• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap bangsa multi-etnis, termasuk Indonesia, berpotensi menghadapi masalah perbedaan, persaingan, dan tidak jarang pertikaian antar etnis. Karena itu etnis merupakan fenomena biologis yang berdampak kultural, sosial, ekonomi, dan politik. Walaupun fenomena etnis secara internal bisa berfungsi integratif, secara eksternal berpotensi konflik. Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia tak jarang pertikaian antar etnis yang terjadi mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut diperparah dengan realitas sosio-historis bangsa Indonesia. Kebijakan kolonial Belanda jelas-jelas tidak menyediakan ruang apalagi mendorong tumbuhnya situasi kondusif bagi kehidupan bernegara multi-etnis, misalnya terbentuknya asosiasi-asosiasi sukarela, terbangunnya sikap mental dan budaya pluralisme yang menerima perbedaan, serta mekanisme transaksi sosial yang bersifat lintas kultural.1

“Masalah Cina” adalah pergumulan klasik yang setidaknya menggambarkan bagaimana hubungan antar etnis yang diwarnai pergesekan terjadi. Wujud dari “Masalah Cina” tersebut adalah seringnya orang Indonesia beretnis Tionghoa menjadi target kerusuhan sosial di Indonesia sepanjang sejarah perjumpaan keduanya; boleh dikatakan bahwa setiap ada kerusuhan sosial di Indonesia, maka orang Indonesia Tionghoalah yang senantiasa menjadi target. Atdi Susanto dengan analisa budayanya memberi penjelasan bahwa kerusuhan yang bernuansa etnis disebabkan karena adanya perbedaan tatanan budaya antar kelompok etnis.2 Dalam kesimpulannya Atdi Susanto mengemukakan bahwa:

1

Eka Darmaputera, “Civil Society: Apakah Kita Sedang Ke Sana” dalam Penuntun Vol. 5 No. 17, 2000, halaman 4. 2

Secara khusus analisa ini adalah berdasar pada hubungan antara etnis Tionghoa dengan etnis Jawa. Dimana dalam tatanan masyarakat jawa tidak ada tempat bagi mereka karena mereka ini pedagang. Dalam struktur masyarakat perdagangan atau bisnis menempati posisi tangga bawah kehidupan,golongan pedagang dalam kacamata petani juga dapat bersifat eksploitatif sehingga dipandang sebagai golongan yang mengganggu keharmonisan tatanan sosial. Perdagangan adalah suatu kegiatan yang memalukan bagi orang Jawa. Sehingga orang yang menggeluti perdagangan sebagai sarana hidup dianggap sebagai kelompok orang yang tak “tak tahu malu.” Atdi Susanto (Liem Tiong Liat), Makna Menjadi Orang Indonesia Cina di Indonesia: Refleksi Teologis Atas Identitas (Keberadaan)

Orang Indonesia Cina Di Indonesia, Tesis Program Pasca Sarjana Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta

Wacana, Yogyakarta, 2002. Ketiadaan tempat dalam tatanan masyarakat bagi kelompok pedagang tersebut maka dengan sendirinya golongan tersebut dapat ditransformasikan sebagai setan atau iblis. Di Indonesia, misalnya, golongan seperti minoritas Tionghoa, arab, kauman, ataupun para haji adalah tipologi dari iblis atau setan – lihat

(2)

Hubungan antara orang Indonesia Tionghoa dan orang Indonesia lainnya adalah laksana “api dalam sekam” yang sewaktu-waktu dapat berkobar kalau ada yang mengipasinya, seperti yang telah terjadi dalam sejarah. Dan tentunya tidak ada orang yang berani menjamin bahwa di masa yang akan datang kobaran-kobaran tersebut tidak akan terjadi lagi.3

Hal senada ditegaskan oleh Haryatmoko yang menyoroti bukan saja hanya hubungan antara etnis Tionghoa dan Jawa melainkan hubungan antar kelompok etnis dan agama di Indonesia. Di mana hubungan antar kelompok etnis dan agama menyimpan bara yang cukup berbahaya, sewaktu-waktu bisa digunakan untuk kepentingan politik dan ekonomi kelompok tertentu.4 Maka perlu upaya yang benar-benar serius dan sistematis guna mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan berkaitan dengan hubungan antar kelompok etnis maupun agama. Dalam konteks sekarang itu berarti memberi peluang yang lebih besar pembicaraan mengenai etnisitas.5 Perbedaan nilai antarkelompok etnis maupun agama haruslah dijembatani.

Usaha untuk memahami perbedaan menjadi begitu penting dan merupakan suatu keharusan. Hal tersebut berhubungan dengan dampak dari globalisasi yang menghasilkan kemajemukan, dimana kita menyadari bahwa hidup sebagai suatu bangsa di tengah bangsa-bangsa lain. Tetapi kemajemukan tersebut juga berdampak intern. Sebagai bangsa kita menyadari bahwa keberadaan kita sebagai wujud-wujud yang majemuk.6 Dalam keadaan yang seperti itu maka ada kemungkinan dari beberapa etnis/kelompok untuk menjaga identitas etnis/kelompok sebagai suatu terminal identity. Salah satu masalah yang dihadapi gereja-gereja di Indonesia antara lain masalah yang juga berkaitan dengan identitas. Secara historis banyak dari gereja-gereja (protestan) merupakan gereja-gereja suku dan menjadi persoalan adalah ketika gereja-gereja di Indonesia melihat dan memahami legitimasi kehadirannya di bawah terang Pancasila. Malah Pancasila telah menjadi asas gereja-gereja dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Problem identitas tersebut muncul karena idelogi negara ini pertama-tama bersifat menyatukan keanekaragaman yang begitu kompleks di negeri ini.7 Menghadapi globalisasi dimana kemajemukan hadir secara jelas bukan tidak mungkin identitas etnis dari gereja suku mengkristal kearah identitas terminal, karena itu jika perbedaan-perbedan tersebut tidak coba Ong Hok Ham, Dari Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong:Refleksi Historis Nusantara, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Oktober 2002, halaman 46.

3

Atdi Susanto, Makna Menjadi Orang Indonesia Cina di Indonesia, halaman 118. 4

Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003, halaman 54. 5

Emanuel Gerrit Singgih, “Etnisitas, Kebangsaan, dan Gereja: Pergumulan Kristen di Indonesia pada Awal Abad ke-21” dalam Mengantisipasi Masa Depan, Jakarta: BPK, 2004, halaman 156.

6 Emanuel Gerrit Singgih, “Etnisitas, Kebangsaan, dan Gereja: Pergumulan Kristen di Indonesia pada Awal Abad ke-21” , halaman 127.

7

Martin Lukito Sinaga, Identitas Poskolonial “Gereja Suku” dalam Masyarakat Sipil”, Yogyakarta: LkiS, 2004, halaman 99.

(3)

dipahami maka akan mahal juga harga yang harus dibayar. Apa yang dapat menjadi dasar hubungan antar etnis (di dalamnya termasuk antar kelompok dalam satu agama ataupun dari agama lain), yang notabene adalah sesama warga negara, agar bisa hidup dalam harmoni ditengah kemajemukan. Hal inilah yang menjadi masalah yang melatar belakangi pembahasan dalam skripsi ini.

B. Rumusan Masalah

Solidaritas etnis menjadi suatu kendala terhadap hubungan-hubungan lintas budaya. Cara terbaik untuk berelasi lintas budaya adalah dengan membuat persahabatan-persahabatan lintas budaya pula.8 Dengan persahabatan perbedaan bukan ditiadakan melainkan dijembatani karena persahabatan menginginkan apa yang terbaik untuk sahabatnya, sebagaimana diungkapkan oleh Aristoteles bahwa “Friendship demands that one wish a friend good things for his sake”. Untuk kepentingan yang lain, berarti suatu sikap yang keluar dari mementingkan diri sendiri menuju kearah mementingkan orang lain. André Malraux menunjukkan bahwa persahabatan dapat eksis bahkan diantara dua tentara yang bermusuhan. Begitu juga tesis dari Romain Rolland bahwa

“Friendship is not arrested either by national boundaries or by class barrier”9

. Jika demikian maka persahabatan merupakan dan bisa menjadi dasar dari hubungan sosial dan politis.

Dalam pemikiran Aristoteles, tema persahabatan diulas secara mendalam dan panjang lebar.10 Persahabatan begitu penting karena melalui persahabatanlah orang dapat mencapai eudaimonia, kebahagiaan.11 Aristoteles dan kecenderungan seluruh filsafat Yunani meyakini bahwa kebahagiaan adalah tujuan final manusia. Kebahagiaan menurut Aristoteles adalah menunjuk pada kemungkinan terbaik dalam hidup yang bisa dijalani seseorang, dalam keadaan tersebut orang dapat hadir dan merealisasikan potensi dalam yang ada dirinya. Kebahagian tersebut bukanlah dalam arti kebahagiaan personal atau kebahagiaan yang dapat dialami atau dicapai seorang diri. Kebahagian bersifat relasional dalam artian seseorang bisa bahagia bersama dengan orang lain. Tidak ada seorangpun yang memilih untuk hidup sendiri tanpa sahabat walaupun ia mempunyai segala sesuatu yang baik yang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini

8

Bernard T. Adeney, Etika Sosial Lintas Budaya, Yogyakarta: Kanisius, 2002, halaman 73. 9

Ignace Lepp, The Ways of Friendship, New York: The Macmillan Company, 1968, halaman 24. 10

Bdk Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika, Yogyakarta: Kanisius, 1997, halaman 39. 11

Franz Magnis-Suseno, “Kewajiban dan Kebahagiaan Robert Spaemann Kembali ke dasar Etika” dalam

Pijar-Pijar Filsafat: Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Müller ke Postmodernisme, Yogyakarta:

(4)

ditegaskan oleh Aristoteles : “For without friends no one would choose to live, though he had all

other goods.”12 Hal ini terkait dengan hakikat manusia yang adalah “zoon politikon” makhluk

sosial. Artinya, ia makhluk yang hanya dapat mengembangkan diri melalui praksis, melalui komunikasi dalam lingkungan sosial manusia di mana yang paling luas adalah polis. Maka, kebahagiaan yang lebih sesuai dengan kondisi manusia terletak dalam praksis, partisipasi komunikatif dalam urusan bersama polis.13

Ketika kebahagiaan bukanlah bersifat personal melainkan relasional maka hal yang sama juga berlaku untuk persahabatan. Persahabatan bukanlah semata-mata menunjuk pada hubungan personal melainkan juga berlaku pada struktur sosial dimana kehidupan dan tindakan diberi makna. Karena itu maka persahabatan juga bersifat politis.14 Dari sinilah muncul pemikiran tentang “civic friendship.” John Cooper berpendapat bahwa :

“Aristotle holds not only that active friendships of a close and intimate kind are a necessary constituent of the flourishing human, but also that ‘civic friendship’ itself is an essential human good”15

Persahabatan mengandaikan adanya prinsip-prinsip kesetaraan, keadilan dan solidaritas. Dalam “civic friendship” dimungkinkan adanya pengakuan imbal balik dan hubungan yang fair di antara para pelaku. “Without civic friendship, a city will degenerate into a struggle of contending

interst groups unmediated by any public solidarity”16. Ketiadaan persahabatan dalam arti politis,

dimana prinsip-prinsipnya menjadi dasar dalam hubungan maupun struktur sosial merupakan ancaman bagi keberlangsungan kehidupan bersama. Dalam konteks ”civic friendship” persahabatan ini membuka juga persahabatan dengan kawan politis dan yang paling penting, dengan polis atau rakyat. Sehingga di sini “kepentingan rakyat” bukan sekedar menjadi sebuah kampanye politis yang penuh dengan janji tetapi menjadi bagian dari hakikat kehidupan negara yang anggotanya adalah para sahabat. Maka sangat relevan dalam konteks Indonesia17

12

Aristoteles, “Ethica Nichomachea” dalam Richard McKeon (ed.), Introduction to Aristoteles, New York: Random House, 1947, selanjutnya untuk penyebutan “Ethica Nichomachea” akan disingkat dengan EN penomoran mengikuti sumber tersebut di atas, EN 1155a 5,

13

Franz Magnis-Suseno, “Kewajiban dan Kebahagiaan Robert Spaemann Kembali ke dasar Etika” , halaman 248. 14

Secara sederhana politik adalah sebuah upaya pengaturan kehidupan bersama. 15

Cooper, John. “Aristotle on the Forms of Friendship.” Review of Metaphysics 30, 1977 dalam Francis Vander valk, “Political Friendship and The Second Self in Aristotle’s Nicomachean Ethics” dalam Innovations: A Journal of

Politics, Department of Political Science University at Albany, volume 5-2004-2005, halaman 53.

16

Robert N. Bellah, Richard Madsen, William M. Sullivan, Ann Swidler & Steven M. Tipton, Habits of the Heart:

Individualis and Commitment in American Life, Berkeley: University of California press, 1985, halaman 116.

17

Secara umum Pieris mengemukakan bahwa keragaman agama dan kemiskinan yang begitu parah merupakan konteks hidup masyarakat di Asia karena itu pemikiran tentang kontekstualisasi haruslah senantiasa memperhatikan hal-hal tersebut.

(5)

dimunculkan pemikiran-pemikiran berkaitan dengan ”civic friendship” persahabatan yang bersifat politis. Karena persahabatan mempunyai peran yang penting sebagaimana diungkap oleh Moltman, “.. friendship has become a key notion for a way of thinking in politics and theology

which has both a horizontal and vertical dimension”18

Dengan demikian berdasarkan uraian-uraian di atas, rumusan permasalahan dalam skripsi ini

adalah : suatu usaha untuk mencari pemahaman tentang konsep “civic friendship” menurut Aristoteles dan dari pemahaman tersebut akan coba ditarik beberapa pemikiran yang berguna, dan setidaknya dapat menjadi relevan dalam kehidupan bersama baik bernegara maupun bergereja.

C. Tujuan Pembahasan

Sesuai dengan uraian permasalahan diatas, menurut Moltman persahabatan merupakan hal penting dalam pemikiran politis maupun teologis maka pembahasan dalam skripsi ini bertujuan untuk menyumbangkan beberapa pemikiran yang terkait dengan usaha untuk menghasilkan sebuah teologi yang bisa menjadi dasar bagi relasi sosial dan politis bagi kehidupan bergereja dan bernegara yang majemuk dengan memanfaatkan dan menimbang ulang pemikiran yang sudah ada, dalam hal ini Aristoteles, tentang civic friendship

D. Judul

Judul dari skripsi ini adalah :

Konsep “Civic Friendship” Menurut Aristoteles Suatu Telaah Etis Teologis

18

(6)

E. Batasan Pembahasan

Memberikan perhatian dan tempat kembali kepada pemikiran Aristoteles diserukan salah satunya oleh Alasdair MacIntyre. Berangkat dari kritik terhadap etika pasca-tradisional yang telah dianggap gagal dan mengalami jalan buntu, MacIntyre menyatakan kegagalan etika pasca-tradisional adalah akibat suatu inkonsistensi mendasar: Di satu pihak tetap dipakai paham-paham moral yang berasal dari tradisi-tradisi lebih dahulu, tetapi di lain pihak pandangan dunia tradisi-tradisi ditolak.19 Sesudah Pencerahan, filsafat moral mulai disekularisasikan lagi, tetapi para filsuf tidak kembali ke jalan pikiran Yunani melainkan menggantikan kepercayaan pada otoritas dan tradisi dengan padanan sekularnya, yakni prinsip-prinsip rasional universal sebagai suatu sistem yang menetapkan mana tindakan yang baik. Kecenderungan para filsuf pasca-tradisional pada akhirnya juga menggantikan pertanyaan mendasar dari etika, mereka bukan bertanya : Sifat karakter macam apakah yang membuat seseorang menjadi pribadi yang baik?, melainkan : Manakah tindakan benar yang harus dijalankan?20 Hal ini mengantar mereka pada arah yang berbeda (Etika Egoisme, Utilitarianisme, Teori Kant, Teori Kontrak Sosial), banyaknya posisi ini menimbulkan kekacauan karena tidak tercapai konsensus di antara para filosof tentang salah satu pertanyaan terpenting umat manusia, yaitu, mengapa kita harus bertindak secara moral (juga menyangkut bagaimana kita bertindak secara moral).21 Sebagai solusi MacIntyre mengemukakan bahwa etika hanya dapat diselamatkan apabila mau kembali menjadikan keutamaan sebagai titik tolaknya, dengan kata lain, harus kembali memberi tempat pada pemikiran Aristoteles.22

Mengacu pada Aristoteles, maka manusia adalah “zoon politikon” makhluk sosial. Sendirian ia hanya dapat mempertahankan nyawanya saja. Untuk hidup dengan baik, artinya sebagai manusia yang beradab, yang dapat mengembangkan potensi-potensinya, ia membutuhkan negara sebagai tatanan kehidupan bersama suatu masyarakat.23 Salah satu tema pokok Aristoteles adalah peran dan fungsi persahabatan dalam memfasilitasi realisasi dari suatu polis yang adil. Karena itulah bagi Aristoteles persahabatan adalah “the cement of all social and political relations”24. Ketika persahabatan menjadi dasar dari hubungan-hubungan baik sosial maupun politis, dari situ

19

Franz Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika Abad Ke-20, Yogyakarta: Kanisius, 2000, halaman 192. 20

James Rachels, Filsafat Moral, (terj; A. Sudiarja), Yogyakarta: Kanisius, 2004, halaman 308. 21

Franz Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika Abad Ke-20, halaman 196. 22

Franz Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika Abad Ke-20, halaman 191. 23

Franz Magnis-Suseno, Etika Politik, Jakarta: Gramedia, 1987, halaman 188. 24

Todd A. Salzman “Friendship as a model for communication within the Chruch” dalam Chicago Studies, Vol. 41 no.3, 2002, halaman 326.

(7)

berkembang pemikiran tentang konsep “civic friendship” Dalam skripsi ini konsep tentang civic

friendship akan dibatasi dalam pemikiran Aristoteles, yang utamanya mengacu pada bukunya Ethica Nichomachea (dalam buku ini dua bab (VIII dan IX) memberi perhatian serius pada

pembahasan tentang persahabatan)

F. Metode Pembahasan dan Penggalian Sumber

Metode pembahasan dalam skripsi ini adalah metode deskriptif-analitik. Ini berarti bahwa berbagai hal yang disajikan di dalam pembahasan skripsi ini tidak hanya disajikan secara deskriptis, tetapi juga akan dicoba untuk dianalisa secara kritis.

Kemudian, untuk mendapatkan bahan-bahan yang diperlukan bagi pembahasan dalam skripsi ini, akan dilakukan terhadap penggalian sumber-sumber informasi yang tersedia. Dalam skripsi ini, usaha penggalian sumber informasi tersebut akan dilakukan berdasarkan studi kepustakaan.

G. Sistematika Pembahasan

Bab I (pendahuluan)

Berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan pembahasan, judul, batasan masalah, metode pembahasan dan penggalian sumber dan sistematika tulisan.

Bab II

Berisi penggalian deskriptif dari pemahaman Aristoteles tentang hakikat tujuan hidup manusia. Sebelumnya pada awal bab ini akan dikemukakan tentang latar belakang berupa riwayat singkat Aristoteles. Kemudian masuk pada pembahasan utama pada bab ini yaitu tentang tema persahabatan dalam pemikiran Aristoteles. Pemikiran tentang persahabatan dalam pemahaman Aristoteles tidak dapat dilepaskan dari hakikat tujuan hidup manusia, yakni kebahagiaan karena itu pada bab ini akan mengulas pembahasan tentang kebahagiaan menurut Aristoteles, dilanjutkan dengan pembahasan mengenai persahabatan dan kedudukannya dalam rangka pencapaian manusia akan kebahagian. Pada bagian ini akan diulas pengertian persahabatan yang menyangkut kualitas-kualitas maupun jenis persahabatan.

(8)

Bab III

Berisi uraian lebih lanjut tentang persahabatan dalam konteks antar warga negara “civic friendship” menurut Aristoteles (persahabatan yang bersifat politis).

Bab IV

Berisi telaah etis teologis dari pembahasan bab-bab sebelumnya

Bab V

Bab yang merupakan penutup dari tulisan ini akan berisi kesimpulan dari pembahasan sebelumnya dan jika dimungkinkan akan menyertakan beberapa saran.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian yang diperoleh adalah kasus spondilitis tuberkulosis yang ditemukan pada tahun 2014 sebanyak 44 pasien.. Penyakit ini dapat menyerang segala jenis kelamin dan

Pihak sekolah menganggap bahwa layanan kesehatan mental bagi anak berkebutuhan khusus sangat penting diselenggarakan di sekolah dan perlu adanya suatu perencanaan

Oleh karena itu, substrat yang digunakan sebagai sampel dalam mengisolasi bakteri proteolitik dapat diperoleh dari berbagai tempat yang banyak mengandung protein

Struktur pasar monopolistik terjadi manakala jumlah produsen atau penjual banyak dengan produk yang serupa/sejenis, namun di mana konsumen produk tersebut

Tässä tutkimuksessa plasman histidiinipitoisuus oli keskimäärin hieman suurempi kaikissa ruokinnoissa (soija 63,4, Spirulina 52,3, Chlorella 56,9 ja Chlorella- Nannochloropsis 45,5

Dari hasil analisis yang dilakukan diatas menunjukkan bahwa c orporate governance yang diproksikan dengan kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, dan proporsi

Dalam Pasal 1 angka 7 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha 7 Berdasarkan Prinsip

Work family conflict berpengaruh terhadap stres kerja dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wirakristama (2011) bahwa konflik peran ganda berpengaruh