Al-Tadabbur: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
P-ISSN: 2406-9582 E-ISSN: 2581-2564 DOI: 10.30868/at.v6i01.1308
Menakar Nilai Kritis Fakruddin Al-Razi
dalam Tafsir Mafatih Al-Ghayb
Muhammad Nurman1 Syafruddin2 1IAIN Takengon
2UIN Imam Bonjol Padang
muhammadnurman@iaintakengon.ac.id syafruddin@uinib.ac.id
ABSTRACT
The Mafatih al-Ghayb Interpretation by Fakruddin al-Razi has been in spotlight among the Islamic scholars which raises pros and cons regarding its validity as an interpretation. This issue occured because Fakruddin al-Razi’s focus and way of presenting his interpretation is quite different compared to his predessesors. On the other hand, he seems to neglect his main focus in criticizing the thought of Mu’tazilah– one of famous sect in his period due to the broad exposure. Consequently, The Mafatih al-Ghayb Interpretation is known to be very trustworthy in quoting the opposing opinions, however it is blunt in its critical values.
Keywords: mafatih al-ghayb; fakruddin al-razi; kalam; mu’tazilah
ABSTRAK
Tafsir Mafatih al-Ghayb karya Fakruddin al-Razi menjadi sorotan di kalangan ulama yang menimbulkan pro dan kontra terkait keabsahannya sebagai tafsir. Isu ini terjadi karena fokus dan cara Fakruddin al-Razi dalam menyajikan tafsirnya cukup berbeda dengan para pendahulunya. Di sisi lain, ia tampaknya mengabaikan fokus utamanya dalam mengkritik pemikiran Mu'tazilah—salah satu sekte terkenal di masanya karena paparannya yang luas. Oleh karena itu, Tafsir Mafatih al-Ghayb dikenal sangat terpercaya dalam mengutip pendapat-pendapat yang bertentangan, namun tumpul dalam nilai kritisnya.
Menakar Nilai Kritis Fakruddin ...
54
A. PENDAHULUAN
Tulisan ini membahas tentang nilai kritis para ulama terhadap tafsir Mafatih
Ghayb yang ditulis oleh Fakruddin
al-Razi. Terdapat dua kritikan yang sangat termasyhur ketika membahas bukut tafsir ini: Pertama: Pandangan Ibn Taimiyyah tentang Tafsir Mafatih
al-Ghayb:
ريسفتلا لاإ ءيش لك هيف
“Di dalam (Tafsir Mafatih al-Ghayb) ada segala hal kecuali tafsir.”1
Kritikan ini adalah kritikan yang sangat masyhur, ketika membaca penilaian para Ulama tentang Tafsir
Mafatih al-Ghayb. Namun penulis tidak
menemukan pernyataan Ibn Taimiyyah ini dalam buku-bukunya, bahkan Ibn Hajar sendiri mengutip dengan pernyataan “ليق”. Hal yang sama ditemukan dalam karya lain:
“Fakhruddin al-Razi dalam
tafsirnya mengimpun beberapa
perkara secara banyak dan
panjang, yang tidak dibutuhkan dalam Ilmu Tafsir. Oleh karena itu sebagian ulama menyatakan bahwa
1 Al-Hafiz Ahmad bin Ali bin Hajar
‘Asqalani. (t.t.). Lisan Mizan. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah. Vol. 4. hlm. 505.
2 Muhammad Husain Al-Dzahabi. (2005). Al-Tafsir wa Al-Mufassirun. Cairo: Dar
al-Hadis. Vol. 1. hlm. 253.
di dalam tafsirnya terdapat segala
hal kecuali tafsir”.2
Abu Hayyan memberikan contoh ketika Fakhruddin al-Razi membahas lafaz Allah secara Ilmu Nahwu, apakah
alif pada lafaz Allah berasal dari ya’ atau waw. Kemudian Fakhruddin al-Razi
mengalihkan pembicaraan kepada permasalahan kalam lafaz Allah, tentang apa yang wajib, boleh dan mustahil bagi-Nya.3
Sedangkan kritikan kedua bersumber dari Ibn Hajar setelah mengutip kritikan pertama:
Sebagian Ulama Maroko berkata: Fakhruddin al-Razi mengutip syubhat
secara kontan/totalitas dan
menjawabnya secara kredit/ tidak
terperinci.4
Muhammad Husain al-Dzahabi memberikan sebuah prolog sebelum mengutip pendapat Ibn Hajar di atas, bahwa Fakhruddin al-Razi tidak meninggalkan satu kesempatan pun tanpa mengutarakan pandangan dan pendapat dari mazhab Mu’tazilah lalu mengkritiknya. Namun, kritikan ini
3 Abu Hayyan. (1993). Al-Bahr Al-Muhit.
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah. Vol. 1. hlm. 511.
4 Ibn Hajar, Lisan al-Mizan, Vol. 4, hlm.
dianggap sebagian orang tidak cukup dan tidak dapat diterima.5
“Fakhruddin al-Razi
didiskreditkan karena memasukkan
syubhat dengan hebat/tegas, namun
lemah dalam
menganalisa/membedahnya, sehingga
sebagian Ulama Maroko mengatakan: Fakhruddin al-Razi mengutip syubhat secara kontan dan menjawabnya secara kredit”.6
Syubhat yang yang dimaksud oleh
Ibn Hajar dalam kritikannya, di antaranya adalah yang berkaitan dengan pemikiran-pemikiran kalam dan filsafat.7 Bahkan sebagian ulama mengubungkan kritikan ini dengan pandangan Fakhruddin al-Razi terhadap Mu’tazilah.8 Karena Fakhruddin al-Razi dalam tafsirnya sangat loyal dalam mengutarakan penafsiran-penafsiran Mu’tazilah.
Fakhruddin al-Razi menyebutkan alasan banyaknya pengutipan penafsiran Mu’tazilah:
“Janganlah seseorang mencela kami sehingga berkata bahwa kamu
5 Muhammad Husain Al-Dzahabi. (2005).
Vol. 1. hlm. 252.
6 Muhammad Husain Al-Dzahabi. (2005).
hlm. 251.
7 Ibn Hajar mengutip pendapat ini dari
Thufi, lebih lanjut lihat Ibn Hajar, Lisan
al-Mizan, Vol. 4, hlm. 505.
(Fakhruddin al-Razi)
mengulang-ngulang aspek-aspek ini pada setiap tempat. Kami akan menjawab; bahwa orang-orang Mu’tazilah memiliki aspek-aspek tertentu dalam mentakwil ayat-ayat tentang pembalasan dan mereka mengulang-ngulanginya pada setiap ayat, maka kami juga mengulang-ulang
jawabannya pada setiap ayat”9
Pemaparan di atas menjelaskan hubungan yang sangat akrab antara Tafsir Mafatih al-Ghayb dengan penafsiran Mu’tazilah, terutama dalam membahas hal-hal yang bersifat Ilmu Kalam. Di sisi lain, Mu’tazilah adalah salah satu aliran kalam yang terkemuka pada waktu itu. Banyak diantara ulamanya menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan pemikiran Mu’tazilah dan mengkritisi pemikiran yang berseberangan seperti Murjiah, Qadariyyah dan yang lainnya.
Fakhruddin al-Razi dalam tafsirnya memang menempuh jalan berbeda dengan pendahulunya, yang dilakukan adalah seperti sebuah transformasi tafsir, karena dalam tafsir tersebut 8 Muhammad Husain Al-Dzahabi. (2005).
Vol. 1. hlm. 252.
9 Fakhruddin Razi. (2003). Tafsir Al-Kabir aw Mafatih Al-Ghayb. Cairo: al-Maktabah
al-Taufiqiyyah. hlm. 121; Muhammad Salih Zarkan. (t.t.). Fakhruddin Razi wa Arauh
Al-Kalamiyyah wa Al-Falsafiyyah. Beirut: Dar
Menakar Nilai Kritis Fakruddin ...
56
menggabungkan hal yang bersifat kalam dengan Filsafat dan Mantik.10 Maka penulisan Tafsir Mafatih al-Ghayb tidak terlepas dari pengalaman dan panggilan jiwa, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat karena kurang relevannya hasil penafsiran ulama sebelumnya. Fakhruddin al-Razi berpendapat bahwa penulisan Tafsir Mafatih al-Ghayb menunjukkan bahwa metode Mu’tazilah tidak bisa mencapai kepada tujuan al-Qur’an, di mana orientasi penafsiran hanya berputar dalam ruang lingkup linguistik.11
Tulisan ini akan menitik fokuskan pada kritikan kedua terhadap Tafsir
Mafatih} Ghayb karya Fakhruddin
al-Razi. Di mana kritikan ini belum secara rinci dengan memberikan contoh-contoh yang sesuai. Sehingga dapat diketahui bahwa ini adalah kekurangan dari buku tafsir ini. Oleh karena itu penulis merasa tulisan ini sangat penting, karena penulis akan memaparkan beberapa penafsiran Fakhruddin al-Razi yang dikutip dari penafsiran Mu’tazilah, karena
10 ‘Abd al-Fattah Lasyin. (t.t.). Balagah Al-Qur’an fi Asar Al-Qadhi ‘Abd Al-Jabbar. Cairo:
Matba’ah Dar al-Qur’an. hlm. 727.
11 Ibn ‘Asyur. (1970). Al-Tafsir wa Rijaluh.
Cairo: Majma’ al-Buhus| al-Islamiyyah. hlm. 72.
12 Metode Tahlili berusaha menjelaskan
kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai aspek, sesuai dengan pandangan dan
Mu’tazilah mendapat porsi terbesar dalam tafsir ini. Lalu menganalisa keabsahan kritik yang disematkan, yaitu totalitas dalam mengutip, lemah dalam mengkritik.
B. METODE
Metode yang ditempuh dalam penulisan tafsir ini adalah dengan metode Tahlili/Analisis,12 di mana Fakhruddin al-Razi menuliskan tafsir dengan analisa dan terperinci sesuai dengan susunan al-Qur’an. Penjabaran di sini melalui analisa Usul Fiqh, Fiqh, Ilmu Kalam, Bahasa, Sastra, Ilmu Alam, Ilmu Pasti dan yang lainnya. Banyak juga pemaparan tentang pemikiran yang menyimpang dari aliran pemikiran yang berseberangan, dengan tujuan untuk mengkritisinya.13
Sedangkan corak penafsirannya adalah tafsir bi ra’yi, di mana penggunaan rasio lebih banyak dibandingkan penukilan dan periwayatan. Jika al-Thabari dan tafsirnya dikenal sebagai eksiklopedi
kecenderungan mufassir. Aspek yang disajikan berupa makna kosakata ayat, menjelaskan munasabah, hukum yang dapat ditarik, aspek bahasa dan sastranya. Lebih lanjut lihat, M. Qurais Sihab. (2015). Kaidah Tafsir. Tangerang: Lentera Hati. hlm. 378.
tafsir bersifat periwayatan dan penukilan, maka Fakhruddin al-Razi dikenal sebagai eksiklopedi tafsir dalam rasio dan pemikiran/logika.14
C. TINJAUAN PUSTAKA
1. Biografi Fakhruddin al-Razi dan Perjalanan Akademisnya
Fakhruddin al-Razi hidup dari keluarga ulama, bapak beliau adalah
14 Salah ‘Abd al-Fattah al-Khalidi. (2008). Ta’rif Al-Darisin bi Manahij Al-Mufassirin.
Damaskus: Dar al-Qalam. hlm. 475.
15 ‘Abd al-Wahhab bin Ali bin ‘Abd al-Kafi
Subki. (1964). Thabaqat Syafi’iyyah
al-Kubra. Cairo: Faisal Isa al-Babi al-Halabi. hlm.
242.
16 Ihsan Abbas dalam mentahqiq mengedit
buku Wafayat A’yan wa Anba’ Abna’
al-Zaman menyebutkan bahwa panggilannya
adalah Abu Al-Fadl, hal ini dipertegas oleh Ibn al-Atsir. Namun, Muhammad Salih Al-Zarkan menegaskan bahwa Abu Al-Fadl adalah panggilan bagi Al-Razi Al-Hanafi. Hal ini berbeda dengan pernyataan Hatim bin ‘Abid bin Abdullah, ketika mentahqiq Mabahis Al-Tafsir karya Ahmad bin Muhammad bin Al-Muzhaffar Al-Razi. Beliau menyebutkan bahwa panggilannya adalah Abu Al-Fadail, bukan Abu Fadl. Sedangkan dalam Bidayah wa
Al-Nihayah disebutkan dua panggilan yaitu Abu
Abdillah dan Abu Al-Ma’ali. Lebih lanjut lihat Abu Al-Abbas Syams Al-Din Ahmad bin Muhammad bin Abu Bakar bin Khalkan. (2000).
Wafayat al-A’yan wa Anba’ Abna’ Al-Zaman.
Beirut: Dar Al-Sadir. hlm. 248; Al-Zarkan,
Fakhruddin al-Razi…, h, 13; Abu al-Hasan Ali
bin Abu al-Kiram Muhammad bin Muhammad [selanjutnya disebut Ibn al-Atsir. (1987).
Al-Kamil fi Al-Tarikh. Beirut: Dar Kutub
al-Ilmiyyah. hlm. 350; Ismail bin Umar bin Katsir. (1997). Al-Bidayah wa Al-nihayah. Dar al-Hajar. hlm. 11; Ahmad bin Muhammad bin Al-Muzhaffar Al-Razi. (2009). Mabahis Al-Tafsir. Riyad: Kunuz Isybiliya. hlm. 21.
17 Khair Al-Din Al-Zirikli menuliskan
bahwa kakek Fakhruddin Razi adalah Al-Hasan (cucu Nabi Muhammad), hal yang sama dinyatakan oleh Umar ‘Abd Al-Salam Tadmuri
seorang ulama terkenal dengan gelar
Diya’ al-Din atau Khatib al-Ray.15 Nama
lengkap Fakhruddin al-Razi adalah Abu Abdillah,16 Muhammad bin Umar bin al-Husein17 bin al-Hasan bin Ali al-Taymi18 al-Bakari19, keluarganya berasal dari Tibristan dan beliau lahir di kota al-Ray20. Lebih dikenal dengan gelar
ketika mentahqiq buku Tarikh Al-Islam wa
Wafayat Al-Masyahir wa Al-A’lam. Namun,
Fakhruddin Al-Razi menyebutkan langsung dalam Tafsir Mafatih Al-Ghayb bahwa kakeknya adalah Al-Husein. Khair Al-Din Al-Zirikli. (2002). Al-A’lam: Qamus Tarajum. Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin. hlm. 313; Syams Al-Din Muhammad bin Ahmad bin Utsman Al-Dzahabi. (1990). Tarikh Islam wa Wafayat
Al-Masyahir wa Al-A’lam. Beirut: Dar Kitab
al-‘Arabi. hlm. 211; Fakhruddin Al-Razi. (2003). hlm.166; vol 20, hlm. 119.
18 Beberapa penerbit yang mencetak Tafsir Mafatih al-Ghayb keliru dalam menuliskan
penisbatan nama ini. Seperti Maktabah al-Taufiqiyyah cetakan tahun 2003, yang menjadi referensi penulis, menuliskan “al-Tamimi”, begitu juga dengan Dar al-Kutub al-Ilmiyyah cetakan tahun 2000.
19 Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuti
menyebutkan bahwa silsilah keturunan Fakhruddin al-Razi bersambung kepada Abu Bakar al-Siddiq. Lebih lanjut lihat Suyuti. (1976). Thabaqat al-Mufassirin. Kairo: Maktabah Wahbah. hlm. 115.
20 Al-Ray dalam bahasa Persia bermakna
sapi muda, karena Raja Keykhasru bin Siyawisy menggunakan jasa sapi untuk membangung kota, setelah kota berdiri, maka dinamakanlah kota tersebut dengan al-Ray. Kota ini terletak di barat daya kota Taheran, ibukota Iran. Para ulama juga banyak lahir di negeri ini, seperti Abu Hatim Razi seorang ulama ahli Tafsir, Abu Bakar al-Razi seorang ahli kedokteran, dan yang lainnya. Oleh karena itu, penulis memakai nama Fakhruddin Al-Razi, untuk membedakannya dengan ulama-ulama yang memiliki penisbatan yang sama. Lebih lanjut lihat Abu Hatim Al-Razi. (1997). Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azim.
Menakar Nilai Kritis Fakruddin ...
58
Fakhruddin al-Razi, Ibn al-Khatib,21 Al-Imam22 dan Syaikh Al-Islam23 lahir pada bulan Ramadhan24 tahun 544 H/1150 M25.26
Perawakan Fakhruddin Al-Razi adalah memiliki postur tubuh yang sedang, tubuh yang berisi, jenggot yang lebat, suara yang merdu, penuh wibawa dan sopan, memiliki harta yang melimpah, memiliki budak, dan pakaian yang bagus serta penampilan yang rapi. Beliau memiliki lima kelebihan yang tidak ada pada selainnya yaitu keluasan
Makkah: Maktabah Nazar Mustafa al-Baz. hlm. 7; Yaqut bin Abdullah Al-Hamawi. (1977). Mu’jam Al-Buldan. Beirut: Dar Sadir. hlm. 116; Rasyid Quqam. (2011).
Tafkir Falsafi Laday Fakhruddin
Al-Razi. Aljazair: Lembaga Penerbitan
Univesitas Aljazair. hlm. 11.
21 Ibn Katsir, al-Bidayah…, vol. 17, h. 11 22 Penyebutan al-Imam yang terdapat dalam
buku-buku kalam Asy’ari dan Usul Fiqh Syafi’i, adalah nama yang disematkan kepada Fakhruddin al-Razi. Lebih lanjut Ibn Katsir,
al-Bidayah…, vol. 17, hlm. 12; Al-Zarkan,
Fakhruddin al-Razi..., hlm. 15.
23 Gelar ini dikenal oleh masyarakat kota
al-Hirah. Al-Hirah adalah salah satu kota di Afganistan bagian barat laut, berbatasan dengan Iran. Dahulu kota ini termasuk wilayah Khurasan. Lebih lanjut lihat Muhammad al-Dzahabi. Tarikh..., vol. 43, h. 211; Ibn Khalkan,
Wafayat..., vol. 4, h. 250
24 Dalam beberapa riwayat disebutkan
bahwa Fakhruddin al-Razi lahir pada tanggal 25 Ramadhan 544 H. Sedangkan pendapat yang lain menyebutkan tanggal 15 Ramadhan/ 5 Februari atau pada akhir Ramadhan. Lebih lanjut lihat Ibn Khalkan, Wafayat..., vol. 4, h. 252; Al-Zarkan,
Fakhruddin al-Razi..., h. 16
25 Ibn al-Atsir dan Ibn Hajar berpendapat
bahwa Fakhruddin al-Razi lahir pada tahun 543 H/ 1149 M. Penulis lebih menguatkan pendapat
pandangan, ketenangan dalam berpikir, semangat dalam meneliti, ingatan yang kuat dan otak yang cerdas.27
Fakhruddin Al-Razi juga dikenal sebagai orang yang hafal buku Al-Syamil
fi ‘Ilm Kalam karya Imam
Haramain, al-Mustasfa karya Imam Gazali dan Mu’tamad karya Abu Al-Husain Al-Basri.28
Para ulama sepakat dalam penetapan tahun wafatnya yaitu pada tahun 606 H. Namun berbeda pendapat dalam penentuan hari dan tanggalnya.
yang menyatakan bahwa Fakhruddin al-Razi lahir pada tahun 544 H/ 1150 M. Hal ini dipertegas dengan pernyataan Fakhruddin al-Razi ketika menafsirkan Surat Yusuf ayat 42 bahwa beliau pada waktu itu telah masuk umur 57 tahun. Fakhruddin al-Razi menyelesaikan penulisan tafsir Surat Yusuf pada 7 Sya’ban tahun 601 H/ 30 Maret 1205 dan Surat Hud pada bulan Rajab tahun yang sama. Lebih lanjut lihat Ibn Al-Atsir, Al-Kamil…, vol. 11, hlm. 350; Ibn Hajar, Lisan al-Mizan, vol. 4, hlm. 505; Fakhruddin Al-Razi. Al-Tafsir al-Kabir…, vol. 18, hlm. 67, 119 dan 188; Al-Zirikli, al-A’lam…, vol. 6, hlm. 313; Al-Zarkan. hlm. 16.
26 Ibn Khalkan. hlm. 248.
27 Lebih lanjut lihat Muhammad
Al-Dzahabi, Tarikh..., vol. 43, hlm. 214; Al-Zirikli,
A’lam…, vol. 6, h. 313; Syihab Din Abu
al-Falah ‘Abd Al-Hay bin Ahmad bin Muhammad. (1986). Syazrat al-Zahab fi Akhbar Man Zahab. Beirut: Dar Ibn al-Katsir. hlm. 40; Salah Al-Din bin Aybek Al-Safadi. (2000). Kitab Al-Wafi bi
Al-Wafayat. Dar Ihya’ al-Turas al-‘Arabi. hlm.
176.
28 Bahkan dalam sebuah riwayat disebutkan
bahwa Fakhruddin Al-Razi tidak diizinkan untuk belajar Ilmu kalam sebelum mengafal dua belas ribu lembar. Lebih lanjut lihat lihat Ibn Khalkan,
Wafayat..., vol. 4, hlm. 250; Abdullah bin As’ad
bin Ali bin Sulaiman Al-Yafi’i. (1997). Mir-ah
Al-Jinan wa ‘Ibrah Al-Yaqzhan. Beirut: Dar
Sebagian riwayat menyebutkan bahwa hari wafatnya adalah pada 15 Ramadhan, sebagian lain menyatakan pada hari senin awal bulan Syawal dan riwayat terakhir pada bulan Dzulhijjah.29
Muhammad Husain Al-Dzahabi menyebutkan bahwa Fakhruddin Al-Razi meninggal karena diracun oleh golongan Karamiyyah, setelah terjadi perdebatan panjang sehingga melahirkan cacian dan pengkafiran.30 Namun Rasyid Quqam membantah hal ini, karena Fakhruddin Al-Razi diakhir hayatnya mengalami sakit yang berbulan-bulan dan masih menyempatkan diri untuk menuliskan wasiat.31 Maka tidak mungkin seseorang yang diracun memiliki waktu tenang dan lama untuk menulis wasiat. Pendapat yang lebih argumentatif bahwa Fakhruddin Al-Razi meninggal karena sakit yang tidak kunjung sembuh.
Fakhruddin Al-Razi meninggal di kota Al-Hirah, berita meninggalnya disembunyikan begitu juga dengan tempatnya. Karena dalam wasiatnya, Fakhruddin al-Razi khawatir terhadap perbuatan jahat orang yang dengki padanya.32
29 Al-Zarkan. hlm. 29.
30 Lebih lanjut lihat Al-Dzahabi. hlm. 249. 31 Rasyid Quqam. hlm. 43.
2. Pandangan Ulama terhadap Fakhruddin al-Razi.
Ibn Al-‘Imad menyebutkan bahwa Fakhruddin Al-Razi adalah seoarang yang ahli Fiqh Syafi’i, ahli tafsir dan pakar kalam.33 Syams al-Din al-Dzahabi mengomentari hadis nabi yang berbunyi:
ددجي نم الله ثعبي ...
Allah akan mengutus orang
yang akan
memperbarui...
Bahwa huruf man di sini bermakna plural bukan singular. Lalu dia memberikan contoh pada abad ketiga, ada Ibn Suraij dalam Fiqh, Al-Asy’ari dalam Usuluddin dan al-Nasai dalam Hadis. Sedangkan pada abad ke-enam ada Al-Hafizh ‘Abd Al-Ghani dalam Hadis dan Fakhruddin Al-Razi dalam Ilmu Kalam.34
‘Abd al-Muta’al al-Sa’idi menyebutkan sebuat bait syair:
ىزارلا ماملإا رخفلا سداسلاو ىزاوي هلثم ىعفارلاو
Pada abad ke-enam ada Imam
Fakhruddin al-Razi
Dan al-Rafi’i yang sejajar dengannya
32 Lebih lanjut lihat Rasyid Quqam. hlm.
43-44.
33 Ibn al-‘Imad. hlm. 40. 34 Al-Subki. hlm. 26.
Menakar Nilai Kritis Fakruddin ...
60
Al-Rafi’i hanya pakar dalam Fiqh saja, tidak sebanding dengan Fakhruddin al-Razi yang memiliki busur ilmu yang banyak. Sehingga dikenal sebagai Imam yang pakar dalam beberapa disiplin ilmu.35
Al-Yafi’i menyebutkan bahwa Fakhruddin al-Razi adalah seorang yang pakar Usul Fiqh, Ahli Kalam, Ahli Debat, Ahli Tafsir dan memiliki karya-karya yang sangat terkenal.36 Ketenaran Fakhruddin al-Razi dalam Tafsir, Fiqh dan Usul Fiqh tidak seperti dalam Ilmu Kalam dan Pemikiran. Namun, para Ulama sangat mengakui keahliannya bahkan dalam empat puluh disiplin ilmu.37
Al-Subki menyebutkan bahwa ketenaran Fakhruddin al-Razi dalam Ilmu Usul Fiqh sebanding dengan Imam al-Amidi, sebagaimana Khathib Dimasyq mengarang buku yang mengimpun dua metode Usul Fiqh antara Fakhruddin Razi dan Imam al-Amidi. Perbedaan metode keduanya di mana Fakhruddin al-Razi banyak memaparkan dalil dan argumen, sedangkan Imam al-Amidi lebih
35 Rasyid Quqam. hlm. 96. 36 Al-Yafi’i. hlm. 6. 37 Al-Zarkan. hlm. 111-112.
38 Abdurrahman bin Khaldun. (t.t.). Muqaddimah Ibn Khaldun. Iskandaria: Dar Ibn
Khaldun. hlm. 319.
condong dalam mengomentari pendapat-pendapat dalam mazhab.38
Ibn Khalkan menambahkan bahwa dalam majlis ilmu, Fakhruddin al-Razi bukanlah seperti seorang guru dengan muridnya, tapi lebih dari itu. Orang-orang yang ada disekelilingnya adalah pakar fiqh dan ahli pemikiran.39
Beberapa ulama yang sangat mengkritik Fakhruddin al-Razi adalah Ibn Taimiyyah, diantara kritikannya adalah bahwa Fakhruddin al-Razi tidak mengetahui atau tidak meruju langsung buku-buku ulama-ulama klasik dimasanya seperti Abu Hasan al-Asy’ari dan buku-buku Mu’tazilah lainnya. Begitu juga dengan pendapat-pendapat Fiqh, Hadis, Tasawuf, Tafsir dan yang lainnya, pernyataan Fakhruddin al-Razi tidaklah pasti dari sumbernya, begitu juga dengan perkataan Sahabat dan Tabi’in.40
Al-Zarkan menjawab kritikan Ibn Taimiyyah dengan pernyataan bahwa tidak adanya pengakuan Fakhruddin al-Razi terhadap buku yang menjadi reverensi, bukan berarti beliau tidak pernah membaca buku tersebut. Karena
39 Ibn Khalkan. hlm. 249-250.
40 Ibn Taimiyyah. (2001). Majmu’ah Al-Fatawa. Beirut: Dar al-Wafa’. hlm. 107.
mayoritas Ulama juga melakukan hal yang demikian. Dan jika Fakhruddin al-Razi tidak merujuk langsung buku-buku ulama klasik, bukan berarti menafikan keilmuannya. Karena banyak dari buku-buku ulama yang sudah hilang dan hanya tinggal lembara-lembarannya saja.41 3. Tafsir Mafatih al-Ghayb.
Para ulama menyebutkan bahwa nama tafsir Fakhruddin al-Razi yang menjadi penelitian adalah Mafatih
al-Ghayb , hal ini dapat ditemukan dalam
pernyataan al-Safadi42 dan Muhammad al-Dzahabi.43 Pengarang Kasyf
al-Zhunun ‘an Asam al-Kutub wa al-Funan
menegaskan bahwa nama buku adalah
Mafatih al-Ghayb namun lebih dikenal
dengan nama al-Tafsir al-Kabir.44 Abdullah Ma’ayil Ali Hadir al-Qahtani menyimpulkan bahwa nama buku adalah
Mafatih al-Ghayb dan sifat atau karakter
41 Al-Zarkan. hlm. 37-38
42 Muhammad Al-Dzahabi menyebutkan
nama lain tafsirnya yaitu al-Futuh. Lebih lanjut lihat Muhammad al-Dzahabi. hlm. 216.
43 Al-Safadi. hlm. 179; Bakar Abdullah Abu
Zayd. (1996). Mu’jam al-Manahi al-Lafziyyah. Arab Saudi: Dar al-‘Asimah. hlm. 525.
44 Mustafa bin Abdullah Haji Khalifah.
(t.t.). Kasyf Zhunun ‘an Asam Kutub wa
Al-Funun. Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi.
hlm. 1756.
45 Abdullah Ma’ayil Ali Hadhir Al-Qahtani.
(2014). Istinbat ‘Inda Imam Fakhr Al-Razi Min Khilal Tafsirih Mafatih Al-Ghayb. Tesis Universitas Umm al-Qura Arab Saudi. hlm. 44.
bukunya adalah al-Tafsir al-Kabir sesuai dengan ukurannya yang besar.45
Anfal binti Yahya Imam berpandangan berbeda, bahwa nama buku tafsir ini adalah al-Tafsir al-Kabir. Hal ini memang tidak dapat ditemukan dalam tafsirnya, sebagaimana tidak ada juga penamaan Mafatih al-Ghayb . Namun, jika diteliti dalam beberapa buku Fakhruddin al-Razi yang lain, akan ditemukan indikasi penamaan langsung dengan nama al-Tafsir al-Kabir.46 Beberapa Buku tersebut adalah
al-Ma’alim Usul al-Fiqh,47 Manaqib
al-Imam al-Syafi’i,48 Asas al-Taqdis,49
al-Arba’in fi Usul al-Din50 dan al-Matalib
al-‘Âliyah.51
Hal yang bukan menjadi kebiasaan bagi Fakhruddin al-Razi ketika menyebutkan nama bukunya dalam sebuah karyanya dengan menyebutkan karakteristik bukunya. Dalam penukilan 46 Anfal binti Yahya Imam. (2015). Mawqif Al-Razi min Al-Qada’ wa Al-Qadr; ‘ard wa naqd. Maktabah al-Imam al-Bukhari. hlm.
22-23.
47 Fakhruddin Al-Razi. (2004). Al-Ma’alim Usul Al-Fiqh. Cairo: al-Maktabah al-Azhariyyah
li al-Turas. hlm. 61.
48 Fakhruddin Al-Razi. (1986). Manaqib Al-Imam Al-Syafi’i. Cairo: Maktabah
al-Kulliyyat al-Azhariyyah. hlm. 193 dan 200.
49 Fakhruddin Al-Razi. (1993). Asas al-Taqdis. Beirut: Dar al-Fikr. hlm. 86.
50 Fakhruddin Al-Razi. (2004). Al-Arba’in fi Usul Al-Din. Beirut: Dar al-Jayl. hlm. 415.
51 Fakhruddin Razi. (1987). Matalib Al-‘Aliyah min Al-‘Ilm Al-Ilahi. Beirut: Dar
Menakar Nilai Kritis Fakruddin ...
62
ini, Fakhruddin al-Razi menyebutkan nama buku yang sebenarnya. Diantaranya adalah Asrar Tanzil,
al-Mulakhkhas, al-Mabahis
al-Masyriqiyyah, Syarh al-Isyara, al-Sirr
al-Maktum dan al-Matalib al-‘Âliyah.52
Al-Safadi menyatakan bahwa buku al-Tafsir al-Sagir adalah Asrar al-Tanzil
wa Anwar al-Tanzil, namun masih
banyak buku tafsir yang lebih kecil dari ini yaitu Tafsir Surah al-Ikhlas, Tafsir
Surah Musytamilah ‘ala al-Ilahiyyat aw Qul Huwa Allah Ahad, Tafsir Surah
al-Tin, dan yang lainnya.53
Karya-karya Fakhruddin Al-Razi dalam disiplin ilmu lain, yang memiliki sifat besar dan kecil adalah Ayat
al-Bayyinat, buku yang membahas tentang
ilmu kalam. Di sini, Fakhruddin Al-Razi tidak menyebutkan perbedaan nama. Dalam penelitiannya, Al-Zarkan menyatakan bahwa buku Gayat al-Âyat adalah syarh dari buku Âyat
al-Bayyinat kecil, sedangkan yang besar
terdiri dari sepuluh bab.54
Buku yang lain adalah Mantiq
al-Kabir, lanjutan dari buku al-Mulakhkhas fi al-Hikmah wa al-Mantiq. Di sini,
52 Anfal binti Yahya. hlm. 22-23. 53 Al-Zarkan. hlm. 62-67.
54 Buku lain adalah al-Thib al-Kabir dan Asrar al-Tanzil wa Anwar al-Ta’wil yang
dianggap sebagai Al-Tafsir Al-Sagir, kedua buku
Fakhruddin al-Razi menyebutkan nama asli bukunya, tidak ditemukan yang menyatakan bahwa buku Mulakhkhas fi
Hikmah wa Mantiq adalah
al-Mantiq al-Sagir.55
Penulis menyimpulkan bahwa nama buku tafsir ini ada dua yaitu: pertama,
al-Tafsir al-Kabir, penamaannya dengan
ini bukan karena karakteristik dari bukunya. Dan kedua, Mafatih al-Ghayb
, karena lebih terkenal dikalangan ulama
dengan nama Mafatih al-Ghayb . Maka tidak ada alasan untuk menafikan bahwa nama buku tafsir ini adalah Mafatih
al-Ghayb , sekalipun tidak pernah
disebutkan Fakhruddin al-Razi secara langsung.
4. Latar Belakang Penulisan Tafsir Mafâtîh al-Ghaib
Fakhruddin al-Razi menyebutkan alasan penulisan tafsir ini dalam awal bukunya. Pernah beberapa waktu lalu, terucap oleh mulutnya bahwa: Surat al-Fatihah yang mulia ini dapat digali manfaat dan intisarinya menjadi sepuluh ribu masalah. Hal ini tidak bisa ditemukan oleh orang yang dengki, orang bodoh dan orang zalim. Mereka hanya mampu mengarang sesuatu yang
ini ditulis dengan namanya, bukan karena karakteristikya. Lebih lanjut lihat Al-Zarkan. hlm. 76-78.
bersifat komentar yang tidak bermakna dan ungkapan yang tidak dapat diketahui kebenarannya. Maka ketika saya menulis tafsir ini, berfungsi sebagai peringatan dan pengingat atas ucapan saya bahwa ini merupakan hal yang mungkin dan bisa dicapai.56
‘Abd al-Fattah Lasyin menyatakan bahwa Fakhruddin al-Razi dalam kehidupan ilmiyahnya, sangat berambisi dalam mengkritisi pemikiran-permikiran yang berseberangan baik dalam Akidah dan Mazhab. Oleh karena itu, tafsir ini berperan sebagai sarana untuk mengkritisi pemikiran Mu’tazilah dan aliran pemikiran lainnya dalam menafsirkan ayat al-Qur’an. Hal ini semakin jelas, ketika beliau sangat berpanjang lebar dalam mendebat Mu’tazilah, bahkan menyebutkan
tokoh-56 Lebih lanjut lihat Fakhruddin Al-Razi.
hlm.17.
57 Lebih lanjut lihat ‘Abd al-Fattah Lâsyîn.
(t.t.). Balagah Al-Qur’an fi Atsari Al-Qadhi ‘Abd
Al-Jabbar. Cairo: Matba’ah Dar al-Qur’an. hlm.
728.
58 Hari Sabtu bulan Rajab tahun 601 H.
Lebih lanjut lihat Fakhruddin Al-Razi. hlm. 147.
59 Malam Senin bulan Rajab tahun 601 H,
Lebih lanjut lihat Fakhruddin Al-Razi. hlm. 67.
60 Hari Rabu tanggal tujuh Sya’ban tahun
601 H. Lebih lanjut lihat Fakhruddin Al-Razi. hlm. 188.
61 Hari Minggu tanggal delapan delas
Sya’ban tahun 601 H. Lebih lanjut lihat Fakhruddin Al-Razi. hlm. 58.
62 Hari Jumat terakhir bulan Sya’ban tahun
601. Lebih lanjut lihat Fakhruddin al-Razi. hlm. 124.
tokoh sentralnya seperti Jubbai, al-Qadhi ‘Abd al-Jabbar, Abu Hasyim, Abu Muslim dan yang lainnya.57
Fakhruddin al-Razi tidak menyebutkan secara jelas tahun awal mula dimulainya dan tahun akhir penulisan tafsir ini, sebagaimana kebiasaannya pada beberapa karya lainnya. Namun, ada beberapa Surat yang dituliskan waktu penyelesaian penulisannya. Seperti yang pertama ditulis adalah Surat Yunus58, kemudian Surat Hud59, Surat Yusuf60, Surat al-Ra’d61, Surat Ibrahim62 dan Surat al-Anfal63. Sedangkan Surat al-Isra’64 selesai sebelum Surat al-Taubah65 dan Surat al-Fath66 selesai sebelum Surat al-Ahqaf67.
Produktifitas Fakhruddin al-Razi dalam penulisan tafsir ini dimulai sejak
63 Hari Minggu bulan Ramadhan tahun 601
H. Lebih lanjut lihat Fakhruddin Al-Razi. (2003). Vol. 15. hlm. 176.
64 Hari Selasa waktu Zuhur menuju Asar
tanggal dua puluh bulan Muharram tahun 601 H. Lebih lanjut lihat Fakhruddin Al-Razi. (2003). Vol. 21. hlm. 66.
65 Hari Jumat tanggal 14 Ramadhan tahun
601 H. Lebih lanjut lihat Fakhruddin Al-Razi. (2003). Vol. 15. hlm. 205.
66 Hari Kamis tanggal tujuh belas bulan
Zulhijjah tahun 603 H. Lebih lanjut lihat Fakhruddin Al-Razi. (2003). Vol. 28. hlm. 99.
67 Hari RAbu tanggal dua puluh bulan
Zulhijjah tahun 603 H. Lebih lanjut lihat Fakhruddin Al-Razi. (2003). Vol. 28. hlm. 33.
Menakar Nilai Kritis Fakruddin ...
64
bulan Rajab sampai 14 Ramadhan tahun 601 H adalah 827 halaman, dengan asumsi 11 halaman setiap harinya. Ini baru tulisan beliau tentang tafsir, belum lagi dalam disiplin ilmu lainnya.
5. Pandangan Ulama terhadap Tafsir Mafatih al-Ghayb .
Ibn Taimiyyah setelah mengkritik pribadi Fakhruddin al-Razi, beliau juga mengkritik hasil-hasil karyanya terutama Tafsir Mafatih al-Ghayb . Diantara kritikannya adalah:
ريسفتلا لاإ ءيش لك هيف
“Di dalam (Tafsir Mafatih al-Ghayb) ada segala hal kecuali tafsir.”68
Kritikan ini adalah kritikan yang sangat termasyhur, ketika membaca penilaian para Ulama tentang Tafsir
Mafatih al-Ghayb . Jika diteliti, maka
pernyataan ini adalah ungkapan yang bermain dalam retorika, karena Tafsir tidak hanya berkecimpung dalam Asbab Al-Nuzul dan Qira’at.
Fakhruddin Al-Razi dalam tafsirnya, mengungkapkan perbedaan Fiqh dan metode pengambilan hukum. bahkan beliau juga mengkritisi dan melakukan tarjih. Permasalahan ini dan permasalahan Kalam adalah diantara
68 Ibn Hajar. Vol. 4. hlm. 505. 69 Al-Zarkan. hlm. 47.
70 Muqri bin ‘Abbas. (1942). Azhar Al-Riyadh fi Akhbar Al-Qadhi ‘Iyadh. Cairo:
ruang lingkup Tafsir. Namun pernyataan yang tepat adalah seperti ungkapan al-Subki:
ءيش لك ريسفتلا عم هيف امنإ ,اذكه رملأا ام
Sebenarnya, penilaiannya
bukanlah seperti ini, tepatnya bahwa Tafsir Fakhruddin al-Razi mengimpung semua hal
Sekalipun ada pembahasan yang banyak dalam masalah yang tidak penting, bukan berarti menafikan hasilnya sebagai Tafsir.69
Namun penulis tidak menemukan pernyataan Ibn Taimiyyah ini dalam buku-bukunya, bahkan Ibn Hajar sendiri mengutip dengan pernyataan “ليق”. Sedangkan kalimat kedua, yaitu tanggapan Ibn Hajar:
اهلحيو ًادقن هَبُشلا دروُي" :ةبراغملا ضعب لاق ةئيسن
sebagian Ulama Maroko berkata:
Fakhruddin al-Razi mengutip
syubhat secara kontan dan
menjawabnya secara kredit.
Al-Muqri bin ‘Abbas menjawab bahwa perkembangan ilmu logika hanya terbatas di wilayah bagian timur, sedangkan daerah Qarawain dan bagian Afrika banyak berkecimpung dalam Fiqh.70 Bahkan Rasyid Quqam
Lembaga Penulisan dan Percetakan. Vol. 3. hlm. 26.
menemukan bahwa Abdullah bin Ibrahim Al-Zamuri mengkritisi kritikan Ibn Taimiyyah dengan syairnya dalam makna majaz:
هلصاح نيدلا لوصأ ىف لصحم نيد لاب ملع هليصحت دعب نم امف نيبلما كفلإا و ةللاضلا لصأ نيطايشلا ىحو هرثكأف هيف
Buku Muhsal fi Usul al-Din adalah hasil karyanya
Setelah merampungkan buku , dikenal sebagai orang berilmu tanpa agama
Sebagai sumber kesesatan dan keraguan, maka yang ada
Di dalamnya kebanyakan adalah wahyu setan
Abdullah bin Ibrahim al-Zamuri berkata: jika saya melihat Ibn Taimiyyah, maka saya akan memukul rahangnya.71
Pandangan yang moderat adalah seperti yang diucapkan Muhammad ‘Abd Al-‘Azhim Al-Zarqani memuji usaha Fakhruddin al-Razi dalam mengarang buku tafsirnya. Diantara Ulama Ahlu Sunnah yang berani membela akidahnya melalui tafsir adalah Imam Fakhruddin al-Razi. Dalam setiap kesempatan, beliau melancarkan serangan membabi buta kepada golongan yang menyimpang dan sesat dari akidah.72
71 Rasyid Quqam. hlm. 67.
72 Muhammad ‘Abd al-‘Azhim Al-Zarqani.
(2001). Manahil Al-‘Irfan fi Ulum Al-Qur’an. Cairo: Dar al-Hadis. Vol. 2. hlm. 82.
D. PEMBAHASAN
1. Kutipan Penafsiran dari Mu’tazilah
a. Ru’yah / Melihat Allah
Allah berfirman dalam Surat al-Baqarah ayat 46:
ِهۡيل ِإ ۡمُهَّنَ أَو ۡم ِهِ بَر َ ْاوُقََٰلُّم مُهَّنَأ َنوُّنُظَي َني ِذَّلٱ َنوُع ِجََٰر
(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.
Ayat ini menjadi dalil orang yang meyakini bahwa hamba dapat melihat, karena adanya kata “ اوُقَٰ لُّم”. Namun Mu’tazilah membantah argumen ini dengan 3 sumber dalil: 73
1) Ada beberapa ayat yang mendukung, seperti firman Allah Surat al-Taubah ayat 77: ۥ ُهَن ۡو َقۡلَي ِمۡوَي َٰىل ِإ ۡمِهِبوَ ُلُق يِف اٗقاَفِن ۡمُهَبَقۡعَأَف ....
Ayat ini menjelaskan bahwa orang munafik tidak akan melihat Allah, akan tetapi hanya bertemu. Dalam Surat al-Furqan ayat 68 Allah juga berfirman:
Menakar Nilai Kritis Fakruddin ...
66
ٗماَثأ َقۡلَي َكِلَ ذ ۡلَع ۡفَي ن َم َوََٰ ا
Dalam bentuk ancaman Allah berfirman dalam Surat al-Baqarah ayat 223:
ُُۗهوُقََٰلُّم مُكَّنَأ ْا ٓوُمَل ۡعٱ َو َ َّللَّٱ ْاوُقَّتٱ َو ...
Semua ayat ini mencakup kepada orang kafir dan orang beriman, sedangkan melihat Allah tidak pantas bagi orang kafir. Maka bertemu tidak sesuai maknanya dengan melihat.
2) Dalil yang bersumber dari Hadis Nabi yang berbunyi: ٍئِر ْما َلا َم اَهِب َع ِطَتْقَيِل ٍنيِمَي ىَلَع َفَلَح ْنَم
ُناَب ْضَغ ِهْيَلَع َوُهَو َ َّاللَّ َيِقَل ٍمِل ْسُم
Barangsiapa bersumpah
dusta untuk mengambil harta seorang muslim, sungguh ia akan bertemu dengan Allah
dalam keadaan murka
kepadanya.74
Hadis ini bukan bermakna melihat Allah, karena objeknya adalah untuk penguni neraka.
a) Sedangkan secara ‘uruf ada ungkapan kepada orang yang meninggal dengan pernyataan: bertemu Allah, ini bukan bermakna bahwa
74 HR. Bukhari No. 2417 dan Muslim No.
138, lebih lanjut lihat Ibn Hajar. (2004). Fath
Bari. Cairo: Dar al-Hadis. Vol. 5. hlm. 84;
Al-dia melihat Allah. Makna bertemu adalah dekatnya pertemuan muka, sehingga tidak ada pembatas. Maka seseorang dianggap bertemu ketika telah bertemu wajah, sekalipun dia buta.
Penafsiran lain yang
mendukung akidah
Mu’tazilah dalam menafikan
ru’yah/melihat kepada Allah
adalah masalah idrak.
Sebagaimana firman Allah dalam Surat al-An’am ayat 103:
َو ُه َو ََۖر ََٰصۡبلۡٱ ُكِرَ ۡ ۡدُي َوُهَو ُرََٰصۡبَ ۡلۡٱ ُهُكِرۡدُت َّلَّ ُريِبَخ ۡلٱ ُفي ِطَّللٱ ١٠٣
Mu’tazilah menafsirkan ayat ini
bahwa idrak dengan
basar/visual adalah melihat.
Seperti ada ungkapan: saya mengidraknya dengan visual, tapi tidak melihatnya, atau saya melihatnya tapi tidak mengidraknya dengan visual. Ungkapan ini dipahami bertolak belakang, sehingga jelas bahwa idrak adalah
Nawawi. (1998). Sahih Muslim bi Syarh
Al-Nawawi. Cairo: Dar al-Hadis. Vol. 1. hlm.
melihat.75 Maka ayat bermakna bahwa Allah tidak dapat dilihat melalui sarana visual apapun dan dalam kondisi apapun. Karena pluralnya kata “ ُر َٰ صأب ألۡٱ”, yang bermakna:
1) Penafian ayat ini bersifat umum untuk seluruh individu dan kondisi.76 2) Aisyah berpegang pada ayat
ini dalam membantah pandangan Ibn ‘Abbas yang meyakini bahwa Rasulullah melihat Allah di malam Mi’raj. Hal ini terjadi karena kemahiran Aisyah dengan Ilmu Bahasa, sehingga mengetahui keumuman dalam ayat ini.77
Mu’tazilah juga
menambahkan argumen mereka dalam menafsirkan ayat ini, bahwa Qur’qn Surat Al-An’am ayat 102 bermakna pujian dan sanjungan, dan kalimat “ ُكِرۡدُي َوُهَو
75 Al-Qadhi ‘Abd al-Jabbar. (2009). Syarh Al-Usul Al-Khamsah. Cairo: Maktabah al-Usrah.
hlm. 234.
76 Ayat yang mengkhususkan kata “ ُر َٰ صأب ألۡٱ”
adalah Surat al-Qiyamah ayat 23, yang membahas tentang hari akhirat. Karena adanya pengkhususan, maka tidak dapatnya Allah dilihat adalah di akhirat. Lebih lanjut lihatAl-Qadhi ‘Abd al-Jabbar. hlm. 242.
77 Fakhruddin Al-Razi. Vol. 13. hlm. 104.
ََۖر ََٰصۡبلۡٱ” juga bermakna sama.َ ۡ 78 Dalam konteks ini, Mu’tazilah selalu berupaya untuk mentakwil ayat-ayat tentang
ru’yah Allah, dimana kata liqa’
dipahami tidak semakna dengan
ru’yah, sedangkan kata idrak
dipahami semakna dengan
ru’yah.
b. Perbuatan Manusia
Mu’tazilah berpendapat bahwa perbuatan hamba bukanlah bersumber dari ciptaan Allah, akan tetapi hal tersebut lahir dari diri mereka.79 Karena jika perbuatan tersebut diciptakan kepada mereka, maka tidak pantas ada pertanyaan kepada orang yang zalim: kenapa kamu berbuat zalim?. Begitu juga kepada orang yang berdusta: kenapa kamu berbohong?.80
Fakhruddin Al-Razi menyebutkan penafsiran Mu’tazilah terhadap kata “دمحلا” dalam Surat al-Fatihah ayat 2, bahwa perbuatan Allah haruslah sesuatu yang baik, bahkan ada kebaikan
78 Fakhruddin Al-Razi. Vol. 13. hlm. 105;
Al-Qadhi ‘Abd al-Jabbar. hlm. 235-237
79 Al-Qadhi ‘Abd Al-Jabbar. hlm. 324. 80 Fakhruddin Al-Razi menyebutkan
pemahaman yang semakna, ketika menafsikan Surat al-Baqarah ayat 44: Maka tidak pantas ada pertanyaan kepada mereka: kenapa mereka tidak putih?. Padahal mereka diciptakan dalam keadaan hitam. Al-Qadhi ‘Abd al-Jabbar. hlm. 332; Fakhruddin Al-Razi. Vol. 3. hlm. 47.
Menakar Nilai Kritis Fakruddin ...
68
tambahan.81 Kebaikan tambahan ini adakalanya wajib dan adakalanya bersifat karunia. Hal yang wajib adalah seperti memberi pahala atau balasan kepada hamba, dan yang bersifat karunia adalah menambahkan pemberian yang wajib, sebagai bentuk ke-ihsanan.82
Kepercayaan Mu’tazilah yang menafikan penyandaran perbuatan kepada Allah adalah untuk mensucikan-Nya dari perbuatan yang buruk dan tercela.83 Sehingga mereka berusaha mencari penafsiran yang tepat terhadap Surat al-Taubah ayat 82 dan 95, atau yang semakna:
َنوُب ِسۡكَي ْاوُناَك اَمِب ََۢءٓاَزَج
Jika bukan kita/hamba yang melakukan perbuatan tersebut, maka firman ini akan bermakna dusta dan balasan yang Allah berikan merupakan bentuk kekejian.84 Fakhruddin Al-Razi menukilkan bahwa jika Allah memberikan dahulu kemudharatan kepada mereka, sebelum mereka berupaya untuk melakukan sesuatu, maka bermakna bahwa Allah telah melakukan kezaliman.85
81 Dalam ungkapan lain bahwa perbuatan
Allah haruslah yang bermanfaat dan dapat memberi manfaat. Sedangkan Ahlu Sunnah berpandangan bahwa perbuatan Allah adalah yang bermanfaat dan yang bermudarat, karena diantara sifat Allah adalah yang Maha Memberi Manfaat dan Maha Memberi Mudarat. Lebih lanjut lihat Fakhruddin Al-Razi. Vol. 3. hlm. 32
Hal ini dipertegas Fakhruddin Al-Razi ketika menafsirkan ayat ketujuh dari Surat al-Fatihah yang berbunyi “ ِر ي غ مِه ي ل ع ِبوُض غ م لا”, bahwa perbuatan buruk yang mereka lakukan adalah atas pilihan mereka. Inilah yang membawa mereka di murkai oleh Allah. Jika ini bukan karena pilihan mereka, maka ini bermakna kezaliman.86
c. Wa’ad dan Wa’id
Al-Wa’d menurut Mu’tazilah adalah
informasi yang berhubungan dengan sampainya manfaat dan tertolaknya mudarat untuk masa datang. Sedangkan
al-Wa’id adalah informasi yang
berhubungan dengan sampainya mudarat atau terhalangnya manfaat pada masa datang.87 Maka merupakan hal yang wajib bagi Allah untuk memberi
wa’d kepada hamba-Nya dalam bentuk
pahala, dan memberi wa’id kepada mereka yang membangkang dalam bentuk azab.88
Adanya pembatasan definisi untuk masa datang, karena hal yang terjadi sekarang, tidak bermakna janji.89
82 Fakhruddin Al-Razi. Vol. 1. hlm. 227. 83 Fakhruddin Al-Razi. Vol. 2. hlm. 55. 84 Al-Qadhi ‘Abd al-Jabbar. hlm. 361 85 Fakhruddin Al-Razi. Vol. 16. hlm. 130. 86 Fakhruddin Al-Razi. Vol. 1. hlm. 257 87 Al-Qadhi ‘Abd Al-Jabbar. hlm. 134-135. 88 Al-Qadhi ‘Abd Al-Jabbar. hlm. 261. 89 Al-Qadhi ‘Abd Al-Jabbar. hlm. 135.
Pemahaman al-Wa’d an al-Wa’id
sebagai janji sesuai dengan penafsiran Fakhruddin Razi dalam Surat al-Baqarah ayat 40: ۡم ُكۡيَل َع ُت ۡمَعۡنأ ٓي ِتَ َّلٱ َي ِتَمۡعِن ْاوُرُكۡذٱ َليِءََٰٓر ۡسِإ ٓيِنَبََٰي َيََّٰيِإَو ۡم ُك ِدۡهَعِب ِفوأ ٓي ِدۡهَعِب ُ ْاوُفۡوَأَو ِنوُب َهۡرٱَف ٤٠
Kata “دهعلا” menurut Mu’tazilah adalah argumen yang mewajibkan Allah untuk memberi pahala orang yang taat. Maka boleh dipakai kata “دهعلا” karena
adanya kewajiban untuk
menunaikannya. Ini lebih tegas/kuat dibandingkan dengan janji wajib dalam bentuk sumpah dan nazar.90
Mu’tazilah berkeyakinan bahwa amalanlah yang mewajibkan untuk mendapat pahala. Sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Nisa’ ayat 100: 91
... ِِۗ َّللّٱ ىَلَع ۥُهُرۡجَأ َعَقَو ۡدَقَف ....
Terdapat tiga alasan yang mewajibkan pahala pada setiap amal ibadah:
a. Ayat menyebutkan kata “ ع ق و” yang bermakna wajib, karena hakikat wajib adalah jatuh dan roboh, sebagaimana firman Allah Surat al-Hajj ayat 36:
... اَهُبوُنُج ۡتَبَج َو اَذِإَف ....
90 Fakhruddin Al-Razi. Vol. 3. hlm. 39-40. 91 Fakhruddin Al-Razi. Vol. 11. hlm. 15.
Yaitu bermakna jatuh dan roboh. Begitu juga dengan ungkapan orang Arab:
اهصرق طقس :سمشلا تبجو
Telah jatuh Matahari:
maksudnya bulatannya.
Al-Zamakhsyari menegaskan lagi bahwa makna penggalan ayat ini bahwa Allah Maha Mengetahui bagaimana cara memberikannya pahala, dan ini merupakan kewajiban-Nya kepada hamba.92
b. Adanya kata “ ِر ج لۡا” yang bermakna manfaat yang sah, sedangkan manfaat yang tidak
sah dinamakan dengan
hibah/pemberian.
c. Huruf “ى ل ع” adalah bermakna wajib, sebagaimana firman Allah dalam Surat Ali Imran ayat 97:
... ِتۡيَبۡلٱ ُّج ِح ِساَّنلٱ ىَلَع ِ َّ ِللَّ َو ....
Wajibnya wa’ad menurut
Mu’tazilah karena mereka menganggap bahwa perbuatan baik atau ketaatan yang dilakukan hamba sesuai dengan Kehendak Allah. Sedangkan Ahlu Sunnah mengganggap hal itu sesuai
92 Al-Zamakhsyari. (1998). Al-Kasysyaf.
Menakar Nilai Kritis Fakruddin ...
70
dengan perintah. 93 Ini diperkuat dengan firman Allah Surat al-Nisa’ ayat 27:
ۡمُكۡيَلَع َبوُتَي نَأ ُدي ِرُي ُ َّللَّٱ َو ....
Ini bermakna bahwa Allah Maha Berkeinginan terhadap seluruh taubat dan ketaatan.94 Bahkan Allah menunjuki hamba untuk giat melakukan ketaatan, sehingga dapat menutupi kesalahannya dan akhirnya dapat diterima taubatnya.95
Maka perbuatan baik dan amalan saleh yang dilakukan hamba, pasti akan mengasilkan pahala/balasan. Berbeda dengan keyakinan Ahlu Sunnah yang menyatakan bahwa pahala didapatkan karena adanya wa’ad/janji, karena beramal adalah hal yang wajib bagi hamba dan tidak ada yang mengaruskannya mendapat pahala.96 Perbedaan penafsiran ini menjadi hal yang dikritisi Fakhruddin al-Razi pada pembahan berikutnya.
Kutipan Fakhruddin al-Razi terhadap pemikiran Mu’tazilah disadur dengan rapi dan terstruktur. Bahkan dengan menyebutkan argumentasi dan dalil ilmiah, baik dari al-Quran, Hadis, Makna kata, syair dan kaidah bahasa Arab. Secara umum dapat dipastikan bahwa kutipan ini sesuai dengan kritikan
93 Lebih lanjut lihat Fakhruddin Al-Razi.
Vol. 10. hlm. 127.
94 Lebih lanjut lihat, Fakhruddin Al-Razi.
Vol. 10. hlm. 62; Al-Qadhi ‘Abd al-Jabbar.
yang disematkan. Dimana Fakhruddin al-Razi sangat totalitas dan amanah dalam pengutipannya. Dan ini membantah pernyataan Ibn Taimiyyah yang menyatakan bahwa Fakhruddin al-Razi tidak pernah membaca buku-buku ulama terdahulu seperti dari Mu’tazilah.
d. Kritik terhadap Kutipan a. Ru’yah / Melihat Allah
Bantahan Fakhruddin al-Razi tentang adanya perbedaan makna antara bertemu dan melihat, di awali dengan menyebutkan definisinya. Bertemu secara bahasa adalah datangnya salah satu tubuh ke tubuh yang lain sehingga dia bersentuhan. Ungkapan yang menyatakan bahwa yang ini bertemu dengan yang itu, adalah boleh, jika ada yang ini menyentuh dan berkomunikasi. Tatkala bertemu antara dua jenis dapat memberi pengetahuan lebih dibandingkan hanya dengan bersentuh, maka memakai makna pertama lebih tepat. Karena bentuk majaz yang paling kuat adalah pemakaian
(2006). Tanzih ‘an Al-Mata’in. Giza: al-Maktabah al-Nafidzah. hlm. 113.
95 Al-Zamakhsyari. Vol. 2. hlm. 60. 96 Fakhruddin Al-Razi. Vol. 7. hlm. 48.
sebab kepada akibat. Dengan pernyataan ini, maka semua argumen Mu’tazilah tidaklah tepat.97 Di sini, argumen Mu’tazilah yang bersumber kepada tiga dalil, dibantah hanya dengan satu dalil. Namun secara kualitas, kritikan ini menjawab semua argumen Mu’tazilah. Penyamaan makna kata idrak dan
ru’yah, dikritisi Fakhruddin
al-Razi karena: 98
1) Maknanya secara etimologi adalah menyusul dan sampai. Sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Syu’ara’ ayat 61:
َلاَق ِناَع ۡمَجۡلٱ اَء ََٰٓرَت اَّمَلَف
ُب ََٰح ۡصَأ
َنوُك َر ۡدُمَل اَّنِإ َٰٓىَسوُم
٦١
Maka setelah kedua
golongan itu saling
melihat, berkatalah
pengikut-pengikut Musa: "Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul".
Dan Surat Yunus ayat 90:
....
ُق َرَغۡلٱ ُهَك َر ۡدَأ ٓاَذِإ َٰٓىَّتَح
...
...hingga bila Fir´aun itu telah hampir tenggelam ...
97 Fakhruddin Al-Razi. Vol. 3. hlm. 5.1 98 Fakhruddin Al-Razi. Vol. 13. hlm.
105-106
99 Jama’ qillah adalah bagian dari jama’ taksir, digunakan untuk kata yang menunjukkan
kepada jumlah yang sedikit. Penggunaannya adalah antara tiga sampai sepuluh. Jama’ taksir adalah kata yang menunjukkan lebih dari dua,
Maka idrak dalam kedua ayat ini bermakna sampai ke sesuatu.
Jika seseorang memiliki keterbatasan dalam melihat, tapi visualnya bisa
idrak/sampai ke seluruh
pembatas, sisi dan ujungnya. Maka penglihatan ini dinamakan dengan idrak,
begitu juga dengan
sebaliknya. Idrak dapat menafikan salah satu macam penglihatan, namun penafian ini bukan untuk jenisnya. 2) Sedangkan pandangan
keumuman nafi kata “ ُر َٰ صأب ألۡٱ” tidak bisa diterapkan pada
jama’ qillah,99 kata ini bisa
bermakna menafikan yang umum bukan keumuman yang menafikan yang lain. Berarti kata ini bisa bermakna kepada yang khusus.
3) Term jamak memiliki batasan waktu untuk masa lalu, maka ayat ini berkonotasi untuk
cara membuatnya dengan merubah kata singularnya. Perubahan tersebut bisa dalam bentuk penambahan huruf, atau pengurangannya, atau dengan perubahan baris. Lebih lanjut lihat, Mustafa al-Ghulayaini. (1993). Jami’u al-Durus al-‘Arabiyyah. Beirut: Maktabah al-‘Asriyyah. Vol. 2. hlm. 28.
Menakar Nilai Kritis Fakruddin ...
72
kehidupan dunia sebagai mana ini adalah karakteristik kehidupan dunia.
4) Yang tidak bisa melihat Allah adalah indera visual, namun
idrak memiliki kemampuan
dengan menggunakan indera keenam.
5) Fakhruddin al-Razi
memahami bahwa ketika ada kata khusus pada kata umum, maka pemakaian kata khusus lebih diutamakan. Ayat ini bermakna umum, melihat adalah bagian dari keumuman tersebut, memahami ayat dengan makna melihat lebih diutamakan dari pada yang umum darinya.
6) Ayat ini tidak bermakna pujian dan sanjungan, karena tidak ada ayat yang menyatakan bahwa jika Allah dapat dilihat, maka itu merupakan celaan dan hinaan. Akan tetapi ayat menjelaskan bahwa Allah Maha Berkuasa untuk menutup penglihatan dan panca indera.
100 Fakhruddin Al-Razi. Vol. 13. hlm. 105.
Sebelum memberikan enam jawaban di atas, Fakhruddin al-Razi menegaskan bahwa Sesuatu yang menunjukkan bahwa tiadanya merupakan pujian. Bukan berarti bahwa adanya merupakan celaan/kekurangan, karena kekurangan itu mustahil bagi Allah.100
Penafsiran liqa’ pada ayat ini sangat rinci dalam mengkritisi penafsiran Mu’tazilah. Tiga argumen Mu’tazilah dapat dibantahkan dengan satu jawaban, bahwa semua dalil Mu’tazilah adalah bermakna majaz. Dalam beberapa ayat lain, Fakhruddin al-Razi tidak menyebutkan secara tegas. Hal ini dapat dilihat dalam Surat al-Kahf ayat 105, 107 dan 110. Sedangkan permasalah idrak, dijawab dengan tegas oleh Fakhruddin al-Razi dengan
menyatakan bahwa ini
merupakan bentuk umum dari indera penglihatan.
b. Perbuatan Manusia
Kerancuan Mu’tazilah dalam memahami bahwa perbuatan
hamba bukanlah bersumber dari Allah, dibantah Fakhruddin al-Razi dengan menyatakan bahwa ke-Maha Kuasaan Allah terjadi pada dua hal yang berlawanan. Jika kekuasaan tersebut terjadi pada salah satunya, maka tidak
ada alasan
pengutamaan/penguatan antara yang satu dengan yang lain. Hal ini akan melahirkan pemahaman yang lain, bahwa yang utama/kuat adalah dari Allah,
maka mustahil muncul
lawannya.101
Setelah menjabarkan penafsiran ini, Fakhruddin al-Razi menutup dengan pernyataan bahwa jawaban yang sangat tepat adalah firman Allah Surat al-Anbiya’ ayat 23:
ۡسُي َلا
ئ
َّمَع ُل
ئۡسُي ۡمُه َو ُلَعۡفَي ا
َنوُل
٢٣
102 .Sedangkan bantahan Fakhruddin al-Razi terhadap penafsiran Mu’tazilah dalam Surat al-Fatihah ayat 2 adalah: “Jika perbuatan Allah harus baik, maka akan menciderai makna al-hamd
lillah. Karena jika Allah
101 Fakhruddin Al-Razi. Vol. 3. hlm. 47. 102 Fakhruddin Al-Razi. Vol. 3. hlm. 47.
diwajibkan untuk melakukan yang baik, maka perbuatan Allah harus terhindar dari celaan. Jika perbuatan Allah bersifat anugerah, maka ini bermakna bahwa Allah butuh tambahan pujian”.103
Fakhruddin al-Razi
menambahkan bahwa kata
al-hamd bermakna dipuji, maka hal
ini terdapat atau tidak pada zat-Nya. Jika yang pertama, maka Allah tidaklah wajib mendapat pujian, karena sesuatu yang sudah berada pada diri-Nya akan menolak keberadaan yang lain. Perbuatan Allah juga tidak boleh mendapat celaan, karena sesuatu yang terdapat pada-Nya, tidak boleh terlepas karena sebab apapun. Berarti tidak ada hak Allah yang bersifat wajib, begitu juga hamba tidaklah wajib mendapat ganjaran dan pahala. Hal demikian mengancurkan prinsip-prinsip pemikiran Mu’tazilah.104
Di ayat lain, Fakhruddin al-Razi menambahkan jawabannya ketika menafsirkan Surat
al-103 Fakhruddin Al-Razi. Vol. 3. hlm. 47. 104 Fakhruddin Al-Razi. Vol. 3. hlm. 47.
Menakar Nilai Kritis Fakruddin ...
74
Baqarah ayat 30 tentang Malaikat yang selalu bertasbih dan memuji Allah serta terhindar dari perbuatan keji. Fakhruddin
al-Razi menegaskan bahwa
Mu’tazilah berkeyakinan bahwa Allah wajib memberi pahala dan balasan. Jika tidak, maka ini bisa bermakna tidak tahu atau sedang butuh. Kedua hal ini sangatlah mustahil bagi Allah. Maka Allah adalah penyebab/pelaku agar mendapat pahala, sehingga Allah dipuji.105 Oleh karena itu, perbuatan baik yang dilakukan hamba adalah ciptaan/bersumber dari Allah. Setelah hamba melakukannya, Allah menjadi terpuji karena memberi pahala. Pemahaman/keyakinan ini semakin rancu dan tidak etis untuk disandarkan kepada Allah. Kerancuan Mu’tazilah dalam menafsirkan Surat al-Fatihah ayat 7 tentang golongan yang Allah murkai, dibantah Fakhruddin al-Razi dengan dua kalimat. Ayat mengiringi kata murka dengan sesat, ini menunjukkan bahwa Allah
105 Fakhruddin Al-Razi. Vol. 2. hlm. 163.
marah karena kesesatan mereka, sehingga Sifat Allah memberi efek kepada hamba. Jika dipahami bahwa karena mereka sesat yang mewajibkan Allah untuk memurkainya, maka ini
bermakna bahwa hamba
mempengaruhi pada Sifat Allah.106
c. Wa’ad dan Wa’id
Fakhruddin al-Razi menjawab bahwa tidak ada hal yang wajib bagi Allah kepada hamba-Nya. Surat al-Baqarah ayat 40 ini sangat jelas menerangkannya. Allah mendahulukan penyebutan nikmat, kemudian melanjutkan dengan perintah untuk menunaikan janji, maka nikmat-nikmat yang disebutkan tersebut mengaruskan pelaksanaan tugas hamba. Maka kewajiban pelaksanaan ibadah adalah atas dasar nikmat-nikmat yang disebutkan terdahulu, dan pelaksanaan kewajiban tidak menjadi sebab untuk menuntuk kewajiban yang lain. Oleh karena itu, pelaksanaan tanggung jawab hamba tidak mewajibkan pahala.
Penafsiran yang benar adalah dalam dua versi:
1) Ketika Allah memberikan janji untuk memberi pahala, maka ini tidak mungkin menjadi tidak ada. Karena ketiadaan ini akan membawa nilai firman-Nya yang diakui sebagai kebenaran menjadi kebohongan, dan sifat bohong adalah mustahil bagi Allah. 2) Allah menyebutkan “دهعلا”
dalam bentuk perintah, hamba sangat pantas untuk diperintah, sedangkan Allah tidak ada alasan yang membolehkan-Nya untuk diperintah.107
Fakhruddin Al-Razi bukan mengingkari kewajiban pahala, namun disebabkan karena janji, karunia dan kemuliaan. Bukan karena amalan, karena hal tersebut akan merusak ketuhanan Allah dengan mengaruskan kepada suatu hal.108 Jika ketaatan sesuai dengan Kehendak Allah, apakah yang melakukan menginginkannya?. Jika dia tidak menginginkannya maka ketaatan
107 Fakhruddin Al-Razi. Vol. 3. hlm. 40. 108 Fakhruddin Al-Razi. Vol. 11. hlm. 15
bukan sesuai kehendak, karena ini bisa bermakna bahwa kadang-kadang Allah memerintahkan sesuatu yang tidak sesuai kehendak.109
Ahlu Sunnah meyakini bahwa merupakan hal yang baik ketika Allah memerintahkan hamba-Nya sesuai dengan kehendak-Nya, terlepas dari peran-Nya sebagai Pencipta. Sedangkan Mu’tazilah meyakini bahwa perintah Allah harus berhubungan dengan kemaslahatan baik dalam bentuk pahala ataupun ganjaran. Sebagaimana Allah berfirman dalam Surat al-A’raf ayat 54:
...
َني ِم
َلََٰعۡلٱ ُّبَر ُ َّللّٱ َكَراَبَت ُِۗرۡمَ ۡلۡٱَو ُقۡلَخ ۡلٱ ُهَل َلََّأ
٥٤
Penyebutan kata penciptaan lebih awal dibandingkan kata perintah. Oleh karena itu, Mu’tazilah berpendapat bahwa perintah Allah harus memiliki kemaslahatan karena Dia menciptakan alam. Dengan singkat Fakhruddin al-Razi menjawab bahwa jika seperti ini alasannya perintah Allah harus memiliki kemaslahatan, maka tidak tepat lagi munculnya ungkapan baik, jelek, pahala dan dosa, karena perintah Allah sudah melahirkan kemaslahatan.110
109 Lebih lanjut lihat, Fakhruddin Al-Razi.
Vol. 10. hlm. 127-128.
Menakar Nilai Kritis Fakruddin ...
76
Jawaban tegas Fakhruddin al-Razi menyebutkannya dalam Surat al-Maidah ayat 64:
...
ٌۚ
ةلوُلۡغ َم ِ َّللّٱ ُدَيَ ...
Kewajiban Allah untuk memberi pahala kepada hamba yang taat dan azab bagi hamba yang durhaka, ini merupakan pengalang dan pembatas, yang bermakna belenggu kepada Allah atau Tangan Allah terbelunggu. Sedangkan Ahlu Sunnah meyakini bahwa semuanya adalah milik Allah, tidak ada yang berhak selain-Nya dan tidak boleh seorang pun membantah. Sebagaimana Allah berfirman dalam Surat Al-Maidah ayat 17:
...
ۡي َش ِ َّللّٱ َنِم ُكِل ۡمَي ن َم
َف ۡلُق
ن
أ َداَر
َ
أ ۡنِإ ا
َ
ي ِف ن َمَو ۥُه َّم
أ َو َمَيۡر َم َنۡبٱ َحي ِسَ ۡلمٱ َكِلۡهُي
ُ
ِۗاٗعي ِم َج ِضۡر
لۡٱ
َ ۡ
Kritikan Fakhruddin al-Razi dalam masalah keyakinan wajibnya al-Wa’d kepada hamba, namun tetap meyakini bahwa amalan saleh akan mendapat pahala. Sumber pahala bukan dari kewajiban Allah, tapi disebabkan adanya
wa’d Allah kepada hamba-Nya.
Perbedaan ini memberikan pemahaman bahwa Mu’tazilah menganggap bahwa Allah dibebani dengan janji-Nya, berbeda dengan Ahlu Sunnah yang
menganggap bahwa hak Allah untuk memberi pahala.
Pemaparan di atas, sangat jelas bahwa kritikan Fakhruddin Al-Razi terhadap penafsiran Mu’tazilah yang disadur kedalam tafsirnya, semua ini dikritik secara lugas dan tegas. Bahkan secara kuantitas, jumlah argumen kritikannya sebanding bahkan lebih dari
syubhat yang dilontarkan Mu’tazilah.
Dan adakalanya pada suatu tempat secara globar dan ditempat lain terdapat rinciannya.
E. KESIMPULAN
Fakhruddin al-Razi sangat ilmiah dalam mengutip pemikiran dan pendapat orang lain dalam Tafsir Mafatih
al-Ghaib. Hal ini dapat dilihat pada amanah
ilmiahnya mengutip pendapat yang berseberangan, lengkap dengan dalil dan argumentasi dari al-Quran, hadis, Syair dan kaidah bahasa Arab. Ini tidak bisa dinyatakan sebagai kekurangan yang bernada kritis, tapi ini adalah suatu kelebihan. Dimana seorang ilmuwan harus menjaga amanah ilmiah.
Kritikan Fakhruddin al-Razi terhadap pemikiran yang berseberangan dipaparkan dalam dua kondisi, secara global dan terperinci. Kondisi global adalah karena sudah dibahas oleh
ayat-ayat sebelumnya, maka tidak ada gunanya mengulang sesuatu yang sudah ada. Sedangkan kondisi terperinci kebanyakan dengan mengsinkronkan bahwa ayat ini adalah dalil tambahan atas penafsiran Fakhruddin Al-Razi pada ayat sebelumnya, dalam kasus atau tema yang sama.
Dari pemaparan di atas, bahwa Tafsir Mafatih Al-Ghaib sangat jauh dari kritikan yang menyatakannya sebagai penyebar kebimbangan dalam berfikir tanpa memberikan jawaban. Hal yang perlu ditekankan oleh pembaca buku tafsir ini, untuk membaca buku secara utuh. Sehingga dapat ditemukan keglobalan penafsiran adalah suatu yang sengaja dan mendapat argumentasi tambahan pada ayat-ayat yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
‘Abbas (Ibn), Al-Muqri. (1942). Azhar
Al-Riyadh fi Akhbar Al-Qadhi ‘Iyadh. Cairo: Lembaga Penulisan
dan Percetakan.
‘Asqalani (al), Al-Hafiz Ahmad bin Ali bin Hajar. (t.t.). Lisan Al-Mizan. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah. ‘Asyur (Ibn). (1970). Al-Tafsir wa
Rijaluh. Cairo: Majma’ al-Buhus|
al-Islamiyyah.
Gulayayni (al), Mustafa. (1993). Jami’u
Al-Durus Al-‘Arabiyyah. Beirut:
Maktabah al-‘Asriyyah.
Hajar, Ibn. (2004). Fath Al-Bari. Cairo: Dar al-Hadis.
Hamawi (al), Yaqut bin Abdullah. (1977). Mu’jam Al-Buldan. Beirut: Dar Sadir.
Hayyan (Abu). (1993). Bahr
Al-Muhit. Beirut: Dar Kutub
al-Ilmiyyah.
Imam, Anfal binti Yahya. (2015).
Mawqif Al-Razi min Al-Qada’ wa Al-Qadr; ‘ard wa naqd. Maktabah
al-Imam al-Bukhari.
Jabbar (al), Al-Qadhi ‘Abd. (2006).
Tanzih ‘an Al-Mata’in. Giza:
al-Maktabah al-Nafidzah.
Jabbar (al), Al-Qadhi ‘Abd. (2009).
Syarh Al-Usul Al-Khamsah. Cairo:
Maktabah al-Usrah.
Kasir (Ibn), Ismail bin Umar. (1997).
Al-Bidayah wa Al-nihayah. Dar
al-Hajar.
Khaldun (Ibn), Abdurrahman. (t.t.)
Muqaddimah Ibn Khaldun.
Iskandaria: Dar Ibn Khaldun. Khalidi (al), Salah ‘Abd al-Fattah.
(2008). Ta’rif Al-Darisin bi Manahij Al-Mufassirin. Damaskus:
Dar al-Qalam.
Khalifah, Mustafa bin Abdullah Haji. (t.t.). Kasyf Zhunun ‘an Asam
Al-Kutub wa Al-Funun. Beirut: Dar
Ihya’ al-Turats al-‘Arabi.
Khalkan (Ibn), Abu Abbas Syams al-Din Ahmad bin Muhammad bin Abu Bakar. (2000). Wafayat
Al-A’yan wa Anba’ Abna’ al-Zaman.
Beirut: Dar al-Sadir.
Lâsyîn, ‘Abd al-Fattah. (t.t.). Balagah
Al-Qur’an fi Atsari Al-Qadhi ‘Abd Al-Jabbar. Cairo: Matba’ah Dar
Menakar Nilai Kritis Fakruddin ...
78
Muhammad (Ibn), Abu Al-Hasan Ali bin Abu Al-Kiram Muhammad. (1987). Al-Kamil fi Al-Tarikh. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah. Muhammad (Ibn), Syihab Al-Din Abu
Al-Falah ‘Abd Al-Hay bin Ahmad. (1986). Syazrat Al-Zahab fi Akhbar
Man Zahab. Beirut: Dar Ibn
al-Katsir.
Nawawi (al). (1998). Sahih Muslim bi
Syarh Al-Nawawi. Cairo: Dar
al-Hadis.
Qahtani (al), Abdullah Ma’ayil Ali Hadhir. (2014). Al-Istinbat ‘inda al-Imam Al-Fakhr al-Razi min Khilal Tafsirih Mafatih A-Ghayb” (Tesis Universitas Umm al-Qura Arab Saudi.
Quqam, Rasyid. (2011). Tafkir
Al-Falsafi Laday Fakhruddin Al-Razi.
Aljazair: Lembaga Penerbitan Univesitas Aljazair.
Razi (al), Abu Hatim. (1997). Tafsir
Al-Qur’an Al-‘Azim. Makkah:
Maktabah Nazar Mustafa al-Baz.
Razi (al), Ahmad bin Muhammad bin al-Muzhaffar. (2009). Mabahis
Al-Tafsir. Riyad: Kunuz Isybiliya.
Razi (al), Fakhruddin. (1986). Manaqib
Al-Imam Al-Syafi’i. Cairo:
Maktabah al-Kulliyyat al-Azhariyyah.
Razi (al), Fakhruddin. (1987). Matalib
Al-‘Aliyah min Al-‘Ilm Al-Ilahi.
Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi. Razi (al), Fakhruddin. (1993). Asas
Al-Taqdis. Beirut: Dar al-Fikr.
Razi (al), Fakhruddin. (2003). Al-Tafsir
Al-Kabir aw Mafatih Al-Ghayb.
Cairo: al-Maktabah al-Taufiqiyyah. Razi (al), Fakhruddin. (2004).
Al-Arba’in fi Usul Al-Din. Beirut: Dar
al-Jayl.
Razi (al), Fakhruddin. (2004).
Al-Ma’alim Usul Al-Fiqh. Cairo:
al-Maktabah al-Azhariyyah li al-Turas. Safadi (al), Salah al-Din bin Aybek.
(2000). Kitab Wafi bi
Al-Wafayat. Dar Ihya’ Turas|
al-‘Arabi. Shihab, M. Quraish. (2015). Kaidah
Tafsir. Tangerang: Lentera Hati.
Subki (al), ‘Abd al-Wahhab bin Ali bin ‘Abd al-Kafi. (1964). Thabaqat
Al-Syafi’iyyah Al-Kubra. Cairo: Faisal
Isa al-Babi al-Halabi.
Suyuti (al), Jalaluddin Abdurrahman. (1976). Thabaqat Al-Mufassirin. Kairo: Maktabah Wahbah.
Taimiyyah (Ibn). (2001). Majmu’ah
Al-Fatawa. Beirut: Dar al-Wafa’.
Yafi’i (al), Abdullah bin As’ad bin Ali bin Sulaiman. (1997). Mir’ah
Al-Jinan wa ‘Ibrah Al-Yaqzhan. Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Zahabi (al), Muhammad Husain. (2005).
Al-Tafsir wa Al-Mufassirun. Cairo:
Dar al-Hadis.
Zahabi (al), Syams al-Din Muhammad bin Ahmad bin Utsman. (1990).
Tarikh Islam wa Wafayat Al-Masyahir wa Al-A’lam. Beirut: Dar
al-Kitab al-‘Arabi.
Zamakhsyari (al). (1998). Al-Kasysyaf. Riyadh: Maktabah al-‘Abikan. Zarkan (al), Muhammad Salih. (t.t.).
Fakhruddin Razi wa Arauh Al-Kalamiyyah wa Al-Falsafiyyah.
Beirut: Dar al-Fikr.
Zarqani (al), Muhammad ‘Abd al-‘Azhim. (2001). Manahil Al-‘Irfan
fi Ulum Al-Qur’an. Cairo: Dar
al-Hadis.
Zayd (Abu), Bakar Abdullah. (1996).
Mu’jam Al-Manahi Al-Lafziyyah.
Arab Saudi: Dar al-‘Asimah. Zirikli (al), Khair al-Din. (2002).
Al-A’lam: Qamus Tarajum. Beirut: Dar
Menakar Nilai Kritis Fakruddin ...