• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TELAAH UMUM MAQĀṢID Al-SYARĪ‘AH DAN

A. MAQĀṢID AL-SYARĪ‘AH

2. Perkembangan Gagasan Maqāṣid Al-Syarī‘ah…

Suatu teori ilmu pengetahuan tidak pernah terlepas dari latar belakang dan perjalanan waktu yang mengitarinya. Demikian juga maqāṣid al-syarī‘ah yang sejatinya sudah ada sejak adanya syariat islam itu diperkenalkan oleh Nabi Muhammad Saw, walaupun saat itu istilah maqāṣid al-syarī‘ah belum dikenal, namun sebuah tuntunan dan ajaran pasti memiliki tujuan dan maksud tertentu, untuk lebih jelasnya akan dijelaskan sebagai berikut.

a) Gambaran Maqāṣid pada masa sahabat

Perkembangan gagasan yang mencoba menarik kesimpulan mengenai tujuan, atau maksud yang mendasari perintah Al-Qur‟an dan intruksi Nabi (sunnah), dapat dilacak hingga masa sahabat sebagaimana yang riwayatkan dalam sejumlah peristiwa.10 Salah satu contoh yang populer adalah ketika Nabi Saw mengirim sekelompok sahabat ke Banī Qurayẓah, dan memerintahkan mereka salat Asar di sana. Namun ketika batas waktu salat ‘Asyar sudah hampir habis para sahabat belum sampai di Banī Qurayẓah. Kemudian para sahabat terbagi kedalam dua pendapat. Pendapat pertama bersikukuh salat

9 Busyro, Maqāṣid al-Syarī‘ah Pengetahuan Mendasar Memahami Maslahah, 9. dan Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqāṣid al-syarī‘ah 11.

10 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqāṣid al-syarī‘ah.

41.

21

‘Asyar di tempat itu (Banī Qurayẓah) apapun yang terjadi. Kedua, bersikukuh salat ‘Asyar di perjalanan (sebelum waktu salat ‘Asyar habis).11

Pendapat pertama memaknai bahwa perintah Nabi Saw secara tekstual, meminta setiap orang untuk salat ‘Asyar di Bani Qurayẓah.

Sedangkan kelompok kedua beralasan bahwa maksud perintah Nabi adalah meminta para sahabat bergegas ke banī Qurayẓah, bukan untuk menunda salat ‘Asyar hingga habis waktu salat.

Contoh lain yang menunjukkan konskuensi lebih serius dari pendekatan Maqāṣid terhadap perintah Nabi adalah tentang pembagian ganīmah di masa pemerintahan Khalifah „Umar bin khattab. Dalam insiden ini, para sahabat meminta Umar untuk segera membagikan harta rampasan perang berupa tanah yang baru ditaklukkan di daerah Mesir dan Irak kepada mereka. Argument mereka didasarkan pada beberapa ayat Al-Qur‟an yang secara jelas membolehkan para tentara mūjahid memperoleh ganīmah. Namun

„Umar menolak membagi seluruh kota dan daerah kepada para

11

يضر رمع نبإ نع عفان نع أسمأ نب ةيريوج انثدح أسمأ نب دممح نب للهادبع انثدح نيب فيلْإ رصعلا دحأ ينلصيلْ :بازحلأا موي ملسو ويلع للها ىلص بينلا لاق ،لاق امهنع للها لب : مهضعب لاقو ،مهيتأن تىح ىلصنلْ : مهضعب لاقف قيرطلا فيرصعلا مهضعب كردأف ةظيرق نم دري لِ ،ىلصن للهادبع .مهنم ادحاو فنعي ملف ملسو ويلع للها لص بينلل كلاذ ركذف كلاذ ا

اثلا زلجا ،ومايأو وننسو للهاوسر ثيدح نم دنسلما حيحصلا عمالجا ،يراخبلا ليع اسمإ نب دممح

ةبتكلما ،ثل .ةرىاقلا ،ةيفلسلا

„Abdullah Muḥammad bin Ismāīl al-Bukhārī, Al-Jām‘ī al-ṣaḥīḥ, (al-Maktabah al-Salafiyah: Kairo 1400 H) juz 3, 119.

sahabat dengan mengacu pada ayat lain12 yang memiliki redaksi lebih umum, yang menyatakan bahwa Allah memiliki maksud agar tidak menjadikan orang kaya mendominasi harta kekayaan.

„Umar bin khattab dan para sahabat yang mendukung pendapatnya memahami ayat khusus tentang ganīmah dalam konteks maqāṣid hukum khusus. Maqāṣid yang dimaksud adalah mengurangi kesenjangan ekonomi di kalangan ummat Islam.

Dalam riwayat lain yang mengungkapkan konsekuensi dari pemberlakuan adalah penangguhan hukuman atas tindakan pencurian pada musim kemarau di Madinah. „Umar berpandangan bahwa penerapan hukuman yang ditentukan oleh Nas,13 dalam situasi ketika masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan pokok untuk kelangsungan hidup bertentangan dengan prinsip keadilan, yang dinilai lebih fundamental.

Contoh lainnya adalah riwayat yang disandarkan kepada Ibn Abbas. “Dari Ibn Abbas, sesungguhnya ada dua orang dari Irak yang mendatanginya dan bertanya tentang mandi pada hari Jum‟at, apakah wajib? Ibn Abbas menjawab, “siapa yang mandi maka itu lebih baik

13 Sebagai mana dijelaskan dalam Q.s. al-Māi’dah/5, 38 bahwa hukuman bagi kejahatan pencurian adalah hukum potong tangan.

ا ۙ ْوُعَطْقاَف ُةَقِراَّسلاَو ُقِراَّسلاَو

٢٤ ٌمْيِكَح ٌزْ يِزَع ُوّّٰللاَو ۙ ِوّّٰللا َنِّم ًلْاَكَن اَبَسَك اَِبِ ۙ ًءۤاَزَج اَمُهَ يِدْيَا

23

dan lebih menyucikan, saya (Ibn Abbas) akan menjelaskan kepadamu kenapa harus mandi sebelum Jum‟at. Manusia pada masa Rasul Saw banyak mempunyai kepentingan, mereka memakai pakaian dari wol kasar sambil memikul kurma di atas punggung mereka. Sedangkan Masjid saat itu sangat sempit. Suatu ketika Rasul Saw masuk ke Masjid dalam cuaca yang sangat panas, Ia berdiri di atas mimbar yang kecil, berkhotbah, dan hanya berjarak tiga hasta dari jamaah.

Bau keringat dan pakaian wol mereka membuat yang lain merasa terganggu, termasuk mengganggu penciuman Rasul Saw. Lalu Nabi Saw bersabda di atas mimbarnya, “wahai manusia, apabila datang hari Jum‟at, maka mandilah terlebih dahulu, dan pakailah harum-haruman”.14

Selain melakukan Ijtihat sendiri-sendiri, para sahabat juga ada kalanya melakukan ijtihad Bersama-sama, seperti yang pernah dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar dalam kasus pengumpulan AL-Qur‟an dalam satu Mushaf dan masalah orang yang enggan membayar zakat. Pendapat mereka bisa dikategorikan sebagai maqāṣid al-syarī‘ah, walaupun istilah ini belum muncul pada saat itu.

b) Permulaan Teori Maqāṣid

Setelah era sahabat, teori dan klasifikasi maqāṣid mulai berkembang, akan tetapi maqāṣid sebagaimana kita kenal sekarang ini belum berkembang secara signifikan hingga munculnya para ahli ushul fiqih pada abad ke-5 hingga ke-8 H. Istilah-istilah yang menandai adanya pemikiran maqāṣid dalam kurun waktu tiga abad,

14 Ṣaḥīḥ Ibn Khuzaimah, juz 3, 127.

tampak pada beberapa karya ulama mazhab tradisional, dengan pertimbangan qiyas, istihsan, dan pertimbangan kemaslahatan.15

Akan tetapi maqāṣid belum menjadi satu topik yang menjadi perhatian khusus hingga akhir abad ke-3 H. Berikut adalah beberapa tulisan yang menggambarkan konsep maqāṣid awal antara abad ke-3 dan ke-5 H.

1) Al-Tirmizi al-Ḥakīm (w 296 H) dalam karyanya yang berjudul al-Ṣalah wamaqāṣiduhā (salat dan maqasidnya). Dalam buku ini dituliskan sekumpulan hikmah dan rahasia spiritual di balik setiap gerakan salat, dengan kecendrungan sufi. Contohnya adalah, menegaskan ketundukan sebagai maqāṣid di balik pengagungan kepada Allah melalui setiap gerakan dalam salat. Mencapai kesadaran sebagai maqāṣid di balik memuji kepada Allah, menfokuskan salat seseorang sebagai maksud di balik menghadap ke ka‟bah.

2) Abū zaid al-Balkhī (w 322 H) ide maqāṣid-nya dituangkan dalam karyanya tentang maqāṣid mu‘amalah, al-ibānah ‘ilal al-diyānah (penjelasan tujuan-tujuan di balik praktik-praktik ibadah). Selain itu al-Balkhī juga menulis sebuah buku tentang kemaslahatan, dengan judul maṣāliḥ al-abdān wa al-anfus (kemaslahatan-kemaslahatan raga dan jiwa). Dalam buku ini dijelaskan bagaimana praktik dan hukum Islam berkontribusi terhadap kesehatan dan jiwa.

15 Jasser Auda, al-Maqāṣid Untuk Pemula, 30.

25

3) Al Qaffal al-Kabīr (w 365 H) menulis manuskrip terkuno yang saya temukan16 di Dār al-kutub (balai kitab-kitab) Mesir terkait maqāṣid, maḥāsin al-syarā‘i (keindahan-keindahan hukum Syariah). Buku ini disusun sesuai dengan bab-bab fikih tradisional. Di dalamnya dijelaskan hukum-hukum fikih secara singkat, kemudian mengelaborasi maqāṣid dan hikmah di baliknya.

4) Ibn Babāwaih al-Ṣadūq al-Qummī (w 381H). Merupakan seorang fakih penganut syi’ah pada abad ke-4 H yang menulis kitab yang berjudul „ilal al-syarā‘i, (alasan-alasan di balik hukum syari‟ah).

5) Al-„Āmirī al-Failasuf (w 381 H) mengajukan klasifikasi teoretik dalam karyanya al-I‘ilām bi manāqib al-Islām (pemberitahuan tentang kebaikan-kebaikan Islam). Akan tetapi klasifikasi yang dilakukan al-„Āmirī sebatas berdasarkan ḥudūd (hukum pidana) dalam hukum Islam.

c) Perkembangan dan Pembukuan Maqāṣid al-Syarī‘ah Perkembangan maqāṣid pada abad ke -3 hingga ke-5 belum menunjukkan gagasan yang signifikan, pada fase selanjutnya konsep maqāṣid mulai dijadikan sebagai sebuah konsep dan cara berfikir sistematis untuk meyelesaikan berbagai permasalahan. Abad ke-5 sebagaimana disebutkan oleh Ibn Bayyah adalah abad di mana lahirnya filsafat hukum Islam, setelah sebelumnya metode literal dan nominal yang berkembang pada masa sebelum hingga abad ke-5, terbukti tidak mampu menangani kompleksitas pradaban. Menurut Jasser Auda, kemaslahatan mursal yang menjadi salah satu landasan

16 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqāṣid al-Syarī‘ah.

46.

berfikir sahabat „Umar bin Khattab sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, perlu dikembangkan sebagai metode yang mencakup apa yang belum disebutkan dalam nas.17

Kemaslahatan mursal inilah yang kemudian mendorong lahirnya teori maqāṣid dalam hukum Islam. Adapun beberapa tokoh yang berkontribusi besar terhadap teori maqāṣid pada abad ke-5 hingga ke-8 H di antaranya:

1) Abū al-Ma„ālī al-Juwainī

Abū al-Ma‟ālī Abd al-Mālik ibn Abdillah ibn Yūsuf al- Juwainī, populer dengan nama al-Imām al-Haramain (w. 478 H) dapat dikatakan sebagai ahli ushul fiqih pertama yang menekankan pentingnya memahami Maqāṣid al-Syarī‘ah. Imām al- Juwainī secara tegas menyatakan bahwa seseorang tidak dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam, sebelum ia memahami dengan benar tujuan Allah dalam mengeluarkan perintah-perintah dan larangannya.18

Imām al-Juwainī juga yang pertama memperkenalkan teori tingkatan keniscayaan yang mirip dengan teori tingkat keniscayaan yang familiar saat ini. Dia menyarankan lima tingkatan maqāṣid, yaitu keniscayaan (ḍarūrāt), kebutuhan public (al- ḥājah al-‘āmmah), prilaku moral (al-makrumāt), anjuran-anjuran (al-mandūbāt), dan apa yang tidak dicantumkan pada alasan khusus. Imām al-Juwainī mengemukakan bahwa maqāṣid hukum Islam adalah kemaksuman

17 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqāṣid al-Syarī‘ah.

50.

18 Musolli, “Maqāṣid al-Syarī‘ah: kajian teoritis dan aplikatif pada isu-isu kontemporer”. At-Turats, vol 5, No. 1 (Juni 2018) 63.

27

(al-‘Iṣmah), atau penjagaan keimanan, jiwa, akal, keluarga dan harta.19

Selain al-Burhān fi usul al-Fiqh, imām Juwainī juga menulis kitab Giyaṣ al-Umam (penyelamat umat-umat) yang memberi kontribusi penting terhadap maqāṣid al-syarī‘ah, walaupun pada awalnya buku itu ditujukan untuk isu politik. Sebagaimana disebutkan oleh Jaser Auda bahwa dalam buku yang berjudul Giyaṣ al-Umam, imām al-Juwainī menyebutkan sebuah asumsi hipotesis di mana suatu saat para fakih dan mazhab-mazhab fikih pada akhirnya akan lenyap di bumi, dan ia menyarankan, satu-satunya cara meyelamatkan Islam adalah dengan melakukan rekontruksi dari bawah ke atas dengan berpegang pada prinsip fundamental yang menjadi dasar pijakan bagi seluruh hukum Islam, sekaligus tempat bertemunya seluruh hukum-hukum. Pokok-pokok hukum Islam inilah yang kemudian secara eksplisit oleh al-Juwainī disebut dengan maqāṣid yaitu tidak adanya keterikatan tendensi dan pendapat yang berbeda-beda menyangkut perbedaan interpretasi.20

2) Abū Ḥāmid al-Gazālī

Nama lengkapnya adalah Abū Ḥāmid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad, bin Ahmad al-Gazālī al-Ṭūsi, terkenal dengan gelar hujjail Islam al-Imām al-Jalil zain ad-din (argumentator Islam). Gelar ini dia dapatkan karena jasanya yang besar dalam

19 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqāṣid al-Syarī‘ah.

50.

20 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqāṣid al-Syarī‘ah.

51.

menjaga syari‟at Islam dari pengaruh ajaran Bid‘ah dan aliran rasionalisme.21maqāṣid al-syarī‘ah

Imām al-Gazālī merupakan muridnya imām al-Juwainī, pertemuan keduanya terjadi ketika Imām al-Gazālī melanjutkan Pendidikannya di Madrasah Niẓamiyah. Pada waktu itu Madrasah an- Niẓamiyah dikepalai oleh Imām Abū al-Ma„ālī Abd al-Mālik ibn Abdillah ibn Yūsuf al-Juwainī yang dikenal dengan imām Haramain, selain bertindak sebagai kepala sekolah, ia juga menjadi salah satu tenaga pengajar di sana.

Dalam bidang maqāṣid, imām al-Gazālī berperan dalam mengembangkan teori gurunya imam al-Juwainī, dikatakan oleh Jasser Auda bahwa, imam al-Gazālī lah yang mencetuskan jenjang-jenjang keniscayaan (al-daruryat) Imām al-Juwaini, gagasannya dituangkan dalam kitab al-Muṣtasfā (yang dijernihkan).22 Imām al-Gazālī mengurutkan kebutuhan yang disarankan Imām al- Juwainī sebagai berikut: 1) keimanan, 2) Jiwa, 3) Akal, 4) keturunan, 5) Harta. Imām al-Ghazālī juga mencetuskan istilah perlindungan (al-Ḥifẓ) terhadap kebutuhan-kebutuhan ini.

Selain itu, imām al-Gazālī menyarankan sebuah aturan yang fundamental berdasarkan jenjang keniscayaan yang ia ajukan, implikasinya adalah kebutuhan yang urutannya lebih tinggi (lebih dasar), harus memiliki prioritas atas kebutuhan yang memiliki nilai urutan yang lebih rendah apabila terjadi pertentangan dalam penerapan keduanya.

21 Suansar Khatib, “konsep Maqāṣid al-Syarī‘ah: Perbandingan Antara Pemikiran al-Gazālīdan al-Syāṭibī”, Mizani, Vol. 5 No. 1 (2018): 50.

22 Jasser Auda, al-Maqāṣid untuk pemula, 40

29

3) Al-„Izz ibn Abd Salām

„Izz Abd al-Salām merupakan ulama dari kalangan Syafi„iyah.

Ia lebih banyak menekankan dan mengelaborasi konsep maslahat secara hakiki dalam bentuk menolak mafsadat dan menarik manfaat.

Menurut „Izz Abd Salām maslahat keduniaan terdiri dari tiga pokok urutan skala prioritas, yaitu: daruryat, hajiyat, dan takmilat. Lebih lanjut ia menyebutkan bahwa taklif harus bermuara pada terwujudnya Maslahat manusia, baik di dunia maupun akhirat.23

Al-„Izz ibn Abd salām menulis dua buku kecil tentang maqāṣid yang bernuansa hikmah di balik aturan syariat, yaitu:

maqāṣid al-ṣalāh (tujuan-tujuan pokok salat), dan maqāṣid al-ṣawm (tujuan-tujuan pokok puasa). Akan tetapi sumbangannya dalam pengembangan teori maqāṣid adalah karyanya tentang kemaslahatan-kemaslahatan yang diberi judul Qawā‘id aḥkām fi maṣālih al-Anām, (kaidah-kaidah dasar tentang kemaslahatan kemaslahatan manusia).

Dalam karya yang mengemukakan pembahasan yang luas tentang maslahat dan mudarat, „Izz Abd al-Salām juga memberikan penjelasan tentang hubungan sah atau tidaknya suatu aturan dengan tujuannya dan hikmah di baliknya. Sebagai contoh, beliau menulis,

“setiap aksi yang merugi tujuannya adalah tidak laku, kemudian pernyataan lainnya, “apabila kamu mempelajari bagaimana tujuan-tujuan dari arahan syariat dapat mendatangkan maṣlahat dan mencegah muḍarat, maka kamu akan menyadari tidak sahnya mengabaikan kebaikan umum sekecil apapun, atau mendukung

23 Musolli, “Maqāṣid al-syarī‘ah: kajian teoritis dan aplikatif pada isu-isu kontemporer”. 67

terjadinya muḍarat sekecil apapun dalam situasi manapun, sekalipun kamu tidak memiliki dalil yang spesifik dari teks-teks suci ijmak, atau qiyas.24

4) Syihāb al-Dīn al-Qarāfi

Dalam pembahasan maqāṣid, imam al-Qarāfi berkontribusi pada diferensiai antara perbuatan Nabi Saw, berdasarkan maksud/niat beliau. Imām al-Qarāfi menulisnya dalam kitab Al-Furūq (perbedaan-perbedaan) Dia menyebutkan: “Ada perbedaan antara perbuatan perbuatan Nabi Saw dalam kapasitasnya sebagai Rasul yang menyampaikan wahyu, sebagai hakim, dan sebagai pemimpin.

Implikasinya dalam hukum Islam adalah, apa yang beliau sabdakan atau lakukan dalam kapasitas sebagai Rasul akan menjadi hukum yang bersifat umum dan permanen, tetapi keputusan hukum yang berhubungan dengan militer, kepercayaan public, penunjukan hakim dan Gubernur, pembagian rampasan perang dan penanda tanganan surat, semuanya khusus dalam kapasitas sebagai pemimpin.25

Selain itu Imām al-Qarāfi juga menulis tentang pembukaan sarana untuk meraih kemaslahatan, yang merupakan bagian dari pengembangan teori maqāṣid. Imām al-Qarāfi juga mengatakan bahwa, apabila sarana yang mengarahkan pada tujuan haram harus ditutup, maka sarana yang mengarahkan pada tujuan halal seharusnya dibuka.26

24 Jasser Auda, Al-Maqāṣid untuk pemula. 42

25 Al-Qarafi sebagaimana di kutip dalam Jaser Auda 53.

26 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqāṣid al-Syarī‘ah.

53

31

5) Syams al-Dīn ibn al-Qayyim

Kontribusinya dalam teori maqāṣid adalah melalui kritiknya yang sangat detail terhadap trik-trik fikih yang di sebut dengan al-ḥiyal al-fiqhiyah. Ḥiyal pada kenyataannya adalah tindakan atau transaksi yang ilegal seperti riba atau korupsi yang mengambil bentuk legal seperti perdagangan atau hadiah. Kritik Ibn Qayyim terhadap al-ḥiyal didasari oleh kontradiksinya dengan tujuan-tujuan syarī‘ah.27

Ibn Qayyim merangkum metodologi fikihnya yang di dasari pada hikmah dan kesejahteraan manusia dalam beberapa kalimat yang tegas berikut ini: “Syarī‘ah didasarkan pada kebijaksanaan demi meraih keselamatan manusia di dunia dan akhirat. Syari‟ah seluruhnya terkait dengan keadilan, kasih sayang, kebijaksanaan, dan kebaikan. Jadi hukum apapun yang mengganti keadilan dengan ketidak adilan, kasih sayang dengan kebalikannya, kemaslahatan umum dengan kejahatan, atau kebijaksanaan dengan omong kosong, maka hukum tersebut bukan bagian dari syarī‘ah menurut bebera interpretasi.28

6) Abū Ishāq al-Syāṭibī

Imām al-Syāṭibī menggunnakan terminology yang serupa dengan imām al-Juwainī dan al-Ghazālī. Imam al-Syāṭibī secara khusus membahas maqāṣid al-syarī‘ah dalam kitab al-muwāfaqāt.

imām al-Syāṭibī menegaskan bahwa tujuan utama Allah menetapkan hukum-hukum-Nya adalah untuk terwujudnya maslahat hidup manusia, baik di dunia maupun akhirat, oleh karena itu taklif dalam

27 Jasser Auda, Al-Maqāṣid untuk pemula. 44

28 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqāṣid al-Syarī‘ah.54

bidang hukum harus mengarah pada terwujudnya tujuan hukum tersebut.29

Sama halnya dengan ulama sebelumnya, imām al-Syāṭibī juga membagi urutan dan skala prioritas menjadi maslahat menjadi tiga tingkatan, yaitu daruriyat, hajiyat, dan tahsiniyah. Sebagaimana disebutkan oleh Jaser Auda, imām al-Syāṭibī memiliki kontribusi paling signifikan terhadap perkembangan teori Maqāṣid dalam karyanya al-Muwāfaqāt fi Uṣūl al-syarī‘ah (harmonisasi-harmonisasi asas-asas syariat). Setidaknya ada tiga hal yang dikembangkan oleh imām al-Syāṭibī dalam teori maqāṣid. Pertama: Mengembangkan teori Maqāṣid dari posisi lama sebagai kemaslahatan mursal, atau kemaslahatan yang tidak terikat langsung oleh Nas, menjadi fondasi hukum Islam. Kedua: Mengembangkan Maqāṣid dari sekedar hikmah di balik hukum, menjadi dasar hukum itu sendiri. Ketiga:

Mengembangkan penilaian Maqāṣid sebagai salah satu dalil hukum, dari penilaian ẓannī (dugaan) menjadiqat‘ī (pasti)30

Kitab al-Muwāfaqāt imam al-Syāṭibī merupakan buku standar Maqāṣid Syarī‘ah di kalangan ulama hingga abad ke-20 M, namun usulan al-Syāṭibī untuk menjadikan maqāṣid sebagai pokok-pokok syariat, seperti yang disarankan dalam judul kitabnya tidak diterima secara luas.

29 Musolli, “Maqāṣid al-syarī‘ah: kajian teoritis dan aplikatif pada isu-isu kontemporer”. 68.

30 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqāṣid al-Syarī‘ah.

319.

33

7) Ibn „Āsyūr

Ibn „Āsyūr menulis gagasan Maqāṣid nya dalam kitab maqāṣid al-Syarī‘ah al-Islāmiyah. Ibn „Āsyūr mengusulkan bahwa maqāṣid umum hukum Islam adalah memelihara keteraturan, kesetaraan, kebebasan, kemudahan dan fitrah. Kebebasan (al-ḥurriyyah) yang diusulkan oleh Ibn „Āsyūr dan cendekiawan kontemporer berbeda dengan al-‘itq yang dikemukakan oleh faqih klasik. Sebagai sebuah terminologi al -ḥurriyyah adalah maqāṣid yang baru dalam hukum Islam.

Penjelasan selanjutnya akan dicantumkan dalam bab berikutnya.

3. Urgensi Maqāṣid Syarī‘ah

Menurut Ibn „Āsyūr sangat penting untuk mereformasi pemikiran dalam Islam pada bidang Syarī‘ah, yang tertumpu pada maqāṣid al-syarī‘ah, karena usul fiqih terjebak pada teknikalitas dan tidak menjamin dapat menjawab tantangan zaman. Oleh karena itu menurut Ibn „Āsyūr, maqāṣid al-syarī‘ah dapat direkontruksi lebih jauh untuk meningkatkan jaminan kesesuaian nilai Islam dengan tantangan zaman.31

Maqāṣid al-syarī‘ah akan sangat penting dalam istinbat hukum, sehinggga Ibn „Āsyūr sangat menyesalkan apabila maqāṣid al-syarī‘ah hanya diaplikasikan dalam pokok-pokok bahasan tertentu dalam usul fiqih. Pemahaman yang tepat dan menyeluruh tentang maqāṣid al-syarī‘ah menurut Ibn „Āsyūr adalah faktor terpenting untuk mencegah atau setidaknya mengurangi khilafiah fikih yang tidak bisa ditanggulangi oleh kaidah semantik usul fikih. Maka dari itu, Ibn „Āsyūr mendorong kajian maqāṣid al-syarī‘ah dijadikan

31 Kusmana, “Epistemologi Tafsir Maqāṣidī: sebuah kajian awal”, 21.

sebagai pokok bahasan utama dalam kajian usul fikih, atau dijadikan sebagai disiplin ilmu mandiri tanpa merusak bangunan usul fikih yang sudah ada.32

B. TAFSIR MAQĀṢIDĪ 1) Pengertian

Secara etimologi tafsir adalah al-īda wattabyin, menjelaskan dan menerangkan.33 Dalam Qur‟an disebutkan dalam surah al-Furqān/25: 33.

ٍلَثَِبِ َكَنوُتأَي َلَْو فَت َنَسحَأَو ِّقَلحٱِب َكَّٰنئِج َّلِْإ

اًيرِس ٢٢

“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik tafsirnya” (Q.s. al-Furqān/25: 33)

Kata tafsir berasal dari “fasr”, yaitu menjelaskan dan mengungkap hal yang tertutup. Dalam kamus lisān al-Arab disebutkan, al-fasr adalah al-bayan (menjelaskan), fassara syai, yufassiruhu atau fasarasyai yafsuruhu artinya abanahu (menjelaskan sesuatu), selanjutnya Ibn Manẓūr menjelaskan, al-fasru iyalah mengungkap apa yang tersembunyi, dan tafsir iyalah mengungkap apa yang dimaksud dari lafaz yang tidak jelas.

Secara terminology, di antara pendapat ulama mengenai makna tafsir adalah apa yang dikemukakan oleh imam al-Żarkasy.

32 Indra, “Maqāṣid Syarī‘ahmenurut Muhammad al-Ṭāhir bin „Āsyūr”

(Tesis S2., UIN Sumatra Utara. 2016), 58.

33 Muhammad Husein al-Żahabī, Ensiklopedia Tafsir, terj: Nabbani Idris, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010) 1.

35

Menurut al-Żarkasy, tafsir iyalah ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad Saw, menjelaskan maknanya dan mengeluarkan hukum dan hikmah-hikmahnya.

Adapun kata maqāṣidī dalam tafsir maqāṣidī adalah kata maqāṣid yang di bubuhi ya (

ي

) nisbah,34. Sehingga secara sederhana istilah tafsir maqāṣidī bisa didefenisikan sebagai tafsir yang

Adapun kata maqāṣidī dalam tafsir maqāṣidī adalah kata maqāṣid yang di bubuhi ya (

ي

) nisbah,34. Sehingga secara sederhana istilah tafsir maqāṣidī bisa didefenisikan sebagai tafsir yang