• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III ‘ĀSYŪR DAN PEMIKIRANNYA

C. Maqāṣid Al-Syarī‘ah dan Tafsir Maqāṣidī Menurut

1. Maqāṣid Al-Syarī‘ah Menurut Ibn „Āsyūr

Secara terminology, makna Maqāṣid al-Syarī„ah berkembang dari makna yang paling sederhana sampai pada makna yang holistic.

Di kalangan ulama klasik sebelum imām al-Syāṭibī belum ditemukan defenisi yang konkret dan komprehensif tentang maqāṣid al-syarī„ah, defenisi mereka cendrung hanya mengikuti makna Bahasa dengan menyebutkan padanan maknanya. Namun defenisinya mulai lengkap dengan datangnya imām al-Syāṭibī yang dikukuhkan sebagai tokoh pendiri ilmu maqāṣid al-syarī„ah. al-Syāṭibī menyatakan bahwa beban-beban syari‟at kembali pada penjagaan tujuan-tujuannya pada makhluk yang tidak lebih dari tiga macam: daruriyat (kepentingan pokok/primer), hajiyat (kepentingan skunder), dan tahsiniyat (kebutuhan skunder).33

Lebih lanjut Ibn „Āsyūr mengelaborasi maqāṣid al-syarī„ah dan membedakannya menjadi dua, yaitu maqāṣid syarī„ah

al-„āmah (yang bersifat umum) dan maqāṣid al-syarī„ah al-khaṣṣah bi anwā al-mu„āmalāt (khusus pada masing-masing kelompok hukum muamalat).

32 Abd Halim, “Kitab Tafsir al- al-Taḥrīr wa al-Tanwīr karya Ibn „Āsyūr dan kontribusinya terhadap keilmuan Tafsir kontemporer”, 25

33 M. Arfan Mu‟ammar dkk, Studi Islam persfektif insider/outsider.

(Yogyakarta: IRCiSod. 2013) 394.

a) Maqāṣid al-Syarī‘ah al-‘Āmah

Maqāṣid al-Syarī„ah al-„āmah adalah ma„āni dan ḥikam yang terlihat di kehendaki asy-Syār„i (Allah) dalam seluruh atau sebagian besar ahwal pembentukan syariat, tidak terbatas pada jenis hukum syariat tertentu saja, dengan demikian termasuk dalam pengertian ini awṣāf34 syariat, tujuan umum syariat, dan maksud-maksud yang tidak pernah diabaikan dalam pembentukan hukum syariat, demikian pula dengan sejumlah nilai dari tujuan-tujuan yang tidak terlihat pada seluruh jenis yang dimaksud syariat, tetapi pada jenis-jenis yang banyak dari hukum syariat.35

Adapun beberapa kriteria Maqāṣid al-Syarī„ah al-„āmah diantaranya:

i. Sesuai fitrah, fitrah adalah system yang diciptakan Allah pada setiap makhluk, adapun fitrah yang dikhususkan bagi manusia adalah apa-apa yang seperti itulah Allah menciptakan manusia secara jasmani dan aqli. Fitrah merupakan sifat fundamental yang memberi perbedaan paling nyata antara syariat Islam dan ajaran agama

34 awṣaf jamak dari waṣf. secara etimologi berarti sifat yang indah.

35

عيرشتلا لاوحأ عيجم في عراشلل ةظوحللدا مكلحاو نياعلدا يه ةم اعلا عيرشتلا دصاقم خ ديف ،ةعيرشلا ماكحأ نم صاخ عون في نوكلاب اهتظخ لام صتتخ لا ثيبح ،اهمظعموأ في ل

في لخديو ،اهتظح لام نع عيرشتلا وليخلا تيلا نياعلداو ،ةماعلا اهتياغو ةعي رشلا فاصوأ اذه

عاونأ في ةظوحلم اهنكلو ،مكحلأا عاونأ رئاس في ةظوحلم تسيل مكلحا نم ناعم اضيأ اذه

اهنم ةيرثك

. Muhammad al-Tāhir ibn Āsyūr, Maqāṣid al-syarīah al-Islāmīyah, (Dar al-kitāb al-maṣrī: Kairo, 2011) 82.

65

lainnya. Semua hukum dan maqāṣid al-syarī„ah dibangun berdasarkan fitrah.36

ii. Samāḥah, merupakan masdar fiil dari samuha, yasmahu samāḥah, yang berarti murah hati, suka berderma.

samāḥah menurut Ibn „Āsyūr adalah sikap moderat terpuji dalam bermuamalah, yang berarti berada pada dimensi pertengahan antara dua kubu. samāḥah adalah toleransi yang terpuji dengan tidak menimbulkan mudarat dalam hal-hal yang menurut asumsi umum tidak memiliki ruang toleransi.

iii. Kemaslahatan, menurut KBBI ialah kegunaan, kebaikan, manfaat, yang pada dasarnya bermakna sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Maṣlaḥah padanannya dalam bahasa Arab yakni: ṣalaḥa, yaṣluḥu, ṣalaḥ, (baik, bagus), atau tidak mengandung kerusakan, dan sesuatu yang bermanfaat. menurut Ibn „Āsyūr adalah kata sifat untuk perbuatan yang menghasilkan kebaikan, selalu, atau lebih sering mendatangkan manfaat untuk umum maupun per-orangnya.

36 Muhammad al-Tāhir ibn Āsyūr, al-Tahrīr wa al-Tanwīr juz 21, 90.

Setiap poin maqāṣid al-syarī„ah adalah maṣlaḥat, tapi tidak setiap maṣlaḥat menjadi maqāṣid al-syarī„ah, berdasarkan urgensinya dalam mewujudkan kemaslahatan umum, maslahat dikategorikan menjadi tiga tingkat:

 Maṣlaḥat Ḍarūriyāt

Maṣlaḥat ḍarūriyāt adalah kemaslahatan yang menjadi kebutuhan dasar individu maupun umat secara kolektif, yang mana ketiadaannya akan menimbulkan kerusakan, bahkan kehancuran system tatanan kehidupan dimana sikap, prilaku, dan cara hidup manusia tidak seperti yang di kehendaki Allah. Oleh karena itu maslahat daruriyat harus dapat perlindungan, dan pelanggaran terhadap maslahat ini diancam dengan sanksi hudud.37

Maṣlaḥat ḍarūriyāt menurut Ibn „Āsyūr meliputi, agama, nyawa, akal, harta, dan nasab. perlindungan terhadap keyakinan dan praktek beragama setiap individu dari keyakinan dan praktek amaliah yang menyimpang. Menjaga religiositas umat secara kontiniu melalui penegakan syiar-syiar Islam dan pemberdayaan institusi penyiaran Islam. Selanjutnya perlindungan untuk setiap individu yang dijamin hak hidupnya dari segala sesuatu yang mengancam hidup dan keselamatannya. Kemudian perlindungan bagi akal dan daya fikir bagi setiap individu dari segala sesuatu yang merusak, dan mengganggu kemampuan berfikir secara normal dan wajar.

Perlindungan hak milik dan harta kekayaan individu dan umat dari kemusnahan dan alih tangan tanpa kompensasi yang sepadan, dan melindungi kontiniutas eksistensi manusia di muka bumi.

37 Indra, “Maqāṣid al-syarī„ah menurut Muhammad Al-Ṭāhir ibn „Āsyūr”

Tesis, 84

67

 Maṣlaḥat Ḥājiyāt

Maslahat ḥājiyāt menurut Ibn „Āsyūr adalah segala sesuatu yang di butuhkan agar tata kehidupan berjalan dengan baik dan teratur, apabila tidak terpenuhi akan menimbulkan kekisruhan, akan tetapi tidak seburuk resiko yang di akibatkan oleh tidak terpenuhinya maslahat daruriyat. Menurut Ibn „Āsyūr maṣlaḥat ḥājiyāt secara umum ada tiga bentuk. Yaitu: muamalat, maṣlaḥat pelengkap ḍarūriyāt, seperti perlindungan terhadap kehormatan sebagai penyempurna perlindungan terhadap keturunan, dan yang ketiga hal-hal yang sejenis ḍarūriyāt, namun ketiadaannya tidak seurgen ketiadaan maṣlaḥat ḍarūriyāt.

 Maṣlaḥat Taḥsīniyāt

Maṣlaḥat taḥsīniyāt menurut Ibn „Āsyūr adalah maṣlaḥat penyempurna yang mengantarkan entitas Islam kepada pencapaian pengakuan terhadap tingkap peradaban dan budaya yang lebih baik daripada entitas lain, sehingga menjadi daya tarik bagi pihak lain di luar Islam atau untuk membangun relasi dengan entitas Islam.

Kebiasaan umum yang dipandang terpuji, baik yang berlaku secara universal maupun pada komunitas tertentu, merupakan unsur utama maṣlaḥat taḥsīniyāt.

b) Maqāṣid al-Syarī‘ah al-Khaṣṣah

Maqāṣid al-Syarī„ah al-khaṣṣah adalah tata cara yang diinginkan al-syar„i (Allah) untuk mewujudkan keinginan-keinginan manusia yang bermanfaat, atau untuk melindungi kemaslahatan mereka yang bersifat umum dalam aktivitas mereka bersifat pribadi, agar upaya mereka untuk kepentingan pribadi tidak merusak segala

sesuatu yang telah dijadikan fondasi untuk mewujudkan kemaslahatan mereka yang bersifat umum, baik karena kelalaian atau dorongan nafsu dan keinginan yang menyimpang. Termasuk dalam hal ini setiap tujuan yang menjadi acuan dalam setiap pensyariatan hukum-hukum yang mengatur tindakan manusia. 38

Batasan khusus dalam konteks ini ialah khusus pada masing-masing kategori hukum muamalat sebagaimana dinyatakan secara langsung oleh Ibn „Āsyūr. Batasan ini dibagi menjadi enam kategori, yaitu: hukum kekeluargaan, hukum perniagaan, hukum ketenaga kerjaan, hukum tabarru„at, hukum pradilan dan kesaksian, serta hukum pidana.

1. Maqāṣid al-Syarī„ah hukum kekeluargaan

Islam tidak menghadirkan konsep kekeluargaan yang baru, melainkan membenahi yang sudah ada, dan mengukuhkannya sebagai standar yang mencerminkan keluhuran budi pekerti manusia sebagai makhluk berakal39

Menurut Ibn „Āsyūr maqāṣid al-syarī„ah kekeluargaan diantaranya adalah, mengukuhkan ikatan pernikahan, mengukuhkan ikatan nasab kekerabatan, mengukuhkan ikatan persemendaan, dan tata cara melepaskan ikatan-ikatan tersebut dalam situasi tertentu.

38

مهلحاصم ظفلح وأ ،ةعفانلا سانلا دصاقم قيقحتل عراشلل ةدوصقلدا تايفيكلا يهو نم ملذ سس أ ام لاطبإب ةصالخا مهلحاصم في مهيعس دوعي لا يك ،ةصالخا متهافرصت في ةماعلا في لخ ديو ، ةوهش لطابو ،ىوه للا زتسأ نع وأ ةلفغ نع لاطبإ ،ةماعلاؤمهلحاصم ليصتح سانلا تافرصت ماكحأ عيرشت في تيعور ةمكح لك كلاذ

, Muhammad al-Tāhir ibn Āsyūr, Maqāṣid al-syarīah al-Islāmīyah, 254.

39 Indra, “Maqāṣid al-syarī„ah menurut Muhammad Al-Ṭāhir ibn „Āsyūr”, Tesis, 116.

69

 Mengukuhkan hubungan nasab

Nasab adalah ikatan paling dasar dalam hubungan kekerabatan yang menjadi dasar bagi seseorang untuk loyal dan berbakti kepada orang tua dan generasi diatasnya. Kondisi demikian memungkinkan keharmonisan dan ketentraman keluarga yang berdiri pada pijakan bertumbuh dan kondusif.

Sebaliknya, jika keotentikan nasab di ragukan maka kasih sayang dan ketentraman keluarga terancam sirna, besar kemungkinan akan timbul konflik yang melibatkan sejumlah pihak hingga mengabaikan hak-hak anak. Maka dari itu aturan yang memberikan kepastian hukum tentang keautentikan hubungan nasab dalam suatu keluarga menjadi suatu kebutuhan yang fundamental.

 Mengukuhkan hubungan persemendaan

Ikatan persemendaan terbentuk atas perpaduan ikatan pernikahan dan ikatan nasab. Persemendaan menjadikan seseorang terhubung dengan keluarga pasangan nikahnya.

 Mengatur tata cara memutuskan ikatan kekeluargaan

Maqāṣid al-Syarī„ah terpenting lainnya dari hukum kekeluargaan adalah mengatur dan menetapkan tata cara pemutusan ikatan pernikahan, nasab, dan persemendaan, bila mana karena sebab tertentu ikatan kekeluargaan tersebut tidak mendatangkan maslahat yang diharapkan, sebaliknya menimbulkan mudarat yang lebih besar.

2. Maqāṣid al- Syarī„ah dalam tata niaga

Harta kekayaan menurut Ibn „Āsyūr adalah segala sesuatu yang secara langsung maupun tidak langsung dapat dimanfaatkan oleh individu, kelompok, masyarakat umum untuk mewujudkan kemaslahatan pada berbagai waktu keadaan dan kebutuhan. Ibn

„Āsyūr mengemukakan lima maqāṣid al-syarī„ah khusus dalam tata niaga, yaitu ar-rawaj, transparansi, perlindungan terhadap harta, kepastian hukum atas kepemilikan, dan berkeadilan.

3. Maqāṣid al-Syarī„ah dalam muamalah ketenagakerjaan

Kepemilikan modal kekayaan keyataannya hanya dimiliki oleh sebagian orang saja, artinya tidak setiap individu memiliki harta yang cukup untuk dijadikan modal usaha. Di sisi lain individu yang menguasai kekayaan yang berlimpah sebagai modal punya keterbatasan waktu dan kemampuan dalam mendayagunakan hartanya secara produktif. Mereka memerlukan orang lain untuk memproduktifkan harta kekayaan secara maksimal, sebaliknya mereka yang memiliki keterbatasan modal membutuhkan harta guna memenuhi kebutuhan mereka, dan itu bisa mereka dapatkan dengan bekerja memproduktifkan harta kekayaan pemilik modal dengan imbalan tertentu.

Dengan demikian pemilik modal mendapat keuntungan berupa pertambahan harta kekayan yang lebih signifikan, sedangkan pekerja mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Hal ini diperbolehkan syariat, karena kebutuhan yang besar, dan kemaslahatannya tidak terbatas pada individu-individu tertentu, tapi untuk kemaslahatan umum juga.

71

Dalam syariat Islam dikenal sejumlah bentuk muamalah dengan prinsip seperti ini, diantaranya: ijārah al-Abdān, musāqāh, mugārasah, qirād, jal atau ja„ālah dan muzāra„ah.

4. Maqāṣid al-Syarī„ah hukum Tabarru„āt

Tabarru„āt ialah pemberian suka rela yang di dasari oleh semangat tolong menolong di antara individu-individu umat. Menurut Ibn „Āsyūr tabarru„āt meliputi: sedekah, hibah, ariah, habs atau wakaf, umra, dan memerdekakan budak. Dalam Tabarru„āt ada empat maqāṣid al-syarī„ah, yaitu: intensifikasi Tabarru„āt, suka rela, fleksibillitas, melindungi hak pihak lain yang terkait.

5. Maqāṣid al-Syarī„ah system pradilan dan kesaksian

Ibn „Āsyūr mensistemasi pendapatnya dalam sistem pradilan kedalam tiga bagian, yaitu: Maqāṣid Syarī„ah dalam Lembaga pradilan, Maqāṣid Syarī„ah dalam jabatan qadiy, Maqāṣid Syarī„ah dalam persaksian.