• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENDEKATAN TEORITIS"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Konservasi

Salah satu upaya yang dianggap efektif untuk dilakukan dalam melindungi ekosistem dan sumberdaya adalah dengan menetapkan kawasan konservasi yang bertujuan melindungi habitat-habitat kritis, mempertahankan, dan meningkatkan kualitas sumberdaya, melindungi keanekaragaman hayati, dan melindungi proses-proses ekologi. Kawasan Konservasi Laut (KKL) meliputi; Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD), Taman Nasional Laut (TNL), Taman Wisata Alam Laut (TWAL), Cagar Alam Laut (CAL), Suaka Margasatwa Laut (SML), Daerah Perlindungan Laut (DPL), dan Suaka Perikanan (SP). Tujuan dari penetapan kawasan konservasi yang tertera dalam pasal 3 Undang-undang Konservasi Hayati (UUKH Tahun 1990) yang dikutip oleh Hardjasoemantri (1991) adalah sebagai berikut:

“Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia”.

Hingga Tahun 2009, jumlah KKL di Indonesia berjumlah 89 dengan luas keseluruhan adalah 22.175.609 ha. Jumlah dan luasan Kawasan Konservasi Laut (KKL) di Indonesia Tahun 2009 secara terperinci dapat dilihat pada lampiran 2.

2.1.1.1 Manfaat dan Tujuan Penetapan Kawasan Konservasi

Kawasan konservasi di pesisir dan laut memiliki peran utama sebagai berikut (Agardy dan Barr et al. 1997 dikutip Bengen 2001):

1. Melindungi keanekaragaman hayati serta struktur fungsi dan integrasi ekosistem.

2. Meningkatkan hasil perikanan. Kawasan konservasi dapat melindungi daerah pemijahan, pembesaran dan mencari makanan, meningkatkan kapasitas reproduksi dan stok sumberdaya ikan.

(2)

3. Menyediakan tempat rekreasi dan pariwisata. Kawasan konservasi dapat menyediakan tempat untuk kegiatan rekreasi dan pariwisata alam yang bernilai ekologis dan estetika.

4. Memperluas pengetahuan dan pemahaman tentang ekosistem. Kawasan konservasi dapat meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap ekosistem pesisir dan laut, menyediakan tempat yang relatif tidak terganggu untuk observasi dan monitoring jangka panjang, dan berperan penting bagi pendidikan masyarakat berkaitan dengan pentingnya konservasi laut dan dampak aktivitas menusia terhadap keanekaragaman hayati laut. 5. Memberikan manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat pesisir. Kawasan

konservasi dapat membantu masyarakat lokal dalam mempertahankan basis ekonominya melalui pemanfaatan sumberdaya dan jasa lingkungan secara optimal dan berkelanjutan.

Pada pasal empat dari UUKH Tahun 1990 dinyatakan bahwa konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah serta masyarakat. Artinya bahwa pengelolaan kawasan konservasi dapat dilakukan oleh siapa saja termasuk masyarakat. Namun dalam kenyataannya, yang lebih berwenang adalah pihak pemerintah baik pusat maupun daerah yang menyatakan dirinya sebagai pihak yang mencetuskan dan pemilik kawasan konservasi sedangkan masyarakat terbatas dalam hal pengelolaan. Mengingat pentingnya kawasan konservasi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia secara khusus masyarakat lokal maka masyarakat juga mempunyai kewajiban dan tanggung jawab dalam kegiatan konservasi. Hal ini nantinya akan berimplikasi dalam penerapan proses konservasi yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan monitoring.

2.1.1.2 Penetapan Zona Kawasan Konservasi

Sistem zonasi kawasan konservasi adalah pembagian wilayah di dalam kawasan menjadi zona-zona guna menentukan kegiatan-kegiatan pengelolaan yang diperlukan secara tepat dan efektif dalam rangka mencapai tujuan

(3)

pengelolaan kawasan konservasi sesuai dengan fungsi dan peruntukkannya (DEPHUT 1995 dikutip Manoppo 2002).

Masalah yang penting dalam pengalokasian suatu kawasan konservasi adalah menetapkan batas-batas atau zona-zona. Hal ini menjadi penting karena penentuan zona ini akan menentukan siapa pelaku yang berhak mengelola dan memanfaatkan bahkan hal ini bisa memicu terjadinya konflik. Menurut Bengen (2001), secara umum zona-zona di kawasan konservasi dikelompokkan menjadi tiga zona yaitu:

1. Zona inti atau zona perlindungan: habitat di zona ini memiliki nilai konservasi yang tinggi oleh karena itu zona ini harus dikelola dengan tingkat perlindungan yang tinggi serta tidak dapat diijinkan adanya aktivitas manusia khususnya mengeksploitasi.

2. Zona penyangga: zona ini bersifat lebih terbuka tetapi tetap dikontrol dan beberapa bentuk pemanfaatan masih dapat diijinkan. Penyangga di sekeliling zona perlindungan ditujukan untuk menjaga kawasan konservasi dari berbagai aktifitas pemanfaatan yang mengganggu dan melindungi kawasan dari pengaruh eksternal.

3. Zona pemanfaatan: lokasi ini masih memiliki nilai konservasi tertentu tetapi dapat mentolerir berbagai tipe pemanfaatan oleh manusia, dan layak bagi beragam kegiatan eksploitasi yang diijinkan dalam suatu kawasan konservasi.

Penetapan zonasi di atas hampir berlaku di seluruh kawasan konservasi di Indonesia walaupun ada kawasan yang memiliki batas zonasi lebih dari ketiga zona di atas. Ketika penetapan zonasi dilakukan menjadi hal yang penting untuk diperhatikan adalah komunitas lokal atau masyarakat pesisir yang beroperasi di zona-zona tersebut. Banyak kasus dilapangan membuktikan, area yang sering dilalui nelayan lokal harus di ambil dan dijadikan zona terlindungi bahkan nelayan tersebut tidak boleh melintas atau beroperasi di area tersebut. Padahal area yang termasuk zona terlindungi merupakan area yang sudah sejak lama mereka manfaatkan dan kelola. Hal ini lah yang justru menimbulkan konflik, sehingga ketika penetapan zonasi harus melibatkan peran masyarakat lokal guna meminimalisir konflik yang akan terjadi.

(4)

2.1.2 Daerah Perlindungan Laut

2.1.2.1 Pengertian, maksud, dan tujuan pembentukan DPL

Daerah Perlindungan Laut (DPL) adalah salah satu bentuk pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. DPL didefinisikan sebagai area larang ambil (no take zone area) dan dikelola oleh masyarakat lokal (Coremap II 2009). Daerah Perlindungan Laut yang yang dikelola oleh masyarakat lokal disebut DPL-BM (Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat). DPL-BM merupakan daerah pesisir dan laut yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya serta dikelola oleh masyarakat setempat. Demikian pula kegiatan manusia di dalam kawasan DPL-BM diatur atau sedapat mungkin dibatasi. Pengaturan, pembatasan, dan larangan kegiatan tersebut ditetapkan oleh masyarakat dan pemerintah setempat dalam bentuk peraturan kampung (Coremap II 2009).

Prinsip dasar dari DPL adalah zona larang ambil bersifat permanen dan tidak untuk dibuka pada waktu-waktu tertentu. Daerah Perlindungan Laut dimaksudkan untuk :

1. Mengurangi kegiatan bersifat destruktif terhadap sumberdaya laut dan pesisir, khususnya bagi terumbu karang dan mangrove (Salm et al. 2000 dikutip Setianingsih 2010)

2. Melindungi spesies langka dan habitatnya, serta mempertahankan produksi perikanan (Salm et al. 2000 dikutip Setianingsih 2010; Coremap II 2009) 3. Dapat merehabilitasi/menjaga sumberdaya laut akibat aktifitas yang merusak

(Salm et al. 2000 dikutip Setianingsih 2010; Coremap II 2009)

4. Mengembangkan kegiatan yang dapat meningkatkan perekonomian/pendapatan bagi masyarakat lokal (Salm et al. 2000 dikutip Setianingsih 2010; Coremap II 2009)

5. Mendidik masyarakat lokal dalam hal perlindungan laut/konservasi sehingga dapat meningkatkan rasa tanggung jawab dan kewajiban masyarakat (Coremap II 2009)

DPL secara khusus dapat ditetapkan di suatu kawasan yang aktifitas perikanannya sudah berlangsung lama dan habitat terumbu karangnya mungkin

(5)

mulai rusak oleh aktifitas manusia. Perlindungan terhadap kawasan terumbu karang dari kegiatan penangkapan ikan dan aktifitas manusia lainnya akan memberikan kesempatan kepada terumbu karang dan organisme laut lainnya yang sudah rusak atau binasa untuk kembali hidup dan berkembang biak. Nantinya kawasan terumbu karang yang kaya nutrisi, menyediakan tempat hidup dan makanan bagi ikan-ikan untuk hidup, makan, tumbuh, dan berkembang biak.

Sumber : DKP Raja Ampat (2009)

Gambar 1. Daerah Perlindungan Laut

2.1.2.2 Manfaat dan Sistem Zonasi Daerah Perlindungan Laut (DPL)

COREMAP II (2008) menyatakan bahwa manfaat yang dapat diperoleh dari Daerah Perlindungan Laut diantaranya adalah, (i) meningkatkan hasil tangkapan perikanan lokal, (ii) keuntungan ekonomis karena pemeliharaan ikan yang lebih baik, (iii) menciptakan kesempatan kerja, dan (iv) membantu penegakan aturan.

DPL harus memiliki zona inti, yaitu suatu areal yang di dalamnya kegiatan penangkapan ikan dan aktivitas pengambilan sumberdaya lainnya sama sekali tidak diperbolehkan (no take zone area). Begitu juga kegiatan yang dapat merusak terumbu karang di zona inti seperti pengambilan karang, pelepasan jangkar, serta penggunaan galah untuk mendorong perahu di atas terumbu karang juga dilarang. Aturan larang ambil sangat penting di zona inti. Namun demikian, keputusan pelarangan tersebut tergantung pada keinginan masyarakat itu sendiri.

(6)

Pada umumnya, DPL-BM memiliki zona inti dan zona penyangga. Zona penyangga adalah suatu kawasan di sekeliling zona inti yang memperbolehkan beberapa jenis kegiatan, termasuk penangkapan ikan. Penangkapan yang diperbolehkan adalah dengan menggunakan cara tradisional seperti memancing, memanah, dan menggunakan perahu tradisional. Kegiatan penyelaman dengan menggunakan scuba dan snorkeling juga diizinkan. Sementara itu, kegiatan penangkapan ikan secara komersil seperti penggunaan perahu berlampu, dan penggunaan beberapa jenis alat tangkap yang dapat merusak terumbu karang tetap dilarang dalam zona penyangga ini (Coremap II 2009).

2.1.2.3 Proses Pembentukan Daerah Perlindungan Laut (DPL)

Daerah Perlindungan Laut ditetapkan dengan tujuan menjamin keberlanjutan dari sumberdaya laut dan memberikan kesempatan kepada masyarakat sebagai pengelola utama. Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL-BM) dibuat dan ditetapkan oleh masyarakat bersama-sama dengan pemerintah setempat melalui suatu peraturan yang disepakati bersama atau kesepakatan kampung. Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam pembentukan DPL adalah sebagai berikut (Coremap II 2009):

1. Pengenalan masyarakat dan identifikasi isu

Langkah ini merupakan upaya mengajak masyarakat memahami peran DPL-BM dan manfaat yang diperoleh. Kemudian mengidentifikasi isu dengan mengumpulkan data dasar mengenai kondisi desa dan mengidentifikasi isu utama.

2. Persiapan program DPL-BM

Pada langkah kedua, kegiatan yang dilakukan adalah pendidikan lingkungan hidup terhadap masyarakat lokal, pelatihan yang bertujuan membangun kapasitas masyarakat, pemetaan terumbu karang, dan pembentukan kelompok pengelola DPL-BM.

3. Konsultasi dan pembuatan aturan

Langkah ini dilakukan secara formal dan informal demi mendapatkan kesepakatan terhadap, lokasi DPL, zona DPL, ukuran atau luasan DPL,

(7)

hal-hal yang dilarang dan diperbolehkan dalam zona yang ditetapkan, sanksi dan kewajiban pengelola, serta rancangan peraturan desa.

4. Persetujuan aturan

Ketika masyarakat dan pihak yang berkepentingan telah bersepakat untuk membentuk DPL maka selanjutnya adalah membuat persetujuan aturan yang telah didiskusikan. Aturan desa tentang DPL-BM ditetapkan secara formal melalui peraturan desa yang didukung mayoritas masyarakat setempat, ditandatangani oleh pemerintah desa dan lembaga-lembaga perwakilan di desa dan diteruskan kepada Kepala Kecamatan dan Bupati .

5. Pelaksanaan dan pemantauan

Langkah terakhir yang dilakukan adalah pemasangan tanda batas permanen; pemasangan papan peraturan dan informasi; peresmian DPL; patroli dan pemantauan secara rutin; pelaksanaan dan penegakan peraturan DPL; serta evaluasi.

Secara umum, konsep yang diterapkan oleh Coremap dalam proses pembentukan DPL-BM adalah mengikuti siklus pengelolaan sumberdaya pesisir, mulai dari identifikasi isu, persiapan perencanaan, pendanaan dan adopsi formal, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi.

Sumber : DKP Raja Ampat (2009)

(8)

2.1.2.4 Penentuan Lokasi dan Ukuran DPL

Adapun beberapa syarat penentuan lokasi dan ukuran Daerah Perlindungan Laut yang digunakan oleh Coremap II Kabupaten Raja Ampat, antara lain adalah (Coremap II 2008):

1. Kondisi tutupan karang hidup (karang keras dan lunak) dalam kondisi yang baik (tutupan karang di atas 50 persen)

2. Kepadatan ikan dan keanekaragaman organisme laut lainnya cukup tinggi 3. Merupakan terumbu karang “sumber” (source reef)

4. Mencakup 10 persen-20 persen dari keseluruhan habitat terumbu karang yang ada di wilayah suatu desa

5. Habitat terumbu karang yang mencakup rataan dan kemiringan karang dan secara ideal memiliki lamun dan habitat mangrove (tetapi tidak harus selalu memiliki lamun dan mangrove)

6. Suatu kawasan yang diketahui merupakan tempat ikan bertelur

7. Lokasinya masih berada dalam jangkauan penglihatan masyarakat sehingga mudah diamati dan memudahkan pemantauan serta penerapan aturan yang berlaku

2.1.3 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat

Melimpahnya sumberdaya alam pesisir dan laut yang dimiliki Indonesia tentunya memerlukan strategi pengelolaan yang dapat secara efektif meningkatkan kuantitas di segala bidang, baik ekonomi masyarakat maupun konservasi dan kelestarian sumberdaya alam. Upaya tersebut dilatar belakangi oleh kenyataan bahwa pendekatan dari atas (top down) yang menempatkan pemerintah sebagai pemegang peran utama, terbukti tidak efektif. Menurut Perez (1995) seperti dikutip oleh Saad (2003), proses pengelolaan tersebut mengakibatkan hilangnya sistem masyarakat dan tata nilai yang sudah berlaku secara turun temurun.

Hal tersebut mendorong para ahli untuk merekomendasikan pengembangan pengelolaan bersama atau pengelolaan perikanan berbasis masyarakat (community based fisheries management). Saad (2003) mendefinisikan pengelolaan perikanan berbasis masyarakat sebagai pembagian tanggung jawab dan otoritas antara

(9)

pemerintah setempat dan sumberdaya setempat (local community) untuk mengelola sumberdaya perikanan. Secara formal dan informal, pengelolaan model ini diwujudkan dalam bentuk penyerahan hak milik (property rights) atas sumberdaya perikanan kepada masyarakat. Selain itu menurut Ruddle (1999) seperti dikutip oleh Ruddle dan Satria (2010), unsur-unsur pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat antara lain :

1. Territorial Boundary (batasan wilayah) 2. Rules (peraturan)

3. Authority (kewenangan) 4. Monitoring (pengawasan) 5. Sanctions (sanksi)

2.1.4 Hak Kepemilikan

Ketika berbicara pemanfaatan dan pengelolaan suatu kawasan konservasi ataupun sumberdaya alam secara umum, maka tidak terlepas dari konteks hak kepemilikan para pengguna terhadap sumberdaya alam yang akan dimanfaatkan. Dengan adanya kejelasan akan hak milik seseorang maka akan menentukan dan membatasi sejauh mana ia dapat mengambil dan mengelola sumberdaya dan juga dapat menjauhi terjadinya konflik kepentingan atas sumberdaya alam yang menjadi objek. Hak-hak tersebut akan menentukan status kepemilikan seseorang atau kelompok atas sumberdaya.

Menurut Ostrom dan Schlager yang dikutip Satria (2009), terdapat lima tipe hak-hak dalam pengelolaan sumberdaya alam, yaitu:

1. Hak akses (access right) adalah hak untuk memasuki wilayah sumberdaya yang memiliki batas-batas yang jelas dan untuk menikmati manfaat non ekstraktif.

2. Hak pemanfaatan (withdrawal right) adalah hak untuk memanfaatkan sumberdaya.

3. Hak pengelolaan (management right) adalah hak untuk turut serta dalam pengelolaan sumberdaya.

(10)

4. Hak ekslusi (exclusion right) adalah hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki hak akses dan bagaimana hak tersebut dialihkan ke pihak lain. 5. Hak pengalihan (alienation right) adalah hak untuk menjual atau

menyewakan sebagian atau seluruh hak kolekif tersebut di atas.

Terkait dengan hak kepemilikan atas sumberdaya, maka penting untuk diketahui rezim-rezim kepemilikan yaitu akses terbuka (open access), negara (state property), swasta (private property), dan masyarakat (communal property).

Tabel 1. Rezim Kepemilikan Atas Sumberdaya Alam di Indonesia

Rezim kepemilikan

Keterangan

Akses terbuka (open access)

Akses terbuka, tidak ada pengaturan tentang apa, siapa, kapan, dimana, dan bagaimana terjadinya persaingan bebas. Pada rezim ini, tragedy of the commons sering terjadi. Selain itu kerusakan sumberdaya, konflik antara pelaku, dan kesenjangan ekonomi pun mengikutinya. Negara (state

property)

Hak kepemilikan berada di tingkat daerah hingga pusat dan berlaku pada sumberdaya yang menjadi hajat hidup orang banyak. Pada rezim ini sering terjadi konflik antara pemerintah pusat dan daerah atau dengan pihak lainnya. Swasta (private

property)

Hak kepemilikan lebih bersifat temporal atau dalam jangka waktu tertentu karena izin pemanfaatan yang diberikan pemerintah. Rezim ini sangat berpotensi menimbulkan konflik dengan masyarakat setempat dan terjadinya kesenjangan ekonomi.

Komunal atau masyarakat

Rezim ini ditandai oleh hak kepemilikan yang sifatnya sudah turun temurun, lokal, dan spesifik. Peraturan yang ada dibuat berdasarkan pengetahuan lokal dan pelaksanaannya lebih efektif. Kekurangan rezim ini adalah lemahnya legitimasi secara formal dari pemerintah atas aturan-aturan lokal yang ada.

Sumber : Satria (2009)

Hak-hak di atas dikategorikan berdasarkan dimiliki atau tidaknya hak tersebut oleh setiap pemangku kepentingan. Orang yang memiliki hak tersebut juga diklasifikasikan ke dalam lima kategori, seperti tertera pada tabel dibawah ini:

(11)

Tabel 2. Status Hak Kepemilikan

Hak Milik Owner Proprietor Claimant Authorized user Authorized entrant Access x x x x x Withdrawal x x x x Management x x x Exclusion x x Alienation x

Sumber : Ostrom dan Schlager (1996) dikutip Satria (2009)

2.1.5 Analisis Kesejahteraan Masyarakat Pesisir

Masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang tinggal atau berada di wilayah pesisir, dan sebagian besar hidupnya bergantung pada kekayaan sumberdaya alam yang ada di wilayah pesisir. Secara turun temurun mereka bermata pencaharian sebagai nelayan, pedagang antar pulau, dan lain-lain. Nikijuluw (2005) menggolongkan masyarakat pesisir dalam dua tipe kelompok yaitu kelompok non-perikanan (penjual jasa pariwisata, jasa transportasi, dan yang memanfaatkan sumberdaya non hayati laut dan pesisir) dan kelompok perikanan (nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan, dan pedagang ikan).

Secara umum, yang menjadi pembeda masyarakat pesisir dengan masyarakat desa dan kota adalah dari aspek kondisi sosial dan ekonomi mereka yang umumnya terbelakang (Rahardjo 1996 dikutip Mustamin 2003). Penyebab dari kemiskinan masyarakat pesisir dapat dilihat dari beberapa faktor, diantaranya adalah :

1. Tidak adanya akses ke sumber modal, akses terhadap teknologi, dan akses terhadap pasar (Dahuri 2000 dikutip Kamarijah 2003).

2. Pendapatan yang relatif rendah (Rahardjo 1996 dikutip Mustamin 2003; Satria 2002).

3. Kurangnya kelembagaan penunjang (Rahardjo 1996 dikutip Mustamin 2003).

4. Lemahnya insfrastruktur baik sosial, fisik, maupun ekonomi (Rahardjo 1996 dikutip Mustamin 2003; Dahuri 2000 dikutip Kamarijah 2003).

(12)

5. Rendahnya tingkat pendidikan dan status kesehatan (Rahardjo 1996 dikutip Mustamin 2003; Dahuri 2000 dikutip Kamarijah 2003).

6. Kebijakan pemerintah yang berorientasi pada produksi sehingga menyebabkan tangkap lebih (over fishing) (Tindjbate 2001 dikutip Karim 2005).

Kemiskinan dapat dibedakan berdasarkan ukurannya menjadi dua macam yaitu kemiskinan tetap (absolute) dan kemiskinan relatif. Kemiskinan tetap (absolute) merupakan kemiskinan yang dilihat dari ukuran garis kemiskinan (Satria 2002; Ibrahim 2007). Garis kemiskinan pun bermacam-macam bergantung pada institusi yang mengeluarkan ukurannya, diantaranya :

1. Menurut BPS, kemiskinan dapat diukur dengan cara membandingkan total pengeluaran penduduk per kapita per bulan terhadap garis kemiskinan yang berlaku yakni tingkat pengeluaran untuk makanan kurang dari 2100 kalori (Satria 2002; Ibrahim 2007).

2. Selain itu, Sajogjo menggunakan ukuran pengeluaran konsumsi beras untuk mengukur kemiskinan. Menurut garis kemiskinan Sajogjo, kategorinya berdasarkan tingkat pengeluaran setara kilogram beras perkapita pertahun adalah sebagai berikut (Sajogjo dikutip Satria 2002; Sajogjo 1977 dikutip Kamarijah 2003) :

a. Sangat miskin : untuk desa adalah 180 kg beras/tahun sedangkan penduduk dikota adalah 270 kg beras/tahun.

b. Miskin sekali : untuk daerah pedesaan setara dengan 240 kg beras/tahun, sedangkan penduduk perkotaan setara dengan 360 kg beras/tahun.

c. Miskin : untuk pedesaan adalah 320 kg beras/tahun, sedangkan perkotaan setara dengan 480 kg beras/tahun.

Ukuran kemiskinan kedua adalah kemiskinan relatif, dimana pengukurannya dengan membandingkan satu kelompok pendapatan dengan kelompok pendapatan lainnya (Satria 2002) atau didasarkan pada pertimbangan individual untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan (Raharto dan Romdiati 2002 dikutip Ibrahim 2007).

(13)

Kesejahteraan masyarakat dapat dianalisis berdasarkan data kependudukan, kesehatan masyarakat, pendidikan, tingkat kelahiran atau fertilitas, kriminalitas, serta perumahan dan lingkungan (BPS 2001). Sedangkan karakteristik sosial ekonomi penduduk yang lebih spesifik diperoleh berdasarkan:

1. Konsumsi/pengeluaran/pendapatan.

2. Kesehatan, pendidikan, perumahan, dan pemukiman.

3. Sosial budaya, kesejahteraan rumah tangga, dan kriminalitas.

2.1.5.1 Pendapatan

Analisis pendapatan bertujuan untuk mengetahui komponen-komponen input dan output yang digunakan dalam usaha, serta besarnya keuntungan yang diperoleh dari suatu usaha. Keuntungan usaha diperoleh dari selisih antara total penerimaan (total revenue) dan total biaya (total cost). Apabila penerimaan total lebih besar dibandingkan dengan biaya total maka usaha tersebut dikatakan untung, jika sebaliknya usaha tersebut dikatakan merugi (Djamin 1984 dikutip Lee Won Jae 2010). Adapun formula yang digunakan untuk menghitung keuntungan usaha adalah :

Keterangan : µ = Keuntungan (rupiah) TR = Total Penerimaan (rupiah) TC = Total Biaya (rupiah)

2.1.6 Sikap

Merujuk kepada Thurstone, Rokeach, Baron & Byrne, Myres, dan Gerungan seperti dikutip Walgito (2003), sikap mengandung tiga komponen yang membentuk struktur sikap, yaitu:

(14)

1. Komponen kognitif (komponen perseptual)

Yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana orang mempersepsi terhadap objek sikap.

2. Komponen afektif (komponen emosional)

Yaitu komponen yang berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang terhadap objek sikap. Rasa senang merupakan hal yang positif, sedangkan rasa tidak senang merupakan hal yang negatif.

3. Komponen konatif (komponen perilaku)

Yaitu komponen yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap.

2.2 Kerangka Pemikiran

Konservasi adalah salah satu upaya atau tindakan yang ditujukan untuk melindungi ekosistem dan sumberdaya hayati. Penetapan suatu wilayah untuk menjadi Daerah Perlindungan Laut (DPL) dilandasi dua faktor pendorong. Pertama, adanya kerusakan ekosistem pesisir dan laut seperti kerusakan terumbu karang, erosi pantai, kerusakan ekosistem mangrove, dan lain-lain. Menurunnya keanekaragaman hayati pesisir dan laut dapat mengancam keberlanjutan sumberdaya di masa depan sehingga dibutuhkan upaya untuk menetapkan kawasan konservasi guna melindungi keanekaragaman hayati serta struktur fungsi dan integrasi ekosistem (Agardy dan Barr et al. 1997 dikutip Bengen 2001). Faktor kedua yang menjadi pendorong penetapan DPL adalah sumberdaya alam yang melimpah. Kekayaan laut Indonesia telah diakui, khususnya di daerah Timur Indonesia, oleh karena itu untuk menjamin keberlanjutan kelimpahan sumberdaya tersebut, konservasi diyakini sebagai upaya yang efektif.

Selain tujuan konservasi laut untuk melindungi ekosistem sumberdaya pesisir dan laut, tujuan lainnya adalah memberikan manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat pesisir atau nelayan (Agardy dan Barr et al. 1997 dalam Bengen 2001). Kawasan konservasi dapat membantu masyarakat lokal dalam

(15)

mempertahankan basis ekonominya melalui pemanfaatan sumberdaya dan jasa lingkungan secara optimal dan berkelanjutan. Hal ini juga dipertegas dalam Undang-undang Konservasi Hayati (UUKH) pasal 3 Tahun 1990 tentang tujuan dari penetapan kawasan konservasi adalah mengusahakan terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Namun bagaimana kenyataan di lapangan, itulah yang menjadi fokus penelitian ini khususnya dampak penetapan DPL terhadap kondisi sosial ekonomi nelayan sebagai pihak yang telah turun temurun bergantung pada sumberdaya tersebut.

Nelayan sebagai bagian dari Daerah Perlindungan Laut tentu saja memiliki hak-hak untuk memasuki kawasan, mengambil, mengolah, menjaga, dan mendapatkan hasil dari sumberdaya yang ada di dalam DPL. Seperangkat hak nelayan meliputi hak akses (access right), hak pemanfaatan (withdrawal right), hak pengelolaan (management right), dan hak ekslusi (exclusion right). Hak-hak tersebut telah dimiliki sejak sebelum wilayah pesisir dan laut ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana seperangkat hak tersebut setelah ditetapkan DPL, apakah mengalami perubahan atau tidak. Respon masyarakat mengenai keberadaan DPL dan sistem zonasi, dampak bagi seperangkat hak nelayan dan keuntungan yang didapatkan akan menjadi pengukuran bagaimana pengaruh penetapan DPL terhadap seperangkat hak yang dimiliki mereka.

Penetapan DPL tentu saja membentuk sistem zonasi pengelolaan sumberdaya laut dan akan mempengaruhi hak nelayan dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada. Ketika sistem zonasi ditentukan, maka akan terjadi perubahan seperangkat hak tersebut, dan akan berpengaruh terhadap hasil tangkapan dan pendapatan nelayan. Bagaimanakah respon nelayan terhadap keberadaan DPL dan perubahan sistem zonasi akan menjadi salah satu fokus dari penelitian ini. Secara umum keterkaitan antar variabel-variabel dapat digambarkan dalam kerangka pemikiran sebagai berikut :

(16)

Keterangan : Hubungan Pengaruh Fokus aspek yang dikaji

Gambar 3. Kerangka Pemikiran Penurunan kuantitas dan

kualitas sumberdaya pesisir dan laut

Kekayaan sumberdaya pesisir dan laut

Kondisi sosial ekonomi nelayan

Sebelum Sebelum Sesudah Sesudah Kondisi ekonomi Tingkat Pendapatan Nelayan Kondisi Sosial

Seperangkat hak nelayan (bundles Of right) Hak akses (access right) Hak pemanfaatan

(withdrawal right) Hak pengelolaan

(management right)

Hak ekslusi (exclusion right)

Respon nelayan

Tingkat pengetahuan nelayan terhadap DPL dan perubahan zonasi

Tingkat afeksi nelayan terhadap DPL dan perubahan zonasi

Penetapan Daerah Perlindungan Laut

(DPL) Perubahan Zonasi

(17)

2.3 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran, maka hipotesis penelitian adalah sebagai berikut :

1. Terdapat hubungan antara penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) terhadap perubahan seperangkat hak (bundles of right) nelayan.

2. Terdapat hubungan antara penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) terhadap tingkat pendapatan nelayan.

2.4 Definisi Konseptual

Penelitian ini menggunakan beberapa istilah konseptual yang digunakan sebagai pengertian awal beberapa variabel dari penelitian ini. Definisi dari berbagai variabel yang ada diperoleh melalui pemahaman atas berbagai definisi dan teori yang terkait dengan variabel tersebut. Istilah-istilah konseptual tersebut yaitu:

1. Kawasan Konservasi Laut (KKL) adalah sebuah areal yang berada di wilayah pasang surut atau di atasnya, termasuk air yang melingkupinya beserta berbagai flora, fauna serta peninggalan sejarah dan berbagai bentuk kebudayaan, yang telah ditetapkan oleh aturan hukum yang berlaku maupun oleh cara-cara lain yang efektif, dilindungi baik sebagian maupun keseluruhannya.

2. Daerah Perlindungan Laut (DPL) adalah daerah pesisir dan laut yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya serta dikelola oleh masyarakat setempat.

3. Pengelolaan kawasan konservasi adalah pengelolaan yang dikelola oleh pemerintah tetapi tidak menutup kemungkinan dikelola oleh masyarakat untuk pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Pengelolaan ini mencakup kegiatan memanfaatkan kawasan atau mengambil sumberdaya dalam DPL secara adil dan lestari.

4. Nelayan adalah penduduk lokal yang menggantungkan hidupnya dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada di Daerah Perlindungan Laut (DPL).

(18)

5. Seperangkat hak nelayan (bundles of right) adalah hak-hak nelayan yang meliputi hak akses (access right), hak pemanfaatan (withdrawal right), hak pengelolaan (management right), dan hak ekslusi (exclusion right).

2.5 Definisi Operasional

Penelitian ini menggunakan beberapa istilah operasional yang digunakan untuk mengukur berbagai peubah. Masing-masing peubah terlebih dahulu diberi batasan sehingga dapat ditentukan indikator pengukurannya. Istilah-istilah tersebut yaitu:

1. Seperangkat hak nelayan (bundles of right) adalah hak-hak nelayan yang meliputi hak akses (access right), hak pemanfaatan (withdrawal right), hak pengelolaan (management right), dan hak ekslusi (exclusion right).

a. Hak akses (access right) adalah hak untuk memasuki wilayah sumberdaya yang memiliki batas-batas yang jelas dan untuk menikmati manfaat non ekstraktif. Pengukuran hak pemanfaatan melalui kegiatan :

Nelayan tidak dapat melintas di lokasi DPL = skor 1= rendah Nelayan dapat melintas di lokasi DPL = skor 2 = tinggi

b. Hak pemanfaatan (withdrawal right) adalah hak untuk memanfaatkan sumberdaya. Pengukuran hak pemanfaatan melalui kegiatan:

Nelayan tidak dapat mengambil sumberdaya di DPL = skor 1 = rendah Nelayan dapat mengambil sumberdaya secara bebas = skor 2 = tinggi c. Hak pengelolaan (management right) adalah hak untuk turut serta dalam

pengelolaan sumberdaya. Hak pengelolaan dapat diukur dari keterlibatan masyarakat sejak perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan monitoring, serta mendapatkan hasil. Pengukuran :

Nelayan tidak terlibat dalam penjagaan DPL dan tidak berhak melarang siapapun untuk melakukan kegiatan apapun di DPL = skor 1 = rendah Nelayan terlibat dalam penjagaan DPL dan berhak melarang siapapun untuk melakukan kegiatan apapun di DPL = skor 2 = tinggi

(19)

d. Hak ekslusi (exclusion right) adalah hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki hak akses dan bagaimana hak tersebut dialihkan ke pihak lain. Pengukurannya:

Tidak ada = skor 1 Ada = skor 2

2. Respons nelayan adalah tanggapan nelayan atas penetapan DPL dan sistem zonasi yang dibuat. Pengukurannya melalui aspek kognitif (pengetahuan) dan aspek afektif nelayan akan keberadaan DPL dan sistem zonasi yang dibentuk.

a. Tingkat pengetahuan nelayan terhadap DPL adalah pemahaman nelayan akan keberadaan Daerah Perlindungan Laut dan sistem zonasi. Tingkat pengetahun nelayan dapat diukur dengan pertanyaan :

i) Nelayan tahu pengertian DPL

ii) Nelayan tahu manfaat dan tujuan DPL

iii) Nelayan tahu aturan dan larangan yang dibuat terkait DPL

iv) Nelayan tahu sanksi-sanksi yang diberikan bagi yang melanggar aturan-aturan di DPL

Pengukurannya : Tidak = skor 1 Iya = skor 2

b. Aspek afeksi nelayan terhadap DPL dan perubahan zonasi adalah respon nelayan yang berhubungan dengan rasa setuju atau tidak setuju terhadap penetapan DPL dan sistem zonasi yang dibentuk. Tingkat afeksi nelayan terhadap penetapan DPL dan sistem zonasi dapat diukur dengan pernyataan :

i) Penetapan DPL penting untuk keberlanjutan sumberdaya laut

ii) Penetapan DPL tidak membuat nelayan terbatas untuk masuk keluar kawasan

iii) Penetapan DPL tidak membuat jumlah tangkapan nelayan berkurang iv) Penetapan DPL tidak membuat perubahan sistem zonasi nelayan Pengukurannya: Tidak= skor 1

(20)

Pengukuran tingkat respons nelayan adalah skor total dari aspek kognitif dan aspek afeksi responden :

Skor di bawah skor rata-rata = Respons nelayan negatif terhadap penetapan DPL

Skor di atas skor rata-rata = Respons nelayan positif terhadap penetapan DPL

3. Pendapatan (TI) nelayan adalah total penerimaan nelayan (TR) dari sektor perikanan dikurangi total pengeluaran (TC) untuk menunjang kegiatan perikanan. Ukuran pendapatan ditentukan berdasarkan rata-rata pendapatan responden dari sektor perikanan di tempat penelitian.

Pendapatan < rata-rata pendapatan = skor 1 = rendah Pendapatan > rata-rata pendapatan = skor 2 = tinggi

4. Tingkat penerimaan (TR) nelayan adalah jumlah penghasilan secara keseluruhan yang diperoleh dari kegiatan menangkap ikan di laut. Skala pengukuran :

Dibawah rata-rata = skor 1 = rendah Di atas rata-rata = skor 2 = tinggi

5. Tingkat pengeluaran nelayan adalah jumlah pengeluaran secara keseluruhan untuk kegiatan melaut. Skala pengukuran :

Dibawah rata-rata = skor 1 = rendah Di atas rata-rata = skor 2 = tinggi

Gambar

Gambar 1. Daerah Perlindungan Laut
Tabel 1.  Rezim Kepemilikan Atas Sumberdaya Alam di Indonesia
Tabel 2.  Status Hak Kepemilikan
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Penurunan kuantitas dan

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian menggunakan desain Studi Komparasi pendekatan cross sectional.Terdiri dari dua kelompok sampel yaitu yang diberikan ASI Eksklusif berjumlah 16 responden dan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran implementasi program pendidikan dan pelatihan di PT PLN (Persero) Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang,

Laporan Arus Kas menyajikan informasi kas sehubungan dengan aktivitas operasional, investasi aset non keuangan, dana cadangan, pembiayaan, dan transaksi non-anggaran

1) Produksi hasil tangkapan selama satu dasawarsa (2004-2013) didominasi oleh ikan kelompok jenis TL5 dan terjadi peningkatan produksi ikan tersebut setiap tahunnya, sementara

Penggunaan metode titrasi argentometri merupakan metode yang klasik untuk analisis kadar klorida yang dilakukan. dengan mempergunakan AgNO 3 0.5M

Lansekap merupakan sesuatu perencanaan antara manusia dan lingkungan yang mencakup semua elemen alam, baik yang buatan maupun yang alamiah, dengan memperhatikan aspek

Pertanggungjawaban pidana produsen terhadap produk makanan yang mengandung bahan kimia yang membahayakan kesehatan dan keselamatan konsumen dikategorikan sengaja atau

Peraturan ini dipertegas pada Pasal 87 ayat (1) UU Nomor 6 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa “Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa yang disebut BUMDes” juncto Pasal