• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri (UUD

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri (UUD"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) merupakan satu-satunya lembaga negara yang bertugas memeriksa pertanggungjawaban keuangan negara. Hal ini sebagaimana diamanatkan dalam Undang Undang Dasar 1945 bahwa untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri (UUD 1945 pasal 23 E ayat (1)). Kata-kata bebas dan mandiri dalam ayat tersebut mengandung arti bahwa BPK RI dapat menentukan arah pemeriksaan yang akan dilakukan agar sesuai dengan amanat UUD 1945 dan juga dapat memenuhi harapan para pemegang kepentingan.

Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, pemeriksa adalah orang yang melaksanakan tugas pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara untuk dan atas nama BPK. Terkait dengan tugas pokok memeriksa pertanggungjawaban keuangan negara, saat ini BPK RI menghadapi beberapa tantangan besar terkait dengan kecukupan tenaga pemeriksa. Tantangan-tantangan besar tersebut antara lain keterbatasan sumber daya manusia (SDM), bertambahnya objek pemeriksaan dan meningkatnya tuntutan serta harapan para pemegang kepentingan BPK RI.

Tantangan besar yang pertama terkait dengan keterbatasan SDM. Sumber daya pemeriksaan BPK RI antara lain terdiri atas pegawai (tenaga pemeriksa dan non pemeriksa) serta anggaran pemeriksaan. Kondisi yang dihadapi oleh BPK RI

(2)

2 pada satu sisi, diperlukan tambahan tenaga pemeriksa untuk dapat menjalankan tugas pemeriksaan yang terus bertambah, namun di sisi lain, terdapat keterbatasan anggaran pemeriksaan dan keterbatasan peraturan penerimaan pegawai baru. Pegawai BPK RI yang hingga saat ini masih berstatus sebagai pegawai negeri sipil (PNS) terikat oleh beberapa peraturan dan lembaga terkait, contohnya adalah dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) terkait manajemen pengelolaan PNS dan dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN RB) terkait jumlah formasi dan proses penerimaan pegawai baru.

Penentuan jumlah formasi pegawai baru yang dapat direkrut oleh BPK RI harus menunggu keputusan dari KemenPAN RB. Sehingga meskipun terdapat kebutuhan jumlah pegawai pemeriksa yang relatif besar, namun tidak dapat segera dilakukan penerimaan calon PNS (CPNS) sesuai jumlah yang dibutuhkan pada tahun berikutnya. Sebagai contoh, terdapat kekurangan jumlah pegawai di tahun 2011 sebanyak 1600 orang (Laporan Tahunan BPK RI, 2012), namun tidak dapat segera dilakukan penerimaan CPNS sejumlah tersebut karena adanya moratorium (penghentian sementara) penerimaan CPNS secara nasional oleh pemerintah (dalam hal ini KemenPAN RB). Sedangkan pada tahun berikutnya alokasi penerimaan CPNS baru yang diizinkan oleh KemenPAN RB melalui izin prinsip pemberian formasi CPNS hanyalah sebanyak 166 orang atau 10,38% dari total kebutuhan. Hal ini pun masih jauh (baru sekitar 41,5%) jika dibandingkan dengan rata-rata kebutuhan penerimaan CPNS baru pertahun hingga 2014 yang sebanyak 400 orang (Laporan Tahunan BPK RI, 2012).

(3)

3 Hingga tahun 2016 pun, kondisi kekurangan pegawai di BPK ini masih berlanjut. Pegawai pemeriksa terdiri atas beberapa tingkatan seperti Anggota Tim, Ketua Tim, Pengendali Teknis, dan Penanggung Jawab. Data pada Biro SDM BPK RI per 1 Juni 2016 menunjukkan jumlah pemeriksa dengan peran Anggota Tim (AT) adalah sebanyak 2.196 pegawai1. Jika dibandingkan dengan jumlah kebutuhan formasi peran pemeriksa AT pada tahun 2012 yang sebanyak 3.501 pegawai2 maka terdapat kekurangan pegawai dengan peran AT sebanyak 1.305 pegawai. Jumlah kebutuhan pemeriksa AT ini semakin bertambah dengan adanya pembentukan kementrian baru di BPK yakni Auditama Keuangan Negara VIII3 di tahun 2016. Namun di sisi lain, BPK belum dapat melakukan proses penerimaan CPNS sejak tahun 2015 karena tidak mendapat ijin prinsip dari KemenPAN RB.

Tantangan besar yang kedua yakni bertambahnya objek pemeriksaan. Hal ini terjadi seiring berlakunya otonomi daerah di Indonesia. Semakin bertambahnya jumlah provinsi, kabupaten/kota dan kementerian/lembaga serta badan usaha milik negara dan daerah (BUMN dan BUMD) menimbulkan penambahan jumlah laporan pertanggungjawaban keuangan dan objek pemeriksaan yang harus diperiksa oleh BPK RI. Salah satu dampak dari tantangan ini adalah dibukanya perwakilan BPK RI baru di setiap provinsi di Indonesia sehingga BPK semakin memerlukan tambahan pegawai. Selain pemeriksaan atas laporan pertanggungjawaban keuangan, BPK RI juga bertugas melakukan

1

Nota Dinas Sekretaris Jenderal BPK RI Nomor 660/ND/X/08/2016 tentang Pemenuhan Formasi Jabatan Fungsional Pemeriksa (JFP) dari Pegawai Penunjang dan Pendukung di Lingkungan Pelaksana BPK, hlm. 1.

2 Loc. cit. 3

(4)

4 pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu seperti pemeriksaan investigasi, pemeriksaan belanja serta pemeriksaan pendapatan pemerintah.

Tantangan besar yang terakhir adalah semakin meningkatnya tuntutan dan harapan dari para pemegang kepentingan BPK RI. Para pemegang kepentingan BPK RI antara lain adalah pengguna hasil pemeriksaan, termasuk di dalamnya yakni lembaga legislatif pusat dan daerah, pemerintah pusat dan daerah, penegak hukum, akademisi, lembaga donor (seperti World Bank), lembaga swadaya masyarakat dan media (www.bpk.go.id, 2010).

Gambar Error! No text of specified style in document.1.1 Para Pemegang Kepentingan BPK RI

Sumber: Laporan Akuntabilitas Kinerja BPK RI 2015

Hubungan antar para pemegang kepentingan BPK RI tersebut dapat terlihat lebih jelas pada Gambar 1.1. Pemegang kepentingan utama (lingkaran dalam)

(5)

5 BPK RI adalah lembaga perwakilan dan pemerintah (pusat dan daerah), kemudian disusul oleh entitas yang diperiksa (lingkaran tengah), dan lingkaran luar yang terdiri atas publik dan media, BPK negara lain dan asosiasinya yang secara rutin melakukan peer review terhadap BPK RI, organisasi internasional dan pemberi bantuan, Kantor Akuntan Publik (KAP) dan asosiasi profesi serta lembaga pendidikan.

Secara garis besar tuntutan dan harapan dari para pemegang kepentingan semakin meningkat terhadap BPK RI dan pegawainya. Namun dari Laporan Akuntabilitas Kinerja BPK RI, 2015 diketahui selama kurun waktu 2013-2015 capaian persentase indeks kepuasan para pemegang kepentingan atas hasil pemeriksaan BPK yang disurvei oleh pihak independen justru mengalami penurunan. Tabel 1.1 menunjukkan penurunan persentase tingkat kepuasan para pemegang kepentingan BPK RI tersebut selama kurun waktu 2013 sampai dengan 2015.

Tabel 1.1 Hasil Survei Kepuasan Para Pemegang Kepentingan BPK RI

Tahun Target Realisasi Persentase (%)

2013 4,00 3,92 98,00

2014 4,10 4,00 97,56

2015 4,15 3,80 91,57

Sumber: Laporan Akuntabilitas Kinerja BPK RI 2015

Dari Laporan Akuntabilitas Kinerja BPK RI tahun 2015 diketahui bahwa target kepuasan para pemegang kepentingan terus mengalami peningkatan sejak tahun 2013. Target kepuasan para pemegang kepentingan BPK pada tahun 2013

(6)

6 adalah sebesar 4,0 poin dari skala maksimal 5,0. Target tersebut kemudian naik menjadi 4,1 poin pada tahun 2014 dan pada tahun 2015 naik menjadi 4,15 poin. Hasil survei pada tahun 2013 atas kepuasan para pemegang kepentingan adalah sebesar 3.92 poin dari target 4,0 (98,00%). Pada tahun 2014 angka kepuasan yang tercapai adalah 4,0 poin dari target 4,1 (97,56%). Pada capaian tahun 2014 ini telah terjadi penurunan persentase kepuasan sebesar 0,44%. Sedangkan pada tahun 2015 tercapai tingkat kepuasan sebesar 3,80 poin (91,57%) dari target 4,15. Dengan demikian pada tahun 2015 terjadi lagi penurunan persentase tingkat kepuasan yang lebih besar dibandingkan penurunan tahun 2014, yakni 5,99%.

Menurunnya persentase capaian indeks kepuasan para pemegang kepentingan terhadap hasil pemeriksaan BPK RI ini menunjukkan bahwa di tengah semakin tingginya target harapan dan tuntutan para pemegang kepentingan BPK, maka semakin besar tekanan yang dialami oleh pegawai BPK RI. Pegawai BPK RI dituntut dan diharapkan dapat bekerja sesuai nilai-nilai dasar yang dianut BPK RI yakni independensi, profesionalisme, dan integritas, termasuk dalam hal pencegahan korupsi bersama aparat penegak hukum di Indonesia. Hal tersebut memiliki arti bahwa nilai-niai dasar BPK RI perlu dianut secara baik oleh para pegawai pemeriksa.

Dalam rangka menjawab tantangan-tantangan tersebut dirasakan perlunya penguatan kelembagaan di BPK RI. Salah satu langkah yang dilakukan oleh BPK adalah dengan melaksanakan program reformasi birokrasi. Sebagaimana dinyatakan oleh Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Prof. Eko Prasojo (Warta BPK, 2014) bahwa reformasi

(7)

7 birokrasi menjadi keharusan untuk menciptakan pemerintahan yang akuntabel, berkinerja, dan bersih dari KKN.

Pengukuran keberhasilan dari program reformasi birokrasi menurut Peraturan Menpan RB Nomor 1 tahun 2012 (Warta BPK, 2013) dinilai dari dua komponen, yakni komponen pengungkit dan komponen hasil. Komponen pengungkit terdiri atas lima kriteria yakni:

a. kepemimpinan, b. SDM aparatur

c. perencanaan strategis d. kemitraan dan sumber daya e. proses

Sedangkan komponen hasil terdiri atas empat kriteria yakni: a. hasil pada SDM aparatur

b. hasil pada masyarakat atau pengguna layanan

c. hasil pada komunitas lokal, nasional, dan internasional d. hasil Indikator Kinerja Utama (IKU)

Terkait dengan komponen pengungkit SDM aparatur, proses, dan perencanaan strategis, pada tahun 2014 telah diadakan perubahan Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) di BPK RI. Perubahan SOTK ini merupakan salah satu jawaban atas tingginya tuntutan dari pemegang kepentingan terkait tugas BPK RI. Perubahan SOTK sebelumnya dilakukan pada tahun 2007 atau tujuh tahun sebelumnya. Perubahan SOTK tersebut juga mengakibatkan peningkatan kebutuhan jumlah pegawai baru dan pejabat struktural yang semakin

(8)

8 tinggi. Sebagai contoh, SOTK baru tersebut memasukkan kantor perwakilan BPK RI di Provinsi Kalimantan Utara sebagai satuan kerja baru (Warta BPK, 2014).

Sejalan dengan langkah perubahan yang dilakukan oleh BPK RI, pegawai yang terdiri atas SDM pemeriksa sebagai pelaksana tugas pemeriksaan di lapangan dan pegawai non pemeriksa selaku penunjang dan pendukung tugas pemeriksaan juga mendapatkan perubahan dalam masa reformasi birokrasi. Hal ini tampak dalam Rencana Strategis (Renstra) BPK RI 2010-2015 dan Renstra BPK RI 2016-2020, dimana peningkatan kompetensi SDM merupakan salah satu isu strategis yang dihadapi oleh BPK RI. Sebagaimana dinyatakan dalam dokumen Renstra BPK RI 2011-2015 bahwa dalam periode 2011-2015 fokus peningkatan kompetensi SDM BPK diarahkan pada manajemen kompetensi, manajemen kinerja, manajemen karier serta pelatihan dan pengembangan.

Untuk mendukung pelaksanaan tugas dan fungsinya, BPK harus didukung oleh para pegawai yang memiliki kecakapan dan keahlian yang mumpuni dalam bidang-bidang yang diperlukan. Untuk maksud tersebut, pada Renstra 2016-2020, fokus pengembangan SDM diarahkan pada pengembangan pusat talenta (talent

pool) di bidang pemeriksaan yang mendukung pencapaian visi dan misi BPK. Hal

ini menunjukkan bahwa kinerja SDM pemeriksa merupakan salah satu isu penting yang menjadi perhatian BPK RI. Dengan berbagai tantangan yang dihadapi oleh BPK dan adanya isu terbatasnya sumber daya terutama SDM yang ada di BPK tersebut, maka pegawai BPK harus memberikan sesuatu yang lebih dari pekerjaannya, yang dalam hal ini salah satu solusinya adalah dengan adanya

(9)

9 Konsep employee engagement telah lama dikenal dalam dunia kerja profesional. Konsep employee engagement ini semakin lama menjadi semakin penting dan terlihat bahwa tingkat kesadaran organisasi terhadap hal ini semakin meningkat. Salah satu perusahaan BUMN yang sudah menyadari pentingnya

employee engagement di Indonesia adalah PT Telkom (Ramadhan dan Sembiring,

2014). Sejak tahun 2012 PT Telkom telah rutin melaksanakan survei engagement, dan survei ini telah menggantikan survei kepuasan pegawai yang sebelumnya juga rutin dilakukan. Penelitian Ramadhan dan Sembiring, (2014) tersebut menunjukan pula bahwa survei kepuasan pegawai tidak lagi efektif jika telah mencapai 80%.

Dari Laporan Akuntabilitas Kinerja BPK RI tahun 2015 diketahui bahwa selama menjalankan program reformasi birokrasi sejak tahun 2011 selalu diadakan survei kepuasan pegawai sebagai salah satu indikator kinerja utama. Survei kepuasan pegawai tersebut dilakukan setiap tahun oleh lembaga independen pada pegawai BPK RI yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia bagian barat hingga bagian timur. Hasil survei kepuasan pegawai sejak tahun 2013 hingga 2015 tersebut menunjukkan hasil yang bervariasi sebagaimana ditampilkan dalam Tabel 1.2.

Tabel 1.2 Hasil Survei Kepuasan Pegawai BPK RI

Tahun Target Realisasi Persentase (%)

2013 3,70 3,25 87,84

(10)

10

2015 3,70 3,33 90,00

Sumber: Laporan Akuntabilitas Kinerja BPK RI 2015

Laporan Akuntabilitas Kinerja BPK RI 2015 juga menyajikan hasil survei kepuasan pegawai BPK RI yang dicapai pada tahun 2013 sampai dengan 2015. Pada Tabel 1.2 terlihat bahwa pada tahun 2013 didapat hasil survei kepuasan pegawai sebesar 3,25 poin (87,84%) dari target capaian sebesar 3,7 poin. Pada tahun 2014 terdapat perbaikan capaian yakni 3,46 dari 3,7 poin, dengan persentase capaian sebesar 93,52%. Sedangkan pada tahun 2015 terjadi penurunan persentase capaian yakni 3,33 dari target 3,7 poin atau sebesar 90% saja.

Hal yang menarik dari survei kepuasan pegawai ini adalah bahwa target capaian yang ditetapkan adalah sama sejak tahun 2013 yakni 3,7 poin dari kepuasan pegawai maksimum sebesar 5 poin. Hal penting yang diperoleh dari hasil survei kepuasan pegawai BPK RI selama periode tahun 2013-2015 tersebut adalah bahwa seluruhnya menunjukkan capaian di atas 80%.

Jika merujuk pada hasil penelitian Ramadhan dan Sembiring (2014), terlihat bahwa saat ini organisasi cenderung lebih tertarik untuk melihat employee

engagement sebagai ukuran kinerja yang dapat dihasilkan pegawai. Hal ini

menunjukkan pentingnya employee engagement dalam rangka peningkatan kinerja pegawai. Pengukuran tingkat employee engagement semakin diperlukan apabila capaian kepuasan pegawai telah melebihi batas 80%. Dengan demikian, terbuka peluang bagi BPK RI untuk mulai mempertimbangkan aspek employee

(11)

11 Abdulwahab (2015) menemukan bahwa employee engagement memiliki hubungan langsung dengan kinerja pegawai dan level employee engagement yang rendah dapat menyebabkan turunnya kualitas pelayanan, turn over pegawai yang tinggi serta turunnya kompetensi organisasi. Temuan lanjutan dari penelitian Abdulwahab (2015) tersebut memperlihatkan bahwa pegawai yang engaged memiliki ikatan komitmen yang kuat dengan memberi fokus energi dan perhatian mereka pada organisasi.

Employee engagement merupakan aspek penting dalam pekerjaan

profesional yang dijelaskan sebagai keadaan pegawai dalam mengekspresikan diri mereka secara fisik, kognitif, dan emosional selama bekerja, lebih lanjut employee

engagement juga memiliki dua komponen penting yakni perhatian kerja dan fokus

pada pekerjaan (Memon, Rohani, Mohamed, dan Harun, 2014). Definisi dari

employee engagement yang dinyatakan oleh Robinson, Perryman, dan Hayday

(2004) dalam laporan Institute for Employment Studies (IES) menyebutkan bahwa

employee engagement adalah sikap positif yang dimiliki pegawai terhadap

organisasi dan nilai-nilainya. Robinson et al., (2004) lebih lanjut menyebutkan bahwa pegawai yang engaged bekerja dengan rekannya untuk meningkatkan kinerja demi kebaikan organisasi, sehingga dengan demikian organisasi harus merawat dan menumbuhkan engagement, yang membutuhkan hubungan dua arah dari pegawai dan pemberi kerja.

Dari penelitian yang dilakukan Robinson et al., (2004) diketahui bahwa

employee engagement dibentuk setidaknya oleh tujuh faktor, dan satu di antaranya

(12)

12 bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai adalah sesuatu yang penting dan bermanfaat. Pegawai perlu merasa bangga terhadap pekerjaan mereka dan apa yang dilakukan oleh organisasi. Robinson et al., (2004) menambahkan bahwa faktor ini merupakan salah satu faktor kunci yang banyak ditemukan oleh praktisi dan akademisi. Praktisi SDM di berbagai perusahaan yang menjadi kontak IES menekankan bahwa pegawai yang engaged merasa perlu untuk yakin terhadap produk atau layanan yang dihasilkan oleh organisasi dan lebih penting lagi, nilai yang diyakini oleh organisasi. Robinson et al., (2004) juga memiliki pandangan yang menunjukkan bahwa engagement seharusnya berada di level yang lebih tinggi daripada pekerjaan itu sendiri, mencakup keseluruhan organisasi dan tujuan keberadaan organisasi.

Employee engagement dipengaruhi oleh beberapa faktor lain seperti budaya

kerja, komunikasi, gaya manajemen, kepercayaan dan rasa hormat (Lockwood, 2007 dalam Miller, 2008). Lebih lanjut, diketahui bahwa employee engagement juga dipengaruhi oleh faktor: (1) gaji dan kompensasi, (2) kesempatan untuk pengembangan dan pengakuan, dan (3) nilai yang sejalan dengan organisasi (Gill, 2012). Temuan penelitian Gill (2012) tersebut menunjukkan bahwa kesesuaian nilai yang dianut pegawai dan nilai yang dianut oleh organisasi adalah penting dalam memengaruhi employee engagement.

Nilai-nilai dasar yang dianut oleh BPK RI (independensi, profesionalisme, dan integritas) merupakan bagian yang penting dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) memeriksa tanggung jawab pengelolaan keuangan negara. Hal tersebut sesuai dengan pengertian tugas pemeriksaan menurut

(13)

Undang-13 Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

Penjabaran dari nilai-nilai dasar tersebut dituangkan dalam Peraturan BPK RI Nomor 2 Tahun 2011 tentang Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan (Lampiran 1). Lebih lanjut, nilai-nilai dasar tersebut juga dituangkan dalam Renstra BPK berturut-turut pada periode 2011-2015 dan 2016-2020 (Lampiran 2). Pengungkapan nilai-nilai dasar tersebut dalam Undang-Undang tentang BPK, penjabaran nilai-nilai dalam Kode Etik BPK dan Renstra BPK telah menunjukkan pentingnya nilai-nilai dasar tersebut untuk selalu digunakan oleh pemeriksa dalam tugas sehari-hari. Dengan demikian, kesesuaian nilai-nilai dasar yang dianut oleh organisasi BPK menjadi sesuatu yang perlu untuk diteliti terkait kesesuaiannya dengan nilai-nilai yang dianut oleh pegawai BPK.

Konsep yang mempelajari kesesuaian nilai pegawai dan organisasi adalah

Person to Organization Fit (P-O fit). Kristoff (1996) menjelaskan bahwa P-O fit

adalah adanya kesesuaian antara nilai yang dianut oleh organisasi dengan nilai yang dianut oleh pegawai. Chatman (1991) dalam Kristoff (1996) menjelaskan bahwa kesesuaian nilai merupakan suatu bentuk kesesuaian yang signifikan karena nilai adalah sesuatu yang “mendasar dan relatif tahan lama”. Lebih jauh, kesesuaian nilai merupakan komponen budaya organisasi yang menjadi panduan

(14)

14 perilaku pegawai (Schein, 1992 dalam Kristoff, 1996). P-O fit yang disebut juga dengan istilah Person-Culture Fit merupakan topik yang menarik perhatian manajer bisnis dan akademisi sejak lama karena pencapaian level P-O fit yang tinggi melalui proses seleksi pegawai dan sosialisasi seringkali diyakini sebagai kunci untuk mempertahankan pegawai (Kristoff, 1996).

P-O fit juga menunjukkan adanya goal congruence (kesesuaian tujuan)

antara pegawai dan organisasi (Verquer, Beehr, dan Wagner, 2003). Hal yang sama juga menarik calon pegawai untuk bergabung dengan organisasi tersebut (Memon et al., 2014). Kesesuaian tujuan organisasi dan pegawai (P-O fit) diperlukan oleh organisasi dan pegawai dalam bekerja. Adanya P-O fit ini dapat menurunkan niat untuk keluar dari organisasi sebagaimana telah diteliti sebelumnya oleh Verquer et al., (2003) bahwa P-O fit memiliki hubungan negatif dengan intensi untuk keluar dari organisasi.

Hasil penelitian tentang P-O fit di Indonesia diketahui bahwa P-O fit berpengaruh positif pada kepuasan kerja, komitmen organisasional, dan kinerja pegawai (Mahardika, 2006). Temuan ini menunjukkan bahwa P-O fit berpengaruh positif pada kinerja pegawai, yang lebih jauh dapat meningkatkan kinerja organisasi. Penelitian lain di Indonesia menunjukkan bahwa P-O fit memiliki dampak positif pada kepuasan kerja, komitmen organisasi, dan kinerja pegawai (Astuti, 2010). Dari penjelasan tersebut jelaslah bahwa P-O fit memiliki hubungan positif pada kinerja pegawai.

Penelitian Memon et al., (2014) serta Unal dan Turgut (2015) sama-sama mengangkat teori dari Lewin (1952) yang menjelaskan bahwa interaksi antara

(15)

15 seseorang dengan sebuah lingkungan organisasi dapat mengarah pada perilaku yang beraneka ragam. Sebagai contoh, jika individu mengalami lingkungan yang positif dan bermakna, maka kecenderungan yang muncul adalah timbal-balik yang positif sebagai outcome. Dengan kata lain, ketika pegawai mendapati kesesuaian yang baik dengan organisasi dan pekerjaan mereka, hal ini mendorong mereka menjadi terikat (engaged) dengan organisasi dan pekerjaan mereka. Hal ini juga menguatkan dugaan bahwa P-O fit dapat berpengaruh pada employee engagement. Terkait dengan dugaan bahwa P-O fit berpengaruh pada employee

engagement, belum banyak penelitian yang mempelajari hubungan antara

keduanya. Penelitian sebelumnya yang mengaitkan antara employee engagement dan P-O fit antara lain adalah yang dilakukan oleh Unal dan Turgut (2015) yang menemukan bahwa P-O fit memiliki kontribusi positif pada employee engagement dan work engagement. Hal yang menarik dari temuan penelitian tersebut adalah bahwa P-O fit memiliki pengaruh yang lebih kuat pada employee engagement daripada work engagement. Penelitian dari Niazi (2015) menguatkan temuan tersebut dengan menemukan bahwa P-O fit bersama dengan komitmen afektif yang dimediasi oleh employee engagement berpengaruh positif pada kepuasan pegawai secara keseluruhan.

Lebih lanjut, Memon et al., (2014) meneliti tentang pengaruh P-O fit pada intensi (niatan) keluar dari pekerjaan yang dimediasi oleh employee engagement. Temuan penelitian ini antara lain bahwa P-O fit membawa employee engagement ke level yang lebih tinggi, yang dalam jangka panjang menurunkan niat pegawai untuk keluar dari organisasi. Penelitian yang berbeda dari Memon et al., (2015)

(16)

16 juga mengungkapkan hubungan antara P-O fit bersama dengan Person Job Fit

(P-J fit) dalam memengaruhi employee engagement yang pada akhirnya dapat

memicu intensi untuk keluar dari organisasi. Temuan lainnya dalam penelitian tersebut menyebutkan bahwa employee engagement memediasi kontribusi P-O fit dan P-J fit pada turnover intention.

Hal ini juga berarti bahwa individu yang memenuhi kewajiban kepada organisasi, lebih engaged dan cenderung untuk tinggal lebih lama. Mendukung hal ini, penelitian lainnya telah menemukan bahwa pegawai yang engaged memiliki kemungkinan yang kecil untuk terlibat dalam pengunduran diri (Juhdi, Pa'wan, dan Hansaram, 2013; Saks, 2006; Society for Human Resource

Management, 2006 dalam Memon et al., 2014).

Saks (2006) menyatakan bahwa employee engagement dapat diidentifikasi dengan menggunakan teori pertukaran sosial atau Social Exchange Theory (SET). SET merupakan teori yang menjelaskan hubungan kesesuaian nilai (P-O fit) dengan employee engagement. Dijelaskan dalam SET bahwa dalam hubungan yang saling berkaitan timbal-balik, ketika seseorang individu menemukan kesesuaian antara norma-norma dan nilai-nilai yang dimilikinya dengan nilai-nilai yang dimiliki organisasi, maka dia menjadi semakin terikat dengan organisasi dan pekerjaan (Memon et al., 2014).

Sebagai tambahan, P-O fit secara luas didefinisikan sebagai kesesuaian antara individu dan organisasi, dan diantisipasi untuk dihubungkan dengan

employee engagement. Vuuren, Veldkamp, Jong, Seydel (2007) dalam Memon et al., (2015) menyebutkan bahwa di dalam P-O fit, individu-individu menciptakan

(17)

17 kebersamaan tujuan untuk organisasi mereka, yang kemudian dapat meningkatkan level efektifitas kerja mereka. Lebih jauh, kesesuaian nilai dan tujuan antara pegawai dan tempat kerjanya merupakan bagian utama dari P-O fit (Biswas dan Bhatnagar, 2013). Temuan Biswas dan Bhatnagar (2013) di wilayah India bagian utara ini menguatkan pendapat bahwa P-O fit terkait dengan employee

engagement antara pegawai dengan organisasi.

Beberapa penelitian di BPK RI yang selama ini dilakukan banyak yang mengamati aspek kinerja individu terutama pemeriksa, namun belum ada penelitian yang mencakup aspek hubungan P-O fit dengan employee engagement. Cable, (1995); Finegan, (2000) dalam Unal dan Turgut, (2015) menyatakan bahwa ketika seorang individu merasakan kesamaan antara nilai-nilai pribadinya sendiri dengan nilai-nilai organisasi tempatnya bekerja, maka dia merasakan adanya

engagement dengan organisasi. Hal ini merupakan alasan mendasar yang

mendukung penelitian mengenai hubungan employee engagement dengan P-O fit menjadi penting untuk dilakukan. Meskipun demikian, belum banyak penelitian yang mengangkat keterkaitan antara P-O fit dan employee engagement dalam sektor publik, terlebih lagi penelitian sejenis yang dilakukan di Indonesia.

Anthony, Kacmar, dan Perrewe (2002) menjelaskan pentingnya proses seleksi pegawai dan pendidikan/pelatihan (training) bagi pegawai dalam organisasi. Setiap jenis pekerjaan adalah unik dan memerlukan keahlian tertentu, seperti pemeriksa (auditor) di BPK, sehingga organisasi harus memiliki strategi seleksi pegawai termasuk training pendukungnya. Organisasi harus mengambil pilihan strategis untuk memenuhi kebutuhan pegawai, apakah menerima pegawai

(18)

18 baru dan mengembangkannya sendiri atau merekrut pegawai yang sudah jadi/siap pakai (Anthony et al., 2002).

BPK RI memilih untuk menerima pegawai baru dan mengembangkannya sendiri, hal ini terkait erat dengan tugas pokok dan fungsi pemeriksaan yang melekat pada pekerjaan pemeriksa BPK. Secara umum, pekerjaan yang dilakukan oleh pemeriksa di KAP dan pemeriksa di BPK pada dasarnya adalah sama, yaitu melakukan pemeriksaan keuangan, namun pemeriksaan BPK lebih luas. Pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK juga melihat aspek kepatuhan terhadap peraturan perundangan dan termasuk di dalamnya pemantauan kerugian keuangan negara/daerah serta melakukan pemeriksaan kinerja sektor publik.

BPK juga menggunakan pegawai yang berstatus non pemeriksa dalam beberapa tugas pemeriksaan. Hal ini dilakukan BPK dengan alasan tingginya kebutuhan jumlah pemeriksa, frekuensi dan intensitas tugas pemeriksaan yang semakin meningkat serta terbatasnya waktu yang ada. Praktik ini menyebabkan tuntutan terhadap kinerja pegawai non pemeriksa juga semakin tinggi. Pegawai non pemeriksa diharapkan bisa menjadi cadangan (back up) jika sewaktu-waktu diperlukan, tentu saja dengan tuntutan kinerja individu yang sesuai standar kerja pemeriksaan BPK.

Selain menggunakan bantuan bersifat sementara dari pegawai berstatus non pemeriksa dalam tugas pemeriksaan, BPK juga memberikan kesempatan bagi pegawai non pemeriksa untuk pindah status menjadi pemeriksa penuh4. Hal ini dilakukan untuk mengimbangi jumlah pemeriksa yang keluar dari organisasi atau

4

(19)

19 berpindah status menjadi pegawai non pemeriksa. Berpindahnya pemeriksa menjadi pegawai berstatus non pemeriksa disebabkan oleh beberapa hal. Salah satunya adalah tingginya kelelahan atas beban kerja yang dialami oleh pemeriksa. Kelelahan para pemeriksa ini dapat memunculkan sikap negatif terhadap pekerjaan, selanjutnya, hal ini mengurangi tingkat engagement dengan pekerjaan tersebut (Khairani, 2014). Turunnya tingkat employee engagement tersebut dapat mengindikasikan turunnya kinerja pemeriksa. Lebih jauh Khairani (2014) menambahkan bahwa jika kelelahan kerja dirasakan terus menerus, hal ini dapat membuat pemeriksa merasa ingin keluar dari organisasi. Praktik keluar dari organisasi dalam penelitian ini dapat diartikan sebagai berpindah status menjadi pegawai non pemeriksa dan atau keluar mengundurkan diri dari organisasi (resign).

Dengan demikian, maka tuntutan level employee engagement dan P-O fit yang harus dimiliki oleh pegawai non pemeriksa tidaklah menjadi lebih rendah daripada pegawai yang berstatus pemeriksa. Padahal secara umum, dengan segala kelebihan yang ada, hanya pegawai berstatus pemeriksa yang dituntut memenuhi tingkat P-O fit dan employee engagement yang tinggi.

Terkait dengan permasalahan yang dijelaskan, maka penelitian ini juga mempelajari bagaimana perbedaan P-O fit antara pegawai berstatus pemeriksa dan non pemeriksa dapat memoderasi pengaruh P-O fit pada employee engagement. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah beda status pegawai tersebut dapat memperkuat atau memperlemah hubungan P-O fit pegawai dalam membentuk

(20)

20 status pegawai sebagai pemoderasi antara P-O fit dan employee engagement ini belum diteliti oleh peneliti-peneliti sebelumnya.

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian terkait P-O fit dan employee engagement di BPK RI dengan judul “Pengaruh Person-Organization Fit pada Employee Engagement yang Dimoderasi oleh Perbedaan Status Pegawai BPK RI”.

Penelitian ini mengacu pada penelitian yang sebelumnya telah dilakukan oleh Ludhira (2014). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Ludhira (2014) adalah pada variabel independen. Penelitian ini menggunakan

P-O fit sebagai variabel independen sedangkan penelitian Ludhira (2014)

menggunakan Pay Satisfaction sebagai variabel independen.

Ada pun variabel dependen yang digunakan adalah sama, yakni employee

engagement. Pengukuran employee engagement juga dilakukan dengan metode

yang sama, yakni instrumen yang dikembangkan oleh Institute for Employment

Studies (IES). Responden yang diteliti juga berasal dari organisasi publik yang

bertugas melakukan pemeriksaan keuangan.

Lokasi pengambilan sampel penelitian Ludhira (2014) diambil hanya di kantor pusat Jakarta sedangkan pengambilan sampel penelitian ini dilakukan di beberapa unit kerja BPK di kota Semarang, Yogyakarta, dan Jakarta serta melalui kuesioner online. Waktu pengambilan sampel penelitian ini dilakukan di tahun 2015 yang relatif berdekatan dengan penelitian Ludhira di tahun 2014. Perbedaan berikutnya adalah adanya pengujian variabel perbedaan status pegawai pemeriksa

(21)

21 dan non pemeriksa dalam memoderasi pengaruh P-O fit pada employee

engagement.

1.2 Rumusan Masalah

Semakin tingginya tuntutan dan harapan para pemegang kepentingan, bertambahnya jumlah objek pemeriksaan, dan keterbatasan sumberdaya pemeriksaan merupakan tantangan-tantangan besar yang dihadapi BPK RI dalam menjalankan tupoksi yang diamanatkan UUD 1945 untuk memeriksa pertanggungjawaban keuangan negara. Semua tantangan besar tersebut bermuara pada kurangnya pegawai di BPK, khususnya dalam aspek jumlah dan mutu tenaga pemeriksa. Beberapa alternatif solusi telah ditempuh oleh BPK sejak 2011 hingga saat ini, namun kekurangan pegawai belum dapat teratasi dengan baik.

Dengan melihat kondisi yang telah diuraikan sebelumnya, maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

a. Pada satu sisi, pemeriksa BPK dituntut memiliki kinerja yang tinggi. Di sisi lain, BPK mengalami kekurangan pegawai pemeriksa. Hal ini karena adanya ketimpangan antara pemenuhan kebutuhan pegawai baru di BPK RI dengan sistem penerimaan pegawai baru (CPNS) yang ada. Ketimpangan tersebut menyebabkan pemenuhan kebutuhan pegawai baru di BPK RI baik dari aspek kuantitas maupun kualitas menjadi tertunda. Kinerja pegawai yang tinggi juga diindikasikan dengan adanya employee

engagement yang tinggi. Employee engagement diyakini dapat menjadi

(22)

22 memiliki tingkat kepuasan pegawai yang baik seperti di BPK. Untuk mendapatkan pemeriksa baru dengan tingkat employee engagement yang tinggi maka perlu dilakukan pembenahan pada proses seleksi pegawai pemeriksa, baik seleksi yang berasal dari eksternal maupun internal organisasi. Selama ini, proses seleksi pegawai BPK hanya mengikuti standar dari KemenPAN RB dan BKN. Proses seleksi tersebut belum mempertimbangkan unsur kesesuaian nilai-nilai dan tujuan pribadi calon pegawai dengan nilai-nilai dan tujuan organisasi BPK (P-O fit). P-O fit dalam hal ini berfungsi sebagai indikator untuk melihat kesesuaian nilai-nilai yang dimiliki calon pegawai dengan nilai-nilai-nilai-nilai yang dianut organisasi.

P-O fit merupakan pendekatan yang telah digunakan oleh beberapa

organisasi dalam proses seleksi pegawai baru. Lebih jauh, P-O fit diyakini juga sebagai salah satu faktor yang berpengaruh positif pada employee

engagement. Pegawai baru dengan P-O fit yang tinggi diharapkan juga

memiliki tingkat employee engagement yang tinggi. Pada akhirnya, dampak dari adanya pegawai baru dengan employee engagement tinggi ini diharapkan dapat memberikan kinerja yang baik dalam menjalankan tugas pemeriksaan bagi BPK.

b. Kurangnya jumlah pemeriksa di BPK diiringi dengan objek pemeriksaan yang semakin bertambah dan waktu pemeriksaan yang terbatas telah memunculkan beban kerja yang berlebihan bagi pemeriksa. Beban kerja yang berlebihan ini menimbulkan dampak kelelahan bagi pemeriksa, yang lebih jauh menurunkan tingkat employee engagement. Bagi BPK hal ini

(23)

23 merugikan karena turunnya tingkat employee engagement tersebut berarti juga turunnya kinerja pemeriksa dan naiknya turnover intention. Dampak negatif lanjutan bagi BPK adalah jumlah pemeriksa yang semakin berkurang karena adanya actual turnover yakni perpindahan status pegawai dari pemeriksa menjadi non pemeriksa atau pemeriksa keluar dari BPK. Hal tersebut dapat juga menjadi indikasi rendahnya tingkat P-O fit pemeriksa. Pemeriksa merupakan jabatan fungsional yang menjalankan tupoksi BPK, sehingga fasilitas dan perlakuan yang diterima melebihi pegawai non pemeriksa. Namun di sisi lain, pegawai non pemeriksa juga dituntut mampu melakukan hal yang sama ketika ditugaskan menjadi

back-up dalam pemeriksaan. Peran ganda ini menimbulkan beban kerja

yang lebih tinggi bagi pegawai non pemeriksa yang juga memiliki tugas tersendiri di unit kerja asalnya. Kerugian bagi BPK adalah berkurangnya kinerja pegawai non pemeriksa karena harus membantu tugas pemeriksaan. Dengan kata lain, tuntutan kinerja pegawai non pemeriksa menjadi lebih tinggi daripada pegawai pemeriksa, sementara perlakuan yang diterima relatif berbeda. Perbedaan karakter antara status pegawai pemeriksa dan non pemeriksa ini telah memicu tekanan kerja berlebihan dan berdampak pada perilaku perpindahan antar status yang dapat merugikan BPK. Dengan demikian, penelitian terhadap hubungan P-O fit dan employee

engagement yang dipengaruhi oleh perbedaan status pemeriksa dan non

(24)

24

engagement yang selanjutnya berdampak pada peningkatan kinerja

pegawai BPK.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Dari latar belakang tersebut di atas, maka pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut:

a. Apakah P-O fit berpengaruh positif pada employee engagement?

b. Apakah beda status pegawai pemeriksa dan non pemeriksa memoderasi pengaruh P-O fit pada employee engagement di BPK RI?

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

a. Menguji pengaruh P-O fit pada employee engagement di BPK RI.

b. Menguji pengaruh P-O fit pada employee engagement yang dimoderasi oleh perbedaan status pegawai pemeriksa dan non pemeriksa.

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoretis

Bagi dunia akademik, penelitian ini memberi kontribusi pada pengembangan literatur, yakni pemahaman lebih dalam mengenai konstruk

employee engagement dan P-O fit. Pemahaman ini dapat menjadi rujukan yang

signifikan dalam penelitian terkait peningkatan kinerja individu dalam organisasi. Penelitian ini juga memberikan sumbangan gagasan yang baru dalam lingkup

(25)

25 serupa bagi peneliti selanjutnya, terutama hubungan antara employee engagement dan P-O fit yang selama ini belum banyak diteliti dan dipublikasikan.

1.5.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini bermanfaat bagi praktisi manajemen SDM di berbagai institusi, terutama bagi organisasi publik seperti BPK RI. Lebih lanjut, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengambilan kebijakan di BPK RI pada aspek manajemen SDM. Manfaat khusus penelitian ini yakni dalam strategi seleksi pegawai dan strategi pengembangan pegawai, sehingga dapat diperoleh kinerja individu yang optimal melalui pencapaian P-O fit dan employee engagement yang tinggi.

1.6 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

Penelitian ini dilakukan hanya di lingkup lingkungan kerja BPK RI, terutama di Kantor Perwakilan BPK RI Yogyakarta, Balai Pendidikan dan Pelatihan BPK RI Yogyakarta, Kantor Perwakilan BPK RI Jawa Tengah, Pusat Pendidikan dan Pelatihan BPK RI Jakarta dan Kantor Pusat BPK RI Jakarta.

Batasan penelitian ini hanya pada P-O fit dan pengaruhnya pada employee

engagement di BPK RI serta beda status pegawai sebagai pemoderasi pengaruh

tersebut, tidak pada faktor lainnya. Hasil penelitian ini juga terbatas pada lingkungan BPK-RI saja. Hal ini dapat berarti bahwa hasil penelitian ini belum tentu berlaku sama untuk organisasi yang lain, baik sektor publik maupun swasta. Status pegawai BPK yang diteliti adalah umum, yakni mencakup PNS pemeriksa dan non pemeriksa. Penelitian ini tidak mengkhususkan status pegawai

(26)

26 BPK pada keluarga jabatan tertentu seperti pegawai pemeriksa (fungsional) maupun pegawai non-pemeriksa karena pada praktiknya pegawai memiliki kesempatan yang relatif sama untuk bertugas pada keluarga jabatan manapun selama dibutuhkan dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh BPK RI.

Penelitian ini bersifat cross-sectional, yaitu hanya berlaku pada kurun waktu tertentu, sehingga hasil penelitian ini belum tentu sama jika dilakukan dalam waktu-waktu lainnya. Hal tersebutdikarenakan adakemungkinan terdapat kondisi lain yang memengaruhi faktor -faktor tersebut untuk berubah.

1.7 Sistematika Penulisan

Laporan penelitian ini terbagi dalam lima bab sebagai berikut: BAB I. PENDAHULUAN

Bab ini menjelaskan latar belakang penelitian, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, dan sistematika penulisan. Poin penting yang disampaikan antara lain terkait isu-isu yang dihadapi organisasi BPK RI dan pemeriksa di BPK RI, pentingnya P-O fit,

employee engagement, keterkaitan antara P-O fit dengan employee engagement,

penelitian sejenis yang menjadi rujukan, dan penjelasan pentingnya penelitian ini dilakukan.

BAB II. LANDASAN TEORI

Bab ini menjelaskan tentang teori-teori dan hasil penelitian sebelumnya yang relevan, pengembangan hipotesis yang diuji, serta kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini. Pembahasan terkait hasil penelitian sejenis

(27)

27 ditampilkan dalam bentuk tabel, berupa penelitian terkait employee engagement, penelitian terkait P-O fit, penelitian terkait keduanya (P-O fit dan employee

engagement), serta penelitian sejenis yang pernah dilakukan di BPK RI.

BAB III. METODE PENELITIAN

Bab III menjelaskan rancangan penelitian, tempat penelitian, variabel penelitian, populasi dan sampel penelitian, sumber dan teknik pengumpulan data. Bab ini juga berisi penjelasan mengenai definisi operasional, pengukuran variabel penelitian, instrumen penelitian, rancangan pengujian instrumen yang dilakukan, juga prosedur analisis yang digunakan untuk menguji hipotesis, serta gambaran umum subjek penelitian.

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi penjelasan tentang pendistribusian kuesioner penelitian, hasil pengujian instrumen, penyajian data statistik deskriptif, hasil pengujian hipotesis, dan pembahasan mengenai data serta hasil pengujian yang dilakukan.

BAB V. PENUTUP

Bab ini mengemukakan kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian, keterbatasan yang dihadapi, saran yang dapat diaplikasikan bagi organisasi dan masukan bagi akademisi dalam pengembangan penelitian selanjutnya.

Gambar

Gambar  Error!  No  text  of  specified  style  in  document.1.1  Para  Pemegang  Kepentingan BPK RI
Tabel 1.1 Hasil Survei Kepuasan Para Pemegang Kepentingan BPK RI
Tabel 1.2 Hasil Survei Kepuasan Pegawai BPK RI

Referensi

Dokumen terkait

Gambar mana yang menunjukkan arah rambat cahaya saat kamu melihat kaleng yang berada di dalam kotak gelap?.c. Seekor nyamuk menggigit dagu Adi di

Dalam penulisan makalah mengenai “ DAMPAK POLUSI UDARA, AIR, DAN TANAH TERHADAP KESEHATAN MANUSIA DAN LINGKUNGAN ” ini, kami mendapatkan beberapa hal,

maka pergantian brand yang dilakukan oleh Bekasi Square menjadi awal menuju perubahan yang baik. Sebagai Divisi Media Relation di Revo Town HD menjelaskan, “nama yang

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan pelayanan administrasi perkantoran dengan indikator kinerjanya adalah jumlah peralatan dan perlengkapan kantor yang

Manajemen Peserta Didik dapat diartikan sebagai usaha pengaturan terhadap peserta didik mulai dari peserta didik tersebut masuk sekolah sampai dengan mereka lulus

Dari uraian diatas, peneliti sangat tertarik untuk melakukan penelitian dengan pembahasan mengenai “Pengukuran Indeks Kepuasan Masyarakat terhadap Kualitas Pelayanan Publik

Hasil analisis data secara statistic menunjukkan bahwa komunikasi pemasaran tidak berpengaruh positif dan signifikan terhadap keputusan mahasiswa dalam memilih

Menimbang : bahwa dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2005 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada