• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL PRAKIRAAN CURAH HUJAN BULANAN DI WILAYAH JAWA BAGIAN UTARA DENGAN PREDIKTOR SML DAN OLR DEDI SUCAHYONO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MODEL PRAKIRAAN CURAH HUJAN BULANAN DI WILAYAH JAWA BAGIAN UTARA DENGAN PREDIKTOR SML DAN OLR DEDI SUCAHYONO"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL PRAKIRAAN CURAH HUJAN BULANAN

DI WILAYAH JAWA BAGIAN UTARA

DENGAN PREDIKTOR SML DAN OLR

DEDI SUCAHYONO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009

(2)

Dengan ini menyatakan bahwa tesis Model Prakiraan Curah Hujan Bulanan di Wilayah Jawa Bagian Utara dengan Prediktor SML dan OLR adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2009

Dedi Sucahyono NRP G251070041

(3)

ABSTRACT

DEDI SUCAHYONO. Monthly Rainfall Forecast Model in The North Region of Java using SST and OLR as predictor. Under supervision of HIDAYAT PAWITAN and AJI HAMIM WIGENA.

This research aims to analyze the influence of sea surface temperature (SST) of Indian Ocean region and Outgoing Long wave Radiation (OLR) of study area to monthly rainfall in northern Java island. The study area is the northern region of Java covering Rainfall Type 30 (ZOM30), ZOM 43, ZOM 88, and ZOM 90 as defined by Meteorology, Climatology and Geophysics Agency (MCGA). The monthly rainfalls of each region were correlated using Pearson coefficient with SST at 1º χ1º resolution and OLR at 2.5º χ 2.5º resolution on the domain area of 5º N - 20º S and 90º - 150º E and during period 1979 - 2007. The result indicated significant correlation between the monthly rainfall and SST over Indian Ocean and OLR around Java. Artificial Neural Network (ANN) was applied to predict monthly rainfall at the 4 ZOM with input SST and OLR selected that was obtained from correlation result. The validation of ANN model was evaluated by comparing the output of monthly rainfall prediction with observation data during period 2003 – 2007, and found that the model is consistent enough in those 4 ZM with the pattern for model output follow observation pattern. The value of RMSE was smallest in 2006. The evaluation result using absolute relative error indicated that biggest error occured during dry season period.

(4)

Bagian Utara Dengan Prediktor SML dan OLR. Dibimbing oleh HIDAYAT PAWITAN dan AJI HAMIM WIGENA.

Distribusi curah hujan bulanan di pulau Jawa yang merupakan bagian dari kepulauan Indonesia, selama periode bulan Desember – Maret dipengaruhi oleh muson barat dengan banyak uap air yang berasal dari lautan yang dilintasinya dan konvergen dengan angin pasat timur di wilayah Laut Jawa. Sebaliknya pada periode Mei – September, muson timur yang berasal Australia bersifat kering karena hanya melewati laut yang relatif pendek. Sementara itu informasi curah hujan sangat diperlukan oleh berbagai sektor dalam menyusun program dan melaksanakan kegiatan. Informasi tersebut dapat berupa suatu hasil observasi maupun hasil prakiraan. Dengan demikian prakiraan adalah suatu bagian yang amat penting bagi pengguna. Tujuan penelitian ini adalah untuk; (1) menganalisis korelasi curah hujan bulanan di wilayah Jawa bagian utara dengan Suhu Muka Laut (SML) dan Outgoinglongwave Radiation (OLR) di sekitar wilayah Indonesia; (2) menyusun model prakiraan curah hujan di wilayah tersebut dengan prediktor SML dan OLR di sekitar wilayah Indonesia menggunakan metode Jaringan Syaraf Tiruan (JST); dan (3) melakukan verifikasi periode 2003 – 2007 hasil model JST dengan data observasi dalam periode tahun 2003 – 2007.

Hasil analisis curah hujan di wilayah Jawa bagian utara yang diwakili oleh Zonasi Musim (ZOM) 30 (Serang bagian utara, Tangerang bagian utara, DKI Jakarta bagian utara, dan Bekasi bagian utara, ZOM 43 (sebagian Indramayu bagian utara), ZOM 88 Blora bagian tengah, Tuban bagian selatan, Bojonegoro bagian selatan), dan ZOM 90 (Gresik bagian utara, Surabaya kota, Tuban bagian timur, dan Lamongan bagian utara) selama periode 1979 – 2007 berhubungan dengan kondisi SML dan OLR di wilayah Indonesia. Hubungan itu diwujudkan dengan adanya korelasi 0.53 ≤ r ≤ 0.63 antara curah hujan di empat ZOM tersebut dengan SML pada wilayah 10º – 12,5º LS, 120º – 127,5º BT atau Samudera Hindia selatan Nusatenggara hingga Timor.

(5)

Untuk korelasi curah hujan dengan OLR nilainya -0.57 ≤ r ≤ -0.76 dengan wilayah 5º – 10º LS, 107.5º – 115º BT atau Laut Jawa bagian Tengah, Jawa Tengah, dan Samudera Hindia selatan Jawa Tengah. Hasil korelasi diatas dilakukan dengan lead +1, artinya curah hujan bulan ke t, berkorelasi dengan SML dan OLR pada ( t – 1).

Sebelum pemodelan JST, dilakukan analisis korelasi terhadap prediktor data SML dan OLR. Kemudian dilakukan analisis komponen utama (AKU) untuk menghilangkan multikolinier, dan diperoleh 2 nilai komponen yang dijadikan prediktor untuk memprakirakan curah hujan bulanan di empat ZOM tersebut dengan JST.

Dengan model JST back propagation, terlebih dahulu dilakukan pelatihan data selama periode 1979 – 2002 atau 288 deret data. Sebagai masukan adalah 2 nilai AKU, dan data curah hujan lead +1 sebagai target. Pada ke empat ZOM tersebut iterasi dihentikan ketika jumlah lapisan tersembunyi diperoleh 12 hingga 20 unit. Bobot yang digunakan berada pada kisaran 16 – 24 bobot dengan nilai -4 sampai dengan 3.6. Hasil akhir pelatihan saat membandingkan nilai prakiraan dengan observasi diperoleh MSE berkisar 0.6 – 0.76, sedangkan koefisien determinasi (R² ) berkisar 0.8 – 0.88.

Untuk mendapatkan konsistensi model, dilakukan verifikasi hasil prakiraan di empat ZOM tersebut selama periode 2003 – 2007. Tingkat akurasi model JST, analisis pola observasi dan prakiraan menunjukkan pola yang sama, meski masih dijumpai prakiraan yang terlalu tinggi maupun terlalu rendah. Jika dianalisis nilai RMSEnya, yang terendah di 4 ZOM selama periode 2003 - 2007, terjadi pada tahun 2006. Nilai galat prakiraan terhadap hasil observasi, ketika dianalisis dengan kesalahan relatif, kesalahan yang besar ditunjukkan oleh model JST, ketika periode bulan kering. Keadaan tersebut terjadi pada bulan Juni, Juli, atau Agustus, di mana kesalahan relatif selama periode 2003 – 2007 cukup besar.

Untuk meningkatkan presisi akurasi model JST, penelitian mendatang disarankan perlu memasukan prediktor unsur meteorologi lainnnya seperti komponen angin, kelembaban, dan lain-lainya. Atau dapat juga untuk musim yang berbeda, prediktornya yang digunakan berlainan, serta dengan menganalisis lead yang berbeda-beda untuk setiap korelasi curah hujan dengan prediktor lainnya.

(6)
(7)

©Hak Cipta IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis bentuk apapun tanpa izin IPB.

(8)

MODEL PRAKIRAAN CURAH HUJAN BULANAN DI

WILAYAH JAWA BAGIAN UTARA DENGAN

PREDIKTOR SML DAN OLR

DEDI SUCAHYONO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Klimatologi Terapan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009

(9)

Judul : Model Prakiraan Curah Hujan Bulanan di Wilayah Jawa Bagian Utara dengan Prediktor SML Dan OLR

Nama : Dedi Sucahyono NRP : G 251070041

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof .Dr .Ir Hidayat Pawitan ,M.Sc.E. Dr .Ir. Aji Hamim Wigena, M.Sc

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Klimatologi Terapan

Prof. Dr. Handoko, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

(10)

rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyusun dan merampungkan penelitian dalam rangka penulisan tesis yang berjudul Model Prakiraan Curah Hujan Bulanan di Wilayah Jawa Bagian Utara Dengan Prediktor SML Dan OLR. Penelitian ini merupakan aplikasi salah satu Jaringan Saraf Tiruan (JST) untuk pendugaan model prakiraan curah hujan bulanan berdasarkan data Suhu Muka Laut (SML) dan Outgoing Longwave Radiation (OLR).

Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan model prakiraan curah hujan bulanan dan mengevaluasi hasil prakiraan tersebut sehingga presisi model dapat diketahui. Penelitian ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karenanya dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr.Ir. Hidayat Pawitan, M.Sc.E. dan Dr.Ir Aji Hamim Wigena, M.Sc selaku ketua dan anggota pembimbing yang telah mencurahkan waktu, tenaga dan pikirannya selama ini.

2. Prof. Dr. Ir. Handoko, M.Sc, selaku ketua Program Studi Klimatologi Terapan Pascasarjana IPB.

3. Para Staf Dosen Pengajar Program Studi Klimatologi Terapan Pascasarjana IPB yang telah memberikan bekal ilmu Klimatologi.

4. Kepala BMKG dan jajarannya yang telah memberikan dorongan moril dan materil.

5. Drs Prijanto dan Erwin Ekasyahputra Makmur, M.Si yang telah memberikan sumbangsih pikiran, dan juga Staf di Subid Manajemen Data Meteorologi Udara Atas.

6. Teman-teman yang telah menemani dalam suka maupun duka selama pendidikan S2 dan S3 Klimatologi Terapan di Pascasarjana IPB.

Penelitian ini telah dilakukan dengan maksimal, namun peneliti sangat menyadari masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu saran dan kritik selalu penulis harapkan dan diterima dengan lapang hati.

Bogor, September 2009

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Purbalingga pada tanggal 14 September 1959 dari ayah Sosaidi dan ibu Suminah. Penulis merupakan putra ke empat dari sembilan saudara. Tamat Sekolah Menengah Atas (SMA) tahun 1981 di Purbalingga, menyelesaikan Diploma III di Akademi Meteorologi dan Geofisika (AMG) Jakarta tahun 1985. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia Jurusan Fisika pada tahun 1997 dan lulus tahun 2000. Pada tahun 2007 penulis diterima di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada program studi Klimatologi Terapan (KLI), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

(12)
(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

I. PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA... 5

2.1 Pengertian Curah Hujan. ... 5

2.2 Tipe Hujan dan Zonasi Musim ... . 5

2.3 Distribusi Curah Hujan Bulanan di Wilayah Jawa Bagian Utara (ZOM 30, 43, 88, dan 90) ... 6

2.3.1 Distribusi Curah Hujan Bulanan di ZOM 30 ... 6

2.3.2 Distribusi Curah Hujan Bulanan di ZOM 43 ... ... 7

2.3.3 Distribusi Curah Hujan Bulanan di ZOM 88 ... 8

2.3.4 Distribusi Curah Hujan Bulanan di ZOM 90 ... 8

2.4 SML dan Hubungannya dengan Curah Hujan ... 9

2.5 OLR ... 10

2.6 Analisis Komponen Utama ... 12

2.7 Model Prakiraan dengan Jaringan Saraf Tiruan ... 14

2.7.1 Arsitektur Jaringan Saraf Tiruan... 14

2.7.2 Algoritma Pembelajaran Propagasi Balik... 15

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN... 17

3.1 Tempat Penelitian ... 17

3.2 Bahan dan Alat ... 17

3.2.1 Data Curah Hujan ... 17

3.2.2 Data SML dan OLR ... 18

3.2.3 Pembagian Kotak Grid ... 18

(14)

3.3.3 Prakiraan Curah Hujan Bulanan dengan JST... 22

3.3.4 Validasi Model ... 25

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

. 4.1 Korelasi Curah Hujan Bulanan dengan SML Tenggang 1 Bulan di 4 ZOM. 27

4.2 Korelasi Curah Hujan Bulanan dengan OLR Tenggang 1 Bulan di 4 ZOM 29

4.3 Proses Reduksi Variabel Input ... 32

4.3.1 Proses Mereduksi Variabel Input untuk Prakiraan di ZOM 30... 32

. 4.3.2 Proses Mereduksi Variabel Input untuk Prakiraan di ZOM 43 ... 32

4.3.3 Proses Mereduksi Variabel Input untuk Prakiraan di ZOM 88 ... 33

4.3.4 Proses Mereduksi Variabel Input untuk Prakiraan di ZOM 90 …... 33

4 .4 Pelatihan Model JST untuk Prakiraan Curah Hujan di 4 ZOM ... 34

4.4.1 Pelatihan Model JST di ZOM 30 ... 34

4.4.2 Pelatihan Model JST di ZOM 43 ... 34

4.4.3 Pelatihan Model JST di ZOM 88 ... 35

4.4.4 Pelatihan Model JST di ZOM 90 ... 36

4.5 Hasil Prakiraan JST dan Evaluasi Curah Hujan di 4 ZOM ... 36

4.5.1 Luaran Model JST dan Evaluasi Curah Hujan di ZOM 30 ... 36

4.5.2 Luaran Model JST dan Evaluasi Curah Hujan di ZOM 43 ... 38

4.5.3 Luaran Model JST dan Evaluasi Curah Hujan di ZOM 88 ... 40

4.5.4 Luaran Model JST dan Evaluasi Curah Hujan di ZOM 90 ... 42

4.6 Pembahasan... 44

4.6.1 Hubungan Curah Hujan Bulanan di 4 ZOM dengan SML ... 44

4.6.2 Hubungan Curah Hujan Bulananan di 4 ZOM dengan OLR... 45

4.6.3 Pereduksian Data Prediktor dan Pelatihan JST... 45

4.6.4 Analisis Hasil Luaran Prakiraan Curah Hujan Bulanan Model JST di 4 ZOM ... . 46

4.6.5 Verifikasi Hasil Luaran Prakiraan Curah Hujan Bulanan Model JST di 4 ZOM ... 49

(15)

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 52 5.1 Kesimpulan ... 52 5.2 Saran ... 53 . DAFTAR PUSTAKA. ... 54 LAMPIRAN ……… 56

(16)

1. Rata-rata curah hujan bulanan di ZOM 30……… 7

2. Rata-rata curah hujan bulanan di ZOM 43……… 8

3. Rata-rata curah hujan bulanan di ZOM 88………... 8

4. Rata-rata curah hujan bulanan di ZOM 90..……... 9

5. Nilai r dan indeks kotak grid SML di 4 ZOM ... 29

6. Nilai r dan indeks kotak grid OLR di 4 ZOM ... 32

7. Prakiraan dengan Model JST di ZOM 30 periode 2003 – 2007 (mm) ... 37

8. Nilai Observasi dan Galat Prakiraan ZOM 30 (mm) ... 37

9. Prakiraan dengan Model JST di ZOM 43 periode 2003 – 2007 (mm) ... 39

10. Nilai Observasi dan Galat Prakiraan ZOM 43 (mm) ... 39

11. Prakiraan dengan Model JST di ZOM 88 periode 2003 – 2007 (mm) ... 41

12. Nilai Observasi dan Galat Prakiraan ZOM 88 (mm) ... 41

13. Prakiraan dengan Model JST di ZOM 90 periode 2003 – 2007 (mm) ... 43

(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Rata-rata curah hujan bulanan di ZOM 30 ... 7

2. Rata-rata curah hujan bulanan di ZOM 43 ... 7

3. Rata-rata curah hujan bulanan di ZOM 88 ... 8

4. Rata-rata curah hujan bulanan di ZOM 90 ... 9

5. Arsitektur JST ...………... 14

6. ZOM 30, 43, 88, dan 90 ... 17

7. Distribusi curah hujan bulanan di ZOM 30, 43, 88, dam 90 ... 18

8. Kotak grid untuk domain SML dan OLR... 19

9. Diagram alir penelitian ... 20

10. Arsitektur Backpropagation untuk prakiraan curah hujan bulanan... 22

11. Peta korelasi SML dengan curah hujan bulanan pada ZOM 30... 27

12. Peta korelasi SML dengan curah hujan bulanan pada ZOM 43 ... 28

13. Peta korelasi SML dengan curah hujan bulanan pada ZOM 88 ... 28

14. Peta korelasi SML dengan curah hujan bulanan pada ZOM 90 ... 29

15. Peta korelasi OLR dengan curah hujan bulanan pada ZOM 30 ... 30

16. Peta korelasi OLR dengan curah hujan bulanan pada ZOM 43 ... 30

17. Peta korelasi OLR dengan curah hujan bulanan pada ZOM 88 ... 31

18. Peta korelasi OLR dengan curah hujan bulanan pada ZOM 90 ... 31

19. Plot observasi vs prakiraan curah hujan bulanan (1979-2002 ) di ZOM 30... 34

20. Plot observasi vs prakiraan curah hujan bulanan (1979-2002 ) di ZOM 43... 35

21. Plot observasi vs prakiraan curah hujan bulanan (1979-2002 ) di ZOM 88... 35

22. Plot observasi vs prakiraan curah hujan bulanan (1979-2002 ) di ZOM 90... 36

23. Luaran prakiraan vs data observasi curah hujan bulanan di ZOM 30 ... 37

24. Nilai RMSE dari luaran JST selama 2003 – 2007 di ZOM 30 ... 38 25. Pola kesalahan relatif dari prakiraan JST selama 2003 – 2007 di ZOM 30. 38

(18)

28. Pola kesalahan relatif dari prakiraan JST selama 2003 – 2007 di ZOM 43. 40 29. Luaran prakiraan vs data observasi curah hujan bulanan

di ZOM 88 ... . 41 30. Nilai RMSE dari luaran JST selama 2003 – 2007 di ZOM 88 ... 42 31. Pola kesalahan relatif dari prakiraan JST selama 2003 – 2007 di ZOM 88.. 42 32. Luaran prakiraan vs data observasi curah hujan bulanan

di ZOM 90 ... 43 33. Nilai RMSE dari luaran JST selama 2003 – 2007 di ZOM 90 ... 44 34. Pola kesalahan relatif dari prakiraan JST selama 2003 – 2007 di ZOM 90. 44

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Korelasi antar 10 prediktor di ZOM 30 dan ZOM 43………56

2. Korelasi antar 10 prediktor di ZOM 88 dan ZOM 90………57

3. Plot Scree dari 10 variabel input JST di ZOM 30 dan ZOM 43...58

4. Plot Scree dari 10 variabel input JST di ZOM 88 dan ZOM 90...59

5. Peta ZOM di Sumatera, Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat ...60

6. Peta ZOM di Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur ...61

7. Peta ZOM di Bali ...62

8. Peta ZOM di NTT dan NTB ...63

9. Peta ZOM di Kalimantan dan Sulawesi ...64

(20)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hujan merupakan salah satu bentuk presipitasi di samping salju dan hujan es. Hujan yang terjadi di daerah tropik, seperti Indonesia, umumnya adalah hujan konvektif, yang terjadi akibat naiknya massa udara lembab akibat pemanasan permukaan bumi. Dengan naiknya massa udara ini, suhu akan turun dan pada ketinggian tertentu uap air yang terbawa akan terkondensasi menjadi awan.

Proses terjadinya hujan itu sendiri diawali dari ketersediaan uap air di atmosfer yang berkondensasi sehingga terbentuk awan. Sumber uap air terbesar adalah lautan. Sementara itu matahari yang merupakan sumber energi bagi bumi, memancarkan energinya melalui radiasi gelombang pendek, dan sebagian energi tersebut akan dipancarkan kembali dengan radiasi gelombang panjang. Dan radiasi balik sinar matahari yang terjadi dari pancaran awan di atmosfer dan kembali ke ruang angkasa dikenal sebagai Outgoing Longwave Radiation (OLR).

Posisi geografis Indonesia di daerah tropik yang berada antara benua Asia dan Australia, serta dikelilingi Samudera Hindia dan Samudera Pasifik berdampak pada keragaman curah hujan atau iklim di Indonesia sangat tinggi. Hal ini akibat pengaruh west monsoon season (angin baratan) yang umumnya terjadi pada periode Desember hingga Maret. Muson ini dipicu oleh pemanasan yang kuat sehingga muncul palung tekanan rendah di benua Australia yang pada saat itu musim panas. Muson tersebut melewati laut yang hangat di negara kepulauan Indonesia ini berkonvergensi dengan angin pasat dari Samudera Pasifik di wilayah Indonesia bagian selatan hingga utara Australia dan memberikan kontribusi 60% - 90% curah hujan di Australia bagian utara (McGregor dan Nieuwolt, 1998). Penelitian yang dilakukan telah menunjukkan pengaruh suhu muka laut (SML) di sekitar Laut Timor, Laut Banda, dan Laut Arafura terhadap variabilitas curah hujan di Indonesia secara musiman, dan untuk interannual wilayahnya mulai pantai barat Sumatera hingga selatan Jawa dan pantai utara Jawa. (Slingo et al., 2005)

Keadaan sebaliknya terjadi saat dry monsoon season (angin timuran) pada periode Mei hingga September. Angin pasat Pasifik Selatan yang panas dan stabil serta membawa massa udara kering menuju wilayah Pasifik bagian selatan

(21)

2

sebelah timur Australia sehingga cepat membentuk lapisan inversi rendah. Angin timuran ini hanya melalui laut yang pendek antara Australia-Indonesia sehingga menjadikan massa udaranya tipis uap air. Akibatnya curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia bagian selatan pada periode tersebut sangat rendah. Hanya faktor orografi yang dapat menjadikan hujan lokal berkontribusi pada wilayah tersebut saat periode musim kering berlangsung.

Kebutuhan informasi tentang curah hujan sangat penting bagi berbagai sektor/bidang dalam merencanakan atau melaksanakan kegiatannya, antara lain informasi prakiraan curah hujan dalam jangka menengah atau panjang. Prakiraan curah hujan merupakan salah satu upaya manusia untuk memperoleh gambaran tentang curah hujan beberapa waktu kemudian. Berkembang pesatnya teknik-teknik prakiraan saat ini, sejalan dengan makin canggihnya komputer berikut perangkat lunaknya, telah menjadikan bidang prakiraan makin menarik perhatian.

Fokus teknik prakiraan terletak pada kesalahan (error) yang merupakan bagian yang melekat pada setiap prosedur prakiraan. Prakiraan yang dibuat untuk mengetahui kejadian masa yang akan datang jarang sekali yang akurat. Prakiraan berusaha untuk membuat kesalahan sekecil mungkin. Hingga saat ini sudah banyak model prakiraan yang berbasis deret waktu yang dipergunakan untuk memprakirakan curah hujan seperti ARIMA, Regressi dan lain sebagainya.

Jaringan syaraf tiruan (JST) merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk memprakirakan curah hujan. Prakiraan curah hujan dengan aplikasi jaringan saraf tiruan bukan hal yang baru (Lutfiati 2000, Suherlan 2006). Lutfiati (2000) menjelaskan perlunya data pengamatan yang akurat sebagai input atau pembelajaran JST, karena apabila terjadi kesalahan data pengamatan akan menghasilkan penyimpangan yang besar sehingga luaran (output) yang diperoleh meragukan. Aplikasi JST tersebut dipergunakan untuk memprakirakan curah hujan harian di wilayah sebagian Bali bagian selatan dengan input curah hujan sebagai target dan beberapa unsur parameter cuaca lainnya seperti data suhu, komponen angin, angin, geopotensial, dan kecepatan vertikal pada lapisan standar 100 mb, 200 mb, 500 mb, 850 mb sebagai input pembelajaran.

(22)

Pada lapisan permukaan Lutfiati (2000) menggunakan data tekanan udara, suhu, komponen angin, dan OLR. Hasilnya menunjukkan semakin pendek periode prakiraan hariannya, semakin baik luarannya.

Otok (2000) telah mengidentifikasi bahwa pendekatan JST adalah pendekatan alternatif yang sangat bagus untuk masalah prakiraan. Suherlan (2006) telah menjadikan berbagai parameter unsur pengamatan cuaca sebagai input seperti data suhu jam 7 (t7), suhu jam 13 (t13), suhu jam 18 (t18), tingkat penyinaran matahari (rm), tekanan udara (tu), kelembaban nisbi jam 7 (k7), jam 13 (k13), jam 18 (k18), dan Indeks Osilasi Selatan (ios). Sedangkan luaran model adalah curah hujan bulanan. Suherlan (2006) mendapatkan simpulan bahwa JST dengan sistem Neurofuzzy berstruktur ANFIS dapat diterapkan dalam pendugaan sifat hujan bulanan di Darmaga Bogor dengan tingkat akurasi yang baik.

Dalam penelitian ini yang akan dijadikan objek penelitian, adalah sebagian daerah pantai utara Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Daerah tersebut sebagian besar merupakan pusat kegiatan industri, perikanan, pertanian, dan jalur utama tranportaasi sepanjang Pulau Jawa. Pada wilayah tersebut distribusi curah hujan bulanannya mempunyai periode bulan basah dan kering yang hampir sama.

Penelitian ini akan menghubungkan SML dan OLR di wilayah Indonesia dengan curah hujan bulanan di wilayah Jawa bagian utara. Hal ini dikarenakan laut adalah sumber uap air terbesar dalam pembentukan awan dan hujan. Sementara OLR menggambarkan perawanan yang terbentuk, semakin kecil OLR semakin banyak awan dan sebaliknya. Untuk menerapkan prakiraan curah hujan bulanan dengan prediktor SML dan OLR akan digunakan model JST. Digunakannya model tersebut, karena pendekatan JST adalah pendekatan yang bagus untuk prakiraan.

(23)

4

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan :

• Menganalisis korelasi curah hujan bulanan di wilayah Jawa bagian utara dengan SML dan OLR di sekitar wilayah Indonesia.

• Menyusun model prakiraan curah hujan bulanan di wilayah tersebut dengan prediktor SML dan OLR di sekitar wilayah Indonesia menggunakan model JST. Kemudian, melakukan verifikasi hasil model dengan data observasi dalam periode tahun 2003 sampai dengan 2007 untuk validasi model.

(24)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Curah Hujan

Curah hujan yang terukur didefinisikan sebagai suatu ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar, sebelum menguap, tidak meresap, dan mengalir. Curah hujan diukur dalam satuan tinggi (mm), atau sebagai volume air hujan persatuan luas. Dengan asumsi bahwa sebaran hujan yang terjadi merata, tinggi air hujan yang tertampung pada luasan yang kecil (alat penakar hujan) akan sama dengan tinggi air pada daerah yang luas (wilayah yang terwakili oleh penakar hujan).

Curah hujan dapat dihitung dari volume air yang tertampung pada penakar hujan dibagi luas mulut penakar hujan atau dinyatakan sebagai :

P = 10 A V

(1)

dengan P = curah hujan kumulatif yang terkumpul dalam rentang waktu kumulatif tersebut (mm)

V = volume air (cm3) A = luas penampang (cm2)

Curah hujan bulanan adalah jumlah curah hujan kumulatif dalam periode satu bulan.

2.2 Tipe Hujan dan Zonasi Musim

Curah hujan merupakan unsur iklim yang sangat penting bagi wilayah tropik seperti di Indonesia, mengingat negara Indonesia adalah negara agraris. Keragaman curah hujan di Indonesia sangat tinggi, yang dapat digambarkan dalam ruang dan waktu sebagai pola atau tipe hujan, jumlah hujan dalam suatu waktu atau musim, serta panjang suatu musim hujan atau musim kemarau.

Di Indonesia, berdasarkan distribusi curah hujan bulanan rata-rata selama 30 tahun (1971-2000) ada 3 tipe hujan yaitu tipe muson, tipe ekuatorial, dan tipe lokal (BMG, 2003). Tipe muson adalah yang memiliki satu puncak tertinggi dan satu puncak terendah dalam distribusi hujan bulanannya selama satu tahun, sedangkan tipe ekuatorial memiliki dua puncak tertinggi atau terendah, dan tipe lokal memiliki periode berkebalikan dengan tipe muson.

(25)

6

Berdasarkan pengelompokan tipe atau pola hujan tersebut, dibuat suatu Zonasi Musim (ZOM) yang didefinisikan sebagai daerah yang pola hujan rata-ratanya memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim kemarau dan periode musim hujan (BMG, 2003). Daerah yang pola hujan rata-ratanya tidak memiliki perbedaan yang jelas antara musim kemarau dan musim hujan dikenal dengan Non ZOM. Musim kemarau ditetapkan berdasarkan jumlah curah hujan dalam satu dasarian kering (10 hari) < 50 mm dan diikuti oleh 2 dasarian kering berikutnya atau dalam 1 bulan < 150 mm. Sebaliknya musim hujan terjadi jika dalam satu dasarian basah curah hujan ≥ 50 mm, diikuti 2 dasarian basah berikutnya atau dalam 1 bulan ≥ 150 mm.

Di Indonesia terdapat 220 ZOM (Lampiran 5 sampai dengan 10), yaitu ZOM 1 hingga 26 di Sumatera, 27 hingga 120 di Jawa, di Bali hingga Nusatenggara 121 hingga 167, di Kalimantan ZOM 168 hingga 183, Sulawesi ZOM 184 hingga 205, di Maluku ZOM 206 hingga 213, dan di Papua ZOM 214 hingga 220. Luas suatu wilayah ZOM tidak selalu sama dengan luas suatu wilayah administrasi pemerintahan. Dengan demikian suatu wilayah ZOM bisa terdiri dari beberapa kabupaten, dan sebaliknya satu wilayah Kabupaten bisa terdiri dari beberapa ZOM.

2.3 Distribusi Curah Hujan Bulanan di Wilayah Jawa Bagian Utara (ZOM 30, 43, 88, dan 90)

2.3.1 Distribusi Curah Hujan Bulanan di ZOM 30

Distribusi rata-rata curah hujan bulanan di ZOM 30 untuk periode normal 30

tahun (1971-2000) dapat dilihat pada Gambar 1 dan Tabel 1. Puncak curah hujan tertinggi pada ZOM ini terjadi pada bulan Januari. Dengan kriteria musim kemarau besarnya curah hujan kumulatif dalam 1 bulan < 150 mm, maka periode musim kemarau di ZOM 30 adalah pada periode bulan April hingga Nopember. Puncak musim kemarau di ZOM 30 terjadi pada bulan September, karena curah hujan kumulatifnya paling rendah dalam periode satu tahunnya, yaitu 52 mm. Musim hujan di ZOM 30 dimulai pada bulan Desember hingga Maret, dimana jumlah curah kumulatif bulanannya ≥ 150 mm.

(26)

Rata-rata Curah Hujan Bulanan 1971-2000 (milimeter) di ZOM 30 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des

Bulan

mm

curah hujan

Gambar 1 Rata-rata curah hujan bulanan ZOM 30 Tabel 1 Rata-rata curah hujan bulanan ZOM 30

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des 411 293 203 132 105 72 54 53 52 93 113 193

2.3.2 Distribusi Curah Hujan Bulanan di ZOM 43

Rata-rata curah hujan bulanan di ZOM 43 untuk periode normal 30 tahun (1971-2000) dapat dilihat pada Gambar 2 dan Tabel 2. Puncak curah hujan tertinggi pada ZOM ini terjadi pada bulan Januari sebesar 408 mm. Curah hujan terendah terjadi di bulan Agustus sebesar 34 mm. Periode musim kemarau di ZOM 43 bulan Mei hingga Nopember. Musim hujan di ZOM 43 dimulai pada bulan Desember hingga April.

Rata-rata Curah Hujan Bulanan 1971-2000 (milimeter) di ZOM 43 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des

Bulan

mm

curah hujan

Gambar 2 Rata-rata curah hujan bulanan ZOM 43 Tabel 2 Rata-rata curah hujan bulanan ZOM 43

(27)

8

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des 408 256 200 159 92 78 36 34 37 66 148 230

2.3.3 Distribusi Curah Hujan Bulanan di ZOM 88

Rata-rata curah hujan bulanan di ZOM 88 untuk periode normal 30 tahun (1971-2000) dapat dilihat pada Gambar 3 dan Tabel 3. Puncak curah hujan tertinggi pada ZOM ini terjadi pada bulan Februari sebesar 306 mm. Curah hujan terendah terjadi di bulan Agustus sebesar 29 mm. Periode musim kemarau di ZOM 88 bulan Mei hingga Oktober. Musim hujan di ZOM 88 dimulai pada bulan Nopember hingga April.

Rata-rata Curah Hujan Bulanan 1971-2000 (milimeter) di ZOM 88 0 50 100 150 200 250 300 350

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des

Bulan

mm

curah hujan

Gambar 3 Rata-rata curah hujan bulanan ZOM 88 Tabel 3 Rata-rata curah hujan bulanan ZOM 88

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des 294 306 294 186 96 81 41 29 69 184 257 279

2.3.4 Distribusi Curah Hujan Bulanan di ZOM 90

Distribusi rata-rata curah hujan bulanan di ZOM 90 untuk periode normal 30 tahun (1971-2000) dapat dilihat pada Gambar 4 dan Tabel 4. Puncak curah hujan tertinggi pada ZOM ini terjadi pada bulan Januari sebesar 271 mm. Periode musim kemarau di ZOM 90 terjadi pada bulan April hingga Nopember. Puncak musim kemarau di ZOM 90 terjadi pada bulan Agustus, karena curah hujan kumulatifnya paling rendah dalam periode satu tahunnya, yaitu 23 mm.

Musim hujan di ZOM 90 dimulai pada bulan Desember hingga Maret, dimana jumlah curah kumulatif bulanannya > 150 mm.

(28)

Rata-rata Curah Hujan Bulanan 1971 - 2000 (milimeter) di ZOM 90 0 50 100 150 200 250 300

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des

Bulan

mm

curah hujan

Gambar 4 Rata-rata curah hujan bulanan ZOM 90 Tabel 4 Rata-rata curah hujan bulanan ZOM 90

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des 271 219 197 134 77 59 33 23 41 75 120 185

2.4 SML dan Hubungannya dengan Curah Hujan

Hasil studi tentang adanya hubungan antara fenomena meteorologi seperti curah hujan, tekanan udara dan suhu serta SML sudah dipublikasikan oleh para peneliti. Pada suatu studi dalam hubungannya curah hujan di China dan SML, (Chang et al., 2003) menganalisis hubungan interannual antara East Asian Summer Monsoon dan SML Pasifik tropik dengan data curah hujan di DAS Sungai Yangtze dan menunjukkan bahwa basahnya summer monsoon ditandai dengan panasnya SML Pasifik Timur Equator pada awal musim dingin.

Peran El Nino oleh Nicholls (1984) juga diperlihatkan pada interannual variabilitas curah hujan muson India, yang mengadopsi suhu permukaan laut wilayah Indonesia-Australia bagian utara sebagai prediktor curah hujan muson India. SML wilayah Indonesia adalah faktor utama terpenting untuk kondisi atmosfer tidak hanya bagi wilayah Indonesia itu sendiri, tetapi juga untuk atmosfer global keseluruhan (Slingo et al., 2005).

Proses konveksi yang terjadi sangat tergantung kepada kondisi SML, dan keadaan tersebut sangat dominan bagi negara kepulauan seperti Indonesia. Aktivitas

(29)

10

konveksi ini mengendalikan sirkulasi atmosfer dan kontribusi ke energi global dan keseimbangan kelembaban.

Soetamto (2007) juga menunjukkan adanya kecenderungan hujan akan bertambah di wilayah Jawa Timur jika SML di sebagian wilayah timur dan selatan Indonesia naik atau panas. Begitupun akan terjadi sebaliknya, ketika SML mendingin maka curah hujan di wilayah Jawa Timur akan berkurang.

2.5 OLR

Matahari sebagai sumber energi bagi bumi mempunyai suhu permukaan 6000º K serta memancarkan energi radiasi sebesar 74,4 juta watt tiap m2 permukaannya. Radiasi yang dipancarkan ini dikenal sebagai radiasi surya, yang merupakan gelombang elektromagnetik dengan kisaran panjang gelombang 0.3 – 4.0 μm (Geiger et al.,1995). Energi tersebut dipancarkan ke segala penjuru, besarnya energi yang sampai puncak atmosfir berkisar 1360 W/m2, sebelum mengalami pemancaran dan penyerapan oleh atmosfer. Energi radiasi surya tersebut akan diserap oleh bumi (termasuk atmosfer) dan akan digunakan untuk proses fisika atmosfer, seperti pemanasan udara dan penguapan.

Radiasi surya disebut juga dengan radiasi gelombang pendek, sedangkan radiasi bumi atau benda-benda alam di bumi yang disebut sebagai radiasi gelombang panjang. Perbedaan panjang gelombang ini dapat dijelaskan dengan Hukum Wien berikut, yang menyatakan gelombang pada energi maksimum berbanding terbalik dengan suhu permukaan benda yang memancarkan radiasi tersebut.

λ

m = Ts

2897

(2)

dengan

λ

m

= panjang gelombang energi maksimum dalam μm Ts = suhu permukaan dalam K

Sementara itu rata-rata suhu permukaan matahari yang sebesar 6000º K akan mempunyai panjang gelombang lebih pendek (0.3 – 3.0 μm) dibanding panjang gelombang radiasi permukaan bumi (>3.0 μm) yang mempunyai suhu 300º K.

(30)

Besarnya energi yang dipancarkan oleh suatu permukaan dapat dihitung berdasarkan hukum Stefan Boltzman dengan formula :

E = Є

σ

T4 (3) dengan E = besarnya energi yang dipancarkan (W/m2)

Є = emisitas permukaan

σ

= tetapan Boltzman (5.67 -8 W/m2 ºK4 ) T = suhu permukaan benda

Pada benda hitam atau black body radiation Є = 1, semakin tinggi suhu permukaan (Ts), radiasi pancaran akan meningkat jauh lebih besar dibanding suhu permukaan. Hubungan antara energi radiasi yang dinyatakan dengan energi foton dan panjang gelombang yang berbanding terbalik ini ditunjukkan oleh Hukum Planck sebagai berikut :

E = hcλ (4) dengan E = besarnya energi foton

h = tetapan Planck ( 6.63. 10-34 J s-1) c = kecepatan cahaya sebesar 3.108 ms-1.

λ

= panjang gelombang

Energi radiasi yang datang pada suatu permukaan dapat berbentuk gelombang pendek (Qn) dan gelombang panjang (Ql). Suatu permukaan dapat diasumsikan sebagai suatu bidang yang luas dan tebalnya sama dengan nol. Radiasi gelombang panjang khususnya berasal dari pancaran radiasi benda-benda atmosfer seperti udara, uap air, butir-butir air dan debu. Radiasi gelombang panjang ini disebut sebagai OLR. Sebagian radiasi datang juga akan dipancarkan oleh permukaan, sedangkan permukaan tersebut juga akan memancarkan energi berupa gelombang panjang. Beda antara radiasi yang datang dan yang keluar disebut sebagai radiasi netto (Qn), yang besarnya adalah :

Qn = Qsi + Qli – Qso - Qlo (5) dengan Qn = radiasi netto

Qsi = radiasi datang dengan gelombang pendek Qli = radiasi datang dengan gelombang panjang

(31)

12

Qso = radiasi keluar dengan gelombang pendek Qlo = radiasi keluar dengan gelombang panjang

Penelitian tentang hubungan OLR dengan curah hujan dilakukan oleh Motell dan Weare (1987) yang menyatakan hubungan curah hujan dengan OLR berkorelasi negatif. Hal ini sejalan dengan pendapat Murakami dan Matsumoto (1994) yang menjelaskan bahwa OLR berkorelasi negatif dengan Inter Tropical Convergence Zone. Penelitian OLR di Indonesia dilakukan pula oleh Visa et al., (2002) yang khusus meneliti hunbungannya dengan Total Precipitable Water (TPW) yang memperlihatkan korelasi negatif antara OLR dengan TPW.

Hubungaan pola OLR dan karakteristik curah hujan di Indonesia diteliti Sofiati I (1998) yang menjelaskan bahwa awal dan akhir musim hujan di 3 tipe hujan yaitu A (satu puncak), B (dua puncak), dan C (kebalikan tipe A) di Indonesia dapat dideteksi dengan penjalaran OLR, kecuali pada tipe B pengaruh kuatnya adalah Inter Tropical Convergence Zone (ITCZ).

2.6 Analisis Komponen Utama

Analisis kompenen utama (AKU) adalah teknik statistika peubah ganda yang seringkali bermanfaat untuk mereduksi dimensi dari sekumpulan peubah yang tak teratur untuk keperluan analisis dan interpretasi. Dengan teknik ini peubah yang cukup banyak akan diganti dengan peubah yang jumlahnya lebih sedikit tanpa diiringi dengan hilangnya obyektivitas analisis. AKU seringkali disajikan sebagai tahap antara dalam penelitian yang lebih besar. Metode komponen utama merupakan suatu metode yang berbasis pada penyelesaian aljabar linier tentang diagonalisasi dan dekomposisi matriks.

Suatu matriks p x p, simetrik dan singular, seperti matriks ragam peragam S (atau matriks korelasi R), dapat direduksi menjadi matriks diagonal L dengan pengali awal dan pengali akhir suatu matriks ortonormal V, berikut :

V`SV = L (6) Unsur-unsur diagonal matriks L, λ1 ≥ λ2 ≥ … ≥ λp ≥ 0 adalah akarciri-akarciri dari

matriks S. Sedangkan kolom-kolom matriks V, v1, v2, ... , vp adalah vektor-vektor

ciri dari matriks S. Akarciri λ1 ≥ λ2 ≥ … ≥ λp ≥ 0 dapat diperoleh melalui

(32)

⏐S −λI ⏐= 0 (7) dengan I adalah matriks identitas.

Pada penerapannya AKU bertujuan mereduksi dimensi peubah asal (i) ke peubah baru (Z). Misal suatu penelitian terhadap n individu akan diteliti sebanyak p peubah, dapat ditulis dalam bentuk vektor X` = (x1 x2 ... xp). Selanjutnya vektor

X diasumsikan mengikuti sebaran tertentu (biasanya normal ganda) dengan vektor rataan μ dan matriks ragam peragam S serta matriks korelasi R. Dari p peubah asal tadi dapat diturunkan p buah komponen utama untuk menerangkan ragam total sistem, dan seringkali keragaman total itu dapat diterangkan secara jelas oleh sejumlah kecil komponen utama. Misal k buah komponen dimana k < p. Komponen utama ke-j dari contoh pengamatan berdimensi p peubah merupakan kombinasi linier terbobot peubah asal yang dinyatakan dalam bentuk persamaan berikut : Zj = v1jx1 + v2x2 + ... + vpjxj (8) atau Z = XV dengan Z`Z = (XV)`(XV) = V`X`XV = diag (λ1 , λ2, … λp ) (9)

Atau setara dengan Var(Zi) = λI dan Cov(Zi-1,ZI) = 0.

Hal tersebut menunjukkan bahwa komponen utama tidak saling berkorelasi dan komponen utama ke-i memiliki keragaman sama dengan akarciri ke-i. Oleh karena itu bagian total keragaman data yang mampu diterangkan setiap komponen utama adalah proporsi antara akarciri komponen terhadap jumlah akarciri atau teras (trace) matriks peragam S. Dengan demikian keragaman yang dapat dijelaskan oleh komponen utama ke-i adalah

100% 1 x p j j i

= λ λ (10)

(33)

14

Matriks peragam S digunakan apabila semua peubah diukur dalam satuan pengukuran yang sama, tetapi bila peubah tersebut mempunyai satuan pengukuran berbeda, maka diperlukan matriks korelasi.

2.7 Model Prakiraan dengan JST

2.7.1 Arsitektur JST

JST terdiri dari beberapa elemen pemroses yang mirip dengan neuron dan sejumlah koneksi terboboti di antara elemen-elemen tersebut. JST memiliki arsitektur paralel yang tersebar dengan sejumlah besar node dan koneksi. Setiap koneksi menghubungkan satu node dengan node yang lain dan memiliki pembobot tertentu.

Gambar 5 Arsitektur JST Sebuah struktur JSTtersusun sebagai berikut:

• Penetapan sifat-sifat jaringan: topologi jaringan, tipe-tipe koneksi dan selang pembobot

• Penetapan sifat-sifat node: selang aktivasi dan fungsi aktivasi

• Penetapan dinamika sistem: skema inisialisasi pembobot, rumus perhitungan aktivasi, dan aturan pembelajaran

(34)

2.7.2 Algoritma Pembelajaran Propagasi Balik

Propagasi balik (backpropagation) merupakan algoritma pembelajaran yang terkontrol dan umumnya dimanfaatkan oleh perceptron dengan banyak lapisan untuk mengubah bobot-bobot yang terhubung dengan neuron-neuron yang ada pada lapisan tersembunyinya (hidden). Algoritma propagasi balik ini menggunakan error output untuk mengubah nilai bobot-bobotnya ke arah mundur (backward). Untuk mendapatkan error tersebut, tahap perambatan maju (forward propagation) harus dilakukan terlebih dahulu. Pada saat perambatan maju, neuron-neuron akan diaktifkan dengan menggunakan fungsi aktivasi yang dapat dideferensiasikan seperti sigmoid Algoritma Pembelajaran Propagasi Balik yang digunakan adalah metode pelatihan terarah (Supervised Training). Dengan demikian JST akan diarahkan dalam pembelajaran nilai yang diinginkan sedemikian rupa sehingga JST akan melakukan perubahan-perubahan bobot W agar nilai kesalahan luaran (output) yang dihasilkan kecil atau luaran akan mendekati target.

Nilai kesalahan tersebut dinyatakan dalam persamaan :

δpj = (tpjOpj) f ’j (net) (11) dengan δpj = sinyal kesalahan neuron,

t

pj = target luaran neuron j untuk pola p

O = nilai luaran sebenarnya dari luaran neuron j untuk pola p. pj

Kesalahan pada lapisan tersembunyi akan ditentukan secara berulang sedemikian rupa oleh unit-unit dan bobot lain yang berhubungan langsung sebagai berikut : δpi = f ’j (netpj)

k j k pkϖ δ (12) dengan:

δpi = sinyal kesalahan dari neuron post-synaptic i

ϖkj = bobot koneksi dari hidden neuron ke neuron post- synaptic k

Fungsi f haruslah dapat diturunkan dan karena menggunakan fungsi sigmoid maka dapat dinyatakan dengan mudah sebagai berikut :

(35)

16 O = f ( j

i i jiV ϖ ) (13) d O / j d

iϖjtVi = Oj (l - Oj ) (14) Nilai kesalahan akan menentukan perubahan bobot :

Δϖji = ηδtOi (15) Learning rate η merupakan indikator dalam menentukan kemampuan JST ini mencapai nilai target yang diinginkan (convergent).

Bentuk ini akan berupa variabel atau konstanta yang berubah setiap kali terjadi pengulangan. Apabila learning rate yang terjadi terlalu besar maka jaringan dapat terjebak ke dalam situasi yang dikenal sebagai Local Minima, yaitu suatu kondisi di mana jaringan mengasumsikan sudah convergent dengan tingkat kesalahan kecil, sesungguhnya masih dapat menghasilkan tingkat kesalahan pengujian yang besar.

Bobot W dalam jaringan akan disimpan dan akan dipanggil kembali pada saat diperlukan untuk melakukan pengenalan pola. Walaupun dengan pola-pola pelatihan yang sama dan untuk setiap kali proses pelatihan yang berbeda akan menghasilkan bobot yang berbeda pula.

(36)

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1 Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di kantor Pusat Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) gedung Operasional Jl Angkasa I no 2 Kemayoran Jakarta.

3.2 Bahan dan Alat 3. 2.1 Data Curah Hujan

Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah data curah hujan bulanan wilayah Jawa bagian utara yang meliputi empat ZOM yaitu ZOM 30 (Serang bagian utara, Tangerang bagian utara, DKI Jakarta bagian utara, dan Bekasi bagian utara), ZOM 43 ( sebagian Indramayu bagian utara) ZOM 88 (Blora bagian tengah, Tuban bagian selatan, Bojonegoro bagian selatan), dan ZOM 90 ( Gresik bagian utara, Surabaya kota, Tuban bagian timur, dan Lamongan bagian utara) selama periode tahun 1979 hingga 2007. ZOM adalah wilayah hasil clustering tipe hujan dan sudah digunakan secara operasional dalam publikasi prakiraan musim setiap tahunnya oleh BMKG. Peta 4 ZOM tersebut dapat dilihat pada Gambar 6 dan distribusi curah hujan bulanan pada setiap ZOM tercantum pada Gambar 7.

(37)

18

RATA-RATA CURAH HUJAN BULANAN ZOM 30, 43, 88, 90 PERIODE 1971 - 2000 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des

Bulan

mm

ZOM 30 ZOM 43 ZOM 88 ZOM 90

Gambar 7 Distribusi curah hujan bulanan di ZOM 30, 43, 88, dan 90

3. 2.2 Data SML dan OLR

Untuk mengetahui pengaruh dinamika atmosfer digunakan data sekunder berupa data SML dengan resolusi 1º χ 1º, yang diperoleh dari JRC-25 Reanalyis Model yang merupakan produk The Japan Meteorological Agency (JMA). Sedangkan data OLR yang resolusinya 2.5 º χ 2.5 º diperoleh dari CDC/NOAA. Area SML dan OLR yang akan dihitung korelasinya dengan curah hujan bulanan meliputi 20º LS hingga 5º LU dan 90º BT hingga 150º BT

3. 2.3 Pembagian Kotak Grid

Untuk mempermudah identifikasi grid pada domain SML dan OLR pada area 20º LS hingga 5º LU dan 90º BT hingga 150º BT, maka luasan domain tersebut dibagi dengan kotak grid ukuran 2,5º χ x 2,5º. Garis absis atau garis bujur sepanjang 90º BT hingga 150º BT di bagi menjadi 24 bagian dan diberi lambang huruf dari A hingga X. Sedangkan garis absis atau Y sepanjang 20º LS hingga 5º LU dibagi menjadi 10 bagian dan diberi lambang 1 hingga 10, sehingga domain SML atau OLR menjadi 240 kotak grid (Gambar 8).

3.2.4 Perangkat Keras dan Perangkat Lunak

Perangakat keras yang digunakan adalah personal komputer yang terkoneksi dengan internet, printer, dan Note Book. Sedangkan perangkat lunaknya adalah :

(38)

Microsoft Office, Arcview, The Grid Analysis and Display System 1.8s111 (GrADS), JRC-25 Model, Add-In Forecaster XL, Minitab-14.

Gambar 8 Kotak grid untuk domain SML dan OLR

3.3 Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dalam bentuk identifikasi dan karakterisasi yang pe- nekanannya melalui analisis data seperti disajikan pada Gambar 9.

(39)

20

Diagram (1) Diagram (2)

Gambar 9 Diagram alir penelitian

Keterangan:

Diagram (1), adalah kegiatan persiapan hingga menganalisis data , serta memperoleh prediktor yang akan digunakan sebagai input JST.

Dengan input JST yang diperoleh dari langkah diagram 1, diagram (2) adalah kegiatan menjalankan prakiraan curah hujan bulanan hingga mengevaluasi luaran model sehingga diperoleh validitas model.

(40)

3.3.1 Tahapan Penentuan Prediktor SML dan OLR

Data SML dan OLR pada domain 5º LU hingga 20º LS dan 90º BT hingga 150º BT dikorelasikan dengan data curah hujan bulanan masing-masing ZOM, sehingga diperoleh wilayah SML dan OLR yang berkorelasi dengan curah hujan bulanan ZOM tersebut. Korelasi SML di sekitar Indonesia dengan curah hujan bulanan di beberapa stasiun hujan telah dilakukan oleh Haylock (2002). SML lag 1 bulan yang mempunyai korelasi yang tinggi dengan curah hujan, dijadikan prediktor untuk memprakirakan curah hujan bulanan. Dengan asumsi respon laut lebih lambat dalam melepas energi panasnya dibanding udara maka dinamika laut akan mempunyai lag waktu untuk memberikan efek atau dampak terhadap dinamika atmosfer, salah satu dampaknya adalah varibilitas curah hujan.

Hal yang sama dalam menentukan lag/lead antara SML dan curah hujan bulanan di empat ZOM dilakukan pada penelitian ini. Hubungan curah hujan bulanan suatu ZOM dengan SML atau OLR dengan lead +1 bulan (lebih lambat 1 bulan) pada suatu grid dinyatakan dengan :

2 1 1 , , 1 2 1 , , 2 1 1 2 1 1 , , 1 1 1 , , ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − =

= − = − = = = − = = − n t t j i n t t j i n t t n t t n t t j i n t t n t t j i t Y Y n X X n Y X Y X n r (16)

dimana r = besarnya korelasi antara curah hujan bulanan dengan SML atau OLR lead +1 bulan

X = curah hujan bulan ke t t

Yi,j,t−1= rata-rata SML atau OLR pada lintang(i) bujur (j), pada bulan

ke (t -1)

n = banyaknya bulan, nilai r pada rentang -1 ≤ r ≤ 1

3.3.2 Pereduksian Data SML dan OLR

Setelah memperoleh beberapa area grid data SML dan OLR yang akan dijadikan sebagai input JST, dihitung korelasi antar data input tersebut. Jika terjadi multikolinier maka dilakukan transformasi data dengan menggunakan AKU sehingga diperoleh peubah yang saling orthogonal (bebas dari multikolinieritas), dan mereduksi peubah dimensi hasil dengan acuan bahwa untuk jumlah komponen utama berdasarkan nilai kumulatif nilai eigen ≥ 0.75.

(41)

22

3.3.3 Prakiraan Curah Hujan Bulanan dengan JST

Tahapan memprakirakan curah hujan bulanan di masing-masing ZOM dilakukan dengan 2 input (X1 dan X2) pada bulan t berdasarkan hasil reduksi 5 data SML dan 5 data OLR. Sedangkan sebagai target adalah data curah hujan bulanan (t + 1). Dengan teknik propagasi balik, luaran model akan memprakirakan curah hujan bulanan (Y) 1 bulan ke depan. Model dijalankan dengan terlebih dahulu melakukan pembelajaran dari Januari 1979 – 2002 (288 bulan) pada setiap ZOM. Sebagai validasi model, JST akan memprakirakan bulan Januari 2003 hingga Desember 2007 (60 bulan) pada setiap ZOM.

Persamaan prediksi curah hujan menggunakan:

(17) (18) dimana h adalah lapisan tersembunyi danj

y

k adalah lapisan luaran,

w

ij adalah

bobot yang menghubungkanh1 dan h2 dengan neuron pada lapisan output dan

v

ij

adalah nilai pembobot yang menghubungkan neuron input ke-i dan ke-j pada lapisan tersembunyi.

(42)

Penyelesaian formal dalam penetapan model, ditentukan ketika besarnya MSE (R²) ≥ 0.5. Inisialisasi bobot awal diambil dengan nilai acak

w

ij dan

v

ij yang

sangat kecil (-3 sampai dengan 3). Dalam penyusunan model prakiraan dilakukan pengujian pada beberapa jumlah matrik h (lapisan tersembunyi) antara 1 hingga 30 dengan beberapa nilai pembobot tersebut. Secara rinci tahapan dalam menghitung h dan j

y

k adalah sebagai berikut :

Langkah Maju Untuk Pendugaan

a. Tiap-tiap unit input (Xi, i = 1, 2) menerima sinyal xi dan meneruskan sinyal

tersebut ke semua unit pada lapisan yang ada di atasnya (lapisan tersembunyi).

b. Tiap-tiap unit pada suatu lapisan tersembunyi (hj, j = 1, 2, 3, …, p)

menjumlahkan sinyal-sinyal input terbobot :

(19)

gunakan fungsi aktivasi untuk menghitung sinyal outputnya :

(20) dan kirimkan sinyal tersebut ke semua unit di lapisan atasnya (unit-unit output). c. Tiap-tiap unit luaran (Yk, k = 1, 2, 3, …, m) menjumlahkan sinyal-sinyal

input terbobot.

(21)

gunakan fungsi aktivasi untuk menghitung sinyal outputnya :

yk = f(y_ink) (22)

dan kirimkan sinyal tersebut ke semua unit di lapisan atasnya (unit-unit luaran). Catatan :

Langkah (b) dilakukan sebanyak jumlah lapisan tersembunyi.

Propagasi Balik

d. Tiap-tiap unit luaran (Yk, k = 1, 2, 3, …,m) menerima target pola yang

berhubungan dengan pola input pembelajaran, hitung informasi errornya : (23) (24)

(43)

24

(25) kemudian hitung koreksi bobot (yang nantinya akan digunakan untuk memperbaiki nilai wjk) :

(26) Hitung juga koreksi bias (yang nantinya akan digunakan untuk memperbaiki nilai b2k) :

(27) langkah (d) ini juga dilakukan sebanyak jumlah lapisan tersembunyi, yaitu menghitung informasi error dari suatu lapisan tersembunyi ke lapisan tersembunyi sebelumnya.

e. Tiap-tiap unit tersembunyi (hj, j = 1, 2, 3, …,p) menjumlahkan delta inputnya

(dari unit-unit yang berada pada lapisan di atasnya) :

(28)

kalikan nilai ini dengan turunan dari fungsi aktivasinya untuk menghitung informasi error:

(29) (30) (31)

kemudian hitung koreksi bobot (yang nantinya akan digunakan untuk memperbaiki nilai vij) :

(32) Hitung juga koreksi bias (yang nantinya akan digunakan untuk memperbaiki nilai δ1j) :

(33) f. Tiap-tiap unit output (Yk, k = 1, 2, 3, …, m) memperbaiki bias dan bobotnya

(j = 0, 1, 2, …, p)

Wjk(baru)=Wjk(lama) + ∆Wjk (34)

(44)

Tiap-tiap unit tersembunyi (hj, j = 1, 2, 3, …, p) memperbaiki bias dan

bobotnya (i = 0, 1, 2, …, n) :

vij (baru) = vij (lama) + ∆vij (36)

b1j (baru) = b1j (lama) + ∆b1j (37)

g. Hitung MSE

Model terbaik pada proses pembelajaran ini dicapai ketika nilai R² (koefisien determinasi) cukup besar, yaitu R² ≥ 0.5 dan jumlah iterasi serta kesuaian antara prakiraan dan target data observasi yang sudah mencapai konsistensi. Pembelajaran bisa diulang kembali dengan merubah nilai inisialisasi bobot sesuai keinginan untuk mendapatkan nilai R² yang lebih baik.

3.3.4 Validasi Model

Validasi model dilakukan dengan mengevaluasi Galat, Root Mean Square Error (RMSE), dan Kesalahan relatif antara luaran prakiraan dari model dan observasi sepanjang 5 tahun (2003-2007) pada 4 ZOM.

Galat dan Kesalahan Relatif

Hubungan antara nilai observasi, nilai prakiraan dan kesalahan dapat direpresentasikan dalam bentuk berikut:

p = p* + Ee (38)

dengan :

p = nilai observasi p* = nilai prakiraan

Ee = kesalahan (galat) terhadap nilai prakiraan

Indeks e adalah galat dibandingkan nilai observasi, sehingga dapat disimpulkan bahwa galat adalah perbedaan antara nilai prakiraan dan nilai observasi, yaitu:

Ee = p – p* (39)

Sedangkan kesalahan relatif, yaitu besarnya tingkat galat dengan membandingkan kesalahan yang terjadi dengan nilai observasi

εe =

p Ee

(40)

(45)

26

Kesalahan relatif sering diberikan dalam bentuk persen seperti berikut ini:

εe =

p Ee

x 100 % (41) Rata–rata kuadrat kesalahan (MSE) merupakan nilai rata–rata dari jumlah kuadrat kesalahan, RMSE adalah akar pangkat dua dari MSE yang dihitung dengan menggunakan persamaan :

MSE=

= n i j i e =1/n ( pi)2 n i j oi Y Y

= (42) RMSE = MSE (43) dengan :

e = galat pada periode ke– i (i i=1,2,L,n) Yoi = observasi pada periode ke– i (i=1,2,L,n) Ypi = hasil prakiraan periode ke– i ( i=1,2,L,n) n = panjang periode prakiraan.

Semakin kecil nilai RMSE semakin bagus hasil prakiraan karena tingkat kesalahan yang minim dapat meningkatkan tingkat akurasi prakiraan.

(46)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Korelasi Curah Hujan Bulanan dengan SML Tenggang 1 Bulan di 4 ZOM

Berdasarkan hasil analisa korelasi antara data SML bulanan dengan data curah hujan bulanan dengan lead +1 bulan selama periode 1979 – 2007 di wilayah ke 4 ZOM diperoleh domain yang mempunyai r yang cukup besar (Gambar 11, 12, 13 dan 14). Wilayah tersebut dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil korelasi (R) yang baik ditunjukkan pada domain dengan luasan SML untuk 4 ZOM adalah pada kotak grid L4, M4, N4, O4, P4, N5, O5, dan P5 dengan nilai 0,57 ≤ r ≤ 0, 63.

(47)

28

Gambar 12 Peta korelasi SML dengan curah hujan bulanan pada ZOM 43

(48)

Gambar 14 Peta korelasi SML dengan curah hujan bulanan pada ZOM 90 Tabel 5 Nilai r dan indeks kotak grid SML di 4 ZOM

ZOM 30 ZOM 43 ZOM 88 ZOM 90

r Kotak Grid r Kotak Grid r Kotak Grid r Kotak Grid 0,53 N5 0,59 M4 0,61 M4 0,62 L4 0,53 N4 0,6 N4 0,62 O4 0,61 M4 0,59 M4 0,6 O4 0,63 N4 0,57 N4 0,6 O4 0,59 P4 0,62 P4 0,58 O4 0,59 P5 0,59 O5 0,63 P5 0,6 O5

4.2 Korelasi Curah Hujan Bulanan dengan OLR Tenggang 1 Bulan

di 4 ZOM

Hasil analisis korelasi antara antara data OLr bulanan dengan data curah hujan bulanan dengan lead +1 bulan selama periode 1979 – 2007 di wilayah ke 4 ZOM diperoleh domain yang mempunyai r yang cukup besar (Gambar 15, 16, 17 dan 18). Wilayah tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. Hasil korelasi (r) yang baik ditunjukkan pada domain dengan luasan OLr untuk 4 ZOM adalah pada kotak grid H5, H6, I5, I6, I7, dan J6 dengan nilai -0,76 ≤ r ≤ -0, 57.

(49)

30

Gambar 15 Peta korelasi OLR dengan curah hujan bulanan pada ZOM 30

(50)

Gambar 17 Peta korelasi OLR dengan curah hujan bulanan pada ZOM 88

(51)

32

Tabel 6 Nilai r dan indeks kotak grid OLR di 4 ZOM

ZOM 30 ZOM 43 ZOM 88 ZOM 90

r Kotak

Grid r Kotak Grid r Kotak Grid r Kotak Grid

-0,63 H6 -0,76 H6 -0,65 H6 -0,69 H6

-0,58 H5 -0,68 H5 -0,61 H5 -0,65 H5

-0,58 I6 -0,74 I6 -0,67 I6 -0,71 I5

-0,63 I5 -0,74 G6 -0,68 I5 -0,68 I7

-0,57 J6 -0,57 J6 -0,61 J6 -0,61 I6

4.3 Proses Reduksi Variabel Input

4.3.1 Proses Mereduksi Variabel Input untuk Prakiraan di ZOM 30

Setelah mendapatkan nilai korelasi antara SML dan OLR dengan curah hujan bulanan, kemudian mengekstrak 5 data kotak grid SML dan 5 data kotak grid OLR dengan r terbesar dari area tersebut (Tabel 5 dan 6 ). Kesepuluh data grid tersebut dijadikan sebagai input atau prediktor JST, kemudian dilakukan korelasi kembali antar prediktor. Hasil analisis tertera pada lampiran 1. Nilai r yang diperoleh cukup besar (r ≥ 0,6), sehingga kesepuluh data tersebut harus direduksi karena terjadi multikolinieritas.

Pereduksian ke sepuluh data tersebut dilakukan dengan AKU, sehingga. diperoleh 10 akarciri (Lampiran 2). Pada gambar tersebut tampak bahwa mulai dari komponen ke 3, kurva mulai mendatar. Dengan mengektraksi 2 komponen saja jumlah ke duanya sudah diatas 0,98. Oleh karenanya dengan 2 komponen tersebut dapat dijadikan sebagai input JST untuk memprakirakan curah hujan bulanan.

4.3.2 Proses Mereduksi Variabel Input untuk Prakiraan di ZOM 43

Tahapan yang sama dalam mereduksi data input dilakukan pula di ZOM 43, setelah mendapatkan nilai korelasi antara SML dengan curah hujan bulanan, kemudian mengekstrak 5 data grid SML dan 5 data grid OLR dengan r terbesar (Tabel 5 dan 6). Kesepuluh data grid tersebut akan dijadikan sebagai input atau prediktor JST. Hasilnya analisis seperti yang ada tabel 2 lampiran 1. Nilai r yang diperoleh cukup besar (r ≥ 0,7), sehingga kesepuluh data tersebut harus direduksi, karena terjadi multikolinieritas.

(52)

Hasil pereduksian memperoleh nilai 10 akarciri (Lampiran 2). Pada gambar tersebut tampak bahwa mulai dari komponen ke 3, kurva mulai mendatar. Dengan mengektrasi 2 komponen ke duanya sudah diatas 0,989.

4.3.3 Proses Mereduksi Variabel Input untuk Prakiraan Di ZOM 88

Demikian pula untuk ZOM 88, setelah mendapatkan nilai korelasi antara SML dengan curah hujan bulanan, kemudian mengekstrak 5 data grid SML dan 5 data grid OLR dengan r terbesar (Tabel 5 dan 6). Kesepuluh data grid tersebut akan dijadikan sebagai input atau prediktor JST. Hasil analisis seperti yang ada di lampiran 1. Nilai r yang diperoleh cukup besar (r ≥ 0,77), sehingga kesepuluh data tersebut harus direduksi, karena terjadi multikolinieritas.

Perolehan 10 akarciri ( Lampiran 2). Pada gambar tersebut tampak bahwa mulai dari komponen ke 3, kurva mulai mendatar. Dengan mengektrasi 2 komponen ke duanya sudah diatas 0,987. Oleh karenanya dengan 2 komponen tersebut dapat dijadikan sebagai input JST untuk memprakirakan curah hujan bulanan di ZOM 88.

4.3.4 Proses Mereduksi Variabel Input Untuk Prakiraan Di ZOM 90

Pada ZOM 90 tahapan dalam mereduksi data juga dimulai dengan menghitung nilai korelasi antara SML dengan curah hujan bulanan, kemudian diektrak dan mendapatkan 5 data grid SML dan 5 data grid OLR dari Tabel 5 dan 6. Kesepuluh data grid tersebut akan dijadikan sebagai input atau prediktor JST. Hasilnya analisis seperti yang ada lampiran 1. Nilai r yang diperoleh cukup besar (r ≥ 0,77), sehingga kesepuluh data tersebut harus direduksi, karena terjadi multikolinieritas.

Pereduksian kesepuluh data tersebut dilakukan dengan AKU. Sehingga diperoleh nilai 10 akarciri (Lampiran 2). Pada gambar tersebut tampak bahwa mulai dari komponen ke 3, kurva mulai mendatar. Dengan mengektrasi 2 komponen ke duanya sudah diatas 0,987

(53)

34

4.4 Pelatihan Model JST untuk Prakiraan Curah Hujan Bulanan di 4 ZOM 4.4.1 Pelatihan Model JST di ZOM 30

Dalam memprakirakan curah hujan bulanan tahun 2003 - 2007 dengan JST, model melakukan pembelajaran (pelatihan) data tahun 1979 hingga 2002. Input yang digunakan adalah 2 komponen sebagai prediktor dan curah hujan bulanan lead +1 bulan sebagai target. Iterasi dihentikan ketika model menghasilkan 12 lapisan tersembunyi dengan 16 bobot yang nilainya -1,8 hingga 1,9. Hasil akhir proses pelatihan JST ketika membandingkan nilai Mean Square Error (MSE) diperoleh nilai R²= 0,63 dan nilai korelasi (r) antara curah hujan bulanan observasi dengan prakiraan model nilainya 0,8 (Gambar 19).

 P R AK IR AAN VS  OB S E R V AS I UNT UK  P E L AT IHAN  DAT A  di ZOM 30 0 100 200 300 400 500 0 100 200 obse rva si300 400 500 p rak ir aan A c tual F orec as ted

Gambar 19 Plot Observasi vs Prakiraan curah hujan bulanan (1979 – 2002) di ZOM 30

4.4.2 Pelatihan Model JST di ZOM 43

Untuk memprakirakan curah hujan bulanan tahun 2003 - 2007 dengan JST, dilakukan langkah yang sama dengan ZOM 30. Iterasi dihentikan ketika model menghasilkan 13 lapisan tersembunyi dengan 17 bobot yang nilainya 1 hingga 1,7. Hasil akhir proses pelatihan JST ketika membandingkan nilai Mean Square Error (MSE) diperoleh nilai R² = 0,6 dan nilai korelasi (r) antara curah hujan bulanan observasi dengan prakiraan model nilainya 0,8 (Gambar 20).

(54)

.

P R AK IR AAN V S  OB S E R V AS I UNT UK  P E L AT IHAN DAT A  di ZOM 43 0 100 200 300 400 500 600 700 0 200 400 600 obse rva si p rak ir aan A c tual F orec as ted

Gambar 20 Plot Observasi vs Prakiraan curah hujan bulanan (1979 – 2002) di ZOM 43

4.4.3 Pelatihan Model JST di ZOM 88

Prakiraan curah hujan bulanan pada ZOM 88, iterasi dihentikan ketika model menghasilkan 16 lapisan tersembunyi dengan 23 bobot yang nilainya -3,3 hingga 3,6. Hasil akhir proses pelatihan JST mendapatkan nilai R² = 0,76 dan nilai korelasi (r) antara curah hujan bulanan aktual dengan model prakiraan nilainya 0,88 (Gambar 21).

P R AK IR AAN VS  OB S E R VAS I UNT UK  P E L AT IHAN DAT A  di ZOM 88 0 100 200 300 400 0 100 200 300 400 obse rva si p rak ir aan A c tual F orec as ted

Gambar 21 Plot prakiraan vs observasi curah hujan bulanan (1979 – 2002) di ZOM 88

(55)

36

4.4.4 Pelatihan Model JST di ZOM 90

Prakiraan curah hujan bulanan tahun 2003-2007, iterasi dihentikan ketika model menghasilkan 20 lapisan tersembunyi dengan 24 bobot yang nilainya -4 hingga 3,6. Hasil akhir proses pelatihan JST ketika membandingkan nilai Mean Square Error (MSE) diperoleh R² = 0,69 dan nilai korelasi (r) antara curah hujan bulanan observasi dengan prakiraan nilainya 0,85 (Gambar 22).

P R AK IR AAN V S  OB S E R V AS I UNT UK  P E L AT IHAN DAT A  di ZOM 90 0 100 200 300 400 500 0 200 400 obse rva si p rak ir aa n A c tual F orec as ted

Gambar 22 Plot prakiraan vs observasi curah hujan bulanan (1979 – 2002) di ZOM 90

4. 5 Hasil Prakiraan JST dan Evaluasi Curah Hujan Bulanan di 4 ZOM 4.5.1 Luaran Model JST dan Evaluasi Curah Hujan Bulanan di ZOM 30

Setelah model melakukan pelatihan, dan model menjalankan prakiraan cuarah hujan bulanan selama 5 tahun (2003 – 2007) dengan masukan data hasil reduksi, dengan target curah hujan bulanan dengan lead +1. Hasil luaran model dapat dilihat pada Tabel 7. Untuk mengetahui tingkat akurasi model JST, adalah didasarkan pada galat, RMSE, dan kesalahan relatif setiap tahunnya. Dengan mengkomposisikan luaran model JST dengan data observasi seperti Gambar 23, akan dapat diketahui pola atau variabilitas antara model dan observasi..

Tabel 8 menunjukkan nilai Galat, dan data observasi selama periode prakiraan dibuat, sedangkan nilai RMSE dari hasil prakiraan dapat dilihat pada

(56)

Gambar 24. Kesalahan relatif dari luaran model JST sepanjang periode 2003 – 2007 di ZOM 30 ditunjukkan dengan Gambar 25.

Tabel 7 Prakiraan curah hujan bulanan dengan Model JST di ZOM 30 periode 2003 – 2007 (mm)

TH/BL Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des 2003 319 208 220 214 45 81 28 63 63 67 123 181

2004 140 182 200 493 90 129 55 27 26 165 56 466

2005 136 343 221 280 64 33 88 70 141 126 76 30

2006 78 290 181 131 114 87 83 38 27 11 97 56

2007 146 110 257 114 133 42 9 34 32 107 294 208

PRAKIRAAN ( M ODEL JST) VS OBSERVASI CH BULANAN 2003 - 2007 DI ZOM 30 0 100 200 300 400 500 600 2003 2004 200 5 2006 2207 TAHUN mm OBSERVASI PRAKIRAAN

Gambar 23 Luaran prakiraan vs data observasi curah hujan bulanan di ZOM 30

Tabel 8 Nilai observasi dan Galat prakiraan curah hujan bulanan ZOM 30 (mm)

2003 2004 2005 2006 2007 Bln

Obs Galat Obs Galat Obs Galat Obs Galat Obs Galat Jan 92 227 164 -24 332 -196 285 -207 133 13 Feb 440 -232 407 -225 356 -13 265 25 542 -432 Mar 115 105 185 15 287 -66 278 -97 134 123 Apr 51 164 202 291 79 201 178 -47 130 -15 Mei 52 -7 90 0 52 12 47 67 80 53 Jun 5 76 24 106 131 -98 31 55 105 -63 Jul 17 11 52 3 108 -20 32 51 31 -23 Agt 2 61 3 24 46 24 63 21 43 -29 Sep 41 22 15 10 50 92 0 27 35 -3 Okt 151 -85 45 120 140 -13 2 9 25 82 Nop 146 -23 88 -32 72 4 19 78 75 219 Des 363 -181 214 253 78 -48 145 -89 363 155

(57)

38

NILAI RMSE UNTUK PRAKIRAAN di ZOM 30 (2003 - 2007) 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 2003 2004 2005 2006 2007 TAHUN MM RMSE

Gambar 24 Nilai RMSE dari luaran JST selama 2003-2007 di ZOM 30

KESALAHAN RELATIF PRAKIRAAN TERHADAP OBSERVASI (%) di ZOM 30 (2003-2007) -500 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des

Bulan

%

2003 2004 2005 2006 2007

Gambar 25 Pola kesalahan relatif dari prakiraan JST selama 2003-2007 di ZOM 30

4 .5.2 Luaran Model JST dan Evaluasi Curah Hujan Bulanan di ZOM 43

Setelah model melakukan pelatihan untuk ZOM 43, dan model menjalankan prakiraan bulanan selama 5 tahun (2003 – 2007) dengan masukan data hasil reduksi dan target curah hujan bulanan dengan lead +1. Hasil luaran model dapat dilihat pada Tabel 9. Tingkat akurasi luaran model JST dalam memprakirakan curah hujan bulanan di ZOM 43, selama periode 2003 – 2007 dapat dianalisis dengan komposisi grafik prakiraan dengan data observasi (Gambar 26). Nilai galat prakiraan dan data observasi di ZOM 43 ditunjukkan pada Tabel 10. Nilai RMSE dan kesalahan relatif dari luaran model JST ditunjukkan pada Gambar 27 dan 28.

Gambar

Gambar 1  Rata-rata curah hujan bulanan  ZOM 30  Tabel 1  Rata-rata curah hujan bulanan ZOM 30
Gambar 4 Rata-rata curah hujan bulanan  ZOM 90  Tabel 4 Rata-rata curah hujan bulanan ZOM 90
Gambar 9 Diagram alir penelitian   Keterangan:
Gambar 10 Arsitektur Backpropagation untuk prakiraan curah hujan bulanan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dilarang membunuh orang-orang lemah (wanita, anak-anak, orang tua). Nabi Muhammad selalu senantiasa mewasiatkan kepada para panglima perang untuk bertakwa dan merasa

Selain sifat-sifat tersebut, padi-padi gogo lokal yang digunakan pada penelitian ini pada umumnya memiliki ketahanan lapang yang baik terhadap serangan penyakit blas serta

Hasil pengujian koefesien determinasi untuk hipotesis kedua dapat disimpulkan korelasi antara Intellectual Capital (VAIC) dengan Net Profit Margin (NPM) adalah sebesar 0,543

Peranan p o lit ik h uku m d alam pengembangan ekonomi syariah harus dilihat secara inte- gral, karena masing-masing unsur bersifat komplementer dan berada dalam suatu

Tanjung Pandan Tanjung Pandan BKP Kelas II Pangkal Pinang 26.. Panjang Bandar Lampung BKP Kelas I Bandar

Segala hormat, puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan penyertaan yang telah diberikan kepada kami, sehingga skripsi kami yang

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan tambahan informasi mengenai pengaruh dimensi kualitas pelayanan terhadap loyalitas pelanggan dalam perusahaan yang

Profil pasien psoriasis vulgaris di poliklinik kulit dan kelamin.