• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III ‘ĀSYŪR DAN PEMIKIRANNYA

C. Maqāṣid Al-Syarī‘ah dan Tafsir Maqāṣidī Menurut

2. Tafsir Maqāṣidī Menurut Ibn „Āsyūr

Rumusan tafsir maqāṣidī dalam persfektif Ibn „Āsyūr adalah ilmu untuk menggali makna dari ujaran-ujaran Al-Qur‟an dan apa yang di derivasi darinya secara ringkas. Fitrah tafsir supaya upaya menggali pesan Allah, didudukkan secara utuh sebagai usaha manusia dalam sebuah kontruksi ilmu. Hal ini berarti pesan Tuhan dalam Al-Qur‟an digali dengan prinsip, alat, dan metode kontruksi obyektif yang dikembangkan oleh manusia. 40

40 Kusmana, “Epistemologi Tafsir Maqāṣidi: sebuah kajian awal” 22

Tafsir menurut Ibn „Āsyūr adalah, nama bagi disiplin ilmu yang membahas tentang upaya menjelaskan makna-makna teks Al-Qur‟an dan kandungannya, dengan pembahasan yang bersifat ringkas maupun komprehensif.41 Adapun tujuan Allah menurunkan Al-Qur‟an menurut Ibn „Āsyūr adalah untuk menjadikannya kitab yang berfungsi sebagai pedoman hidup sekaligus rahmat bagi manusia dalam upaya mereka memproleh kebaikan secara menyeluruh. Tujuan Al-Qur‟an itu meliputi segala bentuk kemaslahatan, baik secara individu, sosial, maupun lingkup global. 42

Mengetahui maqāṣid Al-Qur‟an menurut Ibn „Āsyūr merupakan tugas utama seorang penafsir dalam upayanya meginterpretasikan ayat-ayat Al-Qur‟an. Adapun maqāṣid Al-Qur‟an menurut Ibn „Āsyūr adalah sebagai berikut.

a) Al- Maqāṣid Al-Qur‟ān al-„Ammah

Maqāṣid al-„Ammah merupakan tujuan Al-Qur‟an yang berkaitan dengan pemeliharaan terhadap tata sosial kehidupan manusia secara umum, yakni menjunjung tinggi perinsip egalitarianisme dan hak dasar setiap manusia serta penolakan terhadap segala bentuk kerusakan tata kehidupan. Ibn „Āsyūr berpendapat bahwa al-maqāṣid al-„ammah ini merupakan tujuan utama Al-Qur‟an.

41 Muhammad al-Tāhir ibn Āsyūr, al-Tahrīr wa al-Tanwīr juz 1 h 13

42 Epistemologi Tafsir Ibn Asur dan implikasinya terhadap penetapan maqasid Al- Qur‟an dalam tafsir al-Tahrīr wa al-Tanwīr, 97

73

Berdasarkan Q.s. Al-Nahl/16: 8943 Ibn „Āsyūr menjelaskan bahwa kalimat

يَش ِّلُك

ء

menunjukkan sifat keumuman yang meliputi berbagai permasalahan keagamaan dan hukum seperti dalam masalah perbaikan moral dan dan etika umat, pembinaan masyarakat, hak-hak kemanusiaan, bukti keesaan Allah dan kebenaran dakwah Rasulullah, penjelasan tentang dinamika sosial umat manusia dari generasi ke generasi, beserta kejayaan dan kehancurannya, dan hikmah-hikmah yang dapat diambil darinya.

Semua objek yang sudah disebutkan tadi menurut Ibn „Āsyūr merupakan tujuan utama diturunkannya Al-Qur‟an. Ibn „Āsyūr kemudian menyimpulkan bahwa Al-Qur‟an memang diturunkan sebagai kitab pedoman untuk kemaslahatan umat manusia, sekaligus rahmat bagi mereka, baik itu untuk kemaslahatan individu, sosial, maupun pradaban umat.

b) Al-Maqāṣid Al-Qur‟ān al-Khāṣṣah

Al-Maqāṣid al-Khāṣṣah adalah berbagai upaya penegakan kebaikan dan kemaslahatan bagi umat manusia dalam segala tindakan mereka yang bersifat partikularistik sekaligus adanya hikmah yang terkandung dalam setiap aturan tersebut. Al-Maqāṣid Al-Qur‟an al-Khāṣṣah sendiri menurut Ibn „Āsyūr merupakan tujuan dasar Al-Qur‟an.

43

٩٨ َينِمِل سُملِل َٰىَر شُبَو ة َحَرَو ىدُهَو ء يَش ِّلُكِّل نََٰيا بِت َبََٰتِكلٱ َكيَلَع اَنلَّزَ نَو ۚ

Salah satu tujuan maqāṣid Al-Qur‟an al-Khāṣṣah menurut Ibn

„Āsyūr adalah memperbaiki keyakinan dan pengajaran kearah akidah yang benar. Ini merupakan sebab utama kemaslahatan umat manusia.

Al-Qur‟an hendak membentuk akidah yang lurus dan menghalau akidah yang sesat yang tidak didasari oleh bukti yang jelas

c) Al-Maqāṣid Al- Qur‟ān al-Juz‟iyah

Al-Maqāṣid Al-Qur‟an al-Juz‟iyah merupakan bagian dari hikmah atau rahasia-rahasia dari kandungan Al-Qur‟an yang tersimpan dalam setiap ayat-ayatnya, dalam hal ini Ibn „Āsyūr menyatakan: “Tugas dari seorang mufasir adalah menjelaskan informasi yang ada di balik sebuah ayat, atau maksud dari kehendak Allah dalam kitab-Nya dengan menjelaskan secara komprehensif makna yang terkandung di dalamnya tanpa mengabaikan lafaz yang ada. Setiap informasi yang dijelaskan terkait maqāṣid Al-Qur‟an atau pengetahuan tentangnya maka ia diharuskan dapat memahaminya dengan pemahaman yang komprehensif. Ia juga dapat menyajikan data-data tentang maqāṣid Al-Qur‟an dengan terprinci dan bercabang-cabang dengan menghadirkan hujjah yang valid jika informasi itu masih kurang jelas atau berfungsi menghalau dari para penentang atau orang-orang bodoh”

Contohnya dalam menjelaskan Q.S Al-Māi‟dah/5: 6. Ibn

„Āsyūr menjelaskan bahwa hikmah perintah wudhu adalah untuk mensucikan diri meliputi kesucian jasmani dengan membersihkan anggota tubuh, dan kesucian jiwa. Namun mengenai kesucian jiwa Ibn „Āsyūr menegaskan bahwa hanya Allah Swt lah yang hanya mengetahui hal itu.

75

Dalam upayanya menetapkan maqāṣid Al-Qur‟an Ibn „Āsyūr berpegang pada beberapa prinsip maqāṣid syarī„ah yang telah ia susun dalam kitab nya Maqāṣid Syarī„ah al-Islamiyah. Di antara prinsip itu diantaranya:

1. Al-Fiṭrah

Menurut Ibn „Āsyūr fitrah adalah sifat dasar mannusia dalam artian sebuah system tertentu yang telah Allah tanamkan dalam setiap ciptaannya, baik bersifat lahiriah maupun batiniah. Ibn „Āsyūr mendasarkan pendapatnya pada surah al-Rūm/30: 30.

2. Al-Samāḥah

Dengan sifat ini seseorang seseorang dapat memposisikan segala sesuatu seimbang antara sikap melebihi batas dan terlalu memudahkan segala sesuatu. Menurut Ibn „Āsyūr sifat samāḥah akan mendorong tegaknya keutamaan makna fitrah. Lebih dari itu, samāḥah (toleransi) merupakan bagian penting dari tempat tumbuhnya sifat-sifat mulia lainnya, diantaranya, sikap adil, dan proporsional dalam bersikap.

3. Al-Musawwah

Agama Islam adalah agama yang memandang semua manusia sama di depan hukum syar‟iy. Aspek ini merupakan bagian penting dan menjadi perhatian Ibn „Āsyūr. Persamaan (al-Musawwah) sangat penting dalam penerapannya, terutama terhadap lima prinsip dasar yang menjadi tujuan syariat, yakni hifz din, nafs, „aql, al-nasl, dan al-mal. Prinsip al-musawwah menurut Ibn „Āsyūr tidak dipengaruhi oleh status sosial apapun. Pandangan ini didasarkan pada Q.S al-Nisā‟/5: 135.

4. Al-Hurriyah

Ibn „Āsyūr menguraikan makna al-Hurriyah kedalam dua hal.

Pertama: al-Hurriyah (kemerdekaan) merupakan lawan dari makna al-„Ubudiyah (perbudakan). Kedua: al-Hurriyah berarti seseorang melakukan suatu hal atas dasar pilihannya. Kebebasan ia melakukan sesuatu tidak dipengaruhi oleh siapapun.

77 BAB IV

TAFSIR AYAT-AYAT ḤIFẒ Al-DĪN PERSPEKTIF TAFSIR MAQĀṢIDĪ IBN ‘ĀSYŪR DAN RELEVANSINYA

Dalam penelitian ini penulis akan mencoba membahas satu tema yang berkaitan dengan menjaga agama, dengan mengedepankan prinsip, al-huriyah, dan samāḥah, dengan mengelaborasi beberapa ayat al-Qur‟an dan pendekatan tafsir maqāṣidi Ibn „Āsyūr. Namun sebelumnya akan dijelaskan terlebih dahulu struktur makna Ḥifẓ al-Dīn sebagai berikut.

A. Struktur Makna Ḥifẓ al-Dīn

Ḥifẓ al-Dīn merupakan kata Bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, Ḥifẓ dan al-dīn. Ḥifẓ (

ظفح

) dalam kamus al-Ma„ānī bisa bermakna memelihara, menjaga, melindungi, mengurus, menyelamatkan, menghafalkan, menghormati, mengamankan, merawat dan lainnya.

Adapun kata al-dīn bisa bermakna agama, iman, kepercayaan, ketaatan. Agama menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah ajaran system yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan yang maha kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan lingkungan nya. Dalam Bahasa Arab agama diistilahkan dengan kata al-dīn, seperti disebutkan dalam surah Q.s Al-„Imrān/3: 19 inn dīn „ind allāh al-islam (sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam), menurut terjemahan kementerian al-dīn diartikan dengan agama.1

Sehingga secara sederhana Ḥifẓ al-Dīn bisa diterjemahkan dengan menjaga agama. Sebagaimana disebutkan pada bab sebelumnya, dalam konteks ḥifẓ al-dīn yang berarti menjaga agama

1 Mushaf Al-Qur‟an al-Mumayyaz, (Bekasi: cipta Bagus Perkasa, 2014)

dalam ungkapan maqāṣid akan lebih tepat jika menggambarkan pada suatu tindakan, yaitu memelihara sesuatu yang sudah diambil. Oleh karena itu perluasan makna menjaga yang merupakan terjemahan kata ḥifẓ akan lebih tepat dipahami dengan kata menjamin atau melindungi.2

Senada dengan defenisi yang disampaikan oleh Ibn „Āsyūr bahwa makna menjaga agama adalah, Menjaga agama setiap orang muslim dari melakukan sesuatu yang merusak keyakinannya/

akidahnya dan dari pekerjaan yang tidak benar menurut agama. Dan menjaga agama untuk seluruh bangsa itu adalah dengan menghindari segala sesuatu yang akan membatalkan prinsip-prinsip yang ditaati agama.3 Pada perkembangannya ḥifẓ al-dīn yang bermakna pelestarian agama berkembang menjadi kebebasan kepercayaan dalam ekpresis-ekspresi kontemporer, inilah yang dikatakan oleh Jaser Auda dalam salah satu bukunya yang berjudul Maqāṣid al-Syarīah as philosophy of Islamic law: A system approach. 4

B. Tafsir Maqāṣidi Ḥifẓ al-Dīn

Maqāṣid al-syarī„ah yang menjadi dasar bagi tafsir maqāṣidi memiliki beberapa sifat yang menunjukkan keunggulan syariat Islam dan nilai-nilai yang selalu ditemukan dalam sebagian besar hukum syaria‟at, yang meliputi fitrah, samāḥah, kemaslahatan, universalitas, kesetaraan, al-hurriyah, stabilitas dan ketahanan sosial. Sebagaimana disebutkan oleh Ibn Āsyūr bahwa menjaga agama untuk seluruh

2 Lihat bab 1

3 Muhammad al-Tāhir ibn Āsyūr, Maqāṣid al-Syarīah al-Islāmīyah, (Dar al-Kitāb al-Maṣrī: Kairo, 2011), 137.

4 Jasser Auda, Membumikan hukum Islam melalui maqāṣid al-syarī„ah, terj, Rosidin dan Ali Abd el-Mun‟im (Bandung: Mizan Pustaka, 2015), 320.

79

bangsa adalah dengan menghindari segala sesuatu yang akan membatalkan prinsip-prinsip yang ditaati agama.5 Seperti menginginkan semua orang memeluk satu agama dan memaksakan ajaran agama tertentu merupakan pelanggaran pada prinsip al-hurriyah, mengganggu agama lain merupakan pelanggaran bagi prinsip samāḥah

1. Tafsir Q.S. al-Baqarah/2: 256.

Surah ini dinamakan dengan al-Baqarah sejalan dengan riwayat yang disandarkan pada Nabi Saw juga disebutkan oleh ulama salaf. Dalam sahih disebutkan bahwa Nabi bersabda, “barangsiapa yang membaca dua ayat terakhir surah al-Baqarah, maka sempurnalah baginya”. Penamaan surah al-Baqarah sendiri dinisbakan pada kisah tentang Bani Israil, di mana Allah memerintahkan kepada mereka untuk menyembelih seekor sapi. Ini merupakan salah satu keunikan yang ada dalam surah ini, dengan ditambahkannya cerita tentang sapi.6

Surah al-Baqarah turun di Madinah menurut kesepakatan para ulama, dan ia termasuk yang pertama turun di Madinah, setelah sebelumnya telah turun surah al-Mutaffifin, dan surah ini turun lebih awal daripada surah al-Baqarah, demikianlah yang disebutkan oleh Ibn Hajar dalam Syarh al-Bukhari. Surah al-Baqarah menempati urutan ke-87 dalam urutan turunnya Al-Qur‟an, yakni setelah surah al-Muṭaffifīn dan sebelum surah al-Imrān.

5 Ibn Āsyūr, Maqāṣid al-syarīah al-Islāmīyah, 137

6 Muhammad al-Tāhir ibn Āsyūr, al-Tahrīr wa al-Tanwīr, juz 1 (Tunisia, al-Dār al-saḥnoun: 1984 M) 201.

Surah al-Baqarah diperkirakan turun pada tahun pertama Hijriah atau di akhirnya atau di tahun kedua. Ayat yang pertama turun adalah tentang kewajiban berpuasa pada bulan Ramadan, dan yang terakhir adalah al-Baqarah ayat 281 yang merupakan wahyu terakhir turun dalam Al-Qur‟an. Sejak turunnya surah ini, juga merupakan awal kemenangan ummat Islam di Madinah. Hal ini tergambar dari beberapa redaksi pada awal surah ini7 yang menekankan pada pembebasan ummat Islam dari hal-hal yang merusak, menegakkan kebenaran dan hukum Allah serta menghilangkan kesyirikan perdukunan dan lainnya.

Jumlah ayat dalam surah ini menurut Ahl Madīnah, Makkah, dan syam terdiri dari 285 ayat, menurut Ahl Kūfah 286, dan 287 menurut Ahl Basrah.8

نِمؤُيَو ِتوُغََّّٰطلٱِب رُفكَي نَمَف ِّيَغلٱ َنِم ُدشُّرلٱ ََّيََّ بَّ ت دَق ِنيِّدلٱ ِفِ َهاَركِإ َلَ

َقَ ف ِوَّللٱِب اََلَ َماَصِفنٱ َلَ َّٰىَقثُولٱ ِةَورُعلٱِب َكَسمَتسٱ ِد ٌميِلَع ٌعيَِسَ ُوَّللٱَو

٦٥٢

Secara eksplisit, ayat ini meniadakan semua unsur keyakinan terhadap agama apapun yang di landaskan atas dasar paksaan. Jika ditelaah dalam tafsir Maqāṣidi Ibn „Āsyūr, maka ayat ini termasuk dalam prinsip al-Hurriyah, yakni kebebasan melakukan sesuatu yang tidak dipengaruhi oleh siapapun.

Setelah jelas bagi setiap orang melalui ayat sebelumnya, tentang siapa Allah, dan kewajarannya untuk disembah, serta keharusan mengikuti agama yang ditetapkan-Nya, dan bahwa Allah

7 Yang dimaksud adalah redaksi awal sesuai tartib nuzul, bukan tartib ayat yang ada dalam mushaf.

8 Ibn Āsyūr, al-Tahrīr wa al-Tanwīr juz 1, 202.

81

memiliki kekuasaan yang tidak terbatas, maka akan ada yang menduga bahwa yang demikian itu akan menjadi alasan bagi Allah untuk memaksa makhluk memeluk agama-Nya. Untuk menampik dugaan ini datanglah ayat al-Baqarah/2: 256.

Namun pertanyaan yang muncul adalah, Mengapa ada paksaan? Padahal sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikanNya satu umat saja.9 Penting dicatat, yang dimaksud dengan tidak ada paksaan dalam menganut agama adalah menganut aqidahnya. Maka jika seseorang telah menganut suatu aqidah, katakanlah aqidah Islam, maka ia terikat dengan tuntutan dan kewajiban-kewajibannya, dan ia akan terancam sanksi bila melanggar ketetapannya.10

Menurut Ibn Āsyūr Ayat ini merupakan Isti‟naf bayani yang merespon dan menjelaskan tentang perintah berperang di jalan Allah dalam ayat wa qatilū fī sabīlillāh wa „a‟lamū an Allāh samī‟ „alīm,11 karena yang terdengar di telinga kaum Muslimin adalah perintah perang agar musuh masuk Islam. Jadi dalam al-Baqarah/2: 256 ini merupakan penegasan bahwa tidak ada paksaan dalam memasuki agama Islam. Sebagaimana konsep al-Hurriyah nya Ibn „Āsyūr, yang berarti seseorang melakukan suatu hal memang atas dasar pilihannya.12

Pemaksaan untuk mengikuti atau melakukan sesuatu akan melahirkan perbuatan-perbuatan yang tidak disenangi. Huruf Hamzah dalam ayat ini menunjukkan arti “menjadikan”, yaitu menjadikan

9 Q.s. al-Maidah/5: 48.

10 M Qurais Sihab, Tafsir Misbah pesan kesan dan keserasian Al-Qur‟an, v 2 cet V (Jakarta: Lentera hati, 2003): 515.

11 Q.s. al-Baqarah,/02: 244.

12 Ibn Āsyūr, al-Tahrīr wa al-Tanwīr juz 2, 25.

perbuatan memaksa itu memiliki sisi yang tidak disenangi/penuh kebencian, dan hanya akan menimbulkan reaksi yang lebih penuh dengan kebencian dari yang di harapkan.

Adapun makna al-Dīn dalam ayat ini menurut Ibn Āsyūr maknanya terbagi dua, pertama: Dīn dalam ayat ini bermakna syariat Islam. Kedua: bermakna tauḥīd (mengEsakan Allah). Dīn juga bisa berarti orang memiliki kitab Samawi. Artinya, janganlah kamu memaksa tawanan dari Ahli kitab, karena mereka memiliki Dīn, dan paksalah kaum Majusi, dan kaum Musyrikin. Sebagaimana disebutkan juga dalam tafsir al-Qurtubi, bahwa ayat ini turun pada tawanan. Apabila mereka dari ahli kitab yang sudah tua, maka tidak boleh dipaksa, dan jika mereka dari orang-orang Majusi baik muda maupun tua, atau dari orang-orang yang menyembah berhala maka mereka boleh dipaksa untuk memeluk agama Islam. Sebab orang yang menawan mereka tidak dapat mengambil manfaat dari mereka karena mereka adalah orang-orang yang menyembah berhala. Adapun di antara orang kafir yang bersedia membayar upeti maka kita tidak boleh memaksa mereka untuk memeluk agama Islam.13

Ibn Āsyūr mengatakan bahwa ayat ini diperkirakan turun setelah peristiwa penaklukan kota Makkah dan penutupan tanah Arab, karena tidak dimungkinkan ayat ini turun sebelum adanya peperangan. Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya bahwa turunnya sebuah surah bisa berlangsung bertahun-tahun, lebih-lebih dikatakan bahwa ayat yang terakhir diturunkan adalah ayat dalam

13 Syaikh imam al-Qurṭubī, Tafsir al-Qurtubi, terj. Fathurrahman dkk, jil 3 (Jakarta: pustaka Azzam, 2007)

83

surah al-Nisā.14 yubayyin Allāh lakum an taḍillū 15 ayat ini me naskh16 hukum peperangan agar orang kafir mau menerima Islam, dan menunjukkan keyakinan mereka untuk berada di bawah otoritas Islam. Setelah fathul Makkah, dan dibebaskannya negara Arab dari kesyirikan, serta orang-orang yang masuk Islam secara berbondong-bondong dan datangnya delegasi Arab setelah peristiwa itu, maka sempurnalah apa yang diinginkan oleh Allah, berupa menyelamatkan orang-orang Arab dari syirik dan kembali pada agama Ibrahim, menyelamatkan ka‟bah dari kekejian kaum Musyrikin, dan menyiapkan komunitas besar untuk mengemban dan melindungi agama ini.

Tuntutan Islam sangat jelas, yaitu dengan menghilangkan kesombongan yang dapat menghalangi pengikut Islam, dan Allah merealisasikan keselamatan negara Arab sebagaimana disampaikan Nabi dalam khutbah haji Wada, “Setan telah putus asa untuk mengangkat dan memindahkan. Menurut istilah naskh ialah mengangkat/menghapuskan hukum syara dengan dalil hukum syara yang lain.

Adapun mansukh adalah hukum yang di angkat atau yang di hapuskan. Sumber M Qurais Sihab, kaidah tafsir, (Tangerang: Lentera hati, 2013) dan Syaikh Manna al-Qaththan, pengantar studi ilmu al-Qur‟an, terj Aunur Rafiq dkk (Jakarta: pustaka al-Kausar, 2005)

dengan sempurna, Allah menghapus perintah peperangan atas nama agama, dan membolehkan peperangan hanya untuk perluasan kekuasaan (ekspansi), seperti yang dijelaskan dalam surat al-Taubah/9: 2917, yang menghapus ayat-ayat peperangan sebelumnya.

Yaitu yā ayyuhā al-Nabī jāhid al-kuffār wa al-Munāfiqīn wa aglaẓ

„alaihim,18 (Wahai Nabi perangilah orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah kepada mereka).

Al-Suddī berkata, bahwa ayat ini turun tentang kisah seorang lelaki dari kaum al-Anṣār yang dikenal dengan sebutan Abu Ḥuṣain dari Bani Salamah bin Auf yang memiliki dua anak. Ketika itu datanglah pedagang dari Syam ke Madinah, dikatakan dalam tafsir al-Qurtubi bahwa mereka adalah pedagang minyak. Mereka mengajak dua anaknya masuk agama Nasrani. Lantas dua anak itu masuk tentang peperangan. Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tidak adanya paksaan adalah tidak adanya bekas pada diri

85

seseorang yang masuk Islam karena dipaksa, semisal bekas tebasan pedang dan lainnya.19

Riwayat ini juga disebutkan dalam tafsir Al- Qurṭubī dengan redaksi yang sedikit berbeda, beliau menambahkan diwaktu turunnya ayat al-Baqarah 256, ketika itu beliau (Nabi Saw) belum diperintahkan untuk memerangi ahl kitab. Abu Husain merasa kecewa terhadap Nabi Saw karena tidak mengirimkan seseorang untuk mencari kedua anaknya. Maka Allah Swt menurunkan firmannya, falā wa rabbik la yu‟minūn ḥatta yuhakkimuk fīmā syajar bainahum ṡumma lā yajidū fī anfusihim ḥarajā mimmā qaḍait wayusallimū taslīmā, Q.s. al-Nisā/5: 65.20

Ada dua pendapat ulama mengenai ayat pada al-Baqarah 256.

Pertama: Ibn Mas„ud dan Sulaiman bin Musa bahwa ayat ini di mansukh dengan ayat yā a‟yyuhā Nabi jāhid kuffār wa al-munāfiqīn21 karena Nabi memaksa orang Arab untuk masuk Islam dan memerangi mereka serta tidak rido kecuali mereka memeluk Islam. Dengan adanya nasakh ini, Ibn Mas„ud dan Sulaiman menghendaki adanya takhsis yakni pengkhususan hanya pada kafir dan orang munafik masa itu saja.

Pendapat kedua: menyatakan bahwa ayat ini muhkam (tidak di nasakh) namun kandungannya khusus. Al-Sya‟bi, Qatadah, Hasan, dan al-Dahhak, berkata bahwa ayat ini khusus untuk ahl kitab di mana mereka tidak dipaksa untuk masuk Islam karena mereka membayar pajak. Ibn Abbas Said, Jabir, dan Mujahid berkata bahwa ayat ini turun tentang kaum Anṣar sewaktu masih dalam golongan

19 Ibn Āsyūr, al-Tahrīr wa al-Tanwīr juz 2, 28

20 Al-Qurṭubī, Tafsir al-Qurtubi, jil 2, 612

21 Q.s. al-Tahrim/66: 9.

kaum jahiliyah, kebiasaan dari perempuan kaum Anṣar yang anaknya selalu meninggal, mereka bernazar jika suatu ketika ia punya anak, dan anaknya hidup maka ia akan menjadikannya Yahudi. Ketika Islam datang dan kaum Anṣar r telah masuk Islam, maka banyak dari anak-anak mereka yang menganut agama Yahudi, kemudian kaum Anṣar berkata, “kami tidak mengajak anak-anak kami, namun kami memaksa mereka untuk masuk Islam. Lalu Allah menurunkan ayat lā ikrāh fī al-dīn

.

22 Penjelasan ini juga disebutkan dalam tafsir al-Qurtubi pada penafsiran ayat al-Baqarah/2: 256.

Qad tabayyan al-rusyd min al-gay menjadi illat bagi la ikrāh fī al-dīn dan jumlah itu terpisah. al-rusyd bisa dibaca dengan dammah nya “Ra” dan sukunnya “Syin”, atau dengan fathah “Ra”

dan fathah “Syin” artinya adalah petunjuk dan kebenaran, lawan dari kesesatan dan kebodohan.

ۚ ِّيَغ لٱ

artinya kesesatan, merupakan masdar dari fi‟il madi

ىوغ

yang merupakan fi„il muta„addi. Asal dari "gayyu" adalah "gauyu"; wawu diganti Ya lalu Ya pertama dimasukkan ke ya' kedua. yang dimaksud "tabayyana"

adalah jelas dan dapat dibedakan. Jelasnya perbedaan antar "al-rusydu" dan "al-gayyu" itu karena sudah adanya dakwah Islam semenjak hijrahnya Nabi.23

Faman yakfur bi al-Ṭagūt wa yu‟ min bi Allāh faqad istamsak bi al-„urwah al-wuṡqā didasarkan pada qad tabayyana al-rusyd min al-gay karena setelah adanya penjelasan itu, orang-orang berpaling (tidak mengimani) berhala lagi. Hal ini sudah menjelaskan bahwa tidak ada pemaksaan dalam beragama. Dengan banyaknya pengikut

22 Ibn Āsyūr, al-Tahrīr wa al-Tanwīr juz 2, 27

23 Ibn Āsyūr, al-Tahrīr wa al-Tanwīr juz 2, 28

87

Islam yang berpegang teguh pada jalan Allah, merupakan penjelasan bahwa mereka mengikuti Islam didasarkan pada pilihan mereka, bukan karena paksaan.

Ṭāgūt24 adalah patung dan berhala. Orang-orang Muslim

Ṭāgūt24 adalah patung dan berhala. Orang-orang Muslim