbuhan yang efisien dapat dilakukan melalui pengelolaan pertumbuhan kota serta pengaturan sistem investasi infrastruktur yang dapat meningkatkan kesejahteraan (Ding et al. 1999 dalam Cymerman et al. 2011).

Urban sprawl terjadi akibat sub-urbanisasi, yang dimulai dengan dua

kegiatan utama yang saling berlomba, yakni pengembangan perumahan dan pembangunan jalan tol. Akibatnya nilai lahan suatu lokasi turut berpengaruh terhadap terjadinya perkembangan yang sprawl di daerah perdesaan. Menurut Bourne et al. (2003), nilai lahan di perdesaan di daerah peri-urban sangat ditentukan oleh kebutuhan perkotaan. Kawasan perdesaan menjadi pihak yang pasif (bukan penentu) dalam penggunaan ruangnya oleh kawasan perkotaan. Padahal situasi ini mengakibatkan kawasan perdesaan mengalami degradasi

(38)

lingkungan baik secara fisik, sosial maupun ekonomi. Hal ini dibuktikan oleh temuan Sajor (2007), bahwa perkembangan daerah peri-urban Bangkok di Thailand yang ditunjukkan oleh intensitas penggunaan lahan campuran (mixed

land use) tinggi, menyebabkan menurunnya kualitas kehidupan bertani

penduduknya. Keadaan ini tidak hanya terjadi di Thailand tetapi terjadi juga di Manila - Filipina dan Jakarta (Sajor 2007). Namun di sisi lain, pola pemanfaatan lahan campuran yang merupakan kombinasi permukiman dan sarana penghidupan (tempat bekerja) dalam satu kawasan peri-urban yang kompak, mampu mempersingkat jarak perjalanan antar aktifitas (Parker 1994 dalam Kim 2009).

Peningkatan area lahan terbangun mengindikasikan intensitas penggunaan lahan campuran pada daerah pinggiran kota (peri-urban) yang mengalami perkembangan sprawl. Menurut Sajor (2007), jenis kegiatan perkotaan yang mendominasi peningkatan lahan terbangun adalah peningkatan jumlah kegiatan industri, pertumbuhan dan perkembangan kawasan perumahan terutama di koridor/jalur pergerakan primer yang menghubungkan dengan pusat kota. Sementara itu perkembangan perumahan sendiri memicu tumbuhnya sejumlah fasilitas penunjang seperti kawasan perdagangan, pasar swalayan (supermarket) dan toko serba ada. Akibatnya adalah menurunnya luas areal pertanian yang merupakan bentuk kegiatan utama penduduk perdesaan hingga 50%, karena perubahan pola pemanfaatan lahannya menjadi kawasan permukiman, kawasan industri, perdagangan, kawasan rekreasi dan kawasan pendidikan. Temuan ini mempertegas apa yang disampaikan oleh Sheehan (2001) dan Kombe (2005)

dalam Chirisa (2009), bahwa urban sprawl sebagai hasil berbagai tekanan di

daerah perluasan kota, dapat diklasifikasi menjadi dua bentuk perubahan yakni suburbanisasi permukiman (residential suburbanization) dan peri-urbanisasi (peri-urbanization).

Kenyataan di atas menunjukkan bahwa daerah perkotaan memiliki pola pertumbuhan yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh proses atau bentuk perubahannya. Dalam teorinya Dietzel et al. (2005) dalam Wu et al. (2010) menyimpulkan bahwa pertumbuhan daerah perkotaan dapat dibedakan dari proses terjadinya, yaitu proses difusi dan peleburan. Proses difusi adalah proses pertumbuhan kota yang tersebar dari pusat kota hingga daerah pengembangan

(39)

(baru), sedangkan proses peleburan adalah proses pertumbuhan yang inkonsisten, yakni terjadinya perkembangan di luar wilayah kota, dan sekaligus pemadatan di pusat kota (Rindarjono 2010).

Penjabaran berbagai konsep urban sprawl di atas, memberikan pemahaman konteks urban sprawl sebagai suatu fenomena pertumbuhan kota. Dengan demikian urban sprawl dapat dipahami lebih luas sebagai suatu: 1) proses pertumbuhan kawasan perkotaan; 2) pertumbuhan menyebar dan acak yang dipengaruhi oleh proses dan bentuk terjadinya pertumbuhan; 3) situasi perkembangan tidak tertata; 4) proses peningkatan lahan terbangun melalui pertumbuhan ke arah pinggiran kota (proses horizontal), dan pemadatan (fill in) di perkotaan (proses vertikal); 5) keadaan kepadatan bangunan rendah di daerah pinggiran namun tinggi di perkotaan; 6) situasi transformasi fisik spasial dari sifat kedesaan menjadi sifat kekotaan; 7) keadaan pemanfaatan lahan yang tidak terkendali dan peningkatan areal lahan terbangun di perdesaan; 8) pola pemanfaatan lahan yang dinamis dengan berbagai jenis penggunaan; 9) keadaan berkurangnya/hilangnya lahan pertanian; 10) perkembangan tidak dapat diimbangi dengan penyediaan infrastruktur; 11) pola perkembangan yang tidak efisien; 12)

sprawl ditemukan di dalam kota dan di luar batas kota.

Kawasan Permukiman dan Karakteristik yang Dimilikinya

Sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 (UU No. 1/2011) tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, yang dimaksud dengan kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Sedangkan permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan. Adapun yang dimaksud dengan prasarana adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan hunian yang memenuhi standar tertentu untuk kebutuhan bertempat tinggal yang layak, sehat, aman, serta nyaman, dan sarana adalah

(40)

fasilitas dalam lingkungan hunian yang berfungsi untuk mendukung penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi. Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa permukiman terdiri dari komponen: perumahan, jumlah penduduk, tempat kerja, sarana dan prasarana, baik di perkotaan maupun di perdesaan.

Kawasan permukiman mencakup lingkungan hunian dan tempat kegiatan pendukung, baik di perkotaan dan di perdesaan. Dengan demikian berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 (UU No. 26/2007) tentang Penataan Ruang serta Bagian Penjelasan Pasal 59 dan Pasal 61 UU No 1/2011, yang dimaksud dengan kawasan permukiman perkotaan dan kawasan permukiman perdesaan dapat dijabarkan sebagai berikut. Kawasan permukiman perkotaan adalah kawasan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan/tempat kerja yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi, yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Sedangkan yang dimaksud kawasan permukiman perdesaan adalah kawasan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan/tempat kerja yang mempunyai kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumber daya alam, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi, yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. .

Kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan yang lain. Menurut Jayadinata (1996), pada awalnya pola-pola permukiman atau perkampungan di pedesaan merupakan tempat kediaman (dormitory settlement) dari penduduk kampung di wilayah pertanian dan wilayah perikanan umumnya yang bekerja di luar kampung. Antar kampung dihubungkan oleh jalan dan terdapat ruang terbuka yang kecil, berbentuk segi empat seluas halaman rumah sebagai tempat bermain anak-anak, atau tempat orang dewasa bertemu pada sore hari untuk mengobrol atau merundingkan

(41)

sesuatu. Situasi berbeda terdapat di permukiman di daerah perkotaan yang umumnya didominasi oleh lingkungan hunian dengan bangunan yang teratur.

Menurut Koestoer (1997), karakteristik kawasan permukiman perdesaan ditandai oleh ketidakteraturan bentuk fisik rumah. Pola permukiman perdesaan berkelompok, membentuk perkampungan yang letaknya tidak jauh dari sumber air. Jaringan jalan di lingkungan kampung tidak beraspal dan bentuknya tidak beraturan. Sedangkan wilayah permukiman di perkotaan yang sering disebut sebagai daerah perumahan, memiliki keteraturan bentuk secara fisik. Artinya, sebagian besar rumah memiliki hadapan yang teratur ke arah jalan, merupakan bangunan permanen, berdinding tembok, dan dilengkapi dengan penerangan listrik. Jaringan jalannya-pun bertingkat mulai dari jalan raya, jalan penghubung hingga jalan lingkungan atau lokal. Namun, di tengah keteraturan permukiman perkotaan, ditemui wilayah perumahan penduduk kota yang termasuk dalam kelompok dengan karakteristik kawasan permukiman penduduk pedesaan, karena ditandai oleh ketidakteraturan bentuk fisik rumah.

Perbedaan karakteristik kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan dipengaruhi oleh pola perkembangan permukiman yang terbentuk. Sebagaimana telah diuraikan pada subbab pertumbuhan kota, Tacoli (2003) dan Antrop (2000)

dalam Busck et al. (2006) berpendapat bahwa pola perkembangan permukiman di

perdesaan yang berada di pinggiran kota, tidak selalu seragam. Ada wilayah yang perkembangannya didominasi oleh perkembangan permukiman penduduk berpenghasilan menengah atas, sementara di wilayah lain ada yang didominasi oleh kawasan industri yang padat, ada juga wilayah yang perkembangannya didominasi oleh perkembangan perumahan murah (perumahan bagi penduduk yang berpenghasilan rendah), atau ada pula kawasan yang dikembangkan menjadi daerah penghasil produk pertanian hortikultura (sayur mayur/buah-buahan). Dan semua ini akan mempengaruhi pola permukiman yang terbentuk di suatu wilayah.

Latar belakang perkembangan kawasan permukiman di perkotaan dan perdesaan juga berbeda-beda. Menurut Antrop (2004) dalam Busck et al. (2006) gambaran perubahan karakter kehidupan di perdesaan menjadi karakter perkotaan adalah gambaran dari proses yang kompleks. Masyarakat perkotaan dapat tinggal dan menetap di daerah perdesaan, menjadi penglaju ke tempat kerjanya di pusat

(42)

kota dan menikmati pelayanan fasilitas rekreasi di tempat yang lain. Semua dapat terjadi karena daerah pinggiran kota (peri-urban) menjadi penarik bagi masyarakat tertentu, terutama bagi mereka yang mencari hunian murah dan lingkungan yang baik (Berg dan Wintjes 2000 dalam Busck et al. 2006). Dan inilah yang menurut Bourne et al. (2003) melatarbelakangi peningkatan proses urbanisasi di perdesaan dan menjadikan kawasan perdesaan sebagai kawasan yang berciri perkotaan.

Kondisi di atas menjelaskan kuatnya pengaruh perkotaan terhadap kawasan perdesaan. Menurut Tacoli (2003), kuatnya pengaruh tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Adapun faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan perdesaaan adalah karakteristik geografis, demografi seperti kepadatan penduduk dan persebaran penduduk, akses ke pemilikan lahan hingga karakteristik yang dapat menjelaskan ketersediaan prasarana transportasi dan kemudahan pergerakan dari kawasan tempat tinggal ke pusat kota, dimana pasar dan sejumlah pelayanan lainnya berada.

Kajian teori di atas menyimpulkan bahwa proses pertumbuhan kota seiring dengan pertumbuhan yang disebabkan faktor alamiah serta migrasi penduduk ke kota, maupun perpindahan penduduk dari pusat kota ke daerah pinggiran, menunjukan proses yang alamiah yang tidak terencana. Perkembangan ini merupakan suatu gejala sub-urbanisasi (Rustiadi dan Panuju 1999) dan tidak terencana, sehingga menciptakan perluasan kota yang liar dan tidak teratur, serta tidak terkendali (Spencer 1979 dalam Warsono 2006). Sebagaimana dijelaskan oleh Jayadinata (1996); Koestoer (1997); Tacoli (2003) dan Antrop (2000) dalam Busck et al. (2006), bahwa kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan yang lain. Adapun beberapa karakteristik yang dapat membedakan pedesaan dengan perkotaan, adalah:

a. Karakteristik pemanfaatan lahan (Bourne et al. 1984 dalam Korcelli 2008). Karakteristik pemanfaatan lahan dapat digunakan untuk mengklasifikasi kawasan menjadi dua tipe berdasarkan bentuk pemanfaatan lahannya. Pertama, klasifikasi bentuk pemanfaatan lahan yang berkonotasi perkotaan ditunjukkan dengan bentuk pemanfaatan lahan non agraris, kedua klasifikasi bentuk pemanfaatan lahan perdesaan ditunjukkan dengan bentuk pemanfaatan lahan agraris. Bentuk pemanfaatan lahan non agraris adalah bentuk

(43)

pemanfaatan lahan yang berasosiasi dengan sektor kekotaan dan diklasifikasi sebagai kawasan permukiman (settlement built-up areas), sedangkan bentuk pemanfaatan lahan agraris khususnya daerah pertanian (vegetated area) berasosiasi dengan sektor kedesaan.

b. Populasi (Bourne et al. 1984 dalam Korcelli 2008; Pieser 1989 dalam Terzi dan Kaya 2008).

Kota memiliki penduduk yang jumlahnya lebih besar dibandingkan desa, dengan demikian penduduk mempunyai pengaruh yang besar terhadap kebutuhan akan perumahan, dan akan berujung pada pola pembangunan perumahan yang terbentuk.

c. Karakteristik bangunan (Rahman 2008; Terzi dan Kaya 2008)

Suatu kota dapat dicirikan oleh dominasi fungsi bangunan yang berorientasi pada kegiatan kekotaan atau sektor non agraris. Tinjauan mengenai karakteristik bangunan tentang kepadatan bangunan dan jumlah bangunan pada suatu areal tertentu dapat menunjukkan perbedaan antara apa yang terdapat di daerah pedesaan dengan apa yang terdapat di bagian kota.

d. Profil wilayah seperti struktur penduduk (Hall 1973 dalam Korcelli 2008). Perbedaan lain karakteristik perkotaan dengan perdesaan terdapat pada struktur kependudukan yakni mata pencaharian. Di desa, penduduk berada di sektor ekonomi primer yaitu bidang agraris, yang ditandai dengan keberadaan keluarga petani. Kehidupan ekonomi terutama tergantung pada usaha pengelolaan tanah untuk keperluan pertanian, peternakan dan termasuk juga perikanan darat. Sebaliknya kota merupakan pusat kegiatan sektor ekonomi sekunder yang meliputi bidang industri, disamping sektor ekonomi tersier sehingga di sana tidak akan ditemukan keluarga petani.

Pola Kawasan Permukiman

Lingkungan permukiman merupakan bagian dari lingkungan kota yang mempunyai pola-pola perkembangan yang spesifik (Setyohadi 2007). Untuk pertama kali dasar teori berbagai pola persebaran permukiman desa dan kota diperkenalkan oleh Christaller pada tahun 1933, yang kemudian dikenal dengan

(44)

Central Place Theory (Clark 1982). Atas dasar lokasi, Christaller merumuskan tujuh (7) tipe permukiman yang berbeda ukuran dan luas berdasarkan jumlah penduduk dan jarak rata-rata. Penyebaran tersebut kadang-kadang bergerombol atau berkelompok dan kadang-kadang terpisah jauh satu sama lain. Teori ini menjelaskan bahwa pemusatan adalah hal yang alami dalam perkembangan suatu tempat dan akan diikuti dengan terbentuknya pola permukiman. Menurut Christaller (1933) dalam Herbert dan Thomas (1982), pola permukiman yang baik adalah yang dibentuk atas prinsip penyediaan pelayanan kepada penduduk, dengan menempatkan aktifitas pada permukiman yang luasnya meningkat dan lokasinya terletak pada simpul-simpul jaringan heksagonal. Jadi lokasi kegiatan yang melayani kebutuhan penduduk harus berada di pusat (tempat yang sentral).

Perkembangan teori Central Place Theory diawali oleh temuan Lösch di Negara Bagian Iowa, Amerika Serikat (Clark 1982), dan diikuti oleh temuan-temuan lain oleh Berry dan Garrison (1958), Saey (1973) dan Beavon (1977)

dalam (Herbert dan Thomas 1982). Lösch merumuskan empat tipe permukiman

yang lebih sesuai dengan karakteristik wilayah Iowa, dan temuan ini membuktikan bahwa perkembangan dan pembentukan kota merupakan wujud dari ekspresi masyarakat yang hidup di dalamnya. Kenyataan ini dipertegas oleh Kostof (1991) dalam Putra (2006), bahwa perwujudan spasial fisik kota merupakan hasil kolektif perilaku budaya masyarakatnya serta pengaruh ”kekuasaan tertentu” yang melatarbelakanginya. Disamping itu, faktor sejarah kehidupan kota, baik itu sejarah secara fisik ataupun ideologis, kondisi sosial politik dan kondisi pemerintahannya, kondisi karakteristik lingkungan dan datangnya pengaruh dari luar, serta akibat perkembangan penduduk dan proses urbanisasi juga berkontribusi pada terjadinya perubahan bentuk dan struktur suatu kota (Kostof 1991 dalam Putra 2006).

Bentuk perkembangan kota yang sering dijumpai dapat merupakan sebagian, keseluruhan ataupun gabungan pola garis, memusat, bercabang, melingkar, berkelompok, pola geometris dan organisme hidup. Menurut Kostof (1991) dalam Putra (2006) pola kota dapat dibagi dalam tiga bentuk, yaitu organik, diagram dan grid. Pola kota organik merupakan pola yang berkembang secara spontan, dipengaruhi oleh masyarakatnya, tidak terencana, pola tidak

(45)

teratur (irregular) atau non geometrik, dan berorientasi pada alam. Pola kota diagram berkembang dipengaruhi oleh sistem sosial, politik, kekuasaan dan sistem kepercayaan, yang bertujuan untuk mengawasi/mengorganisir sistem masyarakatnya. Sedangkan pola grid adalah pola kota yang mengutamakan efisiensi dan nilai ekonomis serta lebih teratur, sehingga lebih mudah dan terarah pengorganisasiannya.

Deskripsi Korcelli (2008) dari temuan European Spatial Planning Observation

Network (ESPON), menjelaskan empat pola permukiman yang teridentifikasi dari

berbagai tipologi perkotaan di Eropa. Keempat pola tersebut dikenal sebagai

monocentric, polycentric, sprawl dan sparsely populated (rural) sebagaimana

tersaji dalam Gambar 2.

Sumber: ESPON (2004) dalam Korcelli (2008)

Gambar 2 Pola morfologi permukiman. Penelitian-Penelitian

Terdahulu Terkait Topik Penelitian

Penelitian-penelitian mengenai kawasan permukiman telah banyak dilakukan. Besarnya perhatian tersebut terutama tertuju pada berbagai permasalahan yang diakibatkan oleh proses pertumbuhan kota yang berakibat meningkatnya kebutuhan perumahan dan menyebabkan perubahan fisik, misal

(46)

perubahan tata guna lahan, demografi, keseimbangan ekologis serta kondisi sosial ekonomi. Beberapa hasil penelitian yang terkait dan menjadi referensi bagi penelitian ini disajikan dalam Tabel 1 berikut.

Tabel 1 Beberapa hasil penelitian terdahulu

No Pustaka Judul Kata kunci Kesimpulan

1 Busck et al.

(2006) Land system changes in the context of urbanisation: Examples from the peri-urban area of Greater Copenhagen. Perubahan pola guna lahan, multifunctionality, urbanisasi tersamar, strukturisasi pertanian Perubahan pola

penggunaan lahan sangat dipengaruhi proses perubahan sosial-ekonomi dan dan daerah hijau (ecological) dari sistem lahan.

2 Chirisa

(2009) Peri-urban dynamics and regional planning in Africa: Implications for building healthy cities

Peri-urbanitas,

public health,

metropolitanisasi, komunitas

Perubahan pola interaksi pusat kota dengan daerah

peri-urbannya

menyebabkan peningkatan demand lahan, perubahan struktur sosial dan persebaran populasi yang tidak beraturan. 3 Korcelli (2008) Review of Typologies of European Rural-Urban Region. Tipologi wilayah desa - kota, karakteristik, morfologi permukiman. Teridentifikasi tiga tipologi wilayah kota-desa, dengan

karakteristiknya. 4 Rindarjono

(2010) Perkembangan Permukiman Kumuh di Kota Semarang Tahun 1980-2006. Perkembangan permukiman, permukiman kumuh, pendekatan spasial Proses densifikasi permukiman akan diikuti oleh infilling process. 5 Sajor (2007) Mixed land use and

equity in water governance in peri-urban Bangkok Lingkungan, equity in water, pemekaran wilayah metropolitan Pemekaran wilayah metropolitan menunjukkan intensitas penggunaan lahan campuran tinggi. Akibatnya distribusi air tidak merata dan kualitas kehidupan bertani menurun.

6 Warsono

(2006) Perkembangan Permukiman Pinggiran Kota pada Koridor jalan Kaliurang Kecamatan Ngaglik Kabupaten Sleman. Pertumbuhan, suburban, tipologi, kelompok, permukiman. Dihasilkan faktor-faktor dominan yang mempengaruhi perkembangan tipologi kelompok-kelompok permukiman.

(47)

Tabel 1 (lanjutan)

No Pustaka Judul Kata kunci Kesimpulan

7 Webster dan Theeratham (2004) Policy Coordination, Planning and Infrastructure Provision: A Case Study of Thailand Infrastruktur; struktur, pelaku dan proses. Pentingnya peningkatan infrastuktur di wilayah peri-peri kota

(peri-urban) Thailand.

8 Zulkaidi et

al. (2007) Dampak Pengembangan

Lahan Skala Besar Terhadap Pasar Lahan dan Transformasi Peri-urban Kota Jakarta

Pengembangan lahan skala besar, dinamika pasar lahan, dinamika kependudukan.

Pengembangan lahan skala besar (kasus BSD) berpengaruh terhadap dinamika dan proses transformasi di daerah pinggiran kota.

(48)
(49)

Salah satu kebutuhan lahan terbesar di perkotaan adalah bagi penyediaan sarana hunian penduduk. Perkembangan pola permukiman sangat dipengaruhi oleh sumberdaya yang dimiliki, sehingga permukiman yang berkembang di setiap wilayah belum tentu sama. Sebagai bahan untuk melaksanakan analisis lanjut, maka dilakukan klasifikasi kawasan untuk memperoleh beberapa pola permukiman. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan status wilayah administratif, serta pendekatan pengertian kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan. Tujuan dilakukannya klasifikasi ini adalah untuk memperoleh data kategori bagi proses analisis diskriminan.

Untuk memberikan gambaran pola masing-masing tipologi kawasan permukiman, perlu diketahui faktor-faktor mana saja yang menjadi penciri atau paling berpengaruh terhadap tipologi wilayah masing-masing. Penggunaan analisis diskriminan berfungsi untuk memilih faktor-faktor yang paling mencirikan dari setiap tipologi permukiman. Proses ini diawali dengan analisis faktor sebagai analisis antara, untuk menghasilkan sejumlah variabel baru, yang merupakan penyederhanaan dari sejumlah variabel.

Setiap perkembangan yang terjadi mempunyai pengaruh terhadap lingkungan sekitarnya. Berbagai aspek mempengaruhi proses tumbuhnya permukiman baik di perkotaan maupun di perdesaan. Iaquinta dan Drescher (2000) menjelaskan bahwa penyebab perkembangan kota induk maupun proses tumbuh daerah pinggiran kota tidak pernah sama. Menurut Winarso (2007), pembangunan di perkotaan dan daerah pinggirannya menunjukkan fenomena yang berbeda. Khususnya di Kawasan Metropolitan Jakarta perkembangan dipengaruhi oleh pembangunan perumahan berskala besar. Untuk itu, mencari faktor-faktor penyebab munculnya masalah pada setiap tipologi kawasan permukiman di Tangerang, dapat menjadi masukan bagi proses perumusan strategi dan penentuan kebijakan pembangunan. Secara skematis, bagan alir kerangka pemikiran penelitian dijelaskan pada Gambar 2 berikut.

(50)

Gambar 3 Kerangka pemikiran. Ruang Lingkup Penelitian

Lingkup pembahasan pada studi karakterisasi kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan di Wilayah Tangerang ini dikemukakan melalui substansi-substansi:

a. Studi pustaka tentang konsep kawasan permukiman serta konsep kawasan perkotaan dan perdesaaan.

b. Identifikasi tipologi kawasan permukiman melalui pendekatan wilayah administrasi dan pendekatan kriteria kawasan perkotaan/perdesaaan.

c. Analisis hasil klasifikasi tipologi kawasan permukiman melalui uji statistik fungsi diskriminan.

Pertumbuhan penduduk & aktifitas

perkotaan

Lahan perkotaan terbatas

Perkembangan yang acak (urban sprawl)

Kondisi di perkotaan dan perdesaan: • Aspek fisik

• Aspek kependudukan Perubahan tidak terencana

Pembangunan merupakan perubahan terencana Perubahan menuju pada keadaan yang lebih baik

Pola perkembangan permukiman di perkotaan dan perdesaan

Tipologi kawasan

permukiman masing tipologi kawasanKarakteristik

masing-Penyebab masalah tiap tipologi kawasan permukiman

(51)

d. Mengkaji hubungan tiap faktor berpengaruh pada tiap tipologi kawasan permukiman.

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2011 hingga Agustus 2011, dilakukan di 3 (tiga) wilayah administratif, yakni Kabupaten Tangerang, Kotamadya Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. Seterusnya, pada penelitian ini ketiga wilayah penelitian akan disebut sebagai Wilayah Tangerang. Secara administratif, wilayah penelitian memiliki batas-batas:

- sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa, - sebelah Timur berbatasan dengan DKI Jakarta,

- sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Kabupaten Lebak,

- sebelah Barat dengan Kabupaten Serang.

Tangerang merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta. Sebagai bagian dari sistem Kawasan Metropolitan Jabodetabek, Tangerang menunjukkan keterkaitan dan hubungan yang tinggi dengan Jakarta. Ketiga wilayah administratif ini memiliki jumlah penglaju terbesar dibandingkan dengan wilayah lain di Bodetabek. Hasil Survei Migrasi Penduduk Jabodetabek Tahun 2001, menunjukkan rata-rata jumlah penglaju dari ketiga wilayah Tangerang sebesar 47,7% dari seluruh penglaju di Jabodetabek, sedangkan wilayah lainnya, seperti Bogor memiliki jumlah penglaju sebesar 11,4%, Depok memiliki jumlah penglaju sebesar 12,6% dan Bekasi sebesar 28,3% (Dwijosumono dan Desiar 2001). Perpindahan in-migrasi penduduk ke wilayah Bodetabek, masih terbatas pada perpindahan tempat tinggal, tanpa disertai perpindahan tempat kerja, bersekolah, atau kegiatan perkotaan lainnya. Banyak penduduk yang melakukan in-migrasi ke wilayah Bodetabek, namun masih melakukan aktifitasnya di Jakarta menggambarkan suatu keadaan dimana terjadi fenomena commuting (ulang-alik). Kenyataan inilah yang melatarbelakangi pemilihan Tangerang sebagai lokasi penelitian. Untuk lebih jelasnya, letak wilayah studi Tangerang ditunjukkan pada Gambar 3.

(52)

Gambar 4 Orientasi dan letak wilayah studi. Bahan dan Alat

Bahan penelitian berupa data sekunder; data tabular karakteristik sosial ekonomi masyarakat seperti jumlah penduduk dan keluarga, aksesibilitas ke pusat-pusat pelayanan kawasan, jumlah dan jenis fasilitas umum. Disamping itu juga digunakan data spasial berupa citra online yang disajikan oleh Google Earth untuk membantu proses klasifikasi kawasan permukiman. Untuk melakukan verifikasi hasil klasifikasi digunakan informasi penggunaan lahan dan pengamatan lapang (ground check). Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini berupa seperangkat komputer yang dilengkapi dengan piranti lunak Arc-View 3.3, STATISTICA 7 untuk pengolahan statistik dan Microsoft Office untuk ekstraksi informasi dan penyusunan laporan. Secara lebih rinci bahan berupa data yang digunakan disajikan dalam kolom dua di Tabel 2.

(53)

Identifikasi Jenis Data

Identifikasi dan pemilihan jenis data yang bersesuaian dengan tujuan penelitian merupakan salah satu proses penting dalam penelitian. Pemilihan data khususnya variabel yang tepat akan mendukung penjelasan dan menggambarkan jawaban atas pertanyaan penelitian yang disusun. Pada Tabel 3 disajikan tujuan penelitian, jenis data, sumber data, teknik analisis untuk mendukung diperolehnya jawaban atas pertanyaan penelitian dan hasil yang diharapkan akan diperoleh.

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut:

a. Studi Pustaka

Pengumpulan data melalui literatur yang terkait dengan penelitian. b. Pengumpulan data dari berbagai instansi terkait.

Sejumlah data baik data tabular maupun data spasial diperoleh dari berbagai instansi yang terkait dengan kebutuhan data.

c. Pengamatan lapangan.

Pengamatan dengan metode ground check, dilakukan dengan langsung melaksanakan verifikasi lapangan atas data sekunder yang diperoleh.

Tabel 2 Jenis dan sumber data, teknik analisis dan hasil yang diharapkan untuk setiap tujuan penelitian

No Tujuan

Penelitian Jenis Data Sumber Data Analisis Teknik Hasil yang Diharapkan

1 Klasifikasi kawasan permukiman • Citra google earth • Peta administratif • Peta penggunaan/ tutupan lahan. • Peta sebaran daerah terbangun. • Studi pustaka • P4W • Bappeda Kab. Tangerang, Bappeda Kota Tangsel, Kodya Tangerang Metode klassifikasi dengan pendekatan status administrasi. Tipologi di daerah peri-urban.

Gambar

Tabel 1  Beberapa hasil penelitian terdahulu
Gambar 3  Kerangka pemikiran.
Gambar 4  Orientasi dan letak wilayah studi.
Gambar 5  Bagan alir penelitian.
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Therefore, the child has a glorious life in the view of the Islamic religion, then the child must be treated humanely like her provide for both inner and outer,

Penulis pun berusaha untuk banyak bertanya dan belajar dengannya bagaimana cara memvisualkan suatu pengalaman atau rasa ke dalam karya dua dimensi, membuat sebuah konsep, dan

Indomobil Sukses Internasional Tbk Lampiran 8: Model ARMA Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Lampiran 9: Correlogram ARMA. Lampiran 10:

Berisi tentang kesimpulan dari data–data yang telah dianalisa dan selanjutnya akan diberikan saran dari kesimpulan yang telah didapat terutama bagi pihak

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat diambil kesimpulan bahwa efektifitas terapi okupasi terhadap perkembangan motorik halus anak autis di SLB Khusus

protes karena mobilnya diderek petugas, saat diaprkir di Jalan Raya Gading Kirana, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Rabu (8/10). Kasie Wasdal Sudin Per- hubungan Jakut, Hengki

Infiltrasi memiliki peranan yang sangat penting di alam dan dalam kehidupan manusia karena mampu menyediakan air untuk pertumbuhan tanaman, mampu menyumbangkan air ke

Pengaturan perjanjian perdagangan internasional selain diatur dalam KUH Perdata, diatur pula dalam Uniform Custom and Practice for Documentary Credit (UCP) yaitu dalam