• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 3 PENYELESAIAN SENGKETA PILKADA SEBELUM PERUBAHAN KEDUA UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN DAERAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 3 PENYELESAIAN SENGKETA PILKADA SEBELUM PERUBAHAN KEDUA UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN DAERAH"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 3

PENYELESAIAN SENGKETA PILKADA SEBELUM PERUBAHAN KEDUA UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN DAERAH

3.1 Penyelesaian Sengketa Pemilu

Untuk menganalisis mengenai peralihan kewenangan penyelesaian sengketa pilkada dari MA ke MK, maka terlebih dahulu pada sub bab ini akan diuraikan mengenai penyelesaian sengketa pemilu (Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden). Hal ini diperlukan dalam rangka penerapan penggunaan metode pendekatan perbandingan dalam penelitian ini.

Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yudisial yang baru sebagai hasil perkembangan politik dan hukum, yakni dengan adanya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pada hakekatnya, fungsi utama Mahkamah Konstitusi adalah mengawal supaya konstitusi dijalankan dengan konsisten dan menafsirkan konstitusi atau Undang-Undang Dasar.65 Dengan fungsi dan wewenang tersebut, keberadaan Mahkamah Konstitusi memiliki arti penting dan peranan strategis dalam perkembangan ketatanegaraan karena segala ketentuan atau kebijakan yang dibuat penyelenggara negara dapat diukur dalam hal konstitusional atau tidaknya oleh Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Konstitusi dalam hubungannya dengan masalah Pemilihan Umum adalah karena didalam undang-undang mengatur masalah perselisihan

65

(2)

hasil Pemilu. Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hasil amandemen ketiga antara lain dikatakan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir memutuskan perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum”. Kewenangan Mahkamah Konstitusi ini diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal 10 ayat (1) huruf d dari undang-undang tersebut mengatakan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan tingkat terakhir yang putusannya bersifat final untuk memutus perselisihan hasil pemilihan umum”. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan hasil Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden berbeda dengan kewenangan dalam menyelesaikan sengketa Pemilu oleh pengawas Pemilu.

3.1.1 Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilu Legislatif

Perselisihan hasil Pemilu Legislatif diselesaikan di MK, hal ini diatur dalam Pasal 259 ayat (1) UU PEMILU66 dan dengan mekanisme yang diatur oleh Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 16/PMK/200967 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Perselisihan yang diselesaikan Mahkamah Konstitusi adalah perselisihan mengenai penetapan hasil Pemilu Legislatif yang dilakukan secara nasional oleh

66

Lihat lebih lengkap dalam Pemerintah Mahkamah Konstitusi No. 16/ PMK/2009 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

67

Lihat lebih lengkap dalam Pemerintah Mahkamah Konstitusi No. 16/ PMK/2009 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

(3)

Komisi Pemilihan Umum yang mempengaruhi:68 1) terpenuhinya ambang batas perolehan suara 2,5% sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1) UU PEMILU LEGISLATIF; 2) perolehan kursi partai politik peserta Pemilu di suatu Daerah Pemilihan; 3) terpilihnya calon anggota DPD.Permohonan perselisihan hasil Pemilu Legislatif hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3x24 jam sejak KPU mengumumkan penetapan hasil Pemilu secara nasional.

Putusan yang telah diambil dalam Rapat Permusyawaratan Hakim diucapkan dalam sidang pleno hakim konstitusi yang terbuka untuk umum. Putusan MK mengenai permohonan atas perselisihan hasil Pemilu Legislatif diputuskan paling lambat 30 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi. Amar putusan MK dapat menyatakan permohonan tidak dapat diterima apabila Pemohon dan/ atau permohonannya tidak memenuhi syarat, permohonan dikabulkan apabila permohonan terbukti beralasan dan selanjutnya membatalkan hasil perhitungan suara yang diumumkan oleh KPU serta menetapkan hasil penghitungan suara yang benar. Permohonan ditolak apabila permohonan tidak terbukti dan tidak beralasan. Putusan MK tentang perselisihan hasil Pemilu Legislatif disampaikan kepada Presiden, Pemohon, dan KPU. Putusan MK tentang perselisihan hasil Pemilu Legislatif bersifat final dan mengikat.

68

(4)

3.1.2 Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilu Presiden

Perselisihan hasil Pemilu Presiden diselesaikan di MK, hal ini diatur dalam Pasal 201 ayat (1) Undang-Undang No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU PILPRES) dan dengan mekanisme yang diatur oleh Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 17/PMK/2009 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden . Perselisihan yang diselesaikan Mahkamah Konstitusi adalah perselisihan mengenai penetapan hasil Pemilu Presiden yang dilakukan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum yang mempengaruhi:69 1) penentuan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang masuk pada putaran kedua Pemilu Presiden; 2) terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Permohonan perselisihan hasil Pemilu Presiden hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3x24 jam sejak KPU mengumumkan penetapan hasil Pemilu secara nasional.

Putusan MK mengenai permohonan atas perselisihan hasil Pemilu Presiden diputuskan paling lambat 14 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam buku Buku Registrasi Perkara Konstitusi. Putusan MK mengenai permohonan atas perselisihan hasil Pemilu Presiden disampaikan kepada MPR, Presiden/ Pemerintah, KPU, Partai Politik atau gabungan partai politik yang mengajukan calon, Pasangan Calon Peserta Pemilu. Amar putusan MK dapat menyatakan permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard), apabila Pemohon dan/atau permohonan tidak memenuhi syarat; permohonan dikabulkan, apabila

69

Lihat lebih lengkap dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 17/PMK/2009 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden

(5)

permohonan terbukti beralasan dan selanjutnya MK membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU serta menetapkan hasil penghitungan suara yang benar; atau permohonan ditolak, apabila permohonan tidak terbukti dan tidak beralasan.

3.2 Penyelesaian Sengketa Hasil Pilkada Langsung sebelum Perubahan Kedua Undang-Undang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menunjuk Mahkamah Agung untuk memutuskan perselisihan tentang hasil penghitungan suara dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pasal 106 ayat (1) sampai dengan ayat (7) UU PEMDA mengatur mengenai penyelesaian sengketa pilkada sebagai berikut:70

Pasal 106

1) Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. 2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan

dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.

3) Pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pengadilan tinggi untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi dan kepada pengadilan negeri untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota.

4) Mahkamah Agung memutus sengketa hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lambat 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi/ Mahkamah Agung.

(5) Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat final dan mengikat.

70

(6)

(6) Mahkamah Agung dalam melaksanakan kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mendelegasikan kepada Pengadilan Tinggi untuk memutus sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten dan kota.

(7) Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) bersifat final.

Sebagai peraturan pelaksana dari UU PEMDA maka dibuatlah PP No. 6 Tahun 2005 yang dalam pasal 94 ayat (1) sampai dengan ayat (7) mengatur tentang ketentuan penyelesaian sengketa hasil pilkada yaitu sebagai berikut:71

Pasal 94

1) Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan.

2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.

3) Pengajuan keberatan kepada Mahkarnah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat disampaikan melalui Pengadilan Tinggi untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dan Pengadilan Negeri untukpemilihan Bupati/Wakil Buputi dan Walikota/Wakil Walikota. 4) Mahkamah Agung memutus sengketa hasil penghitungan suara

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), paling lambat 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung.

5) Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat final dan mengikat.

6) Mahkamah Agung dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat mendelegasikan kewenangannya kepada Pengadilan Tinggi untuk memutus sengketa hasil penghitungan suara pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota.

7) Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) bersifat final dan mengikat.

Mengenai penunjukan lembaga Mahkamah Agung untuk menyelesaikan perselisihan hasil pilkada, Pemerintah dan DPR-RI semata-mata melakukan taat asas atau menghormati hukum. Hal ini dikarenakan Pasal 24C ayat (1)

71

(7)

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 membatasi kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu hanya “memutus perselisihan tentang hasil pemilu”. Artinya, kewenangan memutuskan perselisihan tentang hasil penghitungan suara dalam pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, tidak diberikan kepada Mahkamah Kontitusi, tetapi kepada Mahkamah Agung. Selain itu ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa “Mahkamah agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang,” dan “mempunyai wewenang lainnya yang diberikan undang-undang”.

Secara teknis, prosedur beracara dalam sengketa hasil pilkada di Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada Dari KPUD Propinsi dan KPUD Kabupaten/ Kota yang menyatakan, “Mahkamah Agung berwenang memeriksa keberatan terhadap penetapan hasil penghitungan suara tahap akhir dari KPUD tentang pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Propinsi”.

Ketentuan tersebut memiliki implikasi bahwa dalam hal ada keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan Kepala Daerah maka lembaga yang berwenang memeriksa adalah Mahkamah Agung. Ketentuan ini sesuai dengan tugas dan wewenang dari Mahkamah Agung, yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus sengketa tentang kewenangan mengadili.

(8)

Keberatan terhadap penetapan hasil penghitungan suara tahap akhir dari KPUD tentang pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Propinsi, tersebut menurut Pasal 2 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada Dari KPUD Propinsi dan KPUD Kabupaten/ Kota diajukan secara tertulis kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Tinggi tempat kedudukan KPUD Propinsi. Sedangkan keberatan terhadap penetapan hasil penghitungan suara tahap akhir dari KPUD tentang pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/ Kota, menurut Pasal 2 ayat (3) hingga ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada Dari KPUD Propinsi dan KPUD Kabupaten/ Kota, Mahkamah Agung mendelegasikan wewenangnya kepada Pengadilan Tinggi yang wilayah hukumnya meliputi Kabupaten/ Kota yang bersangkutan, dengan pengajuan secara tertulis kepada Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri bagi pemilihan Kepala Daerah Kabupaten/ Kota.72

Dengan memperhatikan uraian diatas, ketentuan pasal tersebut mengandung makna bahwa Mahkamah Agung mendelegasikan kewenangan sengketa perselisihan hasil pilkada melalui peradilan umum. Artinya, Mahkamah Agung telah memilih Peradilan Umum sebagai peradilan untuk memutus perselisihan sengketa hasil pilkada. Para perumus Undang-Undang No. 32 tahun

72

Lihat lebih lengkap Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada Dari KPUD Propinsi dan KPUD Kabupaten/ Kota.

(9)

2004 secara sengaja membedakan standar pemilu nasional dengan pilkada sehingga menempatkan penyelenggaraan pilkada di bawah Departemen Dalam Negeri dan mengurangi efektifitas koordinasi dan struktur hirarki KPU sebagai penyelenggara pemilu yang bersifat netral dan mandiri sebagaimana diakui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Akibatnya KPUD, terutama di tingkat kabupaten/ kota, menjadi ujung tombak terhadap berbagai masalah yang timbul dalam pilkada tanpa adanya supervisi dan koordinasi dari peringkat KPU diatasnya. Apabila KPUD digugat seperti dalam kasus Pilkada Depok, pihak KPUD berada dalam posisi yang sangat lemah berhadapan dengan penggugat yang memiliki kapasitas kuat untuk mempengaruhi proses peradilan.

3.3 Kasus Penyelesaian Sengketa Pilkada Sebelum Perubahan Kedua Undang-Undang Pemerintahan Daerah

Dalam penelitian ini, sebagai penerapan metode pendekatan perbandingan maka Penulis akan membandingkan kasus penyelesaian sengketa pilkada dari pada saat masih berada dalam kewenangan MA dan setelah berada dalam kewenangan MK. Sub bab ini secara khusus akan membahas penyelesaian sengketa pilkada pada saat masih berada dalam kewenangan MA dengan contoh kasus Sengketa Pilkada Kota Depok dan Sengketa Pilkada Propinsi Maluku Utara.

(10)

3.3.1 Penyelesaian Sengketa Pilkada Kota Depok

3.3.1.1 Proses Penyelesaian di Pengadilan Tinggi Jawa Barat

Penyelesaian sengketa pilkada Depok mengalami serangkaian proses yang cukup rumit dan memakan waktu yang cukup lama. Sejak keluarnya penetapan dari KPUD Depok No. 18 tahun 2005 yang isinya memenangkan pasangan calon Walikota Nur Mahmudi- Yuyun, pasangan calon Walikota Badrul-Syihabudin menyatakan keberatannya dengan mengajukan perkara ini ke Pengadilan Tinggi Jawa Barat.73

Pada akhirnya Pengadilan Tinggi Jawa Barat menggelar persidangan sengketa Pilkada Depok. Berbeda dengan sengketa hasil Pemilu Legislatif yang diselesaikan Mahkamah Konstitusi, penyelesaian sengketa Pilkada sebenarnya menjadi wewenang Mahkamah Agung, tetapi Mahkamah Agung dapat mendelegasikan hal ini kepada Pengadilan Tinggi untuk sengketa Pemilihan Bupati/ Walikota. Berdasarkan ini Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2005 yang kemudian diganti menjadi Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2005 (PERMA No. 2 Tahun 2005) yang didalamnya menyatakan bahwa sengketa pilkada bupati/ Walikota tidak dilakukan Mahkamah Agung melainkan dilakukan Pengadilan Tinggi.74

Tanggal 4 Agustus 2005 Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang memeriksa perkara sengketa pilkada Depok mengeluarkan Putusan dengan

73

Sumarno, Drama Politik Pilkada Depok, (Bandung: Harakatuna Publishing, 2006), hal. 25. 74

Lihat lebih lengkap Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada Dari KPUD Propinsi dan KPUD Kabupaten/ Kota.

(11)

amarnya sebagai berikut:75 a. Dalam eksepsi:

Menolak eksepsi Termohon b. Dalam pokok perkara

(1) Mengabulkan permohonan dari Pemohon

(2) Menyatakan batal hasil perhitungan suara akhir yang diumumkan oleh KPUD Depok tanggal 6 Juli 2005.

(3) Menyatakan jumlah perhitungan yang benar adalah:

a) Untuk calon pasangan no. 3 perolehan suara menjadi 269.551 suara b) Untuk calon pasangan no. 5 perolehan suara menjadi 204.828

suara.

(4) Menghukum Termohon untuk membayar ongkos perkara yang timbul dalam perkara ini sebesar Rp 200.000,- (dua ratus ribu rupiah).

Putusan ini tidak saja mengejutkan bagi pasangan Nur Mahmudi-Yuyun ataupun PKS melainkan juga mengejutkan banyak kalangan, ahli hukum, LSM, masyarakat awam, hingga para politisi. Hal ini wajar mengingat putusan ini menjadi satu-satunya kasus sengketa pilkada yang dimenangkan Pemohon dan menjadi satu-satunya putusan dimana persepsi tentang sengketa hasil pemilihan sama sekali berlainan baik ditinjau dari pengalaman sengketa hasil pemilu legislatif, sengketa hasil pemilu Presiden/ Wakil Presiden, sengketa hasil pilkada pada kasus-kasus lainnya, maupun jika ditinjau dari undang-undang, Peraturan Pemerintah, maupun PERMA No. 2 tahun 2005. Jadi, dapat dikatakan putusan ini

75

(12)

sangat kontroversial.

Hasil putusan ini mengundang banyak kontroversi terutama dari pihak partai politik yang mencalonkan pasangan Nur Mahmudi-Yuyun yaitu Partai Keadilan Sejahtera, kelompok simpatisan Nur Mahmudi-Yuyun, dan para pengamat politik dan hukum. Sengketa pilkada Depok menjadi sorotan pengamat-pengamat politik dan hukum, karena dipertanyakan apakah putusan dari Pengadilan Tinggi Jawa Barat sudah sesuai dengan fakta yang ada. Berbagai kalangan justru mencurigai adanya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme pada hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat.

Putusan dari Pengadilan Tinggi Jawa Barat dinilai tidak berdasarkan hukum dan fakta-fakta yang ada. Atas dasar itulah akhirnya pasangan Nur Mahmudi-Yuyun melalui KPUD Kota Depok mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung yang oleh Mahkamah Agung diputuskan bahwa pemenang perolehan suara pilkada Kota Depok adalah pasangan Nur Mahmudi-Yuyun.

Banyak alasan –alasan yang dilontarkan mengapa putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat harus dikatakan batal demi hukum. Diantaranya adalah karena putusan itu cacat hukum secara formal dan material.76 Secara formal, putusan itu dikeluarkan melewati batasan waktu sebagaimana diatur dalam aturan hukum terkait pilkada yaitu Undang-Undang No. 32 tahun 2004, PP No. 6 Tahun 2005, dan PERMA No. 2 Tahun 2005. Pada prinsipnya masing-masing aturan itu

76

(13)

mengatakan putusan harus dikeluarkan paling lambat 14 hari sejak permohonan keberatan didaftarkan.77

Dalam kenyataannya, penetapan KPUD Depok tentang hasil penghitungan suara pilkada Depok adalah tanggal 6 Juli 2005 dan permohonan keberatan Badrul Kamal terdaftar di pengadilan tanggal 11 Juli 2005, maka putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat seharusnya dikeluarkan paling lambat tanggal 29 Juli 2005. Faktanya, putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat baru dikeluarkan tanggal 4 Agustus 2005. Ini berarti bahwa ada keterlambatan empat hari dari batas waktu yang diatur dalam perundang-undangan. Keterlambatan itu jelas melanggar undang-undang.

Sedangkan secara materiil, putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat penuh dengan pembuktian yang janggal.78 Hal ini dilihat dari pembuktian yang diajukan oleh saksi dari Badrul Kamal yang menyatakan bahwa hasil perhitungan suara Badrul Kamal digembosi lebih dari 60.000 suara dan suara pasangan Nur Mahmudi telah digelembungkan lebih dari 26.000 suara. Keterangan yang diperoleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat ini hanya berasal dari beberapa saksi dan pernyataan tertulis dari kubu Badrul Kamal.

Pernyataan beberapa saksi kubu Badul Kamal jugalah yang mendasari putusan bahwa suara pasangan Nur Mahmudi telah digelembungkan lebih dari 26.000 suara. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi yang memerikasa perkara ini seharusnya bersikap kritis mempertanyakan kebenaran keterangan saksi, tidak

77

Ibid.

78 Ibid.

(14)

begitu saja percaya atas saksi-saksi Badrul yang tentu bertujuan memenangkan pasangan yang mereka dukung.

Majelis hakim dalam perkara ini sama sekali tidak mengindahkan bukti-bukti hasil penghitungan resmi yang diajukan KPUD Depok sebagai penyelenggara resmi Pilkada. Pihak Nur Mahmudi pun tidak pernah dipanggil sebagai saksi atau diberi kesempatan untuk menyampaikan bukti-bukti pendukung yang mendasari kemenangannya. Berdasarkan Perma No. 2 Tahun 2005 seharusnya Pengadilan Tinggi Jawa Barat memanggil para pihak yang terkait untuk didengar keterangannya. Namun dalam kasus Badrul Kamal-KPUD Depok, yang didengar keterangannya hanya dari pihak Badrul Kamal.

Secara kritis dapatlah dipertanyakan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat tersebut apakah sudah sesuai dengan kaidah hukum dan fakta-fakta yang ada. Namun juga jangan dilupakan, bahwa keputusan Pengadilan Tinggi yang mengusik rasa keadilan ini sebenarnya secara sistematis dimungkinkan para penggagas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004.79 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 secara sistematis menegaskan standar prinsip Pemilu yang jujur dan adil yang telah diakui dalam Undang-Undang Pemilu No. 12 Tahun 2003.80 Standar yang penting adalah memberikan wewenang kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan sengketa hasil penghitungan suara. Wewenang ini diakui dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta diatur dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.

79

Smita Notosusanto, “Mencermati Kecurangan Sistematis UU Pemda”, (Media Indonesia, 8 Agustus 2005), hal. 6.

80 Ibid.

(15)

Dalam hal ini, majelis hakim dinilai tidak kritis dalam mempertanyakan kebenaran keterangan saksi. Namun disatu sisi, putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat menurut aturan hukum bersifat final, artinya tidak memungkinkan upaya hukum lain. Tetapi karena waktu dikeluarkannya putusan sudah terlambat dari batas waktu yang ditentukan, maka Mahkamah Agung harus menyatakan putusan itu batal demi hukum.81 Putusan batal Mahkamah Agung tersebut tidak menyangkut putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat karena Mahkamah Agung tidak berwenang memeriksanya lagi. Pembatalan tersebut lebih sebagai fungsi pengawasan Mahkamah Agung atas kinerja pengadilan-pengadilan dibawahnya, suatu fungsi yang diberikan oleh Undang-Undang Mahkamah Agung. 82

Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada Dari KPUD Propinsi dan KPUD Kabupaten/ Kota, seharusnya Pengadilan Tinggi Jawa Barat memanggil para pihak yang terkait untuk didengar keterangannya 83. Namun dalam kasus ini, yang didengar keterangannya hanya dari pihak penggugat yaitu Badrul Kamal.

Jika dibandingkan dengan pengalaman Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan perkara sengketa hasil pemilu 2004 yang lalu, menangnya Pemohon dalam perkara semacam ini bukanlah hal yang aneh. Namun jika diihat dari jumlah suara Badrul Kamal yang diyakini Pengadilan Tinggi telah hilang yaitu sekitar 62.000-an suara, putusan ini menjadi sangat mengejutkan karena hal

81

Denny Indrayana, Op cit, hal. 16. 82

Ibid. 83

Lihat lebih lengkap dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMA-RI) No. 2 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada Dari KPUD Propinsi dan KPUD Kabupaten/ Kota.

(16)

ini membutuhkan penelitian yang ekstensif sebelum dapat menyimpulkan bahwa telah hilang suara sebanyak itu mengingat untuk membuktikan hilangnya suara sebanyak itu tidaklah mudah dan sederhana.

Sesuai dengan Pasal 106 ayat (7) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 maka putusan Pengadilan Tinggi ini memiliki akibat hukum yaitu bersifat final yang berarti bahwa putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap dan oleh karenanya tidak dapat diajukan banding, kasasi, maupun peninjauan kembali terhadapnya.84 Namun jika dicermati lagi, Pasal 106 ayat (7) secara jelas tidak menyebutkan bahwa putusan tersebut ‘mengikat’. Berdasarkan ketentuan inilah timbul pernyataan pers dari CETRO bahwa putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat final tapi tidak mengikat.85

Menanggapi pernyataan pers dari CETRO, Refli Harun selaku Dekan Fakultas Hukum Unversitas Indonesia Esa Unggul menyatakan kurang sependapat dengan pernyataan itu karena tiga alasan.86 Pertama, semua putusan pengadilan pasti mengikat, setidaknya terhadap pihak-pihak yang berperkara, terlepas apakah undang-undang menyebutkannya atau tidak, melainkan apakah putusan itu sudah berkekuatan hukum tetap atau tidak (inkraacht). Hal ini merupakan masalah atau wilayah eksekusi putusan. Sebuah putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum mengikat, karena ada pihak yang mengajukan upaya hukum berikutnya (banding atu kasasi), eksekusinya dapat ditangguhkan.

84

Lihat lebih lengkap Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 85

Pernyataan Pers CETRO, Putusan Final Tapi Tidak Mengikat, (Jakarta, 5 Agustus 2005). 86

Refli Harun, “PK Sebagai Solusi Kemelut Pilkada Depok”, ( Republika, 12 Agustus 2005), hal. 7.

(17)

Kedua, basis hukum penanganan sengketa hasil pemilu oleh Mahkamah Konstitusi juga tidak menyebutkan kata mengikat baik dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maupun dalam Pasal 10 UU No. 23 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dikedua aturan ini hanya disebutkan, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk, antara lain, perselisihan tentang hasil Pemilu. Kendati demikian, hal ini tidak mengurangi nilai putusan Mahkamah Kostitusi ketika harus dilaksanakan oleh KPU.

Ketiga, jalan tersebut dapat mendorong kearah legal disorder, ketidakpatuhan dalam hukum. Tidak dapat dipungkiri banyak putusan pengadilan yang kurang memenuhi rasa keadilan masyarakat karena, misalnya, dicapai dengan adanya korupsi, kolusi, dan nepotisme antara hakim dan pihak yang berperkara. Namun tidak bisa masyarakat serta-merta diimbau untuk tidak mematuhinya. Hukum telah menyediakan jalan agar dapat memperkarakan kembali putusan itu melalui jalur upaya lanjutan.

Berdasarkan ketiga alasan itu jugalah, maka Refli Harun menyatakan sangat setuju jika KPUD Depok mengajukan permohonan Peninjauan Kembali terhadap putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat.87 Akan tetapi harus diakui bahwa cara ini memang sangat kontroversial. Secara teoritis, putusan sengketa pilkada oleh Mahkamah Agung, seperti halnya putusan sengketa pemilu oleh Mahkamah Konstitusi, tidak bisa dimintakan upaya lanjutan, termasuk Peninjauan Kembali.88 Namun, seandainya dalam putusan Pengadilan Tiggi Jawa Barat, melakukan

87

Ibid.

88

(18)

kejanggalan-kejanggalan seperti yang dituduhkan, akan sangat mengusik rasa keadilan bila putusannya dibiarkan tanpa perlawanan.

Kasus pilkada Depok mengingatkan kita mengenai ‘kecurangan sistematis’ yang terkandung didalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang sekaligus mengatur proses pilkada. Sebagian besar masalah yang timbul dalam pelaksanaan pilkada seperti masalah pendaftaran pemilih dan penyelesaian sengketa, sebenarnya merupakan akibat langsung dari kecurangan sistematis ini. Meskipun masih banyak kelemahan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu, terutama berkaitan dengan KPU, secara umum proses pemilu legislatif berjalan lancar dan aman, hampir bersih dari segala kericuhan dan kekerasan yang mewarnai beberapa pilkada.

Kericuhan-kericuhan yang terjadi pada proses pilkada seharusnya sudah merupakan bukti untuk dijadikan dasar bagi DPR untuk ‘memindahkan’ aturan mengenai pilkada kedalam Undang-Undang Pemilu agar standar Pemilu di tingkat nasional dan tingkat daerah menjadi setara sesuai dengan standar pemilu yang jujur, adil, dan demokratis.

Kasus sengketa pilkada Depok juga banyak menimbulkan berbagai pertanyaan tentang sistem penegakkan hukum di Indonesia dan semakin menunjukkan bahwa penegakkan hukum hingga saat ini belum memuaskan. Bahkan hasil Putusan dari Pengadilan Tinggi Jawa Barat dirasakan jauh dari keadilan. Putusan tersebut sama sekali tidak memberi rasa keadilan bagi para pencari keadilan atau masyarakat pada umumnya.

(19)

3.3.1.2 Proses Penyelesaian di Mahkamah Agung

• Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali tentang Sengketa Pemilihan Kepala Daerah oleh KPUD Depok ke Mahkamah Agung

Kejanggalan-kejanggalan yang terdapat dalam putusan Pengadilan Tinggi menuai protes dari kubu Nur Mahmudi-Yuyun. Kubu Nur mahmudi- Yuyun menunjukkan sejumlah kejanggalan yang dilakukan majelis hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat, mulai dari persidangan yang telah melewati batas waktu 14 hari, materi perkara yang bukan merupakan sengketa hasil pilkada namun tetap diterima oleh hakim, sampai adanya dugaan suap dalam penyelesaian kasus tersebut.

Kejanggalan-kejanggalan tersebut disampaikan kepada Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, suatu komisi yang baru terbentuk dan bertugas mengawasi perilaku hakim-hakim di Indonesia. KPUD Depok menyampaikan kejanggalan tersebut dalam bentuk permohonan Peninjauan Kembali atas putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat.89 Menanggapi kasus pilkada Depok, Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan mengatakan bahwa ia dapat memahami kekecewaan PKS, namun Mahkamah Agung tidak dapat berbuat apa-apa karena telah ‘terpenjara’ oleh undang-undang bahwa putusan Pengadilan Tinggi itu telah final.90

Seharusnya Mahkamah Agung tidak dapat lepas tangan dan membiarkan kasus ini selesai di Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Mahkamah Agung harus mengambil peran dan bertanggungjawab meluruskan kekeliruan yang dilakukan

89

Denny Indrayana, op cit, hal. 16. 90

(20)

Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Peran dan tanggung jawab itu setidaknya dilihat dari:91

Pertama, pada prinsipnya kewenangan yang diberikan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 untuk menyelesaikan sengketa penetapan hasil pilkada adalah kewenangan Mahkamah Agung. Pengadilan Tinggi hanya menjalankan kewenangan yang didelegasikan dari Mahkamah Agung. Meskipun penedelegasian kewenangan itu bersifat fakultatif, Mahkamah Agung telah memilih untuk mendelegasikan kewenangan mengadili sengketa penetapan hasil pilkada oleh KPU Kabupaten/ Kota kepada Pengadilan Tinggi.

Akibat mendasar yang ditimbulkan dari setiap pendelegasian kekuasaan atau kewenangan adalah adanya pertanggungjawaban pihak yang diberikan kewenangan kepada yang memberikan wewenang. Tidak menjadi soal apakah kewenangan yang didelegasikan itu dilakukan secara benar atau salah, yang jelas pertanggungjawaban itu harus dilakukan. Dalam hal ini, Pengadilan Tinggi harus bertanggungjawab kepada Mahkamah Agung atau Mahkamah Agung meminta pertanggungjawaban pelaksanaan kewenangan yang didelegasikan itu dari Pengadilan Tinggi, apalagi bila telah terjadi kekeliruan yang fatal seperti yang dilakukan oleh Pengadilan tinggi Jawa Barat, Mahkamah agung wajib meminta pertanggungjawaban tersebut.

Kedua, dalam setiap pendelegasian kewenangan selayaknya disertai dengan aturan yang jelas dan rinci agar tidak menyimpang atau keliru dalam pelaksanaannya. PERMA No. 2 Tahun 2005 yang dibuat oleh Mahkamah Agung

91

(21)

belum secara jelas, rinci, dan lengkap mengatur pelaksanaan kewenangan Mahkamah Agung atau Pengadilan Tinggi untuk menyelesaikan sengketa penetapan hasil pilkada. Misalnya, berapa waktu yang diberikan untuk Mahkamah Agung atau Pengadilan Tinggi mulai menyidangkan perkara sejak perkara dimohonkan atau diregister ke Pengadilan Negeri.

Alokasi waktu ini tidak diatur secar rinci dalam PERMA. PERMA hanya mengatur (pada Pasal 3 ayat (9)), Mahkamah Agung atau Pengadilan Tinggi secepatnya memeriksa permohonan keberatan dalam waktu 14 hari. Kata secepatnya inilah yang menimbulkan interpretasi lain dari majelis hakim, sehingga majelis hakim berdalih perkara yang sudah diperiksa dan diputus tidak melampaui batas waktu yang ditentukan undang-undang.

PERMA juga tidak mengatur mekanisme yang memberikan kesempatan bagi Pemohon untuk memperbaiki atau melengkapi permohonannya, termasuk mengatur soal pembuktian atau bukti-bukti yang harus diajukan sebagai syarat permohonan. Bukti itu sangat penting, karena perkara sengketa hasil pemilu berbeda dengan perkara perdata atau pidana lainnya. Hakim tidak bisa hanya mendasarkan pada berkas perkara saja yang selanjutnya membutuhkan penilaian hukum berdasarkan peraturan undang-undang (judex juris). Akan tetapi ada fakta hukum berupa hasil suara akhir yang telah dihitung dan ditetapkan yang harus dilihat, diperiksa, dan dinilai oleh majelis hakim (judex factie). Fakta inilah yang tampaknya tidak dilihat dan diperiksa oleh majelis hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Majelis hakim lebih cenderung mengandalkan kesaksian para saksi dari Pemohon.

(22)

Ketiga, sebagai institusi pengadilan tertinggi, Mahkamah Agung memiliki fungsi- fungsi untuk melakukan pengawasan, baik pengawasan yang menyangkut penyelenggaraan peradilan maupun tingkah laku para hakim. Fungsi pengawasan Mahkamah Agung ini terdapat dalam Pasal 32 Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Dalam konteks pengawasan itu, Mahkamah agung dapat meminta keterangan tentang jalannya peradilan yang ada di bawahnya. Fungsi pengawasan ini dapat dijalankan oleh Mahkamah Agung dalam kasus pilkada Depok, mengingat yang terjadi tidak hanya kekeliruan atau kesalahan dalm penerapan hukum, akan tetapi proses peradilan tidak dijalankan secara bersih dan obyektif oleh majelis hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Kekeliruan itu menyebabkan hilangnya hak konstitusi seorang warga negara untuk duduk dalam kursi pemerintahan Kota Depok.

Oleh karena itu, Mahkamah Agung seharusnya membuka ruang dan memberi kesempatan kembali bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh putusan pengadilan dibawahnya untuk melakukan upaya-upaya hukum.92 Mahkamah Agung tidak harus mengikuti dan menjadi corong apa yang telah disebutkan undang-undang. Undang-Undang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah (PP), dan PERMA memang telah menentukan putusan itu final, namun undang-undang dan berbagai peraturan tersebut juga tidak melarang pengajuan hukum luar biasa melalui Peninjauan Kembali.

92

(23)

Peninjauan Kembali ini merupakan upaya hukum istimewa atau luar biasa terhadap putusan hukum yang pasti dan mengikat apabila tidak tesedia lagi upaya hukum biasa. Mekanisme Peninjauan Kembali tersedia dalam hukum acara perdata yang juga menjadi acuan Mahkamah Agung atau Pengadilan Tinggi menyelesaikan sengketa pilkada (Pasal 6 PERMA No. 2 Tahun 2005).93 Peninjauan Kembali juga tersedia dan diatur dalam Undang-Undang Mahkamah Agung (Pasal 67 UU No. 5 Tahun 2004) yang semestinya menjadi pegangan utama Mahkamah Agung.94

Peninjauan Kembali bertujuan untuk mengoreksi dan meluruskan kesalahan yang terdapat dalam putusan demi tegaknya hukum, kebenaran, dan keadilan. Dengan alasan, diantaranya jika terdapat bukti baru (novum) dan suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Dalam kasus pilkada Kota Depok, sangat jelas kekeliruan yang dilakukan majelis hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Jadi sangat tepat jika KPUD Depok melakukan langkah hukum melalui Peninjauan Kembali dan sudah selayaknya Mahkamah Agung menerima Permohonan Peninjauan Kembali tersebut.

Dalam menangani kasus pilkada Depok, sebenarnya Hakim Agung di Mahkamah Agung mempunyai momentum dan peran yang sangat besar untuk memperlihatkan dan memimpin bangsa ini dalam mewujudkan gagasan

93

Lihat lebih lengkap PERMA No. 2 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada Dari KPUD Propinsi dan KPUD Kabupaten/ Kota.

94

Lihat lebih lengkap PERMA No. 2 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada Dari KPUD Propinsi dan KPUD Kabupaten/ Kota.

(24)

pembaruan hukum guna mewujudkan keadilan dan kepastian sesuai dengan nurani masyarakat.

Ada 3 (tiga) hal penting yang tersebut pada teks normatif dalam Pasal 106 UU No. 32 tahun 2004, yaitu: cakupan kewenangan berkaitan dengan sengketa pilkada, pemberian delegasi pada pengadilan tinggi untuk memutus sengketa dan putusan yang bersifat final dan mengikat.95 Didalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 telah disebut bahwa keberatan dalam sengketa pilkada berkenaan dengan penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon saja. Karena itu pemeriksaan hanya diarahkan pada persoalan penghitungan suara tersebut.

Selain itu, perkara yang diperiksa adalah perkara yang dikualifikasi sebagai perkara permohonan sehingga tidak sepenuhnya tepat bila proses persidangannya menggunakan mekanisme hukum acara sepenuh-penuhnya atas perkara yang bersifat sengketa. Oleh sebab itu, pemeriksaan atas kasus sengketa pilkada seharusnya lebih banyak diarahkan untuk meneliti rekapitulasi hasil suara di setiap tingkatan untuk melihat ada tidaknya kesalahan atau kecurangan.

Kewenangan Pengadilan Tinggi yang didapatkan dari pendelegasian Mahkamah Agung untuk memutus sengketa dan Mahkamah Agung sendiri menurut Pasal 32 Undang-Undang Mahkamah Agung mempunyai kewenangan melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman memberi justifikasi dan legalitas bagi

95

(25)

Mahkamah Agung untuk menarik kembali pendelegasian otoritas yang diberikan kepada Pengadilan Tinggi atas dasar telah terjadinya obstruction of justice.

Selain itu, Pasal 34 j.o. Pasal 67 Undang-Undang Mahkamah Agung memberi ruang atas kasus ini untuk diperiksa dengan menggunakan upaya hukum luar biasa. Setidaknya dapat digunakan alasan “terjadinya suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata” untuk menjadi dasar pengajuan upaya hukum luar biasa.

Secara teoritis, langkah Peninjauan Kembali memang kontroversial, sebab lima instrumen utama yang mengatur pilkada sama sekali tidak mengenal lembaga peninjauan kembali. Kelima instrumen itu adalah UU No. 32 Tahun 2004; Perppu No. 3 tahun 2005 tentang Perubahan Atas UU No. 32 Tahun 2004; PP No. 6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah; PP No. 17 Tahun 2005 tentang Perubahan tentang PP No. 6 Tahun 2005; dan Perma No.2 Tahun 2005.

Namun, bila ketidakadilan begitu terlaihat nyata dan mencengkeram akal sehat, sama sekali tidak keliru ada upaya untuk mencari terobosan hukum. Berbeda dengan Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung mengenal lembaga peninjauan kembali, baik untuk masalah pidana maupun perdata. Secara umum peninjauan kembali dimintakan bila ada bukti baru (novum) yang tidak terungkap dalam sidang sebelumnya.

(26)

3.3.2 Penyelesaian Sengketa Hasil Pilkada Propinsi Maluku Utara 3.3.2.1 Gambaran Umum Sengketa Pilkada Maluku Utara

Kemelut sengketa Pilkada Maluku Utara berawal dari setelah dilakukannya Rekapitulasi Penghitungan Suara dan hasil tersebut ditetapkan oleh KPUD Maluku Utara dalam Surat Keputusan No. 20/SK/PGWG/2007 yang isinya menetapkan pasangan Thaib – Gani terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi Maluku Utara.96 Ketetapan tersebut menurut KPU terjadi kekeliruan prosedur karena proses rekapitulasi penghitungan suara dilakukan di ruangan tertutup yang hanya dihadiri oleh Ketua KPUD Maluku Utara (Rahmi Husein) beserta dua anggota KPU lainnya dan tanpa menayangkan hasilnya. Atas dasar tersebut, KPU Pusat mengambil alih rekapitulasi penghitungan suara.

Selanjutnya, KPU Pusat menetapkan hasil pilkada Maluku Utara untuk dilakukan penghitungan ulang sekaligus menonaktifkan Ketua KPUD Maluku Utara (Rahmi Husein) dan salah satu anggotanya. Atas ketetapan tersebut, KPU Pusat membatalkan keputusan KPUD Maluku Utara yang membekukan KPUD Kabupaten Halmahera Barat. Penghitungan ulang yang diambil alih oleh KPU Pusat justru memenangkan pasangan Ghafur-Fabanyo sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara yang ditetapkan dalam Surat Keputusan KPU No. 158/SK/KPU/2007. Atas penetapan KPU Pusat tersebut, Tim Advokasi pasangan Thaib-Gani menyatakan bahwa Keputusan KPU Pusat tidak sah dan batal demi hukum. Tim Advokasi memerintahkan KPUD Maluku Utara untuk mengusulkan

96

“Kronologis Kemelut Pilkada Malut,”

http://opiniindonesia.com/opini/?p=content&id=462&edx=S3Jvbm9sb2dpcyBLZW1lbHV0IF BpbGthZGEgTWFsdXQ=, 2 Juni 2009.

(27)

kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri agar pasangan Thaib-Gani diangkat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara dan juga mengajukan sengketa pilkada kepada Mahkamah Agung.

3.3.2.2 Proses Penyelesaian di Mahkamah Agung

Tim Advokasi pasangan Thaib-Gani mengajukan permohonan keberatan terhadap penetapan KPU Pusat yang memenangkan pasangan Ghafur-Fabanyo. MA dalam Putusan No. 03 P/KPUD/2007 mengabulkan sebagian tuntutan kuasa hukum Thaib-Gani dan memutuskan agar dilakukan penghitungan ulang di tiga kecamatan bermasalah di Kabupaten Halmahera Barat. Bunyi amar putusan tersebut adalah sebagai berikut:97

a) Dalam Eksepsi:

Menolak eksepsi Termohon b) Dalam Pokok Perkara:

(1) Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;

(2) Menyatakan menurut hukum adalah tidak sah dan membatalkan demi hukum Keputusan KPU No. 158/SK/KPU/Tahun 2007 Tanggal 26 November 2007 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi Maluku Utara Tahun 2007 beserta Berita Acara Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi Maluku Utara

97

(28)

Tahun 2007 oleh KPU No. 27/15-BA/XI/2007 tertanggal 22 November 2007;

(3) Memerintahkan kepada KPUD Maluku Utara untuk melakukan penghitungan suara ulang di daerah Kabupaten Halmahera Barat, khususnya Kecamatan Djailolo, Kecamatan Ibu Selatan, dan Kecamatan Sahu Timur denga mengikuti prosedur yang benar dalam tenggang waktu satu bulan;

(4) Menyatakan permohonan-permohonan selebihnya tidak dapat diterima;

(5) Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 300.000,- (tiga ratus ribu Rupiah).

Putusan ini ini justru akhirnya menambah kerumitan sengketa karena setelah dilakukan penghitungan ulang justru membuahkan dua versi hasil penghitungan KPUD Maluku Utara yaitu versi Rahmi Husein (yang telah dinonaktifkan) dimana pasangan Thaib memperoleh suara terbanyak, sementara versi Muchlis Tapi Tapi (plt Ketua KPU Malut) menetapkan pasangan Abdul Gafur unggul di tiga kecamatan. Atas hasil penhitungan ulang tersebut MA mengelurkan Fatwa MA No. 022/KMA/III/2008 tertanggal 10 Maret 2008 yang menyatakan bahwa Keputusan KPUD Maluku Utara versi Rahmi Husein dinyatakan telah sesuai dengan prosedur yuridis dan ketentuan hukum acara perdata.98

98

(29)

Setelah keluar putusan MA dan Fatwa MA yang menyatakan bahwa penghitungan suara versi Rahmi Husein telah sesuai dengan prosedur yuridis dan ketentuan hukum acara perdata serta menyebutkan Menteri Dalam Negeri selaku Pemerintah Pusat berwenang menyelesaikan pilkada Maluku Utara sebagai kebijakan (beleid). Pada tanggal 14 Mei 2008 MA kembali mengeluarkan Fatwa MA dalam Surat No. 099/KMA/V/2008 yang substansinya menyatakan bahwa pemerintah pusat berwenang menyelesaikan sengketa Pilkada Maluku Utara sebagai kebijakan (beleid) dan harus melihatnya dari sisi manfaat dengan melihat potensi gejolak sosial, politik, dan keamanan yang paling minim.99

3.3.2.3 Keputusan Menteri Dalam Negeri sebagai Akhir dari Penyelesaian Sengketa Pilkada Maluku Utara.

Sengketa Pilkada Maluku Utara akhirnya mendapat titik terang setelah dikeluarkannya Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang penetapan pasangan Thaib-Gani sebagai pemenang pilkada. Keputusan Menteri Dalam Negeri ini didasarkan pada Putusan MA No. 03 P/KPUD/2007, Fatwa MA No. 022/KMA/III/2008 dan Fatwa MA No. 099/KMA/V/2008. Sikap Menteri Dalam Negeri atas nama pemerintah pusat tersebut perlu diberikan apresiasi sebagai upaya akhir penyelesaian konflik pilkada yang telah menguras banyak energi dan menimbulkan kerentanan ketegangan maupun konflik horizontal di Maluku Utara. Keputusan Menteri Dalam Negeri ini telah sesuai dengan kerangka hukum

99

(30)

berdasarkan keputusan pertimbangan hukum MA yang memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk menyelesaikan sengketa pilkada.

Dalam konteks ini, kekhawatiran banyak pihak atas sikap Menteri Dalam Negeri yang dinilai memihak salah satu pasangan calon juga perlu diletakkan secara proporsional dalam perspektif hukum dan aturan-aturan mengenai penyelenggaraan pilkada agar tidak distortif. Apalagi, Menteri Dalam Negeri juga dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada keberpihakan terhadap salah satu pasangan calon gubernur dan wakil gubernur dalam pengambilan keputusan tersebut. Keputusan Menteri Dalam Negeri yang didasarkan pada keputusan dan pertimbangan hukum MA sekaligus mengingatkan bahwa intervensi yang terlalu jauh dari KPU terhadap penyelenggaraan pilkada telah menimbulkan preseden buruk berupa sengketa berkepanjangan yang tiada akhir.100

100

Pernyataan CETRO tentang Keputusan Mendagri atas Sengketa Pilkada Propinsi Maluku Utara, http://www.cetro.or.id/uu/Pers%20Release%20Pilkada%20Malut%20-CETRO%20030608.pdf, 18 Juni 2009.

Referensi

Dokumen terkait

menengahkan pada lereng yang lebih landai (di bawah 40%) pembebanan dapat berperan menambah gaya penahan gerakan pada lereng. 2) Sebagai tindakan preventif, beban

Pada Bab II akan dijelaskan mengenai dasar teori yang akan mendukung pembentukan model suku bunga stokastik waktu diskrit dan penerapannya dalam anuitas, yaitu: peluang,

Perlindungan tangan : Sarung tangan yang kuat, tahan bahan kimia yang sesuai dengan standar yang disahkan, harus dipakai setiap saat bila menangani produk kimia, jika penilaian

Madrasah Al – Jihad Buangin adalah merupakan satu – satunya sekolah yang bercirikan Agama di kecamatan Sabbang, pada saat berdirinya yakni padaTahun Ajaran

Saya lebih suka membeli produk-produk kosmetik dari perusahaan yang sudah identik dengan kesehatan.. 5 Aroma produk The Body Shop

lebih besar dari pada , sehingga kita dapat menyakini bahwa akan terjadi sebuah gempa bumi di kota Zadia pada suatu saat dalam 20 tahun ke depanB. Peluang terjadinya

Pada tabel 4.10 dapat dilihat bahwa perawat dengan sikap baik dan melakukan tindakan pencegahan infeksi nosokomial (phelibitis) dengan baik sebanyak 23 (76,7%)

If Harga is Cukup Mahal and Processor is Cukup Tinggi and Ukuran Layar is Besar and Harddisk is Besar and RAM is Besar and VGA is. Tinggi then Performa