• Tidak ada hasil yang ditemukan

ḤIFẒ Al-DĪN DALAM AL-QUR AN PERSPEKTIF TAFSIR MAQĀṢIDĪ IBN ĀSYŪR. Oleh: Arif Husen NIM:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ḤIFẒ Al-DĪN DALAM AL-QUR AN PERSPEKTIF TAFSIR MAQĀṢIDĪ IBN ĀSYŪR. Oleh: Arif Husen NIM:"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

i

ḤIFẒ Al-DĪN DALAM AL-QUR’AN PERSPEKTIF TAFSIR MAQĀṢIDĪ IBN ‘ĀSYŪR

Skripsi

Diajukan Untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Arif Husen NIM: 11160340000022

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN, UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1442 H/2021 M

(2)

ii

ḤIFẒ Al-DĪN DALAM AL-QUR’AN PERSPEKTIF TAFSIR MAQĀṢIDĪ IBN

‘ĀSYŪR Skripsi

Diajukan Untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh Arif Husen NIM: 11160340000022

Pembimbing

Kusmana, M.A, P.h.D NIP: 196504241995031001

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1442 H/2021 M

(3)

iii

dc

PENGESAHAN SIDANG MUNAQASYAH

Skripsi yang berjudul ḤIFẒ Al-DĪN DALAM AL-QUR’AN PERSPEKTIF TAFSIR MAQĀṢIDĪ IBN ‘ĀSYŪR telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 14 Juni 2021. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.

Jakarta, 29 Juli 2021 Sidang Munaqasyah,

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Dr. Eva Nugraha, M.Ag Fahrizal Mahdi, Lc. MIRKH NIP. 19710217 199803 1 002 NIP. 19820816 201503 1004

Anggota,

Penguji I, Penguji II,

Dr. Ahsin Sakho Muhammad, M.A Syahrullah, M.A NIP. 19560221 199602 1 001 NIP. 19780818 200901 1 016

Pembimbing,

Kusmana, M.A. P,h,D NIP. 19650424 199503 1 001

(4)

iv

LEMBA PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Arif Husen

NIM : 11160340000022

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Ḥifẓ Al-Dīn dalam Al-Qur’an Persfektif Tafsir Maqāṣidi Ibn ‘Āsyūr adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunannya. Adapun kutipan yang ada dalam penyusunan karya ilmiah ini telah saya cantumkan sumber kutipannya dalam skripsi. Saya bersedia melakukan proses yang semestinya sesuai dengan peraturan perundang yang berlaku jika ternyata skripsi ini sebagian atau keseluruhan merupakan plagiat dari karya orang lain.

Demikian pernyataan ini saya buat untuk digunakan seperlunya.

Jakarta, 25/5/ 2021

Arif Husen

(5)

v ABSTRAK Arif Husen

Ḥifẓ Al-Dīn Dalam Al-Qur’an Perspektif Tafsir Maqāṣidī Ibn ‘Āsyūr Skripsi ini membahas pemaknaan term “Ḥifẓ al-Dīn” dalam al- Qur‟an dengan perspektif tafsir maqāṣidī Ibn „Āsyūr. Tujuan kajian tersebut adalah untuk menyediakan alternatif pemaknaan term yang dikaji dengan cara mengaitkan penafsiran suatu kata dengan konteks penggunaannya dalam Al-Qur‟an dan dengan tujuan Al-Qur‟an secara keseluruhan dalam menggunakan salah satu pengembang tafsir maqāṣidī kontemporer yang mumpuni, yaitu Ibn „Āsyūr.

Tulisan ini berusaha menjawab gagasan Ibn „Āsyūr dalam wacana menjaga agama dan menjelaskan tahapan Ibn „Āsyūr dalam menafsirkan Al-Qur‟an. Selain itu dalam tulisan ini penulis ingin menjawab penafsiran yang dilakukan Ibn „Āsyūr serta penerapannya dalam mengombinasikan tafsir dengan pendekatan maqāṣid al-syarī‘ah dan kemudian mengaplikasikannya dalam menafsirkan ayat-ayat ḥifẓ al-dīn.

Penelitian ini didasarkan pada studi kepustakaan dengan menggunakan pendekatan deskriptif analitik. Dalam menafsirkan ayat- ayat ḥifẓ al-dīn dengan tinjauan maqāṣid, Ibn „Āsyūr berpegang pada tujuan umum syariat yakni untuk mendatangkan maṣlahat dan menghindari mafsadat. Dengan begitu maka pesan universal Al-Qur‟an akan terpelihara, kemudian akan menghasilkan makna Al-Qur‟an yang mendalam, dan mampu menghadirkan kehendak syariat, bukan kehendak manusia. Penelitian ini menemukan bahwa bahwa ḥifẓ al-dīn (menjaga agama) menurut Ibn „Āsyūr adalah dengan menjaga syariat Islam itu sendiri secara internal yang terdiri dari segi aqidah, syariah, akhlak. Serta menjaga keberlangsungan syariat Islam dan umat Islam itu sendiri.

Kata kunci: Tafsir maqāṣidī, ḥifẓ al-dīn, Ibn „Āsyūr

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulilah atas rahmat dan karunia Allah Swt penulis telah mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada baginda Nabi Muhammad Saw, semoga kita mendapatkan syafaatnya di hari kiamat kelak.

Selama proses studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta hingga penulis memulai penyusunan skripsi ini, penulis menyadari bahwa dalam penulisannya tidak akan berjalan dengan lancar tanpa keterlibatan dari berbagai pihak yang memberikan kontribusi secara langsung maupun tidak langsung, baik berupa bantuan motivasi, materil, maupun spiritual.

Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Hj Amany Burhanuddin Umar Lubis, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan segenap Civitas Akademika yang telah banyak membantu kelancaran Administrasi dan Birokrasi.

3. Dr. Eva Nugraha, M.Ag, selaku ketua Program Studi dan selanjutnya Fahrizal Mahdi, Lc, MIRKH, sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang sangat banyak membantu penulis dalam proses perkuliahan dan Administrasi.

4. Kusmana, M.A, P.h.D selaku dosen pembimbing yang sudah bersedia meluangkan waktu dan fikirannya dalam memberikan bimbingan dan arahan-arahannya dalam menyelesaikan skripsi ini.

(7)

vii

5. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A selaku Dosen Penasihat Akademik yang sudah banyak memberikan arahan dan motivasi selama perkuliahan dan dalam penyelesaian studi, hingga selesainya penulisan Skripsi ini.

6. Dr. Ahsin Sakho Muhammad, M.A, dan Syahrullah, M.A., yang sudah bersedia menjadi penguji penelitian ini, dan sudah banyak memberikan arahan-arahan untuk kelengkapan penelitian ini.

7. Segenap dosen di Fakultas

U

shuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sudah banyak memberikan ilmunya kepada penulis, juga arahan-arahan yang berharga yang tentunya sangat bermanfaat dalam penelitian ini dan penelitian berikutnya.

8. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas

U

shuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sudah memberikan keleluasaan kepada penulis dalam mengakses Referensi yang diperlukan, dan juga telah membantu penulis dalam mendapatkan administrasi yang diperlukan.

9. Teman-teman satu kampus dari berbagai jurusan, teman yang pernah satu kos, dan teman satu alumni yang selalu siap sedia ketika diajak diskusi dan nongkrong dengan segelas kopi sekedar menghilangkan rasa bosan dikala bertamu tanpa diundang.

10. Sahabat-sahabat semua dari jurusan IQTAF 2016 yang amat terlalu sering menanyakan kapan skripsinya selesai yang lebih sering membuat jengkel, di samping menjadi sebuah motivasi bagi penulis untuk segera menyelesaikan penulisan skripsi ini.

(8)

viii

Ucapan yang tak terhingga penulis sampaikan kepada kedua orang tua, Ibu dan Ayah yang sudah memberikan dukungan penuh dalam hal pembiayaan dan motivasi, serta doa yang tidak putus, yang memacu semangat penulis dalam menyelesaikan tulisan ini. Juga kepada saudara yang terus mendorong dan memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini, sehingga segera bisa melanjutkan ke tahap yang berikutnya.

Akhirnya penulis berharap semoga apa yang tertera dalam tulisan ini bermanfaat bagi semua kalangan khususnya pengkaji tafsir selanjutnya, dan dapat memperluas khazanah keilmuan tafsir Al-Qur‟an.

Jakarta ……….2021

Penulis

(9)

ix DAFTAR ISI

ABSTRAK………...v

KATA PENGANTAR………...vi

DAFTAR ISI………...ix

PEDOMAN TRANSLITERASI………...xii

BAB I PENDAHULUAN………...………...1

A. Latar belakang ………...…...1

B. Permasalahan Penelitian.………...…...6

C. Tujuan Dan Manfaat penelitian.………...……....8

D. Tinjauan Pustaka………..………..……...……...9

E. Metodologi Penelitian……….……...…....12

F. Sistematika Penulisan……….…………...……...…...14

BAB II TELAAH UMUM MAQĀṢID Al-SYARĪ‘AH DAN TAFSIR MAQĀṢIDĪ………...……….……...17

A. MAQĀṢID AL-SYARĪ‘AH……….………..…...…....17

1. Pengertian Maqāṣid Al-Syarī‘ah…….…………...…....17

2. Perkembangan Gagasan Maqāṣid Al-Syarī‘ah…...…20

3. Urgensi Maqāṣid Al-Syarī‘ah..………....……...33

B. TAFSIR MAQĀṢIDĪ…..……….………...…...….34

1. Pengertian …………..……….…...….…...…34

2. Maqāṣid Al-Syarī‘ah dan Tafsir Maqāṣidī……..…...36

BAB III ‘ĀSYŪR DAN PEMIKIRANNYA………...….39

A. Biografi ………...…….…...39

1. Riwayat Hidup dan pendidikan ………..…...39

2. Karir Intelektual………...…………...……..…...42

3. Guru-gurunya ………...…...………..…..45

(10)

x

4. Faktor yang mempengaruhi pemikiran Ibn „Āsyūr……...46

5. Karya-karyanya ………...48

B. Tafsir Al-Taḥrīr wa Al-Tanwīr dan Relevansinya dalam kajian Maqāṣid kontemporer ………...……...50

1. Sejarah dan Struktur Tulisan………...…..50

2. Latar Belakang Penulisan Tafsir………...53

3. Tujuan Penafsiran ………...…...55

4. Metode Penafsiran………...…...56

5. Sumber Penafsiran………...…...57

6. Langkah-langkah yang digunakan dalam Menafsirkan ayat………...…...………..…..59

C. Maqāṣid Al-Syarī‘ah dan Tafsir Maqāṣidī Menurut Ibn „Āsyūr………...…..…….64

1. Maqāṣid Al-Syarī‘ah Menurut Ibn „Āsyūr...………..…64

2. Tafsir Maqāṣidī Menurut Ibn „Āsyūr………...…...72

BAB IV TAFSIR AYAT-AYAT ḤIFẒ Al-DĪN PERSPEKTIF TAFSIR MAQĀṢIDI IBN ‘ĀSYŪR DAN RELEVANSINYA A. Struktur makna Ḥifẓ al-Dīn…………...………...….……77

B. Tafsir maqasidi Ḥifẓ al-Dīn………...…………....……79

1. Tafsir Q.S al-Baqarah/2: 256…...……...…...….79

2. Tafsir Q.S al-Insān/76: 3………...…...…....89

3. Tafsir Q.S al-Kāfirūn/109: 6…….……...………...93

C. Contoh Isu………...99

1. Ḥifẓ al-Dīn dan Radikalisme Agama………...99

2. Ḥifẓ al-Dīn dan isu Gender………....…………...…...101

C. Relevansi ………...…………...…………,,…...…103

(11)

xi

BAB V PENUTUP………...….….………...107

A. Kesimpulan………...……….……...…...107

B. Saran …………...………....………….……...……109

DAFTAR PUSTAKA…………..………..……….………...110

(12)

xii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Nomor: 158 tahun 1987 dan Nomor: 0543 b/U/1987 1. Padanan Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:

Huruf Arab

NAMA

Huruf Latin Keterangan

ا Alif Tidak

dilambangkan Tidak dilambangkan

ب Ba b Be

ت Ta t Te

ث Ṡa ṡ Es (dengan titik di

atas)

ج Jim j Je

ح Ḥ ḥ Ha (dengan titik

bawah)

خ Kha kh Ka dan ha

د Dal d De

ذ Żal ż Zet (dengan titik di

atas)

ر Ra r Er

ز Zai z Zet

س Sin s Es

ش Syin sy es dan ye

ص Ṣad ṣ Es (dengan titik di

bawah)

ض Ḍad ḍ De (dengan titik di

bawah)

ط Ṭa ṭ Te (dengan titik di

bawah)

(13)

xiii

ظ Ẓa ẓ Zet (dengan titik di

bawah)

ع „Ain „- Apostrof terbalik

غ Gain g Ge

ف Fa f Ef

ق Qaf q Qi

ك kaf k Ka

ل Lam l El

م Mim m Em

ن Nun n En

و Waw w We

ه Ha h Ha

ء Hamzah -’ Apostrof

ي Ya y Ye

Hamzah yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi tanda apapun. Jika ia terletak di tengah atau akhir, maka ditulis dengan tanda (‟)

2. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

َ a Fatḥah

َ i Kasrah

َ u Ḍammah

(14)

xiv

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan َ

ي ai a dan i

َ

و au a dan u

3. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab

Tanda Vokal

Latin Keterangan

ـا ā a dengan garis di atas

ـ

ي ī i dengan garis di atas

ـ

و Ū u dengan garis di atas

4. Kata Sandang

Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf لا (alif lam ma‘arifa). Dalam pedoman tranliterasi ini, kata sandang di transliterasi seperti biasa, al-, baik ketika ia diikuti oleh huruf syamsiah maupun huruf qamariah. Kata sandang tidak mengikuti bunyi huruf langsung yang mengikutinya. Kata sandang di tulis terpisah dari kata yang mengikutinya dan di hubungkan dengan garis mendatar (-).

Contohnya: al-rijāl bukan ar-rijāl, al-diwān bukan ad-diwān 5. Syaddah (Tasydīd)

Syaddah atau tasydîd, yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda َ, dalam alih aksara dilambangkan dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diakui oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya,

(15)

xv

kata (ةرورضلا) tidak ditulis aḍ-ḍarūrah melainkan al-ḍarūrah, demikian seterusnya.

6. Ta Marbūṭah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbuṭah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (lihat contoh 1 dibawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbuṯah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’at) (lihat contoh 2).

Namun, jika huruf ta marbuṯah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “t” (lihat contoh 3)

Kata Arab Alih Aksara

ةفيرط

Ṭarīqah

ةعمالجا

ةيملاسلإا

Al-Jāmi ah al-Islāmiyyah

دوجولا ةدحو

Waḥdat al-Wujūd

7. Huruf Kapital

Meskipun dalam tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abū Ḥamīd al- Gazālī bukan Abū Ḥamīd Al-Gazālī, al-Kindī bukan Al-Kindi.

(16)

xvi

Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat di terapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari Nusantara sendiri, di sarankan tidak di alihaksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani tidak Abd al-Samad al-Palimbānī; Nuruddin al-Raniri, tidak Nūr al-Dīn al-Rānīrī.

8. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (Fi„il), kata benda (isim), maupun huruf (Ḥarfu) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-kalimat dalam bahasa Arab dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas.

Kata Arab Alih Aksara

ْمُهُ باَسِح ِساَّنلِل َبَرَ تْ قا

iqtaraba li al-Nāsi ḥisābuhum

ُلاَفْ نَْلْا ِلُق ِلاَفْ نَْلْا ِنَع َكَنوُلَأْسَي

ِهَّلِل

yas‟alūnaka ani al-a‟nfāli quli

al-anfālu lillāhi

َنيِرِباَّصلاَو ِتاَقِداَّصلاَو َينِقِداَّصلاَو ِتاَرِباَّصلاَو

wa al-ṣādiqīna wa al-ṣādiqāti wa al-ṣābirīna wa al-ṣābirāti

(17)

xvii

Penulisan nama harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka.

Nama orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak perlu dialih aksarakan. Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nūr Khālis Majīd, Muhammad Roem, bukan Muḥammad Rūm, Fazlur Rahman, bukan Fazl al-Raḥmān.

9. Singkatan

Huruf Latin Keterangan

Swt Subḥānahu wa ta ālā

Saw Ṣalla Allāḥ alaihi wa sallām

QS Quran surah

M Masehi

H Hijriah

W Wafat

(18)

1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Al-Qur‟an merupakan kitab petunjuk1 yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw sebagai pedoman hidup umat Islam. Untuk memahami isinya diperlukan suatu ilmu pendukung yang kemudian disebut ilmu tafsir. Penafsiran Al-Qur‟an sudah dimulai dan berkembang sejak zaman Nabi hingga kurang lebih abad kedua Hijriah, yang kemudian disebut era formatif. Selanjutnya pada periode pertengahan yang berlangsung sekitar abad ke tiga hingga abad ke sembilan Hijriah, dan periode modern kontemporer berlangsung sekitar abad ke dua belas hingga empat belas Hijriah.2 Dengan demikian Ibn „Āsyūr yang lahir sekitar 1879 M dikategorikan sebagai mufassir modern kontemporer.

Ibn „Āsyūr memiliki banyak kontribusi dalam pembaharuan pemikiran umat Islam, secara umum dapat dikelompokkan dalam empat kategori: pemikiran tentang reformasi Pendidikan, pengembangan teori hukum, pemahaman tentang hakikat masyarakat Muslim modern, dan penafsiran Al-Qur‟an.3

1 Qs Al-Baqarah/2: 2.

2 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKIS, 2012).

3 Kusmana, “Epistemologi Tafsir Maqāṣidī: Sebuah Kajian Awal”, Diakses 09 November 2020, https://www.researchgate.net/publication/338036206.

19.

(19)

Untuk meneguhkan kembali ajaran Islam yang rahmatan lil

‘alamīn, dibutuhkan pembacaan baru pada teks keagamaan itu sendiri, seperti yang ditawarkan oleh Ibn „Āsyūr. Dengan mengkonstruksi konsep masyarakat Islam ideal. Dalam bukunya Uṣūl al-n ām al- jt māʻī f al-Islām, Ibn „Āsyūr mengkombinasikan antara Fiqih, tradisi moral, dan spiritual Islam dengan gagasan dan system modern.4 Kombinasi tersebut dimaksudkan untuk membangun hubungan agama dan kehidupan masyarakat, Ibn „Āsyūr meyakini bahwa masyarakat modern tidak bisa dikonstruksi terlepas dari nilai- nilai Islam, sehingga menjaga masyarakat/umat Islam, sama dengan menjaga agama Islam itu sendiri.

Dalam bidang sosial kemasyarakatan, Ibn „Āsyūr mengajukan tiga gagasan, pertama menempatkan agama Islam sebagai agama system, kedua pendekatan Islam dalam mereformasi individu, dan yang ketiga reformasi masyarakat Islam. Menurut Ibn „Āsyūr ikatan darah dan bentuk primordial masyarakat Islam perlu direformasi dengan menggantinya dalam ikatan dan sistem politik yang baru, yang didasarkan pada dua hal. Pertama: membangun masyarakat yang bermoral dan adil, dengan menempatkan hukum sebagai kontrol transaksi sosial. Kedua: hukum harus memayungi dan memastikan kesejahteraan bangsa dan mempertahankan dari segala hal yang meruntuhkan dan mendeviasi dengan cara menegakkan kesetaraan, kebebasan, dan melindungi wilayah dan masyarakat Islam dengan ijtihad, perdagangan, perjanjian internasional dan dakwah Islam.5

4 Kusmana, “Epistemologi Tafsir Maqāṣidī: Sebuah Kajian Awal”, 20.

5 Kusmana, “Epistemologi Tafsir Maqāṣidī: sebuah Kajian Awal”, 20.

(20)

3

Dewasa ini moderasi Islam menjadi diskursus yang hangat dibicarakan, hal ini dipicu oleh munculnya pandangan ekstrim dari sebagian kelompok umat Islam dalam mengartikulasikan ajaran Islam itu sendiri. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa ekstrimisme beragama seringkali dipicu oleh pola pikir yang ekstrim dalam memahami teks-teks keagamaan, dalam hal ini termasuk Al-Qur‟an dan Hadis yang merupakan dua sumber pokok ajaran Islam.6

Persoalan krusial ini bukan saja menimbulkan gesekan antara umat Islam dan penganut agama lainnya, bahkan sesama umat Islam juga sering terjadi perdebatan. Meskipun perdebatan ini terus mengundang perhatian, namun subjek pembahasan ini bukanlah sesuatu yang baru. Setidaknya ada beberapa ulama yang sudah mencoba merumuskan tujuan pokok adanya syariat Islam. Salah satunya adalah imām al-Syāṭibī. Dalam karya besarnya al-Muwāfaqāt menyimpulkan maksud penetapan syarī‘ah pada lima aspek, yakni ḥif al-dīn (menjaga agama), ḥif al-nafs (menjaga jiwa), ḥif al-aql (menjaga akal), ḥif al-naṣl (menjaga keturunan) dan ḥif al-mal (menjaga harta).7

Teori yang dikembangkan imām al-Syāṭibī tentunya berlaku dan dikembangkan menurut tuntutan zaman dan perubahan sosial yang berlaku pada saat itu. Selanjutnya teori ini dilanjutkan oleh Ibn

„Āsyūr dalam kitab Maqāṣid al-syarī‘ah al-islamiyah. Dengan tetap mengadopsi konsep ḍaruryyat-nya al-Gazālī, yang kemudian

6 Abdul Mustaqim, “Argumentasi keniscayaan tafsir Maqāṣ dī sebagai basis moderasi Islam”, (pidato pengukuhan guru besar, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2019), 5.

7 https://ibtimes.id/hifz-al-din-melindungi-hak-dan-kebebasan-beragama/

diakses 07-01-2021

(21)

dilanjutkan oleh imām al-Syāṭibī, Ibn „Āsyūr menetapkannya pada bagian Maqāṣid al-syarī‘ah al-‘ammah, mencakup agama (ḥif al- dīn), nyawa (ḥif al-nafs), akal (ḥif al-aql), harta (ḥif al-mal) dan nasab (ḥif al-naṣl)8

Maqāṣid al-syarī‘ah sendiri bisa bermakna tujuan yang dimaksud dalam mensyariatkan suatu hukum bagi kemaslahatan umat manusia. Dengan kemunculan tokoh Ibn „Āsyūr pada masa modern kontemporer dan berbagai tawaran nya yang baru dalam menangani yang muncul dalam masyarakat di mana salah satunya dalam bidang keagamaan, pada akhirnya penulis tertarik ingin membahas salah satu konsep maqāṣid nya dilihat dari sudut pandang Al-Qur‟an. Selain menulis gagasannya dalam buku Maqāṣid al-syarī

ah al-Islamiyah, Ibn „Āsyūr juga menerapkan konsep maqāṣid-nya dalam kitab al- Tahrīr wa al-Tanwīr.

Rumusan tafsir maqāṣid dalam perspektif Ibn „Āsyūr adalah ilmu untuk menggali makna dari ungkapan/redaksi Al-Qur‟an dan apa yang diderivasi darinya secara detail ataupun secara ringkas.

Hakikatnya, tafsir merupakan upaya menggali pesan Ilahi yang didudukkan secara utuh sebagai usaha manusia dalam sebuah konstruksi ilmu. Hal ini berarti pesan Tuhan digali dengan perangkat keilmuan, prinsip, dan dengan metode konstruksi obyektif yang dikembangkan oleh manusia sendiri.9

8 Indra, “Maqāṣid al-syarī‘ah menurut Muhammad At-Tahir bin „Āsyūr”

Tesis, (UIN Sumatera Utara. 2016): 84.

9 Kusmana, “Epistemologi Tafsir Maqāṣidī: sebuah Kajian Awal”, 21

(22)

5

Konsep maqāṣid al-syarī

ah oleh Ibn „Āsyūr disejajarkan dengan teks agama, kemudian di dialogkan dengan realitas kekinian, sehingga tercipta konsep keagamaan dinamis, humanis, dan bermanfaat bagi kehidupan manusia. Dengan menjadikan maqāṣid al- syarī

ah sebagai manhaj tafsir al-Qur‟an, tujuannya adalah perbaikan keadaan manusia baik dari segi individu, sosial, maupun peradabannya.10

Dalam konteks ḥif al-dīn yang berarti menjaga agama.

Dalam ungkapan maqāṣid menjaga lebih menggambarkan pada suatu tindakan yaitu memelihara sesuatu yang sudah dipilih atau diambil.

Dengan demikian, istilah menjaga lebih melukiskan suatu tindakan lanjutan, atau akibat yang harus diterima karena pilihannya. Pada saat yang sama, kata menjaga belum tepat dipakai untuk mewakili tindakan yang menunjukkan sebab atau asal-usul mengapa sesuatu harus dijaga. Oleh karena itu perluasan makna menjaga yang merupakan terjemahan kata hif akan lebih tepat jika dipahami mencakup tindakan menjamin atau melindungi. Maka hif al-dīn disini akan berbicara tentang jaminan atas hak asasi dan kebebasan manusia dalam hal beragama.11

Dalam Al-Qur‟an ada tiga norma yang harus diperhatikan dalam berinteraksi dalam masyarakat sesama muslim, maupun dengan non muslim. Pertama norma tanpa paksaan sebagaimana disebutkan dalam Al-Baqarah/2: 256. Kedua norma kebebasan

10 Kusmana, “Epistemologi Tafsir Maqāṣidī: sebuah Kajian Awal”, 22

11 https://ibtimes.id/hifz-al-din-melindungi-hak-dan-kebebasan-beragama/

di akses 07-01-2021

(23)

internal dinyatakan dalam Al-Insān/76: 3. Ketiga, norma saling menghargai menghormati dalam surat Al-Kāf rūn/109: 6.

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan maka dengan penyesuaian makna ḥif dan dengan melihat pada penafsiran maqāṣid-nya Ibn„Āsyūr serta beberapa ayat yang relevan dengannya, maka penulis tertarik untuk mengkaji skripsi dengan judul : ḤIFẒ Al- DĪN DALAM AL-QUR’AN PERSPEKTIF TAFSIR MAQĀṢIDĪ IBN ‘ĀSYŪR

B. PERMASALAHAN PENELITIAN 1. Identifikasi Permasalahan

Dari paparan yang telah disebutkan pada latar belakang, dapat diidentifikasi beberapa masalah yang muncul, di antaranya sebagaimana berikut:

a. Maqāṣid al-Syarī‘ah dan Tafsir maqāṣ dī dalam pandangan hukum Islam dan tafsir

b. Implementasi tafsir maqāṣ dī dalam kitab tafsir Ibn „Āsyūr c. Wacana ḥif al-dīn dalam maqāṣid al-syarī‘ah dan

penjelasannya dalam tafsir maqāṣ dī

d. Penafsiran Ibn„Āsyūr tentang ayat-ayat hif al-dīn dalam kitab tafsir al-Tahrīr wa al-Tanwīr

e. Hal-hal yang melatar belakangi Ibn „Āsyūr menggunakan pendekatan maqāṣid dalam menafsirkan ayat-ayat hif al-dīn dalam kitab tafsir al-Tahrīr wa al-Tanwīr.

f. Metode dan corak penafsiran yang digunakan Ibn „Āsyūr dalam menafsirkan ayat-ayat hif al-dīn dalam kitab tafsir al- Tahrīr wa al-Tanwīr.

(24)

7

g. Relevansi penafsiran Ibn „Āsyūr dalam wacana menjaga agama secara umum.

h. Analisis isu yang berkembang dalam wacana menjaga agama dan kesesuaiannya dalam penjelasan makna ḥif al-dīn.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka dapat diidentifikasi bahwa ada beberapa permasalahan yang akan menjadi acuan pembahasan ini,di antaranya:

a) Bagaimana Ibn „Āsyūr menafsirkan ayat-ayat hif al-dīn dalam kitab tafsir al-Tahrīr wa al-Tanwīr?

b) Apa relevansi temuan kajian ini dalam wacana tafsir maqāṣ dī secara umum?

3. Pembatasan Masalah

Kajian pemahaman terhadap ayat-ayat hif al-dīn penulis membatasi pada tiga ayat al-Qur‟an dalam tiga surah, yaitu: Q.S al- Baqarah/02: 256. Q.S al-Insān/76: 03. Dan Q.S al-kāfirūn/109: 06.

Ayat yang dipilih merupakan hasil analisis awal penulis dalam sebuah tulisan di situs ma’had aly, yang ditulis oleh Muhammad Rizqil Aziz12

Kemudian untuk memperjelas ruang lingkup pembahasan yang akan diteliti, maka penulis membatasi pembahasan pada, poin pertama: Penafsiran Ibn „Āsyūr tentang ayat-ayat hif al-dīn dalam kitab tafsir al-Tahrīr wa al-Tanwīr. Kedua: Prinsip-prinsip dan kaidah yang digunakan Ibn „Āsyūr dalam menafsir ayat-ayat hif al-

12 http://mahadaly.sukorejo.com/2016/12/15/Hifdz-ad-Din-sebagai- Maqashid-as-Syariah.html. Diakses pada 14-11-2020

(25)

dīn. Ketiga: Relevansi penafsiran Ibn „Āsyūr dengan pendekatan maqāṣid al-syarī‘ah terhadap penafsiran ayat-ayat hif al-dīn.

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 1. Tujuan

Dari uraian yang telah disebutkan sebelumnya, maka adapun tujuan dari penulisan skripsi ini di antaranya sebagai berikut:

a. Mendeskripsikan makna dan perbedaan Maqāṣid al-Syarī‘ah dan tafsir maqāṣ dī

b. Mendeskripsikan penerapan pendekatan tafsir maqāṣ dī Ibn

„Āsyūr dan menerapkannya dalam menafsirkan ayat-ayat hif al-dīn

c. Mendeskripsikan relevansi penafsiran ayat-ayat hif al-dīn dalam wacana menjaga agama secara umum.

d. Menganalisa isu yang berkembang dalam wacana menjaga agama dan kesesuaiannya dalam penjelasan makna ḥif al-dīn.

2. Manfaat

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk hal-hal sebagaimana berikut.

a. Manfaat teoritis

Dengan adanya penelitian ini diharapkan bisa memperkaya khazanah keilmuan tafsir Al-Qur‟an dan memberikan manfaat bagi penelitian berikutnya

b. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan dan pengetahuan tentang Al-Qur‟an, baik untuk akademisi, masyarakat, terlebih bagi peneliti sendiri, dan orang-orang

(26)

9

yang tertarik membahas keilmuan Al-Qur‟an dan tafsir tentunya.

D. TINJAUAN PUSTAKA

Untuk memastikan penelitian ini belum pernah dibahas sebelumnya, maka penulis melakukan penelusuran terkait judul yang akan dibahas. Dari penelusuran itu, didapat hasil sebagai berikut:

Pertama: Dalam Tesis yang ditulis oleh Mufti Hasan pada tahun 2018 di UIN Walisongo Semarang, yang berjudul: Penafsiran Al-Qur‟an berbasis maqāṣid syarī‘ah studi ayat-ayat persaksian dan perkawinan beda agama. Dalam Tesis ini Mufti Hasan mengidentifikasi beberapa ayat Al-Qur‟an yang berkaitan dengan perkawinan, di antaranya: Q.S al-Baqarah/2: 221, Q.S al-Māidah/5:

5, dan Q.S al-Mumtaḥanah/60: 10. Pada akhirnya penulis (Mufti Hasan) berkesimpulan bahwa pada dasarnya perkawinan beda agama tidak terlalu dipermasalahkan oleh Al-Qur‟an, seperti perkawinan pada umumnya, hanya saja, kebolehannya bersifat relatif dan disandarkan pada persyaratan tertentu. Mengenai persaksian, saksi adalah orang yang bertujuan melindungi atau memastikan terpenuhinya hak suami/istri dalam pernikahan. Dalam kasus perkawinan beda agama semestinya dipahami dalam keragaman konteks.

Kedua: Tesis yang ditulis oleh Dayu Aqraminas dengan judul:

Tafsir maqāṣ dī dan pluralitas umat beragama dalam Al-Qur‟an perspektif Jasser Auda. Menurut penulis (Dayu Aqraminas) pembahasan tentang pluralitas umat beragama merupakan kajian yang abstrak yang tidak ditemukan dalam Al-Qur‟an, namun pemahaman aya-ayat tentang pluralitas beragama bisa dikembangkan dengan

(27)

menggunakan pendekatan sistem (system approach) yang digagas oleh Jasser Auda, hal ini menyangkut beberapa langkah yang harus ditempuh, diantaranya: al-idrikiyyah, al-kuliyyah, al-iftitahiyyah, al- harakiyyah al-mu’tamadah tabadul yah, ta’addud al-ab’ad, dan diakhiri al-maqasidiyah.

Ketiga: Penelitian yang ditulis oleh Faizin dari UIN Imam Bonjol Padang, yang diberi judul: Rekonstruksi maqāṣidi syarī‘ah sebagai Metodologi Tafsir Kontemporer. Penelitian ini fokus pada konsep maqāṣid Syarī‘ah Jasesr Auda, menurutnya maqāṣid syarī‘ah dapat digunakan sebagai salah satu metodologi tafsir di masa kontemporer, karena fleksibilitasnya dinilai progresif dalam menjawab kebutuhan penafsiran di masa kontemporer.

Keempat: penelitian yang ditulis oleh Fatimatuz Zahro, yang diberi judul: Pendekatan Tafsir Maqāṣidi Ibn „Āsyūr (studi kasus atas ayat-ayat ḥif Al-Aql. Fokus penelitian ini adalah, penulis (Fatimatuz Zahro) berusaha menjawab bagaimana Ibn „Āsyūr mengaplikasikan konsep maqāṣid-nya dalam menafsirkan ayat-ayat ḥif al-aql yang termasuk dalam bagian ḍaruriyyat al-khams.

Kelima: Skripsi yang ditulis oleh Eva Muzdalifah, dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini berjudul: Hifdz al-nafs dalam al-Qur‟an: studi dalam tafsir Ibn „Āsyūr. Penelitian ini, penulis (Eva Muzdalifah) fokus pada pembahasan hif al-nafs dalam kitab Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir Ibn „Āsyūr. Dalam penelitian ini penulis berkesimpulan. Bahwa: dalam menafsirkan ayat-ayat hif al- nafs dengan tinjauan maqāṣid syarī‘ah, prinsip dan landasan berpikir yang dipegang oleh Ibn „Āsyūr adalah tujuan umum syariat, yaitu

(28)

11

untuk mendatangkan kemaslahatan dan menolak mafsadat. Relevansi penafsiran berbasis maqāṣidi adalah memelihara pesan universal Al- Qur‟an, sehingga menghasilkan makna Al-Qur‟an yang mendalam, menghadirkan kehendak syari‟at, bukan kehendak manusia.

Keenam: Tesis yang ditulis oleh Ummu Salamah yang diberi judul. Maqāṣid Al-Qur‟an perspektif Badi al-Zaman Sa„id al-Nursi, Telaah penafsiran surah al-Fatiḥah dalam kitab Rasail al-Nur. UIN Sunan Ampel Surabaya. Dalam tesis ini penulis (Ummu Salamah) berkesimpulan bahwa konsep maqāṣid yang digagas oleh Sa„id al- Nursi bisa dijadikan landasan untuk memudahkan menggali tujuan tujuan lain yang terkandung dalam tiap surah, ayat dan lafadz Al- Qur‟an.

Ketujuh: Sebuah artikel yang berjudul Paradigma Al-Qur‟an:

Model Analisis Tafsir Maqāṣ dī Dalam Pemikiran Kuntowijoyo yang ditulis oleh bapak Kusmana. Dalam artikel ini diterangkan konsep maqāṣid KuntoWijoyo yang berbeda dari pemikir Muslim lainnya.

Perbedaannya adalah pada penggunaan konsep keilmuan.

Kebanyakan ilmuwan Muslim menggunakan perangkat Ushul fiqih dalam pemikiran Maqāṣid-nya, sementara Kuntowijoyo menggunakan perangkat ilmu sosial atau yang disebut dalam tulisan itu sebagai manhaj al-din (metodologi kajian agama).

Kedelapan: Epistemologi Tafsir Maqāṣidī: Sebuah Kajian Awal. Dalam artikel ini dijelaskan bahwa konsep tafsir maqāṣidī bermula dari cara berpikir untuk menggali hikmah atau filosofi hukum Islam yang didasarkan pada ilat hukum, yang kemudian oleh

(29)

imam al-Gazālī dikembangkan ke dalam konsep al-daruryah, yaitu konsep yang didasarkan pada hirarki kebutuhan manusia.

Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dilakukan, maka penulis memastikan tidak ada permasalahan yang terulang dari karya tulis di atas. Dalam penelitian ini, penulis berusaha menjelaskan tema dan objek penelitian yang berbeda dari yang pertama, kedua, dan seterusnya dalam telaah pustaka ini. Walaupun pada bagian keempat dan kelima akan memiliki kemiripan metode yang digunakan, namun penulis akan memastikan bahwa objek penelitian ini akan berbeda dari yang telah disebutkan sebelumnya.

E. METODOLOGI PENELITIAN

Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.13 Pada penelitian ini, penulis akan menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu sebuah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek alamiah, dimana peneliti merupakan instrumen kuncinya.14

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif, yang lebih khususnya menggunakan penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan data kepustakaan (literatur), baik berupa buku, catatan, maupun laporan

13 Prof Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan Kombinasi, (Bandung: Alfabeta, 2014) 3.

14 Prof Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan Kombinasi, 15.

(30)

13

penelitian terdahulu.15 Hal ini berarti semua data dalam penelitian ini bersumber dari data tertulis.

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini dapat dibagi kedalam dua kategori. Pertama data primer, yaitu Al-Qur‟an, kitab hasil karya Ibn

„Āsyūr dalam bidang Tafsir al-Qur‟an (al-Tahrir wa al-Tanwir) dan dalam bidang maqāṣid salah satunya maqāṣid al-syarī‘ah al- islamiyah.

Sumber sekunder yaitu buku atau karya tulis yang akan mendukung penelitian yang di dalamnya membahas konsep maqās d al-syarī‘ah yang menjadi pijakan pokok pengembangan tafsir maqāṣidi. Diantaranya al-maqāṣid untuk pemula karya Jasser Auda, yang diterjemahkan oleh Ali Abd el-mun‟im, Membumikan hukum Islam melalui maqāṣid al-syarīah karya Jaser Auda yang di terjemahkan oleh Rosidin dan Ali Abd el-mun‟in, Metode Tafsir maqāṣ dī yang ditulis oleh Dr Waṣfī „Āsyūr abū Zayd yang sudah diterjemahkan oleh Ulya Fikriyati dan karya tulis lainnya termasuk yang telah disebutkan dalam tinjauan pustaka.

3. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini akan menggunakan metode Dokumentasi, yaitu cara pengumpula data melalui peninggalan arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori, dalil-dalil, hukum-hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian.16 Dengan cara menemukan

15 Iqbal Hasan, Analisis Data Penelitian Dengan Statistic, ( Jakarta: Bumi aksara, 2008).

16 Iryana Risky Kawasati, “Teknik pengumpulan data metode Kualitatif”

(STAIN Sorong).

(31)

ayat yang sesuai dengan permasalahan beserta dengan tafsirnya, kemudian mengolahnya dengan keilmuan tafsir.

4. Teknik Analisis Data

Untuk menganalisis data, penulis menggunakan metode deskriptif analitik. Yaitu penelitian yang memaparkan karakteristik tertentu atau gambaran lengkap mengenai suatu fenomena dengan mendeskripsikan sejumlah variabel, untuk kemudian dianalisis dan dijelaskan mengapa dan bagaimana hal itu terjadi.17 Langkah awalnya, adalah dengan mengumpulkan data-data, yang kemudian dilakukan klasifikasi untuk kemudian dideskripsikan.

Metode ini diaplikasikan ke dalam beberapa langkah berikut.

Pertama, penelitian ini akan berupaya mendeskripsikan dengan jelas gambaran konsep maqāṣid syarī‘ah, yang menjadi landasan bagi tafsir maqāṣ dī. Langkah selanjutnya, penulis akan mencoba mendeskripsikan bagaimana latar belakang kehidupan serta keilmuan Ibn „Āsyūr dan gambaran umum tentang kitab tafsir al-Tahrīr wa al- Tanwīr. Kemudian dilanjutkan dengan mendeskripsikan dan menganalisis wujud bentuk penafsirannya yang menggunakan pendekatan maqāṣ dī dengan membatasi pada ayat-ayat hif al-dīn, sehingga dihasilkan kesimpulan yang jelas tentang persoalan yang diteliti.

17 Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian, (Jakarta: FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) 25.

(32)

15

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah analisis materi dalam penelitian ini, maka penulis akan menyajikan sekilas tentang sistematika penulisan penelitian ini. Secara garis besar penelitian ini akan dibagi kedalam lima bab, tiap-tiap bab dibagi kedalam beberapa sub bab, dan setiap sub bab akan mempunyai pembahasan masing-masing yang akan berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Sebagaimana berikut :

Bab I. Merupakan pendahuluan penelitian, yang meliputi uraian latar belakang diadakannya penelitian, kemudian mengidentifikasi masalah dan membatasi masalah penelitian.

Selanjutnya uraian tentang rumusan masalah, manfaat dan tujuan penelitian, metode penelitian yang digunakan tinjauan pustaka penelitian sebelumnya, dan sistematika pembahasan.

Bab II. Berisi uraian singkat tentang Maqāṣid asy- syarī‘ah tafsir maqāṣidi, kemudian analisis tentang perkembangannya.

Bab III. Merupakan pembahasan tentang Ibn „Āsyūr dan karya tafsirnya kitab al-Tahrir wa al-Tanwir. Pembahasan dalam bab ini meliputi riwayat hidup, Pendidikan, karir intelektual, dan karya tulisnya. Utamanya pada kitab tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, yang meliputi pada deskripsi penulisan, latar belakang penulisan, karakteristik, metode penafsiran, serta kontribusinya dalam pengembangan tafsir al-Qur‟an.

Bab IV. Bab ini memuat analisis komprehensif melanjutkan pembahasan sebelumnya. Dalam bab ini dimulai dengan mengkontruksi makna hif al-dīn, kemudian akan diuraikan pembahasan permasalahan yang diangkat dengan mencantumkan beberapa ayat Al-Qur‟an yang terkait dengan tema hif al-dīn.

(33)

Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan membahas dan menguraikan penafsiran ayat-ayat hif al-dīn dalam tinjauan penafsiran maqāṣ dī ibn ‘Āsyūr dengan merujuk pada kitab tafsir al- Tahrīr wa al-Tanwīr. Setelah itu akan dikemukakan sumber dari tafsir lain sebagai perbandingan dan untuk perluasan cakupan pembahasan. Langkah selanjutnya adalah menjelaskan relevansi penafsiran ayat-ayat ḥif al-dīn dengan konsep maqās d al- syarī‘ah menurut Ibn „Āsyūr .

Bab V. Bab ini merupakan penutup dari pembahasan, yang berupa kesimpulan, dari seluruh hasil penelitian, dan saran yang diberikan kepada peneliti dan untuk penelitian berikutnya

(34)

17 BAB II

TELAAH UMUM MAQĀṢID AL-SYARĪ‘AH DAN TAFSIR MAQĀṢIDĪ

Manhaj maqāṣidī atau maqāṣid al-syarī‘ah pada awalnya dikembangkan dalam tradisi hukum Islam. Namun dalam perkembangannya para ulama dan sarjana Muslim menggunakan pendekatan ini untuk menafsirkan Al-Qur‟an. Penggunaan pendekatan Maqāṣid dalam tafsir Al-Qur‟an dimungkinkan, karena konsep Maqāṣid mampu memelihara signifikansi ajaran Islam bagi manusia. Prinsip dasarnya adalah memelihara pesan universal dalam Al-Qur‟an untuk menjawab kekhususan dan perbedaan masalah yang dihadapi manusia.1 Lebih jelasnya akan dibahas di bawah ini.

A. MAQĀṢID AL-SYARĪ‘AH 1. Pengertian Maqāṣid Al-Syarī‘ah

Secara etimologi istilah Maqāṣid Al-Syarī‘ah terdiri dari dua kata

دص اقم

dan

ةعيرش

. Maqāṣid )

دص اقم

( merupakan bentuk jamak dari kata

دصقم

(maqṣad), yang bermakna maksud, sasaran, prinsip, niat, tujuan, tujuan akhir.2

Dalam ilmu syari‟at, al-maqāṣid dapat menunjukkan beberapa makna, seperti al-hadaf (tujuan), al-garaḍ (sasaran), al-maṭlūb (hal yang diminati), ataupun al-gāyah (tujuan akhir) dari hukum Islam.3 Menurut Ibn Manẓūr kata maqāṣid secara Bahasa dapat berarti istiqāmah al-ṭarīq (keteguhan pada suatu jalan) dan al-I’timād

1 Kusmana, “Paradigma Al-Qur‟an: Model Analisis Tafsir Maqāṣidī dalam Pemikiran Kunto Wijoyo”, Afkaruna, vol. 11, No.2 (Desember 2015): 221.

2 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqāṣid al-Syarī‘ah, terj, Rosidin dan Ali Abd el-Mun‟im (Bandung: Mizan Pustaka, 2015), 32.

3 Jasser Auda, al-Maqāṣid untuk pemula, terj, Ali Abd el-Mun‟im (Yogyakarta: SUKA Press UIN Sunan Kalijaga, 2013), 6.

(35)

(sesuatu yang menjadi tumpuan).4 Dalam Al-Qur‟an ditemukan beberapa makna dan derivasinya, setidaknya terdapat dalam beberapa ayat berikut. Q.s Al-Naḥl/ 16: 09.

٩ ِلْيِبَّسلا ُدْصَق ِوّّٰللا ىَلَعَو

dan dalam Q.s Al-Fāṭir/35: 32.

٢٣ ٌدِصَتْقُّم ْمُهْ نِمَو وِسْفَ نِّل ٌِلِاَظ ْمُهْ نِمَف.

Kata

ُد صَق

dalam Q.s, Al-Naḥl /16: 09, mengandung makna moderasi, konsistensi, juga mengandung makna tekad dan arah, baik tekad itu mengandung sesuatu yang baik maupun buruk. Kata qaṣdu juga bisa dipahami dalam arti: lurus.5 Adapun

دِصَت قُّم

terambil dari kata

دصقلا

yakni pertengahan. Al-Muqtaṣid adalah orang yang bersungguh-sungguh menempuh jalan pertengahan/moderat.

Adapun Syarī‘ah secara etimologi berarti maurid al-maallażi tasyra’u fihi al-dawab (tempat air mengalir, dimana hewan-hewan

minum disana) kata ini juga berarti

ءالما عرشم

(tempat tumbuh dan sumber mata air), yaitu

نوقتسيو اهنم نوبرشيف سانلا اهعرشي تىلأ ةبراشلا دروم

6(tempat lewatnya orang-orang yang minum, yaitu manusia yang mengambil minuman dari sana atau tempat mereka mengambil air). Penggunaan kata Syarī‘ah dalam Al- Qur‟an bisa dilihat dalam berbagai derivasinya yang ditemukan dalam beberapa ayat Al-Qur‟an. Diantaranya dalam Q.s.Al-Māi’dah/05:

4 Busyro, Maqāṣid al-Syarī‘ah Pengetahuan Mendasar Memahami Maslahah, (Jakarta: Kencana, 2019), 5.

5 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol 7 (Jakarta: Lentera Hati, 2003).

6 Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab, jilid 8 (Beirut: Dār Ṣādr), 175.

(36)

19

48

٨٤ اًجاَهْ نِمَّو ًةَعْرِش ْمُكْنِم اَنْلَعَج ٍّلُكِل

Q.s. Jasiyah/45: 18.

ِرْمَْلْا َنِّم ٍةَعْ يِرَش ىّٰلَع َكّٰنْلَعَج َُّثُ

اَهْعِبَّتاَف

Pemakaian kata Syarī‘ah dengan arti tempat tumbuh dan sumber mata air, bermakna bahwa sesungguhnya air merupakan sumber kehidupan manusia, demikian pula halnya dengan agama Islam merupakan sumber kehidupan setiap Muslim. Tanpa Syarī‘ah manusia tidak akan mendapatkan kebaikan, sebagaimana ia tidak mendapatkan air untuk diminum. Oleh karena itu syariat Islam merupakan sumber setiap kebaikan, pengharapan, kebahagiaan dalam kehidupan dunia maupun akhirat.7

Secara terminology maqāṣid al-syarī‘ah menurut Ibn „Āsyūr adalah al-ma‘āni wa al-ḥikam (makna-makna dan hikmah-hikmah) yang diinginkan oleh Syār‘i (Allah Swt dan Rasul-Nya) dalam setiap penetapan hukum secara umum. Definisi yang agak sempurna mengenai maqāṣid al-syarī‘ah dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili, sebagai berikut: Maqāṣid al-Syarī‘ah adalah makna-makna dan tujuan yang dapat dipahami/dicatat pada setiap hukum dan untuk mengagungkan hukum itu sendiri, atau bisa juga didefinisikan dengan tujuan akhir dari syariat Islam dan rahasia-rahasia yang ditetapkan oleh al-syar‘i pada setiap hukum yang di tetapkannya.8

7 Busyro, Maqāṣid al-syarī‘ah Pengetahuan Mendasar Memahami Maslahah, 9 mengutip dari Ibn Mukhtar al-khadimi ilm al-Maqasid. 14.

8 Busyro, Maqāṣid al-Syarī‘ah Pengetahuan Mendasar Memahami Maslahah. 10.

(37)

Secara sederhana terminology maqāṣid al-syarī‘ah didefenisikan sebagai maksud-maksud atau tujuan-tujuan di balik syari‟at Islam untuk kebaikan manusia yang mengutamakan jalan tengah/moderat, atau upaya manusia untuk mendapatkan solusi yang sempurna dan jalan yang benar berdasarkan sumber utama ajaran Islam, Al-Qur‟an dan Hadis.9

2. Perkembangan Gagasan Maqāṣid Al-Syarī‘ah

Suatu teori ilmu pengetahuan tidak pernah terlepas dari latar belakang dan perjalanan waktu yang mengitarinya. Demikian juga maqāṣid al-syarī‘ah yang sejatinya sudah ada sejak adanya syariat islam itu diperkenalkan oleh Nabi Muhammad Saw, walaupun saat itu istilah maqāṣid al-syarī‘ah belum dikenal, namun sebuah tuntunan dan ajaran pasti memiliki tujuan dan maksud tertentu, untuk lebih jelasnya akan dijelaskan sebagai berikut.

a) Gambaran Maqāṣid pada masa sahabat

Perkembangan gagasan yang mencoba menarik kesimpulan mengenai tujuan, atau maksud yang mendasari perintah Al-Qur‟an dan intruksi Nabi (sunnah), dapat dilacak hingga masa sahabat sebagaimana yang riwayatkan dalam sejumlah peristiwa.10 Salah satu contoh yang populer adalah ketika Nabi Saw mengirim sekelompok sahabat ke Banī Qurayẓah, dan memerintahkan mereka salat Asar di sana. Namun ketika batas waktu salat ‘Asyar sudah hampir habis para sahabat belum sampai di Banī Qurayẓah. Kemudian para sahabat terbagi kedalam dua pendapat. Pendapat pertama bersikukuh salat

9 Busyro, Maqāṣid al-Syarī‘ah Pengetahuan Mendasar Memahami Maslahah, 9. dan Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqāṣid al- syarī‘ah 11.

10 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqāṣid al-syarī‘ah.

41.

(38)

21

‘Asyar di tempat itu (Banī Qurayẓah) apapun yang terjadi. Kedua, bersikukuh salat ‘Asyar di perjalanan (sebelum waktu salat ‘Asyar habis).11

Pendapat pertama memaknai bahwa perintah Nabi Saw secara tekstual, meminta setiap orang untuk salat ‘Asyar di Bani Qurayẓah.

Sedangkan kelompok kedua beralasan bahwa maksud perintah Nabi adalah meminta para sahabat bergegas ke banī Qurayẓah, bukan untuk menunda salat ‘Asyar hingga habis waktu salat.

Contoh lain yang menunjukkan konskuensi lebih serius dari pendekatan Maqāṣid terhadap perintah Nabi adalah tentang pembagian ganīmah di masa pemerintahan Khalifah „Umar bin khattab. Dalam insiden ini, para sahabat meminta Umar untuk segera membagikan harta rampasan perang berupa tanah yang baru ditaklukkan di daerah Mesir dan Irak kepada mereka. Argument mereka didasarkan pada beberapa ayat Al-Qur‟an yang secara jelas membolehkan para tentara mūjahid memperoleh ganīmah. Namun

„Umar menolak membagi seluruh kota dan daerah kepada para

11

يضر رمع نبإ نع عفان نع أسمأ نب ةيريوج انثدح أسمأ نب دممح نب للهادبع انثدح نيب فيلْإ رصعلا دحأ ينلصيلْ :بازحلأا موي ملسو ويلع للها ىلص بينلا لاق ،لاق امهنع للها لب : مهضعب لاقو ،مهيتأن تىح ىلصنلْ : مهضعب لاقف قيرطلا فيرصعلا مهضعب كردأف ةظيرق نم دري لِ ،ىلصن للهادبع .مهنم ادحاو فنعي ملف ملسو ويلع للها لص بينلل كلاذ ركذف كلاذ ا

اثلا زلجا ،ومايأو وننسو للهاوسر ثيدح نم دنسلما حيحصلا عمالجا ،يراخبلا ليع اسمإ نب دممح

ةبتكلما ،ثل .ةرىاقلا ،ةيفلسلا

„Abdullah Muḥammad bin Ismāīl al-Bukhārī, Al-Jām‘ī al-ṣaḥīḥ, (al-Maktabah al-Salafiyah: Kairo 1400 H) juz 3, 119.

(39)

sahabat dengan mengacu pada ayat lain12 yang memiliki redaksi lebih umum, yang menyatakan bahwa Allah memiliki maksud agar tidak menjadikan orang kaya mendominasi harta kekayaan.

„Umar bin khattab dan para sahabat yang mendukung pendapatnya memahami ayat khusus tentang ganīmah dalam konteks maqāṣid hukum khusus. Maqāṣid yang dimaksud adalah mengurangi kesenjangan ekonomi di kalangan ummat Islam.

Dalam riwayat lain yang mengungkapkan konsekuensi dari pemberlakuan adalah penangguhan hukuman atas tindakan pencurian pada musim kemarau di Madinah. „Umar berpandangan bahwa penerapan hukuman yang ditentukan oleh Nas,13 dalam situasi ketika masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan pokok untuk kelangsungan hidup bertentangan dengan prinsip keadilan, yang dinilai lebih fundamental.

Contoh lainnya adalah riwayat yang disandarkan kepada Ibn Abbas. “Dari Ibn Abbas, sesungguhnya ada dua orang dari Irak yang mendatanginya dan bertanya tentang mandi pada hari Jum‟at, apakah wajib? Ibn Abbas menjawab, “siapa yang mandi maka itu lebih baik

12 Ayat yang dimaksud adalah pada Q.s. al-Hasyr/59: 7.

ىّٰلَع ُوّّٰللا َءۤاَفَا اَم وِلْوُسَر ْنِم ِلْىَا ىّٰرُقْلا ِوّّٰلِلَف ِلْوُسَّرلِلَو ىِذِلَو ّٰبْرُقْلا ىّٰمّٰتَيْلاَو ِْينِكّٰسَمْلاَو ِنْباَو

ِلْيِبَّسلا ْيَك ۙ

َلْ

َنْوُكَي

ًةَلْوُد َْينَ ب ۙ

ِءۤاَيِنْغَْلْا ْمُكْنِم اَمَو ۙ ُمُكىّٰتّٰا ُلْوُسَّرلا ُهْوُذُخَف اَمَو ْمُكىّٰهَ ن ُوْنَع اْوُهَ تْ ناَف اوُقَّ تاَو ۙ

َوّّٰللا َّنِا ۙ َوّّٰللا ُدْيِدَش ِباَقِعْلا

٧ ۙ

13 Sebagai mana dijelaskan dalam Q.s. al-Māi’dah/5, 38 bahwa hukuman bagi kejahatan pencurian adalah hukum potong tangan.

ا ۙ ْوُعَطْقاَف ُةَقِراَّسلاَو ُقِراَّسلاَو

٢٤ ٌمْيِكَح ٌزْ يِزَع ُوّّٰللاَو ۙ ِوّّٰللا َنِّم ًلْاَكَن اَبَسَك اَِبِ ۙ ًءۤاَزَج اَمُهَ يِدْيَا

(40)

23

dan lebih menyucikan, saya (Ibn Abbas) akan menjelaskan kepadamu kenapa harus mandi sebelum Jum‟at. Manusia pada masa Rasul Saw banyak mempunyai kepentingan, mereka memakai pakaian dari wol kasar sambil memikul kurma di atas punggung mereka. Sedangkan Masjid saat itu sangat sempit. Suatu ketika Rasul Saw masuk ke Masjid dalam cuaca yang sangat panas, Ia berdiri di atas mimbar yang kecil, berkhotbah, dan hanya berjarak tiga hasta dari jamaah.

Bau keringat dan pakaian wol mereka membuat yang lain merasa terganggu, termasuk mengganggu penciuman Rasul Saw. Lalu Nabi Saw bersabda di atas mimbarnya, “wahai manusia, apabila datang hari Jum‟at, maka mandilah terlebih dahulu, dan pakailah harum- haruman”.14

Selain melakukan Ijtihat sendiri-sendiri, para sahabat juga ada kalanya melakukan ijtihad Bersama-sama, seperti yang pernah dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar dalam kasus pengumpulan AL- Qur‟an dalam satu Mushaf dan masalah orang yang enggan membayar zakat. Pendapat mereka bisa dikategorikan sebagai maqāṣid al-syarī‘ah, walaupun istilah ini belum muncul pada saat itu.

b) Permulaan Teori Maqāṣid

Setelah era sahabat, teori dan klasifikasi maqāṣid mulai berkembang, akan tetapi maqāṣid sebagaimana kita kenal sekarang ini belum berkembang secara signifikan hingga munculnya para ahli ushul fiqih pada abad ke-5 hingga ke-8 H. Istilah-istilah yang menandai adanya pemikiran maqāṣid dalam kurun waktu tiga abad,

14 Ṣaḥīḥ Ibn Khuzaimah, juz 3, 127.

(41)

tampak pada beberapa karya ulama mazhab tradisional, dengan pertimbangan qiyas, istihsan, dan pertimbangan kemaslahatan.15

Akan tetapi maqāṣid belum menjadi satu topik yang menjadi perhatian khusus hingga akhir abad ke-3 H. Berikut adalah beberapa tulisan yang menggambarkan konsep maqāṣid awal antara abad ke-3 dan ke-5 H.

1) Al-Tirmizi al-Ḥakīm (w 296 H) dalam karyanya yang berjudul al-Ṣalah wamaqāṣiduhā (salat dan maqasidnya). Dalam buku ini dituliskan sekumpulan hikmah dan rahasia spiritual di balik setiap gerakan salat, dengan kecendrungan sufi. Contohnya adalah, menegaskan ketundukan sebagai maqāṣid di balik pengagungan kepada Allah melalui setiap gerakan dalam salat. Mencapai kesadaran sebagai maqāṣid di balik memuji kepada Allah, menfokuskan salat seseorang sebagai maksud di balik menghadap ke ka‟bah.

2) Abū zaid al-Balkhī (w 322 H) ide maqāṣid-nya dituangkan dalam karyanya tentang maqāṣid mu‘amalah, al-ibānah ‘ilal al-diyānah (penjelasan tujuan-tujuan di balik praktik-praktik ibadah). Selain itu al-Balkhī juga menulis sebuah buku tentang kemaslahatan, dengan judul maṣāliḥ al-abdān wa al-anfus (kemaslahatan- kemaslahatan raga dan jiwa). Dalam buku ini dijelaskan bagaimana praktik dan hukum Islam berkontribusi terhadap kesehatan dan jiwa.

15 Jasser Auda, al-Maqāṣid Untuk Pemula, 30.

(42)

25

3) Al Qaffal al-Kabīr (w 365 H) menulis manuskrip terkuno yang saya temukan16 di Dār al-kutub (balai kitab-kitab) Mesir terkait maqāṣid, maḥāsin al-syarā‘i (keindahan-keindahan hukum Syariah). Buku ini disusun sesuai dengan bab-bab fikih tradisional. Di dalamnya dijelaskan hukum-hukum fikih secara singkat, kemudian mengelaborasi maqāṣid dan hikmah di baliknya.

4) Ibn Babāwaih al-Ṣadūq al-Qummī (w 381H). Merupakan seorang fakih penganut syi’ah pada abad ke-4 H yang menulis kitab yang berjudul „ilal al-syarā‘i, (alasan-alasan di balik hukum syari‟ah).

5) Al-„Āmirī al-Failasuf (w 381 H) mengajukan klasifikasi teoretik dalam karyanya al-I‘ilām bi manāqib al-Islām (pemberitahuan tentang kebaikan-kebaikan Islam). Akan tetapi klasifikasi yang dilakukan al-„Āmirī sebatas berdasarkan ḥudūd (hukum pidana) dalam hukum Islam.

c) Perkembangan dan Pembukuan Maqāṣid al-Syarī‘ah Perkembangan maqāṣid pada abad ke -3 hingga ke-5 belum menunjukkan gagasan yang signifikan, pada fase selanjutnya konsep maqāṣid mulai dijadikan sebagai sebuah konsep dan cara berfikir sistematis untuk meyelesaikan berbagai permasalahan. Abad ke-5 sebagaimana disebutkan oleh Ibn Bayyah adalah abad di mana lahirnya filsafat hukum Islam, setelah sebelumnya metode literal dan nominal yang berkembang pada masa sebelum hingga abad ke-5, terbukti tidak mampu menangani kompleksitas pradaban. Menurut Jasser Auda, kemaslahatan mursal yang menjadi salah satu landasan

16 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqāṣid al-Syarī‘ah.

46.

(43)

berfikir sahabat „Umar bin Khattab sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, perlu dikembangkan sebagai metode yang mencakup apa yang belum disebutkan dalam nas.17

Kemaslahatan mursal inilah yang kemudian mendorong lahirnya teori maqāṣid dalam hukum Islam. Adapun beberapa tokoh yang berkontribusi besar terhadap teori maqāṣid pada abad ke-5 hingga ke-8 H di antaranya:

1) Abū al-Ma„ālī al-Juwainī

Abū al-Ma‟ālī Abd al-Mālik ibn Abdillah ibn Yūsuf al- Juwainī, populer dengan nama al-Imām al-Haramain (w. 478 H) dapat dikatakan sebagai ahli ushul fiqih pertama yang menekankan pentingnya memahami Maqāṣid al-Syarī‘ah. Imām al- Juwainī secara tegas menyatakan bahwa seseorang tidak dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam, sebelum ia memahami dengan benar tujuan Allah dalam mengeluarkan perintah-perintah dan larangannya.18

Imām al-Juwainī juga yang pertama memperkenalkan teori tingkatan keniscayaan yang mirip dengan teori tingkat keniscayaan yang familiar saat ini. Dia menyarankan lima tingkatan maqāṣid, yaitu keniscayaan (ḍarūrāt), kebutuhan public (al- ḥājah al-‘āmmah), prilaku moral (al-makrumāt), anjuran-anjuran (al-mandūbāt), dan apa yang tidak dicantumkan pada alasan khusus. Imām al-Juwainī mengemukakan bahwa maqāṣid hukum Islam adalah kemaksuman

17 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqāṣid al-Syarī‘ah.

50.

18 Musolli, “Maqāṣid al-Syarī‘ah: kajian teoritis dan aplikatif pada isu-isu kontemporer”. At-Turats, vol 5, No. 1 (Juni 2018) 63.

(44)

27

(al-‘Iṣmah), atau penjagaan keimanan, jiwa, akal, keluarga dan harta.19

Selain al-Burhān fi usul al-Fiqh, imām Juwainī juga menulis kitab Giyaṣ al-Umam (penyelamat umat-umat) yang memberi kontribusi penting terhadap maqāṣid al-syarī‘ah, walaupun pada awalnya buku itu ditujukan untuk isu politik. Sebagaimana disebutkan oleh Jaser Auda bahwa dalam buku yang berjudul Giyaṣ al-Umam, imām al-Juwainī menyebutkan sebuah asumsi hipotesis di mana suatu saat para fakih dan mazhab-mazhab fikih pada akhirnya akan lenyap di bumi, dan ia menyarankan, satu-satunya cara meyelamatkan Islam adalah dengan melakukan rekontruksi dari bawah ke atas dengan berpegang pada prinsip fundamental yang menjadi dasar pijakan bagi seluruh hukum Islam, sekaligus tempat bertemunya seluruh hukum-hukum. Pokok-pokok hukum Islam inilah yang kemudian secara eksplisit oleh al-Juwainī disebut dengan maqāṣid yaitu tidak adanya keterikatan tendensi dan pendapat yang berbeda-beda menyangkut perbedaan interpretasi.20

2) Abū Ḥāmid al-Gazālī

Nama lengkapnya adalah Abū Ḥāmid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad, bin Ahmad al-Gazālī al-Ṭūsi, terkenal dengan gelar hujjail Islam al-Imām al-Jalil zain ad-din (argumentator Islam). Gelar ini dia dapatkan karena jasanya yang besar dalam

19 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqāṣid al-Syarī‘ah.

50.

20 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqāṣid al-Syarī‘ah.

51.

(45)

menjaga syari‟at Islam dari pengaruh ajaran Bid‘ah dan aliran rasionalisme.21maqāṣid al-syarī‘ah

Imām al-Gazālī merupakan muridnya imām al-Juwainī, pertemuan keduanya terjadi ketika Imām al-Gazālī melanjutkan Pendidikannya di Madrasah Niẓamiyah. Pada waktu itu Madrasah an- Niẓamiyah dikepalai oleh Imām Abū al-Ma„ālī Abd al-Mālik ibn Abdillah ibn Yūsuf al-Juwainī yang dikenal dengan imām Haramain, selain bertindak sebagai kepala sekolah, ia juga menjadi salah satu tenaga pengajar di sana.

Dalam bidang maqāṣid, imām al-Gazālī berperan dalam mengembangkan teori gurunya imam al-Juwainī, dikatakan oleh Jasser Auda bahwa, imam al-Gazālī lah yang mencetuskan jenjang- jenjang keniscayaan (al-daruryat) Imām al-Juwaini, gagasannya dituangkan dalam kitab al-Muṣtasfā (yang dijernihkan).22 Imām al- Gazālī mengurutkan kebutuhan yang disarankan Imām al- Juwainī sebagai berikut: 1) keimanan, 2) Jiwa, 3) Akal, 4) keturunan, 5) Harta. Imām al-Ghazālī juga mencetuskan istilah perlindungan (al- Ḥifẓ) terhadap kebutuhan-kebutuhan ini.

Selain itu, imām al-Gazālī menyarankan sebuah aturan yang fundamental berdasarkan jenjang keniscayaan yang ia ajukan, implikasinya adalah kebutuhan yang urutannya lebih tinggi (lebih dasar), harus memiliki prioritas atas kebutuhan yang memiliki nilai urutan yang lebih rendah apabila terjadi pertentangan dalam penerapan keduanya.

21 Suansar Khatib, “konsep Maqāṣid al-Syarī‘ah: Perbandingan Antara Pemikiran al-Gazālīdan al-Syāṭibī”, Mizani, Vol. 5 No. 1 (2018): 50.

22 Jasser Auda, al-Maqāṣid untuk pemula, 40

Referensi

Dokumen terkait

Target kursus AWARE Shark Conservation Diver adalah memberi tahu para murid tentang nilai hiu bagi ekosistem laut dan ekonomi, untuk mendidik mereka tentang sebab-sebab

PT Waskita Karya (Persero) Tbk (WSKT) membukukan perolehan kontrak baru senilai Rp12.2 triliun per September 2020 atau setara dengan realisasi 45% dari target pada tahun

dimensi anak (kognitif, fisik, sosial-emosi, kreativitas, dan spiritual). Pendidikan dengan model pendidikan seperti ini berorientasi pada pembentukan anak sebagai manusia

Aplikasi ini nantinya akan memberikan informasi letak – letak ATM dalam bentuk peta dan dapat menentukan lokasi ATM terdekat dari posisi nasabah menggunakan formula

Metode dalam penentuan pohon rentang dengan daun terbanyak dapat ditentukan dengan menggunakan algoritma exact, yaitu dengan membangun suatu pohon bagian T

Distribusi yield hasil pencairan batubara dari beberapa sampel limonit yang diperoleh dari lokasi yang berbeda dapat dilihat pada grafik 1 di bawah Hasil percobaan

Menurut Manuaba (2008; h.389) disebutkan perdarahan terjadi karena gangguan hormon, gangguan kehamilan, gangguan KB, penyakit kandungan dan keganasan genetalia. 55)