• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TELAAH UMUM MAQĀṢID Al-SYARĪ‘AH DAN

B. TAFSIR MAQĀṢIDĪ…

2. Maqāṣid Al-Syarī‘ah dan Tafsir Maqāṣidī

Tafsir maqāṣidī adalah tafsir Al-Qur‟an yang menggunakan pendekatan konsep maqāṣid al-syarī‘ah dalam menafsirkan Al-Qur‟an. Dalam perkembagannya tidak bisa dilepaskan dari sejarah tafsir secara umum.37 Tafsir Al-Qur‟an berkembang dengan dukungan metodologi kajian Al-Qur‟an yang kemudian dikenal dengan ulumul Qur‟an yang digagas oleh para ulama dalam bidangnya.

Ilmu-ilmu yang sudah dirumuskan oleh para ulama setidaknya dibagi dalam dua bagian besar, bagian tektualis teks dengan segala aspeknya dan bagian tafsir dengan segala aspeknya. Di antara keduanya terdapat saling keterkaitan dan juga terdapat kemandirian masing-masing. Adapun manhaj maqāṣidī pada awalnya dikembangkan dalam tradisi hukum Islam, namun seiring perkembangan ilmu pengetahuan, banyak sarjana menggunakan pendekatan ini untuk menafsirkan sumber ajaran Islam khususnya al-Qur‟an. Sehingga penggunaan istilah maqāṣid dalam tradisi tafsir adalah hal yang dimungkinkan, karena keduanya, tafsir dan maqāṣid al-Qur‟an bukanlah sesuatu yang berbeda, justru memiliki kesamaan tujuan, cakupan, dan Batasan penarikan pesan ilahi.

36 Waṣfi „Āsyūr Abū Zayd, Metode Tafsir Maqāṣidī: Memahami Pendekatan Baru Penafsiran al-Qur’an, terj, Ulya Fikriyati (Jakarta: Qaf, 2020), 20.

37

Pada dasarnya konsep maqāṣid yang mampu memelihara signifikansi hukum Islam bagi manusia, juga merupakan cita-cita ideal dalam penafsiran Al-Qur‟an. Konsep maqāṣid al-syarī‘ah yang meliputi wilayah hermeneutika fikih dalam memahami pesan Allah yang digunakan bagi kebaikan manusia dan alam semesta, pada dasarnya adalah memelihara pesan universal Al-Qur‟an untuk menjawab ke khususan dan perbedaan masalah yang dihadapi manusia. Sementara tafsir Al-Qur‟an juga merupakan perangkat metodologis untuk mengungkap pesan Al-Qur‟an sebagai petunjuk bagi manusia.

Oleh karena itu, sejatinya sejarah perkembangan tafsir maqāṣidī tidak bisa dipisahkan dari perkembangan tafsir secara umum, namun penggunaan istilah tafsir maqāṣidī baru muncul setelah dasar maqāṣid al-syarī‘ah mengalami perkembangan diawal pertengahan pertama abad ke-20 M dan menguat di pertengahan keduanya. Dalam pengertian maqāṣid al-syarī‘ah modern, tafsir Al-Qur‟an menjadi ranah subur perluasan cara kerja aplikasi maqāṣid al-syarī‘ah, seperti yang dilakukan para pemikir Muslim yang mencoba melakukan reformasi dalam menafsirkan Al-Qur‟an, di antaranya:

Muhammad „Abduh dan Rasyīd Riḍā dalam tafsir al-Manār, al-Ṭāhir Ibn „Āsyūr sebagaimana akan penulis bahas, Muhammad al-Ghazālī, (w 1996) Yusuf al-Qaraḍāwī (w 1926) dan lainnya, yang mendorong wacana pengembangan pendekatan memahami ulang dan menafsirkan ulang sumber ajaran Islam, khususnya Al-Qur‟an.

Kajian tentang tafsir maqāṣidī pernah dilakukan dalam symposium international di kota Oudja Maroko pada pertengahan April 2007. Dengan mengusung tema, “metode alternatif penafsiran Al-Qur‟an”. Kegiatan ini dilakukan selama tiga hari dengan konsentrasi pada kajian tafsir maqāṣidī (tafsir Al-Qur‟an melalui pendekatan maqāṣid al-syarī‘ah)38

38 Umayyah, “Tafsir maqasidi: metode alternatif dalam penafsiran Al-Qur;an”

39 BAB III

IBN ‘ĀSYŪR DAN PEMIKIRANNYA A. BIOGRAFI

1. Riwayat Hidup Dan Pendidikan

Ibn „Āsyūr memiliki nama lengkap Muhammad al-Ṭāhir bin Muhammad al- Ṭāhir bin Muhammad al-Syazili bin Abdul Qadir bin Muhammad bin „Āsyūr. Ibn „Āsyūr dilahirkan di distrik La Marsa, sebuah Kawasan di sebelah Utara kota Tunisia pada tahun 1296 H/1879 M.1

„Āsyūr merupakan isim kunyah (marga) dari sebuah keluarga besar dari keturunan al-Idrisiy al-Husaimiyyah, nenek moyang pemuka masyarakat Maroko. Salah satu anggotanya adalah Muhammad bin „Āsyūr yang tiba Tunisia dan menetap disana.2 Mereka hijrah dari Andalusia ke Tunisia dikarenakan adanya penyerangan tentara Salib ke Andalusia, dan adanya peristiwa pengusiran dan inkuisisi terhadap ummat Islam.3

Ibn „Āsyūr tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga yang mencintai ilmu pengetahuan.Kakeknya merupakan seorang ahli fikih pada masanya, menurut Ibn Abi Diyab sebagaimana disebutkan dalam tesis Indra mengatakan bahwa: “Ia sejajar dengan ahli fikih senior baik dalam pencapaian maupun pergulatan pandangan mereka”. Demikian juga disebutkan oleh Allamah Ismail al-Tamimi keahliannya dalam meyelesaikan suatu masalah, dia meyebutkan,

1 Indra, “Maqāṣid Syarī„ahmenurut Muhammad al-Ṭāhir bin „Āsyūr”

(Tesis S2., UIN Sumatra Utara. 2016), 31.

2 Imam Ahmadi, Epistemologi Tafsir Ibn „Āsyūr dan implikasinya terhadap penetapan maqāṣid Al-Qur‟an dalam tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir. (Tesis S2., IAIN Tulungagung, 2017), 34.

3 Indra, “Maqāṣid Syarī„ah menurut Muhammad Al-Ṭāhir bin „Āsyūr”

Tesis, UIN Sumatra Utara, 28

“Dia tidak menyebutkan suatu masalah fikih melainkan menerangka tarjihnya dengan dalil, sering dikutip darinya ucapan, “saya tidak suka mengatakan begini pendapat para ahli fikih, apa gerangan yang menghalangi saya mengetahui dalil sebagaimana mereka mengetahuinya”.4

Ayahnya yang bernama Muhammad merupakan pejabat yang memimpin Majlis persatuan wakaf. Sedangkan ibunya merupakan seorang putri dari perdana mentri Muhammad bin Aziz al-Bu‟atur.

Muhammad Aziz merupakan seorang „alim yang diangkat menjadi wazir agung pertama di masa penjajahan Prancis. Sehingga Ibn „Āsyūr merupakan seorang bangsawan dari jalur ibunya, dan keturunan ulama dari bapaknya.

Ibn „Āsyūr tumbuh di tengah keluarga yang memiliki tradisi keilmuan yang baik. Ibn„Āsyūr sejak kecil sudah dipelihara oleh kakeknya yang merupakan seorang syekh di Bu‟atur seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Kakeknya sangat memperhatikan dan menyayanginya, dari kakeknya Ibn „Āsyūr memperoleh ilmu agama, seperti ḥadiṣ, dan balagah, diantara kitab yang ia pelajari dari kakeknya adalah kitab karya Bukhari dan kitab Miftah karya al-Sakakiy. Selain itu kakeknya juga mengajarkan Ibn „Āsyūr berbagai buku sastra kepadanya, kata-kata hikmah, dan lainnya.5

Pada usia 6 tahun Ibn „Āsyūr mulai belajar di Masjid Sayyida al-Mujawar di Tunisia, disana ia mulai mempelajari Al-Qur‟an, baik secara hafalan, tajwid, maupun qira‟at-nya kepada syekh Muhammad

4 Indra, “Maqāṣid Syarī„ah menurut Muhammad Al-Ṭāhir bin „Āsyūr” 28.

5 Jani Arni, “Tafsir al-Taḥrīr wa al-Tanwīr karya Muhammad Al-Ṭāhir bin

„Āsyūr”, Jurnal Ushuluddin, Vol.XVII No. 1 (Januari 2011): 82.

41

Khiyariy, dan mempelajari kitab syarh kepada Syekh khalid al-Azhariy „ala al-Jurmiyah. Selain itu ia juga mempelajari dan menghafal matan jurumiyah, juga mempelajari Bahasa Prancis kepada al-Sayyid Aḥmad bin Wannās al-Mahmūdiy. Pada usia tujuh tahun dia masuk perguruan zaitūnah dan menempuh Pendidikan dasar di sana selama tujuh tahun.6 Pada usia 14 tahun Ibn „Āsyūr melanjutkan Pendidikan di Universitas Zaytūnah.

Zaytūnah adalah sebuah Masjid yang dalam perjalanan sejarah menjadi pusat kegiatan keagamaan yang berafiliasi ke mazhab Maliki, dan sebagiannya menganut mazhab Hanafi. Masjid ini merupakan lembaga Pendidikan yang setaraf dengan al-Azhar di Mesir yang selama berabad-abad menjadi pusat Pendidikan, informasi, dan penyebaran ilmu pengetahuan. Di Universitas ini, ia mempelajari fiqih dan uṣul fiqih, juga Bahasa Arab, Tarikh dan lainnya selama tujuh tahun, dan memperoleh gelar sarjana pada 14 Rabiul awal 1317 H/ 11 Juli 1899 M.7

Selain mengikuti Pendidikan formal di kampus, Ibn „Āsyūr menggunakan waktu luangnya untuk menelaah kitab-kitab tafsir juga menghafal hadis, dan syair-syair Arab dari masa pra Islam hingga sesudahnya. Selain itu, Ibn „Āsyūr juga banyak membaca buku sejarah dan ilmu lainnya. Salah satu kitab yang ia tekuni adalah al-milāl wa al-Nihāl. Ilmu-ilmu yang ia proleh di Universitas al-Zaytūnah dan

6 Indra, “Maqāṣid Syarī„ah menurut Muhammad Al-Ṭāhir bin „Āsyūr,”30.

7 Imam Ahmadi, “Epistemologi Tafsir Ibn „Āsyūr dan implikasinya terhadap penetapan maqāṣid Al-Qur‟an dalam tafsir al-Taḥrīr wa al-Tanwīr”, 35.

aktifitas keilmuannya di luar kampus, membentuk kepribadian dan intelektualitas yang tinggi.8

2. Karir intelektual

Setelah tamat dari Universitas Zaytūnah Ibn „Āsyūr diangkat menjadi guru pemula di perguruan Zaytūnah, empat tahun setelah itu dia berhasil melewati ujian promosi menjadi guru tingkat dua, dua tahun kemudian masuk tingkat satu, setahun setelah itu ia telah menembus level khuttah at-tadris (guru senior). Ibn „Āsyūr menjadi pengajar di Universitas Zaytūnah sejak 1892 M, dan menjadi pengajar tetap di sana.

Pada tahun 1900 M, Ibn „Āsyūr juga mengajar di al-Sādiqiyya College, dan tiga tahun kemudian pada usia 24 tahun Ibn „Āsyūr lulus menjadi professor muda di Universitas Zaytūna. Sejak saat itu banyak kepercayaan yang ia terima, di antaranya: awal tahun 1930 an mendapat anugrah sebagai syekh Mesjid Universitas Zaytūna, kemudian syekh Islam Mazhab Maliki pada tahun 1932 M, setelah sebelumnya pernah mundur dari syekh Universitas Zaytūna pada tahun 1944 M, amanat itu kembali dipercayakan kepadanya sampai tahun 1951 M.

Selain kiprahnya dalam dunia Pendidikan sebagaimana disebutkan sebelumnya, Ibn „Āsyūr juga pernah menempati posisi penting dalam organisasi dalam berbagai bidang di antaranya:9

8 Imam Ahmadi, “Epistemologi Tafsir Ibn „Āsyūr dan implikasinya terhadap penetapan maqāṣid Al-Qur‟an dalam tafsir al-Taḥrīr wa al-Tanwīr”, 36

9 Jani Arni, “Tafsir al-Taḥrīr wa al-Tanwīr karya Muhammad al-Ṭāhiribn

„Āsyūr”, 83.

43

a. Ibn „Āsyūr pernah menjabat sebagai anggota Majlis Idarah al-Jam‟iyah al-khalduniyah pada tahun 1905 M, dan anggota Lajnah al-Mukhallifah yang mengatur buku-buku dan naskah di Maktabah al- Ṣadiqiyah pada tahun yang sama.

b. Sebagai delegasi negara dalam penelitian ilmiah pada tahun 1907 M.

c. Sebagai anggota Lajnah Tanaqih Baramij al-Ta‟lim tahun 1908 M, dan anggota majlis Idarah al-Madrasah al-Ṣadiyah tahun 1909 M.

d. Sebagai ketua Lajnah Fahrasah di Maktabah al-Ṣadiqiyah, tahun 1910 M.

e. Sebagai anggota penelitian ilmiah dan pimpinan Ahli Syura di majlis al-syar‟i.

f. Sebagai syekh al-Jami‟ah al-A‟zam pada tahun 1932-1933 M.

g. Sebagai pimpinan Syekh jami‟ al-A‟zam dan pimpinan jami‟ al- Zaytūnah pada tahun 1956-1960 M.

Selain aktif dalam dunia akademis, Ibn „Āsyūr juga aktif dalam pergerakan pembaharuan, perannya sangat penting dalam menggerakkan Nasionalisme di Tunisia. Bersama Syekh Muhammad Khidr Husein yang merupakan masyikhatul Azhar (Imam besar al-Azhar). Keduanya merupakan tokoh pergerakan yang memiliki wawasan dan pandangan yang luas, serta kuat keimanannya, dan pernah di penjara serta telah melalui banyak rintangan demi bangsa dan agama.10

10 Saifuddin Herlambang, Studi Tokoh Tafsir dari klasik hingga kontemporer, (Pontianak: Pontianak Pres, 2018) 82.

Tantangan yang mereka hadapi tidak hanya berasal dari penjajah, yang pada masa itu Tunisia masih di bawah kolonial Prancis, namun mereka juga dapat tantangan dari dalam negeri, termasuk para loyalitas pemerintah protektorat Prancis dan para penghianat lainnya.

Seperti yang dialami seorang syekh besar Tunisia, imam Ṭahari yang pernah menjabat sebagai hakim dan mufti di Tunisia. Dalam satu kondisi membuatnya berseteru dengan para penguasa Tunisia seputar wacana ke-Islaman, dan ia mendapat banyak dukungan dan apresiasi untuk menyampaikan pendapatnya. Namun setelah itu itu tersiar kabar bahwa ia telah dicopot dari jabatannya.11 Setelah sekian lama menggeluti dunia pergerakan dan aktifitas politik dengan segala kontroversinya, akhirnya Ibn „Āsyūr memilih pensiun dan tidak mau terlibat lagi dengan pergulatan politik yang ada. Namun Ibn „Āsyūr telah sampai pada beberapa pencapaian, hal ini bisa dilihat pada kontribusi dan perannya dalam berbagai organisasi dan Lembaga akademis, keagamaan, sosial dan lainnya.

Diantaranya di bidang mahkamah syari‟ah antara lain:

a. Ibn „Āsyūr pernah menjabat sebagai hakim di Majlis al-Mukhtalith al-Aqariy pada tahun 1911 M, dan sebagai Qadhi atau hakim Negara di Majlis al-Syar‟iy pada tahun 1913-1923 M.

b. Diangkat sebagai Mufti pada 1923 M.

c. Sebagai pimpinan ahli Syura pada tahun 1927 M, dan syaikhul Islām al-Maliki pada tahun 1932 M.

11 Saifuddin Herlambang, Studi Tokoh Tafsir dari klasik hingga kontemporer, 83.

45

d. Sebagai anggota dewan Bahasa Arab di Mesir pada tahun 1950 M.

3. Guru-gurunya

a. Syekh Abdul Qadir al-Taimimiy, dari gurunya ini Ibn „Āsyūr mempelajari tentang tajwid al-Qur‟ān dan „ilmu Qira‟at.

b. Muhammad al-Nakhliy, dari gurunya ini Ibn „Āsyūr mempelajari ilmu Al-Nahwu menggunakan kitab Muqaddimah al-I‟rab balaghah yang membahas kitab Mukhtaṣar Su„ud, Mantiq, dengan membahas kitab tahżib, usul fiqih dengan mempelajari Hiṭab ala al-waraqah, dan fiqih Maliki, dengan membahas kitab muyarah

„ala al-Mursyd, dan kitab kifayah al- Ṭalib „ala al-Risalah.

c. Syekh Muhammad Ṣalih, dari gurunya ini, Ibn „Āsyūr mempelajari beberapa kitab, diantaranya: Makwidiy „ala al-Khulaṣah, kemudian dalam bidang ilmu nahwu dan mantiq membahas kitab al-Sulam, dalam bidang maqāṣid, dengan membahas kitab Mukhtaṣar al-Su‟ud, dan bidang fiqih, membahas kitab al-Tawadiy ala al-Tuḥfah

d. Amru Ibn „Āsyūr, dari guru ini, Ibn „Āsyūr mempelajari kitab ta‟liq al-Dimamainiy ala al-Mugniy karya Ibn Hisyam tentang ilmu Nahwu, kitab Mukhtasar al-su‟ud tentang ilmu balagah, fiqih, dan ilmu faraid.

e. Syek Muhammad al-Najar, dari gurunya ini Ibn „Āsyūr mempelajari kitab al-makwidiy ala al-khulaṣah, kitab mukhtaṣar al-su‟ud, al-Muwaqif tentang ilmu Kalam, dan kitab al-Baiquniyah tentang musṭalah al-hadis.

f. Syekh Muhammad Ṭahir Ja‟far, dari guru ini Ibn „Āsyūr mempelajari kitab syarah al-Mahalli al jami‟ al-jawami‟, tentang Usul fiqih dan kitab al-syihab al-khafajiy „ala al-syifa karya Qaḍi Iyaḍ tentang tentang syirah Nabawiyah.

g. Syekh Muhammad al-Arabiy al-Duriy, dari guru ini Ibn

„Āsyūr mempelajari ilmu fiqih dengan membahas kitab kafayah al-thalib ala al-Risalah.12

4. Faktor yang mempengaruhi pemikiran Ibn ‘Āsyūr

Pemikiran seorang tokoh tidak bisa dipisahkan dengan kondisi sosial yang berlangsung pada saat di mana tokoh itu tinggal dan melakukan aktivitas sehari-hari. Ibn „Āsyūr hidup pada masa-masa suram pradaban Islam yang tertinggal dari kemajuan ilmu dan teknologi Eropa. Namun jika dilihat dari beberapa sisi, setidaknya ada beberapa hal yang mempengaruhi pemikiran „Āsyūr, di antaranya:

a) Dampak pergerakan perdamaian di bangsa-bangsa Timur dan hadirnya tokoh Muhammad Abduh

Tunisia sejak 1881 M merupakan wilayah protektorat nya Prancis setelah mengalami krisis dan dengan ditanda tanganinya perjanjian Bardo oleh Muhammad Ṣādiq. Pada saat itu merupakan fase kemunduran dalam politik Islam dampak dari runtuhnya dinasty Turki Usmani dan jatuhnya satu persatu wilayah Islam ke penjajah Eropa yang mulai melakukan ekspansi ke dunia Timur.

Hal ini memicu beberapa tokoh Muslim untuk melakukan pembaharuan yang secara langsung berdampak pada paradigma pemikiran sejumlah pemimpin di kawasan Islam Barat dan Timur. Di

12 Jani Arni, “Tafsir al-Taḥrīr wa al-Tanwīr karya Muhammad al-Ṭāhir ibn „Āsyūr”, 82

47

Mesir ada tokoh bernama Muhammad Abduh, pergerakan pemikirannya ditandai dengan diterbitkannya majalah “„Urwah al-Wuṡqā” majalah ini dikirimkan ke sejumlah ulama dan pemuka Islam ke sejumlah negara termasuk Tunisia. Imbasnya majalah ini mampu mempengaruhi rakyat Tunisia untuk melakukan perlawanan terhadap penguasa Kolonial.

Tidak terkecuali Ibn „Āsyūr, kedatangan Muhammad Abduh yang kedua kalinya di Tunisia pada tahun 1903 M, setelah tahun 1884 M, merupakan kekuatan luar biasa yang mendorong perjuangan rakyat Tunisia. Pada tahun ini Ibn „Āsyūr berkesempatan menemui dan berdialog langsung dengan Muhammad Abduh, dan sejak saat itu baik Ibn „Āsyūr maupun Muhammad Abduh sering melakukan diskusi tentang berbagai hal.

b) Pemikiran reformasi Khairuddin Basya (Khairuddin al-Tunisy) yang dituangkan dalam Aqwamul Masalik fi ma‟rifati ahwal al-mamaik. Ide pokoknya adalah membangkitkan kesadaran rakyat Tunisia untuk menyerap ilmu pengetahuan Barat yang menjadi faktor keunggulan mereka daripada umat Islam maupun bangsa lain pada saat itu.

Buku aqwam al-Masalik yang ditulis oleh Khairudin ketika ia masih menjabat ketua dewan agung, mendapat sambutan yang luar biasa dari kalangan politisi Tunisia dan Utsmaniyah ketika itu. Tidak lama setelah dipublikasikan di Tunisia pada tahun 1867 M, buku ini juga diterbitkan dalam dua Bahasa, yakni Arab dan Prancis.

Buku ini secara umum menjelaskan sejarah struktur sosio politik dan kekuatan-kekuatan negara Eropa, dengan memberikan gambaran umum tentang sejarah dan struktur sosial masyarakat

Eropa. Khairuddin sesungguhnya sedang berupaya mengingatkan para pembaca Muslim akan model kemajuan yang bisa memberikan contoh. Baginya, Eropa kini sedang berada pada puncak pencapaian sejarahnnya. Mereka telah bekerja keras untuk membangun pradaban mereka, jika kaum muslimin ingin maju seperti negara-negara Eropa, mereka juga harus meniru cara kerja mereka.13

c) Ketidak puasannya terhadap tafsir bi al-ma‟ṡur dan kegelisahannya terhadap kecendrungan para ulama yang menulis tafsir hanya dengan penukilan, dengan alasan takut salah menafsirkan. Akibatnya menjadikan tafsir bi al- ma‟ṡur satu-satunya tafsir yang sah/valid. Implikasi dari terlalu berpegang pada riwayat menjadikan tingkat pengawasan terhadap riwayat yang lemah berkurang, sehingga riwayat yang lemah sekalipun tetap digunakan.14

5. Karya-karyanya

Kebisingan politik yang terjadi di Tunisia membuat Ibn

„Āsyūr gerah dan tidak mau terlibat lagi dengan pergulatan politik yang ada. Hari-harinya dilewati dengan berdiam diri di rumah. Setiap waktu diisi dengan menulis dan membaca,15 yang kemudian melahirkan beberapa karya tulis dalam berbagai bidang, seperti Tafsir, Sejarah, Sunnah, Usul Fiqih, Fatwa-Fatwa, Maqāṣid, dan beberapa karya fenomenal lainnya.16 Di antaranya:

13 Imam Ahmadi, “Epistemologi Tafsir Ibn „Āsyūr dan implikasinya terhadap penetapan maqāṣid Al-Qur‟an dalam tafsir al-Taḥrīr wa al-Tanwīr”, 56

14 Faizah Ali Syibromalisi, “Telaah Tafsir al-Taḥrīr wa al-Tanwīr karya Ibn „Āsyūr”, 4

15 saifuddin Herlambang, Studi Tokoh Tafsir dari klasik hingga kontemporer, 83

16 Imam Ahmadi, Epistemologi Tafsir Ibn „Āsyūr dan implikasinya terhadap penetapan maqāṣid Al-Qur‟an dalam tafsir al-Taḥrīr wa al-Tanwīr,

49

a. Kitab Tafsir al-Taḥrīr wa al-Tanwīr sebagaimana akan dibahas pada bagian berikutnya.

b. Kitab Maqāṣid al-Syarī„ah al-Islamiyah, sekilas kitab ini berisikan tentang maqāṣid syarī„ah karena Ibn „Āsyūr menilai sangat dibutuhkan argument dalam persoalan fikih untuk sampai pada maqāṣid syarī„ah, selain itu menurut Ibn „Āsyūr ulama fikih terkadang tidak terlalu memperhatikannya dalam menetapkan sebuah hukum.

c. Kasyfu al-Mugṭa min al-Ma„any wa al-Alfaz al-Waqi‟ah fi al-Muwaṭa‟, kitab ini khusus membahas tentang hadis Nabi yang ada dalam kitab al-Muwaṭa‟ imām Malik.

d. al-Waqfu wa aṡaruhu, kitab ini berisikan tanya jawab seputar persoalan yang terjadi dalam masyarakat.

e. Uṣul al-Insya‟ wa al-khiṭabah, kitab ini berisikan tentang Analisa Ibn „Āsyūr tentang keindahan Bahasa Arab.

f. Fawaid Amaliy Tunisiyah „Ala faraid La‟iy al-Hamasiyah. Kitab ini merupakan syarah dari kumpulan-kumpulan syair karya Abu Tamam.

g. Ushul al-Nizham al-Ijtima‟iy fi al-Islam. Dalam kitab ini Ibn „Āsyūr mengungkapkan sebab-sebab kebangkitan umat Islam, kemundurannya, dan sarana perbaikan bagi masyarakat Islam.

h. Alaisa al-Subhu bi Qarib. Dalam kitab ini Ibn „Āsyūr mengungkapkan dukungannya terhadap gerakan islahiyah yang terjadi di Tunisia, dan juga penjelasan tentang

perbaikan di bidang Pendidikan yang dilakukan oleh al-Jami‟ah al-Zaitunah.

B. Tafsir Al-Taḥrīr Wa Al-Tanwīr Dan Relevansinya Dalam Kajian Maqāṣid Kontemporer

Sebuah karya tulis yang muncul pada periode tertentu oleh seorang tokoh selalu terpaut dengan latar belakang yang mengitarinya, tidak terkecuali Ibn „Āsyūr yang mendedikasikan sebuah karya tulis fenomenal dalam upayanya memperbaharui pemikiran umat Islam. Salah satunya yang akan dibahas pada tulisan ini adalah mengenai gagasannya, tentang pendekatan baru penafsiran Al-Qur‟an.

1. Sejarah dan Struktur Tulisan a. Sejarah Penulisan

Jauh sebelum tafsir al-Taḥrīr wa al-Tanwīr muncul, Ibn

„Āsyūr sudah sejak lama bercita-cita untuk menafsirkan Al-Qur‟an.

Ibn „Āsyūr ingin menjelaskan kepada masyarakat tentang apa yang akan membawa mereka pada kebahagiaan dunia dan akhirat, menjelaskan kebenaran, akhlak mulia, kandungan balagah dalam Al-Qur‟an, ilmu-ilmu syari‟at, serta pendapat-pendapat para mufassir terhadap makna ungkapan Al-Qur‟an. Di samping itu adanya keinginan Ibn „Āsyūr untuk memperbaharui pemikiran dalam Islam, membuatnya jatuh pada satu kesimpulan untuk menulis tafsir yang merupakan salah satu sumber pokok ajaran Islam.17

Keinginan ini seringkali ia ungkapkan kepada para sahabatnya, sambil meminta pertimbangan dari mereka, pada akhirnya cita-cita itu semakin kuat. Ibn „Āsyūr kemudian menguatkan

17 Kusmana, “Epistemologi Tafsir Maqāṣidī: sebuah kajian awal” 18